C,
there is no exertional dyspnea, fatigue, and headache.
Laboratory finding is within normal limit.
Lumbar densitometry is -3,0 and femoral densitometry is -2,7.
Geriatric Depression Scale (GDS) 6 , MMSE score is 26.
Mrs. Minah so far was in treatment of catopril 12,5 mg, two times daily.
II. Klarifikasi Istilah
1. Incontinence = ketidakmampuan untuk mengendalikan pengeluaran urin.
2. Urge incontinence = pengeluaran urin secara involunter akibat peregangan orifisium
vesika urinaria seperti pada saat batuk atau bersin.
3. No menstrual periode = berhentinya menstruasi karena aktor usia.
4. Apical radial pulse deficit =perbedaan antara denyut apical atau precordial dengan
denyut radial.
5. Exertional dyspnea = sesak nafas yang terjadi pada saat beraktivitas
6. Lumbar densitometry = pengukuran densitas(kepadatan) tulang pada bagian os
lumbar.
7. Femoral densitometry = pengukuran densitas(kepadatan) tulang pada bagian os
femur
8. Geriatric depression scale =skala penilaian 30 item untuk mengidentifikasi depresi
pada orang tua.
4
9. MMSE( Mini Mental Stage Examination ) = instrumen yang digunakan untuk
skrining fungsi kognitif.
10. Captopril = suatu inhibitor angiotensin converting enzim yang digunakan dalam
pengobatan hipertensi ,gagal jantung kongestif, dan disfungsi ventrikel kiri, pasca
infark mio kardium.
III. Identifikasi Masalah
1. Nyonya Minah , 63 tahun , mengeluh dua kali kejadian inkontinensia urin. Pada
kedua kejadian nyonya Minah tidak mampu mencapai kamar mandi tepat waktu
untuk buang air kecil. Kejadian pertama terjadi ketika sedang berada di dalam mobil
dan yang kedua terjadi pada pusat pemberlanjaan . Ny. Minah tidak berkeinginan
unutk keluar rumah akibat kejadian inkontinensia urin.
2. Nyonya Minah mengalami menopause pada umur 50 tahun.
3. Suami nyonya Minah telah wafat sebulan yang lalu dan sekarang tinggal dengan
pembantu.
4. Pemeriksaan fisik
Berat badan 75 kg ; Tinggi badan 156 cm ; Tekanan darah 150/80 mmHg ; defisit
denyut apical-radial ; suhu tubuh 36,5
84
Stage I
Hypertension
140-159 or 90-99 Yes Thiazide-type
diuretics for most.
May consider
ACEI , ARB, BB
, CCB or
combination.
Drug(s) for the
compelling
indications.
Other
antihypertensive
drugs (diuretics,
ACEI, ARB, BB,
CCB) as needed.
Stage II
Hypertension
160 100 Yes Two-drug
combination for
most
(usually
thiazide-type
diuretic and ACEI
or ARB or BB or
CCB)
SBP : Systolic Blood Pressure
DBP : Diastolic Blood Pressure.
Drug abbreviations : BP :
ACEI : Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
ARB : Angiotensin Receptor Blocker
CCB : Calsium Channel Bloker.
BB : Beta-Bloker
* Treatment determined by highest BP category.
Initial combined therapy should be used cautiously in those at risk for orthostatic
hypotension.
Treat patients with chronic kidney disease or diabetes or BP goal < 130/80 mmHg
2.4.1 Konsep Penatalaksanaan Hipertensi Terkini
Joint National Committee VII merekomendasikan konsep terapi yang terbaru
yaitu :
a. Pasien dengan tekanan darah sistolik 120-139 mmHg dan tekanan darah
diastolic 80-89 mmHg hanya memerlukan penatalaksanaan
nonfarmakologis dengan cara modifikasi gaya hidup.
85
b. Pasien yang tidak memiliki komplikasi hipertensi, diperlukan
penatalaksanaan secara farmakologis dengan diberikan obat golongan
diuretik atau bisa juga diberikan obat dari golongan lain.
c. Lebih memperhatikan tekanan darah sistolik dan penanganannya harus
dimulai jika tekanan darah sistolik meningkat walaupun tekanan darah
diastoliknya tidak.
d. Sebagian besar pasien hipertensi memerlukan obat kombinasi
antihipertensi, salah satunya adalah obat dari golongan diuretik tiazid.
e. Kebanyakan pasien hipertensi memerlukan 2 atau lebih pengobatan untuk
mencapai tekanan darah 20/10 mmHg di atas tekanan darah yang
diinginkan.
f. Golongan ACE Inhibitor sendiri atau kombinasi dengan golongan diuretic
masih merupakan terapi pilihan yang terbaik untuk pasien dengan
hipertensi yang sudah mengalami komplikasi penyakit jantung.
Bila hipertensi yang terjadi tanpa disertai dengan komplikasi atau penyakit
penyerta lain, maka pengobatan adalah mudah. Penatalaksanaan untuk
hipertensi dibagi menjadi :
1. Non Farmakologis atau modifikasi gaya hidup.
2. Farmakologis
A. Non farmakologis atau modifikasi gaya hidup meliputi :
Jaga berat badan ideal. Turunkan berat badan bila IMT 27
Membatasi alkohol.
Olahraga teratur sesuai dengan kondisi tubuh.
Mengurangi asupan natrium (<100 mmol Na, atau 2.4 g Na , atau 6 g NaCl/hari)
Mempertahankan asupan kalium (90 mmol/hari)
Berhenti merokok.
Kurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol dalam makanan.
Modifikasi Gaya Hidup Penatalaksanaan Hipertensi
*
Modification Recommendation Approximate SBP
86
Reduction (Range)
Weight reduction Maintain normal body weight (BMI 18,5
24,9 kg/m
2
)
5-20 mmHg / 10 kg
weight loss
Adopt DASH
eating plan
Consume a diet rich in fruits, vegetables
and low fat dairy products with a reduced
content of saturated and total fat
8-14 mmHg
Dietary sodium
reduction
Reduced dietary sodium intake to no more
than 100 mmol per day (2,4 g sodium or 6 g
sodium chloride)
2-8 mmHg
Physical activity Engage in regular aerobic physical activity
such as brisk walking (at least 30 min per
day, most days of the week)
4-9 mmHg
Moderation of
alcohol
consumption
Limit consumption to no more than 2 drinks
(1 oz or 30 ml ethanol; e.g. 24 oz beer, 10
oz wine, or 3 oz 80-proof whiskey) per day
in most men and to no more thsn 1 drink per
day in women and lighter weight persons
2-4 mmHg
DASH, Dietary Approaches to Stop Hypertension
* For overall cardiovascular risk reduction, stop smoking.
The effects of implementing these modifications are dose and time dependent, and
could be greater for some individuals.
B. Farmakologis :
Obat-obat Antihipertensi :
1. Diuretik
Cara kerja : meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air sehingga
volume plasma dan cairan ekstrasel.
Untuk terapi jangka panjang pengaruh utama adalah mengurangi resistensi
perifer.
Terdapat beberapa golongan, yaitu :
a. Diuretik Tiazid dan sejenisnya (paling luas digunakan) , contoh :
- Hidroklorotiazid (HCT) tab 25 dan 50 mg
- Klortalidonn tab 50 mg
87
- Bendroflumentiazid tab 5 mg
- Indapamid tab 2,5 mg
- Xipamid tab 20 mg
b. Diuretik kuat :
a. Furosemid tab 40 mg
c. Diuretik hemat kalium :
a. Amilorid tab 5 mg
b. Spironolakton tab 25 dan 100 mg
Efek samping : hipotensi dan hipokaleia.
2. Penghambat Adrenergik
Efektif untuk menurunkan denyut jantung dan curah jantung, serta
menurunkan sekresi renin
Kontraindikasi bagi pasien gagal jantung kongestif
Terdiri dari golongan :
- penghambat adrenoreseptor / bloker : terazosin, doxazosin,
prazosin
- penghambat adrenoreseptor / -bloker : propanolol, asebutolol,
atenolol, bisoprolol
- penghambat adrenoreseptor dan : labetalol
- adrenolitik sentral : klonidin, metildopa, reserpin, guanfasin
3. Vasodilator
Bekerja langsung pada pembuluh darah dengan cara relaksasi otot polos
yang akan mengakibatkan penurunan resistensi pembuluh darah
Yang termasuk golongan ini adalah natrium nitroprusid, hidralazin,
doksazosin, prazosin, minoksidil, diaksozid.
Yang paling sering digunakan adalah natrium nitroprusid dengan efek
samping hipotensi ortostatik.
4. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin
Bekerja menghambat sistem renin-angiotensin, menstimulasi sintesis
prostaglandin dan juga mengurangi aktivitas saraf simpatis
88
Preparat yang paling banyak digunakan adalah Kaptopril, diberikan 1 jam
sebelum makan. Pada gagal ginjal dosis dikurangi (bila CCT > 1.5 mg%).
Efek samping : batuk kering , eritema, gangguan pengecap, proteinuria,
gagal ginjal dan agranulositosis.
5. Antagonis Kalsium
Mempunyai efek mengurangi tekanan darah dengan cara menyebabkan
vasodilatasi perifer yang berkaitan dengan refleks takikardi yang kurang
nyata dan retensi cairan yang kurang daripada vasodilator lainnya.
Preparat yang biasa digunakan seperti nifedipin, nikardipin, felodipin,
amilodipin, verapamil dan diltiazem.
6. Antagonis Reseptor Angiotensin II (AIIRA / ARB)
Merupakan golongan obat antihipertensi terbaru, tidak mempengaruhi
produksi Angiotensin II tetapi memblok di tempat kerja pada organ target.
Kelebihannya adalah tidak menimbulkan batuk karena tidak mempengaruhi
metabolisme bradikinin.
Proses apoptosis dan regenerasi jaringan juga tetap berlangsung karena
reseptor tidak dipengaruhi.
Prinsip pemberian obat anti hipertensi pada lansia :
Dimulai dengan 1 macam obat dengan dosis kecil (START LOW GO SLOW)
Penurunan tekanan darah sebaiknya secara perlahan, untuk penyesuaian
autoregulasi guna mempertahankan perfusi ke organ vital.
Regimen obat harus sederhana dan dosis sebaiknya sekali sehari
Antisipasi efek samping obat-obat antihipertensi
Pemantauan tekanan darah untuk evaluasi efektivitas pengobatan
Setelah tercapai target maka pemberian obat harus disesuaikan kembali untuk
maintenance (Gambar 2)
Pengobatan harus segera dilakukan pada hipertensi berat dan apabila terdapat
kelainan target organ. Oleh karena fungsi ginjal telah menurun dan terdapat
gangguan metabolisme obat, sebaiknya dosis awal dimulai dengan dosis yang lebih
89
rendah. Pada hipertensi tanpa komplikasi golongan diuretik dosis rendah (HCT 12,5
25 mg atau setara) yang dikombinasi dengan diuretik hemat kalium dapat diberi
sebagai pengobatan awal. Obat anti hipertensi lain dapat diberikan atas indikasi
spesifik.
Pada pasien dengan payah jantung, obat penghambat ACE dan diuretik
merupakan obat pilihan pertama. Tetapi pada pemberian diuretika sering
menimbulkan efek hipokalemia dan hiponatremia karena kedua mineral tadi ikut
terbuang bersama urine.
Pada pasien pascainfark miokard, pemakaian penyebat yang kardioselektif
dianjurkan. Akan tetapi pada umumnya pemakaian penyekat tidak begitu disukai
oleh karena menimbulkan perburukan penyakit vaskuler perifer dan bronkospastik.
Penghambat merupakan pilihan pada pasien dengan dislipidemia dan hipertrofi
prostat, akan tetapi harus hati-hati terhadap efek hipotensi ortostatik, karena hal ini
dapat menyebabkan lansia jatuh bahkan sampai mengalami komplikasi fraktur.
Antagonis kalsium jangka panjang cukup efektif, terutama karena mempunyai
efek natriuretik dan dianjurkan pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Pada
pasien dengan diabetes dan proteinuria diindikasikan pemakaian obat penghambat
ACE.
Obat simpatolitik sentral seperti metildopa, klonidin dan guanfasin walaupun
efektif, pemakaiannya kurang dianjurkan pada usia lanjut karena efek samping
sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik. Dan obat-obat yang mempunyai
pengaruh pada susunan saraf pusat, dan bloker dapat mengakibatkan depresi serta
penurunan kesadaran/fungsi kognitif.
Pemberian antihipertensi pada lansia harus hati-hati karena pada lansia terdapat :
Penurunan refleks baroreseptor sehingga meningkatkan risiko hipotensi ortostatik.
Gangguan autoregulasi otak sehingga iskemia serebral mudah terjadi dengan
hanya sedikit penurunan tekanan darah sistemik.
Penurunan fungsi ginjal dan hati sehingga terjadi akumulasi obat.
Pengurangan volume intravaskular sehingga sensitif terhadap deplesi cairan.
Sensitivitas terhadap hipokalemi sehingga mudah terjadi aritmia dan kelemahan
otot.
90
Pemberian obat juga harus dipikirkan mengenai penyakit komorbid yang ada pada
lansia itu. Jangan sampai obat antihipertensif yang kita beri mempunyai efek
samping yang dapat memperberat gejala penyakit komorbid.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka sebaiknya obat-obat yang dapat menyebabkan
hipotensi ortostatik, yaitu guanetidin, guanadrel, alfa bloker dan labetolol sebaiknya
dihindarkan atau diberikan dengan hati-hati, tekanan darah diturunkan perlahan-
lahan dengan cara memberi dosis awal yang lebih rendah dan peningkatan dosis yang
lebih kecil dengan interval yang lebih panjang dari biasanya pada penderita yang
lebih muda, dan pilihan antihipertensi harus secara individual, berdasarkan pada
kondisi penyerta.
Tahap-tahap yang perlu diperhatikan agar terapi hipertensi dapat berhasil adalah :
1. Diagnosis yang tepat dan sedini mungkin (pengukuran beberapa kali dan kalau
perlu lebih dari 1 kali kunjungan)
2. Pendidikan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan akan bahaya
hipertensi dan makna serta manfaat bila tekanan darah dapat dinormalkan.
3. Menyampaikan data yang akurat dari studi klinik pada tenaga kesehatan maupun
masyarakat, khususnya mengenai manfaat penurunan/terapi hipertensi.
4. Meningkatkan kepatuhan berobat atau control pasien.
5. Memotivasi para tenaga kesehatan untuk berusahamenurunkan tekanan darah
pasien hipertensi.
6. Menggunakan obat antihipertensi yang dapat ditoleransi dengan baik dan yang
dapat dimakan sekali sehari.
Terapi Kombinasi
Biasanya bila terapi dengan satu macam obat gagal untuk mencapai sasaran,
maka perlu ditambahkan obat ke-2 dengan dosis rendah dahulu dan tidak
meningkatkan dosis obat pertama. Hal ini adalah upaya untuk memaksimalkan efek
penurunan tekanan darah dengan efek samping seminimal mungkin. Pada penelitian
HOT, terapi kombinasi diperlukan pada sekitar 70% penderita. Dalam JNC-VII,
para ahli bahkan menganjurkan terapi antihipertensi kombinasi langsung pada
penderita yang ada pada stadium 1. Walaupun dosis campuran tetap banyak
91
disediakan oleh pabrik farmasi, upaya titrasi dosis secara individual dianggap lebih
baik. Berikut diberikan pedoman yang dianut oleh para ahli hipertensi di Inggris
yang disebut sebagai The Birmingham Hypertension Square.
The Birmingham Hypertension Square
Mulai terapi pada kotak manapun dan gunakan terapi tambahan dengan obat
yang ditunjuk oleh panah. Obat-obatan pada kotak yang berdekatan memiliki efek
antihipertensi tambahan, aksi yang saling melengkapi dan biasanya ditoleransi
dengan baik.
ACE Inhibitor atau
Bloker Reseptor
Angiotensin II
Diuretik
Nasihat nonfarmakologik :
garam, berat badan, alkohol,
olahraga, rokok
Bloker Kanal
Kalsium golongan
dihidropiridine
-Bloker
92
93
Atrial fibrilasi
Atrial Fibrilasi atau fibrilasi atrium. Atrial Fibrilasi merupakan aritmia yang paling
umum. aritmia adalah sebuah masalah dengan kecepatan atau irama denyut jantung.
Sebuah gangguan pada sistem listrik jantung menyebabkan AF dan jenis lain aritmia.
Atrial Fibrilasi terjadi ketika cepat, sinyal-sinyal listrik tidak terorganisir dalam dua
jantung bilik yang di atas, disebut atrium, menyebabkan mereka kontrak sangat cepat dan
tidak teratur (ini disebut fibrilasi).
Akibatnya, darah kolam di atrium dan tidak dipompa sepenuhnya menjadi dua bilik
jantung lebih rendah, yang disebut ventrikel. Ketika ini terjadi, ruang jantung atas dan
bawah tidak bekerja sama sebagaimana mestinya.
Etiologi / Penyebab Atrial Fibrilasi
Atrial fibrilasi (AF) terjadi ketika sinyal-sinyal listrik bepergian melalui jantung
dilakukan normal dan menjadi tidak teratur dan sangat cepat.
Ini adalah akibat dari kerusakan sistem kelistrikan jantung. Kerusakan ini paling
sering hasil dari kondisi lain, seperti penyakit arteri koroner atau tekanan darah tinggi,
yang mempengaruhi kesehatan jantung. Kadang-kadang, penyebab AF tidak diketahui.
Atrial fibrilasi (AF) biasanya menyebabkan ventrikel berkontraksi lebih cepat dari
biasanya. Ketika ini terjadi, ventrikel tidak memiliki cukup waktu untuk mengisi
sepenuhnya dengan darah untuk memompa ke paru-paru dan tubuh.
Manifestasi Klinis / Tanda dan Gejala Atrial Fibrilasi
Palpitasi (perasaan yang kuat dari detak jantung yang cepat atau "berdebar" dalam
dada)
Sesak napas
Kelemahan atau kesulitan berolahraga
Nyeri dada
Pusing atau pingsan
Kelelahan (kelelahan)
Kebingungan
Patofisiologi / Patogenesis Atrial Fibrilasi
94
Aktivasi fokal fokus diawali biasanya dari daerah vena pulmonalis timbulnya
gelombang yang menetap dariMultiple wavelet reentry depolarisasi atrial atau wavelets
yang dipicu oleh depolarisasi atrial premature atau aktivitas aritmogenik dari fokus yang
tercetus secara cepat. Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan mekanisme fibrilasi
ventrikel kecuali bila prosesnya ternyata hanya di massa otot atrium dan bukan di massa
otot ventrikel. Penyebab yang sering menimbulkan fibrilasi atrium adalah pembesaran
atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah atrium mengosongkan isinya secara
adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat kegagalan ventrikel dengan pembendungan darah
yang banyak di dalam atrium. Dinding atrium yang berdilatasi akan menyediakan kondisi
yang tepat untuk sebuah jalur konduksi yang panjang demikian juga konduksi lambat, yang
keduanya merupakan faktor predisposisi bagi fibrilasi atrium.
Karakteristik Pemompaan Atrium Selama Fibrilasi Atrium.
Atrium tidak akan memompa darah selama Atrial Fibrilasi berlangsung. Oleh karena
itu atrium tidak berguna sebagai pompa primer bagi ventrikel. Walaupun demikian, darah
akan mengalir secara pasif melalui atrium ke dalam ventrikel, dan efisiensi pompa
ventrikel akan menurun hanya sebanyak 20 30 %. Oleh karena itu, dibanding dengan
sifat yang mematikan dari fibrilasi ventrikel, orang dapat hidup selama beberapa bulan
bahkan bertahun-tahun dengan fibrilasi atrium, walaupun timbul penurunan efisiensi dari
seluruh daya pompa jantung. 2
Patofisiologi Pembentukan Trombus pada Atrial Fibrilasi.
Pada Atrial Fibrilasi aktivitas sitolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi penurunan
atrial flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri dan memudahkan
terbentuknya trombus. Pada pemeriksaan TEE, trombus pada atrium kiri lebih banyak
dijumpai pada pasien Atrial Fibrilasi dengan stroke emboli dibandingkan dengan Atrial
Fibrilasi tanpa stroke emboli. 2/3 sampai stroke iskemik yang terjadi pada pasien dengan
Atrial Fibrilasi non valvular karena stroke emboli. Beberapa penelitian menghubungkan
Atrial Fibrilasi dengan gangguan hemostasis dan thrombosis. Kelainan tersebut mungkin
akibat dari statis atrial tetapi mungkin juga sebgai kofaktor terjadinya tromboemboli pada
Atrial Fibrilasi. Kelainan-kelainan tersebut adalah peningkatan faktor von Willebrand (
faktor VII ), fibrinogen, D-dimer, dan fragmen protrombin 1,2. Sohaya melaporkan Atrial
Fibrilasi akan meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi dan hal ini dipengaruhi oleh
lamanya Atrial Fibrilasi.
95
Komplikasi Atrial Fibrilasi
Atrial Fibrilasi memiliki dua komplikasi utama - stroke dan gagal jantung.
Pemeriksaan Penunjang Atrial Fibrilasi
Pemeriksaan Fisik :
Tanda vital : denyut nadi berupa kecepatan dengan regularitasnya, tekanan darah
Tekanan vena jugularis
Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif
Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukan kemungkinan terdapat gagal
jantung kongestif, terdapat bising pada auskultasi kemungkinan adanya penyakit katup
jantung
Hepatomegali : kemungkinan terdapat gagal jantung kanan
Edema perifer : kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif
Laboratorium : hematokrit ( anemia ), TSH ( penyakit gondok ), enzim jantung bila
dicurigai terdapat iskemia jantung.
Pemeriksaan EKG : dapat diketahui antara lain irama ( verifikasi AF ), hipertrofi
ventrikel kiri. Pre-eksitasi ventrikel kiri, sindroma pre-eksitasi ( sindroma WPW ),
identifikasi adanya iskemia.
Foto Rontgen Toraks : Gambaran emboli paru, pneumonia, PPOK, kor pulmonal.
Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran dari atrium dan
ventrikel, hipertrofi ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow dan TEE ( Trans
Esophago Echocardiography ) untuk melihat trombus di atrium kiri.
Pemeriksaan Fungsi Tiroid. Tirotoksikosis. Pada AF episode pertama bila laju
irama ventrikel sulit dikontrol.
Uji latih : identifikasi iskemia jantung, menentukan adekuasi dari kontrol laju irama
jantung.
Pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan adalah holter monitoring studi
elektrofisiolagi.
Penatalaksanaan / Penanganan / Pengobatan / Terapi Atrial Fibrilasi
Tujuan yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan Atrial Fibrilasi adalah
mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan
komplikasi tromboemboli. Dalam penatalaksanaan Atrial Fibrilasi perlu diperhatikan
apakah pada pasien tersebut dapat dilakukan konversi ke irama sinus atau cukup dengan
96
pengontrolan laju irama ventrikel. Pada pasien yang masih dapat dikembalikan ke irama
sinus perlu segera dilakukan konversi, sedangkan pada Atrial Fibrilasi permanen sedikit
sekali kemungkinan atau tidak mungkin dikembalikan ke irama sinus, alternatif
pengobatan dengan menurunkan laju irama ventrikel harus dipertimbangkan.
Prognosis Atrial Fibrilasi
Penelitian epidemiologi telah menunjukan bahwa pasien dengan irama sinus hidup
lebih lama dibandingkan dengan seseorang kelainan atrium. Penelitian juga menunjukkan
penggunaan antikoagulan dan pengontrolan secara rutin bertuuan untuk asimtomatik pada
pasien usia lanjut. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa terapi medis yang ditujukan
untuk mengendalikan irama jantung tidak menghasilkan keuntungan keberhasilan
dibandingkan dengan terapi kontrol rate dan antikoagulan.
Terapi Atrial Fibrilasi secara keseluruhan memberikan prognosis yang lebih baik
pada kejadian tromboemboli terutama stroke. Atrial Fibrilasi dapat mencetuskan takikardi
cardiomiopati bila tidak terkontrol dengan baik. Terbentuknya Atrial Fibrilasi dapat
menyebabkan gagal jantung pada individu yang bergantung pada komponen atrium dari
cardiac output dimana pasien dengan penyakit jantung hipertensi dan pada pasien dengan
penyakit katup jantung termasuk dalam resiko tingi akan terjadinya gagal jantung saat
terjadi Atrial Fibrilasi.
97
Menopause
Menopause adalah suatu fase alamiah yang akan dialami oleh setiap wanita
yang biasanya terjadi diatas usia 40 tahun. Ini merupakan suatu akhir proses
biologis dari siklus menstruasi yang terjadi karena penurunan produksi hormon estrogen
yang dihasilkan indung telur. Berhentinya haid akan membawa dampak pada konsekuensi
kesehatan baik fisik maupun psikis (Yudomustopo, 1999).
Kata menopause yang berasal dari kata Yunani yang berarti bulan dan
penghentian sementara, yang secara linguistik lebih tepat disebut menocease.
Secara medis istilah menopause berarti menocease, karena berdasarkan defenisinya
menopause itu berarti berhentinya menstruasi (bukan istirahat).
Arti menopause yang tidak jelas ini dikarenakan gejala-gejala yang muncul
sebelum menstruasi juga berhenti (Reitz, 1993). Menopause merupakan sebuah kata yang
mempunyai banyak arti. Men dan pauseis adalah kata Yunani yang pertama kali digunakan
untuk menggambarkan berhentiya haid. Menurut kepustakaan abad ke-17 dan ke-18,
menopause dianggap suatu bencana dan malapetaka, sedangkan wanita post-menopause
dianggap tidak berguna dan tidak menarik lagi (Kasdu, 2002).
Masa Klimakterium, Proses, Batasan Usia Menopause dan Jenis Menopause
Masa Klimakterium
Menurut siklus kehidupan wanita normal, setiap kehidupan seorang wanita
mengalami fase-fase perkembangan tertentu. Dalam hal ini, fase-fase yang berkaitan
dengan berbagai fungsi organ reproduksi wanita. Fase tersebut dibagi tiga tahap, yaitu
masa sebelum, sedang berlangsung dan setelah menstruasi (Kasdu, 2002).
Proses Menopause
Menurut Aina (2009) yang mengutip pendapat Fachrudin, secara endokrinologis,
wanita mengalami proses menua sejak di kandungan. Sejumlah 7.000.000 sel telur (folikel)
terdapat pada kedua ovarium janin yang berusia 22-24 minggu dan berkurang akibat
penghancuran sehingga sewaktu dilahirkan folikel bayi wanita tinggal 2.000.000 buah.
Jumlah tersebut menjadi 200.000 saat mendapat haid pertamanya pada masa pubertas.
Semakin sedikit folikel berkembang, semakin kurang pembentukan hormon di ovarium,
98
yaitu hormon progesteron dan estrogen. Haid akan menjadi tidak teratur hingga akhirnya
endometrium akan kehilangan rangsangan hormon estrogen. Lambat laun haid pun
berhenti, disebut proses menopause (Kasdu, 2002).
Batasan Usia Menopause
Menopause terjadi pada akhir suatu siklus yang dimulai pada masa remaja dengan
munculnya menarche. Umumnya wanita barat pertama kali mendapat menstruasi pada usia
12 tahun, sedangkan haid berakhir pada usia 45 sampai 53 tahun. Relatif sedikit wanita
mulai menopause pada usia 40 tahun dan beberapa
mengalaminya setalah usia 40 tahun. Masa ini dikenal dengan masa pra menopause.
Mekanisme inkontinensia pada wanita menopause
Pada masa menopause terjadi prubahan edokrin yang diduga berkaitan dengan
proses penuaan yang terjadi pada aksis hipotalamus-hipofisis dan ovarium. Akibatnya
terjadi gangguan interaksi antara hormin yang dihasilkan oleh ketiga organ tersebut.
Trutama twrjadi penurunan produksi hormone estrogen oleh ovarium. Penurunan hormone
estrogen (estradiol) ini disebabkan oleh proses penuaan pada ovarium. Akibatnya ovarium
menjadi kecil,dindingnya tebal dan tidak dapt lagi menjawab rangsangan hormon FSH
untuk membentuk estradiol. Penurunan estradiol mencapai kadar < 108 pg/ml dan
peningkatan FSH mencapai >25 m IU /ml , yang menandakan awal dari masa menopause .
Pada masa menopause estradiol menurun sampai dibawah 10 %.
Hormon estrogen bekerja pada organ sasaran melalui reseptor estrogen alfa dan
beta. Jaringan yang memiliki reseptor ini adalah kulit ,otak ,tulang,uterus ,vesika
urinaria,uretra,ovarium,kardiovaskuler, dan payudara. Jaringan yang hanya memiliki
reseptor estrogen beta adalah traktus gastrointestinal,sedangkan jaringan yang hanya
memiliki reseptor alfa adalah hepar. Interaksi estrogen dengan reseptorya akan
menghasilkan proses anabolic. Akibatnya bila terjadi penurunan estrogen terutama pada
traktus urinarius perempuan menopause akan perubahan struktur dan fungsi. Estrogen
dapat mempertahankan kontinesia dengan menigkatkan resistensi uretrs,menigkatkan
ambang sensoris kandung kemih dan meningkatkan sensitivitas alfa adreno reseptor pada
oto polos uretra.
99
Ureta dan ureter merupakan jaringan yang tergantung pada estrogen . penurunan
estrogen diduga ikut berperan dalam perubahan struktur dan fungsi pada dinding uretra dan
kandung kemih yang menyebabkan berbagai keluhan . Uretra mempunya empat lapisan
fungsional yang sensitive terhadap estrogen terdiri dari epitel ,vaskuler, jaringan
penyokong dan otot polos yang berfungsi pada pemeliharaan tekanan uretra. Keluhan
yang ditimbulkan berupa inkontinensia urin, peningkatan frekuensi berkemih ,nokturia
dan kesulitan berkemih.
Inkontinensia urin disebabkan perubahan pada jaringan epitel dan vascular yang
terletak di antara mukosa dan jaringan otot. Bagian distal uretra akan menjadi kaku dan
tidak elastis sehingga sukar untuk menutup sempurna. Bila kandung kemih penuh maka
tetesan urin dapat keluar tidak terkontrol. Penutupan yang tidak sempurna juga
menyebabkan bakteri dan substansi berbahaya lain dapat masuk ke dalam kandung kemih
sehingga dapat terjadi inflamasi uretra dan kandung kemih.
Inkontinensia diatas terjadi akibat proses penuaan akibat penurunan kadar estrogen.
Secara mekanisme dapat disebakan:
1. Uretra gagal untuk menutup secara sempurna dan menjadi sangat mudah
digerakkan . Disebut Uretra hipermonilitas.
2. Kelemahan otot yang melingkari leher kandung kemih. Disebut Defisiensi Sfingter
intrindik / Intrinsic sphincteric deficiency ( ISD)
100
VII. Kerangka Konsep
VIII. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur diagnostik yang diperlukan
mempunyai hasil yang baik untuk menegakkandiagnosis gangguan ini. Jenis inkontinensia
urine yang utama yaitu inkontinensiastres, urgensi, luapan dan fungsional. Penatalaksanaan
konservatif dilakukanpada kasus inkompetem sfingter uretra sebelum terapi bedah. Bila
dasar inkontinensia neurogen atau mental maka pengobatan disesuaikan dengan faktor
penyebab.
101
IX. Daftar Pustaka
Aru W. Sudoyo. 2009. Inkontinensia urin dan kandung kemih hiperaktif.
Jakarta:Interna Publising. Hal. 869
Cummings JM, Rodning CB .2000. Urinary stress incontinence among obese
women:Review of pathophysiology therapy. Int UroQynecol J 11:41-44.
Elder, R. and Kelleher C. Urogynecology in handbook of gynecology management.
London: Blackwell Science Ltd, 2002. p. 292-7
Espallargues M, Estrada MD, Sol M, Sampietro-Colom L, Ro LD, Granados A.
Bone densitometry in Catalonia, diffusion and practice. Catalan Agency for Health
Technology Assessment, Barcelona 1999.
Fahron, A. , 2006.Tesis: Faktor-faktor yang berhubungan dengan inkontinensia urin
tipe stres pada perempuan usia lanjut di RSCM Jakarta. Universitas Indonesia.
Hailey D, Sampietro-Colom L, Marshall D, Rico R, Granados A, Asua J, et al.
INAHTA project on the effectiveness of bone density measurement and associated
treatments for prevention of fractures, Statement of findings. Alberta Heritage Foundation
for Medical Research 1996.
McKinley M, O'Loughlin VD: Urinary system. In Human Anatomy. New York,
McGraw-Hill, 2006, p 843
Pranarka K. 20011. Inkontinensia Urin. Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri
Ed.4.Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 237
Purnomo B. Basuki. 2009. Dasar-dasar urologi edisi kedua. Malang:
FakulasKedokteran Universitas Brawijaya. Hal. 108-112.
Rajan, SS and Kohli N. Incontinence and pelvic floor dysfunction in primary care:
epidemiology and risk factors in urogynecology in primary care. London: Springer-Verlag
London Ltd, 2007. p. 1-4
Rachman IA. 2004.Osteoporosis primer pada wanita pasca menopause ( Peranan
Hormon Estrogen Menjelang Usia Lanjut) . Maj. Obstet Ginekol Indones
102
Rusult from the National Osteoporosis Risk Assessment.Identification anda fractur
outcomes.JAMA 2001;286:2815-2822
Saigal, C. and Litwin MS. Epidemiology of female urinary incontinence in female
urology, urogynecology, and voiding dysfunction. New York: Marcel Dekker, 2005. p. 45-
8
Santoso BI. 2008 .Inkontinensia urin pada perempuan. MKI. ;vol58(no.7): 258-64
Setiati S, Pramantara IDP. Buka ajar ilmu penyakit dalam. Inkontinensiaurin dan
kandung kemih hiperaktif. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta:InternaPublishing; 2009: hal 865-875.
Siti Maryam, et al. 2008.Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta:Salemba
Medika;
Suparman E.2002. Patofisiologi/ Gejala Klinik Masa Perimenopause .Temu Ilmiah:
Fertilitas Endokrinologi Reproduksi. Bandung.
Vitriana. Evaluasi dan manajemen medis inkontinensia urin. Bagian Ilmu
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi FK-UNPAD, 2002.
Weber, AM and Walters MD. Epidemiology of incontinence and prolapse in vaginal
surgery for incontinence and prolapse. London: Springer-Verlag London Limited, 2006. p.
11-8
Winkjosastro, H. (editor ketua). Beberapa aspek urologi pada wanita dalam ilmu
kandungan. Ed.2. Cetakan 7. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2009. Hal:
460-5
Wiratmoko, A. Tesis: Pola inkontinensia urin pada wanita usia diatas lima puluh
tahun. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2003.
Yunizaf H. 2000. Overactive Bladder .Kumpulan Makalah Simposium :
Inkontinensia. Bali