0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
7 tayangan21 halaman
Dokumen tersebut membahas indeks pembangunan berkelanjutan di tingkat provinsi di Indonesia dengan menggunakan dua skenario. Skenario pertama menggunakan bobot yang sama untuk semua aspek sedangkan skenario kedua memberi bobot lebih untuk aspek lingkungan dan sosial di pulau Jawa dan ekonomi di pulau non-Jawa. Hasilnya menunjukkan empat provinsi dengan indeks tertinggi pada tahun 2013 dan delapan provinsi dengan inde
Dokumen tersebut membahas indeks pembangunan berkelanjutan di tingkat provinsi di Indonesia dengan menggunakan dua skenario. Skenario pertama menggunakan bobot yang sama untuk semua aspek sedangkan skenario kedua memberi bobot lebih untuk aspek lingkungan dan sosial di pulau Jawa dan ekonomi di pulau non-Jawa. Hasilnya menunjukkan empat provinsi dengan indeks tertinggi pada tahun 2013 dan delapan provinsi dengan inde
Dokumen tersebut membahas indeks pembangunan berkelanjutan di tingkat provinsi di Indonesia dengan menggunakan dua skenario. Skenario pertama menggunakan bobot yang sama untuk semua aspek sedangkan skenario kedua memberi bobot lebih untuk aspek lingkungan dan sosial di pulau Jawa dan ekonomi di pulau non-Jawa. Hasilnya menunjukkan empat provinsi dengan indeks tertinggi pada tahun 2013 dan delapan provinsi dengan inde
A Global View of Theories, Policies and Practice in Sustainable Development Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia (Noor Syaifudin and Yanrui Wu) Pendahuluan
Pembangunan ekonomi yang tidak bertujuan untuk
pelestarian lingkungan,dapat berdampak negatif terhadap lingkungan karena keterbatasan kapasitas lingkungan dpt membahayakan masa depan ekonomi dlm jangka panjang. Kekhawatiran tentang pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan dikemukakan oleh Malthus (1798) ketika ia membahas keterbatasan sumber daya alam untuk memenuhi pertumbuhan penduduk yang besar di Inggris Meadows (1972) menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan dibatasi oleh kelangkaan sumber daya alam Relevansi isu-isu dalam konteks Indonesia dibahas dgn metode indeks komposit untuk menguji indikator- indikator pembangunan berkelanjutan yang relevan di tingkat provinsi di Indonesia. Empat skenario berbeda digunakan untuk memotret variasi berbagai sifat provinsi di Indonesia dalam empat aspek pembangunan berkelanjutan: ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan. Literatur Pembangunan berkelanjutan pertama kali dibahas pada Konferensi PBB tentang Lingkungan Manusia di Stockholm pada tahun 1972 (Rogers et al. 2006). Diskusi difokuskan pada bagaimana meningkatkan perekonomian tanpa merusak lingkungan. Konsep tersebut dieksplorasi lebih lanjut dalam Strategi Konservasi Dunia yang disusun oleh United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature and the Natural Resources (IUCN), World Wide Fund for Nature (WWF pada tahun 1980 dan lagi di KTT UNEP di Nairobi, Kenya pada tahun 1982 (Elliott 2006). Salah satu hasil kuncinya adalah pembentukan dewan khusus di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang disebut Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (WCED). Pada tahun 1987, konsep Sustainable Pembangunan secara formal didefinisikan dalam Laporan WCED sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri” (WCED 1987). Defining Sustainability Para ekonom memiliki pandangan yang berbeda tentang arti keberlanjutan. Sebelum mendefinisikan keberlanjutan, mengkorelasikan pertumbuhan dengan karakteristik fisik dan perkembangan dengan peningkatan kualitatif. Pertumbuhan dilihat sebagai sesuatu yang disebabkan oleh proses alami seperti asimilasi atau pertambahan Perkembangan sebagai sesuatu yang memperluas kapasitas. Kesimpulan: bahwa pertumbuhan, tidak berkelanjutan dalam jangka panjang dan menyarankan pembangunan berkelanjutan. Asheim dan Brekke (1993)menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan membutuhkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya dari generasi ke generasi. Pezzey (1997) Keberlanjutan dicapai ketika tren kesejahteraan manusia tidak menurun. Sustainable Development Indicators (SDI) Institusi yang berbeda memiliki perspektif yang sama tentang aspek-aspek yang mendukung pembangunan berkelanjutan. aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan. Indikator pembangunan berkelanjutan (SDI) harus menjadi alat manajemen (UN, 2007), Melalui CSD, UN menyediakan kerangka kerja bagi negara-negara untuk menentukan SDI mereka. Kerangka ini membutuhkan tema dan subtema dari setiap SDI untuk ditentukan. 6 tema (pemerataan, kesehatan, pendidikan, perumahan, keamanan dan kependudukan), 3 tema ekonomi (struktur ekonomi, pola konsumsi dan produksi), 7 tema lingkungan (atmosfer, daratan, lautan, laut dan pesisir, air tawar dan keanekaragaman hayati) dan 2 tema kelembagaan (kerangka kelembagaan dan kapasitas kelembagaan). UN dan Indonesia sepakat bahwa kemitraan ekonomi global harus menjadi salah satu tema, Pandangan UE berbeda dengan pandangan PBB dan Indonesia tentang tema demografi pembangunan berkelanjutan. Uni Eropa menafsirkan demografi sebagai tingkat pekerjaan pekerja yang lebih tua, sedangkan PBB dan Indonesia mengakui demografi sebagai tingkat populasi serta pariwisata. Aspek kelembagaan pembangunan berkelanjutan mewakili tata kelola. Sementara PBB dan Indonesia melihat tata kelola sebagai fokus pada tingkat korupsi dan kejahatan, UE memandang tata kelola sebagai efektivitas kebijakan, keterbukaan publik, dan instrumen ekonomi. UE juga melihat aspek kelembagaan sebagai fokus kerja sama global Sustainable Development Index (SDI) for Indonesian Regions Indeks Pembangunan Berkelanjutan (SDI) untuk Wilayah Indonesia Secara umum, berdasarkan dua skenario yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan kecenderungan peningkatan indeks keberlanjutan yang dicapai antar provinsi di Indonesia selama periode penelitian (2002–2013), namun sebagian kecil provinsi menunjukkan tren sebaliknya. Temuan umum lainnya adalah ketidakseimbangan dalam peningkatan tingkat keberlanjutan dan indeks keberlanjutan itu sendiri. Kapasitas fiskal yang tinggi akan menghasilkan tingkat keberlanjutan yang tinggi. Hal ini menegaskan bahwa provinsi miskin mengalami kesulitan dalam mencapai target pembangunan karena keterbatasan dalam pembangunan ekonomi dan sumber daya alam. terjadi ketimpangan dalam setiap aspek pembangunan berkelanjutan. Interaksi yang saling bertentangan dan saling melengkapi antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan dari pembangunan berkelanjutan dipandang sebagai faktor utama penyebab ketimpangan pembangunan di Indonesia. Isu Metodologis
Dalam penelitian ini, pendekatan indeks komposit (CI)
diterapkan. CI dikenal karena kepraktisannya dalam menyajikan indikator kinerja dan memberikan sinyal intervensi kebijakan yang diperlukan Alasan teknis CI diterapkan dalam penelitian ini karena dua alasan. Pertama, pendekatan CI telah banyak diterapkan dan digunakan dalam beberapa studi empiris Kedua, sebagian besar data tersedia dan dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul “Indikator Pembangunan Berkelanjutan” (Badan Pusat Statistik 2004–2014). Dengan demikian, untuk menyusun indeks komposit, masing-masing indikator dikelompokkan berdasarkan tema dan subtema mengikuti metode UNCSD (UN 2001). Pemilihan indikator juga dilakukan berdasarkan ketersediaan data. Isu empiris Dalam penelitian ini, normalisasi dilakukan dengan menggunakan metode maksimum-minimum. Referensi digunakan dalam menentukan nilai maksimum dan minimum. Untuk nilai normalisasi antara 0 dan 100, Ada dua skenario dalam penentuan SDI untuk Indonesia, dengan pertimbangan bobot Pulau Jawa dan non Pulau Jawa, dan perbandingan antara total GRP serta GRP dikurangi GRP dari migas. Skenario 1: Semua indikator berbobot sama Skenario 2: Aspek Lingkungan dan Sosial provinsi-provinsi di Jawa akan diberi bobot lebih dari Aspek Ekonomi dan Kelembagaan. Pulau Non-Jawa akan lebih berbobot pada Ekonomi. Dalam skenario ini, GRP adalah total GRP dikurangi GRP dari minyak dan gas skenario 1 Pada tahun 2013 (Gbr. 3.1), empat provinsi mencapai indeks pembangunan berkelanjutan lebih dari 70. Yaitu Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Daerah Istimewa Jakarta dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 2012 dan 2013, provinsi tersebut termasuk provinsi yang memiliki APBD terbesar. Delapan provinsi memiliki indeks pembangunan berkelanjutan di bawah 60. Provinsi-provinsi tersebut adalah Nusa Tenggara Barat, Papua, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku Utara, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Rendahnya nilai keberlanjutan tersebut tercermin dari rendahnya APBD provinsi- provinsi tersebut. Secara umum, semua provinsi mengalami tren peningkatan tingkat keberlanjutan, kecuali Aceh dan Papua. Kedua provinsi tersebut mengalami tren penurunan. Dari tahun 2002 hingga 2013, Daerah Istimewa Jakarta mencapai tingkat keberlanjutan tertinggi di antara provinsi. Di Aceh, keberlanjutannya sekitar 69 pada tahun 2002 dan menjadi 63 pada tahun 2013. Penurunan nilai tersebut didukung oleh penurunan aspek ekonomi dan lingkungan. Kedua aspek tersebut mengalami penurunan yang cukup besar antara tahun 2002 dan 2013. Pada tahun 2002 aspek ekonomi mencapai 89% dan menjadi 76% pada tahun 2013, atau turun sekitar 13%. Aspek lingkungan sebesar 69% pada tahun 2002 dan menurun menjadi 53% pada tahun 2013. Di Papua, tiga aspek mendukung tren penurunan keberlanjutannya yaitu aspek ekonomi, lingkungan dan sosial, sedangkan aspek kelembagaan menunjukkan tren yang meningkat. Aspek ekonomi mencapai 93% pada tahun 2002 dan menurun menjadi 80% pada tahun 2013, atau turun sekitar 13%. Pada tahun 2002 aspek lingkungan mencapai 68% dan menjadi hanya 50% pada tahun 2013. Aspek sosial juga mengalami penurunan, dari 58% pada tahun 2002 menjadi hanya 54% pada tahun 2013. Skenario 2 Dalam skenario ini, GRP dari gas dan minyak dikecualikan, sedangkan bobot aspek ekonomi dan kelembagaan di pulau-pulau non-Jawa lebih banyak daripada aspek sosial dan lingkungan. Pada saat yang sama, aspek sosial dan lingkungan di Jawa lebih berbobot daripada aspek ekonomi dan kelembagaan. Skenario ini diterapkan untuk memberikan perlakuan yang lebih setara kepada provinsi-provinsi di pulau-pulau non- Jawa yang memiliki kapasitas ekonomi yang kurang. Gambar 3.4 menunjukkan bahwa pada tahun 2013 enam provinsi mencapai indeks keberlanjutan lebih dari 70 yaitu Kepulauan Riau, Daerah Istimewa Jakarta, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Kepulauan Bangka Belitung, dan Bali. Sementara itu, enam provinsi mencapai indeks keberlanjutan di bawah 60, yaitu Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Maluku Utara, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Hasil tersebut memberikan gambaran yang hampir sama dengan skenario sebelumnya, dimana provinsi dengan kapasitas ekonomi tinggi mencapai indeks yang lebih tinggi. Semakin rendah kapasitas ekonomi provinsi, semakin rendah tingkat keberlanjutannya. Berdasarkan skenario ini terlihat bahwa tingkat indeks keberlanjutan dibagi cukup merata meskipun beberapa provinsi tetap berada pada level yang rendah, hal ini disebabkan oleh kapasitas ekonomi yang sangat rendah. Apalagi dalam skenario ini beberapa provinsi mencapai peningkatan indeks keberlanjutan yang tinggi dengan sumber daya dan kapasitas yang rendah seperti Kalimantan Tengah dan Sulawesi Selatan. Hal ini membuktikan bahwa kedua provinsi ini menerapkan kebijakan yang mendukung pembangunan aspek sosial dan lingkungan. Kesimpulan Kebutuhan generasi berikutnya untuk memenuhi kebutuhan mereka menarik gagasan tentang keberlanjutan. Keberlanjutan memiliki beberapa prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu, keberlanjutan pengelolaan sumber daya dari waktu ke waktu, keberlanjutan kesejahteraan manusia, hasil yang berkelanjutan, dan keberlanjutan modal alam. Untuk mengukur tingkat pencapaian keberlanjutan, para ahli telah memberikan beberapa indikator. indikator pembangunan berkelanjutan mencerminkan empat aspek, yaitu: aspek ekonomi, lingkungan, sosial dan kelembagaan. Setiap aspek kemudian dikelompokkan menjadi tema dan subtema untuk menyusun indikator yang relevan. Penelitian ini menerapkan indeks komposit untuk 33 provinsi di Indonesia dengan menggunakan 20 indikator dari tahun 2002 hingga 2013. Pertama, analisis pendahuluan menunjukkan pencapaian tinggi pada aspek ekonomi, pencapaian rendah pada aspek kelembagaan dan sosial, dan penurunan pada aspek lingkungan. Hal ini menegaskan bahwa pembangunan hanya menekankan pada perspektif jangka pendek, yang menitikberatkan pada pembangunan aspek ekonomi dan infrastruktur dengan mengorbankan pembangunan lingkungan dan sosial. Kedua, Secara umum, menurut skenario, sebagian besar provinsi menunjukkan tren peningkatan antara tahun 2002 dan 2013, meskipun beberapa provinsi mengalami kecenderungan yang berbeda. Hal ini juga menunjukkan bahwa peningkatan tingkat keberlanjutan tidak dibagi secara merata antar provinsi. Selain itu, semua skenario menghasilkan indeks berkelanjutan yang tinggi untuk provinsi dengan kapasitas fiskal tinggi dan sebaliknya. Tingginya kapasitas fiskal suatu provinsi berasal dari tingginya dana fiskal transfer dari pemerintah pusat karena tingginya kapasitas sumber daya alam atau provinsi dengan pendapatan asli daerah yang tinggi yang dapat menjadi pusat bisnis atau tujuan wisata. Temuan ini juga menyiratkan ketidakseimbangan antara aspek pembangunan berkelanjutan. Pembangunan menitikberatkan pada peningkatan aspek ekonomi dan sosial tetapi menekankan pada aspek lingkungan. Hasil penelitian juga menunjukkan kompleksitas dalam mencapai pembangunan yang seimbang di Indonesia karena interaksi yang saling bertentangan dan saling melengkapi antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan dari pembangunan berkelanjutan. Selain itu, hasil ini juga menegaskan bahwa ada ketimpangan antara provinsi kaya dan miskin. Provinsi-provinsi miskin mungkin mengalami kesulitan dalam mencapai target pembangunan mereka karena keterbatasan dalam pembangunan ekonomi dan sumber daya alam.