7. Dasar Ijma mereka berbeda pandangan; Imam Hanafi menggunakan Ijma Sahabat
Nabi, Imam Malik menggunakan Ijma ahl-Madinah, Imam Syafii menggunakan Ijma
para Imam Mujtahid yang Ahli, Imam Hambali menggunakan Ijma Sahabat Nabi.
Dengan demikian, maka dasar mazhab Syafii itu hanya empat (4) yaitu; (1) al-Quran, (2) alHadits, (3) Ijma, (4) Qiyas. Ijma dan Qiyas pada hakikatnya berpangkal dari al-Quran dan alHadits. Imam Syafii tidak menggunakan Istihsan dan Mashlahah Mursalah yang pada
hakikatnya hanyalah merupakan pendapat manusia.
Sekalipun terlihat pemakaian Hadits dalam mazhab Hambali lebih besar dibanding mazhab
Syafii, namun Imam Hambali menggunakan Hadits Dhaif dan Hadits Mursal sebagai dasar
penetapan hukum. Sedangkan Imam Syafii hanya menggunakan Hadits Shahih. Hadits Dhaif
hanya dipakai untuk sandaran Fadlail Amal, dan Hadits Mursal dalam mazhab Syafii tidak
dipakai kecuali Mursal Said bin Musayyab.
Maka dari itulah dalam penggunaan Ijma, Imam Syafii hanya memakai Ijma para Mujtahidin
yang masih dalam periodenya, sebab kualitas keilmuan yang mereka miliki benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan. Sedang Ijma orang Madinah seperti yang dipakai dalam mazhab
Maliki atau IjmaSahabat seperti yang dipakai dalam mazhab Hambali belum bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya, sebab antara orang-orang Madinah atau Para Sahabat
berbeda bobot dan kualitas keilmuannya.
Sedangkan dalam mazhab Hanafi, penggunaan al-Rayu lebih banyak dan lebih dominan
dibanding al-Hadits. Hal ini berbeda dengan yang dipergunakan dalam mazhab Syafii, dimana
penggunaan al-Hadits lebih banyak dan lebih dominan dibanding penggunaan al-Qiyas sebagai
manifestasi dari al-Rayu.
Dengan melihat kenyataan syariah islam yang belum atau tidak dijelaskan secara langsung oleh
al-Quran dan al-Hadits dan baru bisa diketahui setelah terjadi penggalian melalui Ijtihad, maka
dikenallah sebutan dalam fiqih suatu istilah Hukum Dhonni atau Hukum Ijtihadi, sehingga
berpengaruh pada penerapan hukumnya yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi,
bahkan harus sejalan dengan tuntutan zaman beserta kemaslahatannya yang menjadi prinsip
utama disyariatkan syariah (maqosid al syariah). Akibatnya, yang terlihat dominan (rojih) dan
yang lebih dominan (arjah) adalah porsi kebenarannya menurut versi masing-masing mujtahid.
Dari sinilah muncul komentar;
Pandangan kita benar, tetapi (di dalamnya pasti masih) mengandung kemungkinan salah, dan
pendapat selain kita salah, tetapi (di dalamnya pasti masih juga) mengandung kemungkinan
benar.
Oleh sebab itu, seorang mujtahid tidaklah disebut pembuat hukum atau Sinn al-Qowanin
(membuat hukum) atau Khal al-Dasatir (menciptakan undang-undang), tetapi hanya sebagai
penyingkap yang berusaha untuk menyingkapkan dan menyimpulkan ketentuan-ketentuan yang
sudah ada (Istinbath al-Ahkam).
sumber: Pengantar Studi Analisis Istinbath Para Fuqaha, Oleh: Prof. Dr. H. Ridlwan Nashir,
MA. Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya.