Fatofisiologi Melena
Fatofisiologi Melena
HEMATEMESIS MELENA
A.
1.
Definisi/Pengertian Hematemesis Melena
Hematemesis adalah muntah darah berwarna merah kehitaman/seperti kopi, tidak berbusa,
bercampur makanan dan PH asam lambung yang berasal dari saluran cerna bagian atas
(SCBA). (Suyono, 2001)
Melena adalah buang air besar darah berwarna hitam, encer yang berasal dari saluran cerna
bagian atas (SCBA).
2.
Epidemiologi/Insiden kasus
Dari penelitian retrospektif di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RS
Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta selama 3 tahun (1996-1998) didapatkan penyebab
perdarahan SCBA terbanyak adalah pecahnya varises esofagus (27,2 %). Tukak duodenum
dan tukak lambung menempati nomor 5 dan 6 sebagai penyebab perdarahan SCBA.
Penyebab Perdarahan SCBA dengan pemeriksaan
endoskopi di RSCM (1996-1998)
Penyebab
Presentase (%)
27,2
Kombinasi
22,1
Gastritis erosif
19,0
11,7
Tukak duodenum
5,7
Tukak lambung
5,5
1,9
Kanker duodenum
1,1
Kanker lambung
0,9
Esofagitis erosif
0,7
3)
menjadi mengembang oleh darah dan membesar. Pembuluh yang berdilatasi ini
disebut varises dan dapat pecah, mengakibatkan hemoragi gastrointestinal.
Hemoragi gastrointestinal dapat menimbulkan hematemesis melena.
Hematemesis biasanya bersumber di atas ligamen Treitz (pada jungsi
denojejunal). Dari hematemesis akan timbul muntah darah. Muntah dapat
berwarna merah terang atau seperti kopi, tergantung dari jumlah kandungan
lambung pada saat perdarahan dan lamanya darah telah berhubungan dengan
sekresi lambung. Asam lambung mengubah hemoglobin merah terang menjadi
hematin coklat dan menerangkan tentang warna seperti kopi drainase yang
dikeluarkan. Cairan lambung yang berwarna merah marun atau merah terang
diakibatkan dari perdarahan hebat dan sedikit kontak dengan asam lambung.
Sedangkan melena terjadi apabila darah terakumulasi dalam lambung dan
akhirnya memasuki traktus intestinal. Feses akan seperti ter. Feses ter dapat
dikeluarkan bila sedikitnya 60 ml darah telah memasuki traktus intestinal.
6.
Pemeriksaan diagnostik/Penunjang
a)
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan yaitu pemeriksaan darah rutin berupa hemoglobin,
hematokrit, leukosit, trombosit, pemeriksaan hemostasis lengkap untuk mengetahui adanya
kelainan hemostasis, pemeriksaan fungsi hati untuk menunjang adanya sirosis hati,
pemeriksaan fungsi ginjal untuk menyingkirkan adanya penyakit gagal ginjal kronis,
pemeriksaan adanya infeksi Helicobacter pylori.
b)
Pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi
Merupakan pemeriksaan penunjang yang paling penting karena dapat memastikan diagnosis
pecahnya varises esofagus atau penyebab perdarahan lainnya dari esofagus, lambung dan
duodenum.
c)
Kontras Barium (radiografi)
Bermanfaat untuk menentukan lesi penyebab perdarahan. Ini dilakukan atas
dasar urgensinya dan keadaan kegawatan.
d) Ongiografi
Bermanfaat untuk pasien-pasien dengan perdarahan saluran cerna yang tersembunyi dari
visual endoskopik.
7.
Terapi/Tindakan penanganan
Penatalaksanaan perdarahan saluran cerna bagian atas dapat dibagi atas:
1. Penatalaksanaan umum/suportif
Penatalaksanaan ini memperbaiki keadaan umum dan tanda vital. Yang paling
penting pada pasien perdarahan SCBA adalah memberikan resusitasi pada
waktu pertama kali datang ke rumah sakit. Kita harus secepatnya memasang
infus untuk pemberian cairan kristaloid (seperti NaCL 0.9% dan lainnya) ataupun
koloid (plasma expander) sambil menunggu darah dengan/tanpa komponen
darah lainnya bila diperlukan. Selang nasogastrik perlu dipasang untuk
memonitor apakah perdarahan memang berasal dari SCBA dan apakah masih
aktif berdarah atau tidak dengan melakukan bilasan lambung tiap 6 jam sampai
jernih. Pasien harus diperiksa darah perifer (hemoglobin, hematokrit, leukosit
dan trombosit) tiap 6 jam untuk memonitor aktifitas perdarahan. Sebaiknya bila
dicurigai adanya kelainan pembekuan darah seperti Disseminated Intravascular
Coagullation (DIC) dan lainnya, harus dilakukan pemeriksaan pembekuan darah
seperti masa perdarahan, masa pembekuan, masa protrombin, APTT, masa
trombin, Burr Cell, D dimmer dan lainnya. Bila terdapat kelainan pembekuan
darah harus diobati sesuai kelainannya. Pada penderita dengan hipertensi portal
dimana perdarahan disebabkan pecahnya varises esofagus dapat diberikan obat
somatostatin atau oktreotide. Pada perdarahan non varises yang masif, dapat
juga diberikan somatostatin atau oktroetide tetapi jangka pendek 1-2 hari saja.
Pada prinsipnya, urutan penatalaksanaan perdarahan SCBA dapat mengikuti
anjuran algoritme penatalaksanaan dari Konsensus Nasional Indonesia atau
Palmer atau Triadapafilopoulos. Selain pengobatan pada pasien perdarahan
perlu diperhatikan pemberian nutrisi yang optimal sesegera mungkin bila pasien
sudah tidak perlu dipuasakan lagi , dan mengobati kelainan kejiwaan/psikis bila
ada, dan memberikan edukasi mengenai penyakit pada pasien dan keluarga
misal memberi tahu mengenai penyebab perdarahan dan bagaimana cara-cara
pencegahaan agar tidak mengalami perdarahan lagi.
2. Penatalaksanaan khusus
Penatalaksanaan khusus merupakan penatalaksanaan hemostatik
perendoskopik atau terapi embolisasi arteri. Terapi hemostatik perendoskopik
yang diberikan pada pecah varises esofagus yaitu tindakan skleroterapi varises
perendoskopik (STE) dan ligasi varises perendoskopik (LVE). Pada perdarahan
karena kelainan non varises, dilakukan suntikan adrenalin di sekitar tukak atau
lesi dan dapat dilanjutkan dengan suntikan etoksi-sklerol atau obat fibrinogentrombin atau dilakukan terapi koagulasi listrik atau koagulasi dengan heat
probe atau terapi laser, atau koagulasi dengan bipolarprobe atau yang paling
baik yaitu hemostatik dengan terapi metal clip. Bila pengobatan konservatif,
hemostatik endoskopik gagal atau kelainan berasal dari usus halus dimana skop
tak dapat masuk dapat dilakukan terapi embolisasi arteri yang memperdarahi
daerah ulkus. Terapi ini dilakukan oleh dokter spesialis radiologi intervensional.
3. Usaha menghilangkan faktor agresif
Ansietas berhubungan dengan sakit kritis, ketakutan akan kematian ataupun kerusakan
bentuk tubuh, perubahan peran dalam lingkup sosial, atau ketidakmampuan yang
permanen.
2)
PK Anemia
3)
Risiko aspirasi berhubungan dengan reflek muntah.
4)
Risiko infeksi berhubungan dengan nutrisi parenteral.
5)
Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah akut,
penggantian cepat volume dengan cairan kristaloid.
6)
PK Koma Hepatikum.
3.
Intervensi/Rencana tindakan Keperawatan
Pada tahap penyusunan rencana tindakan, hal yang dilakukan adalah : menentukan prioritas
diagnosa keperawatan, menentukan tujuan, menentukan kriteria evaluasi dan menentukan
rencana tindakan.
a. Prioritas diagnosa keperawatan
Adapun prioritas diagnosa keperawatan yang dapat disusun adalah :
1) Ansietas berhubungan dengan sakit kritis, ketakutan akan kematian ataupun kerusakan
bentuk tubuh, perubahan peran dalam lingkup sosial, atau ketidakmampuan yang
permanen.
2) Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah akut, penggantian
cepat volume dengan cairan kristaloid.
3) PK Koma Hepatikum.
4) PK Anemia
5) Risiko infeksi berhubungan dengan nutrisi parenteral.
6) Risiko aspirasi berhubungan dengan reflek muntah.
b. Rencana Keperawatan
1. Dx : Ansietas
Berikan lingkungan yang mendorong diskusi terbuka untuk persoalan-persoalan
emosional.
Berikan waktu pada pasien untuk mengekspresikan diri. Dengarkan dengan aktif.
Berikan penjelasan yang sederhana untuk peristiwa-peristiwa dan stimuli
lingkungan.
Berikan dorongan komunikasi terbuka antara perawat dan keluarga mengenai
masalah-masalah emosional.
Validasikan pengetahuan dasar pasien dan keluarga tentang penyakit kritis.
Libatkan sistem pendukung religius sesuai kebutuhan.
2. Dx : Defisit volume cairan
Pantau tanda-tanda vital setiap jam atau prn.
Pantau nilai-nilai hemodinamik
Ukur haluaran urine setiap 1 jam.
Berikan cairan pengganti dan produk darah sesuai instruksi.
Tirah baring total, baringkan pasien pada posisi terlentang dengan kaki
ditinggikan untuk meningkatkan preload jika pasien mengalami hipotensif.
Periksa feses darah untuk 72 jam setelah masa akut.
3. Dx : PK Koma Hepatikum
Kaji keparahan perdarahan.
Gantikan cairan dan produk darah dalam jumlah yang mencukupi untuk mengatasi koma
hepatikum.
4. Dx : PK Anemia
Pantau adanya tanda-tanda anemia seperti konjungtiva pucat, lemas, pusing, cappilary refil,
akral dingin.
Kolaborasi pemberian obat anemia.
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang perencanaan menu untuk mengatasi anemia.
5. Dx : Risiko infeksi
Ukur suhu tubuh tiap 4 jam.
Gunakan teknik aseptik saat mengganti balutan dan selang.
Lepaskan dan lakukan pemeriksaan kultur bila terjadi tanda-tanda dan gejala
infeksi.
6. Dx : Risiko aspirasi
Atur posisi pasien dengan kepala lebih tinggi atau posisi berbaring miring untuk menghindari
aspirasi sewaktu muntah jika tidak ada kontra indikasi karena cedera.
Bersihkan sekresi dari mulut dengan tisu.
Periksa bahwa selang makan tidak berubah letaknya sejak pemasangan.
Aspirasi isi residu sebelum pemberian makan melalui selang.
Tinggikan bagian kepala tempat tidur 30-45 menit selama periode makan dan 1
jam setelahnya untuk mencegah refluks karena adanya gaya gravitasi.
Berikan makan jika isi residu kurang dari 150 ml (Intermiten) atau berikan makan
jika residu tidak lebih dari 150 ml pada 10 % sampai 20 % dari frekuensi setiap
jam (kontinue).
4.
Evaluasi
Pasien akan mengekspresikan ansietasnya pada narasumber yang tepat.
Pasien akan tetap stabil secara hemodinamik.
Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda koma hepatikum.
Pasien tidak mengalami anemia (Konjungtiva merah muda, akral hangat).
Pasien tidak akan mengalami infeksi nosokomial.
Pasien tidak mengalami aspirasi dan mengungkapkan tindakan untuk mencegah
aspirasi.