MENTAATI HUKUM INDONESIA DENGAN ALLAH HUKUM NASIONAL
BERUPAYA : (1) IDENTIFIKASI ASAS HUKUM
DI BIDANG MUAMALAH DALAM QURAN & SUNNAH; (2) BERJUANG AGAR ASAS HUKUM DIMAKSUD TERECEPSI KE DALAM POLITIK HUKUM INDONESIA Ada sejumlah faktor pendorong untuk menjadikan Hukum Islam sebagai sumber hukum bagi pembangunan hukum nasional. Faktor dimaksud yang sekaligus menjadi bahan pertimbangan, yaitu : Teoritis-Akademis = ada logika hukum dan pandangan para ahli baik di bidang hukum maupun bidang terkait : Hukum Islam yang bersumber dari Quran dan Sunnah mengatur secara komprehensif bidang muamalah dan sifat pengaturannya berada pada tingkatan asas hukum sehingga terbuka untuk dijabarkan lebih ke dalam norma hukum yang kongkret. Kajian Antropologi Hukum dan Sosiologi Hukum mengemukkan bahwa sumber pembentukan hukum yang baik adalah budaya hukum atau nilai sosial yang dihayati oleh warga bangsa. Quran dan Sunnah yang diyakini dan bahkan dihayati oleh sebagian besar bangsa Indonesia mengandung nilai sosial yaitu standar perilaku benar-salah, baik-buruk, pantas-tidak pantas, dan adil-tidak adil. Nilai sosial dalam kedua sumber hukum tersebut menuntut adanya derivasi ke dalam Asas hukum Proses derivasi dari nilai sosial dalam Quran & Sunnah ke dalam Asas Hukum yang kemudian penjabarannya ke dalam norma hukum kongkret menuntut ”Ijtihadiyah”. Filosofis = ada Pancasila yang berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum dan di dalamnya terkandung nilai sosial untuk dijabarkan ke dalam Asas Hukum. Nilai sosial dalam Pancasila mengandung kesejalanan dengan nilai sosial dalam Quran & Sunnah : Di antara sifat-sifat Allah (Sila Ketuhanan YME) yang terkandung dalam Asmaul Husna dapat menjadi sumber nilai sosial seperti Rahmaan, Rahiim, Salaam, Mukmin, Muhaimin, Hakam, hakiim, Ghaffaar, Ghafur, Hakam, ’Ad-lu, dll, yang sangat fungsional untuk membangun hukum; Quran & Sunnah mengandung ajaran yang berkorelasi dengan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan bersama sebagai inti dari Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; Quran & Sunnah juga sangat menekankan pentingnya ikatan persaudaraan antarMuslim, antarkomponen Bangsa yang berbeda dalam berbagai aspek, dan antarsesama manusia sebagai inti dari Sila Persatuan Indonesia; Quran & Sunnah juga menekankan peranan musyawarah dan pemberian maaf dalam menyelesaikan persoalan bersama sebagai inti dari Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Pewakilan; Quran & Sunnah juga menuntut terciptanya keadilan bagi semua orang dan kelompok dalam berbagai aspek kehidupan sebagai inti dari Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sosiologis = kenyataan bahwa : Sebagian besar warga bangsa Indonesia adalah Muslim yang tentunya mempunyai ketundukan pada ajaran yang terkandung dalam Quran & Sunnah sebagai sumber hukum Dalam kehidupan bangsa Indonesia yang Muslim sudah terdapat recepsi atau penyerapan ajaran Quran & Sunnah ke dalam hidup keseharian sebagaimana tercermin dalam Asas : Adat Bersendi Syara dan Syara Bersendi Quran & Sunnah serta sifat religio-magis hukum adat yang tentunya bersumber dari Quran & Sunnah Yuridid-Konstitusional = Hukum Negara yang dibangun dan juga akan mengikat warga negara yang muslim tentu : Hukum Negara sangat dituntut mengandung kesejalanan atau konsistensi dengan nilai sosial dan asas-asas hukum yang terkandung dalam Quran & Sunnah; Tuntutan konsistensi antara hukum negara dengan Quran & Sunnah didasarkan pada asas hukum dalam Quran yang memerintahkan untuk berhukum pada hukum yang bersumber dari Allah sebagaimana diwahyukan dalam Surah Al-Maidah (5) : 44-45 & 47-48; Dengan adanya konsistensi dimaksud, umat Islam di samping tetap melaksanakan kepatuhannya kepada Quran & Sunnah dan sekaligus menunjukkan dirinya sebagai bagian dari Bangsa Indonesia.
Upaya Menempatkan Hukum Islam Sebagai Sumber Hukum Nasional
Ada beberapa tingkatan upaya yang wajib ditempuh & ini bagian dari Jihaadu Fii Sabiilillah yaitu identifikasi dan membukukan asas hukum dalam Quran & Sunnah yang terkait dengan semua bidang muamalah serta memperjuangkan asas hukum dimaksud menjadi sumber bagi pembangunan politik hukum Indonesia. Upaya identifikasi & pembukuan Asas Hukum dalam Quran & Sunnah dibedakan ke dalam : Asas Hukum yang bersifat umum yaitu asas yang dapat berlaku bagi semua bidang muamalah, di antaranya : o Asas Keadilan Keadilan yang bersumber dari salah satu sifat Asmaul Husnanya Allah, dalam Quran secara umum dapat dimaknai : menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Dalam penjabarannya, keadilan ditemui dalam berbagai makna : • Keadilan Komutatif = memberikan perlakuan atau hak yang sama kepada semua orang secara proporsional tanpa memperdulikan ada tidaknya hubungan sosial & emosional. Hal ini tercermin dari ayat 135 Surah An Nisa’ dan ayat 8 Surah Al Maidah yang memerintahkan berbuat adil kepada siapapun bahkan kepada musuh atau orang yang kita benci sekalipun • Keadilan distributif = memberikan perlakuan atau hak kepada setiap orang sesuai dengan prestasi yang diperoleh atau jasa yang dikontribusikan secara ikhlas bagi kepentingan masyarakat. Hal ini tercermin dari beberapa ayat Quran, yang di antaranya dalam ayat 39 – 42 Surat An Najm yang pada intinya bahwa orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan upaya dan ikhtiar yang dilakukan atau dengan kata lain : Allah akan memberikan sesuatu atau imbalan yang lebih kepada orang yang upaya & ikhtiarnya lebih dibandingkan orang lain • Keadilan Korektif = memberikan perlakuan atau hak kepada kelompok orang yang tidak mampu secara sosial & ekonomi. Hal ini di antaranya tercermin dalam ayat 19 Surah Adz Dzariyat, ayat 24-24 Surah Al Ma’arij, ayat 26 Surah Al Isra, ayat 14 Surah Al An’am, yang di dalamnya ditentukan dua macam hak : (1) hak yang bersifat permanen dari pembayaran zakat orang-orang kaya; (2) hak yang bersifat tidak permanen dari infak-shadaqah masyarakat • Keadilan Restoratif = memberikan hak kepada orang-orang yang terlibat perselisihan atau dalam perbuatan pidana tertentu untuk menyelesaikan melalui proses musyawarah. Hal ini tercermin, yang di antaranya tercermin dalam : (1) ayat 233 Surah Al Baqarah, ayat 159 Surah Ali Imran, dan ayat 38 Surah Syura untuk hubungan hukum atau konflik keperdataan; (2) ayat 178 Surah Al Baqarah dan ayat 45 Surah Al Maidah untuk tindak pidana tertentu o Asas Keseimbangan Asas ini bermakna kemampuan untuk menjaga & mempertahankan suatu kondisi stabil di antara dua hal yang saling bertentangan karena Allah menciptakan segala sesuatunya dalam pasang- pasangan. Dalam Quran, Asas Keseimbangan dengan perintah yang mewajibkan untuk menjaga & mempertahankan di antaranya terdapat dalam : • Ayat 77 Surah Al Qashash : yang mendorong manusia untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat • Ayat 3 & 5 Surah Al Mulk : penciptaan langit dengan bintang-bintang sebagai hiasannya dalam keseimbangan • Ayat 3-4 Surah Ar Ara’di : penciptaan bumi dengan gunung-gunung, sungai-sungai, serta tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan secara berpasangan dalam keseimbangan • Ayat 3-12 Surah Ar Rahman : penciptaan manusia, langit, bumi dengan segala pohon- pohonan di atasnya dalam keseimbangan serta perintah agar manusia sebagai khalifah di dunia menjaga keseimbangan tersebut dan tidak merusaknya. o Asas Keberagaman Dalam Ikatan Persaudaraan/Kesatuan Asas ini bermakna adanya penghormatan terhadap keberagaman manusia dalam berbagai aspek namun tetap dituntut untuk hidup secara harmonis dan damai di antara manusia yang beragam serta dengan saling menghormati di antara keberagaman akan menciptakan ikatan persaudaraan sesama manusia. • Asas ini tercermin di antaranya : Ayat 13 Surah Al Hujurat bahwa Allah menciptakan manusia dalam keberagaman bangsa dan suku, bahkan keberagaman bahasa dan warna kulit ( ayat 22 Surah Ar Rum), serta pilihan agama (ayat 256 Surat Al Baqarah & Surah Al Kaafirun) meskipun agama yang benar itu Islam. Namun tujuan dari keberagaman tersebut adalah tercipta Lita ’aarafuu yaitu saling memahami dan saling menghormati sehingga tercipta ikatan persaudaraan antar manusia Ayat 36 Surah An Nisa yang di antaranya menuntut kita untuk berbuat baik kepada sesama manusia baik sesama muslim (Jaaridil Qurba) maupun yang non muslim (wal Jaaril Junub) • Dalam konteks pembangunan hukum, asas ini memberikan dasar akan adanya perbedaan hukum yang berlaku bagi kelompok-kelompok masyarakat yang beragam atau majemuk jika perbedaan hukum itu memang dibutuhkan untuk terciptanya ikatan persaudaraan di atara sesama manusia yang berbeda tersebut. Asas Hukum Islam Pada Bidang Pertanahan (Muamalah) Ada sejumlah pertanyaan akademis : apakah Hukum Islam mengenal sejumlah asas hukum pertanahan sebagaimana dikenal dalam Hukum Nasional atau adakah kesesuaian antara asas hukum yang ada dalam Hukum Nasional dengan Hukum Islam?? Jawaban atas pertanyaan ini sangat tergantung pada kemampuan para akademisi untuk mengidentifikasi ayat-ayat Quran dan Sunnah Nabi melalui akal-logika yang kita miliki. Namun fakta normatif yang jelas bahwa sebagian besar ayat-ayat Quran terkait dengan muamalah khususnya pertanahan bersifat Qully atau umum sehingga tergantung kemampuan akal-logika para akademisi untuk memaknai dan menjabarkan termasuk jabaran yang dilakukan Nabi melalui Sunnah. Di antara asas hukum dimaksud : o Penempatan Hak Bangsa sebagai hak yang paling tinggi • Jika merujuk pada Ayat 128 Surah Al A’raf dan Ayat 13 Surah Al Hujurat, maka logika yang dapat dibangun : (1) Allah sebagai Pencipta Bumi termasuk langit beserta isinya adalah Pemilik Tunggal dan kemudian Allah mempusakakan/mewariskan bumi kepada manusia sesuai dengan kehendakNya; (2) Allah menciptakan manusia dalam kelompok-kelompok bangsa dan suku & dapatkah dinyatakan bahwa kelompok manusia dalam berbagai bangsa sebagai penerima warisan bumi dari Allah ; (3) jika demikian, dapatkah dinyatakan bahwa Quran mengakui adanya Hak bangsa atas bumi • Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai dasar hukum pertanahan menyatakan adanya Hak Bangsa yang dilekatkan kepada Allah yaitu : (1) bumi Indonesia yang menjadi obyek Hak Bangsa berasal dari anugerah-warisan Allah kepada bangsa Indonesia: (2) pelekatan sifat abadi Allah pada Hak Bangsa namun dalam makna abadi yang relatif o Pelabelan Hak Menguasai Negara dalam hubungan antara Negara dengan Bumi • Dengan merujuk pada praktik pemerintahan Nabi dan Khalafaur Rasyidin sebagai pemimpin Negara berkenaan tanah yang ada dalam wilayah kekuasaan Islam baik yang diperoleh melalui peperangan maupun melalui perdamaian dan dakwah, Ahmad Syafii (2021, Penguasaan, Pemilikan Dan Konsep At-ta’mīm: Diskursus Agraria Dalam Perspektif Modern Hukum Islam, Ringkasan Disertasi, halaman 111-118) menyatakan bahwa dalam hukum Islam : (1) bumi sebagai kepunyaan bersama (Bangsa) diserahkan penguasaan/pengaturannya kepada pemerintahan negara; (2) peruntukan, pembagian, dan pemanfaatannya diserahkan menjadi kewenangan negara untuk mengatur dengan tetap merujuk pada ketentuan Ayat 41 Surah An Anfal dan Ayat 6 & 7 Surah Al Hasyr • UUPA sebagaimana ditafsir ulang oleh Mahkamah Konstitusi memberikan kewenangan kepada Negara untuk membuat kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi kepemilikan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah sebagai bagian dari bumi Indonesia. o Pengakuan Hak Individual atas Tanah dengan pelekatan kewajiban sosial • Dalam literatur Islam yang mengkaji kepemilikan individual atas tanah terdapat perbedaan metode pendekatan yang berbeda & menghasilkan pendapat yang berbeda. Namun ada pendapat yang kuat menyatakan bahwa Islam mengakui adanya Hak Individu atas tanah namun tetap dilekati kewajiban agar memberikan manfaat bagi masyarakat (Ahmad Syafii : 68). Dalam satu Hadits, Nabi bersabda : “Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya” (HR Bukhari). Hadist ini mewajibkan untuk mengolah agar bermanfaat bagi diri & masyarakat serta melarang menelantarkan. • UUPA juga memuat asas pengakuan hak milik individu (satu orang atau dua/lebih orang secara bersama) atas tanah dengan kewajiban memanfaatkan yang tercakup : setiap hak atas tanah dilekati fungsi sosial o Siapa yang memanfaatkan tanah secara intensif, dialah pemiliknya • Melalui beberapa Hadist, Nabi menyatakan : (1) Siapa yang menghidupkan tanah mati (tidak ada yang memiliki) maka tanah tersebut menjadi miliknya dan orang lain tidak boleh menyerobotnya (HR At Tirmidi, Abu Daud, dan Ahmad); (2) Siapa yang memakmurkan tanah (memanfaatkan/memproduktifkan) yang tidak dimiliki siapapun maka dia yang lebih berhak (HR Bukhari); (3) Siapa yang mendirikan pagar di atas tanah mati maka tanah menjadi miliknya (HR Ahmad, Abu Dawud, Al Baihaqi, dan Ath Thabarani); (4) dalam Hadist lain yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dinyatakan bahwa orang yang memagari tanah mati namun kemudian tidak memanfaatkannya dalam waktu 3 tahun maka ia tidak berhak lagi atas tanah. • UUPA yang bersumber dari hukum adat mengenal asas hukum tersebut : (1) siapapun yang menguasai tanah dan menggarapnya secara terus menerus, maka hubungan hukum antara yang bersangkutan dengan tanah akan semakin menguat menjadi hak milik. Namun jika meninggalkan tanah dan membiarkan terlantar maka dia akan kehilangan hak atas tanah; (2) asas Hak Wenang Pilih dan Asas Rechtverwerking o Kewajiban memelihara bumi (tanah) • Dalam Quran terdapat banyak ayat yang mengandung larangan melakukan kerusakan di bumi. Kerusakan di bumi mengandung multimakna : (1) kerusakan secara sosial, ekonomi, dan politik yang bermakna melakukan kejahatan di ketiga bidang kehidupan tersebut; (2) kerusakan secara fisik atas tanah dan lingkungan alamnya seperti kerusakan lingkungan fisik yang menyebabkan tanah longsor atau banjir dan bencana alam lainnya. Kerusakan di atas bumi baik di bidang sosial, ekonomi, dan politik maupun kerusakan fisik bumi jelas bertentangan dengan asas hukum keseimbangan yang menjadi dasar Allah menciptakan bumi beserta seluruh isinya. Jika larangan melakukan kerusakan bumi dimaknai secara a-contrario maka bermakna adanya kewajiban untuk memelihara tanah, yang di antaranya Ayat 18 Surah Al Mu’minun bahwa air hujan diturunkan agar tersimpan dalam tanah dan untuk perlu media berupa pohon-pohonan • UUPA sangat menekankan adanya kewajiban memelihara tanah secara fisik termasuk memelihara kesuburan tanah pertanian sebagaimana dalam Pasal 15 dan beberapa pasal yang mengatur hak atas tanah. o Kewajiban negara untuk melaksanakan Reforma Agraria • Dalam Quran dan Sunnah terdapat perintah untuk melaksanakan Reforma Agraria : dalam bagian dari Ayat 7 Surat Al Hasyr : Kaylaa Yakuuna Duulata Baynal Aghniyaai Minkum, yang bermakna agar harta kekayaan termasuk tanah tidak hanya beredar di kalangan orang kaya namun harus merata. (Quraish Shihab, 2021, Tafsir Al Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Quran, volume 13, Edisi 2021, cetakan Pertama, PT Lentera Hati, Tangerang, halaman 531-533) . o Kewajiban negara untuk melaksanakan Reforma Agraria • Dalam Quran dan Sunnah terdapat perintah untuk melaksanakan Reforma Agraria : dalam bagian dari Ayat 7 Surat Al Hasyr : Kaylaa Yakuuna Duulata Baynal Aghniyaai Minkum, yang bermakna agar harta kekayaan termasuk tanah tidak hanya beredar di kalangan orang kaya namun harus merata. (Quraish Shihab, 2021, Tafsir Al Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Quran, volume 13, Edisi 2021, cetakan Pertama, PT Lentera Hati, Tangerang, halaman 531-533) . Hadits Nabi saw. dari Abu Hurairah menyatakan : “Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk rupa, lihatlah orang yang berada di bawahnya” (HR Bukhari). Hadits ini mengandung ketentuan agar manusia tidak menumpuk kepemilikan tanah melampaui kebutuhan untuk kegiatan usahanya. • UUPA sangat menekankan adanya pemerataan kepemilikan tanah dan melarang adanya konsentrasi kepemilikan tanah pada sebagian kecil warga masyarakat. o Ada asas hukum lain yang tampaknya masih perlu dicermati lanjut lanjut baik dalam kerangka Hukum Islam maupun Hukum Pertanahan Nasional : • Larangan Untuk Mengkomoditisasikan Tanah atau Menampatkan Tanah Sebagai Barang Dagangan. Dalam Hukum Nasional terdapat larangan yang diacu pada Pasal 6 dan Pasal 10 UUPA, namun apakah Hukum Islam juga melarang?? • Larangan menggabungkan 2 macam kesepakatan yang berbada tentang tanah dalam satu Perjanjian. Dalam Hukum Islam perjanjian yang demikian dilarang berdasarkan Hadits yang bersumber dari Aisyah, sedangkan dalam Hukum Pertanahan Nasional masih berlangsung namun banyak menimbulkan kemudharatan. Perjuangan untuk memasukkan Asas-Asas Hukum Ke dalam Politik Hukum Nasional. Untuk Hukum Pertanahan Nasional karena sudah terdapat kesesuaian Hukum Islam, maka perjuangannya adalah mendorong agar Pemerintah melaksanakan Hukum Pertanahan yang ada secara utuh