Anda di halaman 1dari 15

Peran tenaga kesehatan dalam

bencana
 Peran tenaga kesehatan dalam fase Pra Disaster adalah:
a. Tenaga kesehatan mengikuti pelatihan dan pendidikan yang
berhubungan dengan penanggulangan ancaman bencana untuk
tiap fasenya.
Pra disaster b. Tenaga kesehatan ikut terlibat dalam berbagai dinas
pemerintah, organisasi lingkungan, palang merah nasional,
maupun lembagalembaga kemasyarakatan dalam
memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi
bencana kepada masyarakat
c. Tenaga kesehatan terlibat dalam program promosi kesehatan
untuk meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi
bencana yang meliputi hal-hal berikut ini:
1. Usaha pertolongan diri sendiri ketika ada bencana
2. Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong
anggota keluarga yang lain
3. Tenaga kesehatan dapat memberikan beberapa alamat dan nomor
telepon darurat seperti dinas kebakaran, rumah sakit dan ambulance
 Tahapan Bencana (Impact)
Pada tahap serangan atau terjadinya bencana (Impact phase),
waktunya bisa terjadi beberapa detik sampai beberapa
Tahap Bencana minggu atau bahkan bulan.
Tahap serangan dimulai saat bencana menyerang sampai
serang berhenti.
Peran tenaga kesehatan pada fase Impact adalah
a. Bertindak cepat
b. Do not promise, tenaga kesehatan seharusnya tidak
menjanjikan apapun secara pasti dengan maksud
memberikan harapan yang besar pada korban selamat
c. Berkonsentrasi penuh terhadap apa yang dilakukan
(sesuai peran)
d. Koordinasi dan menciptakan kepemimpinan untuk
setiap kelompok yang menanggulangi terjadinya
bencana
Peran tenaga kesehatan ketika fase a. Membantu penanganan dan
emergency adalah : penempatan pasien dengan
Tahapan a. Memfasilitasi jadwal kunjungan
penyakit menular maupun
kondisi kejiwaan labil hingga
konsultasi medis dan cek
Emergency kesehatan sehari-hari
membahayakan diri dan
lingkungannya.
b. Tetap menyusun rencana
b. Mengidentifikasi reaksi
prioritas asuhan ketenaga
psikologis yang muncul pada
Tahap emergensi dimulai sejak berakhirnya kesehatan harian
korban (ansietas, depresi yang
serangan bencana yang pertama. c. Merencanakan dan memfasilitasi ditunjukkan dengan seringnya
transfer pasien yang menangis dan mengisolasi diri)
Pada tahap emergensi ini, korban memerlukan penanganan maupun reaksi psikosomatik
memerlukan bantu-an dari tenaga medis kesehatan di RS (hilang nafsu makan, insomnia,
spesialis, tenaga kesehatan gawat darurat, fatigue, mual muntah, dan
d. Mengevaluasi kebutuhan kelemahan otot)
awam khusus yang terampil dan kesehatan harian
tersertifikasi. c. Membantu terapi kejiwaan
e. Memeriksa dan mengatur korban khususnya anak-anak,
persediaan obat, makanan, dapat dilakukan dengan
makanan khusus bayi, peralatan memodifikasi lingkungan misal
kesehatan dengan terapi bermain.
d. Memfasilitasi konseling dan
terapi kejiwaan lainnya oleh
para psikolog dan psikiater
e. Konsultasikan bersama supervisi
setempat mengenai pemeriksaan
kesehatan dan kebutuhan
 Peran tenaga kesehatan pada fase
rekonstruksi adalah:

Fase rekrontuksi a. Memfasilitasi tenaga kesehatanan pada pasien


post traumatic stress disorder(PTSD)

Pada tahap ini mulai dibangun tempat tinggal b. tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi
sarana umum lain yang terkait bekerjasama dengan unsur
lintas sector menangani masalah kesehatan
masyarakat pasca gawat darurat serta
mempercepat fase pemulihan (Recovery)
menuju keadaan sehat dan aman
Penanganan Kesehatan Jiwa
PADA MASA BENCANA
Intervensi sosial dini yang berharga, mencakup :
1. menjamin dan menyebarkan arus informasi yang kredibel.
Fase kedaruratan akut informasi harus sederhana dan empatik

2. mengorganisasi pelacakan keluarga untuk anak yang


 Selama Fase kedaruratan akut dianjurkan sendirian, lansia dan kolompok rentan lain
untuk melakukan intervensi sosial yang
tidak mengganggu kebutuhan akut, 3. memberikan pengarahan kepada petugas lapangan dari
(seperti pengadaan makanan, tempat sector kesehatan, distribusi pangan, kesejahteraan sosial dan
berlindung, pakaian, pelayanan puskesmas pendataan tentang hal‐hal yang menyangkut berkabung,
dan mungkin penanggulangan penyakit disorientasi dan kebutuhan untuk partisipasi aktif;
menular.)
4) mengorganisasi penampungan agar anggota keluarga dan
masyarakat tetap berkumpul bersama;

5) berkonsultasi kepada masyarakat mengenai keputusan


dimana akan ditempatkan sarana ibadah, sekolah dan suplai
air di penampungan. menyediakan ruang untuk kegiatan
agama, rekreasi dan kebudayaan dalam desain kamp;
6) jika dimungkinkan, tidak dianjurkan untuk penguburan jenazah tanpa
upacara. Mereka yang berkabung perlu untuk mengadakan upacara
pemakaman dan melihat jenazah untuk mengucapkan selamat jalan.

7) mendorong kembali dilakukannya aktifitas budaya dan keagamaan yang


normal (termasuk upacara berkabung dalam kerja sama dengan praktisi
spiritual dan agama);

8) menfasilitasi masuknya yatim‐piatu, janda ‐ duda atau orang yang


sebatang kara kedalam jejaring social;

9) mendorong pengorganisasian aktivitas rekreasional normal untuk anak‐


anak. penyedia bantuan harus berhati‐hati untuk tidak memberikan
keperluan rekreasi (misalnya seragam sepak bola, mainan modern) yang
dianggap mewah dalam konteks lokal sebelum kedaruratan;
10) mendorong dimulainya sekolah untuk anak‐anak, meskipun tidak
penuh;
11) melibatkan orang dewasa dan remaja dalam kegiatan yang konkret,
bertujuan dan diminati bersama.
12) menyebarkan secara luas informasi yang sederhana, menenteramkan
dan empatik tentang reaksi stress normal kepada masyarakat luas.
 Membuat kontak dengan puskesmas atau pelayanan darurat di
area setempat. Menangani keluhan psikiatrik yang mendesak di
Intervensi psikologik puskesmas, Menjaga ketersediaan obat psikotropik esensial di
Puskesmas.
dalam fase akut
 Kebanyakan masalah kesehatan mental akut selama fase
kedaruratan akut paling baik ditangani tanpa medikasi dengan
mengikuti prinsip “pertolongan pertama psikologik” (yaitu,
mendengarkan, menyatakan keprihatinan,, menjaga terpenuhinya
kebutuhan fisik dasar dan tidak memaksa berbicara, menyediakan
atau mengerahkan pendamping dari keluarga atau orang yang
dekat, mendorong tetapi tidak memaksakan dukungan social,
melindungi dari cedera lebih lanjut

 tidak dianjurkan untuk memaksa orang untuk berbagi pengalaman


pribadi melebihi yang akan dilakukan secara alami.
saran tentang aktivitas intervensi sosial :
 melanjutkan intervensi sosial yang relevan
Fase rekonsiliasi-  mengorganisasi kegiatan psikoedukasi yang menjangkau
rekonsilidasi ke masyarakat untuk memberi edukasi tentang
ketersediaan pilihan pelayanan kesehatan mental.
dilakukan tidak lebih awal dari empat minggu setelah fase
akut
 mendorong dilakukannya cara coping yang positif
 jika kemiskinan adalah masalah yang berlanjut, dorong
upaya pemulihan ekonomi
 Melatih dan mensupervisi petugas pelayanan kesehatan
dasar dalam pengetahuan dan ketrampilan dasar kesehatan
jiwa
 Menjamin kesinambungan medikasi pasien psikiatrik
yang mungkin tidak mempunyai akses
 Melatih petugas kemanusiaan lain dan pemuka
masyarakat (misalnya kepala desa, guru dll.) dalam
ketrampilan inti perawatan psikologik
 Respons dari orang‐orang yang terkena bencana dibagi
atas 3 kategori utama:

Jenis respon
 (1) respon psikologis normal, tidak membutuhkan
psikologis intevensi khusus;
korban bencana  (2) respon psikologis disebabkan distres atau disfungsi
sesaat, membutuhkan bantuan pertama psikososial
(psychological first aid);
 (3) distress atau disfungsi berat yang membutuhkan
bantuan profesi kesehatan jiwa
reaksi segera ( dalam 24 jam)
 tegang, cemas dan panik;
 kaget, linglung, syok, tidak percaya;
 gelisah, bingung;
Reaksi psikologis yang timbul  agitasi, menangis, menarik diri;
pada masyarakat yang  rasa bersalah pada korban yang selamat.
tertimpa bencana, antara lain:
tampak hampir pada setiap orang di daerah bencana dan ini
dipertimbangkan sebagai reaksi alamiah pada situasi
abnormal, TIDAK membutuhkan intervensi psikologis
khusus
reaksi terjadi dalam hari sampai minggu setelah
bencana;
(1) ketakutan, waspada, siaga berlebihan;
(2) mudah tersinggung, marah, tidak bisa tidur;

Reaksi psikologis yang timbul (3) khawatir, sangat sedih

pada masyarakat yang (4) Flashbacks berulang (ingatan terhadap peristiwa yang
selalu datang berulang dalam pikiran
tertimpa bencana, antara lain: (5) Menangis, rasa bersalah
(6) Kesedihan
(7) Reaksi positif termasuk pikiran terhadap masa depan;
(8) Menerima bencana sebagai suatu Takdir.
Semua itu adalah reaksi alamiah Dan HANYA
membutuhkan intervensi psikososial
terjadi kira‐kira 3 minggu setelah bencana; Reaksi yang
sebelumnya ada dapat menetap dengan gejala seperti:  
(1) gelisah;
(2) perasaan panik;

Reaksi psikologis yang timbul (3) kesedihan yang mendalam dan berlanjut, pikiran
pesimistik yang tidak realistik;
pada masyarakat yang (4) tidak melakukan aktivitas keluar, isolasi, perilaku
tertimpa bencana, antara lain: menarik diri;
(5) ansietas atau kecemasan dengan manifestasi gejala
fiisk seperti palpitasi, pusing, mual, lelah, sakit
kepala.
Reaksi ini TIDAK PERLU diperhitungkan sebagai
gangguan jiwa. Gejala ini dapat diatasi oleh tokoh
masyarakat yang telah dilatih agar mampu memberikan
intervensi psikologik dasar.
 Coping skills yang SEHAT, antara lain:
(1) kemampuan untuk menghadapi sendiri masalah dengan
cepat;
Coping skills (2) tepat dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan;  
(3) tepat menggunakan bantuan;
(4) tepat mengekpresikan emosi yang menyakitkan;
(5) toleransi terhadap ketidak jelasan tanpa memilih
perilaku agresif.

Anda mungkin juga menyukai