Anda di halaman 1dari 3

1.

Metilxantin (Aminofilin, Teofilin)


a) Jenis dan Farmakodinamik
Aminofilin merupakan golongan bronkodilator golongan derivat dari
metilxantin. Teofilin, kafein, dan teobromin memiliki efek farmakologi yang sama
yaitu dapat menyebabkan relaksasi otot polos, terutama otot polos bronkus,
merangsang sistem saraf pusat, otot jantung, dan meningkatkan diuresis. Pada dosis
rendah dan sedang, metilxantin dapat menyebabkan peningkatan kewaspadaan dan
rasa lelah, sedangkan pada dosis tinggi dapat menyebabkan kegelisahan dan tremor
terutama pada penggunaan aminofilin pada penderita asma. Metilxantin juga dapat
memiliki efek kronotropik dan inotropik positif langsung pada jantung yang terjadi
karena peningkatan rilis katekolamin yang disebabkan oleh hambatan reseptor
adenosine prasinaps (Katzung, 2014).
Efek terapi dari metilxantin ini diduga tidak hanya terbatas pada jalan napas,
sebab mereka memperkuat kontraksi otot rangka terpisah pada penelitian in vitro,
dan mempunya efek kuat baik dalam memperbaiki kontraktilitas maupun dalam
memperbaiki kepenatan diafragma pada pasien dengan penyakit paru obstruksi
kronis. Teofilin mempunyai kemampuan untuk meningkatkan respon ventilasi pada
keadaan hipoksia dan mengurangi sesak, bahkan pada pasien dengan obstruksi aliran
udara yang ireversibel (Katzung, 2014).
b) Farmakokinetik
Metilxantin cepat diabsorbsi setelah pemberian secara oral, rectal atau
parenteral. Sediaan dalam bentuk cair atau tablet tidak bersalut akan diabsorbsi
secara cepat dan lengkap. Asorbsi juga berlangsung lengkap untuk beberapa jenis
sediaan lepas lambat. Absorbsi teofilin dalam bentuk garam yang mudah larut,
seperti teofilin Na gkisinat atau teofilin kolin. Dalam keadaan perut kosong, sediaan
teofilin bentuk cair atau tablet tidak bersalut dapat menghasilkan kadar puncak
plasma dalam waktu 2 jam (Louisa, 2007).
Pada umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan
absorbsi teofilin tetapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorbs. Metilxantin
didistribusikan ke seluruh tubuh, dapat melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu.
Volume distribusinya antara 400 dan 600 ml/kg. Eliminasi dari metilxantin terutama
melalui metabolisme dalam hati. Sebagian besar akan diekskresikan bersama urin
dalam bentuk asam metilurat atau metilxantin (Louisa, 2007).
c) Sediaan
Teofilin berbentuk kristal putih, pahit dan sedikit larut dalam air. Untuk
penggunaan oral, tersedia (Louisa, 2007) :
Kapsul
: 130 mg

Tablet
: 150 mg
Tablet salut selaput lepas lambat: 125 mg, 250 mg, 300 mg
Sirup : 50 mg/5ml, 130 mg/15ml, 150 mg/15 ml
Ampul :10ml, mengandung 24 mg aminofilin setiap mililiternya.
d) Dosis
Kadar terapi teofilin sedikitnya 5-8 g/ml, sedangkan efek toksik mulai terlihat
pada kadar 15g/ml dan lebih sering pada dosis diatas 20 g/ml. Dosis aminofilin
diberikan 6 mg/kgBB diberikan secara infus selama 20-40 menit. Setelah itu untuk
efek yang optimalkan dipertahankan dengan pemberian infuse 0,5 mg/kgBB/jam
untuk dewasa normal dan bukan perokok. Untuk anak-anak dan orang dewasa
perokok memerlukan dosis 0,8-0,9 mg/kgBB/jam. Teofilin oral bagi orang dewasa
adalah 400 mg/hari (Louisa, 2007).
e) Efek samping
Efek samping amino filin sendiri yaitu (Deglin, 2005):
a) Sistem Saraf Pusat : gugup, ansietas, sakit kepala, insomnia, kejang
b) Kardiovaskular
: takikardia, palpitasi, aritmia, angina pektoris
c) Gastro Intestinal : mual, muntah, anoreksia, kram.
f) Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi obat ini digunakan pada penyakit asma bronchial, PPOK (Penyakit
Paru Obstruktif Kronik) dan apnea pada bayi prematur. Sedangkan kontraindikasi
pada orang yang memiliki hipersensitifitas terhadap obat ini (Louisa, 2007).
2. Agen Anti Muskarinik (Ipratropium Bromide)
a) Jenis dan Farmakodinamik
Obat ini merupakan jenis antagonis reseptor muskarinik. Ipratropium bromida
adalah antagonis kolinergik asetilkolin pada reseptor kolinergik, yang memblok
asetilkolin di saraf parasimpatetik otot bronkus, menyebabkan stimulasi guanyl
cyclase dan menekan peningkatan cGMP (mediator bronkokonstriksi), sehingga
menimbulkan bronkodilatasi. Aktivitas antimuskarinik pada otot bronkus lebih besar
dibandingkan pada kelenjar secret (Zunilda, 2007).
b) Farmakokinetik
Ipratropium diserap melalui mukosa saluran napas dan langsung bekerja pada
otot bronkus sehingga terlihat efeknya setelah 30-90 menit. Namun, obat yang
tertelan ketika disemprotkan umumnya akan ditemukan kembali di feses (Zunilda,
2007).
c) Sediaan dan dosis
Inhaler 20 mcg/semprot. Inhalation Solution 250 mcg/ml. Dosis yang digunakan
(Pramudianto, 2011) :
1) Inhaler 20-40 mcg, 3-4 kali sehari.
2) Anak s/d 6 th : 20 mcg 3 kali sehari; 6 -12 th : 20-40 mcg 3 kali sehari
3) Inhalation solution: 250 - 500 mcg, 3-4 kali sehari.

4) Anak s/d 6 th : 125-250 mcg, dapat diulang tiap 4-6 jam, dosis maksimum
sehari 1 mg; 6-12 th : 250 mcg
d) Efek samping
Pada orang muda efek samping mulut kering, gangguan miksi, meteorisme
sering terjadi, tetapi tidak membahayakan. Pada orang tua dapat terjadi efek sentral
terutama berupa sindrom demensia. Memburuknya retensi urin pada pasien
hipertrofi

prostat

dan memburuknya

penglihatan

pada

pasien

galukoma,

menyebabkan obat ini kurang diterima. Bila diberikan parenteral, ipratropium


menimbulkan bronkodilatasi, takikardi, dan penghambatan sekresi seperti hal-nya
atropine. Walaupun demikian, selektivitas hanya berlaku pada dosis rendah dan pada
dosis toksik semuanya dapat terjadi (Zunilda, 2007)
e) Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi obat ini untuk terapi simptomatik bronkospasme yang reversibel,
berhubungan dengan obstruksi kronis saluran nafas. Sedangkan kontraindikasinya
dapat mengakibatkan hipersensitivitas. Terutama apabila dipakai dalam jangka
waktu yang lama (Pramudianto, 2011).

DAPUS
Deglin, Judith Hopfer, April Hazard Vallerand. 2005. Pedoman Obat untuk Perawat. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Katzung, Bertram G, Susan B. Masters, dan Anthony J. Trevor. 2014. Farmakologi Dasar
dan Klinik. Jakarta : EGC.
Louisa, Melva dan Hedi R. Dewanto. 2007. Xantin : Farmakologi dan Terapi. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.
Pramudianto, A. & Evaria. 2011. MIMS Petunjuk Konsultasi, Edisi 11, Jakarta : UBM
Medica Asia Pte Ltd.
Zunilda. 2007. Agonis dan Antagonis Muskarinik : Farmakologi dan Terapi ed. 5. Jakarta :
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.

Anda mungkin juga menyukai