Anda di halaman 1dari 5

Nama : Novita Pratiwi NPM : 110110090128

North Sea Continental Shelf Case 1969 Dalam kasus tersebut terjadi persengketaan batas landas kontinen di Laut Utara. Pada tanggal 31 Maret 1966 Belanda dan Denmark menandatangani persetujuan tentang garis batas landas kontinen di Laut Utara. Jerman ternyata menentang keras persetujuan tersebut karena dianggap sangat merugikan Jerman serta menghalanghalangi Jerman untuk memperoleh akses atas landas kontinen ke arah garis batas landas kontinen Inggris di Laut Utara. Fakta lain yang dapat dikemukakan adalah bahwa Belanda dan Denmark sudah meratifikasi Konvensi Landas Kontinen 1958, sedangkan Jerman tidak atau belum meratifikasinya. Dari keputusan Mahkamah Internasional atas kasus tersebut dapat ditarik beberapa prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum internasional yang dapat diterapkan dalam menentukan garis batas di area landas kontinen antara lain : Bahwa Negara atau pihak yang tidak menyatakan maksudnya untuk terikat dengan cara-cara atau tindakan-tindakan yang sesuai dengan kaidah hukum perjanjian internasional (international law of treaties) seperti ratifikasi dan aksesi, tidak terikat pada perjanjian internasional atau konvensi tersebut,principal of equidistant bukan merupakan hukum kebiasaan internasional. Oleh karena itu para pihak tidaklah berkewajiban untuk menerapkan median lain sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 6 Konvensi Landas Kontinen 1958, selain itu ditetapkan bahwa dalam menentukan garis batas landaskontinen jika tidak ada pengaturannya dalam bentuk persetujuan (agreement) antara para pihak, maka haruslah ditetapkan melalui persetujuan yang mencerminkan prinsip keadilan dan kepatutan, juga ditetapkan juga landas kontinen suatu negara haruslah merupakan perpanjangan atau kelanjutan alamiah (natural prolongation) dari wilayah daratannya dan tidak boleh melanggar landas kontinen yang juga merupakan perpanjangan atau kelanjutan secara alamiah dari wilayah daratan negara lain. Maka Perserikatan Bangsa-Bangsa memprakarsai Konferensi Hukum Laut dari tahun1973-1982.

Anglo-Norwegian Fisheries Case 1951 Laut teritorial atau laut wilayah, adalah jalur laut yang terletak pada sisi laut dari garis pangkal (base line) dan di sebelah luar dibatasi oleh garis atau batas luar (outer limit) yang ditarik sejajar dengan garis pangkal di atas. Base line merupakan garis pangkal yang dijadikan sebagai pedoman untuk menarik garis zona perikanan sepanjang 3 mil atau 4 mil dari garis pangkal tersebut.

Sesuai dengan kebiasaan internasional yang dianut kedua negara penetapan garis zona perikanan sejauh 3 mil diadopsi oleh United Kingdom sedangkan jarak 4 mil diadopsi oleh Norwegia. Sehingga dalam sengketa ini perbedaan prinsip antara kedua negara tentang penetapan laut territorial dari garis pangkal merupakan tugas Mahkamah Internasional untuk memutuskannya, manakah kiranya prinsip yang sesuai dengan hukum internasioanal Inggris menganggap penetapan garis pangkal oleh Norwegia tidak sesuai dengan hukum internasional. Dikarenakan Norwegia menetapkan garis pangkalnya dari skjaergaard. Skjaergaard rmerupakan wilayah laut yang memisahkan pulaupulau kecil, gugusan fjord, dan karang. Sedangkan menurut Inggris penetapan garis pangkal oleh Norwegia tidak sesuai dengan hukum internasional, karena seharusnya garis pangkal ditarik dari daratan yang kering. Inggris membawa kasus ini ke mahkamah internasional dengan alasan utama bahwa Inggris merasa dirugikan dalam penetapan garis pangkal zona perikanan tersebut. Inggris merasa Norwegia salah dalam menetapkan base-line sehingga dapat mengekploitasi daerah sejauh 4 miles yang memang kaya akan sumber daya perikanan. Pada proses pengadilan, kedua pihak sama-sama berpegang teguh pada prinsip masing-masing. Namun Kerajaan Norwegia mengungkapkan dalam argumentasiargumentasi mereka bahwa faktor sejarah dari zona perikanan tersebut telah disepakati oleh kedua belah pihak sejak berabad-abad yang lalu. Mahkamah internasional akhirnya memutus perkara ini pada 18 desember 1951 setelah dua tahun melewati proses persidangan, dengan menghasilkan keputusan bahwa metode dan hasil dari penetapan baseline oleh Norwegia berdasarkan dekritnya itu sesuai dengan hukum internasional. Pertimbangan mahkamah internasional adalah pertama, sudah menjadi hukum kebiasaan pada Norwegia sejak abad ke-17 daerah tersebut milik Norwegia. Yang kedua, bahwaskaejgaard yang dimaksud masih memiliki hubungan territorial dengan daratan Noorwegia, sehingga secara yurisdiksi masih menjadi wilayah kedaulatan Norwegia. Yang ketiga, bahwa wilayah tersebut memiliki kepentingan ekonomi dari penduduk local Norwegia, dimana wilayah yang kaya akan sumber perikanan tersebut dijadikan sumber matapencaharian bagi nelayan-nelayan Norwegia, sejak abad ke 17. Yang keempat adalah melihat kondisi geografis dari Norwegia sendiri yang memang relief negaranya merupakan gugusan pegunungan dan pantaipantainya yang berkarang sehingga skaejgaard juga dianggap sebagai daratan. Pertimbangan-pertimbangan tersebut yang diambil oleh mahkamah internasional untuk memutus bahwa kasus ini dimenangkan oleh Norwegia. Dari kasus ini general principles yang dapat diambil adalah bahwa penetapan baseline atau garis pangkal laut territorial sebuah Negara pantai dapat pula diambil dari gugusan pulau-pulau kecil yang masih mempunyai hubungan territorial dengan daratan. Kasus ini juga

dianggap sebagai sebagai salah satu landmark dalam internasional sehingga melahirkan Konvensi Jenewa.

hokum

kebiasaan

Lotus Case 1927 Pada tahun 1926 di laut lepas, sekitar luar wilayah perairan turki terjadi tabrakan kapal uap antara kapal uap Turki Bozkourt dan kapal uap Prancis Lotus. Dalam kecelakaan itu menimbulkan 8 orang korban dari pihak Turki. Ketika kapal uap Lotus bersandar di pelabuhan turki, kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban. Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum Internasionl, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas (floating island theory). sehingga permasalahan ini diajukan ke Mahkamah Internasional Permanen. Mahkamah Internasional Permanent atau Permanent Court of International justice (PCIJ) menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan Turki adalah benar sesuai dengan Jurisdiksi negaranya. Dan tidak ada larangan dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu negara untuk menjalankan yurisdiksinya atas suatu tindakan pidana yang terjadi diluar negeri, dan merugikan negara tersebut.

Asylum Case 1950 Dalam Colombian Peruvian Asylum Case, dibahas mengenai hukum internasional regional Amerika Latin karena kasus Asylum ini terjadi antara dua negara yaitu Peru dan Colombia, yang terletak di regional Amerika Latin. Inti dari kasus ini adalah Victor Raul Haya de la Torre, pemimpin partai APRA, yang melarikan diri dari tangkapan pemerintah Peru karena dituduh telah merencanakan dan melangsungkan pemberontakan. Akibatnya Haya de la Torre menjadi buangan politik, melarikan diri dari Peru, dan akhirnya mendapatkan suaka dari Duta Besar Kolombia di Lima, Peru. Sesuai dengan kesepakatan dalam suaka yang ditandatangani di Havana tahun 1928, yang diratifikasi oleh dua negara, Kolombia menyampaikan bahwa ia telah mengklasifikasikan Haya de la Torre sebagai suaka politik, seperti pada konvensi Montevideo pada tahun 1933, yang juga ditandatangi oleh kedua negara, dan meminta dengan adanya safe conduct pass seseorang dapat keluar dari negaranya. Peru menolak safe conduct pass, berdasarkan penolakannya terhadap klasifikasi unilateral Kolombia, dan menyatakan bahwa

kejahatan Haya de la Torre bertujuan untuk kejahatan semata dan termasuk tindakan teroris yang tidak bisa mendapatkan pengasingan. Kasus ini akhirnya dibawa ke ICJ (International Court of Justice) setelah mengalami kebuntuan. Alhasil, pengadilan memberikan keputusannya, dimana menolak posisi Kolombia yang menganggap bahwa sebagai negara yang memberikan suaka memiliki hak untuk secara sepihak menggolongkan kejahatan yang dilakukan partai tersebut sebagai sesuatu yang benar untuk meminta suaka. Kolombia mengutip perjanjian Montevideo tahun 1933 tentang Suaka , menyetujuinya, namun Peru tidak meratifikasinya, mengingat bahwa aturan yang dinyatakan dalam perjanjian tersebut adalah untuk mengklasifikasi suaka oleh negara-negara yang mengatakan bahwa suaka merupakan pengkodean simpel dari aturan yang jenisnya telah meluas di Amerika, dan bahwa Peru telah mengambil jalan ke arah sana dengan memberikan safe conduct pasess kepada pencari suaka yang lain. Pengadilan mempertimbangkan bahwa Peru tidak terlingkupi oleh perjanjian tahun 1933 dan sehingga tidak pada kondisi yang memungkinkan untuk menggunakan prosedur yang biasa.

Nicaragua Case 1986 Amerika Serikat dalam kasus ini membantu persenjataan dan pelatihan gerilyawan Contra, dimana Contra merupakan suatu gerakan yang melawan pemerintahan Nikaragua pada saat itu. Pergerakan Contra mengakibatkan terbunuhnya 3.346 anak-anak dan remaja dan kurang lebih membunuh kedua orang tua dari anak-anak tersebut. Amerika Serikat melakukan penanaman ranjau di laut wilayah dan pedalaman Nikaragua yang mengakibatkan hancurnya kapal kapal milik Nicaragua dan pihak asing. Hal ini jelas menjadi suatu penyebab sengketa antara kedua negara tersebut, sehingga Nikaragua memilih jalur penyelesaian secara hukum, dengan melaporkan Amerika ke Mahkamah Internasional. Nicaragua mendasarkan gugatannya ini berdasarkan hukum kebiasaan internasional, dan selain itu Nicaragua juga menggunakan Treaty of Friendship, Commerce, and Navigation 1956 yang merupakan perjanjian bilateral internasional antara AS dan Nicaragua. Namun kendala keanggotaan yang ada dalam pasal 36(2) Statuta ICJ menjadi landasan penyangkalan Amerika terhadap kasus ini.Hal ini tentunya keliru karena negara Nikaragua melalui pasal tersebut juga bisa melakukan Optional Clause melalui pernyataan dan dengan pertimbangan hakim yang lain maka penyangkalan yang dibuat oleh Amerika tidak diterima oleh Mahkamah Internasional.

Fillartiga V. Pena Irrala 1980 Pada tanggal 29 Maret 1976, Juelito Filartiga disiksa sampai mati oleh Pena-Irala yaitu seorang inspektur Jenderal Polisi di Paraguay. Julieto disiksa sampai mati

terkait dengan kegiatan politik ayahnya, yaitu Dr. Joel Filartiga. Kemudian Dr. Joel Filartiga mengajukan tuntutan. Akhirnya pengadilan memutuskan bahwa Pena bersalah karena menyebabkan kematian Juelito akibat penyiksaan, maka ia pun diharuskan membayar kompensasi dan hukuman sebesar sepuluh juta dollar. Pengadilan berpendapat bahwa penyiksaan merupakan pelanggaran terhadap hukum kebiasaan internasional.

Anda mungkin juga menyukai