Anda di halaman 1dari 2

ARUS PEMIKIRAN EMPAT MAZHAB

10.03.2011 | Author: Mbah Jempol | Posted in Manhaj


117Share
Syariah Islam merupakan suatu konsep yang banyak disalah fahami, baik oleh umat islam
sendiri maupun oleh para pengamat agama lain. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya pemisahan
yang tegas sejak awal antara sesuatu yang bersifat keagamaan dan sesuatu yang bersifat
keduniaan. Padahal pembahasan masalah perkembangan pemikiran di masa sekarang, berarti
memasuki wilayah historitas syariah atau sejarah hukum islam, sebab kajiannya selalu
berhubungan dengan kronologis hubungan-hubungan antara berbagai bentuk peristiwa hukum
sepanjang sejarah sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Begitu juga masalah perkembangan pemikiran hukum islam sebagai wujud dari penelaahan
terhadap sejumlah peristiwa hukum dari masa lalu yang tersusun secara kronologis sebagai
proses berfikirnya para mujtahid yang tidak pernah berhenti. Oleh karena itulah pertumbuhan
hukum menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara hukum-hukum pada masa
sekarang dan pada masa lampau sebagai satu kesatuan, sehingga hukum sebagai gejala
historisnya akan selalu tunduk pada pertumbuhan yang terus-menerus, baik pertumbuhan yang
mengandung unsur perubahan maupun unsur stabilitas. Oleh sebab itu segala yang tumbuh
adalah stabil sekalipun ia berubah, dan pertumbuhan hukum menunjukkan pada adanya
hubungan erat yang sambung-menyambung.
Sudah menjadi anggapan umum di masyarakat bahwa ajaran islam bersumber pada al-Quran
dan al-Hadits. Semua ketetapannya wajib diterima dan dilaksanakan oleh semua umat islam.
Sekalipun demikian, antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat menonjol dari sisi redaksi
dan penyampaian atau penerimaannya. Perbedaan ini membuat al-Hadits ditempatkan pada
posisi setelah al-Quran sebagai sumber ajaran islam. Akan tetapi, setelah Beliau Shallallahu
Alaihi Wasallam wafat, sebagian para sahabat ada yang sempat mendengarkan sabdanya dan
ada pula tidak, sebagian lagi ada juga yang sempat melihat perbuatannya dan sebagian yang lain
tidak, sehingga dalam sebagian hal jika tidak diketahui pada al-Hadits oleh mereka, maka
mereka melakukan suatu ijtihad, sekalipun apa yang telah mereka ijtihadkan tersebut ternyata
sebenarnya telah ada ketetapannya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Dari faktor itulah para mujtahid berbeda pandangan dalam praktek penempatan posisi al-Hadits
sebagai dasar istinbath mereka, terutama pada masa keempat dan kelima dari periodesasi
perkembangan hukum islam yaitu masa fiqh menjadi ilmu tersendiri sampai pada masa
perdebatan berbagai masalah hukum di kalangan mereka hingga masa akhir Daulah Abbasiyah.
Hal ini dapat dilihat dari penggunaan dalil-dalil dalam praktek penetapan hukum islam seperti:
1. Semua mazhab bersepakat untuk memposisikan al-Quran sebagai dasar utama dan
pertama.
2. Imam Hanafi mendahulukan penggunaan Qiyas dari pada Hadits Ahad dan Hadits
Masyhur, sehingga wilayah Hadits lebih kecil dari Qiyas.
3. Imam Malik, Syafii dan Hambali, Hadits lebih utama dari pada Qiyas.
4. Imam Hambali juga memakai Hadits Dhaif dan Hadits Mursal, sehingga wilayah Hadits
bagi mazhabnya lebih besar dibandingkan tiga mazhab lainnya.
5. Dasar Istihsan hanya dipakai oleh Imam Hanafi.
6. Dasar Mashlahah Mursalah hanya dipakai oleh Imam Malik.

7. Dasar Ijma mereka berbeda pandangan; Imam Hanafi menggunakan Ijma Sahabat
Nabi, Imam Malik menggunakan Ijma ahl-Madinah, Imam Syafii menggunakan Ijma
para Imam Mujtahid yang Ahli, Imam Hambali menggunakan Ijma Sahabat Nabi.
Dengan demikian, maka dasar mazhab Syafii itu hanya empat (4) yaitu; (1) al-Quran, (2) alHadits, (3) Ijma, (4) Qiyas. Ijma dan Qiyas pada hakikatnya berpangkal dari al-Quran dan alHadits. Imam Syafii tidak menggunakan Istihsan dan Mashlahah Mursalah yang pada
hakikatnya hanyalah merupakan pendapat manusia.
Sekalipun terlihat pemakaian Hadits dalam mazhab Hambali lebih besar dibanding mazhab
Syafii, namun Imam Hambali menggunakan Hadits Dhaif dan Hadits Mursal sebagai dasar
penetapan hukum. Sedangkan Imam Syafii hanya menggunakan Hadits Shahih. Hadits Dhaif
hanya dipakai untuk sandaran Fadlail Amal, dan Hadits Mursal dalam mazhab Syafii tidak
dipakai kecuali Mursal Said bin Musayyab.
Maka dari itulah dalam penggunaan Ijma, Imam Syafii hanya memakai Ijma para Mujtahidin
yang masih dalam periodenya, sebab kualitas keilmuan yang mereka miliki benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan. Sedang Ijma orang Madinah seperti yang dipakai dalam mazhab
Maliki atau IjmaSahabat seperti yang dipakai dalam mazhab Hambali belum bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya, sebab antara orang-orang Madinah atau Para Sahabat
berbeda bobot dan kualitas keilmuannya.
Sedangkan dalam mazhab Hanafi, penggunaan al-Rayu lebih banyak dan lebih dominan
dibanding al-Hadits. Hal ini berbeda dengan yang dipergunakan dalam mazhab Syafii, dimana
penggunaan al-Hadits lebih banyak dan lebih dominan dibanding penggunaan al-Qiyas sebagai
manifestasi dari al-Rayu.
Dengan melihat kenyataan syariah islam yang belum atau tidak dijelaskan secara langsung oleh
al-Quran dan al-Hadits dan baru bisa diketahui setelah terjadi penggalian melalui Ijtihad, maka
dikenallah sebutan dalam fiqih suatu istilah Hukum Dhonni atau Hukum Ijtihadi, sehingga
berpengaruh pada penerapan hukumnya yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi,
bahkan harus sejalan dengan tuntutan zaman beserta kemaslahatannya yang menjadi prinsip
utama disyariatkan syariah (maqosid al syariah). Akibatnya, yang terlihat dominan (rojih) dan
yang lebih dominan (arjah) adalah porsi kebenarannya menurut versi masing-masing mujtahid.
Dari sinilah muncul komentar;

Pandangan kita benar, tetapi (di dalamnya pasti masih) mengandung kemungkinan salah, dan
pendapat selain kita salah, tetapi (di dalamnya pasti masih juga) mengandung kemungkinan
benar.
Oleh sebab itu, seorang mujtahid tidaklah disebut pembuat hukum atau Sinn al-Qowanin
(membuat hukum) atau Khal al-Dasatir (menciptakan undang-undang), tetapi hanya sebagai
penyingkap yang berusaha untuk menyingkapkan dan menyimpulkan ketentuan-ketentuan yang
sudah ada (Istinbath al-Ahkam).
sumber: Pengantar Studi Analisis Istinbath Para Fuqaha, Oleh: Prof. Dr. H. Ridlwan Nashir,
MA. Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai