Anda di halaman 1dari 33

GENDER DAN

PEMBANGUNAN
KESEHATAN
ANDRA VIDYARINI
GENDER DAN
PEMBANGUNAN
• Masalah gender dalam bidang kesehatan tidak hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan, karena masalah ini terkait
dengan sektor-sektor lainnya, seperti sosial ekonomi, budaya, politik, pendidikan, pertanian dan sebagainya.
• Menurut WHO, masalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dalam sektor kesehatan dapat dijumpai pada banyak
kebijakan dan program pembangunan kesehatan. Namun, hal ini oleh banyak penentu kebijakan, perencanaan program dan
penyedia pelayanan (health provider) tidak dianggap/dikenali sebagai masalah yang serius.
• Ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender ini dijumpai dalam beberapa bentuk gender inequality, yaitu perbedaan akses
pada pelayanan kesehatan antara penduduk laki-laki dan perempuan, perbedaan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan
kepada penduduk laki-laki dan perempuan, dan bias gender dalam riset medis.
• Komitmen Indonesia tentang kesetaraan dan keadilan gender dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 telah
dijabarkan dalam Program Pembangunan Nasional lima tahun (Propenas 2000-2004) dan ditetapkan sebagai Undang-
undang No. 25 tahun 2000. UU No. 25/2000 tentang Propenas 2000 - 2004 tersebut mengamanatkan tentang pentingnya
pelaksanaan strategi pengarusutamaan gender dijabarkan dalarn pembangunan. Amanat tersebut selanjutnya dituangkan ke
dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional
• Dalam perspektif gender, beberapa masalah pokok kesehatan yang mendapat prioritas dalam penanganannya, seperti Angka
Kematian Ibu (AKI) yang tinggi, pemberantasan tuberkulosis paru, malaria, HIV/AIDS, masalah gizi masyarakat dan
masalah lingkungan yang tidak sehat
• Rendahnya status kesehatan perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sebagai akibat faktor sosial budaya, misalnya, telah
berdampak pada tingginya angka kematian ibu dan besarnya berbagai masalah kesehatan perempuan lainnya

 Belum mendapat perhatian dan dianggap penting oleh pemangku kebijakan atau stake holder
Gender dan pembangunan kesehatan
• kebijakan dan program pembangunan kesehatan dilaksanakan untuk seluruh penduduk, dengan tidak membedakan sasaran
laki laki dan perempuan, kecuali program yang dirancang khusus untuk laki-laki atau perempuan.
• Ternyata dengan kebijakan dan program yang bersifat "netral gender atau buta gender" ini, sering dijumpai adanya
kesenjangan dalam pelaksanaan serta dampak yang terjadi pada penduduk laki-laki dan perempuan

 setiap penentu kebijakan dan pelaksana program pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi diharapkan dapat menerapkan pengarusutamaan gender (PUG) dengan memasukkan wawasan gender sesuai
bidang tugas dan fungsi kewenangan masing – masing
 Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional menyatakan
bahwa seluruh departemen maupun lembaga pemerintah non-departemen di pemerintah pusat, propinsi, maupun
kabupaten/kota harus melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pada
kebijakan dan program pembangunan.
Pengarusutamaan gender
• Pengarusutamaan gender merupakan strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui
kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan
perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari keseluruhan
kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
• Untuk mempercepat pengarusutamaan gender, perlu dilakukan pengembangan kapasitas SDM
kesehatan, antara lain melalui seminar gender bidang kesehatan.
• Dengan melaksanakan PUG diharapkan kesenjangan gender dan permasalahan gender yang ada dapat
diatasi ataupun di persempit jurang perbedaannya.
• Tujuan utama pengarusutamaan gender adalah tercapainya kesetaraan dan keadilan gender yang dapat
dilaksanakan antara lain melalui pemberdayaan perempuan dalam seluruh bidang pembangunan dengan
melibatkan institusi pemerintah dan organisasi masyarakat, dan menumbuhkan kesadaran kesetaraan
bagi kaum laki-laki
• Dalam mengatasi ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender  Analisis gender  dilakukan pada awal
setiap kegiatan yang akan dilakukan dan hal ini merupakan rangkaian dari upaya pengarusutamaan
gender
• Pemerintah RI melalui Bappenas (Direklorat Kependudukan, Kesejahteraan Sosial, dan Pemberdayaan
Perempuan) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, serta dengan bantuan CIDA telah
mengembangkan metode analisis yang disebut Gender Analysis Pathway (GAP)
• Metode ini menelaah apakah suatu kebijakan, program, atau kegiatan sudah responsif gender dilihat dari
data pembuka wawasan yang ada, apakah terdapat kesenjangan gender dilihat dari aspek akses,
partisipasi, kontrol dan manfaat suatu program, dan akhirnya menentukan rencana aksi untuk
mengurangi atau menghilangkan kesenjangan gender serta menetapkan indikator untuk mengukur
keberhasilan
Analisis gender dan
pembangunan kesehatan
Analisis kesenjangan gender dikembangkan melalui akses, partisipasi, kontrol dan manfaat
Sedangkan isu gender dipilih menurut peran baku (stereotip), subordinasi, marjinalisasi, pembebanan, bahkan sampai kepada
kekerasan terhadap perempuan
terdapat 4 analisis gender dan pembangunan Kesehatan, yaitu :
a. Program lingkungan sehat, perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat
b. Program upaya Kesehatan
c. Program perbaikan gizi masyarakat
d. Program kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan
PROGRAM LINGKUNGAN SEHAT, PERILAKU
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Sub Program Lingkungan Sehat, Penyehatan Air dan Sanitasi
Kesenjangan Gender
a. Akses:
1) Akses laki-laki pada penyuluhan/infomasi tentang penyehatan lingkungan dan air bersih serta untuk mendapatkan
perlindungan kesehatan, lebih banyak daripada perempuan, karena laki-laki hampir selalu dapat rnenghadiri pertemuan
dan menyaksikan media elektronik di tempat umum
2) Pendidikan formal perempuan yang rendah mengakibatkan akses yang kurang terhadap peningkatan pengetahuan dan
keterampilan dalam mewujudkan kondisi rumah serta lingkungan yang sehat
3) Perempuan dan laki-laki kurang mendapat akses pada fasilitas kesehatan lingkungan yang memadai
4) Tenaga kesehatan perempuan dan laki-laki di semua jenjang administrasi kurang mendapat akses terhadap program
penyehatan lingkungan
Sub Program Lingkungan Sehat, Penyehatan Air dan Sanitasi

b. Partisipasi:
1) Peran domestik dan peran ekonomi perempuan cenderung semakin tinggi dalam penyehatan rumah serta lingkungannya,
namun upaya perlindungan kesehatan secara umum dan kesehamn reproduksi masih kurang
2) Perempuan masih kurang dilibatkan dalam menentukan kebijakan baik dalam peran domestik maupun ekonomi, antara
lain dalam musyawarah desa untuk perencanaan air bersih
3) Partisipasi laki-laki dalam penyuluhan kesehatan lingkungan masih kurang.

c. Kontrol
1) Pengambilan keputusan di tingkat keluarga dalam urusan memperbaiki rumah dan lingkungannya, termasuk air bersih
masih didominasi laki - laki
2) Posisi perempuan untuk mendapatkan hak perlindungan kesehatan secara umum maupun kesehatan reproduksi masih
lemah
3) Perempuan kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk perencanaan program kesehatan lingkungan di semua
jenjang administrasi
4) Petugas kesehatan lingkungan 60-80% laki-laki, yang kurang memahami jumlah dan beban kerja perempuan
Sub Program Lingkungan Sehat, Penyehatan Air dan Sanitasi

d. Manfaat
1) Perempuan kurang mendapatkan manfaat dari penyuluhan/informasi tentang penyehatan lingkungan dan air bersih
2) Tersedianya air bersih sangat memberikan manfaat pada keluarga, khususnya perempuan, karena beban kerja perempuan
menjadi sangat berkurang
3) Perempuan belum merasakan manfaat perlindungan kesehatan dan kesehatan reproduksi untuk meningkatkan
produktivitas kerja.
Sub Program Lingkungan Sehat, Penyehatan Air dan Sanitasi

ISU GENDER
a. Stereotip: Urusan air, sanitasi dan kebersihan rumah di rumah tangga adalah pekerjaan domestik identik pekerjaan
peretnpuan. Perempuan lebih lama berada/berperan di rumah, sehingga lebih mudah mendapatkan resiko oleh dampak
Iingkungan rumah yang kurang sehat.
b. Subordinasi: Perempuan kurang diikutsertakan dalam musyawarah desa untuk merencanakan pembangunan lingkungan
sehat termasuk air bersih dan sanitasi.
c. Marjinalisasi: Rendahnya pendidikan perempuan di desa dan kurangnya akses terhadap penyuluhan lingkungan sehat
termasuk air bersih serta sanitasi
Sub Program Lingkungan Sehat, Penyehatan Air dan Sanitasi

ISU GENDER
d. Pembebanan :
1. Beban kerja perempuan dalam rnengangkut air dari sumbernya ke rumah di daerah sulit air sangat berat maupun
pemeliharaan rumah dan lingkungannya, akibatnya akan mengganggu kesehatan, gizi, istirahat serta reproduksi
perempuan. Maka dengan adanya air bersih di dekat rumah sangat mengurangi beban perempuan
2. Peran perempuan dalam meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat sangat besar di keluarga serta masyarakat, namun
tidak diimbangi dengan tingkat pendidikan yang mernadai dan akses pada penyuluhan kesehatan lingkungan yang cukup
3. Peran perempuan di sektor produksi pertanian, industri dan perdagangan cenderung meningkat, namun belum ada
perlindungan dan hak cuti yang memadai untuk kesehatan serta kesehatan reproduksi
4. Peran perempuan di sektor informal lebih besar daripada laki-laki, namun tidak mendapat kemudahan untuk
mendapatkan fasilitas perlindungan, keamanan, keselamatan dan kesehatan (K3) sehingga berakibat menjadi kelompok
resiko tinggi
5. Pandangan stereotip di kalangan tenaga kesehatan laki-laki pada umumnya kurang menyadari kemampuan perempuan
atau kegiatan perempuan dalam peran domestik dan peran produktif
PROGRAM UPAYA KESEHATAN
Terdapat beberapa sub program yang dilakukan terkait upaya kesehatan\
A. Sub Program Penurunan Angka Kematian Ibu melalui Making Pregnancy Safer (MPS)
B. Sub Program Pemberantasan Tuberkulosis Paru
C. Sub Program Pemberantasan Malaria
D. Sub Program Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual (PMS)
Sub Program Penurunan Angka Kematian Ibu melalui Making
Pregnancy Safer (MPS)

Kesenjangan Gender
a. Akses:
1) Pasangan Usia Subur (PUS) terutama perempuan yang tidak menginginkan anak, tidak mendapatkan pelayanan KB
yang memadai (unmet need 9%, SDKI 97)
2) Jumlah ibu hamil yang belum memanfaatkan tenaga kesehatan untuk menolong persalinannya masih besar (akses
persalinan oleh tenaga kesehatan rendah)
3) Akses informasi yang akurat untuk keluarga, terutama laki-laki, masih kurang, antara lain tentang: (a) metode
kontrasepsi ; (b) penyakit yang mengancam ibu hamil ;(c) tanda bahaya saat kehamilan, persalinan dan nifas ; (d) hak
perempuan untuk mengendalikan kesehatan reproduksi

b. Partisipasi
1) Suami, keluarga dan masyarakat masih banyak yang kurang peduli pada kesehatan ibu (stereotip)
2) Suami menganggap bahwa urusan KB adalah urusan istri. Partisipasi laki-laki dalam penyuluhan kesehatan lingkungan
masih kurang.
3) Kurang mampunya isteri meneruskan informasi kesehatan kepada suami (marginal).
4) Di tingkat keluarga, laki-laki banyak yang belum mempunyai wawasan yang benar tentang kebutuhan perempuan sesuai
dengan-tahapan siklus reproduksi termasuk pencegahan IMS, HIV/AIDS dan Hepatitis
Sub Program Penurunan Angka Kematian Ibu melalui Making Pregnancy Safer (MPS)

c. Kontrol
1) Pengambil keputusan di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kota masih belum mempertimbangkan isu gender dalam
penyusunan kebijakan serta Program.
2) Lemahnya wewenang perempuan dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan kesehatannya (marginal)
3) Rendahnya kesadaran/kepedulian tentang kesehatan dan keselamatan ibu serta bayi baru lahir

d. Manfaat
1) perempuan kurang mendapatkan manfaat dari pelayanan kesehatan yang telah tersedia
2) Perempuan tidak dapat memanfaatkan hak-hak reproduksinya
Sub Program Penurunan Angka Kematian Ibu melalui Making Pregnancy Safer (MPS)

ISU GENDER
1. Para penanggungjawab program di lapangan belum terpapar rencana strategis MPS yang sensitif gender
2. Masih terdapat ketidaksetaraan gender di tingkat individu dan keluarga:
a. Kehamilan merupakan urusan perempuan ;
b. Rendahnya peran suami dalam mendukung isteri untuk mendapatkan Pelayanan kesehatan ibu.
c. Rendahnya pengetahuan ibu tentang tanda bahaya saat kehamilan, persalinan dan nifas.
d. Rendahnya peran ibu dalam mengambil keputusan bagi kesehatan dan keselamatan dirinya (pemilihan metode
kontrasepsi, jumlah persalinan oleh dukun masih tinggi).
d. Masalah kesehatan perempuan masih dianggap kurang penting
3. Peserta KB sebagian besar adalah perempuan
4. Laki - laki menganggap KB urusan perempuan
Sub Program Pemberantasan Tuberkulosis
Paru
Kesenjangan Gender
a. Akses:
1) Akses perempuan terhadap pelayanan kesehatan kurang karena keputusan untuk memanfaatkan
pelayanan ada di tangan suami/keluarga
2) Misopportunity ibu hamil dan ibu menyusui yang menderita TB untuk mendapat pengobatan TB di unit
KIA, karena kurangnya akses terhadap informasi, khususnya mengenai kesehatan.

b. Partisipasi
1) Suami/keluarga/masyarakat kurang peduli terhadap kesehatan ibu/ perempuan.
2) Partisipasi perempuan kurang karena kurang mampu dalam menyerap dan meneruskan informasi
kesehatan kepada suami.

c. Kontrol
Ibu/perempuan tidak mempunyai cukup wewenang untuk memilih pelayanan atau menggunakan uang bagi
kesehatannya sendiri, dan sangat tergantung pada suami/laki-laki

d. Manfaat
Pelayanan untuk penderila TB kurang/tidak dimanfaatkan secara optimal oleh perempuan, termasuk ibu
hamil dan ibu menyusui
Sub Program Pemberantasan Tuberkulosis Paru

ISU GENDER
1. Penderita TB biasanya dikucilkan dalam masyarakat. Di beberapa daerah penderita laki-laki
biasanya akan dirawat oleh keluarga atau sanak saudara, tetapi penderita perempuan
dikucilkan oleh keluarga.
2. Rendahnya kedudukan perempuan dalarn keluarga mengakibatkan kurangnya gizi, beban
yang lebih berat dalam mengurus rumah tangga dan istirahat yang kurang menyebabkan
lemahnya kondisi tubuh serta bertambah beratnva penyakit TB yang diderita.
3. Ibu yang menderita TB akan meningkatkan resiko penularan yang lebih besar terhadap
anggota keluarga yang lain terutama anak.
Sub Program Pemberantasan Malaria
Kesenjangan Gender
a. Akses:
Akses perempuan terhadap pelayanan kesehatan masih rendah dibandingkan dengan laki-laki

b. Partisipasi
1) Penyuluhan masih didominasi oleh laki-laki
2) Perawatan kesehatan di keluarga dan masyarakat menjadi tanggung jawab perempuan
3) Kepedulian laki-laki/masyarakat terhadap kesehatan perempuan/ibu hamil sangat kurang

c. Kontrol
1) Keputusan penggunaan keuangan ada di tangan laki-laki
2) Keputusan untuk mendapat pelayanan kesehatan ada di tangan laki – laki

d. Manfaat
Manfaat pelayanan kesehatan dan informasi sangat kurang dirasakan oleh perempuan
Sub Program Pemberantasan Malaria

ISU GENDER
1. Kesadaran tentang peran/dampak penyakit malaria antara perempuan dan laki - laki
masih rendah
2. Daerah endemis malaria pada umumnya berada di daerah terpencil dengan keadaan
sosial ekonomi yang rendah sehingga akses terhadap pelayanan kesehatan sangat sulit,
terutama untuk perempuan
3. Pembakuan peran laki-laki di luar rumah dan pendidikan laki-laki yang lebih tinggi
daripada perempuan membuat perempuan tidak mempunyai kesempatan untuk
mendapatkan informasi tentang malaria dalam kaitannya dengan lingkungan di luar
rumah; peran perempuan adalah mengurus rumah tangga (gizi, kesehatan, kebersihan,
dan lain-lain)
4. Akibat masalah ekonomi kesehatan perempuan dikesampingkan
5. Hak dalam keputusan penggunaan uang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan ada
di tangan laki-laki sehingga perempuan sukar/tidak mendapatkan pelayanan kesehatan
6. Pembakuan peran perempuan di rumah dan laki-laki sebagai pencari nafkah
menempatkan laki-laki lebih diutamakan dalam pelayanan kesehatan
Sub Program Penanggulangan HIV/AIDS
dan Penyakit Menular Seksual (PMS)
Kesenjangan Gender
a. Akses:
1. Para pelaksana program di lapangan belum peka gender
2. Survey dan surveilans umumnya dilakukan pada kelompok berperilaku resiko tinggi pada perempuan serta laki-laki.
3. Kurangnya akses informasi pada masyarakat, terutama laki-laki tentang pentingnya pencegahan HIV/AIDS dengan
penggunaan kondom
4. Perempuan tidak dapat menolak atau mengambil keputusan untuk melindungi diri atau orang lain.
b. Partisipasi
1. Kurangnya partisipasi laki-laki dalam penggunaan kondom untuk pencegahan HIV karena kurangnya wawasan yang
benar tentang HIV dan pencegahannya
2. Peran laki-laki masih kurang dalam upaya pencegahan HIV, sehingga ada kemungkinan berakibat penularan
kepada pasangannya dan selanjutnya kepada anak yang akan dilahirkan
3. Ada anggapan atau kecenderungan bahwa perempuan adalah penyebab penularan HIV/AIDS (resiko tinggi) melalui
WPS (wanita pekerja seks)
Sub Program Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual (PMS)

c. Kontrol
1) Perempuan tidak mempunyai kemampuan/hak untuk mencegah penularan IMS - HIV.
2) Perempuan tidak ikut dalam pencegahan IMS - HIV.
3) Dampak dari penggunaan napza teman kelompok napza suntik.

d. Manfaat
1) Penyediaan kondom ada, tetapi jarang atau tidak bermanfaat/digunakan
Sub Program Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual (PMS)

ISU GENDER
1. Laki-laki tidak dianggap dapat menularkan IMS – HIV
2. Perempuan baik-baik sering dianggap tidak akan tertular IMS - HIV (diskriminasi)
3. Ibu rumah tangga belum terdeteksi HIV
4. Laki - laki dan perempuan yang berperilaku resiko tinggi sangat rendah kemauan dan
tanggung jawabnya untuk mencegah penyebaran IMS-HIV.
Program Perbaikan Gizi Masyarakat
• Isu Pokok :
Penyediaan makanan yang bergizi lebih diutamakan kepada bapak dan anak laki-laki daripada ibu
dan anak perempuan

• Kebijakan Program :
Penyusunan kebijakan program kesehatan yang telah dilakukan pada umumnya bersifat netral
gender dengan asumsi penanggulangan masalah kesehatan harus berdampak sama baik untuk
perempuan maupun laki-laki. Program kesehatan perlu dilakukan secara adekuat sesuai dengan
permasalahan yang dihadapi berdasarkan spesifik gender. Dengan demikian data yang
dikumpulkan harus dipisahkan antara laki-laki dan perempuan, menurut kelompok umur, dan
tingkat sosial ekonomi

• Program Perbaikan Gizi Masyarakat bertujuan untuk meningkatkan intelektualitas dan produktivitas
SDM melalui:
a. Peningkatan kemandirian keluarga dalam upaya perbaikan status gizi
b. Peningkatan pelayanan gizi untuk mencapai keadaan gizi yang baik dengan menurunkan
prevalensi gizi kurang dan gizi lebih
c. Peningkatan penganekaragaman konsumsi pangan bermutu untuk memantapkan ketahanan
pangan tingkat rumah tangga.
Program Perbaikan Gizi Masyarakat

Kesenjangan Gender
• Pendidikan merupakan akar masalah terjadinya kesenjangan gender dalam perbaikan gizi.
• Rendahnya pendidikan akan berdampak pada berbagai masalah kesehatan dan gizi.
• Lebih rendahnya pendidikan perempuan dari laki-laki akan mengurangi kesempatan perempuan
dalam mendapat penghasilan, berpengaruh pada pola asuh, dan tingginya ketergantungan pada
laki-laki atau rendahnya kemandirian perempuan untuk rnengambil keputusan.

a. Akses
1. Pendidikan diprioritaskan pada laki-laki, sementara akses informasi tentang gizi/ penyuluhan
gizi masih diprioritaskan pada perempuan
2. Informasi tentang gizi dan pola pengasuhan anak tidak mudah diperoleh untuk laki-laki,
sehingga pengetahuan serta tanggung jawab gizi keluarga tidak seimbang antara perempuan
dan laki-laki
3. Kesempatan kerja laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, sehingga pendapatan keluarga
sangat tergantung pada laki-laki
4. Akses dan pelayanan gizi masih memprioritaskan perempuan. Laki-laki kurang memperoleh
akses terhadap informasi perencanaan makanan di rumah tangga.
Program Perbaikan Gizi Masyarakat

Kesenjangan Gender
b. Partisipasi
1. Laki-laki kurang peduli/kurang berperan aktif dalam: (a) Ketersediaan/pengadaan pangan di
rumah tangga. (b) Pola pengasuhan anak dalam keluarga
2. Partisipasi perempuan masih lebih dominan daripada laki-laki, baik dalam hal tenaga (tenaga
gizi, kader, PKK), maupun pemanfaatan pelayanan gizi (misalnya Posyandu)

c. Kontrol
1. Keputusan ketersediaan/pengadaan pangan di rumah tangga sangat tergantung pada laki-laki,
sementara peran domestik rumah tangga didominasi oleh perempuan, sehingga sering terjadi
ketidakseimbangan dalam mencapai kemandirian perbaikan gizi keluarga
2. Pelayanan/intervensi gizi lebih dikondisikan pada perempuan/ ibu dan balitanya
3. Perencanaan dan penyediaan makanan di rumah tangga sebagian besar oleh perempuan,
yang seharusnya dilakukan bersama-sama (laki-laki dan perempuan) agar ada keseimbangan
tentang pentingnya penganekaragaman konsumsi di rumah tangga.
Program Perbaikan Gizi Masyarakat

Kesenjangan Gender
d. Manfaat
1. Kemandirian perbaikan gizi keluarga sulit tercapai, jika: (a) Tingkat pendidikan perempuan
masih rendah. (b) Pola pengasuhan anak sepenuhnya dilakukan oleh perempuan. (c) Laki-laki
masih kurang merasakan manfaat program perbaikan gizi keluarga
2. Laki-laki kurang terpapar dengan manfaat dari kegiatan pelayanan gizi
3. Beban perempuan dalam penganekaragaman makanan di keluarga menjadi ringan jika ada
partisipasi laki-laki (kepala rumah tangga).
Program Perbaikan Gizi Masyarakat

Isu Gender
a. Selain dampak dari rendahnya tingkat pendidikan, banyak hal lain yang belum terungkap (belum
memiliki data/informasi) tentang kesenjangan gender
b. Antara lain tekanan budaya yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan gender, mengingat
budaya dan variasi di Indonesia sangat berbeda antar kabupaten
c. Masalah kekerasan kaum perempuan yang berakibat pada tingginya angka kesakitan dan
kematian. Masih belum diketahui apakah tingginya angka kematian ibu ada pengaruhnya dari
tidak bisanya ibu menolak untuk tidak menambah jumlah anak yang dilahirkan
d. Masalah lain tentang tidak seimbangnya perlakuan atau akses perempuan pelayanan kesehatan:
1. Peran laki-laki dalam kemandirian perbaikan gizi keluarga lebih rendah dibanding perempuan
2. Rendahnya tingkat pendidikan perempuan
3. Kurangnya kesempatan perempuan dalam mendapatkan penghasilan
4. Laki-laki belum secara serius menjadi target intervensi gizi
5. Akses pelayanan gizi selalu lebih memprioritaskan perempuan daripada laki-laki
6. Laki-laki tidak/kurang berkontribusi dalam perencanaan dan penyediaan makanan dalam keluarga.
Program Perbaikan Gizi Masyarakat

Indikator Keberhasilan Pembangunan


a. Jumlah keluarga mandiri sadar gizi meningkat
b. Membaiknya keadaan gizi: (1) Prevalensi gizi kurang pada balita menurun menjadi 22%. (2)Prevalensi
BBLR menurun menjadi 11%. (3) Prevalensi BB terhadap TB kurang dari normal pada anak sekolah
menurun menjadi 30%. (4) Prevalensi KEK pada WUS menurun menjadi 20%
c. Prevalensi Gondok pada anak sekolah menurun menjadi 6,5% dan jumlah rumah tangga yang
mengkonsumsi garam yodium secara adekuat (> 30 ppm) meningkat menjadi 70%
d. Cakupan pemberian sirup dan tablet besi meningkat serta prevalensi AGB pada ibu hamil menurun
menjadi 45%
e. Cakupan kapsul Vitamin A pada balita perempuan dan laki-laki meningkat serta prevalensi KVA pada balita
dan ibu hamil menurun
f. Cakupan pemberian ASI eksklusif (0 - 6 bulan) meningkat
g. Cakupan pemberian MP-ASI pada bayi mulai usia 6 bulan, meningkat
h. Meningkatnya jumlah tenaga gizi yang terlatih
i. Tersedianya data gizi yang terpilah menurut jenis kelamin
j. Meningkatnya jumlah institusi yang menyelenggarakan pelayanan gizi sesuai standar dan regulasi
k. Terlaksananya perbaikan gizi darurat
Program Kebijakan dan Manajemen Pembangunan
Kesehatan
Sub Program Sistem Informasi Kesehatan
Sistem Informasi Kesehatan (SIK) dikembangkan terutama untuk mendukung manajemen
kesehatan. Dalam rangka desentralisasi, upaya pencapaian visi Indonesia Sehat ditentukan oleh
upaya pencapaian Kecamatan Sehat, Kabupaten/Kota Sehat dan Propinsi Sehat

►Kesenjangan Gender
Pada umumnya laki-laki mendapat akses lebih baik tentang kebijakan informasi daripada
perempuan. Data yang dikumpulkan pada umumnya belum terpilah menurut jenis kelamin. Data
yang sudah terpilah laki-laki dan perempuan untuk jangka pendek didapat dari pokja-pokja
seperti Pokja Gerdunas TB, Gebrak Malaria atau HIV/AIDS.
Program Kebijakan dan Manajemen Pembangunan Kesehatan
Sub Program Sistem Informasi Kesehatan

Isu Gender
a. Para penanggungjawab program belum terpapar dengan isu gender sehingga menjadi
halangan dalam pengelolaan data dan informasi dalam semua tingkat administrasi
b. Pada tingkat Puskesmas yang merupakan ujung tombak pengumpulan data sebenarnya data
yang dikumpulkan sudah berdasarkan jenis kelamin. Namun pada saat dikompilasi di tingkat
kabupaten data tersebut disatukan dan tidak terpilah menurut jenis kelamin, sehingga pada
waktu dikirim ke propinsi data sudah tidak terpilah antara laki-laki dan perempuan

► Indikator
c. Tersusunnya pedoman pengelolaan data yang terpilah berdasarkan jenis kelamin sebagai
acuan bagi para pengelola data di semua tingkat administrasi
d. Tersusunnya revisi pedoman penyusunan profil kesehatan propinsi dan kabupaten/kota menjadi
terpilah berdasarkan jenis kelamin
Program Kebijakan dan Manajemen Pembangunan Kesehatan
Sub Program Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Sub Program Sistem Informasi Kesehatan


Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dilakukan, dan dikoordinasi oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) yang terkait dengan program termasuk yang
terkait dengan gender, walaupun pada pelaksanaannya dapat dilakukan oleh instansi lain

• Kesenjangan Gender
Penelitian dan pengembangan kesehatan yang terkait dengan program dan gender telah banyak
dilakukan antara lingkungan sehat serta upaya kesehatan
• Isu Gender
Para pelaksana penelitian dan pengembangan kesehatan belum secara jelas terpapar dengan
isu gender, namun selama ini gender sudah merupakan subyek dan obyek penelitian.
• Indikator
a. Jumlah tenaga peneliti tentang program-program yang responsif gender meningkat
b. Jumlah penelitian tentang program-program yang responsive gender meningkat
TERIMA KASIH

CREDITS: This presentation template was created by Slidesgo, including icons


by Flaticon, infographics & images by Freepik and illustrations by Stories

Anda mungkin juga menyukai