Anda di halaman 1dari 103

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO C BLOK 24 TAHUN 2014







Disusun oleh:
Kelompok L10
Astary Utami 04111001004
Putri Nilam Sari 04111001025
Beuty Savitri 04111001031
Mary Gisca Theressi 04111001036
Johannes Lie 04111001038
Agien Tri Wijaya 04111001041
Yuni Paradita Djunaidi 04111001042
Obby Saleh 04111001048
Hajrini Andwiarmi A 04111001047
Denis Puja Sakti 04111001049
Sabrina Sinurat 04111001066
Vhandy Ramadhan 04111001070
Yasinta Putri Astria 04111001073
Dipika Awinda 04111001074

Tutor : dr. Ramli

PENDIDIKAN DOKTER UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA


1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun haturkan kepada Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya
laporan tutorial skenario C blok 24 ini dapat terselesaikan dengan baik.
Laporan ini bertujuan untuk memaparkan hasil yang didapat dari proses belajar tutorial,
yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Penyusun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak- pihak yang terlibat dalam
pembuatan laporan ini, mulai dari tutor pembimbing, anggota kelompok L10 tutorial, dan
juga teman-teman lain yang sudah ikut membantu dalam menyelesaikan laporan ini.
Tak ada gading yang tak retak. Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini
masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik akan sangat bermanfaat bagi
revisi yang senantiasa akan penyusun lakukan.



Palembang, 16 April 2014

Penyusun






2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................................................... 1
Daftar Isi ................................................................................................................................ 2
Skenario C Blok 24 ............................................................................................................... 3
Klarifikasi Istilah ................................................................................................................... 3
Identifikasi Masalah ............................................................................................................... 4
Analisis Masalah .................................................................................................................... 4
Hipotesis ............................................................................................................................... 46
Learning Issues ...................................................................................................................... 47
- Inkontinensia Urine .................................................................................................... 47
- Depresi pada geriatric ................................................................................................ 61
- Osteoporosis ............................................................................................................... 67
- Obesitas ...................................................................................................................... 71
- Sistolik hipertensi ....................................................................................................... 74
- Atrial fibrilasi ............................................................................................................. 93
- Menopause ................................................................................................................ 97
Kerangka Konsep ................................................................................................................... 100
Kesimpulan ............................................................................................................................ 100
Daftar Pustaka ........................................................................................................................ 101



3
I. Skenario C Blok 24
Mrs. Minah ,63 years old female, complains of two episodes of urinary incontinence.
On both occsions she was unable to reach a bathroom in time to prevent loss of urine. The
first episode occured when she was in her car and the second while she was in shopping
mall. She is reluctant to go out because of this problem urge incotinence . She has no
menstrual periode since she was 50. Whithin the last month ,her husband died and ever
since she stayed with a housemaid.
Physical examination found the body weight is 75 kg, height is 156 cm , the blood
pressure is 150/80 mmHg, there is apical-radial pulse deficit, body temperature is 36,5

C,
there is no exertional dyspnea, fatigue, and headache.
Laboratory finding is within normal limit.
Lumbar densitometry is -3,0 and femoral densitometry is -2,7.
Geriatric Depression Scale (GDS) 6 , MMSE score is 26.
Mrs. Minah so far was in treatment of catopril 12,5 mg, two times daily.
II. Klarifikasi Istilah
1. Incontinence = ketidakmampuan untuk mengendalikan pengeluaran urin.
2. Urge incontinence = pengeluaran urin secara involunter akibat peregangan orifisium
vesika urinaria seperti pada saat batuk atau bersin.
3. No menstrual periode = berhentinya menstruasi karena aktor usia.
4. Apical radial pulse deficit =perbedaan antara denyut apical atau precordial dengan
denyut radial.
5. Exertional dyspnea = sesak nafas yang terjadi pada saat beraktivitas
6. Lumbar densitometry = pengukuran densitas(kepadatan) tulang pada bagian os
lumbar.
7. Femoral densitometry = pengukuran densitas(kepadatan) tulang pada bagian os
femur
8. Geriatric depression scale =skala penilaian 30 item untuk mengidentifikasi depresi
pada orang tua.


4
9. MMSE( Mini Mental Stage Examination ) = instrumen yang digunakan untuk
skrining fungsi kognitif.
10. Captopril = suatu inhibitor angiotensin converting enzim yang digunakan dalam
pengobatan hipertensi ,gagal jantung kongestif, dan disfungsi ventrikel kiri, pasca
infark mio kardium.

III. Identifikasi Masalah

1. Nyonya Minah , 63 tahun , mengeluh dua kali kejadian inkontinensia urin. Pada
kedua kejadian nyonya Minah tidak mampu mencapai kamar mandi tepat waktu
untuk buang air kecil. Kejadian pertama terjadi ketika sedang berada di dalam mobil
dan yang kedua terjadi pada pusat pemberlanjaan . Ny. Minah tidak berkeinginan
unutk keluar rumah akibat kejadian inkontinensia urin.
2. Nyonya Minah mengalami menopause pada umur 50 tahun.
3. Suami nyonya Minah telah wafat sebulan yang lalu dan sekarang tinggal dengan
pembantu.
4. Pemeriksaan fisik
Berat badan 75 kg ; Tinggi badan 156 cm ; Tekanan darah 150/80 mmHg ; defisit
denyut apical-radial ; suhu tubuh 36,5

C ; tidak ada exertional dyspnea,fatigue dan


sakit kepala.
5. Pemeriksaan penunjang
Densitometri lumbar (-3) dan femur (-2,7) ; GDS 6 ; MMSE 26
6. Riwayat pengobatan captopril 12,5 mg 2 kali sehari

IV. Analisis Masalah

Masalah1
Nyonya Minah , 63 tahun , mengeluh dua kali kejadian inkontinensia urin. Pada
kedua kejadian nyonya Minah tidak mampu mencapai kamar mandi tepat waktu untuk buang air
kecil. Kejadian pertama terjadi ketika sedang berada di dalam mobil dan yang kedua terjadi pada
pusat pemberlanjaan . Ny. Minah tidak berkeinginan untuk berpergian akibat kejadian urge
inkontinensia urin.


5

1. Bagaimana anatomi sistem urinari wanita?
Jb.
Kandung kemih, anyaman serat otot polos. Longitudinal >>
sirkuler >> longitudinal kembali.
Bladder Neck, Lanjutan otot detrusor
Sfringter uretra, dibentuk oleh serat-serat otot lurik. Peranannya
ialah untuk menahan miksi.
Trigonum, kelanjutan otot ureter Fungsinya adalah memperlancar
arus urin dari ureter ke arah kandung kemih.
Ureter-vesika junction , Struktur ini merupakan katup yang
membuka saat pengisian kandung kemih dan menutup saat
kontraksi otot detrusor.
Anatomi vesica urinaria (kandung kemih)
Lapisan kandung kemih yaitu : lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan
submukosa,lapisan mukosa. Kandung kemih adalah ruangan berdinding otot polos yang
terdiri dari 2 bagian besar,yaitu ;
(1) Corpus, merupakan bagian utama vesica urinaria di mana urin berkumpul
(2) Collum, merupakan lanjutan dari corpus yang berbentuk corong.
Otot polos kandung kemih disebut otot detrusor, serat-seratnya ke segala arah dan
apabila berkontraksi dapat menigkat tekanan intra vesica menjadi 40-60 mmHg. Kontraksi
otot detrusor adalah langkah terpenting dalam proses berkemih. Pada dinding posterior
kandung kemih, tepat di atas collum vesicae terdapat daerah berbentuk segitiga yang
lapisan mukosanya halus (kecuali daerah ini, lapisan mukosa dinding kandung kemih
berbentuk ruggae/berlipat-lipat). Collum (leher kandung kemih) panjangnya 2-3 cm,
dindingnya terdiri dari dari otot detrusor yang bersilangan dengan sejumlah besar jaringan
elastic. Otot pada daerah ini disebut sphincter urethra internum. Setelah urethra posterior,
urethra berjalan melewati diafrgama urogenital, yang mengandung lapisan otot yang
disebut sphincter urethra externum. Otot ini merupakan otot lurik yang bekerja dibawah


6
kesadaran dan dapat melawan upaya kendali involunter yang berusaha untuk
mengosongkan kandung kemih.
Persarafan kandung kemih
Persarafan utama kandung kemih ialah nervus pelvikus, yang berhubungan dengan
medulla spinalis melalui pleksus sakralis, terutama dengan segmen S-2 dan S-3. Berjalan
dari nervus pelvikus ini adalah serat saraf sensorik dan serat saraf motorik. Serat sensorik
mendeteksi derajat regangan pada dinding kandung kemih. Tanda-tanda regangan dari
urethra (posterior) dan terutama bertanggung jawab untuk mencetuskan reflex berkemih.
Saraf motorik yang menjalar dalam nervus pelvikus adalah serat parasimpatis. Serat ini
berakhir pada sel ganglion yang terletak dalam dinding kandung kemih. Saraf postganglion
pendek kemudian mempersarafi otot detrusor.
Selain nervus pelvikus, terdapat 2 tipe persarafan lain yang penting untuk fungsi
kandung kemih. Yang terpenting adalah serat otot lurik yang berjalan melalui nervus
pudendal menuju sfingter eksternus kandung kemih. Ini adalah serat saraf somatik yang
mempersarafi dan mengontrol otot lurik pada sfinter. Kandung kemih juga menerima saraf
simpatis dari rangkaian simpatis melalui nervus hipogastrikus, terutama berhubungan
dengan segmen L-2 medulla spinalis.
Tipe Saraf Fungsi
Kolinergik parasimpatik (Nervus erigenus) Kontraksi bladder
Simpatetik Relaksasi bladder (dengan menghambat
tonus parasimpatis)
Simpatetik Relaksasi bladder (adrenergik beta)
Simpatetik Kontraksi leher bladder
Somatik (nervus pudendi) Kontraksi otot dasar panggul




7
2. Bagaimana fisiologi berkemih ?
Jb.
Pengisian Kandung Kemih
Dinding ureter terdiri dari otot polos yang tersusun dalam serabut-serabut spiral,
longitudinal dan sirkuler, tetapi batas yang jelas dari lapisan otot ini tidak terlihat.
Kontraksi peristalitik yang reguler terjadi 1-5 kali permenit yang menggerakkan urine dari
pelvis ginjal ke kandung kemih, dimana urine masuk dengan cepat dan sinkron sesuai
dengan gerakan gelombang peristaltik. Ureter berjalan miring melalui dinding kandung
kemih dan walaupun disini tidak terdapat alat seperti spingter uretra, jalannya yang miring
cenderung membiarkan ureter tertutup, kecuali sewaktu gelombang peristaltik guna
mencegah refluk urine dari kandung kemih (Ganong,1983).
Sewaktu pengisian normal kandung kemih, akan terjadi hal-hal sebagai berikut:
- Sensasi kandung kemih harus intak
- Kandung kemih harus tetap dapat berkontraksi dalam keadaan tekanan rendah
walaupun volume urine bertambah
- Bladder outlet harus tetap tertutup selama waktu pengisian ataupun saat terjadi
peninggian tekanan intra abdomen yang tiba-tiba
- Kandung kemih harus dalam keadaan tidak berkontraksi involunter
Pengosongan Kandung Kemih
Kandung kemih hanya mempunyai dua fungsi yaitu untuk mengumpulkan
(pengisian) dan mengeluarkan (pengosongan) urin menurut kehendak. Aktifitsas sistem
saraf untuk kedua sistem ini adalah berbeda. Proses berkemih adalah suatu proses yang
sangat komplet dan masih banyak membingungkan. Berkemih dasarnya adalah suatu reflek
spinal yang dirangsang dan dihambat oleh pusat-pusat di otak, seperti halnya perangsangan
defekasi, dan penghambatan ini volunter. Urine yang masuk kedalam kandung kemih tidak
menimbulkan kenaikan tekanan intra vesikal yang berarti, sampai kandung kemih benar-
benar terisi penuh. Seperti otot polos lainnya otot-otot kandung kemih juga mempunyai
sifat elastis bila diregangkan. Pengosongan kandung kemih melibatkan banyak faktor,
tetapi faktor tekanan intra vesikal yang dihasilkan oleh sensasi rasa penuh adalah
merupakan pertama untuk berkontraksinya kandung kemih secara volunter. Selama
berkemih otot-otot perineal dan muskulus spingter uretra eksternus mengalami relaksasi,


8
sedangkan muskulus detrusor mengalami kontraksi yang menyebabkan urin keluar melalui
uretra. Pita-pita otot polos yang terdapat pada sisi uretra tampaknya tidak mempunyai
peranan sewaktu berkemih, dimana fungsi utamanya diduga untuk mencegah refluk semen
kedalam kandung kemih sewaktu ejakulasi (Ganong,1983).
Mekanisme pengeluaran urine secara volunter, mulainya tidak jelas. Salah satu
peristiwa yang mengawalinya adalah relaksasi otot diafragma pelvis yang menyebabkan
tarikan otot-otot detrusor kebawah untuk memulai kontraksinya. Otot-otot perineal dan
spingter eksterna berkontraksi secara volunter yang mencegah urine masuk kedalam uretra
atau menghentikan aliran saat berkemih telah dimulai. Hal ini diduga merupakan
kemampuan untuk mempertahankan spingter eksterna dalam keadaan berkontraksi, dimana
pada orang dewasa dapat menahan kencing sampai ada kesempatan untuk berkemih.
Setelah berkemih uretra wanita kosong akibat gravitasi, sedangkan urine yang masih ada
dalam uretra laki-laki dikeluarkan oleh beberapa kontraksi muskulus bulbo kavernosus
(Tanagho,1995;Turek,1993).
Pada orang dewasa volume urine normal dalam kandung kemih yang mengawali
reflek kontraksi adalah 300-400 ml. Didalam otak terdapat daerah perangsangan untuk
berkemih di pons dan daerah penghambatan di mesensefalon. Kandung kemih dapat dibuat
berkontraksi walau hanya mengandung beberapa milliliter urine oleh perangsangan
volunter reflek pengosongan spiral. Kontraksi volunter otot-otot dinding perut juga
membantu pengeluaran urine dengan menaikkan tekanan intra abdomen. Pada saat
kandung kemih berisi 300-400 cc terasa sensasi kencing dan apabila dikehendaki atas
kendali pusat terjadilah proses berkemih yaitu relaksasi spingter (internus dan eksternus)
bersamaan itu terjadi kontraksi otot detrusor buli-buli. Tekanan uretra posterior turun
(spingter) mendekati 0 cmH2O sementara itu tekanan didalam kandung kemih naik sampai
40 cmH2O sehingga urin dipancarkan keluar melalui uretra (Rochani, 2000).
Retensi Urin
Penyebab retensio urine dapat dibagi menjadi 3 kelompok (Rochani,2000) :
1. Supra Vesika
Penyebab supra vesikal adalah hal-hal yang disebabkan karena persarafan kandung
kemih misalnya trauma medula spinalis, atau kerusakan syaraf-syaraf sympatis dan para


9
sympatis akibat trauma operasi atau neuropati DM. Obat-obatan anticholinergike, smooth
muscle relaksasi. Symphatikomimetik dapat menyebabkan retensi urine.

2. Vesika
Penyebab vesikal adalah kelainan-kelainan kandung kemih yang diakibatkan
obstruksi lama atau infeksi kronis yang menyebabkan fibrosis buli-buli sehingga kontraksi
buli-buli melemah.

3. Infra Vesikal
Penyebab infra vesikal adalah penyebab mekanik seperti :
a. Klep uretra posterior kongenital
b. Meatus stenosis kongenital
c. Striktur uretra
d. Batu uretra
e. Prostat hipertropi

Proses Berkemih
Reflek berkemih adalah reflek medula spinalis yang seluruhnya bersifat otomatis.
Selama kandung kemih terisi penuh dan menyertai kontraksi berkemih, keadaan ini
disebabkan oleh reseptor regang sensorik pada dinding kandung kemih sampai reseptor
pada uretra posterior ketika mulai terisi urin pada tekanan kandung kemih yang lebih
tinggi. Sinyal sensorik dari reseptor kandung kemih ke segmen sakral medula spinalis
melalui nervus pelvikus kemudian secara reflek kembali lagi ke kandung kemih melalui
syaraf parasimpatis (Syaifuddin, 2001). Berkemih pada dasarnya merupakan reflek spinal
yang akan difasilitasi dan dihambat oleh pusat-pusat susunan syaraf yang lebih tinggi. Urin
yang memasuki kandung kemih tidak begitu meningkatkan tekanan intravesika sampai
terisi penuh. Pada kandung kemih ketegangan akan meningkat dengan meningkatnya isi
organ tersebut, tetapi jari-jaripun bertambah, oleh karena itu peningkatan tekanan hanya
akan sedikit saja, sampai organ tersebut relatif penuh. Selama proses berkemih otot-otot
perinium dan sfingter uretra eksterna relaksasi, otot detrusor berkontraksi dan urin akan
mengalir melalui uretra. Kontraksi otot-otot perinium dan sfingter eksterna dapat dilakukan


10
secara volunter, sehingga mencegah urin mengalir melewati uretra atau menghentikan
aliran urin saat sedang berkemih (Guyton, 2006).
Proses pengosongan kandung kemih terjadi bila kandung kemih terisi penuh. Proses
miksi terdiri dari dua langkah utama:
1. Kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya
meningkat diatas nilai ambang, yang kemudian mencetuskan langkah kedua. Terjadinya
distensi atau peningkatan tegangan pada kandung kemih mencetuskan refleks I yang
menghasilkan kontraksi kandung kemih dan refleks V yang menyebabkan relaksasi uretra.
2. Timbul refleks saraf yang disebut reflek miksi (refleks berkemih) yang
berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal setidaknya menimbulkan
kesadaran dan keinginan untuk berkemih. Ketika proximal uretra mengalirkan urin maka
akan mengaktifkan refleks II yang akan menghasilkan kontraksi kandung kemih dan IV
sehingga stingfer eksternal dan uretra akan berelaksasi, sehingga urin dapat keluar. Jika
tejadi distensi pada uretra yang bisa disebabkan karena sumbatan, atau kelemahan sfingter
uretra maka akan mengaktifkan refleks III, sehingga kontraksi kandung kemih melemah.
Reflek berkemih adalah refleks medulla spinalis yang seluruhya bersifat autonomik,
tetapi dapat dihambat atau dirangsang di otak. Pusat yang lebih tinggi dapat mencegah
berkemih, bahkan ketika refleks berkemih muncul, yaitu dengan membuat kontraksi tonik
terus menerus pada sfingter eksternus kandung kemih sampai mendapat waktu yang baik
untuk berkemih. Jika sudah tiba saat berkemih, pusat cortical dapat merangsang pusat
berkemih sacral untuk membantu mencetuskan refleks berkemih dan dalam waktu yang
bersamaan menghambat sfingter eksternus kandung kemih sehingga peristiwa berkemih
dapat terjadi (Guyton, 2006).
Pada kondisi tertentu, proses berkemih tidak dapat terjadi secara normal, oleh
karenanya diperlukan tindakan khusus untuk tetap dapat mengeluarkan urin dari kandung
kemih, yaitu dengan pemasangan kateter. Pola eliminasi urin sangat tergantung pada
individu, biasanya berkemih setelah bekerja, makan atau bangun tidur. Normalnya dalam
sehari sekitar lima kali. Jumlah urin yang dikeluarkan tergantung pada usia, intake cairan,
dan status kesehatan. Pada orang dewasa sekitar 1200 sampai 1500 ml per hari atau 150-
600 ml per sekali berkemih.
Perubahan Fisiologis Sistem Urinaria pada Geriatri


11

3. Apa etiologi dan bagaimana fisiologi dari inkontinensia urin?
Jb.
Tabel klasifikasi dan etiologi inkontinensia persisten
Tipe Definisi Penyebab
Inkontinensia
urge
Ketidakmampuan untuk menunda
pengeluaran air kemih lebih dari
beberapa menit setelah penderita
merasakan kandung kemihnya penuh
Infeksi saluran kemih
Kandung kemih yg terlalu aktif
Penyumbatan aliran kemih
Batu & tumor kandung empedu
Obat, terutama diuretic

Kandung kemih fungsi kontraktil tidak
efektif lagi & mudah terbentuk trabekulasi
sampai divertikel akibat dari peningkatan
fibrosis & kandungan kolagen
Perubahan morfologis
Trabekulasi
Fibrosis
Saraf autonom
Pembentukan divertikula
Perubahan fisiologis
Kapasitas
Kemampuan menahan kencing
Kontraksi involunter
Volume residu pasca berkemih
Uretra:
tekanan penutupan uretra & tekanan
outflow akibat dari atrofi mukosa,
perubahan vaskularisasi submukosa &
menipisnya lapisan otot uretra
Perubahan morfologis
Komponen seluler
Deposit kolagen
Perubahan fisiologis
Tekanan penutupan
Tekanan akhiran keluar


12
Tabel klasifikasi dan etiologi inkontinensia persisten
Tipe Definisi
Penyebab
Inkontinensia
stres
Kebocoran air kemih, biasanya
berupa pancaran kecil, yg disebabkan
oleh meningkatnya tekanan di dalam
perut, yg terjadi pada saat penderita
batuk, tertawa, mengedan, bersin
atau mengangkat benda berat
Kelemahan pada sfingter (otot yg mengendalikan
aliran kemih dari kandung kemih)
Pada wanita, berkurangnya tahanan terhadap aliran
kemih melalui uretra, biasanya karena kekurangan
estrogen
Perubahan anatomis yg disebabkan oleh melahirkan
banyak anak atau pembedahan panggul
Pada pria, pengangkatan prostat atau cedera pada
bagian atas uretra atau leher kandung kemih
Inkontinensia
overflow
Penimbunan air kemih dalam
kandung kemih yg terlalu banyak
sehingga sfingter tidak mampu
menahannya dan terjadi kebocoran
yg hilang-timbul, seringkali tanpa
sensasi kandung kemih
Penyumbatan aliran air kemih, biasanya disebabkan
oleh pembesaran atau kanker prostat (pada pria) &
karena penyempitan uretra (pada anak-anak)
Kelemahan otot kandung kemih
Kelainan fungsi saraf
Obat-obatan
Inkontinensia
total
Kebocoran berkesinambungan karena
sfingter tidak menutup
Cacat bawaan
Cedera pada leher kandung kemih (misalnya karena
pembedahan)
Inkontinensia
psikogenik
Hilangnya pengendalian karena
kelainan psikis
Gangguan emosional (misalnya depresi)
Inkontinensia
campuran
Gabungan dari berbagai keadaan
diatas.
Banyak wanita yg mengalami
inkontinensia campuran antara stress
& desakan
Gabungan dari berbagai penyebab diatas

Mekanisme terjadi inkontinensia juga berbeda berdasarkan klasifikasinya. Secara
garis besar Inkontinensia urin terbag menjadi dua yaitu :


13
1.Inkontinensia Transien. Inkontinensia transien memiliki onset yang mendadak,
biasanya dihubungkan dengan penggunaan obat-obatan atau penyakit akut.
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet
sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin
umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat
memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia
persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya.
Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan
inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis)
mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan
inkontinensia akut.
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia
urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat
menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia
urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin
seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik,
antikolinergik dan diuretic.
Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat
menggunakan akronim (Resnick 1984) di bawah ini :
D: Delirium
I : Infection of urinary tract or other infection
A: Atrophic urethritis and vaginitis
P : Pharmaceutical (diuretics, anticholinergic, antihistamine, Ca channel blocker)
P : Psychological Problems, especially depression
E : Excess urine output (eg. congestive heart failure, hyperglycaemia)
R: Restricted mobility
S : Stool impaction
2.Inkontinensia Urin Persisten Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan
dalam berbagai cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek
klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi
klinis.



14
Kategori klinis meliputi :
a. Inkontinensia urin stress (stres inkontinence). Tak terkendalinya aliran urin akibat
meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga.
Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab
tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada
wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah
pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat
tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.
Inkontinesia urin stres dapat dibedakan dalam 4 jenis yaitu:
Tipe 0: pasien mengeluh kebocoran urin tetapi tidak dapat dibuktikan melalui pemeriksaan.
Tipe l: IU terjadi pada pemeriksaan dengan manuver stres dan adanya sedikit penurunan
uretra pada leher vesika urinaria.
Tip 2: IU terjadi pada pemeriksaan deng;an penurunan uretra pada leher vesika urinaria 2
crn atau lebih
Tipe 3 : uretra terbuka (lead pipe) danarea leher kandung kemih tanpa kontraksi kandung
kemih. Leher uretra dapat menjadi fibrotik (riwayat trauma atau bedah sebelumnya)
dengan gangguan neurologik atau keduanya. Tipe ini disebut juga defisiensi sfingter
intrinsik.
b. Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence). Keluarnya urin secara tak
terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini
umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity).
Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini,
meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien
mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih
sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan
penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia
urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien
mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama
sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi.
c. Inkontinensia urin luapan / overflow (overflow incontinence). Tidak terkendalinya
pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini
disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada


15
diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak
berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya
mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.
d. Inkontinensia urin fungsional. Memerlukan identifikasi semua komponen tidak
terkendalinya pengeluaran urin akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab
tersering adalah demensia berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang
menyebabkan kesulitan untuk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis.

4. Apa hubungan umur dan jenis kelamin denga kejadian inkontinensia urin pada
kasus?
Jb.
Umur dan jenis kelamin pada kasus ini merupakan faktor resiko untuk terjadinya
inkontinensia urine.
Inkontinensia tidak harus dikaitkan dengan lansia. Inkontinensia dapat dialami
setiap individu pada usia berapa pun walaupun kondisi ini lebih umum dialami oleh lansia.
Dimana penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar
prostat, penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik atau sedatif. Akan tetapi
Semakin tua seseorang, semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urin karena
terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot-otot dasar panggul. Pengaruh penuaan
akan menyebabkan terjadinya atrofi pada seluruh organ tubuh, termasuk juga pada organ
urogenital.
Perubahan-perubahan fisiologik terkait proses menua pada saluran kemih bawah :
Kandung kemih Perubahan morfologis :
Trabekulasi
Fibrosis
Saraf autonom
Pembentukan divertikula
Perubahan fisiologis :
Kapasitas
Kemampuan menahan kencing
Kontraksi involunter
Volume residu paca berkemih


16
Uretra Perubahan morfologis :
Komponen selular
Deposit kolagen
Perubahan fisiologis :
Tekanan penutupan
Tekanan aliran keluar
Vagina Komponen seluler
Mukosa atrofi
Dasar panggul Deposit kolagen
Rasio jaringan ikat:otot
Otot melemah

Perempuan mengalami inkontinensia urin dua kali lebih sering daripada laki-laki.
Hal ini disebabkan karena perempuan mengalami proses kehamilan, persalinan,
menopause, serta struktur kandung kemih yang berbeda dengan laki-laki. Inkontinensia
urin pada perempuan biasanya disebabkan karena kelemahan otot-otot dasar panggul yang
menyangga saluran kemih dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga urin keluar
begitu saja tanpa dapat ditahan. Selain itu juga da[at disebabkan Dengan menurunnya
kadar hormon estrogen pada perempuan di usia menopause, akan terjadi penurunan tonus
otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya
inkontinensia urin.

5. Apa makna klinis dari kalimat ia tidak mampu mencapai kamar mandi tepat waktu
untuk buang air kecil ?
Jb.
Dari kalimat yang tertera pada kasus dapat diambil kesimpulan bahwa nyonya Minah
tidak dapat menahan keinginannya untuk buang air kecil selain itu bisa juga disebabkan
adanya gangguan mobilisasi pada nyonya Minah sehingga urin keluar tanpa dapat
dikontrol ( inkontinensia ). Inkontinensia urin (IU) merupakan suatu gejala dan bukan
merupakan suatu penyakit, oleh karena itu penanganan kasus IU dilakukan dengan
pendekatan multidisiplin. .



17
6. Bagaimana makna klinis dari kalimat dia tidak berkeinginan untuk berpergian
akibat masalah urge inkontinensia ?
Jb.
Dari keluhan nyona Minah dapat disimpulkan bahwa nyonya Minah mengalami
inkontinensia urgensi. Inkontinensia Urgensi adalah pelepasan urine yang tidak terkontrol
sebentar setelah ada peringatan ingin melakukan urinasi. Disebabkan oleh aktivitas otot
destrusor yang berlebihan atau kontraksi kandung kemih yang tidak terkontrol.
Karena hal tersebut dia tidak akan nyaman ,jika setiap berpergian tidak mampu untuk
menunda pengeluaran air kemih lebih dari beberapa menit, di mana ada dorongan yang
kuat untuk berkemih sehingga membuat nyonya akan selalu mencari toilet ataupun nyonya
Minah bisa ngompol.Oleh karena itu nyonya mina merasa malu dan malas untuk
berpergian yang kemudian dapat menyebabkan nyonya Minah merasa depresi.

Masalah 2
Nyonya Minah mengalami menopause pada umur 50 tahun.
1. Apa hubungan kejadian menopause dengan inkontinensia urin pada kasus?
Jb.
Menopause adalah pertanda bahwa ovarium tidak lagi memproduksi hormon
estrogen. Pada masa menopause terjadi perubahan endokrin yang diduga berkaitan dengan
proses penuaan yang terjadi pada aksis hipotalamus-hipofisis dan ovarium. Akibatnya
terjadi gangguan interaksi antara hormon yang dihasilkan oleh ketiga organ tersebut.
Terutama terjadi penurunan produksi hormon estrogen oleh ovarium. Penurunan hormon
estrogen (estradiol) ini disebabkan oleh proses penuaan pada ovarium. Akibatnya ovarium
menjadi kecil, dindingnya tebal dan tidak dapat lagi menjawab rangsangan hormon FSH
untuk membentuk estradiol. Penurunan estradiol mencapai kadar < 108 pg/ml dan
peningkatan FSH mencapai > 25 mIU/ml, yang menandakan awal dari masa menopause.
Pada masa menopause estradiol menurun sampai di bawah 10%.
Hormon estrogen berkerja pada organ sasaran melalui reseptor estrogen dan .
Jaringan yang memiliki reseptor estrogen dan adalah kulit, otak, tulang, uterus, vesika
urinaria, uretra, ovarium, kardiovaskuler, dan payudara. Jaringan yang hanya memiliki
reseptor estrogen adalah traktus gastrointestinal, sedangkan jaringan yang hanya


18
memiliki reseptor adalah hepar. Interaksi estrogen dengan reseptornya akan
menghasilkan proses anabolik. Akibatnya bila terjadi penurunan estrogen terutama pada
traktus urinarius perempuan menopause akan perubahan struktur dan fungsi. Estrogen
dapat mempertahankan kontinesia dengan meningkatkan resistensi uretra, meningkatkan
ambang sensoris kandung kemih, dan meningkatkan sensitivitas adreno reseptor pada
otot polos uretra. Uretra dan ureter merupakan jaringan yang tergantung pada estrogen.
Penurunan estrogen diduga ikut berperan dalam perubahan struktur dan fungsi pada
dinding uretra dan kandung kemih yang menyebabkan berbagai keluhan. Uretra
mempunyai empat lapisan fungsional yang sensitif terhadap estrogen, terdiri dari epitel,
vaskuler, jaringan penyokong dan otot polos yang berfungsi pada pemeliharaan tekanan
uretra. Keluhan yang ditimbulkan berupa inkontinensia urin, peningkatan frekuensi
berkemih, nokturia, dan kesulitan berkemih.
Inkontinensia urin disebabkan perubahan pada jaringan epitel dan vaskuler yang
terletak di antara mukosa dan jaringan otot. Bagian distal uretra akan menjadi kaku dan
tidak elastis sehingga sukar untuk menutup sempurna. Bila kandung kemih penuh maka
tetesan urin dapat keluar tidak terkontrol. Penutupan yang tidak sempurna juga
menyebabkan bakteri dan substansi berbahaya lain dapat masuk ke dalam kandung kemih
sehingga dapat terjadi inflamasi uretra dan kandung kemih.

Inkontinensia di atas terjadi akibat proses penuaan dan akibat penurunan kadar
estrogen. Secara mekanisme dapat disebabkan:
- Uretra gagal untuk menutup secara sempurna dan menjadi sangat mudah
digerakkan, disebut uretra hipermobilitas
- Kelemahan otot yang melingkari leher kandung kemih, disebut defisiensi sfingter
intrinsik/Intrinsic sphincteric deficiency atau ISD
Uretra hipermobilitas
Pada uretra hipermobilitas terjadi di mana uretra tidak menutup secara sempurna dan
sangat mudah digerakkan. Kondisi ini terjadi bila otot dasar pelvis menjadi lemah akibat
proses penuaan dan mengikuti hal-hal seperti di bawah ini:
- Tegangan dari otot-otot dasar pelvis berkurang
- Kandung kemih akan turun ke bawah


19
- Kandung kemih yang turun ke bawah akan mendesak otot-otot yang mengelilingi
leher kandung kemih.
-
Inkontinensia urin pada uretra hipermobilitas dikategorikan dalam 2 tipe yaitu:
- Tipe 1: Terjadi karena leher kandung kemih dan uretra tidak menutup dengan
sempurna.
- Tipe 2: Terjadi karena leher kandung kemih tergeser akibat perubahan posisi
kandung kemih seperti pada cystocele.


2. Bagaimana efek menopause terhadap wanita usia lanjut?
Jb.
Menopause dan inkontinensia : Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada
wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan
otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urin
Menopause dan Psikologis (sindroma menopause) : muda tersinggung, depresi,
merasa sedih, rasa takut, gugup, gangguan emosional dll.
Menopause dan Vasomotor : terdiri dari hot flushes dan keringat malam. Hot flushes
terjadi akibat gangguan termoregulator hipotalamus yang diinduksi oleh penurunan kadar
esterogen dan progesterone. Instablitas ini menimbulan perubahan yang tiba tiba berupa


20
vasodilatasi perifer mendadak dan bersifat sementara yang muncul sebagai hot flushes.
Bila muncul dimalam hari maka dilaporkan pasien sebagai keringat malam.
Menopause dan Urogenital : urera dan vagina berasal dari jaringan embrionik yang
sama sehingga defisisnesi esterogen menyebabkan atrofi pada keduanya. Diding vagina
akan menipism dan terjadi atrofi kelenjar vagina , sehingga lubrikasi berkurag dan
menyebabkan dispareuni. Efek defisiensi esterogen pada uretra dan kandung kemih
berhubungan dengan ssindrom uretral berupa frequency, urgency dan disuria.
Menopause dan Sruktur Tulang : osteoporosis. Menopause menyebabkan
berkurangnya estrogen sehingga berkurangnya kolagen. Fungsi kolagen untuk memberikan
kekuatan dan membentuk struktur tulang, yang bekerja bersama garam posfor dan kalsium.
Kolagen juga untuk memberikan kekuatan pada otot dan dinding pembuluh darah. Pada
kulit, kekurangan kolagen dapat menyebabkan kurangnya aliran darah pada kulit sehingga
kulit tampak kasar dan keriput.
Dilaporkan 25% wanita menopause akan kehilangan kalsium 3% setahun dan
kejadian ini disebut osteoporosis. Proses osteoporosis pada dasarnya akibat kegagalan
aktivitas osteoblas, peningkatan absopsi kalsium dan ketidakseimbangan kalsium yang
berkepanjangan. Diperkirakan ada reseptor estrogen pada osteoblas. Estrogen juga
menekan aktivitas osteoklas untuk mengabsorpsi kalsium pada tulang.
Menopause dan Hipertensi ; Efek 17 b estradiol mampu menurunkan kontraksi otot
polos aorta, melalui pengaruhnya terhadap IGF-1 (insulin-like growth factor-1) dan
reseptor adrenergik a1D, menjadi salah satu dasar penjelasan fenomena hipertensi pada
wanita menopause dan postmenopause. terdapat interaksi antara reseptor adrenergik a1D di
intrasel dalam pengendalian kontraksi otot polos aorta tikus. 17 b estradiol mempunyai
efek menurunkan kontraktilitas otot polos aorta tikus dengan menurunkan ekspresi reseptor
adrenergik a1D di otot polos aorta tikus melalui IGF-1. Efek 17 b estradiol menurunkan
kontraksi otot polos aorta, melalui pengaruhnya terhadap IGF-1 dan reseptor adrenergik
a1D menjadi salah satu dasar penjelasan fenomena hipertensi pada wanita menopause dan
postmenopause. Selain itu ketika terjadinya menopause maka risiko aterosklerosis
meningkat pada wanita dan menjadi faktor risiko hipertensi.
Menopause dan Metabolik ; obesitas. Pada wanita yang telah mengalami menopause,
fungsi hormone tiroid didalam tubuhnya akan menurun. Oleh karena itu kemampuan untuk
menggunakan energi akan berkurang. Terlebih lagi pada usia ini juga terjadi penurunan


21
metabolisme basal tubuh, sehingga mempunyai kecenderungan untuk meningkat berat
badannya .

Masalah 3
Suami nyonya Minah telah wafat sebulan yang lalu dan sekarang tinggal dengan
pembantu .
1. Apakah ada hubungan dari wafatnya suami nyonya Minah dan tinggal dengan
pembantu dengan kejadian inkontinensia urin yang dialaminya? Jelaskan
Jb.
Dari literature mengenai uroogi disebutkan bahwa terdapat hubungan antara
gangguan psikiatri (depresi) dan inkontinensia urin. Didapatkan persentase yang besar dari
pasien depresi yang juga mengalami inkontinensia urin. Depresi juga memiliki hubungan
dengan urge incontinence, seperti dalam proses penuaan dandemensia dan pada gangguan
neurologic seperti hydrocephalus. Terdapat dua kemungkinan hipotesis mengenai urge
incontinence. Pertama, penurunan monoamines seperti serotonin dan noradrenalin di CNS
yang akan berakibat menjadi depresi dan hiperaktif kandung kemih. Kemudian, depresi
tidak hanya mengakibatkan persisten inkontinensia urin, tetapi individu dengan perubahan
CNS monoamins akan bermanifetasi menjadi depresi dan hiperaktif kandung kemih. Selain
itu, depresi dapat menyebabkan KKH (kandung kemih hiperaktif) dan menyebabkan
relaksasi sfingter uretra tidak tepat waktunya.
Keadaan berkabung/berduka dan hanya tinggal berdua dengan pembantunya
mempengaruhi kondisi psikologis Ny. Minah dan menjadi salah satu faktor risiko depresi,
namun untuk terjadi depresi itu sendiri diperlukan faktor risiko yang multipel

Masalah 4
Berat badan 75 kg ; Tinggi badan 156 cm ; Tekanan darah 150/80 mmHg ; defisit
denyut apical-radial ; suhu tubuh 36,5

C ; tidak ada exertional dyspnea,fatigue dan sakit kepala.





22
1. Bagaimana interpertasi dari hasil pemeriksaan fisik dan jelaskan hubungannya
dengan inkontinensia urin pada kasus ?
- Berat badan 75 kg
- Tinggi badan 156 cm
- Tekanan darah 150/80 mmHg
- Adanya defisit apical radial pulse
- Tidak ada exertional dsypnea , fatique dan sakit kepala.
Jb.
- BMI : BB/TB
2

: 75/(1,56)
2

: 75/2,4
: 31,25 (Obesitas kelas II )
Pada wanita dengan IMT (Indeks Massa tubuh) yang tinggi dapat terjadi peningkatan
tekanan intra abdominal, yang menekan dasar panggul menyebabkan aktivitas otot
destrusor yang berlebihan atau kontraksi kandung kemih yang tidak terkontrol.dan dapat
memberikan kontribusi pada perkembangan stres inkontinensia urin .
- Tekanan Darah 150/80 mmHg
Termsuk ke dalam klasifikasi Hipertensi Sistolik Terisolasi. Hipertensi sistolik
terisolasi mengacu pada peningkatan tekanan sistolik (tekanan sistolik mencapai 140
mmHg atau lebih) dengan tekanan diastolik normal (tekanan diastolik kurang dari 90
mmHg dan tekanan diastolik masih dalam kisaran normal) dan umumnya terjadi pada
kelompok usia lanjut. Hubungan antara hipertensi dengan inkontinensia urin adalah pada
orang-orang yang terkena hipertensi akan diberikan obat untuk mengontrol tekanan
darahnya seperti pada skenario, nyonya Minah diberikan obat Catopril yang salah satu efek
sampingnya adalah batuk. Batuk dapat meningkatkan tekanan intraabdominal dan pada
akhirnya akan menyebabkan terjadinya inkontinensia urin.
- Adanya defisit apical radial pulse


23
Dinilai dengan membandingkan pulse pada apex jantung terhadap arteri radialis pada
waktu yang sama selama 1 menit. Denyut pada a. Radialis jauh lebih lemah dibandingkan
pada apex jantung. Merupakan salah satu tanda terjadinya fibrilasi atrial. Akan tetapi masih
belum terdapat gejala pemberat berupa lemah, sesak napas terutama saat aktivitas, pusing,
gejala yang menunjukan adanya iskemia atau gagal jantung kongestif.
Apical radial pulse deficit Terjadi perbedaan irama antara nadi yang diperiksa di
apical (jantung) dan radial menandakan aritmia Fibrilasi Atrial.
- Tidak ada exertional dsypnea , fatique dan sakit kepala.
Tidak ada CHF, gagal ginjal


Masalah 5
Densitometri lumbar (-3) dan femur (-2,7) ; GDS 6 ; MMSE 26
1. Bagaimana interpretasi dan mekanisme dari hasil pemeriksaan ;
- Densitometri lumbar dan femur
- GDS
- MMSE
Jb.

Lumbal densitometry = -3,0
Femoral densitometry = -2,7
Interpretasi Osteoporosis



Dilaporkan 25% wanita menopause akan kehilangan kalsium 3% setahun dan
kejadian ini disebut osteoporosis. Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai
sitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel mononuclear seperti IL-1, IL-6 dan TNF-a


24
yang berperan meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian penurunan kadar estrogen
akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas
osteoklas meningkat.
Selain peningkatan aktifitas osteoklas, menopause juga menurunkan absorpsi
kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal.

Selain itu, menurunnya estrogen dapat menyebabkan :
- gangguan aktivasi sel osteoblast
- gangguan pengendapan matriks tulang
- berkurangnya deposit kalsium dan fosfat tulang
Makna dalam kasus
Menopause kehilangan estrogen proses resorpsi tulang tidak terkendali dan
tidak dapat diimbangi oleh formasi tulang Osteoporosis.
Berdasarkan T-score, terdapat risiko tinggi terjadinya fraktur sehingga perlu
dilakukan :
1. Tindakan pengobatan osteoporosis.
2. Tindakan pencegahan fraktur dilanjutkan.
Ulang densitometri tulang dalam 1-2 tahun.
Interpretasi hasil GDS:
Geriatric Depression Scale (Long Version)
0 9 : Normal


25
10 19 : Depresi sedang
20 30 : Depresi berat
Geriatric Depression Scale (Short Version)
0 5 : Normal
>5 : Suggest depression
10 : Indicative of depression

Pada kasus, skor GDS Ny. Minah adalah 6 jadi kalau berdasarkan GDS Short
Version, Ny. Minah masuk dalam kategori suggest depression, ini bisa disebabkan karena
kematian suaminya atau karena penyakit inkontinensia yang saat ini sedang dideritanya,
sedangkan kalau berdasarkan GDS Long Version, Ny. Minah masuk kategori normal.
Interpretasi hasil MMSE:
24 30 : Normal
18 23 : Demensia ringan
10 17 : Demensia sedang
<10 : Demensia berat
Pada kasus, skor MMSE Ny. Minah 26 jadi digolongkan dalam kategori normal atau
tidak mengalami demensia. Sehingga etiologi incontinensia urin karena demensia dapat
disingkirkan.

2. Bagaimana cara pemeriksaan dari:
- Densitometri
- GDS
- MMSE
Jb . Densitometri
Bone densitometer atau juga disebut Dual Energy X-ray Absorptiometry (DEXA).
Mesin ini memungkinkan pengukuran kepadatan tulang belakang, tulang paha dan
pergelangan tangan, serta komposisi tubuh total (lemak). Pandangan lateral tulang
belakang juga dapat diperoleh untuk deteksi fraktur. Bone densitometer secara ilmiah
terbukti sebagai metode terbaik untuk pengukuran kepadatan tulang.



26
DXA sangat berguna untuk:
wanita yang memiliki risiko tinggi menderita osteoporosis.
penderita yang diagnosisnya belum pasti.
penderita yang hasil pengobatan osteoporosisnya harus dinilai secara akurat.
Pemeriksaan energi ganda X-Ray Absorpitometry (DEXA) merupakan gold standart
dalam pemeriksaan densitas tulang. Dexa juga memperkirakan jumlah konten mineral
tulang di daerah tertentu dari tubuh. Pemeriksaan DEXA mengukur jumlah x-sinar yang
diserap oleh tulang dalam tubuh Anda. Pemeriksaan memungkinkan ahli radiologi untuk
membedakan antara tulang dan jaringan lunak, memberikan estimasi yang sangat akurat
dari kepadatan tulang. Scan kepadatan tulang lebih cepat dan tidak memerlukan suntikan
radionuklida serta bebas rasa sakit. Tes kepadatan tulang (DEXA) juga dapat digunakan
untuk menentukan apakah obat tertentu yang meningkatkan kekuatan kepadatan tulang dari
waktu ke waktu.
Densitas tulang dilaporkan dalam satuan mg/cm2. WHO membagi densitas tulang ke
dalam : (a) lebih dari 833 mg/cm2 adalah normal. (b) antara 648-833 mg/cm2 adalah
dimasukkan kedalam osteopenia, sedangkan (c) kurang dari 648 mg/cm2 adalah
osteoporosis. Hasil pemeriksaan densitometri dapat dibaca dalam bentuk T-score
Normal: T-score yang berada di atas-1
Osteopenic: T-score adalah antara -1 dan -2,5 (kepadatan tulang yang rendah)
Osteoporosis: T-skor di bawah -2,5
Z skor - Jumlah ini mencerminkan jumlah tulang Anda dibandingkan dengan orang
lain dalam kelompok usia dan jenis kelamin yang sama. Jika skor ini luar biasa tinggi atau
rendah, hal itu mungkin menunjukkan kebutuhan tes medis lebih lanjut.
Pemindaian memakan waktu beberapa menit, tanpa pembiusan, tanpa suntikan, tidak
menimbulkan rasa sakit, dan hanya memaparkan radiasi dalam kadar terbatas (jauh di
bawah kadar sinar-X untuk rontgen dada).


27
Daerah pengukuruan menggunakan densitometry DEXA scan adalah pada tulang
belakang Anteroposterior (AP) dab lateral, femur proximal, total body, lengan, tumit.
Keuntungan dan kerugian penggunaan densitometeri DEXA scan:
Keuntungan Kerugian
- Metode yang paling banyak digunakan.
- Efikasi klinis established.
-Akurasi bervariasi antara 90-99% untuk DXA di
panggul, tulang belakang dan lengan bawah.
- Precision error untuk tulang belakang kecil, bervariasi
antara 0,6%-1,5%.
- Dosis radiasi rendah (<5 mrem)
- Sensitivitas lateral DXA mendekati QCT.
- Precision error bervariasi antara
1,2%-2,05 untuk panggul.

Guideline indikasi bone densitometry dalam penilaian risiko fraktur yang
dikeluarkan oleh Catalan Agency for Health Technology Assessment, Barcelona,
menyatakan bahwa bone densitometry diindikasikan pada pasien dengan:
- 2 atau lebih high risk faktor risiko (FR)
- 4 atau lebih moderate risk FR
- 1 atau lebih high risk FR + 2 atau lebih moderate risk FR
High risk: faktor risiko memiliki hubungan dengan RR fraktur 2;
Moderate risk: faktor risiko memiliki hubungan dengan RR fraktur antara 1 dan 2
kali lebih tinggi (1<RR<2);
No risk: faktor risiko memiliki risk value mendekati 1 (null value 1), dan faktor
risiko dengan efek protektif (RR<1);Tidak dapat diklasifikasikan: faktor risiko dimana
hubungan dengan fraktur tidak dapat dijelaskan, baik karena kurangnya informasi atau
pertentangan.


28
Bila tidak terdapat faktor risiko, atau faktor yang ada tidak terdapat dalam tabel
berikut, atau bila pasien tidak akan mendapatkan pencegahan atau pengobatan untuk
menghindarkan insiden fraktur, bone densitometry tidak dikerjakan.
Umumnya, interval minimum diantara pengukuran bone mass harus lebih dari 2
tahun. Interval ini dapat lebih pendek bila obat yang dapat meningkatkan massa
tulang digunakan dan bila densitas tulang dinilai di lumbal.
Geriatric Depression Scale ( GDS )
Geriatric Depression Scale (GDS) terdiri dari 30 pertanyaan yang harus dijawab
oleh pasien sendiri. GDS ini dapat dimampatkan menjadi 15 pertanyaan saja dan ini
mungkin lebih sesuai untuk dipergunakan dalam praktek umum sebagai alat penapis
depresi pada lanjut usia (Depkes RI, 2001). Ada beberapa pertanyaan pokok yang harus
diajukan dalam proses pemeriksaan yaitu :
Apakah pada dasarnya anda merasa puas dengan kehidupan anda ?
Apakah hidup anda terasa kosong ?
Apakah anda takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada diri anda ?
Apakah anda merasa bahagia pada sebagian besar waktu anda ?
Pertanyaan tersebut dapat dilengkapi dengan mengeksplorasi hal-hal berikut :
Apakah pasien mempunyai riwayat depresi ?
Apakah pasien terisolasi secara sosial ?
Apakah pasien menderita penyakit kronik ?
Apakah pasien baru saja berkabung ?
Bila ditemukan tanda-tanda yang mengarah pada depresi harus dilakukan lagi
pemeriksaan lebih rinci tentang 1) Riwayat klinis/anamnesis, 2) pemeriksaan fisik, 3)
Pemeriksaan kognitif, 4) Pemeriksaan status mental, 5) pemeriksaan lain (memerlukan
rujukan ke pelayanan yang lebih spesialistik).
MMSE (Mini-Mental State Examination)
Disebut juga Folstein test adalah tes yang digunakan untuk menunjukkan ada atau
tidaknya pelemahan kognitif (cognitive impairment) pada pasien. Tes dilakukan dengan
memberikan pertanyaan sederhana atau masalah pada pasien dengan cakupan: tempat dan


29
waktu tes dilakukan, mengulangi beberapa kata, aritmatika, penggunaaan dan pemahaman
bahasa, dan kemampuan motorik dasar.
Nilai tertinggi dari MMSE adalah 30.
Metode Skor Interpretasi
Single Cutoff < 24 Abnormal
Range < 21
> 25
Meningkatkan kemungkinan menderita demensia
Menurunkan kemungkinan menderita demensia
Pendidikan 21
< 23
< 24
Abnormal untuk pendidikan kelas 8
Abnormal untuk pendidikan SMA
Abnormal untuk pendidikan kuliah
Keparahan 24 30
18 23
0 17
Tidak ada pelemahan kognitif
Pelemahan kognitif ringan
Pelemahan kognitif berat
Tabel: Interpretasi Skor MMSE
Skor MMSE pada pasien didapatkan 18 merupakan skor yang abnormal. Terjadi
peningkatan kemungkinan menderita demensia pada pasien. Menilik dari tingkat
pendidikan pasien yang merupakan lulusan SD, skor MMSE yang didapatkan adalah
abnormal.
Skor di bawah 24 biasanya mengindikasikan adanya hendaya kognitif.
24-30 (normal)
17-23 (probable)
< 16 (definitif)
Atau
25-30 (normal)
21-24 (gangguan ringan)
10-20 (gangguan sedang)
< 9 (gangguan berat)



30
MINI MENTAL STATUS EXAMINATION (MMSE)
- 1. Nama Pasien : (L/P) Umur :
- 2. Pekerjaan/Jabatan : Ibu Rumah Tangga
- 3. Pendidikan Terakhir: Lulusan SD
- 4. Riwayat Penyakit : O Stroke O DM O HT O Jantung O Lainnya...............................
- 5. Alasan Diperiksa : -
Item Tes Standar Pasien

1
2
ORIENTASI
Sekarang : tahun, bulan, hari, tanggal, musim berapa/apa?
Kita berada dimana? Negara, Provinsi, Kota, RS, Lantai

5
5


3
REGISTRASI
Sebutkan nama 3 benda (apel-meja-koin), tiap benda 1 detik. Pasien disuruh menyebutkan nama benda
tersebut. Nilai 1 untuk setiap jawaban yang benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebutkan ketiganya
dengan benar, catat berapa kali pengulangannya.

3


4
ATENSI dan KALKULASI
Kurangi 100 dengan 7 sampai 5 kali pengurangan. Nilai 1 untuk setiap jawaban benar. Atau disuruh
mengeja terbalik kata WAHYU, nilai 1 untuk setiap urutan benarnya.

5


5
MENGINGAT KEMBALI
Pasien disuruh menyebut ulang ke 3 nama ad 3. Nilai 1 setiap yang benar.

3


6

7
8


9

10

11
BAHASA
Pasien disuruh menyebutkan 2 nama benda yang ditunjukkan ke dia.
Pasien disuruh mengulang kata : namun tanpa bila.
Pasien disuruh melakukan perintah: Ambil kertas ini dengan tangan kanan anda Lipat menjadi 2
dan letakkan di lantai!
Pasien disuruh baca dan melakukan perintah tertulis: Pejamkan mata anda!
Pasien disuruh menulis satu kalimat lengkap yang berarti.
Pasien disuruh mengkopi bentuk gambar dibawah ini:







2

1
3


1

1

1


TOTAL 30
-
Tanggal Pemeriksaan : 8 Desember 2010
Nama Pemeriksa :



(.........................................)
Score :
O 24-30 Normal
O 17 23 Probable
O 0 16 Definitif



31
Masalah 6
Riwayat pengobatan captopril 12,5 mg 2 kali sehari
1. Apa hubungan pemberian captopril 12,5mg dua kali sehari dengan kasus?
Jb.
Hubungannya adalah Captopril dan obata obatan golongan ACE inhibitor memiliki
efek samping berupa batuk kering yang dapat mencetuskan terjadinya stress inkontinensia.
Hal ini dapat terjadi karena mekanisme kerja kaptopril pada ACE. Fisiologis nya
bradikinin diubah menjadi bentuk metabolit yang tidak aktif oleh ACE. Bradikinin sendiri
mempunyai efek dilatasi pembuluh darah dan bronkokonstriksi sehingga sering
menyebabkan batuk kering peningkatan tekanan intrabdominal Hal inilah yang
mencetuskan inkontinensia tipe stress.

Masalah 7
Inkontinensia Urin
1. Bagaiamana cara penegakan diagnosis dan pemeriksaan penunjang?
Jb.
Anamnesis yang ditambahkan :
Anamnesa merupakan langkah terpenting dalam melakukan evaluasi/pemeriksaan
terhadap inkontinensia urin (IU). Manifestasi klinis IU pada setiap pasien bervariasi.
Variasi yang ditemukan seperti beratnya, frekuensi, dll. Penting diingat bahwa banyak
pasien enggan untuk memulai berdiskusi tentang penyakitnya. Oleh sebab itu, untuk
semua pasien (khususnya usia >65 tahun) sebaiknya diberikan pertanyaan spesifik
tentang masalah miksi
a. Tanyakan berapa banyak urin yang dikeluarkan pada saat inkontinensia. Keluarnya
tetesan-tetesan urin menandakan inkontinensia overflow sementara keluarnya urin
dalam jumlah sedang dijumpai pada overaktifitas detrusor.
b. Tanyakan frekuensi miksi dalam sehari
c. Tanyakan adanya faktor pencetus seperti batuk, bersin, atau aktivitas lain
yangmendahului inkontinensia.


32
d. Tanyakan adanya diare, konstipasi, dan inkontinensia alvi kecurigaan
kelainanneurologis.
e. Tanyakan kesulitan dalam mencapai kamar mandi, tingkat keparahan imobilitas pasien
f. Tanyakan riwayat demam ataupun riwayat infeksi saluran kemih dapat mengarah
keinkontinensia tipe urgency
g. Tanyakan riwayat operasi maupun radiasi di daerah pelvis dan abdomen

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan selanjutnya yang terpenting adalah untuk mendeteksi faktor-faktor
penyebab dan kondisi kesehatan yang serius. Pemeriksaan harus selalu
mempertimbangkan kondisi neurologis seperti multiple sklerosis, lesi serabut saraf,
neoplasma, khususnya pada keadaan terdapat faktor risiko. Pemeriksaan fisis yang
dilakukan meliputi
a. Mobilitas pasien : Status fungsional dibandingkan dengan kemampuan untuk ke
toiletsendiri, Cara berjalan, ada tidaknya kesulitan bergerak.
b. Status mental pasien : Fungsi kognitif dibandingkan dengan kemampuan untuk ke toilet
sendiri, Motivasi, Mood dan efek-efeknya.
c. Neurologis : Tanda-tanda fokal (terutama di ekstremitas bawah), Tanda Parkinson,
Refleks sakralis buli-buli. Pemeriksaaan segmen saraf yg menginervasi vesikouretra:
ankle jerk reflex (S1 dan S2), flexi toe dan arch the feet (S2 dan S3)
d. Abdomen : Distensi buli-buli tanda inkontinensia overflow , Suprapubic tenderness,
Massa disystem urogenital (abdomen bagian bawah), Ada tidaknya jaringan parut bekas
operasi.
e. Rektum : Sensasi perianal, Tonus sfingter, Impaksi, Massa, RT ukuran dan kontur
prostat
f. Pelvis : Prolaps pelvis, Massa pelvic, Abnormalitas anatomi lainnya.

Tes Tekanan
Tes ini untuk menilai tekanan yang menyebabkan kelemahan pada saat buli-buli
penuh
Caranya minta pasien untuk batuk dengan kuat. Adanya urin yang keluar
menunjukkan adanya stress inkontinensia


33

Laboratorium
Pemeriksaan urinalisis, biakan urine, pemeriksan kimia darah, dan uji faal ginjal
perlu dilakukan terhadap semua kasus inkontinensia urine. Hal ini untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya proses inflamasi/infeksi atau keganasan pada
saluran kemih.

Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan urodinamik: uroflometri, pengukuran profil tekanan uretra, sistometri,
valsava leak point pressure, serta video urodinamika.
Pencitraan: pielografi intravena, sistografi miksi
Pemeriksaan residu urine: kateterisasi atau USG sehabis miksi. Ultrasonografi
dipakai sebagai pilihan pertama (penyaring), kemudian dilanjutkan dengan miksio-
sisto-uretrografi (MSU). MSU merupakan pemeriksaan radiografi vesika urinaria
dengan pemakaian kontras yang dimasukkan melalui kateter urin kemudian
dilakukan pemeriksaan fluoroskopi secara intermitten selama pasien berkemih.

2. Apa saja diagnosis banding dan diagnosis kerja dari kasus?

Jb.
Dikarenakan Inkontinensia Urin merupakan suatu gejala maka diagnosis
bandingnya merupakan penyebab terjafinya.
Inkontinensia Akut

Akronim Untuk Penyebab Reversible Inkontinensia Urin Akut
D Delirium
R Restriksi mobilitas, retensi
I Infeksi ,inflamasi ,impaksi
P Poliuri , pharmaceuticals ( obat- obatan )

Penyebab Inkontinensia Akut
D Delirium


34
I Infection urinary
A Atrophic vaginitis or urethritis
P Pharmaceutical
- Sedative hypotonic
- Loop diuretics
- Anti cholinergic agents
- Alpha adrenergic agonist and antagonist
- Calcium channel blockers
P Psychologic disorders : depression
E Endocrine disorders
R Restricted mobility
S Stool impaction

Obat-obat yang Sering Menimbulkan Inkontinensia
Golongan Obat Efek Obat
Diuretik
Antikolinergik
Psikofarmaka
Antidepresan
Antipsikotik
Sedatif/hipnotik
Analgesik, narkotik
Penghambat alfa adrenergic
Agonis alfa adrenergik
Agonis beta adrenergik
Ca blocker
Alkohol
Poliuri, frekuensi, urgensi
Retensi urin, inkontinensia overflow, impaction

Sesuai dengan antikolinergik, sedasi
Antikolinergik, sedasi, kaku, imobilitas
Sedasi, delirium, imobilitas, relaksasi otot
Retensi urin, impaction, sedasi, delirium
Relaksasi uretra
Retensi urin
Retensi urin
Retensi urin
Poliuri, frekuensi, urgensi, sedasi, delirium,
imobilitas

Inkontinensia Kronik persisten


35
Ada 4 tipe inkontinensia tioe urgensi,stress, luber (overflow), dan fungsional.
Kelainan pada subtype motoric ataupun sensorik pada inkontinensia tipe urgensi.
Motorik Sensorik
Stroke
Parkinsonism
Tumor otak
Sclerosis multiple
Lesi medula spinalis suprasakral
Hipersensitivitas kandung kemih ;
Sistisis
Urethritis
Diverticulitis


Inkontinensia tipe stress terjadi akibat tekanan intraabdominal yang meningkat
yang terjadi pada perempuan usia lanjut yang mengalami hipermobilitas uretra dan
lemahnya otot dasar panggul akibat seringnya melahirkan ,operasi dan penurunan
estrogen.

Inkontinensia tipe overflow dikarenakan meningkatnya tegangan kandung kemih
akibat adanya obstruksi ,lemahnya otot destrusor pada penyakit diabetes
mellitus,trauma medulla spinalis serta obat-obatan.

Inkontinensia tipe fungsional terjadi akibat penurunan berat fungsi dan kognitif
sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada saat yang tepat seperti pada
demensia berat , gangguan mobilitas ( artritis,genu,kontraktur), gangguan neurologic
dan psikologik.

Diagnosis kerja

Pada kasus ini, pasien menderita inkontinentia campuran (inkontinentia stress dan
inkontinentia urgensi). Dikarenakan inkontinentia stress dapat terjadi akibat outlet
kandung kemih atau sfingter yang tidak kompeten. Apa saja yang mengakibatkan
tambahan tekanan intra-abdominal. Tambahan tekanan intra-abdominal dapat terjadi
akibat obesitas, kehamilan, mengangkat barang berat,batuk, bersin, tertawa, gerak
badan, dan seterusnya. Sedangkan inkontinentia urgensi dikaitkan pengeluaran urine
yang tidak dapat ditahan dan segera keluar (urgensi).


36

3. Apa saja etiologi dan faktor resiko dari diagnosis dalam skenario?
Jb.
Etiologi atau penyebab dari inkontinensia urine ini adalah karena adanya kelemahan
dari otot dasar panggul. Ini yang berkaiatan dengan anatomi dan juga fungsi organ kemih.
Kelemahan dari otot dasar panggul ini bisa karena beberapa penyebab yaitu diantaranya
kehamilan yang berulang-ulang, kesalahan dalam mengedan. Hal tersebut bisa
mengakibatkan seseorang tersebut tidak dapat menahan air seni(beser). Inkontinensia
Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya
gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah
asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang
bersifat diuretika seperti kafein

Beberapa faktor risiko yang berperan dalam terjadinya inkontinensia urin telah
dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya:
1. Usia
Peningkatan prevalensi pada wanita manula mungkin disebabkan oleh kelemahan
otot pelvis dan jaringan penyokong uretra terkait usia. Apalagi, faktor-faktor pada
manula seperti gangguan mobilitas dan/atau kemunduran status mental yang dapat
meningkatkan risiko episode inkontinensia.
2. Herediter.
3. Obesitas
Secara teori, peningkatan tekanan intra-abdominal serupa dengan peningkatan IMT
yang sebanding dengan tekanan intravesikal yang lebih tinggi. Tekanan yang tinggi
ini mempengaruhi tekanan penutupan uretra dan menyebabkan terjadinya
inkontinensia.
4. Ras/etnis
Hubungan antara etnis dan inkontinensia urin adalah kompleks. Meskipun telah
dipercaya bahwa wanita Afro-Amerika mempunyai prevalensi urge incontinence
yang lebih tinggi dibandingkan wanita kulit putih, tetapi Fultz melaporkan
prevalensi IU 23% pada wanita kulit putih dan 16% pada wanita Afro-Amerika.
Lebih terbaru, hasil peneltian SWAN, dengan mencakup wanita-wanita multietnis


37
berumur antara 42-52 tahun, mengindikasikan bahwa wanita non-kulit putih
mungkin kurang melaporkan adanya inkontinensia dan hal tersebut tidak
menunjukkan hubungan antara etnis dan beratnya IU.
Perbedaan ras telah dilaporkan berhubungan dengan beberapa pelvic floor disorders,
meskipun belum jelas apakah perbedaannya biologis atau sosiokultural
(berhubungan dengan akses ke fasilitas kesehatan atau mungkin kesadaran mencari
fasilitas kesehatan), atau keduanya, atau karena faktor lain. Tingkat risiko berbeda
mungkin didasarkan pada genetis atau sifat anatomis; faktor gaya hidup seperti diet,
olahraga, kebiasan; atau espektasi dan toleransi budaya akan gejala inkontinensia.
5. Persalinan dan Kehamilan
Sebagian besar wanita mengalami inkontinensia urin selama kehamilan, tetapi
umumnya dari mereka hanya sementara saja. Kehamilan dan obesitas menambah
beban struktur dasar panggul dan dapat menyebabkan kelemahan panggul yang pada
akhirnya menyebabkan inkontinensia urin.
Persalinan menyebabkan kerusakan sistem pendukung uretra, kelemahan dasar
panggul akibat melemah dan mereganggnya otot dan jaringan ikat selama proses
persalinan, kerusakan akibat laserasi saat proses persalinan penyangga organ dasar
panggul, dan peregangan jaringan dasar panggul selama proses persalinan melalui
vagina dapat merusak saraf pudendus dan dasar panggul sesuai kerusakan otot dan
jaringan ikat dasar panggul, serta dapat mengganggu kemampuan sfingter uretra
untuk kontraksi dan respon peningkatan tekanan intraabdomen atau kontraksi
detrusor. Jika kolagen rusak, maka origo maupun insersio otot menjadi kendur
sehingga mengganggu kontraksi isometrik. Hal ini menyebabkan mekanisme fungsi
yang tidak efisien dan hipermobilitas uretra. Pemakainan forseps selama persalinan
dapat memicu IU. Tingginya usia, paritas, dan berat badan bayi tampaknya
berhubungan dengan IU.
6. Menopause
Sejumlah besar reseptor estrogen berafinitas tinggi telah diindentifikasi terdapat di
m.pubokoksigeus, uretra, dan trigonum vesika. Interaksi estrogen dengan
reseptornya akan menghasilkan proses anabolik. Akibatnya bila terjadi penurunan
estrogen terutama pada traktus urinarius perempuan menopause akan mengalami
perubahan struktur dan fungsi. Estrogen dapat mempertahankan kontinensia dengan


38
meningkatkan resistensi uretra, meningkatkan ambang sensoris kandung kemih, dan
meningkatkan sensitivitas -adrenoreseptor pada otot polos uretra.
Penurunan estrogen saat menopause menyebabkan penipisan dinding uretra
sehingga penutupan uretra tidak baik. Defisiensi estrogen juga membuat otot
kandung kemih melemah. Jika terjadi penipisan dinding uretra dan kelemahan otot
kandung kemih, latihan fisik dapat membuka uretra dengan tidak diduga-duga.
Selain itu, defisiensi estrogen yang menyebabkan atrofi urogenital sehingga sedikit
responsif terhadap rangsangan berkemih merupakan gejala yang menyertai
menopause.
7. Histerektomi
Perubahan hubungan anatomis, seperti denervasi dasar panggul saat histerektomi,
dapat menyebabkan inkontinensia urin paska operasi.
8. Merokok
Merokok telah diidentifikasi sebagai faktor risiko independen untuk terjadinya
inkontinensia urin dalam beberapa penelitian, dengan efek terkuat terlihat pada
inkontinensia urin tipe stres dan campuran pada perokok berat. Mekanisme
patofisiologi mungkin efek langsung pada uretra dan tidak langsung, dimana
perokok umumnya terjadi peningkatan tekanan kandung kemih akibat batuk, yang
melampaui kemampuan uretra untuk menutup rapat.



4. Bagaimana epidemiologi pada diagnosis kasus dalam skenario?
Jb.
Inkontinensia Urin
Prevalensi inkontinensia urin menurut The Asia Pacific Continense Board (APCB)
sebanyak 20,9%-35%, di mana perempuan lebih banyak menderita (15,1%) dari pada laki-
laki (5,8%). Dari sejumlah penderita perempuan tersebut 24,9% adalah stres inkontinesia,
10,5% inkontinensia gesa (Urge Incontinence) dan 5% adalah kombinasi. Prevalensi
inkontinesia urin di Indonesia belum ada angka yang pasti, dari hasil beberapa penelitian
didapatkan angka kejadian berkisar antara 20% sampai dengan 30%.


39
Osteoporosis
Prevalensi Osteoporosis pada wanita Indonesia, terjadi peningkatan dari 23% pada
usia 50 hingga 80 tahun, menjadi 53% pada usia 70 hingga 80 tahun.
Hipertensi Sitolik Terisolasi
Prevalensi HST adalah sekitar berturut-turut 7%, 11%, 18% dan 25% pada kelompok
umur 60-69, 70-79, 80-89, dan diatas 90 tahun. HST lebih sering ditemukan pada
perempuan dari pada laki-laki.
Obesitas
Diperkirakan jumlah orang di dunia dengan IMT/BMI lebih dari 30 Kg/m2 melebihi
250 juta orang. Prevalensi obesitas meliputi <5% di Cina, Jepang, dan negara-negara
Afrika tertentu, lebih dari 75% di daerah urban Samoa. Pada tahun 1991, di daerah urban
Samoa diperkirakan 75% perempuan dan 60% laki-laki mengalami obesitas.

5. Apa saja manifestasi klinis dari diagnosis dalam skenario?
Jb.
Tipe Urgensi :Terdapat gejala OAB/overactive bladder, yaitu tidak mampu
menahan miksi sampai tiba di toilet.
Tipe Stress : Ada riwayat batuk kronik, Keluarnya urin dipicu aktivitas yang
meningkatkan tek intraabdomen (batuk, bersin,tertawa), Pada wanita muda
Tipe Fungsional :Ada limitasi lain dari fungsi kognitif dan aktivitas fisik
Tipe overflow :
o Biasanya ada gejala (frequent or constant dribbling) tetesan-tetesan,
o Pancarannya lemah dan ada rasa tidak puas
o Biasanya berkaitan dengan penyakit obstruktif,medikasi, trauma MS, diabetik
neuropati)
o PVR biasanya meningkat
Tipe mixed : Biasanya merupakan gabungan tipe stres dan tipe urgensi.

6. Bagaiamana patofisiologi dari diagnosis dalam skenario?
Jb.


40
Ketidak seimbangan antara resporpsi tulang dan pembentukan tulang +
kurangnya matrik konstan untuk remodeling tulang tulang diresorpsi oleh sel
osteoklas >> pengkeroposan dan perapuhan osteoporosis












7. Jelaskan tatalaksana dari diagnosis dalam skenario ?
- Tatalaksana secara farmakologi
Jb.
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik
seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,Imipramine.

Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine
untuk meningkatkan retensi urethra.

Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau
alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan
secara singkat









41
Tabel obat obat untuk mengobati inkontinensia urin

Jenis obat mekanisme Tipe inkontinensia Efek samping Nama obat dan
dosis
Antikolinergik
dan
antispasmodic
Meningkatkan
kapasitas
VU,mengurangi
involunter VU.
Urgensi atau strea
dengan instabilitas
detrusor atau
hiperrefleksia.
Mulutkering,
penglihatankabur,
peningkatanTIO,konstipasi
dan delirium.
Oksibutasin: 2,5-
5mgtid
Tolterodine: 2mg
bid
Propanthelin: 15-
30mg tid
Dicyclomine: 10-
20mg
Imipramine: 10-
50mg tid
Alpha
adrenergic
agonis
Meingkatkan
kontraksi otot polos
urethra.
Tipe stress dengan
kelemahan sphineter.
Sakit kepala,takikardi,
peningkatan tekanan darah.
Pseudofedrin: 15-
30mg tid
Phenylpropanola
mine: 75mg bid
Imipramine: 10-
50mgtid
Estrogen
agonis
Meningkatkan aliran
darah periurethra
.Tipe stress, tipe
urgensi yang
berhubungan dengan
vaginitis atropi
Kanker endometrial,
peningkatan tekanandarah,
batu saluran kemih
Oral:
0,625mg/hari
Topical:
0,5-1,0gr per
aplikasi
Kolinergik
agonis
Menstimulasi
kontraksi VU
Tipe overflow
dengan VU atonik
Bradikardi,hipotensi,
bronco
kontriksi, sekresi asam
lambung
Bethanechol: 10-
30mg tid
Alpha
Adrenergic
antagonis
Merelaksasi otot
polos urethra dan
kapsul prostat.
Tipe overflow dan
urgensi yang
berhubungan dengan
pembesaran prostat
Hipotensi postural Terasozine: 1-
10mg/hari

Dikutip dari kepustakaan Pranarka, 2009



42
Tabel terapi primer untuk berbagai tipe inkontinensia urin
Tipe inkontinensia Terapi primer
stres Latihan kegel
Agonis adrenergic alpha
Estrogen
Injeksi periutretral
Operasi bagian leher kandungkemih
urgensi Relaksan kandung kemih
Estrogen
Bladder training
overflow Operasi untuk menghilangkan sumbatan
Bladder retraining
Katerisasi intermitten
Katerisasi menetap
fungsional Intervensi behavional
Manipulasi lingkungan
pads
Dikutip dari kepustakaan Aru W. Sudoyo, 2009

- Tatalaksana secara non farmakologis
a. Terapi suportif non spesifik
i. Edukasi
ii. Memakai substitusi toilet
iii. Manipulasi lingkungan
iv. Pakaian tertentu dan pads
v. Modifikasi intaks cairan dan obat
b. Intervensi behavioral
Memiliki risiko yang rendah dan sedikit efek samping
c. Bladder training
Bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal dengan teknik distraksi
atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam
sekali. Pasien diinstruksikan untuk miksi pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap


43
jam, selanjutnya interval berkemih diperpanjang secara bertahap sampai setiap 2-3 jam.
Terbukti bermanfaat pada tipe urgensi dan stres.
d. Habit training
Merupakan penjadwalan waktu berkemih. Diupayakan agar jadwal berkemih sesuai
dengan pola berkemih sesuai dengan pola berkemih pasien sendiri. Sebaiknya digunakan
pada inkontinensia tipe fungsional dan membutuhkan keterlibatan petugas kesehatan atau
pengasuh pasien.
e. Prompted voiding
Dilakukan dengan cara mengajari pasien mengenali kondisi atau status kontinensia
mereka aserta dapat memberitahu petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih.
Digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif.
i. Latihan otot dasar panggul
Merupakan terapi yang efektif untuk inkontinensia urin tipe stres atau campuran dan
tipe urgensi. Latihan dilakukan dengan membuat kontraksi berulang-ulang pada otot dasar
panggul yang diharapkan dapat meningkatkan kekuatan uretra untuk menutup secara
sempurna
ii. Stimulasi elektrik
Merupakan terapi yang menggunakan dasar kejutan kontraksi otot pelvis dengan
menggunakan alat-alat bantu pada vagina dan rektum
iii. Biofeedback
Bertujuan agar pasien mampu mengontrol/ menahan kontraksi involunter otot
detrusor kandung kemihnya
iv. Neuromodulasi
Merupakan terapi dengan menggunakan stimulasi saraf sakral. Merupakan salah satu
cara penatalaksanaan overactive bladder yang berhasil.
Untuk inkontinensia urgensi
Terapi perilaku bladder training untuk memperpanjang interval miksi
Diantar ketika hendak ke toilet
Membuat catatan berkemih
Untuk inkontinensia stress
Pengurangan berat badan
Latihan otot dasar panggul (Kegel)


44
Cap device menutupi meatus uretra/kateter kondom/penile clamps

Fibrilasi Atrial
Lifestyle
menurunkan berat badan jika ada kegemukan, mengurangi minum alcohol,
meningkatkan aktivitas fisik aerobik, mengurangi asupan garam, mempertahankan asupan
kalium yang adekuat, mempertahankan asupan kalsium dan magnesium yang adekuat,
menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol

Isolated Systolic Hipertension
Lifestyle dan modifikasi pola hidup

Osteoporosis
1. Asupan kalsium cukup. Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan
tulang yang dapat dilakukan dengan mengkonsumsi kalsium yang cukup.
2. Paparan sinar UV B matahari (pagi dan sore)
Sinar matahari UV B membantu tubuh menghasilkan vitamin D yang dibutuhkan tubuh
dalam pembentukan massa tulang.
Vitamin D3 500-800 IU/d
3. Melakukan olah raga dengan beban
4. Selain olah raga menggunakan alat beban, berat badan sendiri juga dapat
berfungsi sebagai beban yang dapat meningkatkan kepadatan tulang.
5. Gaya hidup sehat. Menghindari rokok dan alkohol memberikan efek yang
signifikan dalam menurunkan resiko asteoporosis.

Tambahan
Latihan untuk pasien osteoporosis; aerobik
Berhenti merokok, cegah konsumsi alkohol
Sering berjemur sinar matahari
Cegah gerakan atau latihan ekstrim (melompat, membawa beban berat)

8. Bagaimana tidakan pencegahan yang sebaiknya dilakukan?


45
Jb.
Inkontinensia urine dapat dicegah dengan beberapa langkah sederhana antara lain :
1. Teknik perubahan perilaku, misalnya membiasakan diri untuk berkemih setiap 2-3
jam untuk menjaga agar kandung kemih relatif kosong.
2. Menghindari minuman yang bisa menyebabkan iritasi kandung kemih, misalnya
minuman yang mengandung kafein.
3. Minum sebanyak 6-8 gelas/hari untuk mencegah pemekatan air kemih, karena air
kemih yang terlalu pekat bisa mengiritasi kandung kemih.
4. Menghentikan pemakaian obat-obatan yang bisa menimbulkan efek samping pada
kandung kemih.
5. Menjaga berat badan agar ideal atau mendekati ideal.
6. Tidak merokok.
7. Mencoba berlatih senam Kegel.
8. Hindari makanan atau minuman yang menstimulasi untuk berkemih seperti minuman
yang mengandung kafein ataupun alcohol.
9. Makan makanan yang berserat, untuk mencegah konstipasi yang merupakan factor
resiko inkontinensia urin.
10. Olahraga.

9. Apa saja komplikasi yang dapat timbul akibat diagnosis dalam skenario?
Jb.
Komplikasi yang sering menyertai inkontinensia urin adalah:
- Infeksi saluran kemih
- Kelainan kulit
- Gangguan tidur
- Masalah psikososial seperti depresi, mudah marah, dan rasa terisolasi






46
10. Bagaiman prognosis lanjut dari diagnosis dalam skenario?
Jb.
- Inkontinensia tipe stress biasanya dapat diatasi dengan latihan otot dasar
panggul, prognosisnya cukup baik.
- Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive bladder umumnya dapat
diperbaiki dengan obat-obat golongan antimuskarinik, prognosisnya cukup
baik.
- Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya (misalnya
mengatasi sumbatan / retensi urin)
Inkontinensia Urin :Prognosis baik, tetapi fungsi tidak dapat kembali seperti
semula
- Quo ad vitam : dubia
- Quo ad fungsionam : dubia

11. Berapa Standar Kompetensi Dokter Indonesia untuk kasus ini?
Jb.
Inkontinensia urine 2
Osteoporosis 3a
Hipertensi essensial 4a
Obesitas 4a


V . HIPOTESIS
Nyonya Minah 63 tahun mengalami inkontinensia urin dengan menopause , obesitas
, atrial fibrilasi ,hipertensi , penggunaan obat captopril , osteoporosis disertai curiga
depresi





47
VI. Learning Issue

Inkontinensia urin
Pada inkontinensia, pasien datang dengan keluhan sering tidak dapat menahan
kencing sehingga sering kencing dicelana sebelum sampai ke WC. Passien juga
mengatakan kadang saat tertawa dengan bersemangat, tanpa ssadar terkencing-kencing.
Sedangkan penyakit jantung, darah tinggi, kencing manis sebelumnya tidak ada.
Pemeriksaan fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin dan
membantu menetapkan patofisiologinya. Selain pemeriksaan fisik umum yang selalu harus
dilakukan, pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rectum, fungsi neurologis, dan pelvis
(pada wanita) sangat diperlukan.

Pemeriksaan abdomen harus mengenali adanya kandung kemih yang penuh, rasa
nyeri, massa, atau riwayat pembedahan.
Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis harus diidentifikasi ketika memeriksa
genitalia.
Pemeriksaan rectum terutama dilakukan untuk medapatkan adanya obstipasi atau
skibala, dan evaluasi tonus sfingter, sensasi perineal, dan refleks bulbokavernosus.
Nodul prostat dapat dikenali pada saat pemeriksaan rectum.
Pemeriksaan pelvis mengevaluasi adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi, massa,
tonus otot, prolaps pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel.
Evaluasi neurologis sebagian diperoleh saat pemeriksaan rectum ketika pemeriksan
sensasi perineum, tonus anus, dan refles bulbokavernosus. Pemeriksaan neurologis
juga perlu mengevaluasi penyakit-penyakit yang dapat diobati seperti kompresi
medula spinalis dan penyakit parkinson.
Pemeriksaan fisik seyogyanya juga meliputi pengkajian tehadap status fungsional
dan kognitif, memperhatikan apakah pasien menyadari keinginan untuk berkemih dan
mengunakan toilet.


48
Tes diganostik
Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi
kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia.
Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara :
Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau
menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan
kandung kemih tidak adekuat.
Urinalisis
Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang
berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri,
glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal
didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :
Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin,
kalsium glukosa sitologi.
Tes urodinamik --> untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian
bawah
Tes tekanan urethra --> mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat
dianmis.
Imaging --> tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.

Pemeriksaan penunjuang
Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal.
Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang
spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada
saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan


49
ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk
batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin
seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada
keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan
kapasitas kandung kemih.
Differential Diagnosis
Inkontinensia overflow merupakan hilangnya kendali miksi involunter yang
berhubungan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini dapat terjadi secara
sekunder dari kerusakan otot detrusor yang memicu kelemahan detrusor. Selain itu
obstruksi uretra juga dapat memicu distensi kandung kemih dan inkontinensi overflow.
Inkontinensia overflow terjadi pada keadaan kandung kemih yang lumpuh akut atau kronik
yang terisi terlalu penuh, sehingga tekanan kandung kemih dapat naik tinggi,
meningkatnya tegangan kandung kemih akibat obstruksi prostat hipertrofi pada laki-laki
atau lemahnya otot detrusor akibat diabetes melitus, trauma medula spinalis, obat-obatan.
Manifestasi klinisnya berupa pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna
mengakibatkan urine menetes lewat uretra secara intermitten atau keluar tetes demi tetes.
Inkontinensia urin tipe fungsional terjadi akibat penurunan berat fungsi fisik dan
kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada saat yang tepat. Hal ini terjadi
biasanya pada demensia berat, penglihatan yang buruk, keengganan ke toilet karena
depresi, kecemasan atau kemarahan, drunkeness, atau berada dalam situasi di mana tidak
mungkin untuk mencapai toilet,gangguan mobiditas, gangguan neurologik dan psikologik.
Working Diagnosis
Pada kasus ini, pasien menderita inkontinentia campuran (inkontinentia stress dan
inkontinentia urgensi). Dikarenakan inkontinentia stress dapat terjadi akibat outlet kandung
kemih atau sfingter yang tidak kompeten. Apa saja yang mengakibatkan tambahan tekanan
intra-abdominal. Tambahan tekanan intra-abdominal dapat terjadi akibat obesitas,
kehamilan, mengangkat barang berat, batuk, bersin, tertawa, gerak badan, dan seterusnya.
Sedangkan inkontinentia urgensi dikaitkan pengeluaran urine yang tidak dapat ditahan dan
segera keluar (urgensi).Kelainan ini dibagi 2 subtipe yaitu motorik dan sensorik. Subtipe


50
motorik disebabkan oleh lesi pada sistem saraf pusat seperti stroke, parkinson, tumor otak
dan sklerosis multiple atau adanya lesi pada medula spinalis suprasakral, subtipe semsorik
disebabkan oleh hipersensitivitas kandung kemih akibat sinsitis, uretritis dan divertikulitis.
Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-
kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak
dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding
kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan
rasa ingin berkemih.

Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran
kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena
infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika.
Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogen topical.
Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi
impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas,
asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga
bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan
metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan
cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat
diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet
bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk
mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan
substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus
disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien lansia,
kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya. Obat-obatan ini
bisa sebagai biang keladi mengompol pada orang-orang tua. Jika kondisi ini yang terjadi,


51
maka penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau
modifikasi jadwal pemberian obat.
Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik,
analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan
kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif
hipnotik juga memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya
mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat
kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas),
menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan
tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena
ditekan selama sembilan bulan.

Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat
regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon
estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus
otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya
inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat
operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua
seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi
perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.
Patofisiologi
Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian
koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase yaitu, fase
pengisisan, dengan kandung kemih berfungsi sebagai reservoar urine yang masuk secara
berangsur-angsur dari ureter, dan fase miksi dengan kandung kemih befungsi sebagai
pompa serta menuangkan urine melalui uretra dalam waktu relatif singkat.


Pada keadaan
normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urine, walaupun kandung kemih
penuh atau tekanan intraabdomen meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-loncat atau
kencing dan peningkatan isi kandung kemih memperbesar keinginan ini. Pada keadaan
normal, dalam hal demikian pun tidak terjadi kebocoran di luar kesadaran. Pada fase


52
pengosongan, isi seluruh kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat
mempercepat atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa
dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase
pengisian otot kandung kemih tetap kendor sehingga meskipun volume kandung kemih
meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang
merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan tegang. Dengan demikian maka
uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung kemih meningkat karena
kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi pengendoran mekanisme penutup di dalam
uretra. Uretra membuka dan urine memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-
otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase
pengeluaran. Pada kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter
(refluks).


Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali.
Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah kontrol volunter dan
disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra
internal berada di bawah kontrol sistem safar otonom, yang mungkin dimodulasi oleh
korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot
detrusor, lapisan submukosa dan lapisan mukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi,
pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan
kandung kemih atau proses berkemih berlangsung. otot detrusor adalah otot kontraktil
yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot
detrusor, saraf pelvis, medula spinalis dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketika
kandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf
pelvis dan medula spinalis ke pusar saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada
ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat
mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika
pengisian kandung kemih berlanjut, rasa penggebungan kandung kemih disadari, dan pusat
kortikal (pada lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat
kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda
pengeluaran urin. Komponen penting dalam mekanisme sfingter adalah hubungan urethra
dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan
agulasi yang tepat antara urethra dan kandung kemih. Fungsi sfingter urethra normal juga


53
tergantung pada posisi yang tepat dari urethra sehiingga dapat meningkatkan tekanna
intraabdomen secara efektif ditrasmisikan ke uretre. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin
tidak akan keluar pada saat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intraabdomen.
Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat di medula
spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian kandung
kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan
leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih serta penghambatan aktivitas
parasimpatis dan mempertahankan inversi somatik pada otot dasar panggul. Pada fase
pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat
sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses reflek
ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan
serebelum.
Pada usia lanjut biasanya ada beberapa jenis inkontinensia urin yaitu ada
inkontinensia urin tipe stress, inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan tipe overflow.
Patofisiologi yang akan dibahas adalah inkontinensia urin tipe stress dimana inkontinensia
urin tipe stres merupakan inkontinensia urin yang paling banyak dijumai pada perempuan.
Ada sebuah penelitian yang melaporkan bahwa inkontinensia urin stres ternyata tidak
hanya disebabkan oleh kegagalan penyokong uretr tetapi juga karena penutupan leher
vesika yang tidak adekuat dan gangguan pada sestem kendali kontinensia urin
(neuromuskular). Pemahaman itu memicu kesimpulan bahwa tatalaksana yang diberikan
pada perempuan dengan inkontinensia urin harus disesuaikan dengan jenis inkontinensia
urin dan penyebab kerusakan; sebaiknya tatalaksana ini tidak disamaratakan untuk semua
kasus inkontinensia urin. Untuk lebih memahami patofisiologinya, inkontinensia urin akan
dibahas dengan pendekatan anatomi dan fisiologi.


Irisan lateral organ panggul berkaitan dengan sistem kendali kontinensia. Beberapa
komponen penting yang berperan ialah otot levator ani yang berjalan dari tulang pubis
menuju ke sfingter ani dibalik rectum untuk menyokong organ pelvis. Otot itu berjalan
disebelah lateral fascia arkus tendinosus pelvis yang merupakan fasia endopelvis yang
menghubungkan tulang pubis dengan spina isiadika. Fasia tersebut cenderung berperan
pasif dalam mekanisme kontinensia tetapi hubungan fascia itu dengan otot levator ani
merupakan elemen penting dalam sistem kendali in. Hubungan tersebut memungkinkan


54
kontraksi aktif otot pelvis untuk memicu elevasi leher vesika. Aktivitas konstn normal otot
levator ani menyokong leher vesika dalam proses miksi normal.
Salah satu pertanyaan penting ialah bagaimana aparatus itu dapat menjaga uretra
tertutup rapat walaupun tekanan dalam vesika meningkat pada waktu batuk keras tanpa
dapat mendesak urin keluar melalui uretra. Pada model konseptul dijelaskan bahwa
stabilitas lapisan penyokong cenderung lebih mempengaruhi terjadinya kontinensia
dibandingkan dengan tinggi uretra. Individu dengan lapisan penyokong yang kuat, uretra
akan ditekan antara tekanan abdominal dan fasia pelvis pada arah yang sama. Kondisi
tersebut diibaratkan saaat seseorang dapat menghentikan aliran air yang melalui selang
taman dengan menginjak selang dan menekan ke arah lantai keras yang mendasari. Jika
lapisan dibawah uretra tidak stabil dan tidak memberikan tahanan yang kokoh terhadap
tekanan abdominal yang menekan uretra, maka tekanan yang berlawanan akan
menyebabkan hilangnya penutupan dan kerja oklusi akan berkurang. Kondisi yang terjadi
selanjutnya dapat diibaratkan seperti saat seseorang mencoba menghentikan aliran air
melalui selang taman dengan menginjak selang yang berada di atas tanah liat.
Analog tersebut juga dapat menjelaskan mengapa pada inkontinensia urin dapat
terbentuk sistoureterokel yang besar dan pada pasien dengan uretra yang terletak jauh
dibawah posisi normal sering kali tidak dapat menjalankan fungsi kontinensia dengan baik.
Jika lapisan suburetral dapat mempertahankan stabilitasnya maka mekanisme itu
dipertahankan efektif (gambar 2).

Gambar 2. A. tekanan abdominal medesak uretra terhadap penyokong uretra. B. Pada
gambar ini, jaringan penyokong tidak stabil sehingga tidak membentuk jaringan yang


55
kokoh saat uretra ditekan. C. Sistouretrokel terbentuk saat uretra terletak lebih rendah dari
normal tetapi memiliki lapisan penyokong kuat yang memungkinkan kompresi uretra.

Klasifikasi Inkontinensia Urin

Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet
sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin
umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat
memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia
persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya.
Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula
menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan
urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan
inkontinensia akut.
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya
inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena
dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya
inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya
inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic
narcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic.
Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat
dilihat akronim di bawah ini :
D --> Delirium
R --> Restriksi mobilitas, retensi urin
I --> Infeksi, inflamasi, Impaksi
P --> Poliuria, pharmasi
Inkontinensia Urin Persisten


56
Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi
anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih
bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.

Kategori klinis meliputi :
a. Inkontinensia urin stress (stres inkontinence)
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti
pada saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot
dasar panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75
tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat
kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien
mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang
keluar dapat sedikit atau banyak.

b. Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih.
Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali
(detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia
urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis.
Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk
berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini
merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi
inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu.
Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih
sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan
obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai
ikontinensia urin tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat.

c. Inkontinensia urin luapan / overflow (overflow incontinence)


57
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih
yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat,
faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan
berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan.
Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung
kemih sudah penuh.
7
d. Inkontinensia urin fungsional
Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin
akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat,
masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan untuk pergi
ke kamar mandi, dan faktor psikologis.
Komplikasi

Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, lecet pada
area bokong sampai dengan ulkus dekubitus karena selalu lembab, serta jatuh dan fraktur
akibat terpeleset oleh urin yang tercecer.
Penatalaksanaan

Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi
pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot
dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-
obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis.
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor
resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi
lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Terapi non farmakologi


58
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia
urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-
lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih)
dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya.
Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap
jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap
2-3 jam.
Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan
kebiasaan lansia.
9,10

Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi
berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin
berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif
(berpikir).
Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul
secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul
tersebut adalah dengan cara :
Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian
pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri 10 kali, ke depan ke belakang 10
kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam 10 kali.
Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan 10
kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup
dengan baik
Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik
seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.


59
Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine
untuk meningkatkan retensi urethra.
Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau
alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi
diberikan secara singkat.
Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini
dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada
wanita).
Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami
inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal,
komod dan bedpan.
Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah
tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun pemasangan pampers juga dapat
menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung
pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat
menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.

Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat
menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain
kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin
digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien


60
yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko
menimbulkan infeksi pada saluran kemih.

Alat bantu toilet
Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak
mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong
lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia
dalam menggunakan toilet .



61
Depresi pada geriatri

1. Pengertian
Depresi merupakan gangguan perasaan dengan ciri-ciri antara lain: semangat
berkurang, rasa harga diri rendah, menyalahkan diri sendiri, gangguan tidur, dan makan.
Pada depresi terdapat gejala psikologik dan gejala somatik. Gejala psikologik antara lain
adalah: menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistik, putus asa, nafsu bekerja dan bergaul
kurang, tidak dapat mengambil keputusan, mudah lupa dan timbul pikiran-pikiran bunuh
diri. Gejala somatik antara lain: penderita kelihatan tidak senang, lelah, tidak bersemangat,
apatis, bicara dan gerak geriknya pelan, terdapat anoreksia, isomnia, dan konstipasi
(Maramis, 2005).
2. Faktor Predisposisi
a. Gangguan efektif riwayat keluarga atau keturunan (faktor genetik).
b. Perasaan marah yang ditujukan kepada diri sendiri ( teori agresi menyerang
kedalam).
c. Perpisahan traumatic individu dengan benda atau yang sangat berarti ( teori
kehilangan).
d. Konsep diri yang negatif dan harga diri rendah (teori organisasi kepribadian).
e. Masalah kognitif yang didominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap
dunia seseorang dan terhadap stressor (teori kognitif)
f. Keyakinan bahwa seseorang tidak mempunyai kendali terhadap hasil yang
penting dalam kehidupannya (model ketidakberdayaan).
g. Kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan (model
perilaku).
h. Perubahan kimia dalam tubuh yang terjadi selama masa depresi, termasuk
defisiensi katekolamin, disfungsi endokrin, hipersekressi kortosol, dan variasi
periodik dalam irama biologis model biologik. (Stuart dan Sundeen, 1998).


3. Etiologi
Etiologi dari depresi pada lansia terdiri dari: faktor psikologik, biologik, dan sosio-
budaya. Pada sebagian besar kasus, ketiga faktor ini saling berinteraksi.
a). Faktor Psikososial


62
Menurut teori psikoanalitik dan psikodinamik Freud (1917) cit Kaplan dan Sadock
(1997) mengungkapkan bahwa depresi disebabkan karena kehilangan obyek cinta
kemudian individu mengadakan introyeksi yang ambivalen dari aspek cinta tersebut.
Menurut model Cognitif Behavioural Beck (1974) cit Kaplan dan Sadock (1997), depresi
terjadi karena pandangan yang negatif terhadap diri sendiri, interprestasi yang negatif
terhadap pengalaman hidup dan harapan pengalaman hidup dan harapan yang negatif
untuk masa depan.
b). Faktor Biologik
1). Disregulasi biogenik amin
Beberapa peneliti melaporkan bahwa pada penderita depresi terdapat abnormalitas
metabolitas biogenik amin (5- hydroxy indolacetic acid, homouanilic acid, 3-methoxy-4
hydroxy phenylglycol). Hal ini menunjukkan adanya disregulasi biogenic amin, serotonin,
dan norepineprin yang merupakan nurotransmiter paling terkait dengan patofisiologi
depresi.
2). Disreguloasi Neuroendokrin
Hipotalamus merupakan pusat pengatur aksis neuroendokrin. Organ ini menerima
input neuron yang mengandung neurotransmister biologik amin. Pada pasien depresi
ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi
neuron yang mengandung biogenik ami (Amir, 1998).
c). Faktor Genetik
Faktor genetik memiliki kontribusi dalam terjadinya depresi. Berdasarkan studi
lapangan, studi anak kembar, dan anak angkat, serta studi linkage terbukti adanya faktor
genetik dan depresi.

4. Tanda dan Gejala
Frank J.Bruno (cit. Samsyddin, 2006) mengemukakan bahwa ada beberapa tanda
dan gejala depresi, yakni:
a). Secara umum tidak pernah merasa senang dalam hidup ini. Tantangan yang ada,
proyek, hobi, atau rekreasi tidak memberikan kesenangan.
b). Distorsi dalam perilaku makan. Orang yang mengalami depresi tingkat sedang
cenderung untuk makan secara berlebihan, namun berbeda jika kondisinya
telah parah seseorang cenderung akan kehilangan gairah makan.


63
c). Gangguan tidur. Tergantung pada tiap orang dan berbagai macam faktor penentu,
sebagian orang depresi sulit tidur,. Tetapi dilain pihak banyak orang yang
mengalami depresi justru terlalu banyak tidur.
d). Gangguan dalam aktivitas normal seseorang. Seseorang yang mengalami depresi
mungkin akan mencoba melakukan lebih dari kemampuannya dalam setiap
usaha untuk mengkomunikasikan idenya.
e). Kurang Energi. Orang yang mengalami depresi cenderung untuk mengatakan
atau merasa lelah.
f). Keyakinan bahwa seseorang mempunyai hidup yang tidak berguna, tidak efektif.
Orang itu tidak mempunyai rasa percaya diri.
g). Kapasitas menurun untuk bisa berfikir dengan jernih dan untuk memecahkan
masalah secara efektif. Orang yang mengalami depresi merasa kesulitan untuk
memfokuskan perhatiannya pada sebuah masalah untuk jangka waktu tertentu.
h). Perilaku merusak diri tidak langsung. Contohnya: penyalahgunaan
alkohol/narkoba, nikotin, dan obat-obat lainnya. Makan berlebihan, terutama
kalau seseorang mempunyai masalah kesehatan seperti misalnya menjadi
gemuk, diabetes, hypogliycemia, atau diabetes, bisa juga diidentifikasi sebagai
salah satu jenis perilaku merusak diri sendiri secara tidak langsung.
i). Mempunyai pemikiran ingin bunuh diri. (tentu saja, bunuh diri yang sebenarnya,
merupakan perilaku merusak diri sendiri secara langsung.

5. Tingkat Depresi
Depresi menurut PPDGJ-III (2001) dibagi dalam tiga tingkatan yaitu depresi
ringan, depresi sedang, depresi berat. Dimana perbedaan antara episode depresif ringan,
sedang dan berat terletak pada penilaian klinis yang kompleks yang meliputi jumlah,
bentuk dan keparahan gejala yang ditemukan.

a). Depresi Ringan
- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresif seperti tersebut
diatas.
- Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya.


64
- Tidak boleh ada gejala beratnya diantaranya.
- Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.
- Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukan.
b). Depresi Sedang
- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada episode
depresi ringan.
- Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaliknya 4) dari gejala lainnya.
- Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu.
- Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan
urusan rumah tangga.
c). Depresi Berat
- Semua 3 gejala depresi harus ada.
- Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa diantaranya
harus berintensitas berat.
- Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok,
maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak
gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap
episode depresif berat masih dapat dibenarkan.
- Episode depresif biasanya berlangsung sekurang-kuarangnya 2 minggu, akan tetapi
jika gejalanya aman berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk
menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu.
- Sangat tidak mungkin pasien untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau
urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.
1. Penatalaksaan Depresi
Penatalaksaan depresi pada lansia meliputi beberapa aspek, antara lain:
a). Farmakoterapi
Respon terhadap obat pad usia lanjut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara
lain farmakokinetik dan farmakodinamik. Faktor-faktor farmakokinetik antara lain:
absorbsi, distribusi, biotransformasi, dan ereksi obat akan mempengaruhi jumlah obat yang
dapat mencapai jaringan tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptornya. Faktor-


65
faktor farmakodinamik antara lain: sensitivitas reseptor, mekanisme homeostatik akan
mempengaruhi antisitas efek farmakologik dari obat tersebut.
Obat-obat yang digunakan pada penyembuhan depresi usia lanjut antara lain:
- Anti Depresan Trisiklik
- Irreversible Monoamin Oxsidase A-B Inhibitor (MAOIs)
- Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRIs)
- Selective Serotonin Reuptake Enhacer (SSRIs)
- Penstabil Mood (Mood Stabilizer)
- Electroconvulsive Teraphy (ECT)

b). Psikoterapi
Menurut Marasmis (2005), cara-cara psikoterapi dapat dibedakan menjadi
dua kelompok besar, yaitu psikoterapi suportif dan psiloterapi genetic dinamik.
1). Psikoterapi suportif
Tujuan psikoterapi jenis ini adalah menguatkan daya tahan mental yang ada,
mengembangkan mekanisme yang baru dan lebih baik untuk mempertahankan control diri,
dan dapat mengembalikan keseimbangan adaptif (dapat menyesuaikan diri). Cara-cara
psikoterapi suportif antara lain: ventilasi atau psikokatarsis, persuasi atau bujukan, sugesti
penjaminan kembali, bimbingan dan penyuluhan, terapi kerja, hipnoterapi dan narkoterapi
kelompok, terapi perilaku.
2). Psikoterapi genetic-dinamik (psikoterapi wawasan).
Psikoterapi genetic-dinamik dibagi menjadi psikoterapi reeduaktif dan psikoterapi
rekonstruktif. Psikoterapi reedukatif adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai
pengertian tentang konflik-konflik yang letaknya lebih banyak dialam sadar, dengan usaha
berencana untuk penyesuaian diri kembali, memodifikasi tujuan , dan membangkitkan
serta mengungkapkan potensi reaktif yang ada. Cara psikoterapi reedukatif antara lain:
terapi hubungan antara manuasia, terapi sikap, terapi wawancara, analisa dan sintesa yang
distributive, konseling terapetik, terapi kerja, reconditioning, terapi kelompok yang
reedukatif, dan terapi somatic. Cara-cara psikoterapi rekonstruktif antara lain: Psikoanalisa
Freud, Psikoanalisis non-Frreu, psikoanalisis non-Freudian, dan psikoterapi yang
berorientasi pada psikoanalisanya (misalnya: asosiasi bebas, analisa mimpi, hipnoanalisa,
narkoterapi, terapi main, terapi seni, dan terapi kelompok analitik.


66

c). Manipulasi lingkungan
Lingkungan pergaulan pasien akan sangat membantu penatalaksanaan depresi pada
lansia. Dimana keluarga penderita harus bersifat sabar dan penuh perhatian. Pengobatan
sosiokultural dilakukan dengan mengurangi stresor yang ada yaitu menciptakan
lingkungan yang sehat serta memperbaiki sistem komunikasi lingkungan. Selain itu
keadaan fisik dan keberhasilan perlu mendapat perhatian yang optimal dan seringkali
diperlukan mmanipulasi lingkungan untuk meringankan penderitaan pasien (Setabudi,
1984).




67
Osteoporosis
Penyakit pada tulang yang ditandai oleh penurunan pembentukan matriks dan
peningkatan resorpsi tulang sehingga terjadi penurunan jumlah total tulang.
Epidemiologi
Pada usia lanjut, terutama pada wanita dengan faktor resiko rendahnya asupan
kalsium dalam makanan dan pengeluaran kalsium yang berlebihan akibat masa menyusui
anak yang terlalu lama serta jumlah paritas yang terlalu banyak.
Etiologi
Aktivitas osteoklas > osteoblas
1. Menopause
Pada menopause terjadi penurunan estrogen padahal estrogen berguna untuk
mencegah resorpsi tulang, selain itu juga terjadi penurunan aktivitas tubuh dan penurunan
sekresi parathormon.
2. Penurunan kadar kalsitonin
Kalsitonin berguna untuk menekan aktivitas osteoklas. Pada usia lanjut terjadi
penurunan kadar kalsitonin.
3. Penurunan kadar androgen adrenal
4. Aktivitas fisik
Adanya imobilisasi lama yang mengakibatkan penurunan masa tulang.
5. Penurunan absorpsi kalsium
Seiring pertambahan usia terjadi penurunan penyerapan kalsium tubuh.

Faktor Resiko
1. Umur (manula)
2. Etnis (kulit putih mempunyai resiko paling tinggi)
3. Keturunan
4. Kerangka tubuh yang lemah dan skoliosis
5. Kurangnya kegiatan fisik
6. Tidak pernah melahirkan
7. Menopause dini mulai 46 tahun
8. Gizi.


68
Protein yang berlebihan akan menurunkan kadar kalsium dalam plasma, diet garam,
perokok, peminum aklohol, dan kopi yang berat.
1. Endokrin, kadar estrogen plasma yang kurang
2. Obat, misalnya corticosteroid,dll
3. Fatique damage atau kerusakan tulang karena keletihan
4. Jenis kelamin. Osteoporosis pada perempuan lebih sering daripada laki-laki
dengan perbandingan 3:1

Klasifikasi
1. Osteoporosis Primer (80%)
Terutama pada tulang belakang, femur dan pergelangan tangan
Tipe I sering pada wanita pascamenopause
Tipe II sering pada usia senile >75 tahun baik pada laki-laki dan perempuan
2. Osteoporosis Sekunder
Sering akibat penyakit lain. Contoh : akromegali, hiperparatiroidisme primer, DM
tipe I, Corticosteroid jangka lama, keganasan misalnya: myeloma multipel.
3. Osteoporosis Idiopathic
Penyebab tidak diketahui, jarang, sering pada anak anak, remaja, wanita
pramenopause dan laki laki usia pertengahan.
Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
- nyeri tulang terutama terasa pada tulang belakang yang intensitas serangannya
meningkat pada malam hari.
- deformitas tulang.
Dapat terjadi fraktur traumatic pada vertebra dan menyebabkan kifosis anguler yang
dapat menyebabkan medulla spinalis tertekan sehingga dapat terjadi paraparesis.
Pemeriksaan Labor
Pemeriksaan kadar osteokalsin dan alkali fosfatase untuk menilai proses osteoblastik
dan pemeriksaan piridinolin crosslink (Pyd) dan deoksipiridinolin crosslink (Dpd) pada
proses osteoklastik.


69
Selain itu juga dapat digunakan untuk mengetahui osteoporosis sekunder seperti
hiperparatiroidisme (kadar TSH dan FT4), hiperparatiroidisme primer (kadar iPTH dan
mmPTH), sindrom Cushing (kortisol) dan myeloma (SPE dan hematologi rutin).
Kadar Ca, Fosfat, Kalsitonin dan vitamin D juga dapat turut diperiksa.
Pencitraan
Radiografi = codfish deformity/fish mouth pada vertebra setelah penurunan masa
tulang >30%
CT Scan bila dicurigai adanya keganasan
DEXA (Dual X-Ray Absorptiometry) yang paling sensitif dan akurat. Setiap
pengurangan massa tulang 1 SD meningkatkan kemungkinan patah tulang 2 2,5 kali.
Berdasarkan densitas mineral tulang (bone mass density=BMD) menurut WHO :
BMD normal <-1SD
BMD rendah/osteopenia -1SD sampai -2,5SD
Osteoporosis <-2,5 SD
Osteoporosis berat <-2,5SD + fraktur
Tata Laksana Komprehensif
- Preventif : dengan menjaga asupan kalsium dan vitamin D, berjemur di sinar
matahari pagi, senam osteoporosis
-Kuratif
farmakologi :
terapi sulih hormon (gold standard) namun perlu pengawasan dokter ahli
karena kemungkinan terjadinya keganasan
kalsitonin
bifosfonat
garam florida
steroid anabolic
vitamin D dan turunannya
Kalsium (1000 mg/hr untuk pria dan 1500 mg/hr untuk wanita)
Non farmakologi
Terapi fisik


70
Terapi psikis
Senam osteoporosis
Perbaikan gizi
Perbaikan gaya hidup
Mengurangi obat yang mempengaruhi timbulnya osteoporosis
Rehabilitasi
Komplikasi
Fraktur patologis pada:
- Tulang belakang
- Kolumna femoris
- Pergelangan tangan = tersering
Prognosis
Semakin tinggi derajat BMD prognosis semakin baik karena semakin rendah juga
resiko menderita fraktur.





71
Obesitas
a. Definisi
Kelebihan berat badan (overweight dan obesitas) merupakan suatu penyakit
multifaktorial, yang terjadi akibat akumulasi jaringan lemak berlebihan, sehingga dapat
mengganggu kesehatan. Kelebihan berat badan terjadi bila besar dan jumlah sel lemak
bertambah pada tubuh seseorang. Bila seseorang bertambah berat badannya maka ukuran
sel lemak akan bertambah besar dan kemudian jumlahnya bertambah banyak (Sugondo,
2007).
Secara tradisional didefinisikan sebagai suatu kelebihan akumulasi energi tubuh,
dalam bentuk lemak atau jaringan adiposa, dimana timbul akibat disregulasi sistem
keseimbangan energi (Goran and Astrup, 2002)
b. Etiologi
Beberapa faktor penyebab terjadinya kelebihan berat badan antara lain:
1) Psikogenik
2) Neurogenik ;Lesi pada pusat rasa kenyang di nukleus ventromedialis hipotalamus
menyebabkan seseorang makan secara berlebihan.
3) Genetik ;Kegemukan cenderung terjadi secara familial, sehingga ada hubungan
dengan genetik.
4) Kelebihan nutrisi pada masa kanak-kanak ;Laju pembentukan sel lemak baru
terutama cepat pada beberapa tahun pertama kehidupan, dan semakin besar laju
penyimpanan lemak, semakin besar pula jumlah sel lemak, dan jumlah sel tetap
hampir sama sampai akhir kehidupan.
5) Sosiokultur; Tingkat pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan status perkawinan
berpengaruh terhadap berat badan seseorang. Masyarakat dengan pendapatan tinggi
cenderung memiliki resiko terjadinya kelebihan berat badan, di mana kemudahan
untuk mendapatkan makanan semakin tinggi. Selain itu kesibukan dan tersedianya
berbagai fasilitas yang menunjang akan mengurangi aktivitas fisik seseorang.
(Guyton dan Hall, 1997b; Suastika, 2006).
c. Penilaian Satus Gizi


72
Menurut World Health Organisation (2006) Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah
indeks yang sederhana yang paling sering digunakan untuk mengklasifikasikan status gizi
pada populasi dewasa dan perorangan. Yang dijabarkan dengan rumus:
IMT = Berat Badan (kg)
Tinggi Badan (m
2
)
Menurut Center of Disease Control (2009), status gizi ditentukan dengan
menggunakan berat badan dan tinggi badan untuk menghitung angka IMT. IMT ini
digunakan karena untuk sebagian besar orang sering dikaitkan dengan jumlah lemak tubuh.
Korelasinya dengan lemak tubuh cukup tinggi, dan WHO mempromosikan IMT sebagai
indikator sederhana sebagai pandangan tentang berat badan (Deurenberg and
Roubenoff,2002).
World Health Organization (2006) menjelaskan bahwa IMT merupakan cara
penghitungan yang paling bermanfaat dan tidak dibedakan untuk kedua jenis kelamin dan
segala usia pada dewasa.
Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT)
Underweight < 18.5
Normal 18.5 24.9
Overweight 25.0
Preobese 25.0 29.9
Obese kelas l 30.0 34.9
Obese kelas ll 35.0 39,9
Obese kelas lll 40.0
(Deurenberg and Roubenoff, 2002)
Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun. IMT
tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan. Di samping itu
IMT juga tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti edema,
ascites, dan hepatomegali (Supariyasa, 2002).
Hubungan antara Kelebihan Berat Badan dengan Inkontinensia Urin


73
Kelebihan berat badan kerap kali dihubungkan dengan berbagai masalah kesehatan,
salah satunya adalah kelainan dasar panggul, termasuk inkontinensia urin. Wanita dengan
berat badan atau IMT yang tinggi memiliki peningkatan resiko terjadinya inkontinensia
urin. Ada beberapa alasan mekanik dan fisiologi mengapa peningkatan IMT dikaitkan
dengan inkontinensia urin. Semakin tinggi IMT seseorang maka diikutii peningkatan
tekanan intra abdomennya yang semakin tinggi. Tentu saja peningkatan ini akan semakin
menekan dasar panggul dan mengurangi kemampuan pengendalian uretra dan kandung
kemih. Pada keadaan ini besarnya peningkatan tekanan intra abdomen mampu untuk
menekan urin ke uretra dengan sangat mudah. (Luber, 2004; Greer et al., 2008).
Diungkapkan juga bahwa wanita yang kelebihan berat badan lebih jarang bergerak
memiliki tonus otot lebih rendah dibanding wanita yang lebih langsing. Selain itu para
wanita dengan berat badan berlebih yang melakukan program penurunan berat badan,
menujukkan adanya penurunan tekanan abdomen, dan program ini mampu menurunkan
frekuensi inkontinensia secara signifikan. Dari beberapa hal ini cukup menunjukkan
adanya hubungan antara kelebihan berat badan dengan inkontinensia urin. (Subak et al.,
2009; Swanson et al., 2005).




74
Sistolik hipertensi
Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah diastolik dan sistolik yang
intermiten atau menetap.
Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan
tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001).Menurut WHO ( 1978 ), tekanan darah sama
dengan atau diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.
Pada Populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan
tekanan diastolik 90 mmHg (Brunner & Suddarth, 1996)
Klasifikasi
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi :
1. Hipertensi primer atau esensial
Penyebab pasti masih belum diketahui. Jenis ini adalah yang terbanyak, yaitu
sekitar 90-95% dari seluruh pasien hipertensi. Riwayat keluarga,obesitas,diit
tinggi natrium,lemak jenuh dan penuaan adalah faktor pendukung. Walaupun
faktor genetik sepertinya sangat berhubungan dengan hipertensi primer, tapi
mekanisme pastinya masih belum diketahui.

2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder akibat penyakit ginjal atau penyebab yang terindentifikasi
lainya. Hipertensi yang penyebabnya diketahui seperti hipertensi renovaskuler,
feokromositoma, sindrom cushing, aldosteronisme primer, dan obat-obatan, yaitu
sekitar 2-10% dari seluruh pasien hipertensi.

Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Pedoman Joint National Committee 7
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal
Normal
115 atau kurang
< 120
75 atau kurang
< 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage I 140-159 90-99
Hipertensi stage II 160 100

Berdasarkan klasifikasi dari JNC-VI maka hipertensi pada usia lanjut dapat dibedakan:


75
Hipertensi sistolik saja (Isolated systolic hypertension), terdapat pada 6-12%
penderita di atas usia 60
th
, terutama pada wanita. Insioden meningkat seiring
bertambahnya umur.
Hipertensi diastolic saja (Diastolic hypertension), terdapat antara 12-14%
penderita di atas usia 60
th
, terutama pada pria. Insidensi menurun seiring
bertambahnya umur.
Hipertensi sistolik-diastolik: terdapat pada 6-8% penderita usia di atas 60
th
, lebih
banyak pada wanita. Menningkat dengan bertambahnya umur.

Etiologi
Dengan perubahan fisiologis normal penuaan, faktor resiko hipertensi lain meliputi
diabetes ras riwayat keluarga jenis kelamin faktor gaya hidup seperti obesitas asupan
garam yang tinggi alkohol yang berlebihan.
Faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat atau tidak dapat dikontrol,
antara lain:
a. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol:
Faktor risiko yang tidak dapat diubah, seperti riwayat keluarga (genetik
kromosomal), umur (pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun), jenis kelamin pria
atau wanita pasca menopause.
a. Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita.Namun
wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita
yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang
berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL).
Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam
mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen
dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia
premenopause. Pada premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi
sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari
kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut
berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang
umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun.


76
Dari hasil penelitian didapatkan hasil lebih dari setengah penderita hipertensi
berjenis kelamin wanita sekitar 56,5%.Hipertensi lebih banyak terjadi pada
pria bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak menyerang
wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah
wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah
menopause.

b. Umur
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi orang
yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari orang
yang berusia lebih muda. Hipertensi pada usia lanjut harus ditangani secara
khusus. Hal ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati mulai menurun,
karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-benar tepat. Tetapi pada
kebanyakan kasus , hipertensi banyak terjadi pada usia lanjut. hipertensi
sering terjadi pada usia pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun. Hal ini
disebabkan terjadinya perubahan hormon sesudah menopause. Hanns Peter
(2009) mengemukakan bahwa kondisi yang berkaitan dengan usia ini adalah
produk samping dari keausan arteriosklerosis dari arteri-arteri utama,
terutama aorta, dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan
mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu
kehilangan daya penyesuaian diri.

c. Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akanmenyebabkan keluarga itu
mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium
terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai
risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang
tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Seseorang akan
memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang
tuanya adalah penderita hipertensi.
b. Faktor resiko yang dapat dikontrol:


77
1. Obesitas
Pada usia + 50 tahun dan dewasa lanjut asupan kalori mengimbangi
penurunan kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu sebabnya berat
badan meningkat. Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia. Kelompok
lansia dapat memicu timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan
pembuluh darah, hipertensi. Indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung
dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk
menderita hipertensi pada orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan seorang yang berat badannya normal. Pada penderita hipertensi
ditemukan sekitar 20-30% memiliki berat badan lebih.
2. Kurang Olahraga.
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak menular,
karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang
akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung
sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang
lebih berat karena adanya kondisi tertentu Kurangnya aktivitas fisik
menaikan risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk
menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak
jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada
setiap kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus memompa semakin
besar pula kekuaan yang mendesak arteri.
3. Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat
dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko
terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis.
4. Mengkonsumsi garam berlebih
Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO)
merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko
terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak
lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari.
Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam
cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler


78
ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat.
Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan
meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada timbulnya
hipertensi.
5. Minum alkohol
Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak jantung dan
organ-organ lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan minum alkohol
berlebihan termasuk salah satu faktor resiko hipertensi.
6. Minum kopi
Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir kopi mengandung
75 200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir tersebut berpotensi
meningkatkan tekanan darah 5 -10 mmHg.
7. Stress
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf
simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten
(tidak menentu). Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan
darah menetap tinggi. Menurut Anggraini (2009) mengatakan stres akan
meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga
akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Adapun stres ini dapat
berhubungan dengan pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik
personal.

Tanda Dan Gejala
Seperti penyakit degeneratif pada lanjut usia lainnya, hipertensi sering tidak
memberikan gejala apapun atau gejala yang timbul tersamar (insidious) atau tersembunyi
(occult). Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis beberapa pasien yang menderita
hipertensi yaitu : Mengeluh sakit kepala, pusing Lemas, kelelahan, Sesak nafas, Gelisah,
Mual Muntah, Epistaksis, Kesadaran menurun

Pemeriksaan Penunjang
a. Hemoglobin / hematokrit


79
b. Untuk mengkaji hubungan dari sel sel terhadap volume cairan (viskositas) dan dapat
mengindikasikan factor factor resiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia.
c. BUN : memberikan informasi tentang perfusi ginjal
d. Glukosa
Hiperglikemi (diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan oleh
peningkatan katekolamin (meningkatkan hipertensi).
e. Kalium serum
Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama (penyebab) atau menjadi
efek samping terapi diuretik.
f. Kalsium serum: Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi.
g. Kolesterol dan trigliserid serum
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk / adanya pembentukan plak
ateromatosa ( efek kardiovaskuler )
h. Pemeriksaan tiroid: Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi.
i. Kadar aldosteron urin/serum
Untuk mengkaji aldosteronisme primer ( penyebab ).
j. Urinalisa
Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau adanya diabetes.
k. Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi.
l. Steroid urin: Kenaikan dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
m. IVP
Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit parenkim ginjal, batu ginjal
/ ureter.
n. Foto dada: Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung.
o. CT scan: Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati.
p. EKG
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi,
peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.

Komplikasi


80
Pasien dengan hipertensi dapat meninggal dengan cepat; penyebab tersering
kematian adalah penyakit jantung, sedangkan stroke dan gagal ginjal sering ditemukan,
dan sebagian kecil pada pasien dengan retinopati.
a. Komplikasi pada Sistem Kardiovaskuler
Kompensasi akibat penambahan kerja jantung dengan peningkatan tekanan
sistemik adalah hipertrofi ventrikel kiri, yang ditandai dengan penebalan dinding
ventrikel. Hal ini menyebabkan fungsi ventrikel memburuk, kapasitasnya
membesar dan timbul gejala-gejala dan tanda-tanda gagal jantung. Angina
pektoris dapat timbul sebagai akibat dari kombinasi penyakit arteri koronaria
dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard karena penambahan massanya.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pembesaran jantung dengan denyut ventrikel
kiri yang menonjol. Suara penutupan aorta menonjol dan mungkin ditemukan
murmur dari regurgitasi aorta. Bunyi jantung presistolik (atrial, keempat) sering
terdengar pada penyakit jantung hipertensif, dan bunyi jantung protodiastolik
(ventrikuler, ketiga) atau irama gallop mungkin saja ditemukan. Pada
elektrokardiogram, ditemukan tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri. Bila penyakit
berlanjut, dapat terjadi iskemi dan infark. Sebagian besar kematian dengan
hipertensi disebabkan oleh infark miokard atau gagal jantung kongestif. Data-
data terbaru menduga bahwa kerusakan miokardial mungkin lebih diperantarai
oleh aldosteron pada asupan garam yang normal atau tinggi dibandingkan hanya
oleh peningkatan tekanan darah atau kadar angiotensin II.

b. Efek Neurologik
Efek neurologik pada hipertensi lanjut dibagi dalam perubahan pada retina
dan sistem saraf pusat. Karena retina adalah satu-satunya jaringan dengan arteri
dan arteriol yang dapat langsung diperiksa, maka dengan pemeriksaan
optalmoskopik berulang memungkinkan pengamatan terhadap proses dampak
hipertensi pada pembuluh darah retina.
Efek pada sistem saraf pusat juga sering terjadi pada pasien hipertensi.
Sakit kepala di daerah oksipital, paling sering terjadi pada pagi hari, yang
merupakan salah satu dari gejala-gejala awal hipertensi. Dapat juga ditemukan
keleyengan, kepala terasa ringan, vertigo, tinitus dan penglihatan menurun atau


81
sinkope, tapi manifestasi yang lebih serius adalah oklusi vaskuler, perdarahan
atau ensefalopati. Patogenesa dari kedua hal pertama sedikit berbeda. Infark
serebri terjadi secara sekunder akibat peningkatan aterosklerosis pada pasien
hipertensi, dimana perdarahan serebri adalah akibat dari peningkatan tekanan
darah dan perkembangan mikroaneurisma vaskuler serebri (aneurisma Charcot-
Bouchard). Hanya umur dan tekanan arterial diketahui berpengaruh terhadap
perkembangan mikroaneurisma.
Ensefalopati hipertensi terdiri dari gejala-gejala : hipertensi berat,
gangguan kesadaran, peningkatan tekanan intrakranial, retinopati dengan
papiledem dan kejang. Patogenesisnya tidak jelas tapi kemungkinan tidak
berkaitan dengan spasme arterioler atau udem serebri. Tanda-tanda fokal
neurologik jarang ditemukan dan jikalau ada, lebih dipikirkan suatu infark /
perdarahan serebri atau transient ischemic attack.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan kelainan pada retina
berupa retinopati hipertensi, dengan arteri yang besarnya tidak beraturan,
eksudat pada retina, edema retina dan perdarahan retina. Kelainan pembuluh
darah dapat berupa penyempitan umum atau setempat, percabangan pembuluh
darah yang tajam, fenomena crossing atau sklerosis pembuluh darah.


c. Efek pada Ginjal
Lesi aterosklerosis pada arteriol aferen dan eferen serta kapiler glomerulus
adalah lesi vaskuler renal yang paling umum pada hipertensi dan berakibat pada
penurunan tingkat filtrasi glomerulus dan disfungsi tubuler. Proteinuria dan
hematuria mikroskopik terjadi karena lesi pada glomerulus dan 10 % kematian
disebabkan oleh hipertensi akibat gagal ginjal. Kehilangan darah pada hipertensi
terjadi tidak hanya dari lesi pada ginjal; epitaksis, hemoptisis dan metroragi juga
sering terjadi pada pasien-pasien ini.

Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan hipertensi adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas
yang berkaitan dengan sistem kardiovaskuler dan ginjal. Karena kebanyakan penderita


82
hipertensi, khususnya yang berusia > 50 tahun akan mencapai target tekanan diastol saat
target tekanan sistol sudah dicapai, sehingga fokus utamanya adalah mencapai target
tekanan sistol. Penurunan tekanan sistol dan diastol < 140 / 90 mmHg berhubungan dengan
penurunan terjadinya komplikasi stroke, dan pada pasien hipertensi dengan diabetes
melitus, target tekanan darah ialah < 130 / 80 mmHg.
Penalaksanaan hipertensi dilandasi oleh beberapa prinsip, yaitu :
1. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mendahulukan pengobatan kausal.
2. Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah
dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi.
3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat
antihipertensi.
4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan mungkin
seumur hidup.
5. Pengobatan dengan menggunakan standart triple therapy (stt) menjadi dasar
pengobatan hipertensi.


Pemakain obat pada lanjut usia perlu dipikirkan kemungkinan adanya :
a. Gangguan absorsbsi dalam alat pencernaan
b. Interaksi obat
c. Efek samping obat.
d. Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui ginjal.

Pada pengobatan hipertensi ada tiga hal evaluasi menyeluruh terhadap kondisi
penderita adalah :
a. Pola hidup dan indentifikasi ada tidaknya faktor resiko kardiovaskuler.
b. Penyebab langsung hipertensi sekunder atau primer.
c. Organ yang rusak karena hipertensi.

Secara garis besar, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan
obat antihipertensi, yaitu:
1. Mempunyai efektivitas yang tinggi


83
2. Mempunyai toksisitas dan efek samping yang ringan atau minimal
3. Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
4. Tidak menimbulkan intoleransi
5. Harga obat relatif murah sehingga terjangkau oleh penderita.
6. Memungkinkan penggunaan obat dalam jangka panjang

Tidak jarang penatalaksanaan hipertensi dengan menggunakan obat-obat
antihipertensi mengalami kegagalan, yang dapat disebabkan oleh hal-hal di bawah
ini :
1. Ketidakpatuhan penderita
2. Peningkatan volume oleh karena peningkatan asupan natrium, kerusakan ginjal,
dan kurangnya pemberian diuretik
3. Obesitas
4. Dosis yang tidak adekuat
5. Interaksi obat
6. Kontrasepsi oral
7. Penggunaan obat-obat steroid
8. Hipertensi sekunder

Klasifikasi dan Managemen Tekanan Darah untuk Dewasa *
BP Classification SBP
(mmHg)
*
DBP
(mmHg)
*
Lifestyle
Modificati
on
Initial Drug Therapy
Without
Compelling
Indication
With Compelling
Indication
Normal < 120 and < 80 Encourage
Prehypertension 120-139 or 80-89 Yes No
antihypertensive
indicated
Drug(s) for
compelling
indications.




84
Stage I
Hypertension
140-159 or 90-99 Yes Thiazide-type
diuretics for most.
May consider
ACEI , ARB, BB
, CCB or
combination.
Drug(s) for the
compelling
indications.


Other
antihypertensive
drugs (diuretics,
ACEI, ARB, BB,
CCB) as needed.
Stage II
Hypertension
160 100 Yes Two-drug
combination for
most

(usually
thiazide-type
diuretic and ACEI
or ARB or BB or
CCB)
SBP : Systolic Blood Pressure
DBP : Diastolic Blood Pressure.
Drug abbreviations : BP :
ACEI : Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
ARB : Angiotensin Receptor Blocker
CCB : Calsium Channel Bloker.
BB : Beta-Bloker
* Treatment determined by highest BP category.

Initial combined therapy should be used cautiously in those at risk for orthostatic
hypotension.

Treat patients with chronic kidney disease or diabetes or BP goal < 130/80 mmHg
2.4.1 Konsep Penatalaksanaan Hipertensi Terkini
Joint National Committee VII merekomendasikan konsep terapi yang terbaru
yaitu :
a. Pasien dengan tekanan darah sistolik 120-139 mmHg dan tekanan darah
diastolic 80-89 mmHg hanya memerlukan penatalaksanaan
nonfarmakologis dengan cara modifikasi gaya hidup.


85
b. Pasien yang tidak memiliki komplikasi hipertensi, diperlukan
penatalaksanaan secara farmakologis dengan diberikan obat golongan
diuretik atau bisa juga diberikan obat dari golongan lain.
c. Lebih memperhatikan tekanan darah sistolik dan penanganannya harus
dimulai jika tekanan darah sistolik meningkat walaupun tekanan darah
diastoliknya tidak.
d. Sebagian besar pasien hipertensi memerlukan obat kombinasi
antihipertensi, salah satunya adalah obat dari golongan diuretik tiazid.
e. Kebanyakan pasien hipertensi memerlukan 2 atau lebih pengobatan untuk
mencapai tekanan darah 20/10 mmHg di atas tekanan darah yang
diinginkan.
f. Golongan ACE Inhibitor sendiri atau kombinasi dengan golongan diuretic
masih merupakan terapi pilihan yang terbaik untuk pasien dengan
hipertensi yang sudah mengalami komplikasi penyakit jantung.

Bila hipertensi yang terjadi tanpa disertai dengan komplikasi atau penyakit
penyerta lain, maka pengobatan adalah mudah. Penatalaksanaan untuk
hipertensi dibagi menjadi :
1. Non Farmakologis atau modifikasi gaya hidup.
2. Farmakologis

A. Non farmakologis atau modifikasi gaya hidup meliputi :
Jaga berat badan ideal. Turunkan berat badan bila IMT 27
Membatasi alkohol.
Olahraga teratur sesuai dengan kondisi tubuh.
Mengurangi asupan natrium (<100 mmol Na, atau 2.4 g Na , atau 6 g NaCl/hari)
Mempertahankan asupan kalium (90 mmol/hari)
Berhenti merokok.
Kurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol dalam makanan.

Modifikasi Gaya Hidup Penatalaksanaan Hipertensi
*
Modification Recommendation Approximate SBP


86
Reduction (Range)
Weight reduction Maintain normal body weight (BMI 18,5
24,9 kg/m
2
)
5-20 mmHg / 10 kg
weight loss
Adopt DASH
eating plan
Consume a diet rich in fruits, vegetables
and low fat dairy products with a reduced
content of saturated and total fat
8-14 mmHg
Dietary sodium
reduction
Reduced dietary sodium intake to no more
than 100 mmol per day (2,4 g sodium or 6 g
sodium chloride)
2-8 mmHg
Physical activity Engage in regular aerobic physical activity
such as brisk walking (at least 30 min per
day, most days of the week)
4-9 mmHg
Moderation of
alcohol
consumption
Limit consumption to no more than 2 drinks
(1 oz or 30 ml ethanol; e.g. 24 oz beer, 10
oz wine, or 3 oz 80-proof whiskey) per day
in most men and to no more thsn 1 drink per
day in women and lighter weight persons
2-4 mmHg
DASH, Dietary Approaches to Stop Hypertension
* For overall cardiovascular risk reduction, stop smoking.
The effects of implementing these modifications are dose and time dependent, and
could be greater for some individuals.
B. Farmakologis :
Obat-obat Antihipertensi :
1. Diuretik
Cara kerja : meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air sehingga
volume plasma dan cairan ekstrasel.
Untuk terapi jangka panjang pengaruh utama adalah mengurangi resistensi
perifer.
Terdapat beberapa golongan, yaitu :
a. Diuretik Tiazid dan sejenisnya (paling luas digunakan) , contoh :
- Hidroklorotiazid (HCT) tab 25 dan 50 mg
- Klortalidonn tab 50 mg


87
- Bendroflumentiazid tab 5 mg
- Indapamid tab 2,5 mg
- Xipamid tab 20 mg
b. Diuretik kuat :
a. Furosemid tab 40 mg
c. Diuretik hemat kalium :
a. Amilorid tab 5 mg
b. Spironolakton tab 25 dan 100 mg
Efek samping : hipotensi dan hipokaleia.

2. Penghambat Adrenergik
Efektif untuk menurunkan denyut jantung dan curah jantung, serta
menurunkan sekresi renin
Kontraindikasi bagi pasien gagal jantung kongestif
Terdiri dari golongan :
- penghambat adrenoreseptor / bloker : terazosin, doxazosin,
prazosin
- penghambat adrenoreseptor / -bloker : propanolol, asebutolol,
atenolol, bisoprolol
- penghambat adrenoreseptor dan : labetalol
- adrenolitik sentral : klonidin, metildopa, reserpin, guanfasin
3. Vasodilator
Bekerja langsung pada pembuluh darah dengan cara relaksasi otot polos
yang akan mengakibatkan penurunan resistensi pembuluh darah
Yang termasuk golongan ini adalah natrium nitroprusid, hidralazin,
doksazosin, prazosin, minoksidil, diaksozid.
Yang paling sering digunakan adalah natrium nitroprusid dengan efek
samping hipotensi ortostatik.

4. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin
Bekerja menghambat sistem renin-angiotensin, menstimulasi sintesis
prostaglandin dan juga mengurangi aktivitas saraf simpatis


88
Preparat yang paling banyak digunakan adalah Kaptopril, diberikan 1 jam
sebelum makan. Pada gagal ginjal dosis dikurangi (bila CCT > 1.5 mg%).
Efek samping : batuk kering , eritema, gangguan pengecap, proteinuria,
gagal ginjal dan agranulositosis.

5. Antagonis Kalsium
Mempunyai efek mengurangi tekanan darah dengan cara menyebabkan
vasodilatasi perifer yang berkaitan dengan refleks takikardi yang kurang
nyata dan retensi cairan yang kurang daripada vasodilator lainnya.
Preparat yang biasa digunakan seperti nifedipin, nikardipin, felodipin,
amilodipin, verapamil dan diltiazem.
6. Antagonis Reseptor Angiotensin II (AIIRA / ARB)
Merupakan golongan obat antihipertensi terbaru, tidak mempengaruhi
produksi Angiotensin II tetapi memblok di tempat kerja pada organ target.
Kelebihannya adalah tidak menimbulkan batuk karena tidak mempengaruhi
metabolisme bradikinin.
Proses apoptosis dan regenerasi jaringan juga tetap berlangsung karena
reseptor tidak dipengaruhi.

Prinsip pemberian obat anti hipertensi pada lansia :
Dimulai dengan 1 macam obat dengan dosis kecil (START LOW GO SLOW)
Penurunan tekanan darah sebaiknya secara perlahan, untuk penyesuaian
autoregulasi guna mempertahankan perfusi ke organ vital.
Regimen obat harus sederhana dan dosis sebaiknya sekali sehari
Antisipasi efek samping obat-obat antihipertensi
Pemantauan tekanan darah untuk evaluasi efektivitas pengobatan
Setelah tercapai target maka pemberian obat harus disesuaikan kembali untuk
maintenance (Gambar 2)

Pengobatan harus segera dilakukan pada hipertensi berat dan apabila terdapat
kelainan target organ. Oleh karena fungsi ginjal telah menurun dan terdapat
gangguan metabolisme obat, sebaiknya dosis awal dimulai dengan dosis yang lebih


89
rendah. Pada hipertensi tanpa komplikasi golongan diuretik dosis rendah (HCT 12,5
25 mg atau setara) yang dikombinasi dengan diuretik hemat kalium dapat diberi
sebagai pengobatan awal. Obat anti hipertensi lain dapat diberikan atas indikasi
spesifik.
Pada pasien dengan payah jantung, obat penghambat ACE dan diuretik
merupakan obat pilihan pertama. Tetapi pada pemberian diuretika sering
menimbulkan efek hipokalemia dan hiponatremia karena kedua mineral tadi ikut
terbuang bersama urine.
Pada pasien pascainfark miokard, pemakaian penyebat yang kardioselektif
dianjurkan. Akan tetapi pada umumnya pemakaian penyekat tidak begitu disukai
oleh karena menimbulkan perburukan penyakit vaskuler perifer dan bronkospastik.
Penghambat merupakan pilihan pada pasien dengan dislipidemia dan hipertrofi
prostat, akan tetapi harus hati-hati terhadap efek hipotensi ortostatik, karena hal ini
dapat menyebabkan lansia jatuh bahkan sampai mengalami komplikasi fraktur.
Antagonis kalsium jangka panjang cukup efektif, terutama karena mempunyai
efek natriuretik dan dianjurkan pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Pada
pasien dengan diabetes dan proteinuria diindikasikan pemakaian obat penghambat
ACE.
Obat simpatolitik sentral seperti metildopa, klonidin dan guanfasin walaupun
efektif, pemakaiannya kurang dianjurkan pada usia lanjut karena efek samping
sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik. Dan obat-obat yang mempunyai
pengaruh pada susunan saraf pusat, dan bloker dapat mengakibatkan depresi serta
penurunan kesadaran/fungsi kognitif.
Pemberian antihipertensi pada lansia harus hati-hati karena pada lansia terdapat :
Penurunan refleks baroreseptor sehingga meningkatkan risiko hipotensi ortostatik.
Gangguan autoregulasi otak sehingga iskemia serebral mudah terjadi dengan
hanya sedikit penurunan tekanan darah sistemik.
Penurunan fungsi ginjal dan hati sehingga terjadi akumulasi obat.
Pengurangan volume intravaskular sehingga sensitif terhadap deplesi cairan.
Sensitivitas terhadap hipokalemi sehingga mudah terjadi aritmia dan kelemahan
otot.


90
Pemberian obat juga harus dipikirkan mengenai penyakit komorbid yang ada pada
lansia itu. Jangan sampai obat antihipertensif yang kita beri mempunyai efek
samping yang dapat memperberat gejala penyakit komorbid.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka sebaiknya obat-obat yang dapat menyebabkan
hipotensi ortostatik, yaitu guanetidin, guanadrel, alfa bloker dan labetolol sebaiknya
dihindarkan atau diberikan dengan hati-hati, tekanan darah diturunkan perlahan-
lahan dengan cara memberi dosis awal yang lebih rendah dan peningkatan dosis yang
lebih kecil dengan interval yang lebih panjang dari biasanya pada penderita yang
lebih muda, dan pilihan antihipertensi harus secara individual, berdasarkan pada
kondisi penyerta.
Tahap-tahap yang perlu diperhatikan agar terapi hipertensi dapat berhasil adalah :
1. Diagnosis yang tepat dan sedini mungkin (pengukuran beberapa kali dan kalau
perlu lebih dari 1 kali kunjungan)
2. Pendidikan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan akan bahaya
hipertensi dan makna serta manfaat bila tekanan darah dapat dinormalkan.
3. Menyampaikan data yang akurat dari studi klinik pada tenaga kesehatan maupun
masyarakat, khususnya mengenai manfaat penurunan/terapi hipertensi.
4. Meningkatkan kepatuhan berobat atau control pasien.
5. Memotivasi para tenaga kesehatan untuk berusahamenurunkan tekanan darah
pasien hipertensi.
6. Menggunakan obat antihipertensi yang dapat ditoleransi dengan baik dan yang
dapat dimakan sekali sehari.

Terapi Kombinasi
Biasanya bila terapi dengan satu macam obat gagal untuk mencapai sasaran,
maka perlu ditambahkan obat ke-2 dengan dosis rendah dahulu dan tidak
meningkatkan dosis obat pertama. Hal ini adalah upaya untuk memaksimalkan efek
penurunan tekanan darah dengan efek samping seminimal mungkin. Pada penelitian
HOT, terapi kombinasi diperlukan pada sekitar 70% penderita. Dalam JNC-VII,
para ahli bahkan menganjurkan terapi antihipertensi kombinasi langsung pada
penderita yang ada pada stadium 1. Walaupun dosis campuran tetap banyak


91
disediakan oleh pabrik farmasi, upaya titrasi dosis secara individual dianggap lebih
baik. Berikut diberikan pedoman yang dianut oleh para ahli hipertensi di Inggris
yang disebut sebagai The Birmingham Hypertension Square.








The Birmingham Hypertension Square















Mulai terapi pada kotak manapun dan gunakan terapi tambahan dengan obat
yang ditunjuk oleh panah. Obat-obatan pada kotak yang berdekatan memiliki efek
antihipertensi tambahan, aksi yang saling melengkapi dan biasanya ditoleransi
dengan baik.

ACE Inhibitor atau
Bloker Reseptor
Angiotensin II
Diuretik

Nasihat nonfarmakologik :
garam, berat badan, alkohol,
olahraga, rokok
Bloker Kanal
Kalsium golongan
dihidropiridine

-Bloker


92



93

Atrial fibrilasi

Atrial Fibrilasi atau fibrilasi atrium. Atrial Fibrilasi merupakan aritmia yang paling
umum. aritmia adalah sebuah masalah dengan kecepatan atau irama denyut jantung.
Sebuah gangguan pada sistem listrik jantung menyebabkan AF dan jenis lain aritmia.
Atrial Fibrilasi terjadi ketika cepat, sinyal-sinyal listrik tidak terorganisir dalam dua
jantung bilik yang di atas, disebut atrium, menyebabkan mereka kontrak sangat cepat dan
tidak teratur (ini disebut fibrilasi).
Akibatnya, darah kolam di atrium dan tidak dipompa sepenuhnya menjadi dua bilik
jantung lebih rendah, yang disebut ventrikel. Ketika ini terjadi, ruang jantung atas dan
bawah tidak bekerja sama sebagaimana mestinya.
Etiologi / Penyebab Atrial Fibrilasi
Atrial fibrilasi (AF) terjadi ketika sinyal-sinyal listrik bepergian melalui jantung
dilakukan normal dan menjadi tidak teratur dan sangat cepat.
Ini adalah akibat dari kerusakan sistem kelistrikan jantung. Kerusakan ini paling
sering hasil dari kondisi lain, seperti penyakit arteri koroner atau tekanan darah tinggi,
yang mempengaruhi kesehatan jantung. Kadang-kadang, penyebab AF tidak diketahui.
Atrial fibrilasi (AF) biasanya menyebabkan ventrikel berkontraksi lebih cepat dari
biasanya. Ketika ini terjadi, ventrikel tidak memiliki cukup waktu untuk mengisi
sepenuhnya dengan darah untuk memompa ke paru-paru dan tubuh.
Manifestasi Klinis / Tanda dan Gejala Atrial Fibrilasi
Palpitasi (perasaan yang kuat dari detak jantung yang cepat atau "berdebar" dalam
dada)
Sesak napas
Kelemahan atau kesulitan berolahraga
Nyeri dada
Pusing atau pingsan
Kelelahan (kelelahan)
Kebingungan
Patofisiologi / Patogenesis Atrial Fibrilasi


94
Aktivasi fokal fokus diawali biasanya dari daerah vena pulmonalis timbulnya
gelombang yang menetap dariMultiple wavelet reentry depolarisasi atrial atau wavelets
yang dipicu oleh depolarisasi atrial premature atau aktivitas aritmogenik dari fokus yang
tercetus secara cepat. Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan mekanisme fibrilasi
ventrikel kecuali bila prosesnya ternyata hanya di massa otot atrium dan bukan di massa
otot ventrikel. Penyebab yang sering menimbulkan fibrilasi atrium adalah pembesaran
atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah atrium mengosongkan isinya secara
adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat kegagalan ventrikel dengan pembendungan darah
yang banyak di dalam atrium. Dinding atrium yang berdilatasi akan menyediakan kondisi
yang tepat untuk sebuah jalur konduksi yang panjang demikian juga konduksi lambat, yang
keduanya merupakan faktor predisposisi bagi fibrilasi atrium.
Karakteristik Pemompaan Atrium Selama Fibrilasi Atrium.
Atrium tidak akan memompa darah selama Atrial Fibrilasi berlangsung. Oleh karena
itu atrium tidak berguna sebagai pompa primer bagi ventrikel. Walaupun demikian, darah
akan mengalir secara pasif melalui atrium ke dalam ventrikel, dan efisiensi pompa
ventrikel akan menurun hanya sebanyak 20 30 %. Oleh karena itu, dibanding dengan
sifat yang mematikan dari fibrilasi ventrikel, orang dapat hidup selama beberapa bulan
bahkan bertahun-tahun dengan fibrilasi atrium, walaupun timbul penurunan efisiensi dari
seluruh daya pompa jantung. 2
Patofisiologi Pembentukan Trombus pada Atrial Fibrilasi.
Pada Atrial Fibrilasi aktivitas sitolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi penurunan
atrial flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri dan memudahkan
terbentuknya trombus. Pada pemeriksaan TEE, trombus pada atrium kiri lebih banyak
dijumpai pada pasien Atrial Fibrilasi dengan stroke emboli dibandingkan dengan Atrial
Fibrilasi tanpa stroke emboli. 2/3 sampai stroke iskemik yang terjadi pada pasien dengan
Atrial Fibrilasi non valvular karena stroke emboli. Beberapa penelitian menghubungkan
Atrial Fibrilasi dengan gangguan hemostasis dan thrombosis. Kelainan tersebut mungkin
akibat dari statis atrial tetapi mungkin juga sebgai kofaktor terjadinya tromboemboli pada
Atrial Fibrilasi. Kelainan-kelainan tersebut adalah peningkatan faktor von Willebrand (
faktor VII ), fibrinogen, D-dimer, dan fragmen protrombin 1,2. Sohaya melaporkan Atrial
Fibrilasi akan meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi dan hal ini dipengaruhi oleh
lamanya Atrial Fibrilasi.


95
Komplikasi Atrial Fibrilasi
Atrial Fibrilasi memiliki dua komplikasi utama - stroke dan gagal jantung.
Pemeriksaan Penunjang Atrial Fibrilasi
Pemeriksaan Fisik :
Tanda vital : denyut nadi berupa kecepatan dengan regularitasnya, tekanan darah
Tekanan vena jugularis
Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif
Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukan kemungkinan terdapat gagal
jantung kongestif, terdapat bising pada auskultasi kemungkinan adanya penyakit katup
jantung
Hepatomegali : kemungkinan terdapat gagal jantung kanan
Edema perifer : kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif
Laboratorium : hematokrit ( anemia ), TSH ( penyakit gondok ), enzim jantung bila
dicurigai terdapat iskemia jantung.
Pemeriksaan EKG : dapat diketahui antara lain irama ( verifikasi AF ), hipertrofi
ventrikel kiri. Pre-eksitasi ventrikel kiri, sindroma pre-eksitasi ( sindroma WPW ),
identifikasi adanya iskemia.
Foto Rontgen Toraks : Gambaran emboli paru, pneumonia, PPOK, kor pulmonal.
Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran dari atrium dan
ventrikel, hipertrofi ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow dan TEE ( Trans
Esophago Echocardiography ) untuk melihat trombus di atrium kiri.
Pemeriksaan Fungsi Tiroid. Tirotoksikosis. Pada AF episode pertama bila laju
irama ventrikel sulit dikontrol.
Uji latih : identifikasi iskemia jantung, menentukan adekuasi dari kontrol laju irama
jantung.
Pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan adalah holter monitoring studi
elektrofisiolagi.
Penatalaksanaan / Penanganan / Pengobatan / Terapi Atrial Fibrilasi
Tujuan yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan Atrial Fibrilasi adalah
mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan
komplikasi tromboemboli. Dalam penatalaksanaan Atrial Fibrilasi perlu diperhatikan
apakah pada pasien tersebut dapat dilakukan konversi ke irama sinus atau cukup dengan


96
pengontrolan laju irama ventrikel. Pada pasien yang masih dapat dikembalikan ke irama
sinus perlu segera dilakukan konversi, sedangkan pada Atrial Fibrilasi permanen sedikit
sekali kemungkinan atau tidak mungkin dikembalikan ke irama sinus, alternatif
pengobatan dengan menurunkan laju irama ventrikel harus dipertimbangkan.
Prognosis Atrial Fibrilasi
Penelitian epidemiologi telah menunjukan bahwa pasien dengan irama sinus hidup
lebih lama dibandingkan dengan seseorang kelainan atrium. Penelitian juga menunjukkan
penggunaan antikoagulan dan pengontrolan secara rutin bertuuan untuk asimtomatik pada
pasien usia lanjut. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa terapi medis yang ditujukan
untuk mengendalikan irama jantung tidak menghasilkan keuntungan keberhasilan
dibandingkan dengan terapi kontrol rate dan antikoagulan.
Terapi Atrial Fibrilasi secara keseluruhan memberikan prognosis yang lebih baik
pada kejadian tromboemboli terutama stroke. Atrial Fibrilasi dapat mencetuskan takikardi
cardiomiopati bila tidak terkontrol dengan baik. Terbentuknya Atrial Fibrilasi dapat
menyebabkan gagal jantung pada individu yang bergantung pada komponen atrium dari
cardiac output dimana pasien dengan penyakit jantung hipertensi dan pada pasien dengan
penyakit katup jantung termasuk dalam resiko tingi akan terjadinya gagal jantung saat
terjadi Atrial Fibrilasi.



97
Menopause

Menopause adalah suatu fase alamiah yang akan dialami oleh setiap wanita
yang biasanya terjadi diatas usia 40 tahun. Ini merupakan suatu akhir proses
biologis dari siklus menstruasi yang terjadi karena penurunan produksi hormon estrogen
yang dihasilkan indung telur. Berhentinya haid akan membawa dampak pada konsekuensi
kesehatan baik fisik maupun psikis (Yudomustopo, 1999).
Kata menopause yang berasal dari kata Yunani yang berarti bulan dan
penghentian sementara, yang secara linguistik lebih tepat disebut menocease.
Secara medis istilah menopause berarti menocease, karena berdasarkan defenisinya
menopause itu berarti berhentinya menstruasi (bukan istirahat).
Arti menopause yang tidak jelas ini dikarenakan gejala-gejala yang muncul
sebelum menstruasi juga berhenti (Reitz, 1993). Menopause merupakan sebuah kata yang
mempunyai banyak arti. Men dan pauseis adalah kata Yunani yang pertama kali digunakan
untuk menggambarkan berhentiya haid. Menurut kepustakaan abad ke-17 dan ke-18,
menopause dianggap suatu bencana dan malapetaka, sedangkan wanita post-menopause
dianggap tidak berguna dan tidak menarik lagi (Kasdu, 2002).
Masa Klimakterium, Proses, Batasan Usia Menopause dan Jenis Menopause
Masa Klimakterium
Menurut siklus kehidupan wanita normal, setiap kehidupan seorang wanita
mengalami fase-fase perkembangan tertentu. Dalam hal ini, fase-fase yang berkaitan
dengan berbagai fungsi organ reproduksi wanita. Fase tersebut dibagi tiga tahap, yaitu
masa sebelum, sedang berlangsung dan setelah menstruasi (Kasdu, 2002).
Proses Menopause
Menurut Aina (2009) yang mengutip pendapat Fachrudin, secara endokrinologis,
wanita mengalami proses menua sejak di kandungan. Sejumlah 7.000.000 sel telur (folikel)
terdapat pada kedua ovarium janin yang berusia 22-24 minggu dan berkurang akibat
penghancuran sehingga sewaktu dilahirkan folikel bayi wanita tinggal 2.000.000 buah.
Jumlah tersebut menjadi 200.000 saat mendapat haid pertamanya pada masa pubertas.
Semakin sedikit folikel berkembang, semakin kurang pembentukan hormon di ovarium,


98
yaitu hormon progesteron dan estrogen. Haid akan menjadi tidak teratur hingga akhirnya
endometrium akan kehilangan rangsangan hormon estrogen. Lambat laun haid pun
berhenti, disebut proses menopause (Kasdu, 2002).
Batasan Usia Menopause
Menopause terjadi pada akhir suatu siklus yang dimulai pada masa remaja dengan
munculnya menarche. Umumnya wanita barat pertama kali mendapat menstruasi pada usia
12 tahun, sedangkan haid berakhir pada usia 45 sampai 53 tahun. Relatif sedikit wanita
mulai menopause pada usia 40 tahun dan beberapa
mengalaminya setalah usia 40 tahun. Masa ini dikenal dengan masa pra menopause.
Mekanisme inkontinensia pada wanita menopause
Pada masa menopause terjadi prubahan edokrin yang diduga berkaitan dengan
proses penuaan yang terjadi pada aksis hipotalamus-hipofisis dan ovarium. Akibatnya
terjadi gangguan interaksi antara hormin yang dihasilkan oleh ketiga organ tersebut.
Trutama twrjadi penurunan produksi hormone estrogen oleh ovarium. Penurunan hormone
estrogen (estradiol) ini disebabkan oleh proses penuaan pada ovarium. Akibatnya ovarium
menjadi kecil,dindingnya tebal dan tidak dapt lagi menjawab rangsangan hormon FSH
untuk membentuk estradiol. Penurunan estradiol mencapai kadar < 108 pg/ml dan
peningkatan FSH mencapai >25 m IU /ml , yang menandakan awal dari masa menopause .
Pada masa menopause estradiol menurun sampai dibawah 10 %.
Hormon estrogen bekerja pada organ sasaran melalui reseptor estrogen alfa dan
beta. Jaringan yang memiliki reseptor ini adalah kulit ,otak ,tulang,uterus ,vesika
urinaria,uretra,ovarium,kardiovaskuler, dan payudara. Jaringan yang hanya memiliki
reseptor estrogen beta adalah traktus gastrointestinal,sedangkan jaringan yang hanya
memiliki reseptor alfa adalah hepar. Interaksi estrogen dengan reseptorya akan
menghasilkan proses anabolic. Akibatnya bila terjadi penurunan estrogen terutama pada
traktus urinarius perempuan menopause akan perubahan struktur dan fungsi. Estrogen
dapat mempertahankan kontinesia dengan menigkatkan resistensi uretrs,menigkatkan
ambang sensoris kandung kemih dan meningkatkan sensitivitas alfa adreno reseptor pada
oto polos uretra.


99
Ureta dan ureter merupakan jaringan yang tergantung pada estrogen . penurunan
estrogen diduga ikut berperan dalam perubahan struktur dan fungsi pada dinding uretra dan
kandung kemih yang menyebabkan berbagai keluhan . Uretra mempunya empat lapisan
fungsional yang sensitive terhadap estrogen terdiri dari epitel ,vaskuler, jaringan
penyokong dan otot polos yang berfungsi pada pemeliharaan tekanan uretra. Keluhan
yang ditimbulkan berupa inkontinensia urin, peningkatan frekuensi berkemih ,nokturia
dan kesulitan berkemih.
Inkontinensia urin disebabkan perubahan pada jaringan epitel dan vascular yang
terletak di antara mukosa dan jaringan otot. Bagian distal uretra akan menjadi kaku dan
tidak elastis sehingga sukar untuk menutup sempurna. Bila kandung kemih penuh maka
tetesan urin dapat keluar tidak terkontrol. Penutupan yang tidak sempurna juga
menyebabkan bakteri dan substansi berbahaya lain dapat masuk ke dalam kandung kemih
sehingga dapat terjadi inflamasi uretra dan kandung kemih.
Inkontinensia diatas terjadi akibat proses penuaan akibat penurunan kadar estrogen.
Secara mekanisme dapat disebakan:
1. Uretra gagal untuk menutup secara sempurna dan menjadi sangat mudah
digerakkan . Disebut Uretra hipermonilitas.
2. Kelemahan otot yang melingkari leher kandung kemih. Disebut Defisiensi Sfingter
intrindik / Intrinsic sphincteric deficiency ( ISD)



100
VII. Kerangka Konsep



VIII. Kesimpulan

Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur diagnostik yang diperlukan
mempunyai hasil yang baik untuk menegakkandiagnosis gangguan ini. Jenis inkontinensia
urine yang utama yaitu inkontinensiastres, urgensi, luapan dan fungsional. Penatalaksanaan
konservatif dilakukanpada kasus inkompetem sfingter uretra sebelum terapi bedah. Bila
dasar inkontinensia neurogen atau mental maka pengobatan disesuaikan dengan faktor
penyebab.



101
IX. Daftar Pustaka
Aru W. Sudoyo. 2009. Inkontinensia urin dan kandung kemih hiperaktif.
Jakarta:Interna Publising. Hal. 869
Cummings JM, Rodning CB .2000. Urinary stress incontinence among obese
women:Review of pathophysiology therapy. Int UroQynecol J 11:41-44.
Elder, R. and Kelleher C. Urogynecology in handbook of gynecology management.
London: Blackwell Science Ltd, 2002. p. 292-7
Espallargues M, Estrada MD, Sol M, Sampietro-Colom L, Ro LD, Granados A.
Bone densitometry in Catalonia, diffusion and practice. Catalan Agency for Health
Technology Assessment, Barcelona 1999.
Fahron, A. , 2006.Tesis: Faktor-faktor yang berhubungan dengan inkontinensia urin
tipe stres pada perempuan usia lanjut di RSCM Jakarta. Universitas Indonesia.
Hailey D, Sampietro-Colom L, Marshall D, Rico R, Granados A, Asua J, et al.
INAHTA project on the effectiveness of bone density measurement and associated
treatments for prevention of fractures, Statement of findings. Alberta Heritage Foundation
for Medical Research 1996.
McKinley M, O'Loughlin VD: Urinary system. In Human Anatomy. New York,
McGraw-Hill, 2006, p 843
Pranarka K. 20011. Inkontinensia Urin. Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri
Ed.4.Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 237
Purnomo B. Basuki. 2009. Dasar-dasar urologi edisi kedua. Malang:
FakulasKedokteran Universitas Brawijaya. Hal. 108-112.
Rajan, SS and Kohli N. Incontinence and pelvic floor dysfunction in primary care:
epidemiology and risk factors in urogynecology in primary care. London: Springer-Verlag
London Ltd, 2007. p. 1-4
Rachman IA. 2004.Osteoporosis primer pada wanita pasca menopause ( Peranan
Hormon Estrogen Menjelang Usia Lanjut) . Maj. Obstet Ginekol Indones


102
Rusult from the National Osteoporosis Risk Assessment.Identification anda fractur
outcomes.JAMA 2001;286:2815-2822
Saigal, C. and Litwin MS. Epidemiology of female urinary incontinence in female
urology, urogynecology, and voiding dysfunction. New York: Marcel Dekker, 2005. p. 45-
8
Santoso BI. 2008 .Inkontinensia urin pada perempuan. MKI. ;vol58(no.7): 258-64
Setiati S, Pramantara IDP. Buka ajar ilmu penyakit dalam. Inkontinensiaurin dan
kandung kemih hiperaktif. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta:InternaPublishing; 2009: hal 865-875.
Siti Maryam, et al. 2008.Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta:Salemba
Medika;
Suparman E.2002. Patofisiologi/ Gejala Klinik Masa Perimenopause .Temu Ilmiah:
Fertilitas Endokrinologi Reproduksi. Bandung.
Vitriana. Evaluasi dan manajemen medis inkontinensia urin. Bagian Ilmu
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi FK-UNPAD, 2002.
Weber, AM and Walters MD. Epidemiology of incontinence and prolapse in vaginal
surgery for incontinence and prolapse. London: Springer-Verlag London Limited, 2006. p.
11-8
Winkjosastro, H. (editor ketua). Beberapa aspek urologi pada wanita dalam ilmu
kandungan. Ed.2. Cetakan 7. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2009. Hal:
460-5
Wiratmoko, A. Tesis: Pola inkontinensia urin pada wanita usia diatas lima puluh
tahun. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2003.
Yunizaf H. 2000. Overactive Bladder .Kumpulan Makalah Simposium :
Inkontinensia. Bali

Anda mungkin juga menyukai