Anda di halaman 1dari 32

SULFONAMIDA

Pendahuluan
 Sulfonamida merupakan kemoterapeutik yang pertama yg
efektif pada terapi penyakit sistemik.
 Sekarang, penggunaannya terdesak oleh kemoterapeutik
lain yg lebih efektif dan kurang toksik.
 Banyak organisme yg menjadi resisten thd sulfonamida.
 Penggunaannya meningkat kembali sejak ditemukan
kotrimoksazol yaitu kombinasi trimetoprim dengan
sulfametoksazol.
Pendahuluan

• Berbagai variasi pada radikal R pada gugus amida


(-SO2NHR) dan pada gugus amino (NH2) menyebabkan
perubahan sifat fisik, kimia, dan daya antibakteri sulfonamida.
• Kebanyakan sulfonamida tidak larut dalam air. Garam
natriumnya larut.
Aktivitas Antimikroba

• Sulfonamida mempunyai spektrum yang luas,


tapi kurang kuat dibandingkan antibiotika.
• Daya kerja umumnya bakteriostatik, tapi
pada kadar tinggi dalam urin daya kerjanya
bakterisida.
Aktivitas Antimikroba
Kuman yang sensitif terhadap sulfonamida secara
invitro adalah:
- Streptococcus pyogenes
- Streptococcus pneumoniae
- Bacillus anthracis
- Corynebacterium diphteriae
- Haemophyllus influenzae
- Vibrio cholerae
- Chlamydia trachomatis
- Beberapa Protozoa
Rentang MIC adalah 0,1 mg/ml utk C. trachomatis hingga
4-64 mg/ml utk E.coli.

Banyak galur gonococcus, stafilococcus, meningococcus,


pneumococcus, dan streptococcus yang sudah resisten.
Mekanisme Kerja
• Mekanisme kerjanya berdasarkan antagonisme
saingan (kompetitif).
• Kuman membutuhkan PABA (p-amino benzoic
acid) untuk membentuk asam folat (THFA)
• Asam folat digunakan untuk sintesis purin dan
DNA/RNA
• Sulfonamida menyaingi PABA dgn
menghambat/mengikat enzim dihidropteroat
sintase (DHPS) shg menghambat
pembentukan asam folat
• Sulfonamida menyebabkan bakteri keliru
menggunakannya sebagai pembentuk asam
folat
• Sintesis asam folat, purin, dan DNA/RNA gagal
sehingga pertumbuhan bakteri terhambat
PABA : p-aminobenzoic acid;
DHPS : Dihydropteroate synthase;
DHFR : Dihydrofolate reductase,
Mekanisme Kerja

PABA : p-aminobenzoic acid;


DHPS : Dihydropteroate synthase; DHFR : Dihydrofolate reductase,
Mekanisme Kerja

• Toksisitas selektif sulfonamida


terjadi karena sel-sel mamalia
mengambil asam folat yg didapat
dalam makanan sedangkan bakteri
kekurangan kemampuan ini dan
harus mensintesis asam folat.

• Kombinasi sulfonamida dan


trimetoprim (suatu 2,4-diamino
pyrimidine) akan menguatkan efek
antibakteri. Kombinasi ini
menyebabkan penghambatan
ganda pada pembentukan asam
folat.

PABA : p-aminobenzoic acid;


DHPS : Dihydropteroate synthase;
DHFR : Dihydrofolate reductase,
Mekanisme Kerja
• Trimetoprim menghambat dihidrofolat
reduktase (DHFR).

• Trimetoprim bersifat toksisitas selektif


karena afinitasnya thd enzim DHFR bakteri
50.000 kali lebih besar daripada
afinitasnya thd enzim DHFR manusia.

• Adanya darah, nanah, dan jaringan nekrotik


dapat menyebabkan efek antibakteri
berkurang karena kebutuhan asam folat
bakteri sudah terpenuhi dalam media yang
mengandung basa purin.
PABA : p-aminobenzoic acid;
DHPS : Dihydropteroate synthase;
DHFR : Dihydrofolate reductase,
Resistensi Bakteri
• Resistensi biasanya ireversibel tetapi tidak disertai resistensi
silang terhadap kemoterapeutik lain.

• Resistensi kemungkinan disebabkan karena:


- meningkatkan produksi PABA atau
- mengubah struktur molekul enzim yang berperan
dalam sintesis asam folat.

• Banyak galur gonococcus, stafilococcus, meningococcus,


pneumococcus, dan streptococcus yang sudah resisten.
Obat lain yang menghambat kerja sulfonamida:

• Obat lain yang mirip PABA tidak boleh diberikan


diberikan bersama sulfa karena akan meniadakan
efek sulfa.

• Contoh:
- prokain
- benzokain
- para amino salisilat
Farmakokinetik
Absorpsi:
 Secara umum absorpsi dalam sal. cerna mudah dan
cepat kecuali sulfonamida yang digunakan secara lokal
untuk infeksi usus seperti sulfamezatin, sulfadiazin, dan
sulfametoksin.
 Sebanyak 70-100% dosis oral diabsorpsi di sal. cerna.

Distribusi:
 Kadar sulfa aktif dalam urin 10 kali lebih tinggi dari pada
dalam plasma >>> Cocok untuk desinfektan saluran
kemih.
 Sulfa tersebar ke seluruh jaringan.
 Sulfa dapat melalui sawar uri sehingga dapat
menimbulkan efek antimikroba dan efek toksik pada
janin
Farmakokinetik
Metabolisme:
 Terjadi perubahan secara asetilasi dan oksidasi.
 Hasil oksidasinya menyebabkan reaksi toksik
sistemik berupa lesi di kulit dan reaksi hipersensitif.
 Hasil asetilasinya menyebabkan hilangnya aktivitas
obat.
 Bentuk asetil dari beberapa sulfa sukar larut dalam
air sehingga sering menimbulkan kristal uria dan
komplikasi ginjal lainnya.

Ekskresi:
 Hampir semua sulfa diekskresi melalui ginjal, sedikit
yang diekskresi melalui feses, empedu, dan ASI.
Klasifikasi Sulfonamida
Berdasarkan kecepatan absorpsi dan ekskresi:
Sulfonamida dengan absorpsi dan ekskresi cepat

Sulfisoksazol
 Merupakan prototip golongan ini dengan efek antibakteri kuat.
 Distribusinya hanya sampai cairan ekstrasel, sebagian terikat
pada protein plasma
 Kadar puncak dalam plasma 2-4 jam setelah dosis oral 2-4 gram.
 95% diekskresi melalui urin dalam 24 jam setelah dosis tunggal
 Kadar dalam urin jauh lebih tinggi dari kadar dalam plasma
sehingga daya kerjanya sebagai bakterisida.
 Kadar dalam SSP hanya 1/3 dari kadar darah.
 Kelarutannya dalam urin lebih tinggi daripada sulfadiazin
sehingga resiko kristal uria dan hematuria jarang terjadi.
Sulfametoksazol
 Merupakan derivat dari sulfisoksazol yang absorpsi
dan ekskresinya lebih lambat, sering dikombinasi
dengan trimetoprim.

Sulfadiazin
 Diabsorpsi cepat di sal. cerna
 Kadar maksimum dalam darah setelah 3-6 jam.
 Sukar larut dalam urin sehingga dapat timbul kristal
uria. Harus banyak minum sehingga jml urin min. 1200
ml atau ditambah Na bikarbonat.
 Untuk mencegah kristaluria dikombinasi dengan
sulfamerazin dan sulfamezatin yang disebut
trisulfapirimidin (trisulfa).
Sulfonaminda yang Sedikit Diabsorpsi

Sulfasalazin

 Absorpsi di sal. cerna sangat lambat.


 Digunakan utk terapi ulcerative colitis (ringan-
sedang) dan regional enteritis.
Sulfonamida untuk topikal
Sulfasetamid
• Adalah turunan sulfanilamida
• Larutan garamnya digunakan untuk infeksi mata

Sulfonamida kerja panjang


Sulfadoksin
• Masa kerjanya 7-9 hari.
• Digunakan untuk kombinasi dengan pirimetamin
(sulfadoksin: pirimetamin=500 mg:25 mg) untuk anti
malaria yang resisten terhadap klorokuin.
ESO
1. Kristaluria
Pemakaian sistemik dapat menimbulkan gangguan
sal. kemih karena terjadi penumpukan kristal
dalam ginjal yang menyebabkan iritasi dan
obstruksi.

Kristaluria dapat dikurangi dengan:


- penambahan basa seperti Na bikarbonat.
- minum yang banyak sehingga produksi urin
1-1,5 liter sehari
- kombinasi beberapa sulfa seperti trisulfa
yang terdiri dari sulfadiazin, sulfamerazin dan
sulfamezatin.
ESO
2. Reaksi Alergi
• Gangguan pada kulit seperti eritema, dermatitis, fotosensitivitas
, dan demam.
• Demam timbul pada hari ke 7 sampai ke 10 pengobatan
disertai sakit kepala, menggigil, rasa lemah dan erupsi kulit
yang semua bersifat reversibel.
• Hepatitis dapat terjadi pada 0,1% merupakan efek toksik atau
sensitisasi yang terjadi 3-5 hari setelah pengobatan
• Dapat berlanjut jadi atrofi kuning akut dan kematian.
• Pemberian obat pada bayi dapat menimbulkan kelainan
bilirubin.

3. Mual dan muntah: pada 2% penderita

4. Anemia hemolitik (jarang terjadi)


- Sulfadiazin menimbulkan reaksi ini 0,05%.
- Sulfadiazin menimbulkan agranulositosis 0,1%.
Interaksi Obat
- antikoagulan oral
- antidiabetik sulfonil urea
- fenitoin
INDIKASI
Penggunaannya secara topikal berkurang karena kurang
atau tidak efektif, resiko kejadian sensitisasi tinggi kecuali
pemakaian lokal Na-sulfasetamid pada infeksi mata.

a. Infeksi saluran kemih


 Bukan merupakan obat pilihan tetapi sulfisoksazol
masih efektif.
 Obat untuk infeksi sal. kemih yang lain adalah
trimetoprim-sulfametoksazol, antiseptik sal.kemih,
derivat kuinolin, dan ampisilin.
b. Disentri basiler
 Trimetoprim-sulfametoksazol masih merupakan
obat pilihan yang efektif dengan dosis 160 mg:800 mg
setiap 12 jam selama 5 hari.
INDIKASI
c. Trakhoma
• Bukan merupakan obat pilihan.
• Pemberian sulfonamida secara oral selama 3 minggu
masih efektif.
• Untuk konjungtivitis sulfasetamid 10%
topikal selama 10 hari.
d. Toksoplasmosis
• Paling baik diobati dengan pirimetamin.
• Lebih baik obat tersebut dikombinasi dengan
sulfadiazin, sulfisoksazol, atau trisulfapirimidin.
Kotrimoksazol
• Kotrimoksazol adalah kombinasi trimetoprim-
sulfametoksazol 160 mg:800 mg
• Kombinasi ini bersifat sinergik karena
menghambat pembentukan asam folat bakteri
melalui 2 tahap.
Spektrum Antimikroba
Mikroba yang peka terhadap kotrimoksazol:
- Streptococcus pneumoniae
- Corynebacterium diphtheriae
- Nisseria meningitides
- Staphylococcus aureus
- Staphylococcus epidermidis
- Streptococcus pyogenes
- Escherichia coli
- Proteus mirabilis
- Salmonella
Kedua komponen menunjukkan efek yang sinergik.
Kombinasi ini efektif walaupun mikroba sudah resisten
thd sulfonamida maupun trimetoprim.
Mekanisme Kerja
• Aktivitas antibakterinya berdasarkan atas pada dua
tahap yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk
membentuk tetrahidrofolat.
• Sulfonamida menghambat masuknya PABA ke
dalam molekul as folat dan trimetoprim
menghambat terjadinya reaksi reduksi dari
dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat.
• Tetrahidrofolat penting untuk reaksi pemindahan
satu atom C seperti pembentukan basa purin yang
penting untuk pembentukan DNA/RNA.
Resistensi Bakteri

• Frekuensi terjadinya resistensi terhadap


kotrimoksazol lebih rendah dari pada masing-
masing komponennya.
• Resistensi terhadap E. coli dan Staphylococcus
aureus meningkat.
Farmakokinetik
• Volume distribusi trimetoprim lebih tinggi 9
kali dari pada sulfametoksazol.
• Dengan dosis 1:5 ( 160 mg:800 mg) akan
mencapai rasio dalam darah yang efektif.
• Obat masuk dalam SSP dan saliva dengan
mudah.
• Diekskresi melalui urin dalam waktu 24 jam.
ESO
• Efek samping berupa reaksi pada kulit lebih
sering daripada karena sulfonamida.
• Dapat timbul defisiensi asam folat berupa
megaloblastosis, leukopenia, dan
trombositopenia.
• Ikterus terutama bagi penderita yang telah
mengalami hepatitis kolestatik alergi.
Indikasi
Infeksi saluran kemih
• Efek terapi kotrimoksazol terhadap infeksi karena
enterobacteriaceae lebih kuat daripada komponen
tunggalnya.
Infeksi saluran nafas
• Tidak dianjurkan untuk pengobatan faringitis
akibat Strep. pyogenes karena tidak membasmi
mikroba.
Indikasi
Infeksi Saluran Cerna
• Efektif untuk infeksi shigella dan tifoid.
• Kloramfenikol tetap masih merupakan obat terpilih
demam tifoid karena prevalensi resistensi S. thypii masih
rendah, namun dikhawatirkan efek toksiknya.
• Carier S. thypii dapat digunakan kotrimoksazol dg dosis
160 mg trimetoprim:800 mg sulfametoksazol 2 kali
sehari selama 3 bulan.
• Diare akut karena E. coli dapat dicegah oleh
kotrimoksazol atau trimetoprim tunggal.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai