Anda di halaman 1dari 48

TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL

Oleh : Delta S.Si., M.Si., Apt.


Nama : Delta S.Si., M.Si., Apt.
TTL : Palopo, 03 Agustus 1986
Alamat : Perum. Pajalesang Blok A No. 17
No.Tlp/Hp : 08113361637
Email : deltadell3886@gmail.com
Riwayat Singkat Pendidikan:
Tahun 2004-2007, D3 Farmasi di Politeknik Kesehatan
Makassar
Tahun 2007-2010, S1 Farmasi di Universitas Hasanuddin
Makassar.
Tahun 2010-2011, Program Profesi Apoteker di Universitas
Setia Budi Surakarta.
Tahun 2010-2012, S2 Ilmu Farmasi Program Manajemen
Farmasi Rumah Sakit di Universitas Setia Budi Surakarta.
Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
Deskripsi Mata Kuliah:
1. Pengertian & Tujuan Steril
2. Cara-Cara Sterilisasi
3. Macam-macam Sediaan Steril
4. Hitungan Sediaan Steril
5. CPOB
6. Cara Pembuatan & Evaluasi Mutu Sediaan
Steril
PENGERTIAN STERIL
Steril adalah suatu keadaan dimana suatu zat
bebas dari mikroba hidup, baik yang patogen
(menimbulkan penyakit) maupun apatogen /
non patogen (tidak menimbulkan penyakit),
baik dalam bentuk vegetatif (siap untuk
berkembang biak) maupun dalam bentuk
spora (dalam keadaan statis, tidak dapat
berkembang biak, tetapi melindungi diri
dengan lapisan pelindung yang kuat)
• Sterilisasi adalah suatu proses untuk
membuat ruang / benda menjadi
steril.
• Sanitasi adalah suatu proses untuk
membuat lingkungan menjadi sehat.
Sediaan farmasi yang perlu disterilkan
adalah:
sediaan parenteral volum besar
sediaan parenteral volum kecil (injeksi)
 tablet implant, tablet hipodermik dan
 Sediaan untuk mata seperti tetes mata
(Guttae Ophth), cuci mata (Collyrium)
dan salep mata (Oculenta).
Mengapa sediaan tersebut di atas harus
dibuat steril????
• Tujuan obat dibuat steril (seperti obat
suntik) karena berhubungan langsung
dengan darah atau cairan tubuh dan
jaringan tubuh yang lain dimana
pertahanan terhadap zat asing tidak
selengkap yang berada di saluran cerna /
gastrointestinal, misalnya hati yang dapat
berfungsi untuk menetralisir /
menawarkan racun (detoksikasi =
detoksifikasi).
Rute pemberian sediaan parenteral
• Intravena, intramuskuler,, subcutan, intradermal, dan
intraspinal
• Absorbsi obat dipengaruhi oleh: banyaknya pembuluh
darah yang mensuplai jaringan, sifat fisikokikima obat,
karakteristik bentuk sediaan (larutan, suspensi, atau
emulsi), sifat pembawa, dan pH
• Pemberian intravena dan intraspinal harus dalam
bentuk larutan, sedangkan intramuskuler, subcutan,
intradermal sediaan dapat berbentuk larutan, suspensi
atau emulsi
• Pembawanya dapat berupa air, glikol ataupun minyak
lemak
• Diharapkan dengan steril dapat
dihindari adanya infeksi sekunder.
• Dalam hal ini tidak berlaku relatif
steril atau setengah steril , hanya
ada dua pilihan yaitu steril dan
tidak steril.
Syarat-Syarat Sediaan Steril
1. Steril
2. isotonis
3. Isohidris
4. bebas pirogen
5. bebas partikel asing
6. kejernihan
7. Stabil baik secara fisika, kimia, maupun mikrobiologi
8. aman (tidak toksik)
9. Tidak terjadi reaksi antar bahan dalam formula
10.Penggunaan wadah yang sesuai, sehingga mencegah
terjadinya interaksi dengan bahan obat
11. Sesuai antara bahan obat yang ada dalam wadah dengan
etiket, dan tidak terjadi pengurangan kualitas selama
penyimpanan
Tonisitas
• Tonisitas menggambarkan tekanan osmotis
yang diberikan oleh suatu larutan (zat padat
yang terlarut di dalamnya)
• Suatu larutan dapat bersifat isotonis,
hipotonis, atau hipertonis
• Larutan NaCl 0,9 % b/v adalah larutan garam
fisiologis yang isotonis dengan cairan tubuh.
• Isotonis adalah suatu keadaan
dimana tekanan osmotis larutan obat
yang sama dengan tekanan osmotis
cairan tubuh kita ( darah, air mata )
• Hipotonis : tekanan osmotis larutan
obat < tekanan osmotis cairan tubuh
• Hipertonis : tekanan osmotis larutan
obat > tekanan osmotis cairan tubuh
Tidak semua sediaan
steril harus isotonis, tapi
tidak boleh hipotonis,
beberapa boleh
hipertonis
• Jika larutan injeksi yang hipertonis disuntikkan, air
dalam sel akan ditarik keluar dari sel , sehingga sel
akan mengkerut, tetapi keadaan ini bersifat
sementara dan tidak akan menyebabkan rusaknya
sel tersebut.
• Jika larutan injeksi yang hipotonis disuntikkan, air
dari larutan injeksi akan diserap dan masuk ke
dalam sel, akibatnya dia akan mengembang dan
menyebabkan pecahnya sel itu dan keadaan ini
bersifat tetap. Jika yang pecah itu sel darah merah,
disebut " Haemolisa ". Pecahnya sel ini akan dibawa
aliran darah dan dapat menyumbat pembuluh
darah yang kecil.
Larutan obat suntik dikatakan isotonis jika :
1) Mempunyai tekanan osmotis sama
dengan tekanan osmotis cairan tubuh (
darah, cairan lumbal, air mata ) yang
nilainya sama dengan tekanan osmotis
larutan NaCl 0,9 % b/v.
2) Mempunyai titik beku sama dengan titik
beku cairan tubuh, yaitu - 0,520C.
Larutan injeksi dibuat isotonis terutama pada
penyuntikan :
• Subkutan : jika tidak isotonis dapat menimbulkan
rasa sakit, sel-sel sekitar penyuntikan dapat
rusak, penyerapan bahan obat tidak dapat lancar.
• Intralumbal , jika terjadi perubahan tekanan
osmotis pada cairan lumbal, dapat menimbulkan
perangsangan pada selaput otak.
• Intravena, terutama pada Infus intravena, dapat
menimbulkan haemolisa.
Macam-Macam
Cara Penyuntikan
Injeksi intrakutan ( i.k / i.c ) atau
intradermal
• Dimasukkan ke dalam kulit yang
sebenarnya, digunakan untuk diagnosa.
Volume yang disuntikkan antara 0,1 -
0,2 ml, berupa larutan atau suspensi
dalam air.
Injeksi subkutan ( s.k / s.c ) atau hipodermik
• Disuntikkan ke dalam jaringan di bawah kulit
ke dalam alveolar, volume yang disuntikkan
tidak lebih dari 1 ml.
• Umumnya larutan bersifat isotonik, pH netral,
bersifat depo (absorpsinya lambat).
• Dapat diberikan dalam jumlah besar (volume
3 - 4 liter/hari dengan penambahan enzym
hialuronidase), bila pasien tersebut tidak
dapat diberikan infus intravena.
• Cara ini disebut" Hipodermoklisa ".
Injeksi intramuskuler ( i.m )
• Disuntikkan ke dalam atau diantara lapisan
jaringan / otot.
• Injeksi dalam bentuk larutan, suspensi atau
emulsi dapat diberikan secara ini. Yang berupa
larutan dapat diserap dengan cepat, yang berupa
emulsi atau suspensi diserap lambat dengan
maksud untuk mendapatkan efek yang lama.
• Volume penyuntikan antra 4 - 20 ml, disuntikkan
perlahan-lahan untuk mencegah rasa sakit.
Injeksi intravenus ( i.v )
• Disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah vena.
Bentuknya berupa larutan, sedangkan bentuk suspensi atau
emulsi tidak boleh, sebab akan menyumbat pembuluh
darah vena tersebut.
• Dibuat isitonis, kalau terpaksa dapat sedikit hipertonis
(disuntikkannya lambat / perlahan-lahan dan tidak
mempengaruhi sel darah); volume antara 1 - 10 ml.
• Injeksi intravenus yang diberikan dalam dosis tunggal
dengan volume lebih dari 10 ml, disebut "infus intravena/
Infusi/Infundabilia".
• Infusi harus bebas pirogen dan tidak boleh mengandung
bakterisida, jernih, isotonis.
• Injeksi i.v dengan volume 15 ml atau lebih tidak boleh
mengandung bakterisida
• Injeksi i.v dengan volume 10 ml atau lebih harus
bebas pirogen.
Injeksi intraarterium ( i.a )
• Disuntikkan ke dalam pembuluh darah arteri /
perifer / tepi, volume antara 1 - 10 ml, tidak
boleh mengandung bakterisida.

Injeksi intrakor / intrakardial ( i.kd )


• Disuntikkan langsung ke dalam otot jantung
atau ventriculus, tidak boleh mengandung
bakterisida
• disuntikkan hanya dalam keadaan gawat.
Injeksi intratekal (i.t), intraspinal, intrasisternal
(i.s), intradural ( i.d ), subaraknoid.

• Disuntikkan langsung ke dalam saluran


sumsum tulang belakang pada dasar otak (
antara 3 -4 atau 5 - 6 lumbra vertebrata ) yang
ada cairan cerebrospinalnya.
• Larutan harus isotonis karena sirkulasi cairan
cerebrospinal adalah lambat
• Jaringan syaraf di daerah anatomi disini sangat
peka.
Intraartikulus
• Disuntikkan ke dalam cairan sendi di dalam
rongga sendi. Bentuk suspensi / larutan dalam
air.

Injeksi subkonjuntiva
• Disuntikkan ke dalam selaput lendir di bawah
mata. Berupa suspensi / larutan, tidak lebih
dari 1 ml.
Injeksi intraperitoneal ( i.p )
• Disuntikkan langsung ke dalam rongga perut.
Penyerapan cepat ; bahaya infeksi besar

Injeksi peridural ( p.d ), extradural, epidural


• Disuntikkan ke dalam ruang epidural, terletak
diatas durameter, lapisan penutup terluar dari
otak dan sumsum tulang belakang.
Cara Menghitung Tekanan Osmose :

• Dengan cara penurunan titik beku


(PTB)
• Dengan cara Equivalensi NaCl
• Dengan cara Derajat Disosiasi
• Dengan cara Grafik
1. PENURUNAN TITIK BEKU
(PTB)
Cara PTB dengan rumus menurut FI.
Suatu larutan dinyatakan isotonik dengan
serum atau cairan mata, jika membeku
pada suhu -0,520 C. Untuk memperoleh
larutan isotonik dapat ditambahkan NaCl
atau zat lain yang cocok yang dapat
dihitung dengan rumus :

0,52 – b1 C
Rumus-1 : B =
b2
Keterangan :
• B adalah bobot zat tambahan ( NaCl ) dalam
satuan gram untuk tiap 100 ml larutan
• 0,52 adalah titik beku cairan tubuh ( -0,520 )
• b1 adalah PTB zat berkhasiat
• C adalah konsentrasi dalam satuan % b/v zat
khasiat
• b2 adalah PTB zat tambahan ( NaCl )
Tiga jenis keadaan tekanan osmotis larutan obat :
• Keadaan Isotonis apabila nilai
B = 0 ; maka b1 C = 0,52
• Keadaan hipotonis apabila nilai
B positip ; maka b1 C < 0,52
• Keadaan hipertonis apabila nilai
B negatip ; maka b1 C > 0,52
Contoh soal :

1. Jika diketahui bahwa penurunan titik beku air


yang disebabkan oleh 1 % b/v Asam Borat
0,288 , maka kadar asam borat dalam 300 ml
larutan asam borat isotonis adalah ….
Jawab:
Diketahui: B = 0
b1 = 0, 288
Misalkan kadar asam borat (C) = X% b/v
0,52 - b1C
B=
b2
Agar isotonis, maka 0 = 0,52 - 0,288 * X
b2

0,288 X = 0,52  X = 1,805

Jadi kadar Asam Borat = 1,805 % b/v


Contoh soal :
2. Jika diketahui penurunan titik beku air yang
disebabkan oleh 1% vitamin C adalah 0,104,
maka untuk membuat 500 ml larutan vitamin
C isotonis diperlukan vitamin C sebanyak….
Contoh soal :
• R/ Methadon HCL 10 mg
mf. Isot. C. NaCl ad. 10 ml
a = 0,101 (PTB Methadon HCl)
b = 0,576 (PTB. NaCl)
Maka NaCl yang diperlukan supaya larutan
isotonis adalah ..
2. CARA EQUIVALENSI NaCl
• Yang dimaksud dengan ekivalen dari NaCl ( E )
adalah sekian gram NaCl yang memberikan efek
osmose yang sama dengan 1 gram dari suatu zat
terlarut tertentu.
• Jika E Efedrin HCl = 0,28 ;
Berarti tiap 1 gram Efedrin HCl  0,28 gram NaCl.
Jadi dapat dianalogikan sebagai berikut :
• Ex = a ; artinya tiap 1 gram zat X ~ a gram NaCl
• Ex = E ; artinya tiap 1 gram zat X ~ E gram NaCl
• Larutan isotonis NaCl 0,9 % b/v ; artinya :
tiap 100 ml NaCl ~ 0,9 gram NaCl
CONTOH :

R/ EPHEDRIN 0,5% E Ephedrin = 0,28


PANTOPON 1,0% E pantopon = 0,15
M.F.SOL.ISOT.ET NaCL AD 50 ML

PERHITUNGAN :
JUMLAH GRAM NaCL YANG EKIVALENT DENGAN RESEP DIATAS
UNTUK EPHEDRIN 0,5 x 0,28 = 0,14
UNTUK PANTOPON 1,0 x 0,15 = 0,15
--------------------------------------------------

TOTAL = 0,29 ( artinya 0,29 gram sdh isotonis)

SEDANGKAN JUMLAH NaCL YANG ISOTONIS ADALAH 0,9% b/v ATAU


0,9 g DALAM 100 ml. JADI JUMLAH NaCL YANG DIBUTUHKAN UNTUK
100 ml RESEP DIATAS :
0,9 g – 0,29 g = 0,61 – UNTUK 50 ml = 50/100 x 0,61 = 0,305 g
BILA DIGUNAKAN BUKAN NaCL , TETAPI MISALNYA ACID BORIC
DENGAN HARGA E NaCL = 0,55 , MAKA DIPERLUKAN ACID BORIC
SEBANYAK :

0,305 / 0,55g = 0,546 g

PERHITUNGAN ISOTONIS MENGGUNAKAN NILAI ENaCL DAPAT JUGA


DENGAN MENGHITUNG VOLUME ISOTONIS DARI LARUTAN OBAT
MENGGUNAKAN METODA “ WHITE – VINCENT “

V = W x E x 111,1
V = W x E x 111,1
KET. :
V = VOLUME YANG HARUS DIGUNAKAN UNTUK
MELARUTKAN ZAT SUPAYA ISOTONI DALAM ( mL )
W = BERAT ZAT DALAM ( g )
E = EQUIVALENSI NaCL BAHAN OBAT
111.1 = VOLUME 1 g NaCL YANG ISOTONIS
Contoh soal
R/ EPHEDRIN 0,5% E Ephedrin = 0,28
PANTOPON 1,0% E pantopon = 0,15
M.F.SOL.ISOT.ET NaCL AD 50 ML
Penyelesaian:
V = W x E x 111,1
V = { (0,5 x 0,28) + (1,0 x 0,15) } x 111,1
= 0,29 x 111,1
= 32,219 ml
Artinya jika senyawa tsb dilarutkan dalam 32,219 ml air,
maka larutannya akan isotonis.
Jadi sisa pelarut yg belum isotonis untuk hasil akhir 100 ml
 100 ml – 32,219 ml = 67,781 ml
Untuk hasil akhir 50 ml = 50 / 100 ml x 67,781=33,8905 ml
Jadi NaCl yang ditambahkan untuk membuat larutan
isotonis 50 ml adalah:
0,9 / 100 ml x 33,8905 = 0,305 gram.
Rumus B

B = 0,9 / 100 x V – ( W x E )

Keterangan :
B = bobot zat tambahan dalam satuan gram.
V = Volume larutan dalam satuan ml
W = bobot zat berkhasiat dalam satuan gram
E = Ekuivalensi zat aktif terhadap NaCl
• Keadaan Isotonis apabila nilai B = 0 ;
maka 0,9/100 x V = ( W x E )
• Keadaan hipotonis apabila nilai B positif;
maka 0,9/100 x V > ( W x E )
• Keadaan hipertonis apabila nilai B negatif;
maka 0,9/100 x V < ( W x E )
Contoh Soal

1) Bila 0,76 gram NaCl harus


ditambahkan ke dalam 100 ml 1
% b/v larutan Atropin Sulfat,
maka larutan Atropin Sulfat
isotonis adalah....
Diketahui:
• E Atropin sulfat = 0,900 - 0,760 = 0,140
• Volume (V) = 100 ml
• W = …..?
• Dengan rumus B jika isotonis
= 0,9/100 x 100 - ( W x E)
= 0,9/100 x 100 - ( W x 0,140)
W = 0,9/0,140= 6,43
• Jadi larutan Atropin Sulfat isotonisnya adalah
6,43 gram dalam 100 ml atau 6,43 % b/v
Contoh Soal
2) Bobot NaCl yang harus ditambahkan pada
Seng Sulfat 500 mg ( E= 0,15 ) dalam 30 ml
larutan agar larutan menjadi isotonis adalah....
Jawab :
• B = 0,9 . V - (W x E)
100
= 0,9 x 30 - (0,5 x 0,15)
100
= 0,27 - 0, 075 = 0,195
• Jadi bobot NaCl yang masih harus
ditambahkan adalah 0,195 gram
• Formula Asli : R/ injeksi vitamin C
• Rancangan Formula:
tiap ml mengandung:
As. Askorbat 25%  (PTB: 0,105)
Nat. bisulfit 0,01%  (PTB: 0,386)
Nat. EDTA 0,1%  (PTB: 0,230)
Nat. bikarbonat 4,8%  (PTB: 0,380)
Aqua pro inj ad 2 ml
Tugas:
• Master Formula:
( nama, jumlah, tgl formula, tgl produksi, no. reg, no batch)
• Kegunaan / alasan penambahan bahan
• Perhitungan bahan
• Perhitungan isotonis
• Cara kerja

Anda mungkin juga menyukai