Anda di halaman 1dari 243

8AHANAJAR

PROGRAM PENGEMBANGAN KETERAMPIlAN DASAR


TEKNIKINSTRUKSIONAL .. .
. . (PEKERTI)
UNTUK DOSENMUDA

DESAIN~INSTRUKSIONAL

Prof.

Dr. AtWl SUparman

PUSAT ANTAR UNIVERSITAS

UNTUK
PElillNGKATAN DAN PENGEMBANGAN AKTIVIi'AS INSTRUKSIONAL
DIREKTORAT JENDE:RAL PENDIDIKAN llNGGI
DEPARTEMl:N PEND1DlKAN DAN KEBUDAVMN
1997

1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

Hak Cipta ada pada PAU-PPAI


Universitas Terbuka
Jln. Gabe Raya, Pondok Cabe, Ciputat
Jakarta
Dilarang mengutip sebagian ataupun
seluruh isi buku ini datarn bentuk apapun
tanpa seijin PAU-PPAI
Universitas Terbuka
Cetakan Pertama 1992
Cetakan KedlJa 1993
Cetakan Ketiga 1994
Cetakan Keempat1995
Cetakan Kelima 1996'
Cetakan keenam 1997

,":,'

PEKERTI

KATA PENGANTAR
Peningkatan kualitas dosen, terutama dosen-dosen muda
yang baru diangkat, menjadi salah satu pokok pernanan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI). Setiap dosen
dituntut untuk menguasai bidang ilmunya sendiri' dan juga cara
penyampaiannya .kepada mahasiswa. Umumnya dosen-dosen
muda sudah cukup mempunyai bekal penguasaan terhadap bidang
ilm unya, tetapi masih kurang terampil dalam menyampaikan
materi bidang ilmu tersebut kepada mahasiswa.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut DIKTI menyelenggarakan program pelatihan keterampilandasar teknik
instruksional untuk dosen muda dengan harapan dosen muda
dapat menerapkan konsep-konsep dasar ten tang proses belajarmengajar sejak dini.
Pusat Antar Universitas - Pengembangan dan Peningkatan
Aktivitas Instruksional (pAU-PPAI) di Universitas Terbuka
ditugaskan oleh DIKTI untuk mengembangkan paket program
ters ebut, dantahun 1993, program tersebut telah siap untuk
digunakan. Sejumlah buku akan digunakan sebagai pegangan
pro gram tersebut, yaitu:
Buku la: Teori Belajar, Motivasi dan Keterampilan Mengajar
Buku lb: Teori Belajardan Model-model.Pembelajaran
Buku 2 : Desain Instruksional
Buku 13: Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) dan
Satuan Acara Pengajaran (SAP)
Buku 2b: Panduan Praktik Mengajat
Buku 3 : Penilaian Hasil Belajar
B uku Pedoman Penyelenggaraan
Buku Pedoman Penatar dan Fasilitator
Buku Pedoman Magang
Jadwal Pelatihan
Program pelatihan keterampiJandasar teknik instruksional untuk
dosen muda ini diharapkan mulai berlangsung tahun 1993. Kiranya
program inibesar manfaatnya bagi tercapainya rnutu pendidikan yang
lebib baik lagi di Indonesia.
.

Direktur Pembinaao Sarana Akademis

~~

Pr~f.

.'

Dr. Ir. Bambaog Soebendro


'NIP. 130244444

PEKERTI

KATA PENGANTAR
Pusat Antar Universitas untuk Peng embangan dan
Penin gkatan Akti vitas Instruksional (P AU-PPAI) di Universitas
Terbuka, adaIahsaIah satu dari enambelas PAU, yang dibentuk
untuk menciptakan dan mengembangkan prasaranaakadernik
yang diperIukan daIarn usaha meningkatkan kualitas dan
produktivitas pendidikan tinggi,
Salah satu bentuk kegiatannyaadalah pengembangan bahan
mstruksional yang menggunakan bahasa Indonesia, berupa
buku ajar, monografi, bahan kuliah, buku panduan, dan model.
Bahan instruksional tersebut dapat merupakan karya asli,
saduran, ataupun terjemahan. Karya ini merupakan salah satu
basil pengembangan tersebut. Penulisnya menyadari karya ini
tentu tidak Iuput dari kekurangan atau kelemahan. Oleh karena
itu kami ikut mengharapkan saran-saran untuk penyempurnaan
dari para sej aw at , pemakai, dan semua pihak yang
berkepentingan.
Hak cipta karya ini ada pada penulis. PAU-PPAI mencetak
secara terbatas untuk kepentingan sendiri sebagai suatu uji coba
penyebaran, Mereka yang bermaksud menggandakan atau
menerbitkan karya ini lebih lanjut harus mendapat persetujuan
tertulis dari penulis atau PAU-PPAI.
Kami berharap karya ini dapat dipergunakan sebagai bahan,
bahkan mungkin sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan
beIajar dan pembelajaran. Di samping itu bahan ini diharapkan .
merupakan tambahan dalam memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan kita dalam bidang teknologi instruksionaI, baik
konsepsi maupun aplikasinya.

Kepala PAUPPAI

Dr. Christina
ngindaan, M.Ed
NIP. 130 278 074

iii

PEKERTI

KATA PENGANTAR
Diterbitkannya buku Desain Instruksional ini merupakan
hal yang rnenggembirakan bagi perkembangan teknologi
instruksional, karena hal itu berarti bertambahnya buku acuan
bagi para dosen, guru, dan praktisi di lembaga pendidikan 'dan
pelatihan dalam rnelaksanakan usaha peningkatan kualitas sistem
instruksional.
Buku ini selain berisi konsep-konsep dan prinsip-prinsip
desain instruksional, juga dan terutama berisiprosedur atau
tuntutan praktisi yang'berisi langkah demi langkah yang perlu
diikuti dalam mengembangkan, mendesain kembali, atau
mernperbaiki sistem instruksional, termasuk mengembangkan
bahan ajar atau bahan pelatihan.
Dengan didukung pendidikan formal dan pengalaman penulis
dalam berbagai lembaga pendidikan sebagai pengajar dan
ko nsultan diharapkan buku ini dapat memenuhi kebutuhan
berbagai kalangan kaum praktisi yangbergerak dalam bidang
pendidikan.
Penggunaan buku ini tentu akan lebih efektif bila isinya
secara terus menerus disempurnakan. Oleh karena itu kami ikut
mengharapkan saran perbaikan dari pemakai.

Prof. Dr. Setijadi

PEKERT/

Kesempatan menulis buku ini diperoleh dari Pusat Antar


Universitas (PAU) yang ada pada Universitas Terbuka di bawah
pengelolaan Proyek Pengembangan Pusat Fasilitas Bersama
Antar Universitas (CPIU) Bank Dunia XVII - Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Pusat tersebut mempunyai program penulisan
bahan kuliah. Salah satu di antaranya adalah penulisan buku ini.
Karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada
Bapak Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Pimpinan CPIU
Bank Dunia XVII, Rektor UT, dan Direktur PAU-UT atas
kesempatan yang telah diberikan kepada penulis.
Untukmenyelesaikan buku ini 'penulis telah mendapat
bantuan dari berbagai pihak, antara lain:
1. Tenaga pengajar Florida State University (FSU) terutama
Robert M. Gagne, Roger Kaufman, Walter W. Wager, John
M. Keller, dan Walter Dick yang telah memberikan masukan
kepada penulis selama kurang lebih tiga bulan di FSU.
2. Prof; Dr. Setijadi yang. telah me-review isi buku ini, dan
ternan sejawat Deddi Anggadiredja, S.E.,MBA yang telah
memberikan masukan berharga.
Karena itu pada tempatnya kiranya penulis menyampaikan
terima kasih dan penghargaan kepada mereka.
Sebenarnya buku ini telah hampir selesai ditulis pada tahun
tetapi karen a adanya masalah teknis dalam upaya
penyempurnaan, baru benar-benar dapat diselesaikan dan
diterbitkan oleh PAU-UT pada awal tahun 1993. Oleh karena itu
pula penulis ingin nienyampaikan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada Dr. Christina Mangindaan, M.Ed, Direktur
PAU yang telah berhasil memecahkan masalah teknis tersebut.
1~87

Akhirnya, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada


Tim Inti AA dari berbagai perguruan tinggi negeri, yang telah
bersedia memberikan komentar, kritikvdan saran perbaikan
sebagai umpan balik sehingga telah dapat penulis gunakan
untuk menyempurnakan buku ini, Saran-saran yang serupa masih
penulis nantikan dari para pembaca.
PenuUs

PEKERTI

. DAFTAR lSI
Halaman
KATA PENGANTAR
PRAKATA
DAFTAR lSI

iv
vi

BABI

PENDAHULUAN
lsi Singkat Buku Ini
Kegiatan Instruksional sebagai suatu Sistem
Prinsip-prmsip Instruksional
Latihan
Rangkuman

1
1
4
14
25
26

BAB II

MODELPENGEMBANGAN
lNSTRUKSIONAL"
Pengertian Pengembangan Instruksional
Berbagai Model Pengembangan Instruksional
Model yang terbaik
Latihan
Rangkuman

29
29
33
52
52
57

MENGIDENTIFIKASI KEBUTUHAN
INSTRUKSIONAL DAN MENULIS
TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM
Mengidentifikasi Kebutuhan Instruksional
Menulis Tujuan Instruksional Umum
Sedikit tentang Taksonomi Tujuan Pendidikan
Latihan
Rangkuman

60
62
75
80
83
85

BAB III

MELAKUKAN ANALISIS
INSTRUKSIONAL
-. Pengertian Analisls Instruksional
Empat Macam Struktur Perilaku
Langkah-Iangkah melakukan Analisis
Instruksional
Latihan
Rangkuman

BAB IV /'
/

89
89
89
100
103
106

vi

PEKERTJ

BAB V

BAB VI

BAB VII

BAB VIII

vii

MENGIDENTIFIKASI PERILAKU
DAN KARAKTERISTIK AWAL SISWA
Perilaku AwaI Siswa
Karakteristik AwaI Siswa
Latihan
Rangkuman

107
110
113
114
117

MERUMUSKAN TUJUAN
INSTRUKSIONAL KHUSUS (TIK)
Pengertian TIK
Bagaimana Merumuskan TIK
Hubungan TIK dengan lsi Pelajaran
Latihan
Rangkuman

118
119
122
129
130
131

MENYUSUN TES ACUAN PATOKAN


Pengertian Tes Acuan Patokan
Tes Acuan Norma
Persamaan dan Perbedaan Tes Acuan
Norma dan Tes Acuan Patokan
Prosedur Penyusunan Tes Acuan Patokan
Menggunakan Tes Acuan Patokan
Latihan
Rangkuman
MENGEMBANGKAN
STRATEGI INSTRUKSIONAL
Apakah Strategi Instruksional itu?
Komponen Utama Pertama: Urutan
Kegiatan Instruksional
Komponen Utama Kedua: Metode
Instruksional
Komponen Utama I<etiga: Media
Instruksional
Komponen Utama Keempat: Waktu
Menyusun Strategi Instruksional
Latihan
Rangkuman

132
133
135
139
141
150
151
152

153
155

160
166
177
181
183
193
193

PEKERTI

BAB IX

MENGEMBANGKANBAHAN
INSTRUKSIONAL
Tiga Bentuk Kegiatan Instruksional
Tiga Macam Pengembangan
Bahan Instruksional
MengembangkanPedoman Siswa
dan Pedoman Pengajar
Latihan
Rangkuman
MENDESAIN DAN MELAKSANAKAN
EVALUASI FORMATIF
Pengertian Evaluasi Formatif
Empat Tahap Evaluasi Formatif
Komponen yang Perlu Diperhatikan
dalam Mer,encanakan Evaluasi Formatif
Merevisi Produk Instruksional
Latihan
Rangkuman

BABX

195
196
200
205
207
207

209
210
212
217
219
224
225
227

SENARAI
/~-.

r"",~,

-, ( \

'iii

PEKERTI

"

. I 1.
II,

'\

'!

" \,i!\",I,
. i:'
I ,.'

.i fl'I!"lli;~1 III I' ,"


,
!
,BABI

PENDAHULUA.N
A. lsi S.ingkat SUku Ini
Dalam buku ini diuraikan suatu proses sistematik yang

harus dilalui dalam membangun sistem instruksional yang


efektif dan efisien. Proses tersebut biasanya dilakukan oleh
dosen, guru atau tenaga yang bekerja sebagai pendesain
instruksional (instructional designer) di lembaga pendidikan.
Bila kita ingat sejenak pengalaman kita sejak menjadi
murid Sekolah Dasar, siswa Sekolah Menengah sampai menjadi
mahasiswa diPerguruan Tinggi akan dapat diidentifikasi
berbagai jenis pengajaran yang telah digunakan oleh para guru
kita. Di antara para pengajar itu ada yang mempersiapkan :
seluruh kegiatan pengajarannya secara khusus jauh sebelum
memulainya dan ada pula yang membuat persiapan untuk
setiap kali pengajaran. Kelompok pengajar yang lainnya
merasa tidak perlu membuat persiapan apa pun ,sebelum
rn engajar. Kelompok yang terakhir ini langsung mengajar
karena merasa telah dapat mengajar dengan baik apabila
mengetahui topik yang akan diajarkan untuk setiap kali
pertemuan. Setiap pengajar, baik yang membuat persiapan
maupun tidak, selalu mencari cara untuk melaksanakan kegiatan
instruksionalnya sebaik-baiknya. Demikian pula setiap
pengeioia program pendidikan danlatihan senantiasa mencari
jalan meningkatkan kualitas programnya melalui cara-cara
yang dikenainya atau dianggapnya baik.
Buku ini diharapkan dapat membantu usaha tersebut,
Isinya terdiri atas seP9Iuh ~a~h,,~(ajt~:.U "
"
"
Bab I dan !;B~~ :11 :#te~g\lr.~,k~~ "o~sep dan prmsip
Pengembangan Instru~slo.pal :,yang' diperkaya dengan
perbandingan berpl;lgai,. ~nod~l, P~ng'1~Qang<li1 Instruksional,
Bab III dan seterusnyasampai: Bab' X' secara berturut-turut
menguraikan langkah-Iangkah Pen,getnbangan .Instruksional,

"

'\

PEKERTI

tujuan Instruksional Umum :


Seeara umum, setelah Andamempelajaribuku ini Anda diharapkan
dapat mengembangkan satu program instruksional bagi matakuliah
yang Anda bina.

Tujuan Instruksional Khusus (TIK):


,

Setelah mempelajari buku ini, Anda diharapkan dapat:

Alur berpikir dalam proses pengembangan instruksional


yang digunakan dalam buku ini hampir sejalan dengan model
pengembangan instruksional lain.
Beberapa hal khususyang perIu 4ije~a!~kan adalah:

1. Proses

pengembangan, instruksional dalam buku 101


dimaksudkan untuk 4iter~pkan padakegiatan instruksional
dalam kelas biasa .! ti~lilk tintuk . mengembangkan baban
belajar mandiri. Walaupun dbmikian, penerapan prinsip
yang sarna untuk hal yang tersebut belakangan ini diulas
pula.

2.

Langkah pertama dalam proses pengembangan instruksional


yang terdapat dalam buku ini adalah proses mengidentifikasi kebutuhan instruksional, kemudian perumusan
tujuan instruksional umum, Penerapan langkah pertama

PEKERTI

ini ditujukan kepada kegiatan instruksional dalam kelas


biasa, baik pada lembaga pendidikan formalmaupun
Iembaga-lembaga pendidikan dan latihan (Diklat).

3.

Langkah ketiga, mengidentifikasi perilaku awal mahasiswa.


Hal ini tidak dimaksudkan untukmengukur pengetahuan,
keterampilan dan sikap mahasiswa yang rnenjadi prasyarat
untuk mengikuti kegiatan
instruksional, tetapi
dimaksudkan untuk mengetahui pengetahuan, keterampilan, dan perilaku awal mahasiswa. Hasilnya digunakan
untuk menentukan titik berangkat dalam kegiatan
instruksional yang sesuai dengan perilaku awal mahasiswa.

4.

Garis penghubung antara Tujuan Instruksional Khusus


(TIK) dan Strategi Instruksional tidak diselingi dengan
Menulis Tes Acuan Patokan. Ini mempunyai pengertian
bahwa kegiatan menulis strategi instruksional dapat
dilakukan tanpa menunggu selesainya penulisan tes acuan
patokan.
.

5.

Kegiatan merevisi bahan instruksional tidak dipisahkan


dari evaluasi formatif.

6.

Dalam pengembangan strategi instruksional, penulis tidak


menggunakan satu strategi instruksional untuk segala
macam TIK, tetapi memberikan berbagaialternatif
strategi instruksional yang sesuai untuk setiap tujuan.
lsi buku ini kecuali Bab I dan II, merupakan uraiandari
. prosedur pengembangan instruksional yang dikembangkan
atas prinsip-prinsip tertentu. Prosedur tersebut diharapkan
untuk diterapkan secara fleksibel sesuai dengan kondisi
pengajar, mahasiswa, dan Iingkungan atau sumber-sumber
lain yang tersedia. Dengan perkataan lain, penulis tidak
bermaksud menyajikan suatu resep yang harus digunakan
secara kaku, tetapi mengembangkan suatu model pengembangan instruksional yang penerapannya disesuaikan
dengan kemampuan dan ketersediaan sumber-sumber pacta
Anda.

PEKERTI

. Dalam jangka yang Iebih panjang, sebagai pengajar Anda


dlha:apkan dapat mengajar Iebih baik sehingga prestasi
belajar mahasiswa Anda Iebih tinggi. Bagi Anda yang bekerja di
suatu Iembaga Diklat diharapkan buku ini dapat membanm
menyusun program instruksional yang efektif dan efisien. BiIa
kegiatan instruksionalyang Anda laksanakan atau kelola lebih
sistematik, proses untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitasnya akan Iebih jelas.
I

B. Kegiatan Instruksional sebagai Suatu Sistem


Istilah sistem telah digunakan secara Iuas. Istilah itu
secara umum berarti benda, peristiwa, kejadian atau cara yang
terorganisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang Iebih kecil
dan seluruh bagian tersebut secara bersama-sama berfungsi
untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi ini menunjukkan
bahwa suatu benda atau peristiwa baru disebut sistem bila
memenuhi empat kriteria secara serentak, yaitu: Pertama,
dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Kedua,
setiap bagian tersebut mempunyai fungsi tersendiri. Ketiga,
seluruhbagian itu melakukan fungsisecara bersama. Keempat,
fungsi bersama yang dilakukannya mempunyai suatu tujuan
tertentu. Suatu sistem lebih dari sekedar gabungan dari bagianbagian. Ia harus mempunyai tujuan tertentu yang tidak dapat
dicapai oleh fungsi dari satu atau beberapa bagian darinya.
Dari pengertian di atas, benda atau peristiwa berikut ini
dapat disebut sistem: sepeda, mesin tik, lemari es, pesawat
televisi,bumi, proses peredaran darah, program latihan kesegaran jasmani, administrasi kepegawaian, upacara keagamaan,
pemberian kredit oleh bank, dan pengelolaan darrnawisata
mahasiswa suatu sekolah.
Berikut ini dikemukakan beberapa kegiatan yang perlu
dipertimbangkan sebagai sistem berdasarkan empat kriteria
tersebut di atas: pengembangan kurikulum, pengembangan
kaset audio, pengembangan program televisi atau video,
pengembangan modul, kegiatan Instruksional. Bagaimana
menurut pendapat Anda? Ya, itu semua merupakan sistem.

4
I

PEKERTI

Kadang-kadang kita merasa kata sistem hanya tepat untuk


benda atau peristiwa yang besar atau prosedur yang mempunyai ruang lingkup luas. Mesin tik hanyalah bagian dad administrasi keuangan, karena itu ia hanya sebuah subsistem. Peredaran darah hanyalah sebuah subsistem dari sistem faal manusia.
Demikian pula lemari es yang merupakan salah satu bag ian
dari pabrik pengalengan ikan dan pesawat televisi sebagai
bagian dari sistem telekomunikasi.
Bila pola berpikir di atas diikuti seeara konsisten,
adrninistrasi keuangan pun belumdapat disebut sebagai suatu
sistem karena ia hanya salah satu bagian dari administrasi
secara keseluruhan di suatu kantor, Demikian pula manusia
sebagai subsistem dati masyarakat des a tempat tinggalnya.
Kalau begitu.iadministrasi atau masyarakat desa adalah suatu
sistem. sedangkan yang lebih keeil dari itu disebut subsistem,
Manakah batas lingkup suatu sistem? Sebelum pertanyaan ini
dijawab marilah kita pelajari sesuatu yang lebih besar dari
sistem.
.
Lebih luasdiui suatu sistem adalah suprasistem.
Administrasiumum hanyalah bagian dari pengelolaan suatu
kantor yang berstatus suprasistem. Sistem sosial masyarakat
desa adalah bag ian dari suprasistem masyarakat suatu
kecamatan. Sistem telekomunikasi adalah bagian dad suprasistem komunikasi. Tetapi muneul pertanyaan lain. Apakah
nama sesuatu yang lebih besar dari suprasistem yang telah
disebutkan tadi seperti sistem administrasi negara, sistem
so sial, sis tern pendidikan, sistem ekonomi, jagat raya?
Manakah batas subsistem, sistem,
dan suprasistem?
Jawabannya tergantung kepada temp at kedudukan Anda atau di
mana Anda menempatkan diri. Bila Anda sedang mengajar di
depan kelas ataumempelajari eara mengajar, kegiatan
in struksional dapat Anda tempatkan sebagai suatu sistem,
sedangkan penyelenggaraan tes sebagai. subsistem, dan
pengelolaan program pendidikan di lembaga Anda bekerja
sebagai suprasistem.
Demikian pula bila Anda menempatkan diri sebagai
seorang ahli Antropologi Budaya yang bekerja di suatu daerah,
kebudayaan suku bangsa di tempat Anda bekerja dapat dipandang sebagai suatu sistem, Sedangkan kebudayaan di suatu

PEKERTf

desa di dalam daerah tersebut disebut subsistern, dan


kebudayaan bangsa kita disebut suprasistem. Batas lingkup
sistem ditentukan oleh orang yang memandangnya. Seseorang
melihat batas itudari tempat ia berdirLBagi orang yang
bekerja di lembaga nasional atau orang yang menempatkan diri
di lem baga tersebut, batas ruang lingkup sistem baginya adalah
tingkat nasionaI. Lebih kecil dati itu disebut subsistem dan
lebih besar dari itu disebut suprasistem ..
Setiap sistem menerima masukan dati suprasistem berupa
bahan mentah, tenaga, .atau sumber daya. Masukan itu diolah
dalam sistem dan kemudian menghasilkan keluaran yang dikembalikan lagi kepada suprasistem berupa produk atau pelayanan.
Karena itu, bila suatu sistem tidak berfungsi.: misalnya disebabkan tidak mendapat masukan dati suprasistem atau tidak
dapat mengolah masukan tersebut sehingga tidak menghasilkan
keluaran seperti yang diinginkan, sistem itu diganti atau
diperbaiki. Filbeck (1974) melukiskan model sistem secara
umum dalam diagram yang tampak dalam gambar 1.

Suprasistem

Komponen, Bagian,
dan Proses Sistem
/~

~A,--

Supraslstem
~"

Gambar 1. Model Sistem Secara Umum

PEKERTI

Filbeck melukiskan sistern sebagai Iingkaran besar yang


berada di tengah, Di dalamnya terdapat lingkaran-lingkaran
kecjI sebagai subsistem yang saling berhubungan atau
berintegrasi dalam menjalankan fungsinya,
Hubungan antara dua subsistem mungkin berbeda
dengan hubungan antara dua subsistem yang lain. Subsistem
B dan D yang dilukiskan dengan dua anak panah timbal balik,
misalnya terjadiantara bagian administrasi dan perpustakaan.
Bagian administrasi memberi biaya dan tenaga kerja, sedangkan
bagian perpustakaan memberikan data tentang daftar buku
yang diperlukan, kebutuhan tenagakerja, dan ruangan perpustakaan kepada bidang administrasi untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Hubungan antara subsistem A dan C dilukiskan dengan
satu anak panah. Subsistem A, rnisalnya bagian pengembangan
kurikulum, memberikan data kepada subsistem C, misalnya
bagian produksi media, untuk dijadikan dasar dalam mengembangkan media yang tepat guna.
Masukan yang diterima dari suprasistem dilukiskan
dengan anak panah besar di sisi kid dan keluaran yang
dikembalikan kepada suprasistern dilukiskan sebagai anak
panah besar pula di sebelah kanan Iingkaran sistern.
Dari konsep sistem berkernbang beberapa terminologi
yang berkaitan, yaitu pandangan sistem (system view),
pendekatan sistern(syste.m approach), analisis sis tern (system
analysis) dan sintesa sistem (system synthesis). Pandangan
sistern adalah kebiasaan rnemandang benda atau peristiwa
dalarn hidup sebagai suatu sistem. Bila pandangan sistem
ini diterapkan dalarn memecahkan masalah, proses pernecahan
masalah itu disebut pendekatan sistem. Dalam proses
tersebut terlibat kegiatan memecah suatu sistem rnenjadi
beberapa subsistern
dan mengidentifikasi hubungan dari
setiap subsistem dengan subsistem yang lain. Kegiatan seperti
ini disebut analisis sistem, Dengan analisis sistem kita tidak
saja dapat mengidentifikasi subsistem yang ada dalam suatu
sistern, tetapi juga mengidentifikasi fungsi masing-masing
serta kaitan fungsi subsistem yang satu dengan yang lain dalam
merijalankan fungsi bersama. Dengan analisis sistem dapat

PEKERTI

I,)\\\a diide\\.tif.i'k.a~i ~\\bsi~tem ma\\.a ":fa\\.'6 tida\. be;d.\l\\.'6'S\


de\\~a\\ \)a\"k. ~e\\\\\.'6~a ~e,\\l d\'6a\\.t\ a\a\l d\~e,'tla\'k.\.
Di samping analisis sistern, dalarn pendekatan sistem terlibat
pula sintesis sistern yang rnerupakan kegiatan memadukan,
menarnbahkan, atau rnengkornbinasikan subsistem barn kepada
subsistem yang telah ada sehingga menimbulkan sistem baru,
Filbeck menggambarkan dalam bentuk bagan kaitan antara
konsep sistern, pandangan
sistem, pendekatan sistem,
analisis sistem, dan sintesis sistem seperti dalam gambar 2.
HasiI penerapan pendekatan sistem dalam memecahkan
masalah instruksional adalah sistern instruksional yang
efektif dan efisien. Demikian pula penerapannya dalam
proses pengembangan instruksional dapat menghasilkan suatu
sistem instruksional (Twelker, Urbach, dan Buck, 1972).
Bentuk nyata dari sis tern instruksional itu adalah satuset bahan
dan strategi instruksional yang telah teruji secara efektif dan
efisien di lapangan.
Gagne (1979) mengatakan bahwa sistem instruksional
adalah suatu set peristiwa yang mempengaruhi mahasiswa
sehingga terjadi proses belajar. Suatu set peristiwa itu mungkin
digerakkan oleh pengajar sehingga disebut pengajaran, mungkin
pula digerakkan oleh mahasiswa sendiri dengan menggunakan
buku, gambar, program televisi, ataukombinasi berbagai
media. Baik digerakkan oleh guru maupun digerakkan oleh
mahasiswa sendiri, kegiatan itu haruslah terencana secara
sistematik untuk dapat disebut kegiatan instruksional. Jadi,
pengajaran adalah salah satu bentuk kegiatan instruksional.
Kegiatan yang dilakukan mahasiswa dalam kehidupan
sehari-hari tanpa perencanaan sebelurnnya disebut pengalaman
bukan kegiatan instruksional walaupun keg iatan itu
menyebabkan perubahan pada perilaku mahasiswa.
Kegiatan instruksional merupakan komposisi bagian-bagian
dan fungsi masing-masing untuk mencapai tujuan instruksional
yang telah dirumuskan sebelumnya. Apabilasalah satu
bag ian
di dalamnya tidak berfungs! dengan baik, tujuan
instruksional yang telah ditetapkan tidak dapat dicapai dengan
baik pula. Karena itu, kegiatan instruksional disebuf sistern.

PEKERTI

I MEjiU ?)
MULAI DENGAN

STUDITERHADAP
SISTEM YANG ADA
SEKARANG

PANDANGAN SISTEM
. YANG DENGAN
ttl ELALUI. PE NERAPAN
SECARA TERAMPIL

PENGEMBANGAN
KONSEP SISTEM
YANG MEMPENGARUHI
PERSEPSITERHADAP
DUNIA

~
PENDEKATAN SISTEM

Gambar 2. Pengembangan Keterampilan Sistem

~~\..\5\'S

PEMECAHAN
MASALAH

PEKERTI

Penggunaan pendekatan sistern dalam kegiatan instruksional berkembang lebih pesat sete1ah muncu1nya teknolngi
instruksiona1 sejak awa1 tahun 1960-an. Sebagai ilmu, bidang
kajian, dan profesi, tekno1ogi instruksiona1 berkem bang
terus. Kegiatan instruksiona1 dianalisis menjadi subsistemsubsistem sebagai berikut: tujuan instruksional, tes, strategi
instruksional, bahan instruksional dan evaluasi, di samping
komponen pengajar, mahasiswa, dan fasilitas. Karena itu,
untuk memecahkan masalah instruksiona1 kita perlu menguji
fungsi setiap subsistem tersebut. Untuk menguji fungsi setiap
subsistem ini digunakan analisis sistem. Hasil pengujian ini
memberi petunjuk subsistem yang perlu diganti atau diperbaiki.
Langkah selanjutnya adalah mensintesis sistem barn dengan
cara mengintegrasikan subsistem barntersebut dengansubsistem
yang lain untuk mewujudkan sistem yang Iebih baik.
Untuk mengembangkan sistem instruksional yang sesuai
bagi mata pelajaran, program pendidikan, dan mahasiswa
tertentu telah berkembang suatu teknologi yang disebut
pengembangan instruksional. Ia merupakan bagian dari teknologi
instruksionaI. Pada dasarnya pengembangan instruksional
merupakan proses yang sarna dengan di atas, yaitu
mengidentifikasi subsistem yang menjadi bagiandari sistem,
mengidentifikasi fungsi dan kaitan setiap subsistem yang satu
dengan yang lain, mengembangkan setiap subsistem, mensintesis
semua subsistem yang ada di dalamnya menjadi satu
kesatuan, dan kemudian mengevaluasi fungsinya sebagai
suatu sistem keseluruhan.
.Dalam bentuk bagan sederhana, pendekatan sistem akan
tampak sebagai berikut:

Mengidentifikasl

}---~ Mengembangkan

t--- L.-_~

_ _- '

1-----1_ _1----1
Merevisl

Gambar 3. Bagan Sederhana Pendekatan Sistem

10

PEKERTI

Pendekatan sistem di dalam dunia pendidikan sebenarnya


merupakan difusidari pendekatan slstem yang semula
digunakan oleh pengembangan sistem persenjataan pada
angkatan bersenjata. Dari sana pendekatan sistem menjalar ke
bidang industri untuk memproduksi komoditi merekasebelum
menyebar ke bidang-bidang lain.
Penerapan pendekatan sistem dalam dunia pendidikan
dapat diarahkan kepada berbagai tujuan tergantung kepada
masalah yangakan dipecahkan. Hasil penerapanpendekatan
sistem ,itu dapat berupa pelayanan administrasi, registrasi,
atau pengadaan bahan komputer, Untuk kegiatan instruksional,
hasil pendekatan sistem terarah kepada peningkatankualitas
belajar mahasiswa.
Bagan pendekatan sistem yang sederhana seperti yang
telah digambarkan di atas akan berkembang lebih kompleks
apabila digunakan untuk pemecahan masalah, tergantung kepada
kompleksitas masalah dan besar-kecilnyalembaga pendidikan.
Walaupundemikian,prinsip yang digunakan untuk menyusun
s'istem instruksional tersebut sarna.
Perhatikan Model, Pengembangan Instruksional (MPI)
berikut ini yang menunjukkan langkah-Iangkah' dalam
menyusun sistem instruksional yang digunakan dalam buku
ini. Ia . tampak lebih kompleks dari bagan sederhana diatas.
Tahap mengidentifikasi yang terdapat dalam bagan sederhana telah diuraikan menjadi tiga langkah sebagai. berikut:
1. mengidentifikasikebutuhan instruksional dan menulis tujuan
instruksional umum;
2.

melakukan analisis instruksional;

3. mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal mahasiswa,


Tahap mengembangkan telah diuraikan menjadi empat
Iangkah sebagai berikut:
4.

menulis tujuan instruksional khusus;

11

5.

PEKERTI

rnenulis tes aeuan patokan;

6. rnenyusun strategi instruksionaI;


7. mengembangkan bahan instruksional.
Tahap mengevaluasi dan merevisi dinyatakan sebagai
berikut:
8. mendesain dan melaksanakan evaluasi forrnatif yang
terrnasuk di dalarnnya kegiatan merevisi.
Hasil akhir dari kedelapan Iangkah tersebut adalah sis tern
instruksional yang siap pakai. Sebagai dasar untuk rnemahami
proses
pengembangan instruksional tersebut dalarn subbab
berikut ini akan dikemukakan prinsip-prinsip kegiatan
instruksional. Dengan memahamiprinsip-prinsip ini, Anda
akan lebih mudah mengikuti jalan berpikir yang dipergunakan
Model Pengembangan Instruksional (MPI) tersebut.
.
Model tersebut menunjukkan urntan kegiatan yang ditempuh
orang dalam rnendesain sistem instruksional. Langkah pertama
adalah menentukan kebutuhan instruksional dan rnerumuskan
tujuan instruksional umum. Langkah kedua melakukan analisis
instruksional. Langkah ketiga mengidentifikasi prilaku dan
karakteristik awal mahasiswa. Langkah keempat merumuskan
tujuan instruksional khusus. Langkah kelirna menulis tes acuan
.patokan. Langkah keenam menyusun strategi instruksional.
Langkah ketujuh mengembangkan bahan instruksional. Langkah
kedelapan mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif.
Langkah ke sembilan mendapatkan sistem instruksional.
Bentuk bagan model tersebut dapat Anda lihat pada halaman
berikut.

12

PEKERTI

r---------T----------t
r~

.J

MEL.AKIJKAN
ANAUSlS
lNSTRUKSlONAL

t
ME~~1ES
.... _._--

IDENTlFlKASI
KEBUTUHAN

MENGlDEtrnFIKASI
L.)o

PERiLAKtJ DAN
KARAKTERlmK
AWN. MAHASlSWA

t
I
I
I
I
I

J,

MENGE~

MENUUSTWUAN
INSTRUKSlONAL r-)o
KHUSUS (TlIQ

INSTRtlKSlONAL
DAN MENUllS t->~
TWUAN
INSTRUI<SIONAL
UMUM(nUl

I
.

BAHAN

INSTRUKSlONAL r-"

MENYUSUN
DESAINDAN
MELAKSANAKAN

EVAlUASI
FORMATIF

.
.>:

MENYUSUN
STRATEGl
INSTRUKSIONAL

f
i
L
L rL

Gambar 4. Model Pengembangan lnstrukslonal (MPI)

13

I
I
I

f--,.

SlSTEM
INSTRUKSlaw.

PEKERTI

C. Prinsip-prinsip Instruksional
Setiap teknologi bam tampak kompleks atau merepotkan
sehingga kalau tidak karena memaharni manfaatnya orang enggan
menggunakannya dan kembali menggunakan tekno-logi yang lama.
Untuk membuka tutup botol kecap, misalnya, telah biasa digunakan
orang pinggir meja atau paku yang tertancap pada liang. Mengapa kita
hams menggunakan alat khusus yang masih hams dipelajari cara
menggunakannya? Bukankah mempelajari penggunaan alat itu
memerlukan waktu? Apalagi bila berpikir kemungkinan untuk gagal
pada percobaan pertamakarenakitabelum terampil menggunakannya.
Alat bam yang lebih kompleks itu akan mengunnmgkan pemakai
sedikitnya dalam tiga hal sebagai berikut: Pertama, meningkatkan
kualitas, karena bibir botol tidak atau sedikit kemungkinan pecah.
Kedua, lebih aman, karena tidak ada atau sedikit kemungkinan
menimbulkan bahaya akibat tutnpbotol melesat dan mengenai mata
kita. Ketiga, lebih efisien, karena lebih cepat berhasil.
Bidang pekerjaan keeil seperti membuka tutup botol bila
dilakukan terus menerus dan berulang kali tentu dapat dihitung
nilai ekonornis dan psikologisnya. Apalagi bila pekerjaan
tersebut dilakukan di suatu pabrik.
Bagaimana dengan penggunaan teknologi instruksional?
Berapa nilai peningkatan kualitas instruksional yang digunakan
oleh seorang pengajar untuk sekian ribu mahasiswa yang
diajarnya selama bertahun-tahun setelah ia memperbaiki
sis tern instruksionalnya rnelalui proses pengernbangan
isntruksional? 'aila ada yang dapat menghitungnya dengan
eerrnat tentu nilainya akan lebihbesar dari yang diperkirakan.
Meningkatkan kualitas instruksional dengan menggunakan
teknologi instruksional tidaklah sederhana, tetapitidak terlalu
kompleks untuk dipelajari pengajar atau pengelola program
pendidikan, manakala cukup keinginan untuk meningkatkan
keprofesionalannya.
.
Setiap teknologi dibangun atas dasar teori tertentu.
Demikian pula dengan teknologi instruksional, dibangun atas
dasar prinsip-prinsip yang ditarik dari teori psikologi terutarna
teori belajar dan hasil-hasil :penelitian dalam kegiatan in-

14

PEKERTI

struksional (instruction). Prinsip-prinsip yang digunakan dalam


perigembangan instruksional dapat dikelompokkan .menjadi
dua belas macam (Filbeck, 1974). Berikut ini diuraikan
secara singkat setiap prinsip tersebut dan diikuti dengan
Impfikasinya dalam kegiatan instruksional. Prinsip dan
implikasi ini kemudian diterapkan dalam proses pengembangan
instruksional yang digunakan dalam buku ini.

Prinsip Pertama .
Respon-respon baru (new responses) diulang sebagai
akibat dari respon tersebut. Bila respon .itu berakibat
menyenangkan, mahasiswa (learner) cenderung untuk
mengulang respon tersebut karena ingin memelihara akibat
yang menyenangkan. Bila akibat respon itu kurang
menyenangkan, mahasiswa cenderungmencari jalan yang
dapat mengurangi rasa tidak menyenangkan tersebut dengan
cara menghindari respon yang samaatau melakukan perilaku
(behavior) lain. Agar efektif, akibat dari suatu respon harus
jelas terasa bagi mahasiswa, segera setelah ia membuat respon.
Setelah akibat yang segera itu diberikan beberapa kali secara
berturut-turut, mahasiswa akan tetap memelihararespon tersebut
walaupun k;emudian akibat itu diberikan setiap lima kali,
sepuluh kali, bahkan lebih jarang lagi.
Implikasi prinsip pertama ini kepada kegiatan instruksional
antara lain adalah:
1

Periunya pemberian umpan balik positif dengan segera


atas keberhasilan atau respon yang benar dari mahasiswa.
Pada babak permulaan umpan balik yang' menyenangkan
tersebut harus seringkali diberikan, tetapi tahap berikutnya dapat diberikan -lebih jarang secara random.

2.

Mahasiswa harus aktifmembuat respon, bukan duduk


diam dan mendengarkan saja. Akibat yang menyenangkan
atau yang kurang menyenangkan hanya diberikan bila
mahasiswa aktif membuat respon.

15

PEKERTI

Dalam proses pengembangan ins'truksional, prinsip mi


diterapkan dalam bentuk pemberian latihan (exercise) dan tes
untuk dikerjakan mahasiswa serta pemberian umpan balik
segera terhadap hasilnya.
Prinsip Kedua
Perilaku tidak hanya dikontrol oleh akibat dari respon,
tetapi juga di bawah pengaruh kondisi atau tanda-tanda yang
terdapat dalam lingkungan mahasiswa. Kondisi atau tandatanda tersebut berbentuk tulisan, gambar, komunikasi
verbal, keteladanan guru, atau perilaku sesama mahasiswa.
Tulisan dilarang merokok, gambar sebatang rokok yang
diberi tanda silang merah atautidak adanya tempat puntung
rokok, misalnya, adalah kondisi yang diciptakan agar orang
tidak merokok. Nasihat orang tua untuk mendorong anaknya
bersernbahyang atau kebiasaah keluarga untuk sembahyang
bersama merupakan salah satu kondisi untuk menciptakan
perilaku seluruh anggota keluarganya taat kepada ajaran
agama. Dernikian pula kerja sarna yang baik di antara
mahasiswa dalam suatu kelompok belajarmerupakan kondisi
untuk menciptakan perilaku rajin belajar bagi setiap anggota
kelompok belajar tersebut.
Implikasi prinsip kedua ini pada teknologi instruksional
adalah perlunya menyatakan tujuan instruksional secara jelas
kepada mahasiswa sebelum pelajaran dimulai agar mahasiswa
bersedia belajar lebih giat. Tujuan instruksional itu berisi
pengetahuan, keterampilan, atau setiap perilaku yang akan
dapat dilakukan mahasiswa setelah menyelesaikan pelajaran.
Apabila mahasiswa melihat pentingnya sesuatu yang akan
dikuasainya tersebut bagi hidupnya nanti, mahasiswa dapat
diharapkan lebih aktif melakukan kegiatan belajarnya untuk
menguasai pengetahuan, keterampilan, atau sikap yang
tercantum dalam tujuan tersebut. Penjelasan tentang tujuan
instruksional tersebutadalahkondisi untuk menciptakan perilaku
belajar mahasiswa.

16

PEKERTI

Agar tujuan instruksionaltersebut jelas bagi manasiswa.


rnaka teknik perumusannya menggunakan ikata kerja yang
operasional yaitu perilaku mahasiswa yang tampak oleh mata
dan dapat diukur.
Disamping itu implikasi prinsip kedua ini pada teknologi
instruksional adalah penggunaan berbagai metode dan media
agar dapat mendorong keaktifan mahasiswa dalam pros~s
belajarnya. Penggunaan .metode diskusi, simulasi dan berm~m
peran atau penggunaan media film bingkai (slide), kaset audio,
gambar dan benda sebenarnya (realia) misalnyamerupakan
kondisi yang diciptakan untuk membuat mahasiswa belajar
dengan aktif.

.Prinsip Ketiga
Perilaku yang ditimbulkan oleh tanda-tanda tertentu akan .
hilang atau berkurang frekuensinya bila tidak diperkuat dengan
pemberian akibat yang menyenangkan. Karena.itu pengetahuan
dan keterampilan baru yang telah dikuasai mahasiswa harus
sering dimunculkan dan diberi akibat yang menyenangkan agar
keterampilan baru itu selalu digunakan mahasiswa.
Implikasi prinsipketiga 101 terhadap
teknologi
mstruksional adalah pemberian isi pelajaran yang berguna
pada mahasiswa di dunia luar ruangan kelas dan memberikan
umpan balik berupa imbalan dan penghargaan terhadap
keberhasilan mahasiswa, .
Dalam proses pengembangan instruksional, penentuan apa
yang akan diajarkan vkepada mahasiswa didasarkan kepada
hasil langkah mengidentifikasi kebutuhan instruksional sehingga
yang dipelajari mahasiswaadalah pengetahuan, ketera~pilan
dan sikap yang memang belum dikuasai tetapi'dibutuhkannya
dalam kehidupan sehari-hari,
.
Selanjutnya mahasiswa seringdiberi .latihan dan tes agar
p engetahuan, keterampilan dan sikap yang baru dikuasainya
s-exing dimunculkan pula. Bila mahasiswa dapat melakukan
Latihan atau mampu mencapai hasil tesdengan.baik, maka
guru harus memberinya umpanbalik yang berupa pemberian

17

PEKERTI

nilai, pujian atau konfirmasi kepada mahasiswa bahwa hasil


yang dicapainya benar atau baik. Dengan demikian mahasiswa
akan selalu berusaha melakukan hal yang sarna menakala ia
menghadapi latihan, tes atau masalah yang sarna. Umpan balik
atas hasil belajar mahasiswa dan penghargaan atas
kemajuannya akan mempercepat tercapainya tujuan belajar
mahasiswa.

Prinsip Keempat
Belajar yang berbentuk respon terhadap tanda-tanda yang
terbatas akan ditransfer kepada situasi lain yang terbatas pula.

Prinsip Kelima
Belajar,menggeneralisasikan dan membedakan adalah
dasar untukbelajar sesuatu yang kompleks seperti pemecahan
masalah.
Karena itu, dalam pengembangan instruksional perIu
digunakan secara luas bukan saja contoh-contoh yang positif,
melainkan juga yang negatif. Uraian materi pelajaran perlu
diperjelas dengan contoh yang positif dan yang negatif. Untuk
menjelaskan perilaku yang baik menurut norma yang berlaku,
18

PcKcRTJ

guru harus pula memberikan contoh-contoh yang bertentangan


dengan norma tersebut. Untuk menjelaskanbilangan genap,
m isalnya, guru perlumemberikan contoh bilangangenap dan
c ontob bilangan ganjil, Agar murid tahu benar mana yang
dfsebut benda kongkret, guru harus pula menjelaskan mana
benda yang tidak termasuk benda .kongkrer-atau abstrak.
Prinsip Keenam .

Status mentalmahasiswa untuk menghadapipelajaran


akan mempengaruhi perhatian dan ketekunan mahasiswa selama

proses belajar.
Implikasi prinsip keenam ini dalam teknologi instruksional
adalah pentingnya menarik perhatian mahasiswa untuk
mempelajari isi pelajaran. Dosen harus melakukan langkah
pertama dalam proses instruksional, yaitu menunjukkan
k.epada mahasiswa hal-hal sebagai berikut:
1

1.

Apa yang akan dikuasai mahasiswa setelah selesai proses


belajar, Ini berartidosen menjelaskan tujuan instruksional
kepada mahasiswa.

2.

Bagaimana mahasiswa menggunakan apa yang dikuasainya


dalam kehidupan sehari-hari.

3.

Bagaimana sesuatu yang dikuasainya itu dapat melengkapi, menambah, atau berintegrasi dengan apa yang

telah dikuasai sebelumnya.Penjelasan ini pentingartinya


karena mahasiswa akan belajar lebih cepatdan mudah bila
ia dapat mengintegrasikan sesuatu yang baru dipelajarinya
dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang telah
dimilikisebelumnya.

4. Bagaimana prosedur yang harus diikuti atau kegiatan yang


harus dilakukan mahasiswa agar ia mencapai tujuan
instruksional.
.
5. Bagaimana cara penilaian yang akan diberikan kepada
rnahasiswa dalam pelajaran tersebut atau apa keuntungan
mahasiswa bila ia mencapai tujuan instruksional tersebut.

19

PEKERTI

Dalam proses pengembangan instruksional, dirumuskan strategi instruksional yang di dalamnya terdapat bagian pendahuluan sebelurn menginjak ke bagian penyajian atau
presentasi. Pada bagian pendahuluan terse but terdapat kegia- ,
tan-kegiatan yang harus dilakukanpengajar untuk mempersiapkan mental mahasiswa sebelum mempelajari materi
pelajaran yang menjadi inti kegiatan instruksionaL
Kelima hal di atas merupakan pokok-pokok penjelasan
yang harus dirumuskan pen gembang instruksional pada bagian
pendahuluan.

Prinsip Ketojub
Kegiatan belajar yang dibagi menjadi langkah-Iangkah
kecil dan disertai umpan balik untuk penyelesaian setiap
Iangkah akan membantu sebagian besar mahasiswa.
Implikasinya dalam teknologi instruksional adalah:
1. Penggunaan buku teks terprogram (programmed texts
atau programmed instructions).
2. Pengajar harus menganalisis pengalaman belajar mahasiswa
menjadi kegiatan-kegiatan kecH dan setiap kegiatan kecil
tersebut disertai latihan dan umpan batik terhadap hasilnya.

Dari sinilah munculnya ide pemecahan materi pelajaran


menjadimodul-modul. Materi pelajaran yang luas dan kompleks, yang akan diajarkan kepada mahasiswa selama satu
semester. atau satu periode tertentu dipecah menjadi bagianbagian yang lebih kecil, Setiap bagian itu merupakan bagian
tersendiri, karena isinya telah utuh atanbulat. Ia disebut modul
instruksional atau modulo Dengan demikian, mahasiswa dapat
mempelajari materi pelajaran tersebut secara bertahap, sedikit
demi sedikit.
'

Prinslp Kedelapan
Kebutuhan memecah materi belajar yang kompleks
menjadi keglatan-kegiatan kecilakan dapat dikurangi bila materi
belajar yang kompleks itu dapat diujudkan dalam suatu model.

20

P/EKERTI

Irnplikasinya dalam teknologi instruksional adalah


penggunaanmedia dan mctode instruksional yani dapat
meng.g ambarkan materi yang kompleks kepada mahasiswa
seperti: modef. realia, film, prograin televisi, program video.
dram a, demonstrasi,
Dalam proses pen gembang an instruksional, isi pelajaran
dibagi menjadi bagian yang lebih kecil. Setiap bagian itu tidak
perlu sama besarnya antara satu dengan yang lain. Bagian
yang mengandung isi pelajaran yang kompleks dapat lebih besar
daripada yang lain dan perlu didukung dengan penggunaan
model, media lain. dan berbagai
metode instruksional.
.
.
I
.
U ntuk mengajarkan sopan santun yang diterima oleh masyarakat sekitar atau mengajarkan watak Pancasilais tidakcukup
atau mungkin tidak dapat dengan hanya menggunakan penjelasan tentang pengertian sopan santun atau watak Paneasilais.
Pengembang instruksional perlu menggunakan film. metode
simudasi, atau bermain peran yang dapat menggambarkan
konsep sopan santun atau watak Pancasilais tersebut.
Prinsip Kesembilan

Keterampilan tingkat tinggi seperti keterampilan memecabkanmasalah adalah perilaku kompleks yang terbentuk
dad komposisi keterampilan dasar yang lebih sederhana.
1.

2.

Implikasinya dalam teknologi instruksional adalah:


Tujuan instruksional umum harus dirumuskan dalam
bentuk basil belajar yang operasional agar dapat dianalisis
menjadi tujuan-tujuanyang lebih khusus. '
Demonstrasi atau model yang digunakan barus didesain
sejalan dengan hasil anali sis tersebut di atas agar dapat
menggambarkan secara jelas komponen-komponen yang
term a,suk dalam perilaku yang kompleks tersebut.
~~l~m

pe~gembangan instruksionaI digunakan proses

anatists mstrukslO~al .untu~ memecah perilaku yang terdapat


dalam

TIU ":lenJadl perilaku yang lebih khusus. .Tanpa

pe~ecahan penlak~ rang kompleks menjadi perilaku yang

l~blh sederhana 1.01. ke~latan instruksional tidak dapat


dllakukan secara aistematik atau bertahap dan berurutan.
21

PEKERTI

Prinsip Kesepuluh
Belajar cenderung menjadi cepat dan efisien serta
menyenangkan bila mahasiswa diberi informasi bahwa ia
menjadi lebih rnarnpu dalarn keterarnpilan memecahkan
rnasalah. Orang cenderungbelajar Iebih cepat bila diberi
informasi ten tang kualitas penampilannya dan bagairnana cara
meningkatkannya lebih baik.
I

Implikasinya dalam teknologi instruksional adalah:


Urutan pelajaran harus dimulai dariyang sederhana dan
secara bertahap menuju kepada yang lebih kompleks agar
keberhasilan mahasiswa dalam pelajaran yang lalu (yang
lebih sederhana) dapat mendorongnya lebih kuat untuk
meng-uasai pelajaran yang .akan datang (yang lebih
kompleks).
2. Kernajuan. mahasiswa dalam menyelesaikan pelajaran
harus diinformasikan kepadanya agar keyakinan kepada
kemampuan dirinya lebih besaruntuk. memecahkan rnasalah
yang Iebih kompleks pada waktu yang
, akan datang.
I.

Dalarn proses pengembangan instruksional terdapat tes


formatif dan umpan balik atas hasilnyapada akhir setiap bag ian
pelajaran.
Selanjutnya, mahasiswa diberi petunjuk pula
untuk melakukan kegiatan lanjutan atas dasar hasil tes formatif
yang diperolehnya. Tes formatif, urnpan balik, dan tindak
lanjut ini merupakan kunci utama untuk membangkitkan dan
meningkatkan motivasi mahasiswa untuk belajar lebih giat.
Karena itu, pengembang instruksional harus mengembangkan
ketiga komponen tersebut pada akhir setiap bagian pelajaran.
Para dosen atau pengeioia program pendidikanmempunyai
kewajiban untuk mengontrol pelaksanaan ketiga komponen
tersebut oleh rnahasiswa, Suatu sistem instruksional yang tidak
disertai pelaksanaan ketiga komponen tersebut oleh mahasiswa
akan cenderung membuat proses belajar lebih lambat, tidak
efisien, dan tidak menyenangkan, bahkan dapat mengakibatkan
frustrasi pada mahasiswa.

22

PEKERTI

Prinsip Kesebelas

Perkembangan dan kecepatan belajar mahasiswa bervariasi,


ada yang maju dengan cepit, ada yang lebih lambat. Di
samping Itu, perkembangan dan kecepatan belajar seorang

mahasiswa tidak ,stabil dari suatu hari ke hari yang lain dan
tidak sarna dati suatu mata pelajaran ke mata pelajaran yang
lain. Variasi dalam kecepatan belajar itu tidak selalu dapat
diramalkan. Hasil tesintelegensi, gaya kognitif, dan minat
arau sikap untuk belajar tidak mempunyai hubungan yang
signifikan terhadap variasi tersebut. Tetapi variasi penguasaan
terhadap pelajaran yang terdahulu mempunyai hubungan yang
lebih berarti terhadap variasi tersebut,
Implikasi prinsip ini terhadap teknologi instruksional
adalah:
1. Pentingnya penguasaan mahasiswa dalam materi pelajaran
prasyarat sebelum mempelajari materi pelajaran selanjutnya.
Penggnnaan cara belajar tuntas (mastery learning) sangat
penting bagi
materi pelajaran terutama yang tersusun
secara hirarkikal,
2. Mahasiswa mendapat kesempatan maju menurut kecepatan
masing-masing.
Dalam pengembangan instruksional, penguasaan mahasiswa
terhadap pengetahuan, keterampilan, atau sikap yang menjadi
prasyarat harus mencapai tingkat 80% atau lebih sebelum
meneruskan ke bagian selanjutnya.
Bagi yang mengembangkan bahan belajar -mandiri,
bahan tersebut harus didesain sedemikianvrupa sehingga
mahasiswa dapat maju menurut kecepatan masing-masing.
Bahan tersebut harus lengkap memuat isi pelajaran yang
d ipelajari mahasiswa tanpa mengacu kepada bahan belajar
lain yang tidak diketahui secarapasti bahwa dimiliki
mahasiswa, Di samping itu, bahan tersebutharus dilengkapi
dengan tes formatif dan kuncinya serta petunjuk tentang tindak

lanjut yang nams dilakuk.an mahasiswa setelah mengetahui


hasil tes formatifnya.
Bagi para dosen yang bias a mengajar di dalam kelas biasa,
p erlu selalu diingat bahwa perbedaan kecepatah mahasiswa

23

PEKERTI

~e~untut perbedaan perlakuan agar seluruh mahasiswa yang


diajarnya secara bersama dapat mengikuti pelajaran yang
diberikannya. Perbedaan perlakuan tersebut mungkin berupa
bimbingan dalam kelas, pemberian tugas, dan penggunaan
metode instruksional yang tepat, yang dapat membantu
mahasiswa yang lambat, tetapi tidak merugikan mahasiswa
yang cepat,

Prinsip Keduabelas

Dengan persiapan, mahasiswa dapat mengernbangkan


kemampuan mengorganisasikan kegiatan belajarnya sendiri
dan menimbulkan urnpan balik bagidirinya untuk membuat
respon yang benar.
Implikasinya dalamteknologi instruksional adalah pernberian ke.mungkinan bagi rnahasiswa untuk memilih waktu,
cara, dan sumber-sumber lain, di samping yang' telah
ditetapkan dalam sistem instruksional agar dapat membuat
dirinya mencapai tujan instruksional.
Dalam proses pengembangan instruksional dilakukan
penyusunan panduan mahasiswa yang berisi petunjuk tentang
tugas-tugas yang diharapkan dilakukan mahasiswa selama
mengikuti pelajaran tersebut. Dengan demikian, mahasiswa
terutama yang telah matang, dibarapkan dapat menyusun
persiapan dan melakukan kegiatan sendiri : yang mengarah
kepada penyelesaiantugas tersebut tanpa menunggu mahasiswa
yang lain atau tanpa harus tergantung sepenuhnya kepada
kegiatan instruksional yang dipimpin oleh dosen di dalam kelas.
Melihat keduabelas prinsip yang telah diuraikan, dapat
disimpulkan bahwa penerapan desain instruksional merupakan
pekerjaan yang tidak sederhana tapi kompleks. Namun pekerjaan
yang kompleks. itu harus dilakukan dengan seksama bila kita
.mengharapkan terjadinya kegiatan instruksional yang efektif
dan efisien.
Dalam waktu dua puluh tahun terakhir ini teknolog i
instruksional telah berkembang dengan pesat dengan mengarnbil empat ciri utama, yaitu:

24

PEKERTI

1. Menerapkan pendekatan sistem;


2. - Meilggunakan sumber belajar seluas mungkin;
3. Bertujuan meningkatkan kualitas belajar manusia;
4. Berorientasi kepada kegiatan instruksional individual.

Fokus dari teknologi instruksional bukan pada proses


psikologis .bagaimana mahasiswa belajar, melainkan pada
proses bagaimana teknologi perangkat Iunak dan keras
digunakan mengkomunikasikan pengetahuan, keterampilan,
atau sikap kepada mahasiswa sehingga mahasiswa mengalami
perubahan perilaku seperti yang diharapkan.
Dengan empat ciri utama tersebut teknologi instruksional
semakin memperhalus dan mempertajam kemampuannya dalam
memecahkan masalah belajar.
Salah satu bagian teknologi instruksional yangmenjadi
pusat perhatian buku ini adalah pengembangan instruksional.
Dari contoh model yang akan disajikan dalam Bab II ini akan
segera tampak bahwa pengembangan instruksional merupakan
salah satu teknologi perangkat lunak (software technology)
yang canggih untuk membangun sistem instruksional yang
berkualitas tinggi.
'
D. Latihan

Berikut ini terdapat beberapa butir latihan yang perlu Anda


kerjakan.
Maksud latihan ini adalah membantu Anda
menguasai konsep-konsep dan prinsip-prinsip instruksional
yang baru saja selesai Anda pelajari. '
Latihan bukanlah tes. Ia bagian dari proses belajar Anda.
Karena ia bukan tes, tidak ada yang dapat memberikan kunei
jawaban kepada Anda. Untuk memeriksa kebenaran latihan
yang Anda lakukan, ikutilah petunjuk-petunjuk yang terdapat
di dalamnya dan bandingkanlah dengan konsep, prinsip, atau
prosedur yang telah diuraikan dalam Bab ini. Selamat
bekerja.
.
1. Dari sudut pandangan Anda dan sesuai dengan bidang
kerja atau minat Anda, sebutkan contoh suatu sistem,

25

PEKERTJ

subsistem, dan suprasisternnya. Bila :Anda dapat rnenyebutkan satu contohyang lain lagi.Tatihan Anda untuk burir
satu ini akan semakin sempurna.
2. Lakukan analisis terhadap sistem yang .telah Anda sebut
(satu sistem saja) sehinggadapat diidentifikasikan faktorfaktor sebagai berikut:
a. Masukan;
b. Proses: maeam subsistem dan kaitan fungsinya masingmasing;
c. Keluaran.

3., Pilihlah tiga di antara dua belas pnnsip yang telah


diuraikan dalam Bab ini. Ketiga prinsip yang Anda pilih
harus berkaitan dengan tiga komponen berikut: tujuan
instruksional, kegiatan penyajian pelajaran, dan tes,
Kemudian, uraikan cara menerapkan ketiga prinsip yang
Anda pilih tersebut dalam kegiatan instruksionaI.
4. Diskusikan hasillatihan Anda dengan seorang atau beberapa ternan Anda. Untuk setiap perbedaan pendapat yang
sulit dipadukan, gunakanlah bacaan dalam Bab ini sebagai
bahan aeuan

E. Rangkuman
Pengembangan instruksional sebagai suatu proses yang
sistematik untuk menghasilkan suatu sistem instruksional yang
siap digunakan merupakan proses yang panjang. Kadang -kadang
sementara ahli menganggapnya identik dengan teknologi
instruksional.
Pengembangan instruksionaladalah salah satu ujud
penerapan pendekatan sistem dalam kegiatan instruksional.
Ujud yang lain yang setara dengannya adalah produksi dan
penggunaan media instruksional, evaluasi instruksional, dan
pengelolaan instruksional.Semuanya itu adalah bidang-bidang
dalarn teknologi instruksional,
.
. Sebagai suatu siklus dalam sisterninstruksional keseluruhan,
letak pengembangan instruksional berada paling awal. Proses

26

PEKERTI

rersebut disusul dengan implementasi dan diakhiri dengan


evaluasi. Dengan demikian, bagi seseorang yang berdiri dalam
su atu proses instruksional keseluruhan, pengembangan
instruksional itu merupakan sub sistem. Tetapi, bagi pengembang
Inatruksional, ia adalah suatu sistem, yaitu sistem pengembangan
instruksional. Hal ini sesuai dengan pengertian tentang sistem
yang menyatakan bahwa garis batas atau ruang Iingkup suatu
sistem itu relatif tergantung kepada tempat kedudukan orang
yang memandangnya.
..

27

PEKERTJ

Daftar Kepustakaan
Filbeck, Robert. Systems in Teaching and Learning. Lincoln:
Professional Educators Publications, 1974.
Twelker, Paul A., Urbach, Floyd D., & Buck, James E. The
Systematic Deyelopment of Instruction. Stanford: ERIC
Clearinghouse on Media and Technology, 1972.
Gagne, R.M., & Briggs L.J. Principles ofInstructional Design.
(2nd ed.) New York: Holt, Rinehart and Winston, 1979.
I

28

PEKERTI

BAB II
MODEL PENGEMBANGAN INSTRUKSIONAL

A. Pengertian Pengembangan Instruksional


Pengembangan instruksional ada1ah termino1ogi yang
berkembang sejak kurang1ebih dua pu1uh tahun yang 1a1u.
Penerapannya di Indonesia mu1ai populer dengan penggunaan
Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional. yang disingkat
PPSI pada permu1aan 1970, khususnya dalam mengiringi
munculnya Kurikulum 1975 yang berlaku untuk tingkat
Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Sejak saar itu
pengembangan instruksiona1 menjadi kegiatan yang lebih
menonjol, tidak saja di tingkat sekolah dasar dan menengah,
tetapi juga di perguruan tinggi dan lembaga pendidikan dan
latihan (Diklat). Di perguruan tinggi, misalnya, kegiatan
pengembangan instruksional dilakukan dengan lebih giat
rnelalui penataran
Proses Be1ajar Mengajar sejak tahun 1979 .
.,
Di lembaga-1embaga Diklat, baik yang berada di bawah
departemen maupun yang berstatus swasta telah berkembang
pula kegiatan yang serupa.
Tenaga-tenaga pengajar,
pelatih, pengembang kuriku1um ditambah tenaga khusus yang
mereka miliki memberikan perhatian 1ebih besar terhadap
kegiatan pengembangan instruksional,
Apakah pengembangan instruksiona1 itu sebenainya?
Berbagai ahli di bawah ini mengemukakan berbagai definisi
pengembangan instruksional.
Clarence Schauer (1971) menyebutnya sebagai perencanaan secara aka I sehat untuk mengidentifikasikan masa1ah

29

PEKERTI

belajar dan rnengusahakan pemecahan masalah tersebut dengan


menggunakan suatu rencana terhadap pelaksanaan, evaluasi,
uji coba, umpan balik, dan hasilnya. Hamreus (1971)
menyebutnya secara singkat sebagai proses yang sistematik
untuk meningkatkan kualitas kegiatan instruksional, dan Buhl
(1975) menyebutnya sebagai suatu set kegiatan yang bertujuan
meningkatkan kondisi belajar bagi mahasiswa.
Kecuali Schauer, tidak seorang pundari ahli' di atas yang
menunjukkan secara jelas bagaimana proses pengembangan
instruksionaI itu berlangsung. Mereka lebih menitikberatkan
pengertian pengembangan instruksional pada tujuan atau
maksudnya, yaitu memecahkan masalahbelajar, meningkatkan
kualitas kegiatan instruksional, atau meningkatkan kondisikondisi belajar.
Bila mempelajari pengertian pengembangan instruksional
yang dikemukakan tiga pihak lain di bawah ini, kita akan
melihat lebih jelas bagaimana proses tersebut berlangsung.
Twelker, Urbach, dan Buck (1972) mendefinisikannya sebagai
cara yang sistematik untuk mengidentifikasi, mengembangkan,
dan mengevaluasi satu set bahan dan strategi belajar dengan
maksud mencapai
tujuan tertentu. Sedangkan Reigeluth
(1978) mengartikannya sebagai tiga tahap kegiatan sebagai
berikut:
1. Desain yang bagi seorangpengembang instruksional berfungsi sebagai cetakan biru atau blue print bagi ahli
bangunan.
.
2. Produksi yang berarti penggunaan desain untuk membuat
program instruksional.
3. Validasi yang merupakan penentuan kualitas atau validitas
dari produk akhir.
AT&T atau American Telephone & Telegraph (1985),
mendefinisikan desain instruksional sebagai suatu resep
dalam menyusun peristiwa dan kegiatan yang diperlukan untuk
memberikan petunjuk ke arahpencapaian tujuan belajar
tertentu. Hasil proses desain instruksional merupakan cetak
biru untuk pengembangan bahan instruksional dan media yang
akan digunakan untuk mencapai tujuan,

30

PEKERTI

AT&T adalah' suatu perusahaan telepon dan telegraf di


Amerika Serikat yang dewasa ini dipandang sebagai salah
satu organisasi yang mempunyai sistempengembangan program latihan yang paling maju. Organisasi ini membagi
prosespengembangan instruksional menjadi dua tahap, yaitu
proses desain untuk menghasilkan cetak biru dan proses
pengembangan yang menggunakan cetak biru tersebut sebagai
dasar untuk mengembangkan bah an dan media instruksionaI.

Reigeluth danAT&T tampaknya sejalan. Proses pengembangan instruksional lebih panjang dari desain instruksional.
Tetapi, kalau diperhatikan model desain instruksional karangan
Dick & Carey (1985) atau karangan Gagne (1979), yang
merupakan dua model dari .dua tokoh kuat dalam bidang
tersebut, proses desain instruksional mereka sarna panjangnya
dengan proses pengembangan instruksional yang dimaksudkan
tokoh-tokoh lain. Produknya tidak berhenti sampai disusunnya
cetak biro, tetapi terus sampai ke tahap pengembangan bahan
instruksional dan evaluasi formatifnya,
Pada saat penulis melontarkan berbagai definisi itu, di
dalam perkuliahan seorang mabasiswa bertanya: Jadi, apa definisi pengembangan instruksional itu?' Penulis tertegun sejenak
karena memang merasa sulit untuk mencari definisi yang
dianggap tepat oleh setiap orang. Penulis menjawab bahwa
penulis ingin mendefinisikan pengembangan instruksional
sebagai suatu proses yang sistematik dalam mengidentifikasi
rnasalah, mengembangkan bahan dan strategi instruksional,
serta mengevaluasi efektifitas dan efisiensinya dalam mencapai
tujuan instruksionaI. Dalam susunan bahasa : yang lain,
pengembangan . instruksional adalah proses yang sistematik
dalam mencapai tujuan instruksional secara efektif dan efisien
rnelalui pengidentifikasian masalah, pengembangan strategi
dan bahan instruksional, serta pengevaluasian terbadap
strategi dan bahan instruksional tersebut untuk menentukan
apanya yang harus direvisi.
Kedua definisi tersebut mengandung pengertian yang
sama, yaitu:
1. Tujuan atau hasil akhir pengembangan instruksional adalah
satu set bahan.dan strategi instruksional yang efektif dan
efisien dalam mencapai tujuan instruksional. Hasil ini
disebut pula sistem instruksional.

31

,i

..
i'

PEKERTI

i."1 : ".:'

2. Proses pengembanganinstruksional dimulai dengan mengidentifikasi masalah, dilanjutkan dengan mengembangkan


strategi dan bahan instruksional, kemudian diakhiri
dengan mengevaluasi efektifitasdan efisiensinya. Proses
evaluasi di sini termasukkegiatan revisi.
,

';,

Pada ke&empata~: laiq', ~atflm diskusi dengan Prof. John


Keller di Florida State University awal .tahun 1987, penulis
mengajukan pert~?ra~~1 seb~&ai~eri~~t~,f}pa.,~,e~a de.sain instruksional ,,~en,!1i,llll,: !iP~rrg,:~W.~a,:n~lln ! I:l,q~,l~~~ksNnal bila kenyataannya para'' ali~i:Ihen'~g~n#anislil~llQesain'instruksional
sebagai proses y~gi s~IPalde~g~n proses pengembangan
instruksional? PefmPiti~~rt ,!~:~~ ~e~gun~ang . ~iskpsi 'yang
mendalarn di antat~\li~~roi.:I~~~hlfnya; (h~apal. kesdpakatan
bahwa secara kon~~pt~iil, ::'proses
desain dirnulai dari
identifikasi masalaha~~\i''ideJ1.~if,ikasii:kebu\uhan instruksional
dan diakhiri dengan ide*ifika&~ bahan :d,an strategi instruksional.
Sedangkan proses pengembapgandhulai dengan m~milih
atau mengernbangkan.bahan instruksional dan menuangkannya
ke dalam strategi instruksionalyang telah didesain, kemudian
diakhiri dengan mengevaluasi strategi berikut bahan instruksional tersebut untuk meningkatkan efektifitas dan
efisiensinya.
Tetapi, perbedaan secara konseptual itu sulit dipraktikkan,
karena pada kenyataannya proses pengembangan instruksional
bila harus berdiri sendiri akan mulai dari titik awal, yaitu
identifikasi masalah sebagaimana halnya permulaan kegiatan
desain .instruksional. 'Sebaliknya, proses desain instruksional
bila harus I b,erdiri sendiri tidak berhenti pada pengidentifikasian bahan dan strategi instruksional, karena desain seperti
itu tidak mungkin dapat diketahui kualitasnya bila belum
digunakan untukmengembangkan bahan instruksional. Karena
itu, proses desain instruksional itu selalu diteruskan.ke proses
selanjutnya, yaitu produksi danevaluasi sehinggamenghasilkan
sistem ,instr~ksional"Yiang .diinginkan. Pada akhirnya, dapat
disimpulkan :p~hW~":, ~~lam,~raktik proses. desain dan
pengembangan lllstlj4kslO,nai tersebut sama panjangnya,
;J' i "~,: ,
~
Karena itu, dalam buku ini penulis in gin menggunakan
istilah pengembangan ,instruksional dengan pengertian
desain dan pengembangan Instruksional karenaalasan praktis,
1:'1:::'1 ',1
'

!' ;\::
;: i: ~ j; ~
32
iI
, !' 1Iili ':1
"!,'

r :

l\i

~I:!
1\.

"
"

: i

Ii

',I

Ii' .

1:

j~

'I"

Fi

'I
:

PEKERTI

Alasan ini akan dapat Anda benarkan bila memperhatikan


model-model yang akandimunculkan dalam subbab berikut
ini. Sebagian di antaranya menggunakan istilah pengembangan
Instruksional, dan sebagian lagi menggunakan kata desain
instruksional. Tetapi, proses yang ditampilkan keduanya samasama meliputi proses desain, produksi, dan evaluasi formatif.
Dalam suatu siklus lengkap kegiatan instruksional, letak
pengembangan instruksional berada pada tahap pertama,
Selanjutnya, menyusul pelaksanaan kegiatan instruksional
sebagai tahap kedua dan evaluasi instruksional sebagai tahap
ketiga. Perhatikan bagan berikut ini.
Tahap I
Pengembangan
Instruksional

Tahap II
Pelaks.anaan
Kegiatan
. Instniksional

Tahaplll
Evaluasl
lristruksional

t t l
L_~~

~_~

Gambar 5. Siklus Lefl9kap Kegiatan Instruksional

Seluruh isi buku ini mengupas tahap pertama saja. Proses


yang terjadi pada tabap pertama itu cukup panjang. Untuk
memabami proses tersebut dalam subbab berikut ini diajukan
lima model pengembangan instruksional. Kelima model tersebut diperbandingkan untuk melihat persamaan dan perbedaanoya.

B. Berbagai Model Pengembangan Instruksional


Penggunaan Pendekatan Sistem dalam Pengembangan
Instruksional telah menghasilkan berbagai model. Tidak
semua model itu serupa. Sebagian sesuai untuk digunakan
untuk memecahkan masalahyang lebih luas, sebagianIag i
sesuai untuk pemecahan masalah yang lebih sempit, yaitu di
suatu lembaga yang mempunyai kondisi khusus. Berikut ini

33

PEKERTI

disampaikan lima model pendekatan sistem yang telah


digunakan, baik oleh pengarangnya sendiri maupun oleh orang
lain. Perbandingan kelima model ini diturunkan dad karya
Twelker, Urbach, dan Buck (1972). Judul dan pengarang
kelima model yang tergolong sebagai pendahulu tersebut
tampak dalam daftar berikut ini.
'

Judul

Pengarang

tor

1.

System Approach
Education (SAFE)

2.

Michigan State University


Instructional Systems
Development Model \:

Tahun

Corrigan

1966

Barson

1967

Tracey,

1967

3.

4.

5.

Project MINERVA
,
Instructional Systems ;'1
Design
'
-!
Teaching

i~'

"

!,

R~sea;'epb'Sj5t~qJ!
, H ;'t'_:;" .l~ i,: ;:jf

Banathy InstructJoh~/:

II

T'
Devefop~ent St~~trrr~: j~J;:! Ii

ii\.

':

Hal-nr.eu'"
, I,ll,!'"

1968

"I

1968

Banathy

Bermula dari bagan sederhana pendekatan sistem seperti


yang digambarkan dalamlgambar 3 halaman 10, kelima
pengarang tersebut mengernbangkan model yang jauh lebih
kompleks.
'

34

I,

PEKERTI

MENEHTUKAN nJJUAN WSSI


IoIENEHTUKAN PERSYARATAN PENAlolPIlAN WSSI
MENENTUKAN HAIoIIlATAN
lEHEHTUKAN PROAL MISSl
\-:--:r---------l*I----'----~-_I

ANAUSIS
SISTEM

MELAKUKAN ANAUSIS F1JNGSlONAI.

*1----------/
UELAKIlKAN AHALISlS lUGAS

\-;-::r--------l * 1 - - - - - - - - 1
t.IEl.AKUKAN ANAlISIS METODE DAN ALAT
I---------J

\-:-".--------L

APA

MEMBUAT KEPUTUSAN FINAL ( TERlJSi1lERHENTI )

x
IoIENGIOENTIFIKASI STRATEGl
PEREHc.w.AN MASAlAH
IoIENDESAJN PENGELOLAANIRENCAHA

PEI.AI<SANAAN UNTUK SETIAP AlTERNATIF


MENGANAUSAAlTERNATIF DARI SEGI
KEEFEKnFAN DAN KEUNTUNGAN BIAYA
MEMlUH RENCANA PENGELOLAAN DAN PElAKSANAAN
YANG UEIolPIJNYAI KEEFEKTIFAN B1AYA YANG OPTIMAL

SINTESIS
SISTEM

MENYUSUN RENCANA VAUDASl ATAU TES LAPANGAN


(UETODEIALATJIotEDIA I SEPERTI D1PERLUKAN
IIiI'l.ENENTASU
PENGELOUAN PEMANTAUAN RENCANA PElAKSANAAN
IolENGEVAlUASl PENANPllAN ( PROSES DAN PRODUK)
MEREVISI UNTUKlolENCAPAI PRESTASl YANG D1PERSYARATKAN

C3J

MENENTUKAN PERSYARA!AN DAN HAIoIIlATAN

Gambar6. Pendekatan 1, SAFE Model

35
'j

PEKERTI

. MENENTUKAH TW~ PEtODIKAH lJMUM

P:EAGURtJAH T.INGGI. FAKUlTAS, JURUSAN, MATA KULIAH

MEMIUH BENTII( 1N'0RIiIAS1 YNi REPRESENTATiF

MENGIJMPUlJ<AH, MEPIlESAlN, MEMPIalUKSI


MEDIA YNi TElAH D1TENTUIWI

MENGEMIlANGKAN INSTRUMEN EVAlllASl


DENGAN MEI'lGGl&KAN Oo\TA
MAHASISWA DAN INFORIiIASI MEDiA

,\ ~

,~_-'-_---L

---,

MENGIDENTIAKASI DAN MEMPERlWKI KESAlII

I:'

eVAllIASI OAN MENGUlAHG KEMBotoU UNTil(

(~ I :;; i !~EMPERlWKJ SEeAG,AllWlA DtPERl.UKAH


,,'

I,:

Gambar 7. Pendekatan2, BaganAiur The


Michigan State Model
'!,
i;;

36

,I'

-.

,.

PEKERTI

DATA
PEKERJAAN

v
1otEHGJ00NTIAICASi
PERSYARATAN
LATIHAH

L
MERUIoIUSKAN
TU.lIAN
PENAMPILAN

.1

MENYUSUN
TES

1<-

PENAMPlLAN

::

,,-

MEMlUHISI
WATA

MEMlUH

STRATEGI

PElAlARAN

INSffiUKSlOHAL

MEMPROOUKSl

BAHAN'

INSffiUKSIOHAl

1
f-)

MENGevAlUASl
l<EGIATAN
~smUKSlOHAl

t.IEI.AKSANAKAN
KEGlATAN
INSTRUKSlOHAL

1<---' DAN MENGANAUSA ~MELAKSANAKAN

f--)

TES

.J,
nNDAK
LANJUT
UJlUSAN

GambarB.Pendekatan a, Bagan AlurProject MINERVA Model

37

PEKERTI

TAHAP
PENDEANISlAN
DAN

PENGElOlAAH
S1STEU

TAHAP

M&ISIS
DESAlN

TAHAP
PENGEUIlANGAN
DAN,
PENILAIAN

MENGIDENTlFIKASl (1)
MASALAH
INSTRUKSIONAL

MENENTUKAN DAN (2)


MEMILIH
STAF PENDUKUNG

MENENTUKAN (3)
KONTAOL
PENGELOLAAN

PEKERTI

r------------------,

ANAUSlSDAH
PERULlUSAN TlWAH

~@-~-'
MEHEWKAHMENllAI

TUGAS'

S1STEJd

f--)

BElAJAR YANG

MASUKAH

AKTUAl

IMASrll

TUlJAH

I
I
I
I

I-

OESAIN DARI SlSTElil TERSEBUT

TESACUAH
PATOKAN

1:

I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I

K=tl
.

I
I

D1STRlBUSI

I<---J

I
I
I
I
I
I
I
I
I
I

IPEHJAOWALAHI

1
III'IBlENTASl DAN KOHTROl KUAUTAS

LAnHAM SISTEM

r
{.

{.

~TESSlSTa..
I

I~l

-1 ~AWASlI

---J

I- UENGUBAH UNTUK MEIlINGKATKAN 1

L_'
_

rAHAlJSIS FUNGSl I

DAH KARAKTERI-

KOUPETENSt -) SASl TUGAS-TUGAS

BELAIAR -

I~R~1

I
I
I
I
1<- -->J

AHAUSlS DAN PERUllUSAN T\JGA&-T\JGA8 BElAlAR

JI _

GARIS UMPAHllAUK

Gambar 10. Pendekatan 5, Bagan AlurThe Banathy Model

39

PEKERTI

Kelima model pendekatan sistem tersebut dapat dibandingkan dari segi pentahapan prosesnya. Tiga tahap yang
akan digunakan sebagai dasar perbandirigan adalah:
.
.
Tahap pertama, Definisi Masalah dan Organisasi yang meliputi tiga
langkah, yaitu:
a. Identifikasi Masalah;
b. Analisis Latar (Settillg);
c. Organisasi Pengelolaan.

Tahap kedua, Analisis dan Pengembangan Sistem yang meliputi


tiga langkah pula, yaitu:
a. Identifikasi Tujuan;
b. Penentuan Metode;
c. Penentuan Prototipe.
!

Tahap keti ga, Evaluasi yang meliputi tiga langkah sebagai


berikut:
a. Melaksanakan tes atau uji coba prototipe;
b. Menganalisis hasil uji coba;
c. Implementasi atau uji coba ulang.

Marilah kita mulai memperbandingkan kelima


tersebut langkah demi langkah.

model

1. Tahap pertama, Definisi Masalah dan Organisasi yang


meliputi tiga langkah.
a.

ldentifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan proses membandingkan
keadaan sekarang dengan keadaan yang sehamsnya, Hasilnya
akan menunjukkan kesenjangan antara kedua keadaan
tersebut. Kesenjangan ini disebut kebutohan(needs). Bila
kesenjangan kedua keadaan tersebut besar, kebutuhan ito
perlu diperhatikan atau diselesaikan. Kebutuhan yang besar
danditetapkan untuk diatasiitudisebut masalah, sedangkan
kebutuhan yang lebih kecil mungkin untuk sementara atau
seterusnya diabaikan. Ia merupakan kebutuhanyang tidak
dianggap sebagai masalah, Hasil akhir dati identifikasi
masalah adalah perumusan tujuan umum.

40

PEKERTI

Bila kita perhatikan, bahasa yang digunakan kelirna


model di atas berbeda, tetapi maksudnya sama. Perbandingan istilah yang digunakan oleh kelirna model tersebut
tampak sebagai berikut:

MODEL

KEGIATAN

Teaching Research System

Mendefinlslkan masalah
instruksional

Michigan State University


Instructional System: Development Model

Menentukan tujuanpendldikan
umum: Perguruan Tlnggl,
Fakultas, Jurusan, Mata kullah.

SAFE

(1) Menllal kebutuhan;


(2) Menentukan tujuan misi;
(3) Menentukan persyaratan
penampllan (performance)
mlsl
(4) Menentukanhambatan;
(5) Menentukan profll misi;
(6) Melakukan anallsls
fungslonal
(7) Melakukan analisis tugas;
(8) Melakukan analisis
metode dan alat;
(9) Membuat keputusan
kelayakan final (terus
atau berhentl);

Project MINERVA

Mengumpulkan data
pekerjaan

Banathy

Maksud slstem

Tabel 2. Perbandlngan IstIJah untuk Menyatakan Identlfikasl Masalah

41

b.

PEKERTI

Analisis Latar
Analisis
latar meliputi kegiatan menentukan
karakteristik mahasiswa dan sumber belajar yang tersedia
untuk digunakan dalam pemecahan masalah. Apa bahasa
yang dipergunakan oleh kelima model di atas?
MODEL

KEGIATAN

Teaching Research System (1) Mengldentiflkasl populasl


mahasiswa
(2) Mengumpulkan bahan

pelajaran

yang relevan;

(3) Menganalisis context


lnstrukslonal;
Michigan State University
Instructional Systems
Development Model

Mengumpulkan data masukan

SAFE

Mengidentiflkasi strategi
alternatlf pemecahan masalah

Project MINERVA

Mengldentlflkasi keperluan
pelatihan

Banathy

(1) Menilai kompetensl masukan


(2) Tes Masukan

Tabel 3. Perbandlngan IstflahuntuK Menyataken Anallsls Latar

42

PEKERTI

c.

Organisasi Pengelolaan
Kegiatan yang tennasuk Organisasi Pengelolaan cukup
luas, yaitu meUputi:
1. Pendefmisian tugas dan tanggung jawab
yang
diperlukan;
2. Pembentukan jaringan berkomunikasi untuk mengorganisasikan pengumpulan dan pendistribusian informasi kepada tim pengembangan;
3. Pembentukan reneana proyek dan prosedur kontroI.
Kegiatan pengembangan instruksional untuk skala luas
seperti skala nasional, regional, perguruan tinggi atau
lembaga, biasanya dilaksanakan oleh suatu tim. Untuk itu,
perlu dibentuk suatu organisasi formal yang membagi tugas
dan tanggung jawab setiap anggota tim dengan jelas agar
kegiatan pengembangan instruksional ito sejauh mungkin
terhindar dari hambatan atau kegagalan. Marilab kita lihat
kembali kelimamodel yang kita bandingkan masing-masing
dan tenninologi apa yang mereka gunakan untuk menjelaskan pengertian organisasi pengelolaan ini.
MODEL

KEGIATAN

Teaching Research System

(1)Menentukan dan memilih


stat pendukung
(2) Menentukan kontrol
pengelolaan

Michigan. State University


Instructional Systems
Development Model

Tidak ada

SAFE

Mendesain pengelolaan atau


rencana pelaksanaan set lap
alternatif.

Project MINERVA

Tidak ada

Banathy

Tldak ada

Tabel 4.

Perbandinganlstllah untuk Menyatakan Organisasi


Pengelolaan .
43

2.

PEKERTI

Tahap kedua, Analisis, dan Pengembangan Sistem

Hasil kegiatan tahap pertama, yaitu Definisi Masalah dan


Organisasi memberikan arah kepada tim atau pengembang
instruksional untuk memulai kegiatan tahap kedua, yaitu tahap
Analisis dan Pengembangan Sistem. Tahap ini meliputi tiga
langkah, yaitu: identifikasi tujuan, penentuan metode, dan
pembuatan prototipe.
a.

Identifikasi Tujuan
Tujuan adalah apa yang akan dapat dikerjakan oleh
mahasiswa setelah menyelesaikan prosesbelajar. Tujuan ini
haruslah bermanfaat bagi mahasiswa. Ia berbentuk perilaku
mahasiswa yang dapatdiukur. Tujuan ini kemudian diuraikan
menjadi tujuan-tujuan khusus, yaitu tujuan yang lebih rinei
dan spesifik. Selanjutnya, tujuan khusus ini disusun dalam
urutan yang logis. Atas dasar tujuan inilah isi pelajaran
dipilih dan disajikan kepada mahasiswa kelak.
Kelima model yang kita bandingkan menggunakan istilah
yang berbeda untuk menggambarkan pengertian tujuan
tersebut.
MODEL

KEGIATAN

Teaching Research System (1) Mengidentlfikasi tujuan


perilaku (behavioral
objectives)
(2) Menentukan tujuan-tujuan
Khusus
Michigan State UnIversity
Instructional Systems
Development Model

Menentukan secara speslfik


perilaku awal dan akhlr

SAFE

Menentukan Tujuan Misi

Project MINERVA

Merumuskan tujuan
penampllan

Banathy

Speslflkasl tujuan

Tabel 5. Perbandlngan (stflsh untuk Menyatakan Identlflkasl Tujuan

44

PEKERT/

Bila kita perhatikan dengan cermat, kata tujuan yang


digunakan kelima model tersebut bervariasi. Ada yang
menggunakankata tujuan yang menunjukkan perilaku

(behavioral objective). tujuan penarnpilan (performance


objective). atau tujuan saja (objective) untuk pengertian
yang sarna.

b. Penentuan Metode
Penentuan metode dan media instruksional sangat
penting untuk memungkinkan mahasiswa mencapai tujuan
instruksional, Metode yang diidentifikasi dapat lebih dari
satu, atau beberapa altematif metode, karena dalam uji
coba adakemungkinan metode yang digunakantidak efektif
sehingga perlu diganti dengan metode lain.

Istilah yang digunakan para ahli bervariasi. Ada yang


menggunakan istilah metode instruksional untuk pengertian
cara dan alat-alat yang digunakan dalam kegiatan
instruksional, ada pula yang memisahkan pengertian metode
dan media sebagai cara dan alat transmisi. Sebagian lagi
menggunakan istilah . strategi instruksional untuk
menggantikan kedua kata metode dan media tersebut.
Berbagai istilah digunakan oleh kelima model yang
kita bandingkan tampaksebagai berikut:

45

PEKERTI

MODEL

Teaching Research
System

Michigan State
University Instructional
. Systems Development
Model

SAFE

Project MINERVA
Banathy

KEGIATAN
(1 ) Mengldentlflkasl tlpe

belajar;
(2) Menentukan kondlsi belajar;
(3) Menentukan penyesualan
terhadap porbedasn
individual;
(4) Mengldentiflkasl bentuk
keglatan Instrukslonal;
(1 ) Merencanakan strateg i;
(2) Mengembangkan.contoh
pengajaran untuk lsi
pelajaran tertentu;
(3) Memilih bentuk informasl
yang representatif;
(4) Menentukan alattransmisi.
(1 ) Memllih rencana pengelolaan
dan pelaksanaan yang
mempunyai keefektlfan biaya
optimal;
(2) Menganalisa alternatlf dari
segl keefektlfan dan
keuntungan biaya;
(3) Meml~lh pengelolaan atau
rencana pelaksanaan yang
mempunyaJ efektlvitas blaya
yang paling optimal.
(1 ) .Memilih lsi matapelajaran;
(2) Memlllh stralegl Instrukslonal.
(1 ) Menemukan tugas-tugas
belajar:
(2) Mengidentifikasi dan
karakterisasl tugas-tugas
belajar yang aktual;
(3.) Menganallslsfungsi;
(4) Menganallsls komponen;
(5) Pendlstrlbuslan;
(6) Penjadwalao.

Tabel6. Perbandlngan lstllah untuk Menyatakan Penentuah Metode

46

PEKERTI

c.

Pembuatan Prototipe .
Pembuatanprototipe merupakan permulaan produksi
untuk menghasilkan barang yang sesungguhnya. Di samping itu, pada kesempatan ini pula dimulai pengembangan
desain evaluasi dan pennulaan review teknis terhadap
sistem tersebut oleh para ahli serta penyusunan tes yang
akandigunakan untuk mengukur perilaku mahasiswa, baik
sebelum maupun setelah uji coba nanti,
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kelima model yang
kita bandingkan tampak dalam taOOI di bawah ini,
KEGIATAN

MODEL

Teaching Research System (1) Mengembangkan prototlpe


Ins1ruksional;
(2) Menyusun alat pengukur
penampllan;
(3) Menyusun alat pengukur
penampilankhusus; .
(4) Review teknls dan
komunlkasl;
Michigan State University
Instructional System
Development Model

(1) Mengumpulkan,
mendesaln, dan memproduksl media yang telah
ditentukan;
(2) Mengeinbangkan raslonal
untuk tes awal dan akhir;
(3) Mengembangkan instruman avaluasi dongan
Informasl tentang manarnahaslswa dan media.

SAFE

Tidak spssltlk

Project MINERVA

(1) Memproduksi bahan


instruksional;
(2) Menyusun tes penampilan.

Banathy

Tes Acuan Patokan

label7. Perbandlngan IstUah untukMenyatakanPembuatan Prototipe

47

o
3. Tahap ketiga, Evaluasi yang meliputi
sebagai berikut:

tiga

PEKERTI

langkah

Tahap akhir dari suatu proses pengembangan instruksional adalah evaluasi. Hasilnya akan menjadi dasar
pengambilan keputusan tentang dua hal. yaitu: seberapa baik
prototipe instruksional dalam mencapai tujuan, dan bagian
mana yang masih lemah sehingga perlu direvisi serta
bagaimana merevisinya?
Banyak ahli pengembangan instruksional berpendapat
bahwa evaluasi merupakan dasar dalam pendekatan sistem,
sehingga tanpa evaluasi yang memadai seluruh proses
pengembangan instruksional itu kehilangan maknanya.
Tahap evaluasi meliputi tiga langkah sebagai berikut:
pelaksanaan uji coba prototipa, analisis hasil dan irnplementasi/penggunaannya kembali.
a.

Uji Coba Prototipe Instruksional


Uji coba prototipe biasanya mengarnbil bentuk-bentuk di
bawah ini:
1) Uji cobapengembangan untukmelihatkomponen yang
perIu direvisi;
2) Uji coba validasi untuk melihat seberapa jauh
mahasiswa mencapai tujuan isntruksional;
3) Uji coba lapangan untuk menentukan apakah pengajar
dan mahasiswa lain dapat menggunakan bahan-bahan
tersebut.
Berbagai .istilah dan langkah digunakan oleh
pengembang instruksional untuk melaksanalcan uji coba
prototipe ini.

48

PEKERTt

MODEL

KEGIATAN

TeachIng Research System (1) Ujl coba prototlpe;


(2) Menyelenggarakan tes
penampllan;

Michigan State University


Instructional Systems

Tes lapangan dengan kelompok


mahasiswa .

Development Model
SAFE

(1) Menyusun Rencana Validasi


atau Tes Lapangan (rnetoce/
alat/media) seperti diperlukan;
(2) Implementasllmemantau
pengelolaan dan rencana
pelaksanaan;
(3) Mengevaluasi penampilan;

Project MINERVA

(1) Melaksanakan kegiatan


Instruksional;
(2) Melaksanakan
(dan menganalisis) tes;

Banathy

(1) Latlhan sistem;


(2) Tes sistem;

Tebel

b.

s.

Perbandingan [stilah untuk Menyatakan Uji Coba Prototipe

Analisis Hasil
Analisis hasil melibatkan tiga jenis kegiatan, yaitu:
pertama, tabulasi dan memproses data evaluasi, Kedua,
menentukan hubungan antarametodeyangdigunakan, hasil
yang dicapai, dan tujuan yang ingin dicapai, Ketiga,
menafsirkan data. Kualitas revisi yang akan dibuat tergantung kepada interpretasi ini.

Kelima model yang kita perbandingkan menggunakan


istilah yang berbeda seperti tampak dalam tabel berikut.
49

PEKERTI

MODEL

KEGIATAN

Teaching Research System (1) Menganalisa hasil uji coba;


(2) Menganalisis tes;
Michigan State University
Instructional Systems
Development Model

Tidak spesifik

SAFE

EvaLuasi penampilan
(proses dan prod uk)

Project MINERVA

Mengevaluasi keglatan
instruksional

Banathy

Mengevaluasi

.."4

Tabel 9. Perbandingan lstilah untuk Menyatakan Analisis Hasil

c.

Implementasi/uji coba ulang


Berdasarkan interpretasi data hasil uji coba revrsi
dilakukan dari revisi keeil sampai revisi total. Akhimya,
keputusan harus diambil untuk mengakhiri uji coba ulang
dan kemudian mengimplementasikan.
Kelima model yang kita bandingkan menggunakan
beraneka ragam istilah untuk menyatakan hal tersebut.

50

PEKERTf

MODEL

KEGIATAN

Teaching Research System MemodlfiKaslslstem


instruksionaJ
. Michigan State University
instructional Systems
Development Model

(1) Mengidentifikasiletakdan
mangoreksi kelamahan;
(2) Mengevaluasi dan
mengulang
kembali untuk memperbaiki
sebagaimana diperlukan.

SAFE
prestasi yang diinglnkan.

Merevisi untuk mencapai

Project MINERVA

(Tertuang dalam bentuk garis


umpan ballk)

Banathy

Mengubah untuk memperbaiki

Tabel10. Perbandingan Istilah untuk Menyatakan Implementasi/Uji


Coba Ulang
,

Bila Anda perhatikan perbandingan kelima model di


atas, ternyata di sarnping istilah-istilah yang rnereka gunakan
tidak sama, urutan Iangkah-langkah yang mereka tempuh
juga tidak selalu sarna.
Ini menunjukkan bahwa proses pengembangan in. struksional itu tidak terdiri atasurutan langkah-langkah yang
baku,atau yang tidak dapat ditawarlagi. Yang ada dan
sudahbaku adalah model dasar untuk pengernbangan
instruksional, yaitu: mengidentifikasi, mengembangkan,
dan mengevaluasi atau merevisi.

51

PEKERTJ

C. Model yang Terbaik


Mengikuti perbandingan kelima model pendekatan sistem
yang diterapkan dalam desain instruksional mungkin ada orang
yang ingin memilih salah satu yang terbaik dan menganggapnya
sebagai model standar untuk semua rnacam kegiatan
instruksional. Keinginan seperti itu sebaiknya dibatalkan,
sebab setiap model itu baik dan sesuai untuk kondisi tertentu,
Kondisi yang dimaksud adalah besar-kecil atau komplekstidaknya suatu Iernbaga pendidikan, ruang Iingkup tugas
lembaga pendidikan, serta kemampuan pengeJoJa. Model
MINERVA misalnya sering digunakan daJam diklat karena
sesuai untuk menghasilkan sistem instruksional yang mengarah
pada pembentukan keterampilan kerja karyawan.
Setiap model itu dimaksudkan untuk menghasilkan. suatu
sistem instruksional. Prosedur yang mirip digunakan an tara
satu dengan yang lain, tetapi mereka menggunakan penjelasan
urutan dan bahasa yang tidak selalu sarna. Seseorangpengembang instruksional dapat memilih salah satu di antaranya yang
dianggapnya sesuai, atau mungkin pula mengkombinasikan
beberapa di antaranya untuk menyusun suatu model baru. Pertanyaan yang lebih mendasar adaJah: seberapa jauh model itu
dapat digunakan secara efektif dan efisien?
I

D. latlhan

Di dunia masih banyak lagi model pengembangan instruksional lain di luar yang telah diperbandingkan di atas.
Lima buah di antaranya adalah:
1. Instructional System Design, karangan Gagne (1979)
2. Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI)
yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia (l975)
.
3. Systems Approach Model for Designing Instruction,
karangan Dick dan Carey (1985)
4. AT&T Instructional Development Model (1985)
5. Model Pengembangan Instruksional (MPI) yang digunakan
.
dalam buku ini (1987).
'
Kelima model tersebut tampak sebagai berikut: .

52

PEKEIm

S"". Desi,. (Gape, 1979)

1. 11l9tnu:tiolUJl I .

a.

Tingkat Sistem
(1) Analisis Kebutuhan, Tujuan Umum, dan Prioritas
(2) Analisis Sumber, Hambatan, dan AlternatiC Sistem
Peluncuran
.
(3) Penentuan Lingkup dan Urutan Korikulum dan
Mala pelajaran; Desain Sistem Peluncuran.

b.

Tingkat Matapelajaran
(4) Menentukan Struktur Matapelajaran dan Urutan;
(5) Analisis Tujuan Matapelajaran.

c.

TingkatMatasajian
(6) Pendefinisian Tujuan Penampilan;
(7) Mempersiapkan Rencana Matasajian (atau modul);
(8) Mengembangkan~ Memilih Bahan. Media;
(9) MenilaiPenampilan Mahasiswa(pengukurPenampilan).

d.

Tingkat Sistem
(10) Persiapan Pengajar;
(II) Evaluasi Formatif;
(12) Tes.Lapangan, Revisi;
(13) Evaluasi Sumatif;
(14) Pelaksanaan dan Difusi.

53

PEKERT/

2. PPSI

I.

PERUMUSAN TWUAN

III I<EGIATAN BElAlAA


1. MerLllluskon semuo kemmg-

1. Mengg-rokon sislam yang


operasional
2 8erbentclk ho:;H belojor
3. GerbenlUk tingkah Ioku
~. Hanyo ado sctu ffngkoh laku

khan kegiolon belajor untuk


meocopoi f4uon
2 Menelopkon kegiolCl'l belojor
yang ffOOk peru dlempJl
3. 'Menelopkon kegiolan yang
okon dilampUl

,,
,,

,,

,,
,,,
,,
,,,
,
i~

PET JGEMBANGAN AlAT EVALUASI


1. M~nl\J<CJ"l jeris les yeng
,Jkon digunakon unluk meci:al lercopd r.dlJknyo

KEGIATAN
1
1. Men.rnuskan moleri pelajoron ~

.
L;

tujuon

I
I

~.

M-ny~urc

tt:?s unhJ< manila

r;\osirg-moslng fujuon

2. Menalcpko'1 meloes yeng dlpokal

Sll11ber

L----r----...J

yang dpokai

,~dwd

i \
:

~
----_._-------,

I.

1,

-.

:
:

MemII1 alel pelojaron don

4. Men\'USU1

I
I
L-

I
i

r'I. PENGEMBANGAN PROGRAM

, 2.

Mt'ng\:G':1;';cr~

ie:'i ,:~'y'/~
meter! r,;=-o

Me:!ycmpoik~;n

lojoron

3. Me~odokon !QS 'J~:hir


~ .. p.,ibc"'an

I '

~
i

Garnbar 11. Model Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional


(PPSI)

54

3.

Model Did and Carey (1990)


MEREVISI

KEGIATAN
INSTRUKSIONAL

--T-----r--'
I

MENGIDENTIFIKASI TUJUAN
INSTRUKSIONAL ....>
UMUM

MENULIS
TUJUAN
K1NERJA

1->1

-!-

-!-

MENGEMBANGKAN BUfIR TES

MENGEMBANGKAN STRATEGI
INSTRUKSlONAl

AcuAN

PATOKAN

ILJ'I

I
I

.J.

I--~
I.,

MENGEMBANG- r~ MENDESAIN
KAN DAN
DAN MELAKSAMEMIUH BAHAN
NAKAN
INSTRUKSIONAL .
EVALUASI
FORMATIF

MENGlDEtrnAKASI
L>I PERllAKU DAN
KARAKTERISTIK
AWAlSlfMA .1

L~

-----------------

Gamb8r12. The Dick and Carey Systems Approach Model forDesigning Instruction

55

I
I
I
I
I
-'I

MENDESAIN
DAN MElAKSANAKAN
EVALUASI
SUMATIF

PEKEFlTl

4. AT&T Instructional Development Model (1985)

AnO~9S
~ebuluhon

AJloflm

Pa:~aonl
Keler~OI\

Pengerroangan
~an

-t

P~ronaon

Menu~

r~uon

-t .

tvo.bJ~

Desoin
In~ru~OlIal

r--

Gambar 13. A T&T Instructional Development Model

S. Model Pengenibangan Instruksional yang digunakan


dalam buku iBi (lihat gambar 4, halaman 13)
Perhatikan dengan seksama kelima model tersebut, kernudian bandingkan dua buah di antaranya dengan menggunakan
tiga tahap seperti yang tercantum dalam halaman 39, yaitu:
Tahap pertama, Definisi Masalah, dan Organisasi
I
a. Identifikasi Masalah;
. b. Analisis Setting (Latar);
. c. Organisasi Pengelolaan.

56

PEKERTI

Tahap kedua, Analisis dan Pengembangan Sistem


a. Identifikasi Tujuan;
b.

Penentuan Meiode;

c. .Pembuatan Prototipe.
Tahap
a.
b.
c.

ketiga, Bvaluasi
Melaksanakan tes atau uji coba prototipe;
Menganalisis hasil uji coba;
Implementasi/uji coba ulang.

Diskusikan hasil latihan Anda dengan ternan Anda atau


kerjakan latihan tersebut bersama ternan Anda.

E. Rangkuman
Model-model pengembangan instruksional semakin lama
semakin ban yak, karena setiap ahli, setiap institusi cenderung
rnenciptakan model sendirisesuai dengan kebutuhan institusi
yang akan menggunakannya dan kebutuhan populasi sasaran.
'Tetapi, pada gads besarnya setiap model dapat dibagi dalarn
tiga tahap, yaitu: tahap definisi.tahap analisisdan pengembangan
sistem, dan tahapevaluasi. Setiap tahap terdiri dari beberapa
langkah.
Perbedaan antaramedel yang satu dengan yang Iainterletak
pada empat faktor, yaitu:
1. Tingkat penggunaannya seperti tingkat institusi dan tingkat
.
mata pelajaran:
2. Penggunaan istilah dalam setiap tahap dan langkah..
3. Jumlah langkahpada setiaptahap; .
4. Lengkap tidaknya konsep dan prinsip yang digunakan.
Pad a garis besarnya model yang digunakan dalam buku ini
yaitu Model PengembanganInstruksional (MPI), sama dengan
model yang lain. Ia dibangun berdasarkan prinsip-prinsip belajar
dan instruksional. Model tersebut terdiri atas tiga tahap dan
setiap tahap terdiri dari beberapa langkah.
Tahap pertama, definisi, terdiri dari tiga langkah sebagai
berikut:

57

PEKERTI

I. Mengidentifikasi kebutuhan instruksional dan menulis tujuan


instruksional umum;
2. Melakukan analisis instruksional;
3. Mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal mahasiswa.
Tahap kedua, analisis dan pengembangan sistem, terdiri
dari empat langkah sebagai berikut:
1. Menulis tujuan instruksional khusus;
2. Menulis tes acuan patokan;
3. Menyusun strategi instruksional;
4. Mengembangkan bahan instruksionaI.
Tahap ketiga, terdiri atas satu langkah yaitu melaksanakan
evaluasi formatif. MPI dimaksudkan untuk digunakan pada
tingkat mata pelajaran dan kursus, tidak untuk program studi
dan program yang bersifat lebih iuas. Oleh karena itu, populasi
sasarannya adalah pengajar termasuk dosen, pelatih dan
pengelolaprogram pendidikan dan latihan, yang baru bermaksud
mengembangkan mata pelajaran atau kursusnya secara
sistematik.
Sejalan dengan karakteristik populasi sasaran tersebut,
konsep, prinsip, dan prosedur yang digunakan pada setiap langkah
MPI lebih banyak dimaksudkan untuk keperluan praktis daripada
keperluan teoritis. Karena itu, uraian dan contoh setiap langkah
pada MPI dibuat menjadi sederhana, dan menghindari hal-hal
yang rurnit, terlalu rinei atau terlalu abstrak. Di samping itu,
latihan yang mengikuti setiap langkah dalam MPI diarahkan
kepada pengembangan mata pelajaran atau kursus yang menjadi
tanggung jawab pembaca. Dengan demikian, hasilnya
diharapkan memberikan pengaruh kepada penampilan pembaca
dalarn mengembangkan kegiatan instruksionalnya.

58

PEKERTI

Oaftar Kepustakaan
Reigeluth, C.M., Bunderson, C Victor Merrill, M.David, "What
is the Design Science ofInstruction" dalam Journal 0/
Instructional Development, 1978. I, (2)
Twelker, Paul A., Urbach, Floyd D., & Buck, James E., The
Systematic Development ofInstruction. Stanford: ERIC
Clearinghouse on Media and Technology, 1972.
The AT&T - Communications Learning and Development Organization.Instructional Design Alternatives. Somerset,
New Jersey: AT&T-C~ 1985.

59

PEKERTI

BAB III
MENGIDENTIFIKASI KEBUTUHAN
INSTRUKSIONAl DAN MENU LIS TUJUAN
INSTRUKSIONAl UMUM

r------~-------t

MELAKUKAN
~>
ANALISIS
INSTRUKSIONAl

.'

MENUUS
res ACOAN 1 - - - . , . - - - - - - ,
PATOKAN

~
MENULIS
TUJUAN
INSTRUK
SIONAl
KHUSUS
(TIl<)

'1'

MENGIDENTlFIKASI
PERILAKU DAN
KARAKTERISTIK ~
AWAlMAHASISWA

__

I
I
I
I
I

I_

L.J

MENGEMBAHGKAN
BAHAN
INSTRUK
SIONAl

I
I
I

MENYUSUN
DESAIN DAN
MELAKSANA
KAN EVAlUASI
FORMATIF

SISTEA
INSTRUI
SIONAl

AI

I
I
I
MENYUSUN
I
STRATEGI
INSTRUKSIONAl
I
,I
I
I

I
I

Bab ini mengupas langkah permulaan dari proses


pengembangan instruksional, yaitu mengidentifikasi kebutuhan
instruksional dan penulisan tujuan instruksional umum (TID).
Langkah ini adalah titik tolak dan sumber bagi langkahlangkah berikutnya. Karena itu, kebingungan yang terjadi dalam
langkah permulaan ini akan menyebabkan seluruh kegiatan
pengembangan instruksional kehilangan arab.

60

PEKERTI

BilaAnda mengajar mahasiswa atau bawahan Anda,


pertanyaan yang pertama harus diajukan kepada did Anda
sendiri adalah: Apakah pemberian pelajaran itu memecahkan
masalah? Secara rinei pertanyaan tersebut dapat dipecah menjadi
beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1 . Apa kebutuhanyang dihadapi?
2. Apakah kebutuhan tersebut merupakan masalah?
3. Apa penyebabnya?
4. Apakah pemberian pelajaran merupakancara yang tepat
untuk memecahkan masalah?
5. Apakah pengetahuan, keterampilan atau sikap yang Anda
ajarkan itu benar-benar belum dikuasai mahasiswa dan
penting bagi mahasiswa?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan
cermat bila Anda tidak melakukan suatu langkah awal yang
seharusnya dilakukan pengajar, pengelola program.pendidikan
atau pengembang instruksional, yaitu mengidentifikasi
kebutuhan instruksional dan menulis tujuan instruksional umum.
Langkah pertama ini merupakan rangkaian dari dua kegiatan
yang dijadikansatu karena keduanya sangat bertalian erato
Hasil kegiatan tpertama, yaitu mengidentifikasi kebutuhan
Lnstruksional. tidak lain daftar pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang masih belum dikuasai mahasiswa dan perlu dikuasai
rnahasiswa. Atas dasar hasil kegiatan pertama ini dilakukan
langkah kedua, yaitu perumusan TID.

,.
Marilah kita ikutiuraian dan con tab setiap kegiatan di atas.

61

PEKERTI

A. Mengidentifikasi Kebutuhan Instruksional


1. Pengertian Kebutuhan Instruksional
Kebutuhan adalah kesenjangan keadaan saat ini dibandingkan
dengan keadaan yang seharusnya. Dengan perkataan lain,
setiap keadaan yang kurang dari yang seharusnya menunjukkan
adanya kebutuhan. Apabila kesenjangan itu besar atau
menimbulkan akibat lebih jauh sehingga perlu ditempatkan
sebagai prioritas untuk diatasi, kebutuhan itu disebut masalah.
Dalam bidang pendidikan, misalnya, keadaan saat ini
menunjukkan lambatnya para lulusan menerima ijazah dari
perguruan tinggi temp at mereka kuliah. Para lulusan harus
menunggu lama untuk mendapatkannya, sebelum dapat
mernpergunakannya dalam melamar pekerjaan. Setelah dite liti
ternyata penyebabnya adalah tidak adanya petugas khusus yang
diberitanggung jawab menyelesaikan ijazah tersebut, Dalam
keadaan seperti ini penyebab masalah yang muncul adalah tidak
adanya tenaga yang diberi tug as untuk .mempersiapkan,
mencetak, dan menyerahkan ijazah kepada lulusan. Untuk
menyelesaikan masalah ini diperlukan pengadaan tenaga khusus
untuk tugas tersebut. Tenaga ini mungkin diambilkan dari unit
lain atau direkrut baru.
Suatu contoh lain, buruknya hasil cetakan majalah yang
dikel uarkan suatu lembaga pendidikan, sehingga mengakibatkan
munculnya protes dari pernbacanya, Setelah diteliti ternyata hal
itu disebabkan oleh mesin yang dipergunakan percetakan itu
tidak berfungsi dengan normal. Beberapa bagiannya rusak.
Masalahnya adalah kurangbaiknya fungsi mesin percetakan.
Untuk itu, diperlukan perbaikan atau penggantian beberapa
bagian dari mesin itu.
Kedua con toh sederhana di atas tidak berhubungan langsung
dengan sistem instruksional. Keduanya bukan kebutuhan
instruksional. Memang tidak semua kebutuhan, juga masalah,
dapat disebut sebagaikebutuhan .lnstruksicnal karena belum
tentu memerlukan penyelesaian dengan melaksanakan kegiatan
instruksionaI.
'
Seringkali orang mencampuradukkan kebutuhan (n.eeds)

dengan keinginan (wants).

62

Kebutuhan adalah kesenjangan

PEKERTI

antara keadaan sekarang dengan yang seharusnya, Kebutuhan


yang menjadi prioritas untuk dipecahkan adalah masalah.
Sehingga dapat dikatakan kalau orang menyebut kebutuhan,
pikiran kita mengaitkannya dengan masalah. Sedangkan
keingina:n atau cita-cita (desire) terkait dengan pemecahan
rerhadap suatu masalah.
Karena itu, Kaufman (1982) mengajak kita untuk
menghentikan kebiasaan melompat ke pemecahan masalah
(keinginan) sebelum kita yakin apa masalah yang kita hadapi.
BHa dapat menghentikan kebiasaan yang keliru itu, kita akan
menghemat biaya, waktu, dan sumber daya manusia.
Proses identifikasi kebutuhan yang dimulai dari
mengidentifikasi kesenjangan antara keadaan sekarang dengan
keadaan yang diharapkan seringkali dilanjutkan sampai kepada
proses pelaksanaan pemecahan masalah dan evaluasi terhadap
efektifitas dan efisiensinya. Hal ini dapat dipahami karena para
ahli dalam bidang ini membahas prosespenilaian kebutuhan
(need assessment) secara tersendiri, Bila mereka tidak
mengaitkannya dengan proses selanjutnya, yaitu pelaksanaan
pemecahan masalah dan evaluasinya, proses menilai kebutuhan
i tu akan kehilangan makna
Tetapi, lain balnya dengan Bab III yang dibahas dalam buku
ini. Proses tersebut ditempatkan sebagai bagian permulaan dari
proses pengembangan. Sedangkan proses pengembangan sendiri
adalah bagian permulaan dari sikius kegiatan instruksional
yang masih harus diikuti dengan pelaksanaan dan evaluasi
instruksional. Karerla itu, dalam bab iniproses mengidentifikasi
kebutuhan instruksional itu hanya sampai pada perumusan
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang perlu diajarkan kepada
mahasiswa. Selanjutnya, hasil tersebut dijadikan dasar
perumusan TIU.

2. Kebutuhan Siapa?
Sekarang perhatikan contoh berikut ini. Dari hasil evaluasi
pada akhir suatu pelajaran mahasiswa berpendapat bahwa apa
yang diperolehnya dalam pelajaran itu kurang berguna bag i
mereka. Di samping itu, penyajiannya tidak menarik serta sulit

63

PEKERTI

dipahami. Hasil belajar mereka pun rendah. Data ini diperkuat


oleh pendapat beberapa pengajar lain yang rnengajarkan mata
pelajaran yang sarna. Mereka berpendapat bahwa sebagian isi
mata pelajaran itu kurang relevan dengan pekerjaan mahasiswa.
Urutannyapun kurang sisternatik. Di samping itu, tesnya kurang
tersusun dengan baik. Masalahnya adalah kurang baiknya
kualitas sistem instruksional untuk mata pelajaran tersebut.
Untuk. mengatasi masalah ini mata pelajaran itu harus didesain
kembali.
Dari contoh di atas dapat dilihat pendapat dari pihak
mahasiswa dan pengajar tentang kesenjangan kualitas
instruksional dalam suatu mata pelajaran. Keduanyakebetulan
satu pendapat. Tetapi, dalam kasus yang lain pendapat kedua
pihak tersebut mungkin berbeda
Siapa sebenarnya yang menentukan ada tidaknya kebutuhan
instruksional? Apakah pendidik, term asuk di dalamnya pengajar
dan pengelola program pendidikan, orang tua atau masyarakat?
Kaufman dan English (1979) menjawab; "mereka semua".
Bagaimana dengan mahasiswa? Apakah mahasiswa tidak perlu
didengar apa masalah atau kebutuhan yang dihadapinya? Dick
dan Carey (1985) mengutip Rossett (1982) yang menyatakan
keharusan melibatkan mahasiswa dalam proses mengidentifikasi
kebutuhan. Mahasiswa yang dilibatkan dalam mengidentifikasi
masalah ini haruslah mahasiswa yang sudah matang terutama
yang sudahbekerja, agar dapat memberikan gambaran masalah
yang relevan dengan pekerjaannya sehari-hari. Dengan dernikian,
dapat diharapkan bahwa pelajaran yang diterimanya sesuai
dengan kebutuhannya.
Jadi, ada tiga kelompok orang yang dapat dijadikan sumber
informasi dalam mengidentifikasi kebutuhan instruksional,
yaitu:
a. Mahasiswa, terutama mahasiswa yang telah bekerja;
b. Masyarakat, termasuk orang tua dan orang yang akan
menggunakan lulusan;
c. Pendidik, termasuk pengajar dan pengelola program
pendidikan.
.
Harles (1975) melukiskan ketiga pihak tersebut dalam bentuk
segitiga sebagai berikut:

64

PEKERTI

Kemampu8n yang AI<an DIcapaI


(Tuju.n)

Mahasiswa

Masyarakat yang

Akan Dllayanl

Masuk

Gambar 14.

Hubungan Kerjasama dan Partlslpasl Ketiga Pihak


dalam Mengldentlflkasl Kebutuhan tnstrukslonat

Secara umum informasi yang dicari dalam proses


mengidentifikasi kebutuhanInstruksional adalah, kompetensi
mahasiswa saat ini untuk dibandingkan dengan kompetensi
yang seharusnya dikuasai untuk dapat melaksanakan pekerjaan
atau tugasnya dengan baik.
Bagi seorang pengembang instruksional informasi yang
bermanfaat adalah informaai ten tang kurangnya prestasi
mahasiswa yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan atau
keterampilan mahasiswa, bukan yang disebabkan oleh
kekurangan peralatan.kerja, sikap atasan atau lingkungan kerja
lainnya. Hanya masalah yang disebabkan kurangnya mahasiswa
dalam mendapatkan kesempatan pendidikan atau pelatihan yang
dapat diatasi dengan kegiatan instruksional.

65

PEKERTI

Sering kali pengembang instruksional terlalu cepat


mengambil kesimpulan bahwa setiap indikator yang
rnenunjukkan rendahnya prestasi mahasiswa atau pegawai harus
diselesaikan dengan pemberian pelajaran atau pelatihan. Begitu
mereka mengetahui bahwa mahasiswa atau karyawan kurang
mampu melaksanakan tugasnya, mereka segera mernutuskan
untuk memberikan pelajaran atau pelatihan kepadanya.
Kesimpulan seperti itu belum tentu benar, Seharusnya
pengembang instruksionaI melakukan satu langkah tambahan,
yaitu mencari faktor penyebab kekurangmampuan mahasiswa
sebelum menentukan cara membantunya dalam mencapai
kemampuan yang diharapkan.
Mahasiswa yang mempunyai prestasi .rendah mungkin
disebabkan oleh berbagai hal, seperti suasana hidup di rumah
bersama keluarga, peralatan belajar, atau biaya. Dalam situasi
seperti itu biarpun ia diberi pelajaran atau pelatihan berulang
kali, hasilnya tidak akan menggembirakan. Pemberian pelajaran
atau Iatihan bukanlah pemecahan masalah yang tepat.
Contoh lain adalah mahasiswa yang tidak melakukan sesuatu
seperti yang diharapkan, misalnya tidak datang mengikuti
pelajaran secara teratur dan tidak mengerjakan tugas atau
pekerjaan rumah. Ia tahu perilaku itu tidak baik, tetapi ia
melaku1c.annya. Ia pun tahu bagaimana seharusnya. Penyebab
yang sesungguhnya harus dicari terIebih dahulu. Mungkin
ternpat tinggalnya terlalu jauh dari karnpusnya, sedangkan
kendaraan umum tidak cukup tersedia banyak untnk
ditumpanginya pulang pergi ke sekolah. Mungkin pula
pekerjaannya di rumah dalam membantn keluarganya terlalu
banyak menyita waktubelajarnya. BUa faktor penyebabnya
adalah kedua kemnngkinan di atas, tentn saja penyelesaiannya
bukan dengan pemberian pelajaran atau keg iatan belajar
tambahan.
Untuk menghindari kesalahan dalammemntnskan cara
memecahkan masalah, berikutini disampaikan Iangkah-Iangkah
yang sistematik dalam menentnkan kebutuhaninstruksional.

66

PEKERTI

3. Langkab.langkah Mengidentifikasi Kebutuhan Instruksional


Mengidentifikasi kebutuhan instruksional adalah suatu
proses untuk:

a. menentukan kesenjangan penampilan mahasiswa yang


disebabkan kekurangan kesempatan mendapatkan
pendidikan dan pelatihan pada masa lalu:
b. mengidentifikasi bentuk kegiatan instruksional yang paling
tepat;

c.

menentukan populasi sasaran yang dapat mengikuti kegiatan


instruksional tersebut.

Bagan berikut 'ini tampaknya rumit tetapi bila Anda iku ti


penjelasannya dengan seksama maka akan segera terasa
sederhana.
.

67

PEKERTI

I
I

I
I
I
I
I
I
I

I
I

I
I

T1i:lak

I
Hasll

yang
Dlharapkan

01

~
~
A

KesenlarYlj311

Ya

Tdak

)-----)oi

Beri Kese~tan
MelakukanIPraklk
OOrYlj3n Supervtsl

Tldak

Proses
~

Pengermangan
Instrukslonal
selanJutnya

Gambar 15. Proses Mengidentlflkasi Kebutuhan tnstrukslona!

68

PEKERTI

Langkah 1
Mengidentifikasi kesenjangan hasil produk atau prestasi
rnahasiswa atau karyawan saat ini dengan hasil yang seharusnya,
berarti menjelaskanperbedaan antara hasil atau produksikerja
saat ini dengan yang diharapkan. Untuk mendapatkan kedua
jenis data ini pengembang instruksional dapat mernbaca dari
laporan tertulis (bila ada), observasi, interviu, kuesioner atau
data dad dokumen lain yang dapat dipercaya yang terdapat di
sekolah, atautempat kerja mahasiswa atau karyawan. Tidak
jarang pengelola atau perididik yang bersangkutan tidak
menyadari adanyakesenjangan .ini, Dalam hal seperti -itu,
pengembang instruksional harus berusaha mencarinya dengan
berbagai cara di atas, Jumlah lulusan program pendidikan
dibandingkandengan yang seharusnya, nilai rata-rata
dibandingkan dengan nilai ideal, kualitas atau kuantitas produksi
yang dihasilkandibandingkan dengan sasaran produksi yang
diinginkan merupakan contoh data yang harus dikumpulkan
dalam langkah I ini. Data tersebut harus menyangkut hasil hasil
produk atau prestasi, bukan proses kerja karyawan atau proses
belajar mahasiswa.

Langkab 2
Mengetahui kesenjangan hasil seperti yang dikemukakan
dalam langkah 1 di alas tidaklah cukup untuk mengambil tindakan
memecahkan masalah. Pengembang instruksional harus menilai
kesenjangan tersebut dari segi:
a. tingkat signifikansi pengaruhnya;
b. luas ruang lingkupnya;
c. pentingnya peranan kesenjangan tersebut terhadap masa
depan lembaga atau program.
Menilai signifikansi pengaruh suatu kesenjangan tersebut
untukdiatasi, merupakan hal yang relatif. Ada orang yang menilai kesenjangan seperti itu sudah cukup memprihatinkan
dan harus segera diatasi. Ada pula yang menganggapnya sesuatu
yang biasa saja sehingga.dapat diabaikan. Pengambil keputusan
adalah pimpinan lembaga atau perusahaan yang menghadapi
kesenjangan tersebut, Tetapi, pengem bang instruksionalharus
mampu menyajikan nilai kerugian yang ditimbulkan kesenjangan

69

PEKERTI

terse but dalam bentuk: nang, waktu, pemborosan bahan,


penyusutan produksi kerja, penyusutankualitas kerja, bahaya
yang ditirnbulkan, dan faktor-faktor lain yang tidak dapat
dihitung dalam bentuk biaya, seperti menurunnya rasa aman,
berkurangnya kerja sarna, dan merosotnya motivasi.
Mager dan Pipe (1984) memberi eontoh sederhana eara
menghitung nilai kesenjangan ini dalarn bentuk uang.
Seorang pengawas (supervisor) mengeluh tentang jumlah
bahan yang harusdikerjakan kembali oleh ke 12pengetiknya.
Kurang lebih 25% dari waktu kerja digunakan mengerjakan
kembaIi kesalahan-kesalahan ketik. Bila kesenjangan ini
dihitung dengan uang, dalam waktu satu tahun akan menjadi $
72.000 atau sekitar Rp 125.000.000.00. Angka ini diperoleh
dari perhitungan sebagai berikut:
Upah rata-rata per jam seorang pengejik adalah $ 12. Setiap
pengetik bekerja untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan ketik
setiap hari dua jam. Mereka bekerja lima hari seminggu dim 48
minggu setahun. Maka, upah mereka untuk mengerjakan kembali
kesalahan ketik selama satu tahun = 48 (minggu) x 5 (hari) x 2
(jam) x 12 (orang) x $12 (upah per jam) = $ 68.120.
Biaya ini belum terhitung kerugian karenakelarnbatan waktu
penyelesaian sehingga pimpinan yang memerlukannya keeewa
dan jurnlah waktu pengawas itu sendiri yang dipergunakan
untuk mengontroI hasil kerja mereka di luar jam kerja. Belum
lagi kalau dihitung harga bahan yang habis digunakan untuk
mengetik kembali kesalahan ketik tersebut. Kesenjangan yang
tarnpaknya keeil itu ternyata setara dengan Rp 125.000.000,00
setahun.
Bila pengaruh kesenjangan tersebut tidak signifikanatau
keeil ruang Iingkupnya sehingga dianggap tidak penting dan
dianggap tidak menjadi prioritas yang harus diatasi, keputusan
yang diambil adalah mengabaikannya. Kesenjangan itu tidak
dianggap sebagai masalah untuk diatasi.
Tetapi bila tidak ada kesenjangan yang lain kecuali
kesenjangan tersebut di atas atau bilakesenjangan. tersebut
mempunyai pengaruh yang berarti, mempunyai ruang Iingkup
luas, dan penting, maka diteruskan ke langkah 3.
70

PEKERTI

Langkah 3

a.

menganalisis kemungkinan penyebab kesenjangan melalui


pelaksanaan observasi, interviu, dan anallsis logis;
b. memisahkan kemungkinan penyebab yang tidak berasal
dari kekurangan pengetahuan, keterampilandan sikap untuk
diserahkan penyelesaiannya kepada pihak lain;
c. mengelompokkan kemungkinan penyebab yang berasal dad
kekurangan pengetahuan, keterampilan dan sikap.tertentu:
untuk diteruskan ke langkah 4.
._~ :
,

-. ~-

'

Dalamcontoh kesenjangan hasil ketikan.di.atas.pengembang


instruksional tidak bolehsegera memutuskan-untukmenyusundesain program latihan mengetik sebelum melakukan-observasr;
terhadap hasil ketikan, mesin ketik yang digunakan.dan.proses
pengetikan yang dilakukan kedua belas pengetik tersebut, .
Mungkindiperlukan interviu dengan kedua belas pengetik
tersebut untuk mengetahui latar belakang perididikan dan
pengalaman mereka,
Hasil observasi dan Interviu ini akan menggambarkan
kemungkinan penyebab kesenjangan di atas, Bila ternyata
faktor penyebabnyaadalab rendahnya mutu mesin ketik,dan
lingkungan kerja, pengernbang instruksicnal hendaknya
menyampaikan hasilnya kepada pengambil keputusan atau
pimpinan kantor atau lembaga tersebut untuk penyelesaian
lebih lanjut. Tetapi, bila kemungkinan penyebabnya ternyata
ada lab kurang terampilnya para pengetik tersebut, pengembang
instruksional terus rnelakukan langkah ke 4.
Larigkab 4

Menginterviu mabasiswa atau karyawan yang bersangkutan


. untuk memisahkan antara yang sudah pernah dan yang belum
pernah memperoleh pendidikan atau latihan dalam bidang
kerjanya. Mahasi swa yang sudah pernah mendapatkan
pendidikan dan latihan meneruskan ke langkah 5, sedangkan
yang tidak pernah mendapatkan pendidikan dan latihan tersebu t
meneruskan ke langkah 8.

71

PEKERTI

Langkah 5
Selanjutnya, mengelornpokkan yang sudah pernah
mendapatkan pendidikan dan latihan dalarn dua kelompok,
yaitu yang sering dan yang jarang. Kernudian terus ke langkah
berikutnya, yaitu langkah 6 dan 7.

Langkah 6
Kelornpok yang telah sering rnendapatkan pendidikan dan
latihan diberi urnpan balik atas kekurangannya dan dirninta
rnempraktikkannya kernbali sarnpai dapat rnelakukan tugasnya
seperti yang diharapkan.

Langkah 7
Kelompok yang masih jarang mendapatkan kesempatan
mengikuti pendidikan dan latihan dalam pengetahuan,
keterampilan atau sikap yang relevan dalam bidang kerjanya
diberikesempatan mempraktikkan lebih banyak apa yang telah
diperolehnya dari pendidikan atau Iatihan masa laIu. Supervisi
dari dekat diperlukan sampai mereka mencapai hasil kerja yang
diharapkan.
'
Langkah 8
Untuk kelompok mahasiswa atau karyawan yang belum
pernah mempelajari pengetahuan, keterampilan dan sikap
tersebut, pengembang instruksional terlebih dulu merumuskan
tujuan instruksional umum (TID). lsi TIU tersebut mencakup
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang belum pernah
dipelajari mahasiswa atau karyawan, Dalam contoh di atas
keterampilan yangharus masuk dalam nu tersebut adalah
mengetik dengan teknik yang benardengan skor minimal
tertentu.
Sampai batas ini uraian di atas seolah-olah tertuju kepada
identifikasi kebutuhan instruksional untuk suatu program yang
berorientasikepada pekerjaan saja, seperti pada 'program
72

PEKERTI

pendidikan dan latihan, program kejuruan, kursus keterampilan,


dan semacamnya. Setelah lulus dari program pendidikan
rersebut. mereka akan bekerja dalam satu bidang pekerjaan
yang sama, Bagaimanamengidentifikast kebutuhan instruksional
uotuk program pendidikan yang lain, seperti mata kuliah yang
banyak berorientasikepada segi akademis-teoretis?
Pendekatan mengidentifikasi kebutuhan instruksional yang
berorientasi kepada bidang pekerjaan tertentu seperti yang
telah diuraikan dalam contoh di atas tampaknya sulit diterapkan.
Mengapa? Mengidentifikasi kebutuhan instruksionaladalah
kegiatan awal dari kegiatan menentukan tujuan instruksional
umum. Kegiatan itu sendiri tanpa dikaitkandengan penulisan
tujuan instruksional umum tidak ada manfaatnya. Itulah
sebabnya dalam buku ini kedua kegiatan tersebut dikaitkan
menjadi satu .langkah, Seorang pengajaryang telah atau baru
akan mengajarkan mata pelajaran yang sudah bias_a diajarkandi
lembaga temp at ia mengajar, sepertidi perguruan tinggi pada
umumnya, tidak melakukan proses mengidentifikasi kebutuhan
in.struksional seperti yang telah digambarkan di atas karena
berbagai alasan.
Pertama, mahasiswa yang mengikuti mata pelajaran itu
urnumnya belum bekerja.: Bahkan, mereka belum tentu tahu

jenis pekerjaan yang akan dihadapinya kelak, Walaupun ada


yang bekerja saatinivmereka tidak bekerja dalam bidang yang
sarna.
Kedua, mata pelajaran yang akan diajarkantelah tertentu,
bahkan seringkali telah ditentukan ruang lingkup dan garis
besar isinya oleh lembaga pendidikan yangbersangkutan.
Ketiga, mata pelajaran itu belumtentu hanyaterkait kepada
saru jurusan atau program studi, tetapi mungkin bersifat umum
seperti Mata kuliahDasar Umum (MKDU) , Mata kuliah Wajib
Fakultas, dan semacamnya. Kadang-kadang matakuliah seperti
itu terkaitdengan kebudayaan dan filsafat negara.
Dalam keadaan seperti itu pengembang instruksional tidak
m ungkin melakukan identifikasi kebutuhan instruksional yang
berorientasikan kepada pekerjaan tertentu. Pengajar senior,
pengembang kurikulum, para ahli, pimpinan Iernbaga pendidikan

73

PEKERTI

yang mewakili kelompok pendidik. dan pimpinan lembaga


pernerintahan dan perusahaan swasta yang relevan yang mewakili
masyarakat yang akan menggunakan lulu san nanti dapat
dijadikan sumber pemberi informasi tentang kebutuhan
instruksional untuk mata pelajaran tersebut.Pengajar senior
yang telah mengajarkan mata pelajaran itu dengan baik, mungkin
termasuk golongan pengajar yang disebut oleh Tyler (1949)
sebagai artistic teachers. Walaupur,tidak mempunyai gambaran
yang jelas ten tang tujuan instruksional, mereka mempunyai
intuisi ten tang apa yang dimaksud dengan mengajar yang baik,
apa bahan-bahan pelajaran yang baik, apa isi pelajaran yang
sebaiknya diajarkan dan bagaimana mengembangkan topiktopik yang efektifbagi mahasiswa, Demikian pula dari pimpinan
lembaga pendidikan, lembaga pemerintahan, dan perusahaan
swasta masih mungkin diperoleh informasi yang berharga bagi
pengembangan instruksional dalam mengidentifikasi kebutuhan
instruksional. Kemudian informasi itu dianalisis dan hasilnya
dijadikan dasar untuk merumuskan tujuan instruksionaI urnum
dan komponen berikutnya. Hasilnya lebih banyak merupakan
kesepakatan dari pihak-pihak yang terkait. Hasil ini pasti jauh
lebih baik daripada hanya ditentukan oleh pengajar yang
bersangkutan saja.
Di samping itu, sumber lain yang tidak kalah pentingnya
adalah rumusan TIU untuk mata kuliah yang sarna di lembaga
lain. BHa rumusan TIU tersebut telah ada, pengembang
instruksional dapat diharapkan mampu menyusun rumusan TIU
yang dapat diterima oleh berbagai pihak yang bersangkutan.

TIU yang telah dirurnuskan atas dasar hasil interviu dengan


kelompok pendidik dan masyarakat yang akan menggunakan
para lulusan perIu ditunjukkan kembali kepada pihak yang
diinterviu untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaanpertanyaan sebagai berikut:
a. Apakah TIU ini konsisten dengan tujuan kurikuler, tujuan
institusional dan tujuan pendidikan secara nasional?
b. Apabila mahasiswa yang.mengambil mata pelajaran tersebut
dapat mencapai pengetahuan, keterampilan, dan sikap
yangtercantum dalam TIU tersebut, apakah kelompok
pendidik dan masyarakat yang akaa menggunakan lulusan
itu telah puas?

74

c.

PEKERTI

Apakah pengetahuan, keterampi lan, dan sikap yang


dirumuskan dalam TIU itu penting bagi kehidupan
mahasiswa? .

Khusus untuk pertanyaan nomor 3, pengembang instruksional


perlu mengumpulkan data dari sekelompok niahasiswa yang
dapat mewakili populasi sasaran di samping dari kelompok
~endidik dan masyarakat.
Usaha pengembang instruksional untukmendapatkan
rumusan TIU yang mencerminkan kebutuhan ketiga pihak yang
terlibat dalam dunia pendidikao tersebut tidaklah mudah.setidaktidaknya peogembang iostruksional barus melalui jalanyang
panjang. Usaha seperti ini.jsangat .penting artinya untuk
menentukan dapat .tidaknya kualitas lulusan suatu program
pendidikan diterima oleh masyarakat dan pendidik serta dapat
memenuhi kebutuhan hidup lulusan itu sendiri,

B. Menulis Tujuan InStruksional Umum


Dari kegiatan mengidentifikasi kebutuhan instruksional
diperoleh jenis pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
tidak pernah dipelajari atau belum dilakukan dengan baik oleh
mahasiswa. -lenis pengetahuan, keterampilan, dan sikap tersebut
masih bersifat umum atau garis besar. Ia merupakan hasil
belajar yang diharapkan dikuasai mahasiswa setelah
menyelesaikan program pendidikan. Hasil belajar ini disebut
tujuan instruksional. Karena sifatnya yang masih umum, maka
disebut tujuan instruksionalumum.
Bloom (1977) membagi tujuan instruksional menjadi tiga
kawasan menurutjenis kemampuan yang tercantum di dalamnya.
Tujuan yang mempunyai titik berat kemampuan berpikir disebut
tujuan dalam kawasan kognitif'. Kemampuan mengingat,
memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan
mengevaluasi sesuatu merupakan jenjang kemampuan dalam
kawasan inL Tujuan yang mempunyai fokus keterampilan
melakukan gerak fisik disebut tujuan dalam kawasan psikomotor.
Kemampuan meniru melakukan suatu gerak, memanipulasi
g erak, merangkaikan berbagai gerakan, melakukan gerakan

75

PEKERTI

dengan tepat dan wajar adalah bagian dari kawasan psikomotor.


Tujuan yang lain, yang berintikan kemampuan bersikap disebut
tujuan dalam kawasan afektif.
Tujuan instruksional dalam kawasan mana pun harus
dirumuskan dalam kalimat dengan kata kerja dan operasional,
serta yang menunjukkan kegiatan yang dapat dilihat. Kalirnat
mahasiswa akan dapat menjelaskan atau menguraikan sesuatu
lebih tepat digunakan daripada mahasiswa dapat mengerti,
mernahami, atau mengetahui sesuatu.
Perhatikan eontoh di bawah ini
Mahasiswa akan dapat menggunakan desain penelitian yang
sesuai dengan proyek penelitian yang akan dilakukannnya;
2. Mahasiswaakan dapat menyusun reneana kegiatan proyek
dengan menggunakan PERT (Program Evaluation and Review Techniques);
3. Mahasiswa akan dapat mendemonstrasikan lompat tinggi
gaya /lop(suatu gaya lompat tingg i yang digunakan
kebanyakan juara saat ini).
I.

Ketiga eontoh tujuan instruksional umum (TID) di atas


masing-masing terdiri atas empatbagian, Pertama, orang yang
belajar, Dalam kalimat-kalimatdi atas orang belajar adalah
mahasiswa, bukan pengajar atau bukan orang lain. Tujuan
memang harus berorientasi kepada mahasiswa. Seringkali
pengajar atau pengelola pendidikan yang lain membuat
perumusan yang berorientasi kepada mereka sendiri seperti dua
contoh berikut ini:
1. Tujuan pelajaran ini adalah mengajarkan penerapan berbagai
desain penelitian;
_
2. Program ini akan membahas seeara mendalam prosedur
penyusunan kegiatan proyek berdasarkan PERT.
Keduacontoh perumusan tujuan tersebut di atas tidak
memperhatikan apa yang akan dicapai mahasiswa. Keduanya
dapat ditafsirkan bahwa sepanjang pengajar rnembahas atau
mengajarkan pelajaran yang dimaksud atau program pengajaran
berisi pelajaran tersebut, maka tujuan telah tercapai, walaupun
mahasiswa belum dapat melakukan apa-apa,

76

PEKERTI

Kedua, istilah yang digunakan adalah "akan dapat" bukan


dapat atau sudah dapat karena tujuan Itu dirumuskan sebelum
mahasiswa mulai belajar. Tujuan itu akan dicapai setelah
proses belajar. Istilah akan dapat itu dihubungkan dengan kata
kerja yang menunjukkan. hasil belajar bukan kata kerja yang
berorientasi kepadaproses belajar seperti (mahasiswa)
mempelajari, membaca. Tujuan harusberorientasi kepada hasil
belajar, bukan kepada proses belajar, Dengan demikian, bila
ada perumusan tujuan yang berbunyi: "Mabasiswa akan
mempelajari berbagai desain penelitian atau membaca prosedur
penyusunan rencanakegiatanprcyek", dapat ditafsirkan bahwa
sepanjang mabasiswa telab melakukan proses tersebut, maka
tujuan telah tercapai, walaupun mahasiswa belum berhasil
"memahami" apa yang telah dipelajarinya sebagai suatu tujuan;
yang penting bukanlab mahasiswa telah melakukan proses belajar
tertentu.jetapi menunjukkan basil belajar tertentu, seperti dapat
menyusun desain penelitian atau menyusunrencana kegiatan
proyek.
Ketiga, kata kerja dalam tujuan instruksional haruslah
berbentuk kata kerja aktif dan dapat diamati, seperti menyusun,
rrienggunakan atau mendemontrasikan. Bandingkanlahdengan
kata kerja memahami, mengetahui, dan merasakan yang tidak
dapat diamati oleh mata. Dick dan Carey (1985) mengemukakan
contoh tujuan yang biasa digunakan oleh ban yak bank sebagai
berikut: karyawan bank akan mengetahuiatau memahami nilai
pelayanan yang hormat dan ramah.
.
Kata mengetahui atau memahami dapatberarti menjelaskan
atau dapat pula berarti melakukan. Kemampuan menjelaskan
dan melakukan sangat besar bedanya. Karena itu, istilah
memahami disebut tidak jelas dan tidak pasti karena berarti
mengandungbanyak pengertian, sehingga perlu dihindari.
Keempat, tujuan instruksional mengandung objek seperti
desain penelitian, rencana kegiatan proyek, dan lompat tinggi.
Bagian ketiga dan keempat dari tujuan instruksional yang
berupa kata kerja dan objekadalah perilakufbehavior) yang
diharapkan dikuasaimahasiswa pada akhir proses belajarnya.
Itulah sebabnya tujuan instruksional sering disebut tujuan yang
bersifat perilaku (behavioral objective). Ia disebut pula tujuan

rr

PEKERTI

penampilan (performance objective)karena akan ditampilkan


mahasiswa setelah proses belajar.
Bagian ketiga dan keempat dari tujuan instruksional ini
merupakan bagian yang sangat penting. Berdasarkan kedua
bagian tersebut akan disusun tes dan strategi instruksional.
termasuk metode, media. dan isi pelajaran, Karena itu,
ketidakjelasan perumusan tujuan instruksional akan
mengakibatkan ketidakjelasan dasar penyusunan komponen
sistem instruksional 'yang lain. Di samping itu; kegiatan
merumuskan tujuan instruksional merupakan salah satu ujud
tanggung jawab seorang pengajar untuk dapat mengatakan atau
orang lain menilai apakah ia berhasil atau belum berhasil
mencapai tujuannya.
Tujuan instruksional, di samping berfungsisebagai sesuatu
yang akan dicapai, berfungsi pula sebagai kriteria untuk
mengukurkeberhasilan suatukegiatan instruksional. Oleh karena
itu, seorangpengajar yang merumuskan tujuan instruksionalnya
sebelum mulai proses pengajaran dapat dipandang sebagai
pengajar yang bersedia mempertanggungjawabkan keberhasilan
atau kegagalannya dalam mengajar, Atas dasar kriteria itu pula
seorang pengajar dapat menentukan kapan ia harus memperbaiki
efektifitas pengajarannya.
Pada saat saya mengajarkan peranan tujuan instruksional,
seorang mahasiswa berpendapat bahwa pengajar tidak usah
merumuskan tujuan, yang penting ia mengajar dengan sungguhsungguh, lalu beri mahasiswanya tes. Ketika saya bertanya,
"Apa yang akan pengajar itu teskan?" , ia menjawab; "lsi pelajaran
seperti desain penelitian, rencana kegiatan proyekdan lompat
tinggi", Saya bertanya lagi, "Perilaku apa yangharus diteskan?
Menjelaskan macam-macam desain penelitian, membaca rencana
kegiatan proyekatau menceritakan cara lompat tingg i?"
Mahasiswa itu menjawab, "Mungkin" . "Apakah bukan
mengeteskan bagaimana menggunakan desain penelitian,
menggambar rencana kerja, dan mendemonstrasikan lompat
tinggi?"Saya bertanya lebih jauh. Iamenjawab lagi, "Bolen
juga"; Kesirnpulannya, apa yang akan diteskan tergantung
kepada keinginan pengajar pada saat rnelaksanakan tes. Mungkin
pengajar itu cukup dengan meminta mahasiswa menjelaskan
macam-macam desain penelitian, menuliskan ' prosedur

78

PEKERTI

perencanaan kegiatan proyek atau menceritakancaramelakukan


Iompat tinggi, menguraikan eara mengelasbesi, menjelaskan
cara membuat kursi, menuliskan eara mengaduk semen dan
lain-lain. Mahasiswa yangberhasil dalam tes atau ujianseperti
itu akanmerupakan lulusanyang rnahir dalam teori. Mungkin
pulapengajar yang lain menganggap semua itu belum cukup, Ia
meminta mahasiswa untuk menyusun desain penelitian,
menyusun reneana kegiatan proyek tertentu, .atau melakukan
lompat tinggi, mengelas besi, membuat kursi, mengaduk semen
dan lain-lain. Mahasiswa yang berhasiI dalam tes atau ujian
seperti ini akan merupakan lulusan yang mampu melakukan
atau mempraktikkan sesuatu. BiIa Anda perhatikan, apa yang
akan diteskan kedua pengajar di atas sangatlah berbeda. Hal itu
disebabkan oleh perbedaan kata kerja tujuan instruksionalnya,
walaupun objeknya sarna. Karena itu, perumusan kata kerja dan
objek dalam tujuan instruksional sangatlah penting.
Pengajaran tanpa perumusan tujuan .instruksional seeara
jelas akan mempunyai implikasi tidak menentunya standar
rrrutu mata pelajaran dan mutu lulusan program tersebut,
Tujuan instruksional umum (TID) suatu mata pelajaran
mungkin lebihdari satu, tetapi keduanya pasti berhubungan.
Dalam hal seperti itu, TIDharus diurut dari perilaku yang harus
atau sebaiknya dikuasai lebih dulu baru disusul dengan yang
lainnya. Urutan ini.akan menjadi petunjuk dalam menentukan
urutan isi' pelajaran,
BanyaknyaTIU tergantung kepada kompleksitas dan ruang
lingkup pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang akan
dipelajari mahasiswa dalam mata pelajaran tersebut. Sebagai
patokan umum mung kin sekitar 3-5 buah. Jumlah TIU yang
terlalu banyak mungkin akan mengakibatkan sulitnya
pengelolaan kegiatan instruksional. Walaupun demikian, tidak
ada patokan yang' dapat disetujui oleh semua orang ten tang
j umjah TIU ini.
Setelah merumuskan seluruh TIU tersebut dengan baik,
Anda masih perlu mengajukan pertanyaan yang sangat penting
kepada diri sendirisebagai berikut; "BiIa mahasiswa Anda telah
mencapai seluruh kemampuan yang telah Anda rumuskan dalam
TID, apakah Anda telah merasa puas?" Karena Anda yakin

79

PEKERTI

bahwa mahasiswa Anda tidak akan mendapatkan kesulitan


dalam melaksanakan pekerjaan atau tugasnya kelak yang
berhubungan dengan pelajaran yang telah Anda berikan? Bila
Anda menjawab ya, berarti TID itu telah dapat Anda gunakan
sebagai dasar pengembangan instruksional lebih lanjut. Bila
Anda rnenjawab belum, berarti TID itu harus direvisi terlebih
dahulu.

C. Sedikit tentang Taksonomi Tujuan Pendidikan


Salah satu pokok pembicaraan menarik sehubungandengan tujuan
pendidikan adalah usaha para pakar pendidikan dalam mengernbangkan taksonomi tujuan pendidikan. Mereka menggolong-golongkan
tujuan pendidikan menjadi beberapa kawasan (domain).
.
Bloom (1956) menyatakan bahwa tujuan pendidikan itu dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kawasan yaitu kawasankognitif, afektif,
dan psikomotor.
Kawasan kognitif meliputi tujuan pendidikan yang berkenaan
dengan ingatan atau pengenalan terhadap pengetahuan dan
pengembangan kemampuan intelektual dan keterampilan berpikir.
Dalam kawasan kognitif ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi enam
jenjang, yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis,
dan evaluasi. Keenam jenjang itu bersifat hierarkikal dimulai dari
jenjang yang paling bawah yaitu pengetahuan sampai ke jenjang yang
paling tinggi yaitu evaluasi. Artinyajenjang di bawah menjadiprasyarat
untukjenjang di atasnya. Jenjang yangdi bawahnya itu harus dicapai
lebih dahulu agar dapat mencapai jenjang yang di atasnya. Konsep
penjenjangan dalam kawasan kognitif ini sangat populer dan sampai
saat ini digunakan secara sangat intensif dalamdunia pendidikan,
khususnya dalam pengembangan teshasil belajar. Intensitas
penggunaan tersebut dapat dilihat dari seringnya buku Taxonomy of
Educational Objectives, Handbook I; Cognitive Domain karangan
Benjamin S. Bloom (1956) sudah dicetak ke-21 kalinya pada taboo
1977.
Kawasan afektif menurut Krathwohl, Bloom, dan Masia, meliputi
tujuan pendidikan yang berkenaan dengan minat, sikap <bin nilai serta
pengambansanpenghargaan dan penyesu'aian diri, Kawasan ioi dibagi
lima jenjang, yaitu penerimaan (receiving), pemberian respon (re- ,

80

PEKERTI

sponding), pemberian nilai atau penghargaan (vq.luing), pengorganisasian (organization) dan karakterisasi (charakterizatiom. Us aha
penjenjangan kawasan ini dinyatakan olehpara pengarang buku
tersebut sebagai sangat sulitkarena prilaku (behaviors) yang termasuk: .
di dalamnya tidak selalu nyata. Para guru misalnya merasa sangatsulit
meneapai kesepakatan dalam mengidentifikasi eiri-eiri setiap jenjang
tersebut karenaprilaku mahasiswa yang tampak oleh mata tidak selalu
dapat ditafsirkan seperti yang ada di dalam hati mahasiswa tersebut.

Dengan perkataan lain prilaku yang tampak dati luar tidak selaIu
meneenninkan sikap yang ada di dalam diri manusia, Krathwohl ,
Bloom, dan Masia yang mengarang bulaLTaxondmy of Educational
Objectives, Handbook Il; Affective Domain pada tahuil1964 ternyata
mendapatperhatian yang eukupbesardarikalangan pendidik, sehingga
pada taboo 1980 buku tersebut telah dicetak 11 kali.
Kawasan psikomotorpada tahun 1956kurang mendapat perhatian
dari Bloom dan kawan-kawannyakarena merekatidak percaya bahwa
pengembangan tujuan daIam kawasan tersebut sangatberguna. Tetapi
mereka menyebutkan bahwa tujuan pendidikan dalam kawasan ini
berkenaan dengan otot, keterampilan motorik, atau gerak yang
membutuhkan koordinasi otot (neuromuscular coordination). Tetapi
beberapa pakar lain berhasil mengembangkan taksonomi kawasan
psikomotor, antaralain Elizabeth Jane Simpson (l966)dan Anita J.
Harrow (1977).Pengarang yang disebutbelakangan, Harrow, membagi
kawasan psikomotor menjadi 6 tingkat, yaitu gerak refleks (reflex
movements), gerakfundamental dasar(basic-jundamemal movements),
kemampuan perseptuaI (perceptual abilities), gerakterampil (skilled
movements), dan komunikasi wajar (non-discursive communication).
Pengembangan taksonomi tujuan pendidikan terusberlanjut.
Beberapa pakar mengusulkan adanya penambahan kawasan keempat,
yaitu kawasan interaktif. Kawasan keempat ini merupakan perpaduan
dari dua atau tiga kawasan terdahulu,
Upaya pengembangan taksonomi ini terus menarik perhatian para
pakar dan kaum praktisi pendidikan, karena didorong kebutuhan
mereka dalam lebih memperjelas bidang kajian pendidikan.
Dengan menggunakan pengetahuan tentang taksonomi tujuan
pendidikan para pendidik dapat merumuskan tujuan pendidikan secara
lebih jelas dan tepat seperti yang mereka maksudkan, serta dapat

81

dipahami orang-lain, Di samping itu para pendidik dapat menyusun


urutan tujuan pendidikan berdasarkan kawasan dan jenjang masingmasing sehingga menghasilkan daftar tujuan pendidikan yang
sistematik. Urutan tujuan pendidikan initakan mempunyai implikasi
terhadap urutan isi pendidikan.
Sesungguhnya pengklasifikasian itu tidaklah dimaksudkan untuk
memilah-milah prilaku manusia seperti halnya kita mencopoti kursi
menjadi bagian-bagiannya. Prilaku manusia itu jauh lebih kompleks
dan bersifat sebagai suatu kesatuan prilaku yang utuh yang tidak
mungkin dicopoti komponen-komponennya. Suatu prilakutidak
mungkin hanya melibatkan salah satu kawasan walaupun mempunyai
.
titik berat pada suatu kawasan tertentu.
Pengklasifikasian itu hanyalah usaha pakar dalam menganalisis
prilaku tersebut agar memungkinkanpengembangan usaha-usaha
pendidikan secara lebih sistematis. Dengan mengetahui titik berat
kawasan prilaku tersebut kita dapat menyusun rencana dan program
pendidikan yang lebih terarahkepada tujuanpendidikan yang dimaksud
dan lebih.sesuaidengan kebutuhan mahasiswa, Namun penggunaan
pengetahuan tentang taksonomi tersebutdi kalanganpraktisi pendidikan
bervariasi.
Sebagian pendidik menganggap bahwa pada saat mulai
merumuskan tujuan pendidikan, tujuan instruksional umum (TIU),
atau tujuan instruksional khusus (TIK) kita haruslah berpikir untuk
rnenghasilkan daftar tujuan yang meliputi ketiga kawasan tersebut,
tidak hanya sebagian diantaranya.
Sebagian pendidik lainnya berpendapat bahwa pada saat mulai
merumuskan tujuan kita tidak perIu mengingat klasifikasi tujuan
tersebut, tetapi mempertimbangkan relevansi tujuan tersebut dengan
tujuan yang lebih tinggi, dan dengan kebutuhan kerja. Dalam
merom uskan TIU suatu mata kuliah misalnya, kita harns mempertimbangkan relevansinya dengan tujuan kurikuler program studi yang
bersangkutan, termasuk denganpengembangan bidang ilmu yang
bersangkutan, dan bidang pekerjaan yang akan dihadapi mahasiswa
bila telah lulusnanti, Setelah dihasilkan rumusantujuan umum seperti
itu maka barnlah kita memberikan nama (label) mana tujuan yang
sarat dengan kawasan kognitif, dan mana yang lebihsarat dengan
kawasan afektif atau psikomotor. Dengan demikian mungkin saja
tujuan instruksional umum yang telah dirumuskan tersebut hanya
mengandung satu atau dua kawasan tujuan.
82

PEKERTJ

Dalam usaha menganalisis tujuan umurn tersebut menjadi tujuan


yang Iebih khusus timbul pula vanasi,
Sebagian pendidik berpendapat bahwa setiap tujuan umum harus
dianalisisseciemikianrupasebinggamenghasilkantujuan-tnjuan khusus
yang mengandung ketiga kawasan kognitif, afektif, dan psikomotor.
Sebagian pendidik lainnya menganalisis tujuan umum tanpa
mengingat ketiga kawasan tersebut, tetapi menggunakan prosedur
analisis tugas (task analysis) atau analisis instruksional. Dalam proses
analisis inilah diperlukan pengetahuan tentang jenjang taksonomi
tujuan agar dapat menghasilkan susunan tujuan khusus yang terurut
secara legis, Setelah diperoleh susunan tujuan-tujuan khusus barulah
merekamemberinamauntuksetiaptujuan khusus, manayang termasuk
atau lebib sarat dengan kawasan lain.
Penerapan konsep jenjang taksonomi tujuan tersebut dapat kita
jumpai pula dalam proses pengembangan tes objektif untuk tujuantujuan instruksional yang berada daIam kawasan kognitif, Dalam
proses tersebutkitaperlumembuat kisi-kisi (blue print) tes, Salah satu
model kisi-kisi yang biasa digunakan orang mengandung kolom C t ,
CZ?C3,C.,Cs,C, yang berarti t;ognitive pertama (C t ) yaitu pengetahuan ,
cognitive kedua(C z) yaitupemahaman, C, yaituaplikasi, danseterusnya
sampai C, yaitu evaluasi, Kolom C 1 sampai C, tersebut tidak lain
menunjukkan perlunya pengidentifikasian jenjang taksonomi tujuan
instruksional yang akan dikembangkan tesnya sebelum kita mulai
menulis butir tes yang relevan.

D.

Latlhan

Seperti bab sebelumnya, latihan ini bukanlah tes, melainkan


bagian dari proses belajar Anda.
Buatlah tujuan instruksional umum untuk mata pelajaran
yang biasa Anda ajarkan atau mara kuliah yang akan Anda
desain dengan Iangkah-langkahsebagai berikut:
1.

Mengidentifikasi kebutuhan instruksional. Langkah ini


hanya dilakukan hila Andaberstatussebagai pengembang
instruksional, pengajar pada lembagapendidikan dan latihan
atau yang semacamnya, tidak berstatussebagai dosen atau

83

PEKERTI

pengajar lain di Iernbaga pendidikan formal seperti sekolah


.
dasar sampai perguruan tinggi,
a. Mengidentifikasi kesenjangan antara prestasi calon
mahasiswa Anda saat ini dan yang diharapkan, Kemudian
jawab pertanyaan berikut ini:
b. Apakah kesenjangan itu berarti, besar, dan penting?
Mengapa?
c. Apakah kesenjangan itu disebabkan kurangnya
pengetahuan dan keterampilan? Bila jawabannya ya,
teruskan ke bagian d. Sedangkan bilajawabannya tidak,
hentikan di sini kegiatan Anda.
d. Apakah mahasiswa telah pernahmempelajarinya? Bila
jawabannya tidak, teruskan ke pertanyaan e dan butir 2.
Bila jawabannya ya, teruskan ke pertanyaan butir f, g,
dan h.
e. Pengetahuan dan keterampilan umum apa saja yang
.
belum pernah dipelajari mahasiswa?
f. Apakah calon mahasiswa Anda telah sering mempelajari
pengetahuan, keterampilan, atau sikap tersebut? Bila
jawabannyasering, teruskan ke butir g. Bilajawabannya
jarang, teruskan ke butir h.
g. Beri umpan balik tentang kekurangannya untuk
disempurnakan atau diperbaiki.
h. Beri kesempatan praktik lebih banyak dengan supervisi
dari dekat.
2. Tuliskan tujuan instruksional urnurn (TIU) Anda (untuk
pendesain instruksional pada lernbaga pendidikan dan
latihan, dosen, dan pengajar lain). Periksa kernbali TIU
Anda dengan menggunakan kriteriapada halaman 74 - 78.
3. Akhirnya, periksa kernbali TIU Anda dengan kriteria sebagai
berikut:
.
a. Berisi perilaku yang akan ditarnpilkan rnahasiswa, bukan
. oleh pengajar atau pengelola pendidikan. Perilaku
tersebut adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap
yang diharuskan dapat ditarnpilkan oleh mahasiswa
pada akhir pelajaran.
b. Berisi perilaku yang lengkap sebagai indikator
keberhasilan rnahasiswa dalarn pelajaran tersebut.
c. Berisi perilaku yang dapat diarnati oleh mata.

84

PEKERTl

d. Berorientasi kepada hasil belajar, bukan kepada hasil


proses' belajar mahasiswa.
e. Urutan perilaku dalam TIU(bila lebih dad satu)
berjenjang dati yang lebih sederhana atau mudah sampai
kepada yang lebih kompleks atau sulit.
f. Dapat dicapai dengan kegiatan instruksional.

E. Rangkuman
Langkah pertama pada MPI, mengemukakan prosedur
mengidentifikasi kebutuhan instruksional yang lebih singkat
daripada educational needs, needs assessment atau training
needs assessment pada umumnya. Prosedur mengidentifikasi
kebutuhan instruksional pada MPI berhentisetelah diperoleh
perilaku umum yan~ perlu diajarkan kepada mahasiswa, Proses
tersebut tidak sampai kepada pemberian perlakuan atau
pelaksanaan kegiatan instruksional apalagi sampai evaluasi
terhadap hasilnya seperti yang biasa dikemukakan dalam needs
assessment. Hal ini disebabkan oleh kedudukan langkah
mengidentifikasi kebutuhan instruksional pada MPI merupakan
bagian awal dari suatu proses pengembangan. Di dalam proses
pengembangan tersebut telah ada pemberian perlakuan, yaitu
uji coba dan evaluasi formatif.

85

PEKERTI

Daftar Kepustakaan
Bloom, Benjamin S. Taxonomy ofEducational Objectives: The
Classification ofEducational Goals, Handbook I: C o gnirive Domain., New York: Longman Inc., 1956.
Dick, W., & Carey, Lou. The Systematic Design oflnstruction(2nd
Ed.). Glenview, Illinois: Scott, Foresman and Company,
1985.
. . .
Harless.Joe. Front - End Analysis. Training Magazine of Man
Power and Management Development, March 1975 ..
Harrow, Anita J. A Taxonomy of the Psychomotor Domain: A
Guide for Developing Behavioral Objectives., New York:
David Me Kay Company, Inc., 1972.
Kaufman, R.. Identifying and Solving 'Problems: A-System Approach (3rdEd.). San Diego, California: University Associates, 1982.
Kaufman, R., & English, F.W .. Needs Assessment: Concept and
Application. Englewood Cliffs, New Jersey: Educational
Technology Publications, 1979.
Krathwohl, David R., Bloom, Benjamin S., and Masia, Bertram
B. Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals, Handbook II: Affective Domain. New York: Longman 1964.
Mager, R.F., & Pipe, Peter. Analyzing Performance Problems
(2nd Ed.). Belmont, California: David S.LakePublishers,
1984.
Suparman, Atwi. Mengidentifikasi Kebutuhan Pendidikan dan
Latihan, Jakarta, Lembaga Pengembangan Perbankan
Indonesia, 1984.

86

PEKERTI

BAB IV

MELAKUKAN ANALISIS INSTRUKSIONAL

r-------,-------t
vI

IDENTIFIKASI
KEBUTUHAH
INSTRUKSIONAL
DAN MENULIS
TUJUAN
INSTRUKSIONAL
UI.IUld (TIU)

!!!-=i

r>

t.lENUUS
TESACUAN
PATOKAN

t.lENYUSUN
MENGEI.I
DESAIN DAN
IoIElAKSANABANGKAN
BAHAN ~) KAN EVALUASI
FORMATIF
INSTRUK
S10NAL

t.lENUUS
TUJUAN
INSTRUK
SIONAL ~)
KHUSUS
(TIl<)

't

MENG1DENTlFlKASI
PERILAKU DAN
KARAKTERISTIK r-AWAL MAIIASISWA

-_

I
I
I
I
I
I

L.J

I
I
~I

vI

L>

At

I
I
I
I
I
I
I

I
I
I
I
I
I

I.IENYUSUN
I-STRATEGI
INSTRUKSIOHAL

t
I

f->

SISTEIA
INSTRUK
S10NAL

...YI

Proses merumuskan tujuan instruksional umum (TID) pada


Bab III yang baru lalu menghasilkan rumusan TIU. Tidak
sedikit pengembang instruksional termasuk pengajar melompat
dad TIU ke penulisan TIK. tes, atau isi pelajaran, tanpa melalui
anal isis instruksional, sehingga menghasilkan kegiatan
instruksional yang tidak sistematjk.
Irnplikasi proses pengembangan instruksional yang
melornpat seperti itu antara lain adalah:
1. Daftar TIK yang telah disusun tidak konsisten dengan TIUnya, Daftar TIK tersebut mungkin tidak lengkap atau

87

PEKERTI

berlebihan. Di samping itu, kemampuan yang ada dalam


setiap TIK belum tentu mengaeu kepada kemampuan yang
terdapat dalam TIU.
2.

Materi tes tidak terperinci karena hanya meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang bersifat umum atau
akhir. Kemajuan mahasiswa di tengah proses belajar tidak
dapat diukur dengan teliti sehingga pengajar tidak dapat
memberikan pengajaran remedial yang tepat bagi mahasiswa
yang sebenarnya masih ketinggalan atau pemberian bahan
pengayaan bagi mahasiswa yang telah lebihdahulu maju.

3.

Urutan isi pelajaran kurang sistematik.

4.

Titik berangkat materi pelajaran tidak sesuai dengan


kemampuan awal mahasiswa.

5.

Cara penyajiannya tidak sesuai dengan karakteristik


mahasiswa.

Sebelum menulis TIK, pengembang instruksional, harus


melakukan tiga langkah yang akan dibicarakan dalam bab ini,
yaitu: melakukan analisis instruksional, mengidentifikasi
perilaku awal mahasiswa, dan merumuskan tujuan instruksional.
I

Dalam Bab IV ini akan dibahas konsep dan prosedur


menjabarkan perilaku yang ada dalam TIU menjadi subperilaku
yang lebih keeil dan mengidentifikasi hubungan antara
subperilaku yang satu danyang lain.
Keterampilan melakukan analisis instruksional ini sangat
penting artinya bagi kegiatan instruksional, karena pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang harus diberikan lebih dahulu dari
yang lain dapat ditentukan hasil analisis instruksional. Dengan
demikian, pengajar jelas melihat arab kegiatan instruksionalnya
secara bertahap menuju pencapaian TID. Ini berarti pengajar
terhindar dari pernberian isi pelajaran yang tidak relevan dengan
TID.
. Hasil analisis instruksional ini dikaitkan dengan hasil
kegiatan mengidentifikasi perilaku dankarakteristik awal
mahasiswa. Atas dasar keduanya, pengembang instruksional

88

PEKERTI

dapat menyusun tujuan instruksional khusus (TIK) yang relevan


dengan TIU.

A. Pengertian Anallsl.s Instruksional


Analisis instruksional adalah proses menjabarkan perilaku
urnum menjadi perilaku.khusus yang tersusun secara logis dan
sistematik. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk
rrrengidentifikas i perilaku-perilaku khusus yang dapat
menggambarkan perilaku umum seeara lebih terperinei. Dari
susunan tersebutjelas kedudukan perilaku khusus yang dilakukan
lebih dahulu dariperilaku yang lain karena berbagai hal seperti:
kedudukannya sebagai perilaku prasyarat, perilaku yang menurut
urutan gerakan fisik berlangsung lebih dahulu, perilaku yang
rnenurut proses psikologis muneul .lebih dahulu atau seeara
kronologis terjadi lebih awaL
Denganmelakukan analisis instruksional, akan tergambar
susunan perilaku khusus dari yang paling awal sampai yang
paling akhir, Baik jumlah maupun susunanperilaku tersebut
akan memberikankeyakinan kepada pengajar bahwa perilaku
urnum yang tereantum dalam TIU dapat dicapai seeara efektif
dan efisien. Dengan perkataan lain, melalui tahap perilakuperilaku khusus tertentu mahasiswa akan mencapai perilaku
umum. Perilakukhusus yang telah tersusun secara sistematik
menuju perilaku umum itu laksana jalan yang singkatyang
harus dilalui mahasiswa untuk meneapai tujuannya dengan
baik.

B. Empat Macam Struktur Perilaku


Bila perilaku umum diuraikan menjadi perilaku khusus
akan terdapat empat macam susunan, yaitu hierarkikal,
prosedural, pengelompokan, dan kombinasi,

89

PEKERTI

1. Struktur Hierarkikal

Struktur perilaku yang hierarkikal adalah kedudukan dua


perilaku yang menunjukkan bahwa salah satu perilaku hanya
dapat dilakukan bila telah.dikuasai perilaku yang lain. Perilaku
B misalnya, hanya dapat dipelajari bila seseorang telahdapat
melakukan perilaku A. Kedudukan perilaku A dan B disebut
hierarkikal. Dalam suatu kurikulum rnata pelajaran A biasa
disebut mata pelajaran prasyarat untuk mengikuti pelajaran B.
Tanpa lulus mata pelajaran A lebih dahulu mahasiswa tersebut
tidak boleh dan tidak mungkin lang sung mempelajari mata
pelajaran. B. Perhatkan contoh-contoh perilaku di bawahini.
a. Kedudukan perilaku menerapkan Statistika Lanjutan dan
perilaku menerapkan Statistika Dasar. MenerapkanStatistika
Lanjutan seperti Regresi Ganda dan Analisis Variansi tidak
mungkin dipelajari mahasiswa bila ia belum marnpu
menerapkan Statistika Dasar seperti menghitung Skor Ratarata, Deviasi Standar, dan Korelasi Sederhana,
Menerapkan Statlstika Lanjutan
Menerapkan Statlstlka Oasar

Kedua perilaku tersebut tersusun secara hierarkikal.


Menerapkan Statistika Dasar merupakan prasyarat untuk
dapat menerapkan Statistika Lanjutan.
b.

90

Kedudukan perilaku mengukur luas sebidang tanah tertentu


terhadap perilaku mengukur panjang benda. Perilaku
mengukur luas sebidang yang terb~ntang di belakang rumah
misalnya, tidak akan dapat dilakukan bila belum dikuasai
cara mengukur panjang benda, walaupun telah dikuasai
rumus untuk menghitung luas benda.
Mengukur luas tanah

Mengukur panJang benda

I.

PEKERTI

Mengukur panjang benda merupakan prasyarat untuk


mengukur luas tanah. Keduanya terstruktur secar a
hierarkikal.

c.

Kedudukan perilaku mengambil keputusan terhadap perilaku


rnenganalisis altematif pemecahan masalah sarna halnya.
Perilaku mengambil keputusan untuk memecahkan masalah
tertentu hanya dapat dilakukan bila telah dikuasai cara
melakukan analisis alternatif yaitu teknik membandingkan
berbagai altematif pemecahan masalah dari berbagai segi
seperti segi efisiensi dan efektivitas.
Mengambll keputusan

Anallsls alternatlf

Masih banyak contoh lain yang dapat dikemukakan misalnya


kedudukan prilaku membuat kalimat dan mengarang cerita,
mengajukan pertanyaan dan memberikan bimbingan, dan
menghitung fungsi kuadrat dan membuat grafik dari fungsi
kuadrat.
Setiap contoh di atas dapat diteruskan dengan menambah
kotak di bawah atau di atas kedua kotak yang telah ada. Untuk
menunjukkan struktur hierarkikal, kotak tambahan itu harus
menunjukkan perilaku yang menjadi prasyaratnya (bila di bawah)
atau perilaku yang lebih tinggi tingkatannya (bila di atas).
Untuk menunjukkan struktur perilaku hierarkikal yang
berbeda dengan struktur yang lain, kedua kotak dalam setiap
contoh di atas disusun atas-bawah dan dihubungkan dengan
garis vertikal.

2. Struktur Prosedural
Struktur perilaku prosedural adalah kedudukan beberapa
perilaku yang menunjukkan satu seriurutan penampilan perilaku,
tetapi tidak ada yang menjadi periJaku prasyarat untuk yang
lain. Walaupun. kedua perilaku khusus itu harus dilakukan

91

PEKERTI

berurutan untuk dapat melakukan suatu perilaku umum, tetapi


setiap perilaku itu dapat dipelajari secara terpisah.
Berikut ini terdapat beberapa contoh perilaku yang
terstruktur secara prosedural,
a.

Dalam melakukan petUaku urnum lari cepat terdapat


sedikitnya tiga perilaku khusus yang terstruktur secara
prosedural
"
.
'
Start
(Berangkat)

Melintasl
garis finis

Ketiga perilaku khusus tersebut harus dilakukan secara


berurutan untuk dapat melakukan perilaku lari cepat dengan
baik. Tetapi setiap perilaku khusus itu dapat dipelajari secara
terpisah. Untuk belajar lari cepat dengan teknik yang baik tidak
harus dapat melakukan start lebihdahulu. Demikian pula untuk
mempelajari melintasi garis finish dengan baik, tetapi harus
dapat melakukan lari dengan teknik yang baik lebih dahulu.
Melakukan startbukanlah perilaku prasyarat untuk perilaku
lari. Demikian pula perilaku lari bukanlah prasyarat untuk
mempelajari cara melintasi garis finis. Tidak ada perilaku
khusus yang menjadi prasyarat untuk mempelajari perilaku
khusus yang lain. Ketiga perilaku khusus tersebut di atas
merupakan suatuseri gerakan yang ditampilkan secara berurutan
oleh seorang pelari cepat, tetapi tidak tersusun secara hierarkikal.
Susunan ketiganya disebut prosedural.
b.

Dalam menggunakan Overhead Projector(OHP) sedikitnya


ada tiga perilaku khusus yang terstruktur secara prosedural.
Menempatkan
transparansl
dl atas OHP

Menyalakan
OHP

r->

Mengatur
tokus

Ketiga perilaku tersebut dilakukan secara berurutan tetapt


dapat dipelajari secara terpisah antara perilaku yang satu

92
:1

PEKERTI

dan yang lain. Mahasiswa dapat mempelajari cara mengatur


fokus lebih dahulu, Pada kesempatan lain ia belajar
menempatkan tranparansi di atas OHP dan kemudian eara
rnenyalankannya. Tetapi, di dalam kegiatan keseluruhan
ketiga perilaku tersebut muneul secara berurutan sebagai
suatu seri perilaku.
c.

Dalam mengetik dengan menggunakan mesin tik biasa,


sedikitnya ada tiga perilaku khusus yang terstruktur secara
prosedural.

Memasukkan
kertas ke dalam
mesin ketik

1->

Mengatur
margin dan
spasi

->

Menghentakkan
jeri ke
keyboard

Seorang mahasiswa tidak harus menguasai cara memasukkan


kertas ke dalam mesin ketik lebih dahulu untuk dapat
menghentakkan jari ke keyboard, karena kedua kegiatan
tidak tersusunsecara hierarkikal. Tetapi, dalam suatu seri
kegiatan mengetik perilaku yang muncul secara berurutan
adalah memasukkan kertas ke dalam me sin ketik, mengatur
margin dan spasi, kemudian menghentakkan jari ke keyboard.
Contoh lain yang menunjukkan susunan prilaku yang
prosedural dapat Anda jumpai dalam kegiatan orang
menelpon, menggunakan kamera foto, dan belajar naik
sepeda.
Perilaku-perilaku yang tersusun secara prosedural dilukiskan
kotak-kotak yang berderet ke sam ping dan dihubungkan
dengan garis horizontal. Dengan demikian bila perilakuperilaku tersebut dilukiskan dalam suatu bagan, akan mudah
dibedakandariperilaku-perilaku yang tersusunsecara
hierarkikal yang tampak dihubungkan dengan garis vertikal..

93

PEKERTI

3. Struktur Pengelompokan
Di sam ping perilaku-perilaku khusus yang dapat diurut
sebagai hierarkikal dan prosedural, terdapat perilaku-perilaku
khusus yang tidak mernpunyai ketergantungan antara satu dan
yang lain, walaupun semuanya berhubungan. Dalam keadaan
seperti itu, gads penghubung antara perilaku khusus yang satu
dan yang lain tidak diperlukan. Sebagai contoh, perilaku dalam
permainan bola sodok (bilyard) di bawah ini.

Memperkirakan seberapa keras bola harus dlsodok untuk


menyenggol atau menyentuh bola lain agar bola yang
terakhir ini masuk lubanq
(C)

Menaksir jarak antara bola


yang akan disodok, bola
yang akan disenggol dan
lubang
(A)

Memperkirakan titik
senggol antara kedua
bola
I

(8)

Dalamcontoh bagan di atas, perilaku memperkirakan


seberapa keras bola harus disodok (C), mernpersyaratkan
sedikitnya duaperilaku lain, yaitu: pertama, menaksir jarak
antara bola yang akan disodok; bola yang akan disenggol dan
lubang (A); kedua memperkirakan titik senggol an tara kedua
bola (B). Kedua perilaku A dan B itu tidak tersusun secara
hierarkikal dan tidak pula secara prosedural, tetapi
pengelompokan.
Contoh lain dalam geografi. Untuk menunjukkan batas
propinsi-propinsi di Sumatera, mahasiswa harus dapat
rnenunjukkan batas setiap propinsi di bawah ini:
a. Aceh
b. Riau

94

c.
d.
e.
f.

g.
h.

PEKERTI

Sumatera Utara
Sumatera Barat
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
1

Menunjukkanbatas propinsi yangsatu dan propinsi yang


lain tidak terkait secara hierarkikal dan tidak pula secara
prosedural. Seseorang dapat mulai dari menunjukkan batas
propinsi Lampung sampai Aceh atau sebaliknya. Bahkan dapat
pula mulai dari propinsi di bag ian tengah ke selatan kemudian
ke utara. Bila digambarkan dalam bagan, kedudukan perilakuperilaku khusus tersebut tampak sebagaiberikut:

I Menunjukkan batas propinsi di pulau Sumatera I


I
Menunjukkan
batas
propinsi
Lampung

I
Menunjukkan
batas
propinsi
Sumatera
Selatan

Menunjukkan
batas
propinsi
Sumatera
Utara

Menunjukkan
batas
propinsi
Jambi

Menunjukkan
batas
propinsi
Sumatera
Barat

Menunjukkan
batas
propinsi
Bengkulu

Menunjukkan
batas
propinsi
Riau

Menunjukkan
batas
propinsi
Aceh

Contoh lain dariprilaku pengelompokan dapat Anda jumpai


dalam menjelaskan berbagai perang melawan penjajah menjelang
kemerdekaan, menjelaskan organ tubuh manusia, dan menjelaskan
berbagai jurusan eli dalam suatu fakultas.

4. Struktur Kombinasi
Suatu perilaku umum bila diuraikan menjadiperilaku khusus

95

PEKERTJ

sebagian tersebar akan terstruktur secara kombinasi antara


struktur hierarkikal, prosedural, dan pengelompokan. Sebagian
dari perilaku khusus yang terdapat di dalam ruang lingkup
perilaku umum itu mernpersyaratkan perilaku khusus yang lain.
Selebihnya merupakan urutan penampilan perilaku khusus dan
umum.
a. Perilaku umum menghitung korelasi dengan menggunakan
berbagai rumus rnisalnya, dapat diuraikan menjadi perilakuperilaku sebagai berikut:

Menghlt!Jng Korelasl dengan berbagaJ rumusl

I
Menghlrung Korelasl dengan rumus
Skor Mentah sebagal berlkut:

r xy

I
MenghlllJng Korelasl dengan rumus
Devlasl 5eOOgalberlkut:

N1:)(Y - (LX) (I:Y)

T:x.y

"NLX2 _ (1:)(2),J NI:y 2 _ (I:y 2)

Menghltung. Devlasl Standar

MenghltungJumlah perkallan
deret anaka

a--nSxs

'iCY

I
Menghltung Jumlah setlap
deret angka

Menghltung Jumlah kuadrat


setlap deret angka

Menghltung Devlasl

I
Menghltung Skor Rata-rata

Untuk menghitung korelasi dua deret skor dengan


menggunakan berbagai rumus yang ada diperlukan dua perilaku
khusus, yaitumenghitung korelasi kedua deret skor itu dengan
rumus skor mentah dan rumus deviasi. Kedua perilaku khusus
ini dapat dilakukan secara terpisah. Tetapi, keduanya rnenjadi
bagiandari perilakuumum menghitung korelasidengan berbagai
rumus.

96

pEKERTI

Perilaku khusus menghitung korelasi dengan rumus skor


mentah ini mempunyai prasyarat pula, yaitu menghitung jumlah
kuadrat setiap deretan angka, menghitung jumlah setiap deretan
angka dan menghitung jumlah perkalian kedua deret angka.
Untuk menghitung korelasi dua deret angka dengan
meriggunakan rumus deviasi diperlukan prasyarat perilaku

rnerighitung deviasi standar. Sedangkan meoghitungdeviasi


standar dapat dipelajari bila telah dikuasai perilaku menghitung
deviasi. Sebelum itu, harus puladikuasai perilaku menghitung
skor rata-rata. Bagian di atas menunjukkan kombinasi antara
str uktur hierarkikal dim struktur pengelompokan.

b.

Perilaku umum melakukan lari cepat dapat diuraikan dalam


perilaku khusus sebagai berikut:

Merangkalkan start,tarl dan


me.llntasl garls finish
Melakukan
Start

r--->

Menjelaskan
teknlk start

Mellntasl

Lan

:--> Garis Finish

Menjelaskan
. teknlk lar!

MenJelaskan
teknlk
mellntasl
garis finish

f--

'"

Perilaku umum melakukan Iari cepat terbentuk dengan cara


merangkaikan perilaku start, lari dan nielintasi garis finish.
Perilaku merangkaikan tersebut hanya dapat dilakukan bila
ketiga perilaku start, lari, dan melintasi garis finish telah
dikuasaiseluruhnya. Dengan demikian, merangkaikan start,
Lari, dan melintasi garis finish membutuhkan prasyarat

97

PEKERTI

melakukan setiapgerakan tersebut satu per satu.Mana yang


lebih dahulu harus dilakukan di antara ketiga gerakan tersebut?
Terserah! Setiap orang dapat memilih salah satu di antaranya.
Karena itu, kedudukan ketiga gerakan tersebut antara satu dan
yang lain terstruktur sebagai prosedural. Mengapa? Karena
dalam merangkaikan ketiganya pasti dimulai dengan start,
dilanjutkan dengan lari, kemudian diakhiri dengan rnelintasi
garis finish. Perilaku melakukan start mempunyai prasyarat
mampu menjelaskan teknik start. Demikian pulaIari mempunyai
prasyarat perilaku menjelaskan teknik Iari, Sedangkan perilaku
melintasi garis finish rnempunyai prasyarat menjelaskan teknik
melintasi garis finish. Bagan di atasmenunjukkan struktur
kornbinasi antara prosedural dan hierarkikal.
Dalam contoh terdahuhr-diajukan perilaku yang berada
dalam kawasan kognitif dan psikomotor. Bagaimana halnya
dalam kawasan afektif atau sikap? Terlebih dahulu perlu
diberikan definisi tentang 'ketiga kawasan perilaku tersebut.

Perilaku kawasan kognitijadalah perilaku yang merupakan


hasil proses berpikir. Dalam bahasa sederhananya adalah
perilaku hasil kerja otak. Bloom (1956), misalnya, membagi
kawasan kognitif menjadi enam tingkatan: pengetahuan,
pemahaman, penerapan, analisis, sintetis.dan evaluasi. Keenam
tingkatan yang telah disebutkan itu .secara berturut-turut
merupakan tingkatan perilaku kognitif dari yang palingrendah
atau sederhana sampai ke yang paling tinggi atau kompleks.
Menyebutkan definisi manajemen, membedakan fungsi meja
dan kur si , membuat gambar kegiatan proyek dengan
rnenggunakan PERT, menjabarkan perilaku umum menjadi
perilaku khusus, menyusun desain instruksional untuk mata
kuliah tertentu, dan memeeahkan masalah instruksional secara
sistematik merupakan contoh perilaku kawasan kognitif.
!

Gagne (1979) membagi kapabilitas manusia dalam kawasan


kognitif ini menjadi tiga macam, yaitu: keterampilan intelektual,
strategi kognitif, dan informasiverbal. Keterampilam teknis
dalam ilmu pengetahuan, keterampilan dalam meneari eara
pemecahan masalah, danketerampilan mengungkapkan kembali
pengetahuan verbal yang telab dimiliki adalah contoh ketiga
kapabilitas tersebut secara berturut-turut.

98

PEKERTI

Perilaku kawasan p sikomotor adalah perilaku yang


dimuneulkan oleh hasil kerja fungsitubuh manusia. Ia berbentuk
gerakan tubuh. Berlari, melompat, melempar, berputar, memukul
dan menendang adalah perilaku psikomotor. Dave (1967)
membagi perilaku kawasan psikomotor daiam lima jenjang
perilaku, yaitu: menirukan gerak, memanipulasikan kata-kata
menjadi gerak, melakukan gerak dengan.tepat, rnerangkaikan
berbagai gerak, dan melakukan gerak dengan gerak wajar dan
efisien.
Perilaku afekti/adalah perilaku yang dimunculkan seseorang
sebagai pertanda kecenderungannyauntuk tnembuat pilihan
atau keputusan untuk beraksi di dalam lingkungan tertentu.
Menganggukkan kepala yang ditafsirkan sebagai tandasetuju,
rneloncat dengan muka berseri-seri sebagai tanda kegirangan
dan pergi ke masjid atau ke gereja sebagai tanda beriman kepada
Tuhan Yang Maha Esa adalah eontoh perilaku dalam kawasan
afektif atau sikap. Bloom dan Masia (1964) membagi kawasan
ini menjadi lima tingkatan kemampuan, yaitu: menerima nilai,
rnembuat respon terhadap nilai, menghargai nilai-nilai yang
ada, mengorganisasikan nilai, dan mengamalkan nilai secara
konsisten atau karakterisasi.
Sebenarnya sikap itu tidak tampak oleh mata.la berada "di
dalam hati. Tetapi, siapa yang dapat membaea isi hati orang
lain kalau sikap itu tidak dimunculkanberupa kata-kata, gerakan
badan atau kombinasi keduanya? Dengan perkataan lain,
seseorang menafsirkan sikap orang lain dengan melihat
perilakunya atau
gejala yang ditirnbulkannya.Penafsiran
seperti ini sangat sulit. Kunei utamanya terletak kepada
bagaimana eara menafsirkan perilaku tertentu sebagai sikap
tertentu pula.
II

Prinsip menafsirkan perilaku atau gejala untuk menyatakan


sikap orang sering kali masih diperdebatkan karena kekhawatiran
tetjadinya salah tafsir. Bagaimana dengan orang yang
berperilaku pura-pura seperti menangis padahal ia sebenarnya
gembira?Orang harus berhati-hati dan sangateermat dalam
rnenafsirkan sikap orang lain dari perilakunya. Tetapi, berlainan
halnyadengan penafsiran terhadap kemampuan berpikir orang
dengari melihat gejalanya dalam menjawab tes atau penafsiran
kemampuan psikomotor orang dengan melihat hasil gerakannya.

99

PEKERTI

Cara seperti ini telah diterima tanpa perdebatan yang panjang.


Skor mahasiswa dalam tes inteligensi atau Matematika
ditafsirkan sebagai tingkat inteligensinya atau kemampuannya
dalam Matematika. Orang mungkin yang bertanya; "Apakah
cara itu benar? Apakah tidak mungkin skor itu begitu rendah
karena mahasiswa itu tidak mau menjawab seluruh butir tes
yang diajukan walaupun ia sangat paham bagaimana
menjawabnya dengan benar. Bukankah mungkin pula seseorang
mencapai nilai tinggi dalam suatu rnata pelajaran karena berhasil
mencontoh dari ternan dekatnya atau dari buku?"
Jadi, kunei dari dapat atau tidaknya perilaku itu dijadikan
alat untuk menafsirkan kemampuan orang, baik dalam kawasan
kognitif, psikomotor, maupun sikap terletak pada eara atau
metode dan instrumen yang digunakan untuk memuneulkan
perilaku tersebut, bukan tergantung kepada jenis kawasan
perilaku tersebut.
Kembali kepada top ik pembahasan kita bagaimana
menjabarkan perilaku umum rnenjadi perilaku khusus dalam
kawasan afektif pada dasarnya tidak berbeda dengan kawasan
kognitif dan psikomotor. Setelah diketahui perilaku umum yang
terdapat dalam tujuan instruksional urnum, pengembang
instruksional selanjutnya mencari jawaban atas pertanyaan
sebagai berikut; "Perilaku khusus apa saja yang mengacu kepada
munculnya perilakuumum tersebut?" Untuk mencari jawaban
terhadap pertanyaan tersebut, pengernbang instruksional
melakukan analisis instruksional dengan langkah-Iangkah yang
tercantum dalam subbab berikut ini.

c.

Langkah-Iangkah Melakukan Analisis.lnstrukslonal

Berikut ini adalah langkah-langkah untuk digunakan dalam


melakukan analisis instruksional.
.
1. Menuliskan perilaku umum yang telah Anda tolis dalam
TIU untuk mata pelajaran yang sedang Anda kembangkan.
2.

Menulis setiap perilaku khusus yang rnenurutAnda menjadi


bag ian dati perilaku umum tersebut, Jurnlah perilaku khus.us
untuk setiap pertlaku umum berkisar llntara 5-10 buah, Bl~a
sangat diperlukan, Anda masih mungkin menambahnya Iebih
banyak.

100

PEKERTJ

3.

Menyusun perilaku khusus tersebut ke dalam suatu daftar


dalam urutan yang Iogis dimulai dari perilaku umum, perilaku
khusus yang paling "dekat" hubungannya dengan perilaku
umum diteruskan "mundur" sampai perilaku yang paling
jauh dari perilaku umum.

4.

Menambah perilaku khusus tersebut atau mengurangi jika


perlu, Tanamkan dalam pikiran Anda bahwa Anda harus
berusaha metengkapi daftar perilaku khusus itu.

5.

Menulis setiap perilaku khusus tersebut dalam suatu ternbar


kartu atau kertas ukuran 3 X 5 em.

6.

Menyusun kartu tersebut di atas meja atau lantai dengan


menempatkannya datam 'struktur hierarkikal, prosedural
atau penglompokan, menurut kedudukan masing-masing
terhadap kartu yangJain. Letakkankartu-kartu tersebut
sejajar atau horisootal untuk perilaku-perilaku yang
mempunyai struktur prosedural dan pengelompokan serta
letakkao seeara vertikal untuk perilaku-perilaku yang
hierarkikal. Dalamproses ini Anda seolah-olah sedang
bermain kartu dengan cara mencocokkan letak suatu kartu
di antara kartu yang lain. Hal itu, akan mengasyikkan,
mungkin memakan waktu berjam-jam.

7. Jika perlu, tambahkandengan perilaku khusus lain yang


dianggapperIu atau kurangi biladianggap .lebih. Sampai
batas ini Anda harus yakin betul bahwa tidak ada perilaku
khusus yang masih ketinggalan atau kelebihan serta
susunannya menurut struktur hierarkikal, prosedural,
pengelompokan, atau kombinasi.
8.

Menggambar letak perilaku-perilaku tersebut dalam bentuk


kotak-kotak di atas kertas lebar sesuai dengan letak kartu
yang telah Anda susun, Hubungkan kotak-kotak yang telah
Anda gambar tersebut dengan garis-garis vertikal dan
horisontal untuk menyatakan hubungannyayang hierarkikal,
prosedural, ataupengelompokan.

9.

Meneliti kemungkinan menghubungkanperilaku urnurn yang


satu dan yang lain atau perilaku-perilaku khusus yang
berada di bawah perilakuumum yangberbeda.

101

PEKERT/

10. Memberi nomor urut pada setiap perilaku khusus dimulai


dari yang terjauh sampai ke yang terdekat dengan perilaku
umum. Pemberian nornor urut ini akan menunjukkan urutan
perila.ku tersebut bila diajarkan kepada mahasiswa. Ada hal
yang perlu diperhatikan dalam rnemberi nornor urut tersebut.
Pertama, pemberian nomor urut perilaku-perilaku khusus
yang terstruktur hierarkikalharus dilakukan dari bawah ke
atas. Kedua, pemberian nomor urut perilaku-periIaku khusus
yang terstruktur prosedural dapat berlainan dari urutan
penampilan periIaku-perilaku khusus tersebut dalam
pekerjaan. Urutan perilaku-perilaku khusus tersebut
dilakukan dari yang lebih sederhana ke yang lebih kompleks
atau sulit dan kemiripan atau kaitan gerakan yang satu dan
yang Iain, Ketiga, pemberian nomor urut perilaku-perilaku
khusus yang terstruktur pengelompokan dilakukan dengan
cara yang sarna dengan prosed ural.
11. Mengkonsultasikan atau mendiskusikan bagan yang telah
Anda
susun dengan ternan sejawat untuk mendapatkan
masukan. Hal-hal yang perIu diperhatikan dalam diskusi
.
tersebut adalah:
a. Lengkap tidaknya perilaku khusus sebagai penjabaran
dari setiap perilaku umum;
b. Legis tidaknya urutan dari perilaku-perilaku khusus
menuju perilaku umum;
c. Struktur hubungan perilaku-perilaku khusus tersebut
(hierarkikal, prosedural, penge.lompokan, atau
kombinasi).
Setiap perilaku yang telah ditulis masih dapat diperinci lagi
menjadi perilaku yang lebih kecil atau halus lagi tergantung
kepada keinginan pengern bang instruksional, sampai batas mana
ia akan berhenti. Dalam praktik melakukan analisis instruksional
bagi kebutuhan mata pelajaran Andavsatu perilaku umum
dapat diuraikan sehingga menjadi 5 sampail0 perilakukhusus.
Bila Anda menghendakinya, setiap perilaku khususitu masih
mungkin dijabarkan lagi. Bila lebih cermat dan lebih rajin
melakukan kegiatan analisis tersebut, Anda akan lebih mudah
melakukan langkah-langkah pengembangan instruksional
selanjutnya. Pekerjaan menganalisis tersebut sangat menantang,
tetapi tidak terlalu sulit sepanjang Anda dapat menyediakan
waktu untuk itu. Pekerjaan tersebut banyak menuntut

102

PEKERTI

penggunaan logika. Di sinilah salah satuletak penggunaan akal


sehat dalam proses pengembangan instruksional.

D. Latlhan
I.

DenganmenggunakanTID yang telah Andarumuskan, lakukanlah


analisis instruksional dengan mengikuti langkah-langkah pada
halaman 100--102. Untuk: menyelesaikan latihan ini mungkin
Anda perlu waktu sepuIuh jam atau lebih. Untuk meneegah
kelelahan, Anda dapat membaginya menjadi 2-.;3 kali kerja, Bila
menyelesaikan latihan ini dengan baik, Anda akan jauh Iebih
mudah dalam proses pengembangan instruksional selanjutnya.

2.

Perhatikan dua basil analisis instruksional berikut ini dan eoba


identifikasi struktur jenis prilaku yang ada di dalamnya. Untuk
jenis melakukanlatihan iniAnda perlu menguasai pengertian dan
em-ciri setiap jenis strukturprilaku, apakah hierarkikal, prosedural
atau pengelompokan, atau kornbinasi.
Kedua hasil analisis instruksional ini adalah hasil karya Drs.
Alkardi tentang Matematika Dasar dan Dra.WidiaPekerti ten tang
DireksiMusik.(1992).MerekaadalahmahasiswaS2padaFakultas
Pasca Sarjana IKIP Jakarta taboo 1991 yang pada waktu itu
sedang mengambil matakuliah Desain Instruksional.

103

PEKERTI

E. Rangkuman
Langkah kedua dalam MPI, melakukan analisis instruksional,
yaitu kegiatan menjabarkan perilaku umum menjadi perilaku
yang lebih kecil atau spesifik serta mengidentifikasi hubungan
antara perilaku spesifik yangsatu: dan perilaku spesifik yang
lain. Konsep yang digunakan MPI dalam proses penjabaran
perilaku umum menjadi perilaku khusus tidak berorientasi
terhadap suatu tak$onomi :peti;l~q tertentu, seperti taksonomi
yang disusun oleh Gagne atau Blooml Di samping itu,
penggunaannya dalam analisis instruksional yang telah
didemonstrasikan oleh Gagne & Briggs (1979) dan Dick &
Carey (1985) ternyata sang at samar dan terlalu rumit.
Proses menganalisis instruksional yang digunakan oleh MPI
didasarkan kepada berpikir logis, analitik, dan sistematik.
Contoh-contoh yang digunakan sangat sederhana untuk
menghindarkan pembaca dad perasaan sulit.
Daftar Kepustakaan
Dick, W. & Carey, L. The Systematic Design of Instructional
(2nd Ed.) Glenview, Illinois: Scott, Foresmen and Company, 1985
Reigeht, Car., Merril, M.D., Bunderson,C.V. The Structure of
Subject Matter Content and Its Instructional Design
Implications. Instructional Science, 1918, 7.

106

;: '!Ii L

!-

: l '

PEKERTI

BABV
MENGIDENTIFIKASI PERILAKU DAN
KARAKTERISTIK AWAL MAHASISWA

.1--

IDENTIFIKASI
KEBUTUHAN

I.IENUUS

MaM!SUN

. TIWAN
INSTRUK

INSTRUKSlOHAL
DAN I.IENUUS
~)o

SIONAI.

TUJUAN

_ _ ....J

DESAJN DAN

BANGKAH

1oIElAKSANA

At

I
I
I
I
I
I

IolEHGEM-

BAHAN ~) KAH EVAlUASI


FOll......T1F
IHSTRUK
SlONAI.

>'

KHUSUS
(TIK)

INSTRUKSlONAL.
UMUlI (TlU)

SISTEM
~) INSTRUK

SIONAl.

IIEHYIJSlIH
STRATEGI
INSTRUI<SIONAL

I
I

I
...::!I

Keterampilan mabasiswa yang ada dalam kelas acap kali


sangat heterogen. Sebagian mahasiswa sudahbanyak tahu,
sebagian lagi belum tabu sarna sekali tentang materi yang
diajarkan di kelas. Bila pengajar mengikuti kelompok mahasiswa
yang pertama, kelompok yang kedua merasaketinggalan kereta,
yaitu tidak dapat menangkap pelajaranyang diberikan.
Sebaliknya, bila pengajar mengikuti kelompok yang kedua,
yaitu mulai dari bawah, kelompok pertama akan merasa tidak
.
belajar apa-apa dan bosan.
Untuk mengatasi hal ini, ada dua pendekatan yang dapat
dipilih. Pertama, mahasiswa menyesuaikan dengan materi
pelajaran dan kedua, sebaliknya, materi pelajaran disesuaikan
dengan mahasiswa.
.

107

PEKERTI

Pendekatan pertama, mahasiswa menyesuaikan dengan


rnateri pelajaran, dapat dilakukan sebagai berikut:
I.

Seleksi Penerimaan Mahasiswa


a. Pada saat pendaftaran mahasiswa diwajibkan memiliki
latar belakang pendidikan yang relevan dengan program pendidikan yang akan diambilnya;
b. Setelah memenuhi syarat pendaftaran di atas, niahasiswa
mengikuti tes masuk dalam pengetahuan dan
keterampilan yang sesuai dengan program pendidikan
yang akan diambilnya.
Proses seleksi ini sering dilakukan oleh lembaga-Iembaga
pendidikan formal seperti perguruan tinggi dalam
menyeleksi calon mahasiswa untuk memasuki universitas
dan sekolah-sekolah menengah swasta yang ingin memilih
calon siswa yang baik.

2.

Tes dan Pengelornpokan Mahasiswa


Setelah melalui seleksi seperti dijelaskan dalam butir 1,
masih ada kemungkinan \pengajar menghadapi masalah
heterogennya mahasiswa yang mengambil mata pelajaran
tertentu. Karena itu, perh; dilakukan tes sebelum mengiku ti
pelajaran untuk mengelompokkan mahasiswa yang boleh
mengikuti mata pelajaran tersebut. Selanjutnya, atas dasar
setiap kelompok tersebut mengikuti tingkat pelajaran
tertentu. Tes dan pengelompokan seperti ini biasa dilakukan
oleh lembaga-lembaga pengelola kursus bahasa Inggris.

3. Lulus Mata Pelajaran Prasyarat


Alternatif lain untuk. butir dua di atas adalah
mengharuSkan mahasiswa lulus mata pelajaran yang
mempunyai prasyarat, Dalam suatu program pendidikan
seperti di Perguruan Tinggi terdapat sebagian keeil mata
kuliah yang .seperti itu.
Pendekatan kedua, materi pelajaran disesuaikan denga~
mahasiswa. Pendekatan ini hampir tidak -memerlukan seleksJ
penerimaan mahasiswa. Pada dasarnya, siapa saja boleh maspk
dan mengikuti pelajaran tersebut. Mahasiswa yang masih belum .

108

PEKERTI

tahu sama sekali dapat mempelajari mated pelajaran tersebut


dari bawah karena mated pelajaran memang disediakan dati
tingkat itu. Mahasiswa yang sudah banyak tahu dapat mulai dari _
tengah atau di atasnya. Bahan pelajaran Itu didesain untuk
dapat menampung mahasiswa dalam tingkat kemampuan awal
mana -pun. Selanjutnya, mahasiswa dapat maju menurut
kecepatan masing-masing.karena bahan tersebut didesain untuk
hal tersebut. Walaupun pada dasarnya tidak perlu seleksi, bila
mata pelajaran tersebut diberikan dalam rangka program
pendidikan formal, seleksi penerimaan mahasiswa tetap
diadakan. Seleksi ini untuk menerima mahasiswa yang dapat
memenubi syarat pendidikan secara formal, misalnya barus
mempunyai ijazah-SMTA untuk masuk Universitas Terbuka,
atau ijazah SD untuk SMTPTerbuka. Seleksi tersebut sangat
longgar, karena materi pelajarannya didesain untuk menampung
mahasiswa yang heterogen. Pendekatan kedua ini belum biasa
dilakukan dalam sistem pendidikan di luar pendidikan jarak
jauh atau sistem pendidikan yang memberikan pelajaran secara
klasikal.
Kedua pendekatan di atas bila dilakukan secara ekstrirn,
tidak ada yangsesuai untuk mengatasi masalah heterogennya
mahasiswa dalam sistem pendidikan biasa. Karena itu, marilah
kita lihat pendekatan ketiga yang mengkombinasikan kedua
pendekatan di atas. Pendekatan ketiga ini mempunyai ciri
sebagai berikut:
a. Menyeleksi penerimaan mahasiswa atas dasar Iatar belakang
pendidikan atau ijazah, Seleksi ini biasanya lebih bersifat
administratif.
b. Melaksanakan tes untuk mengetahui -kemampuan dan
karakteristik awal mahasiswa. Tes ini .tidak digunakan
sebagai alat menyeleksi mahasiswa, tetapi untuk dijadikan
dasar penyusunan bahan pelajaran.
c. Menyusun bahan instruksional yang sesuai dengan
kemampuan dan karakteristik awal mahasiswa.
d. - Menggunakan sistem instruksional yang memungkinkan
mahasiswa maju menurutkecepatan dan kemampuan masingmasing. e. Memberikan supervisi kepada mahasiswasecara individual.
Dari uraian singkat di atas diperoleh gambaran bahwa
perilaku dan karakteristik awal mahasiswa penting, karena

109

PEKERTI'

mempunyai implikasi terhadappenyusunan bahan belajar dan


sis teminstruksional.
Bab ini akan membicarakan secara khusus eara
mengidentifikasi perilaku awal dan karakteristik mahasiswa.
Hasilnya akan merupakan salah satu dasar dalam
mengembangkan sistern instruksional yang sesuai untuk
mahasiswa tersebut. Dengan melaksanakan kegiatan tersebut,
masalah heterogennya mahasiswa dalam kelas dapat diatasi,
setidak-tidaknya banyak dikurangi.

A. Perilaku Awal Mahasiswa .


Siapa kelornpok sasaran, populasi sasaran, atau sasaran
didik kegiatan instruksionaI itu? Istilah itu digunakan untuk
menanyakan dua hal tentang perilaku mahasiswa: Pertama,
menanyakan mahasiswa yang mana atau mahasiswa sekolah
apa. Kedua, menanyakan sejauh mana pengetahuan dan
keterampilan yang telah mereka miliki sehingga dapat mengikuti
pelajaran tersebut.
Pertanyaan di atas sangat penting dijawab oleh pengembang
instruksional sehingga sejak permulaan kegiatan instruksional
telah dapat disesuaikan deugan mahasiswa yang akan
mengikutinya. Jawaban itu merupakan pula suatu batasan bagi
mahasiswa yang bermaksud rnengikuti pelajaran tersebut,
sehingga bila belum mempunyatperilaku awal tersebut,
mahasiswa sebaiknya tidak mengikuti pelajaran tersebut.
Populasi sasaran dirumuskan secara spesifik seperti contoh
. .
di bawah ini.
1. Mata kuliah ini disediakan bagi mahasiswa yang memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. Terdaftar pada perguruan tinggi ini pada tahun ajaran
atau semester ini;
b. Telah tutus mata kuliah A.
110

PEKERTI

2. Pclajaranini disusun bagi siswa kelas II SMA yang


mempunyai minat dalam kelompok bidang studi AI.
3. Kursus ini disediakan bagi karyawan pemerlntah atau
perusahaanswasta yang memenuhi syarat sebagai berikut;
. a. Mempunyai ijazah minimal sarjana muda dalam bidang
X atau setaraf;
b. Telah pernah mengikutidan lulus dalam kursus Y;
c. Menguasai bahasa Inggris minimal secara pasif untuk
membaca dan mendengarkan kuliah dalam bahasa
Inggris.
Perumusan populasi sasaran seperti contoh tersebut di alas
memang dapat membantu kelancaran penyelenggaraan kegiatan
instruksional,
.
Perumusanpopulasi ini biasanya ditetapkan oleh lembaga
pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan. Tetapi
seorang pengembang instruksional masih perlu mencari informasi
lebihjauh tentang kemarnpuan populasi sasaran yang dimaksud
dalam menguasai setiap perilaku khusus yang telah dirumuskan
.dalam analisis instruksional. Anda masih ingat, bukan? Perilakuperilaku khusus itu tersusun secara hierarkikal, prosedural,
pengelompokkan, .atau kombinasi ketiganya atau dua di
antaranya. Tingkat kemampuan populasi sasaran dalam perilakuperilaku khusus itu perIu di!~l?~lifikasiagar pengembang.
inStruksional dapat menentuKan ~'Iiiana -pefilakukhusus yang
s1idah.dlkuasaimahasiswa sehingga tldak perlu diajarkan
. kembafi, dan mana yang belum dikuasa! mahasiswa-untuk
diajarkan, Dengan demikian, pen gembang instruksional dapat
pula menentukan titikberangkaryang sesuai bagi mahasiswa.
Ada tiga macamsumber yang dapat mernberikan informasi
kepada pendesain instruksional.. yaitu:
1. Mahasiswa atau calon mahasiswa;
2. Orang-orang yang mengetahurkemampuan mahasiswa atau
calon-mahasiswa dari dekat seperti "betas" .guru atau
atasannya;
.
3. Pengelola program pendidikanyang biasa mengajarkan
mata pelajaran tersebut.
Teknik yang digunakan dalam mengidentifikasi kebutuhan
instruksional yaitukuesioner, interviu dan observasi, dan tes,

111

PEi(ERTI

Teknik tersebut dapat pula digunakan untuk mengidentifikasi


perilaku awal mahasiswa, Subjek yang memberikan informasi
diminta untuk mengidentifikasi seberapajauh tingkat penguasaan
mahasiswa atau calon mahasiswa dalam setiap perilaku khusus
melalui skala penilaian (rating scales).
. Teknik yang dapat menghasilkan data yang Iebih "keras"
adalah tes penampilan mahasiswa dan observasi terhadap
pelaksanaan pekerjaan mahasiswa serta tes tertulis untuk
mengetahui tingkatpengetahuan mahasiswa. Tetapi.ibila tes
seperti itu tidak tepat dilakukan karena dirasakan kurang etis,
kesulitan teknik pelaksanaan, atau tidak mungkin dilakukan
karena sebab yang lain. penggunaan skala penilaian cukup
memadai. Skala penilaian tersebut diisi oleh orang-orang yang
tahu secara dekat terhadap kemampuan mahasiswa dan diisi
oleh mahasiswa sebagai "self-report".
Berdasarkan masukan ini, dapat ditetapkan titik berangkat
atau permulaan pelajaran yang harus diberikan pada mahasiswa,
Titik itu adalah perilaku khusus di atas garis batas yang telah
dikuasai mahasiswa atau calon mahasiswa,
Apa beda kegiatan ini dengan proses mengidentifikasi
kebutuhan instruksional? Pertama, kebutuhan instruksional
untuk mengidentifikasi benar tidaknya masalah yang dihadapi
harus diselesaikan dengan penyelenggaraan kegiatan
instruksional, Sedangkan mengidentifikasi perilaku awal tidak
berhubungan dengan masalah tersebut. Kedua, kebutuhan
instruksional untuk mengidentifikasiperilaku umum yang akan
dijadikan tujuan instruksional umum. Sedangkan kegiatan
mengideutifikasi perilaku awal untuk mengidentifikasi perilaku
khusus yang telah dikuasai mahasiswa. Hasil akhir dari kegiatan
mengidentifikasi perilaku awal ini akan dijadikan pedoman
untuk rnenetapkanperilaku-perilaku khusus yang tidak perlu
diajarkan lagi dan perilaku-perilaku khusus yang masih harus
diajarkan. Dengan demikianhasilkegiatan tersebut dapat pula
digunakan untuk menetapkan "titik berangkat" dalam mengajar.
Informasiyang diperoleh dari mahasiswa, masyarakat, dan
pendidik tidak selalu sejalan. Pengetahuan dan keterampilan
yang dirasakan telah cukup dikuasai oleh mahasiswa, adakalanya
dinilai sebaliknya oleh sumber infonnasi yang lain. Demikian
pula pengetabuan atau keterampilan yang dianggap tidak penting
dan tidak relevan oleh mahasiswa, mungkin dianggap sebaliknya
oleh pendidik. Dalam bal sepertt itu pongembang ins~uksional
yang melakukan keglatan identifikasi perilaku awal mahasiswa
112

PEKERTI

harus menafsirkan data dengan lebih hati-hati. Walaupun pada


dasarnya pengembang instruksional bar us lebih memusatkan
perhatian padainformasi yangdiperoleh dari mahasiswa, data
dari sumber lain tidak dapat diabaikan begitu saja. Untuk data
yang sulit ditafsirkan karena perbedaan pendapatberbagai pihak
seperti yang digambarkan tadi, perIu diadakan pendekatan seminar atau pertemuan kecil yang diikuti berbagai pihak yang
bersangkutan dan pengembangan program agar dapat -ditarik
kesimpulan yang lebih tepat.

B. Karakteristik Awal Mahasiswa


Di samping mengidentifikasi perilaku awal mahasiswa,
pengembang instruksionalharus pula mengidentifikasi
k arakteristik mahasiswa yang berhubungan dengan keperIuan
pengembangan instruksional. Minat mahasiswa pada umumnya,
misalnya pada olahraga, karena sebagian besar mahasiswa adalah
penggemar olahraga, dapat dijadikan bahan dalam memberikan
. contoh dalam rangka penjelasan materi pelajaran. Kemampuan
mahasiswa yang kurang dalam rnembaca bahasa Inggris
rnerupakan masukan pula bagi pengembang instruksional untuk
rnemilih bahan-bahan pelajaran yang tidak berbahasa Inggris
atau menerjemahkannya terlebih dahulu ke dalam bahasa Indonesia.
.
Demikian pula bila mahasiswa senang dengan lelucon,
pendesain instruksional sebaiknya mempertimbangkan
penggunaan lelucon dalam strategi instruksionalnya. Bila
mahasiswa sebagian besar tidak mempunyai video di rumah,
pendesain instruksional tidak dapat membuat program video
untuk dipelajari mahasiswa di rumah. Informasi di atas perlu
dicari oleh pengembang instruksional sehingga iadapat
mengembangkan sistem instruksional yang sesuai dengan
karakteristik mahasiswa tersebut.
Teknik yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi
karakteristik awal mahasiswa sarna dengan teknik yang
digunakandalam mengidentifikasi perilaku .awal, yaitu
kuesioner, interviu, observasi, dan tes.
Informasi yang dikumpulkan terbatas kepada karakteristik
mahasiswa yang ada manfaatnya dalam proses pengembangan
I
instruksionaI.

113

p,EKEFrrI

c.

Latlhan

Berikut ini latihan untuk Andadalam mengidentifikasi


perilaku dan karakteristik awal mahasiswa. Latihan ini akan
mernakan waktu yang cukup panjang, karena Anda harus
rnengumpulkan data dari lapangan. Ikutilah latihan ini dengan
tekun.
1. Kumpulkanlah data perilaku awal mahasiswa dari orang-

orang yang dekat dan dapat menilai kemampuanpopulasi


sasaran dengan cara:
a. Tulislah kernbali daftar perilaku khusus yang telah
berhasil Anda buatdalam kegiatan analisis instruksional;
b. Atas dasar perilaku khusus tersebut, buatlah skala
penilaian sebagai berikut:
No. Perllaku Khusus Arnat

Baik

CUwp

Jelek

Arnat
Jelek

Balk

Keterangan:
Kolom 1= Nomor urut
Kolom 2 = Perilaku khusus yang telah dihasilkan dalam analisis
.instruksional
Kolom 3 s.d. 7 Skala penilaian.

c.

Berilah pengantar cara mengisi skala penilaian tersebut


dan perbanyak secukupnya;
d. Berikan skala penilaian tersebut kepada orang-orang
yang dekat dan dapat menUai kemampuan populasi
sasaran seperti atasan dan guru mereka. Jumlah penilai
tergantung kepada besarnya populasi sasaran. Untuk
mahasiswa dalam jumlah kecll, sekitar 10-20 responden
sudah cukup memadai, Untuk mahasiswa dalam jumlah
besar dan ruang lingkup nasional misalnya, diperlukan
sekitar 30 sampai 50responden;

114

PEKERTI

e. Kumpulkan hasil isian tersebut.


2.

Kumpulkanlah data perilaku awal mahasiswa dari sampel


mahasiswa, Di samping data dari orang-orang yang dekat
dengan sasaran, diperlukan pula data dari sampel sasaran
itu sendiri dengan bentuk self-report. Ikutilah langkahlangkah sebagai berikut:
a. Tulislah kembali perilaku khusus yang telah berhasil
Anda buat dalam analisis instruksional;
b. Atas dasar perilaku khusus tersebut, buatlah skala
penilaian dalam bentuk skala Likert (sangat setuju,
setuju, netral, tidak setuju, dan sang at tidak .setuju);
c. Berilah pengantar cara mengisi skala penilaian tersebut
dan perbanyak secukupnya;
d.Berikan skala penilaian tersebut kepada sejumlah orang
yang dapat mewakili populasi sasaran. Jumlahnyajuga
tergantung dari besarnya populasi sasaran. Yang paling
penting diperhatikan adalah orang-orang tersebut
memang memiliki ciri-ciri seperti populasi sasaran,
sehingga dapat dipandangsebagai sampel yang
representatif;
e. Kumpulkan hasil isian tersebut.

3.

Kumpulkan data perilaku awalmahasiswa dengan


menggunakan observasi dan tes. Dibandingkan dengan dua
cara mengumpulkan data perilaku awal mahasiswa .yang
telah dikemukakan di atas, observasi dan tes adalah cara
yang lebih mantap.karena dapat mengumpulkan data yang
lebih "keras". Observasi dilakukan untuk menilai
kemampuan yangbersifat pelaksanaan kegiatan atau
pekerjaan atau keterampilan. Skala penilaian seperti butir
I di atas dapatdigunakan dalam observasi tersebut. Bedanya
adalah: skala penilaian yang digunakan dalam observasi
dUsi oleh orang yang mengobservasi (mengamati) kegiatan
yang sedang dilakukan mahasiswa, Sedangkan dalam butir
1 di atas diisi oleh atasan atau dosen atas dasar pendapat
mereka tanpa mengamati langsung kegiatan mahasiswa yang
sedang dinilai. Tes digunakan untuk menilai kemampuan
yang bersifat kognitif. Bila Anda dapat menggunakan
observasi dan tes, cara dalam butir 1 dan 2 di atas tidak diperlukan lagi. .

115

PEKERTI
!

4.

Kumpulkanlah data karakteristik awal mahasiswa dengan


mengikuti langkah-Iangkah sebagai berikut:
a. Buatlah daftar pertanyaan atau kuesioner tentang
karakteristik mahasiswa seperti:
1) Tempat kelahiran dan tempat dibesarkan
2) Pekerjaan atau bidang pengetahuan yang menjadi
. keahliannya atau dicita-citakan untuk menjadi
bidang keahliannya
3) Kesenangan (hobby)
4) Bahasa sehari-hari dan bahasa asing yang dikuasai
5) Alat-alat audio-visual yang dimiliki di rumah atau
biasa digunakan sehari-hari
6) dan lain-lain yang. dianggap penting bagi
pengembangan desain instruksional.
b. Berikanlah kuesioner tersebut kepada sejumlah sampel
yang dapat mewakili populasi sasaran;
c. Kumpulkan hasilnya.

5.

Analisislah hasil pengurnpulan data butir 1 dan 2 atau butir


3 saja untuk menentukan perilaku awal yang telah dikuasai
populasi sasaran. Kelompokkan perilaku yang mendapat
nilai cukup dan diatasnya. Pisahkan dari perilaku yang
rnasih sedang, kurang atauburuk.

6.

Buatlah garis batas antara kedua kelompok perilaku tersebut


pada bagan hasil analisis instruksional untuk menunjukkan
dua hal sebagai berikut:
a. Perilaku-perilaku yangada di bawah garis batasadalah
perilaku yang telah dikuasar oleh populasi sasaran
sampai tingkatcukup dan baik. Perilaku-perilaku ini
tidak akan diajarkan kernbali kepada mahasiswa;
b. Perilaku-perilaku yang ada di atas garis batas adalah
perilaku yangbelumdikuasai oleh populasi sasaran
atau barn dikuasai sampai tingkat sedang, kurang, dan
.buruk. Perilaku-perilaku tersebutakan diajarkan kepada
mahasiswa.

7.

Susunlah urutan perilaku yang adadi atas garis batas untuk


dijadikan .pedoman dalam menentukan .urutan materi
pelajaran.

. ,

116

PEKERTJ

8.

Tafsirkanlah data tentang karakteristik mahasiswa untuk


menggambarkan bal sebagai berikut:
a. Lingkungan budaya;
b. Pekerjaan atau bidang pengetahuan yang menjadi
keahlian;
c. Kesenangan (hobby);
d. Bahasa yang dikuasai;
e. Alat audio visual yang dimiliki atau yang biasa
digunakan sehari-hari;
f. Dan lain-lain.

Data tentang karakteristik mahasiswa disimpao dahulu untuk


digUDakan dalam Bab VIII. yaitu dalam menyusun strategi
instruksionaJ.

D. Rangkuman
Langkah ketiga dalam MPI. yaitu mengidentifikasi perilaku
dan karakteristik awal mahasiswa, mengemukakan pendekatan
n menerima mahasiswa apa adanya dan menyusun sistem
instruksional atas dasar keadaan mahasiswa tersebut". Karena
itu, langkah ketiga MPI merupakanproses untuk mengetahui
perilaku yang dikuasaimahasiswa sebelum mengikuti p~lajaran,
bukan untuk.menentukan perilaku pra'syaiatdatapl...pngk~'
menye leksi maha'siswa sebelum mengikutipelajaran.
Konsekuensi yang digunakan oleh MPI adalah: titikmulai suatu
kegiatan instruksional tergantung kepada perilaku awal
mabasiswa.

Daftar Kepustakaan,

Dick,W. & Carey, L: The Systematic Design of Instruction


(2nd Ed.). Glenview, Illinois: SCOtt,Foresman and Company! 1985.
Popham, W. James. Modern Educational Measurement.
Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1981.

117

PEKERTI

BAS VI
MERUMUSKAN TUJUAN INSTRUKSIONAL
KHUSUS
r------,-~-----t

.)

I.lEl.AKUKAN
ANAUSIS
INSTRUKSIONAL

~=b

KEBUTUHAN
INSTRUKSIONAL
OANMENUUS
~)

TUJUAN

INSTRUKSIONAL
UMUM(TI\J)

Ii

IOENTlFIKASI

{.

"i(

'if

MEIIGEMBAHGl<AIl

BAHAN
INSTRUK

1~~I!!!llli!I!~'

UElMJSUN
DESAlNDAN
t.IE1.AKSANA-

SISTI

~) KAN EVALUASI _) INSTR


SION,
FORMAnF

SJONAL

,t

"t

I
I
I
MENGlDENnFlKASI
PERILAKUDAN
f
I
KARAKTERISTlK
AWAJ..NAHASlSWA
I
I
t
__
L . J.

I
I
I
I
I
I
I

I
I
I
I
I
I
..:ff
'

L)

NENYUSUN
STRATEGl
INSTRUIISlOIlAl.
/!>.

Hasil akhir dari kegiatan rnengidentifikasi perilaku dan


karakteristik awal rnabasiswa adalah menentukan garis batas
antara perilaku yang tidak perlu diajarkan dan perilaku yang
barus diajarkan kepada mahasiswa, Perilaku yangakan diajarkan
ini kemudian dirurnuskan dalam bentuk tujuan instruksional
khusus (TIK).

Bab ini akan membahas konsep dan cara merumuskan TIK


sehingga dapat dijadikan dasar dalam penulisan tes dan strategi
instruksional.
.

118

PEKERTI

A. Pengertlan TIK
Tujuan instruksional khusus terjemahan dad specific instructional objective. Literatur asing menyebutnya pula sebagai
objective, atau enabling objective, untuk membedakannya dari
general instructional objective ,goal. atau terminal objective.
yang berarti tujuan instruksional umum (TIU) atau tujuan
instruksional akhir. Dalam program Applied Approach (AA)
yang telah digunakan diperguruan tinggi di seluruh Indonesia
-TIK disebut sasaran belajar (Sasbel).
-j

Dick dan Carey (1985) mengulas bagaimana Robert Mager


mempengaruhi dunia pendidikan di Amerika untuk merumuskan
TIK dengan kalimat yang:jelas, pasti, dan dapat diukur sejak
pertengahan tahun 1960. Yang dimaksuddengan perumusan
TIK dengan jelas adalah TIK yangdiungkapkan secara tertulis
dan diinformasikan kepada mahasiswa sehingga mahasiswa dan pengajar mempunyai pengertian yang sarna ten tang apa yang
tercantum dalam TIK.
Perumusan TIK secara pasri, artinya TIK tersebut
mengandung satu pengertian.atau tidak mungkin ditafsirkan ke
dalam pengertian yang lain.Untuk itu, TIK dirumuskan dalarn
bentuk katakerjayang.dapat dilihat oleh mata (observable).
Perumusan TIK yang dapat diukur berartibahwa tingkat
pencapaian .mahasiswa dalam perilaku yang ada dalam TIK itu
dapatdiukur dengan tesatau alat pengukur yanglain..Mager menerbitkan buku tentang penulisan tujuan
instruksional pada tahun 1962. Lokakarya penulisan tnjuan
instruksional di Amerika dilakukan secara gencar dengan peserta
ribuan guru. Tetapi, tujuan instruksional yang telah ditulis oleh

119

PEKERTI

guru pada waktu itu mengalami nasib yang kurang


menggembirakan karena dua hal sebagai berikut: Pertama,
.banyak guru yang menulis tujuan instruksional berdasarkan
daftar isi buku teks yang telah ada. Dengan perkataan lain
tujuan iristruksional ditulis berdasarkan isi pelajaran. Seharusnya
para guru itumelakukan sebaliknya. Kedua, ribuan tujuan
instruksional yang telah selesai ditulis oleh guru itu tergeletak
di alas meja mereka, tidak punya dampak terhadap proses
instruksional. Setelah penulisan tujuan instruksional tersebut,
tidak ada perubahan dalam praktik kegiatan instruksional. Dick
dan Carey selanjutnya menyebutkao bahwa penyebab keadaan
di atas adalah tidak dikaitkannya penulisan tujuan instruksional
tersebut dengan proses penyusunan desain instruksional secara
keseluruhan.
Para guru tersebut tidak melihatpengertian yang mendalam
tentang kaitan antara penulisan tujuan instruksional tersebut
dengan komponen-komponen lain dalam sistem instruksional.
Merekalebih memandang penulisan tujuan instruksional tersebut
sebagai teknik baru dalam menuliskan tujuan instruksional,
sedangkan .isi pelajaran, metode instruksional, dan tes yang
digunakannya tetap sama seperti yang mereka pergunakan selama
ioi. Inovasi itu terbatas pada penulisan tujuan instruksional
s~a.
.
Mungkinkah kejadian di Amerika Serikat sepanjang tahun
60-an itu terjadi pula di Indonesia saat ini? Kita tidak tahu pasti.
Riset dalam bidang itu masih sangat diperlukan.
Sejak awal tahun 1970 para guru di Indonesia dari tingkat
sekolah dasar (SO) sampai sekolah menengah telah ditatar
dalam pengembangan instruksional dengan menggunakanmodel
PPSI (program Pengembangari Sistem Instruksional). Di samping
itu, sebagian dad 'proses pengembangan tersebut telah
dirumuskan dalam bentuk Kurikulum tahun 1975 sebagai
kurikulum yang bersifat nasional, DUlalam kurikulum tersebut
tujuan instruksional umum dan .isl pelajaran telah ditetapkan.
Para guru SD sampai SMTA tersebut harus meneruskannya
dengan kegiatan analisis instruksional, identifikasi perilaku
dan karakteristik siswa, perumusan TIK. penulisantes, penentuan
strategi instruksional, dan pengembangan bahan Instruksional
bila bahan yang bersifat standar masih belum cukup,

120

PEKERTI

Untuk yang terakhir ini yaitu bahan Instruksional ,


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah pula
mengeluarkan buku-buku pegangan yang dirnaksudkan sebagai
dasar dan patokan isi pelajaran secara nasional. Dengan
tersedianya kurikulurn nasional berikut buku-buku-tersebut,
para guru masih harus mengembangkan sisteminstruksionalnya
yang sesuai dengan perilaku awal dan karakteristik awal siswa,
serta fasilitas dan alat-alat yang terdapat di sekolah dan
Iingkungan masing-masing,
Di tingkat perguruan tinggi, para dosen telah ditatar dalam
proses belajar-rnengajar. Penataran ini lebih komprehensif darr
yang dilakukan di' Amerika Serikat tahun 1960-an karena tidak
hanya terbatas pada penulisan tujuan instruksional, tetapi juga
dalam proses belajar mengajar secara keseluruhan. Dilihat dar i
segi materi, penataran pengajar di Indonesia lebih luas
dibandingkan dengan yang dilakukan di Amerika Serikat tahun
60~an. Tiga pertanyaan yang perIu dicari jawabannya adalah:
Pertama, seberapajauh para pengajar melihat kedudukan tujuan
instruksional tersebut sebagai dasar dalam menetapkan
komponen-komponen lain dalam sistem instruksional?
Pertanyaan kedua, seberapa jauh para pengajar tersebut
menerapkan prosedur pengembangan instruksional dalam
mempersiapkan kegiatan instruksionalnya? Pertanyaan ketiga,
seberapa jauh pengajar yang telah ditatar itu menggun~an
desain instruksional yang telah disusunnya dalam kegiatan
instruksional yang dilakukannya sehari-hari?
Secara nasional.perlu dicari pula dampak usaha peningkatan
pengetahuan, keterarnpilan, dan sikap pengajar dal~m
pengernbangan instruksronal terhadap prestasi belajar
mahasiswa.
Inovasi dalarn sis tern instruksional telah dirnulai lebih dari
lima belas tahun yang lalu, Tetapi, untukmembuat inovasi itu
masuk dalam praktik sehari-hari memang memerlukan waktu
dan us aha yang terus-menerus. Usaha rersebut.semakin lama
harus semakin mengarah kepada dua hal sebagai berikut:
1. Keterampilan teknis tentang penerapan proses
pengembangan instruksional secara lebih cermat, teliti, dan
sistematik:
,
2. Persuasi motivasi,supervisi. serta monitoring terhadap
praktik penggunaan keterampilan teknis tersebut di dalam
kelas sehari-hari
121

PEKERTJ

Pentingnya menempatkan tujuan instruksional sebagai


komponen awal dalam menyusun desain instruksional merupakan
pusat perhatian setiap pengembangan instruksional. Ia
rnerupakan dasar dan pedoman bagi seluruh proses
pengembangan instruksional selanjutnya. Perumusan T1K
merupakan titik permulaan yang sesungguhnya dari proses
pengembangan instruksionaI. Sedangkan proses sebelumnya,
merupakan tahap pendahuluan untuk rnenghasilkan TIK.
Tujuan instruksional khusus merupakan satu-satunya dasar
dalam menyusun kisi-kisi.tes. Selanjutnya, tujuan instruksional
merupakan pula alat untuk menguji validitas isi tes. Dalam
menentukan isi pelajaran yang akan diajarkan, pengembang
instruksionaI merumuskannya berdasarkan perilaku yang ada
dalam TIK. Dengan perkataan lain, isi pelajaran yang akan
diajarkandisesuaikan dengan apa yang akan dicapai. Itulah
sebabnya dalam uraian terdahuiu dinyatakan bahwa sebagian
pengajar telah melakukan hal keliru karena membalik prinsip di
atas, yaitu dengan melihat isi pelajaran dari dalam daftar isi
buku untuk menyusun tujuan instruksional. Demikianpula dalam
memiliki metode instruksional. Pen gembang instruksional tidak
mengidentifikasi metode yang merlarik lebih dahulu, baru
menyusun tujuan instruksionaI atas dasar kelebihan metode
tersebut. Ia harus memilih metode tertentu untuk mencapai
perilaku yang tercantum dalam tujuan. Dengan perkataan lain,
metode instruksional dipilih berdasarkan perilaku yang ada
dalam TIK.
Tujuan instruksional menjadi arah proses pengembangan
instruksional karena di dalamnya tercantum rum usan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang akan dicapai
mahasiswa pada akhir proses instruksional. Keberhasilan
mahasiswa dalam mencapai tujuan tersebut merupakan pula
ukuran keberhasilan sistern instruksional yang digunakan
pengajar,

B. Bagaimana Merumuskan Tujuan Instruksional


Khusus
Dalam uraian di atas dlkemukakan bahwa tujuan
instruksional khusus (TIK) an tara lain digunakan untuk

122

.PEKERTI

menyusun tes. Karena itu, TIK harus mengandung unsur-unsur


yang dapat memberikan petunjuk kepada penyusun tes agar ia
dapat mengembangkan tes yang benar-benar dapat mengukur
peri1aku yang terdapat di da1amnya. Unsur-unsur itu dikenal
dengan ABCD'yang berasal dati empat kata sebagai berikut:
A
Audience
B
Behavior
C
Condition
D
Degree

=
=
=

A = Audience adalah mahasiswa yang akan belajar.Dalam tujuan


instruksionalkhusus hams dijelaskan siapa mahasiswa yang akan
mengikutipeIajaranituataumahasiswayangmana?Misalnya,mahasiswa
SMA kelas I semester pertama, mahasiswa S1 program Studi Ekonomi
dan Studi Pembangunan semester ketujuh atau peserta kursus Pejabat
Pemberian Kredit angkatan XXX.
Keterangan ten tang mahasiswa yang akan belajar tersebut
diusahakan sespesifik mungkin. Batasan yang spesifik .ini penting
artinya agar sejak permulaan orang-orang yang tidak: termasuk dalam
batasan tersebut sadar bahwa bahan instruksional yang dirumuskan atas
dasar TIK tersebut belumtentu sesuai bagi mereka, Mungkin bahan
instruksional tersebut terlalu mudah, terlalu sulit, atau tidak sesuai
dengan kebutuhan mereka, Mungkin pula strategi instruksional yang
digunakan di dalamnyadirasakan kurang sesuai. Mereka lebih senang
kepada pemecahan masalah daripada uraian tentang konsep, prinsip
atauprosedur, karena mereka telah menguasainya dengan baik. Mereka
bukan populasi sasaran yang dimaksudkan. Ini berarti, seseorang yang
berada di 1uar populasi sasarandari suatu sistem instruksional tetapi
ingin mengikuti matapelajaran tersebut, harus bersedia menempatkan
diri seperti mahasiswa yang menjadi sasaran sistem instruksional
tersebut.

B =Behavioradalahperilaku yangspesifikyang akandiInunc~


oleh mahasiswa setelah" selesai proses belajamya dalam pelajaran
tersebut. Perilaku ini terdiri atas dua bagian penting, yaitu: ka.tl'kerja
dan objek, Kata kerja rnenunjukkan bagaimanamahasiswa
mendemonstrasikan sesuatu seperti: menyebutkan, menjelaskan,
menganalisis, menggergaji, dan melompat, Objek menunjukkan apa
yang akan didemonstrasikan itu, misalnya: definisi manajernen, cara

123

PEKERTI

menganalisis pupuk tertentu menjadi komponen-komponen dasamya,


laporanrugilaba,kayo,dangayaf/op.KomponenperiIakudalamtujuan
instruksional khusus adalah tulang punggung TIK.secara keseluruhan.
Tanpaperilaku yangjeIas,komponen yang lain menjadi tidak bennakna.
Bila contoh kata keIja dan objek di atas disatukan dalam bentuk
perilaku, akan tersusun sebagai berikut:
l. Menyebutkan definisi manajemen;
2. Menjelaskan caramenganalisis pupuk tertentu menjadikomponenkomponen dasamya;
3. Menganalisis laporan rugi-laba;
4. Menggergaji kayo;
5. Melompatdengan gayaf/op(gaya lompattinggi yang mutakhir saat

ini).
C = Condition. Komponen ketiga da1am TIK.adalahC (condition).
Cadalahkondisi,yangberartibatasanyangdikenakankepadamahasiswa
atau alat yang digunakan mahasiswa pada saat ia dites, bokan pada saat
iabelajer, Tujuaninsttuksionalkhususdisampingmempunyaikomponen
mahasiswadanperilaku sepertikebanyakandigunakanorang seharusnya
mengandungkomponenyangmemberikan pe~jukkepadapengembang
testentangkondisiataudalamkeadaanbagaimanamahasiswadiharapkan
mendemonstrasikan perilaku yang dikehendaki pada saat ia dites,
Misalnya:
.
1. Diberikan berbagai rumusmean, deviasi, standar, korelasi, dan dua
deret angka ...;
2. Dengan menggunakan kriteria yang ditetapkan;
3. Dengan diberikan kalimat-kalimat dalam bahasa Indonesia;
4. Dengan diberikan data ukuran tanah dan lingkungannya ..;
5. Diberikan kasus suatu perusahaan;
6. Diberikan kesempatan tiga Iqili percobaan ...;
Bila contoh kondisi di atas disambung dengan komponen A
(mahasiswa) dan B (perilaku), akan tersusun kalimat-kalimat
sebagai berikut:
1.

124

Jika diberikan berbagai rum us mean, deviasi standar, korelasi, dan


dna deret angka, lulus jurusan Statistika Terapan semester kedua
akan dapat menghitung angka korelasi. .
.

2.

PEKERTI

Dengan menggunakan kriteria yang ditetapkan untuk menilai

komponen-komponen dalam sistem instruksional, mahasiswa


3.

4.

5.

6.

jurusan Kurikulum dan Teknologi, Pendidikan semester VII akan


dapat menganalisisperbedaan berbagai modeldesain instruksional.
Dengan diberikalimatdalam bahasa Indonesia, mahasiswajurusan
Pendidikan Bahasa Inggris semester III akan dapat
menerjemahkannya ke dalam kalimat pasif dalam bahasa Inggris.
Dengan diberikan data ukuran tanah, keadaan lingkungannya,
kebutuban masyarakat, dan biaya yang tersedia, mahasiswajurusan
Arsitektur semesterVllI akan dapatmenggambar desain bangunan
perkantoran.
Jika diberikankasussuawperusahaanyangmengajukanpennohonan
kredit,pesertakursusPejabatPemberianKreditakandapatmenyusun
rekomendasi pemberian kredit untuk perusahaan tersebut.
Jikadiberikankesempatan limakali percobaan, mahasiswaFakultas
Pendidikan Olahraga danKesehatan akan dapat melakukan lompat
tinggi gayaflop.

Komponen C dalam setiap TIK merupakan unsur penting bagi


pengembangan instruksional dalam menyusun tes, Untuk tes pilihan
berganda, misalnya, komponen Cdalam TIK itu dijadikan dasar
penyusunan masaIab (stem). Hila dalamTIK itu disebutkan "jika
diberikan berbagai rumus mean, deviasi standar korelasi, dan dua deret
angka", butirtes yangrelevan dengan TIK tersebutharusmencenninkan
kondisi tersebut, misaInya:
Dengan menggunakan rumus-rum us di bawab ini hitunglah
korelasi dua deret angka ini.

125
, I

PEKERTI

51
59

9
13
17
10
9
19
21
21

63
64
69

76
78
80
87
98

28

33

Rumusmean
X=(Xt +Xz+ ... +XJ/n
Rumus deviasi standar
s=

V-

1
(X.-X?
n-l i=l
'

Romus korelasi

LXY

r=

VL )(2LY2
-

D =Degree. Dalam contoh perumusan 11K di atas telah tercakup


unsur kondidi, mahasiswa, dan perilaku. Tetapi, sebagai suatu 11K yang
dapat dijadikan petunjuk dalam menilai keberhasilan mahasiswa dalam
mencapai perilaku yang terdapatdi dalamnya, masih diperlukanjawaban
terhadap pertanyaan sebagai berikut:
Seberapa baik mahasiswa diharapkan menampilkan perilaku
tersebut? Untuk itu, diperlukan satu komponen terakhir yang hams ada
dalam TIK, yaitu komponen D.

Degree adalah tingkat keberhasilan mahasiswa dalam mencapai


perilakntersebut, Adakalanyamahasiswa~pkanmelakulcim
s esuatu
dengan sempuma, tanpa salah, dalam waktu duajam,denganketinggian
160 em, atau ukuran-ukuran tingkat keberhasilan yang lain.
Tingkat keberhasilan ditunjukkan dengan batas minimal dari
penampilan suatu perilaku yang dianggap dapat diterima. Di bawah
batas itu berarti mahasiswabelum mencapai tujuan instruksionalkhusus
f
yang telah ditetapkan.
Perbatikan beberapa contob tingkat keberhasilan di bawah ini:
1. paling sedikit 80% benar;
2. minimal 90% benar;
3. da1am waktu paling lambat dua belas minggu; .
4. minimal setinggi 160 cm. '

126

PEKERTI

Contoh tingkat keberhasilan di atas digunakan batas minimal 80%,


90%, dua belas minggu dan 160 em. Mengapa? Tingkat keberhasilan
dalam mencapai TIK merupakan batas minimal yang digunakan untuk
menyatakan bahwapenampilan perilaku mahasiswa untukTIK tersebut
dapat diterima.Apabila menurut hasil anaIisis instruksional perilaku
dalam TIl( yang bersangkutanrnerupakan perilaku prasyaratyang harus
dikuasai lebih dahulu sebelum meneruskan mempelajari perilaku yang
lain, kedudukan komponen D dan TIK yang bersangkutan menjadi
sangat penting. Karena itu, tingkat keberhasilan 90% mungkin perlu
digunakan untuk TIK tersebut.
Batas 80% atau 90% itu biasanya digunakan untuk menyatakan
sebagai batas minimal penguasaan (level ofmastery) mahasiswaterhadap
suatu perilaku. Prinsip yang serupa digunakan dalam sistem belajar
tuntas, yaitu sistem belajar yang hanya memperkenankan mahasiswa
maju ke bagian berikutnya apabila telah menguasai bagian sebelumnya.
Untuk perilaku yang tidakmenjadi prasyarat, batas tersebut dapat
diturunkan, misalnya sampai 65-70%. Demikian pula pengembang
instruksional perIu menetapkan batas tingkat penguasaan ini lebih
rendah dari 80-90% bagi perilaku yang akan terus-menerus diulang
dalam bagian-bagian atau bab-bab pelajaran berikutnya. Tidak: ada
rumus yang dapat digunakan untuk menentukan batas minimal ini.
Tetapi sangatpenting .atau eukup pentingnya suatu perilaku hams
dipertimbangkan dengan masak.olehpendesain instruksional atas dasar
kedudukan perilaku tersebut terhadap perilakusecara keseluruhan yang
terdapat dalam suatu mata pelajaran.
Untuk suatu perilaku yang hams dilakukan dengan benar, tidak
boleh salah sedikitpun.karena hal itu mengandung akibat bahaya besar,
tingkat keberhasilan itu dapat menjadi 100%. Mahasiswa hams dapat
melakukannya dengan sempuma, 100% benar, atau tepat pada waktu
yang ditentukan tidak:boleh lebih eepat atau lebih lambat sedikit pun.
Perhatikan perilaku berikut ini:
1. menerbangkan pesawat tempur:
2. melemparkan granat;
3. mencampur zat kimia yang membahayakan;
4. meramu obatuntuk menolong orang yang sedang kena serangan

jantung;

127

PEKERTI

5. memberikan suntikan untuk suasana kritis;


6. tembakan penalti dalam sepak bola
Sampai batas uraian ini telah diuraikan pengertian dan
contoh komponen yang terdapat.dalam TIK. Singkatan ABeD
diharapkan memudahkan kita untuk mengingat keempat unsur
tersebut. Dalam merumuskan suatu TIK, keempat komponen
tersebut tidak selalu tersusun sebagai AB,CD, tetapi sering kali
CABD. Rumusan dengan urutan CBAD lebih mudah diikuti bila
ingin memperhatikan perumusan TIK' dalam suatu kalimat.
Dalam rumusan selengkapnya, berikut ini diberikan berupa
contoh TIK.
'
1. Jika diberikan berbagai rumus mean, deviasi standar,
korelasi,dan dua deret angka,mahasiswajurusan Statistika
Terapan semester keduaakan dapat menghitung korelasi
minimal 90% benar.
2. Dengan menggunakan kriteria tertentu, mahasiswa jurusan
Kurikulum dan Teknologi Pendidikan semester VII akan
dapat menganalisis berbagai model desain instruksional
paling sedikit 80% benar.
3. Jika diberikan kalimat aktif dalam bahasa Indonesia,
mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris semester III
akan dapat menerjemahkannya ke dalam kalimatpasifbahasa
Inggris paling sedikit 80% benar.
4. Dengan diberikan data ukuran tanah, keadaan
lingkungannya, kebutuhan masyarakat, dan biaya yang
tersedia, mahasiswa Jurusan Arsitektur semester ketujuh
akan dapat menggambarkan desain bangunan perkantoran
dalam waktu paling lambat dua belas minggu..
5. Jika diberikan kasus suatu perusahaan yang mengajukan
permohonan kredit, peserta kursusPejabat Pemberian Kredit
akan dapat menyusun rekomendasi pemberian kredit untuk
perusahaan tersebut dalam waktu empat minggu.
6. Jika.diberikan waktu 10 menit untuk membaca score musik
lagu anak (mudah) mahasiswa program. studi musik Tahun
I, Semester I IKIP Jakarta akan dapat menyanyikannya
dengan tingkat kesempurnaan 90%1
128

PEKERTI

Biasanya dalam praktik sehari-hari perumusan TIK hanya


mengandung dua komponen, yaitu komponen A danD. Kadangkadang dapat dijumpai TIK yang dirumuskan dengan tiga
komponen:f\, a, daQD. Tetapi, terIalu jarang orang
merumuskanriya secara lengkap dengan keempat komponen A,
B. C, dan D; karena dianggap terlaiu sulit dan kurang praktis.
Yang paling penting ibagi pengembang instruksional yang
menulis TIK secara tidak Iengkap menyadari bahwa kekurangan
komponenC da,natauDitu akan ~enyeba:bkan;kekurangpastian
dalam penulisan iesnimtLdanpena(sftanterhadap"hasilnya:
Di sampingperumnsan TIK dengan format ABCD masih ada
cara perumusan lain, misainya teknik perumusan yang
mengandung un sur proses belajar. Namun cara perumusan lain
tersebut tidak dibahas dalam buku ini untuk menghindari
kerumitan teknis yang berlebihan.

c.

Hubungan TIK dengan lsi Pelajaran

Dengan merumuskan 11K Anda telah dapat mengindentifikasi isi


pelajaran yang akan diajarkan. Rumusan TIK ito mengandung unsur B
yaitu priIaku yang diharapkan dieapai rnahasiswapada akhirpelajaran.
Rumusan prilaku itu terdiridari dua halyaitu kata kerjadan objek. Yang
terakhir ini yaitu objek menunjukkan topik ataupokok bahasan dari isi
pelajaran, Dalam 6 contoh TIl( di alas dapat kita lihat 6 topik sebagai
.
1. Korelasi.
2. Model desain instruksional.
3 . Kalimat pasif.
4. Desain bangunan perkantoran.
5. Pemberian kredi.tuntuk perusahaan,
6. Menyanyikan lagu anak.
~rikUl:

Setiap topik dapat diuraikan menjadi sub topik, Uraian yang rinci
akan memudahkanpendesain instruksional dalarnmenulis atau memilih
bahan pelajaran,
lsi peIajaran untuk setiap TIK akan tergambar dalam strategi
instruksionaI. Dengan perkataan lain rumusan isi pelajaran secara
singkat akan dibuat oleh pendesain instruksional pada saat ia menyusun
atrategi instruksional. Oleh karena itu earn menulis isi pelajaran akan

129

PEKERTI

Anda jumpai dalam Bab VIII, khususnya sub bab yang membahas cara
menyusun strategi instruksional.

D. Latihan
1. Sekarang masih dapatkah Anda memotong setiap TIK di
atas menjadi komponen A, B, C, dan D?' Lakukanlah
pemotongan tersebut dan bandingkanhasil pekerjaan Anda
dengan uraian pada halaman 122.
2.

Cobalah memotong TIK di bawah ini menjadi keempat


komponen A, B, C, dan D.

Jika diberikan satu set data hasil belajar mahasiswa UT program studi Manajemen Semester I tabun pertama yang

mengambil matakuliah Statistika Dasar akan dapat membuat


label distribusi frekuensi dengan 100% benar.
b.

Jika diberikan waktu


10 menit
untuk
membaca score musik
:
. IT,
'
'.
lagu anak atau lagu yang sederhana,mahasiswa IKIP program
studi Musik Semester I akan dapat menyanyi-kan dengan
tingkat kesempurnaan 90%.

c.

Bila diberikan 5 kali kesempatan melakukan tembakan dari


arah samping kiri, mahasiswa FPOK-IKIP Semester kedua
akan dapat memasukkan bola basket ke ring paling sedikit 4
kali.

r,

..

3.

Buatlah TIK untuk mata pelajaran yang sedang Anda


kembangkan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.

Gunakan perilaku-perilaku khusus yang telah Anda


peroleh mela1ui kegiatan menganalisa instruksional dan
mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal
mahasiswa.

-b.

Ingat, setiap TIK harus lengkap mengandung unsur


ABeD. Untuk memudahkan penyusunannya, mulailah
dengan komponen C lebih dahulu, baru A, B: dan D.

130

PEKERTI

4. Nilai kembali apakah setiap TI~ yaDS Anda SUSUD telah


mengandung keempat komponen ABeD?
5. Periksa kembali apakah urutan TIK sesuai dengan urutan
perilaku khusus yang dihasilkan kegiatan menganalisis
instruksional.

E. Rangkuman
Langkah keempat dalam MPI adalah perumusan tujuan
mstruksional khusus (TIK). Setiap rumusan TIK yang lengkap
mengandung empat komponen, yaitu: A (Audience), B (Behavior). C (Condition) dan D (Degree). Namun dalam praktik
sehari-hari perumusan TIK hanya terdiri dari koniponen A dan
B.

Daftar Kepustakaan
Mager, R.F. P~eparing Instructional Objectives. Belmont, Cal.
Fearon Publisher, 1962
Hopkins, Charles D., & Antes, Richard L., Classroom Measurement Evaluation (2nd Ed). Ithaca, Illinois: F.E. Peacock
Publishers, Inc., 1985.
.

........... Objectives Market Place Game. National Special Media Institutes, 1971.

131

PEKERTI

BAB VII
MENYUSUN TES ACUAN PATOKAN

r--------J------- t

~
->
IDEtffiAKASI
KESUTUHAN
INSTRUKSIONAL
DANMENUUS
TUJUAN
INSTHUKSIONAL
UMlIM(TIU)

MElAKUKAN
ANAUSIS
INSTRUKSIONAL

;, --d
n ~
MENUUS
TUJUAN
INSTRUK
SIONAL

r)

SlSTE
INSTRI

f)

KHUSUS

>

SlONJ

(TIIQ

SKl

~t

I
I
MENGIDENlIFiKASI
I
PERIlAK\J DAN
I
KAlWCTERlSTlK
AWAlMAHASISWA
I
1
t

I
I
MENYIJSUN

L)

STRATEGl
INSTRUKSlONAI.

l'

f--

I
I
I
I

.J..:- __ -L __ J-

L __ --l

Berdasarkan TIK yang telah disusun dalam Bab VI yang


barn 1a1u, pengembang instruksional dapat menyusun tes yang
akan digunakan untuk mengukur keberhasilan mahasiswa da1am
menguasai perilaku-perilaku yang ditetapkan dalam TIK.
Seringkali pengembang instruksional termasuk pengajar
menyusun tes setelah proses Instruksional berakhir. Ia
menyusunnya dalam waktu iyang -singkat berdasarkan isi
pelajaran yang telah diajarkan
dan
,
, masih segar dalam ingatannya.
;

Keadaan seperti tersebut di atas sangat memungkinkan


tidak berfungsiny.a tujuan instruksional yans tclab
dirumuskannya. Tes yang disusunnya mungkin konsisteii dengan

132

PEKERTI

isi pelajaran, tetapi tidak konsisten dengan perilaku yang


seharusnya diukur.
Tes yang seharusnya disusun adalah tes' yang rnengukur
perilaku yang terdapa~
datam tujuan Instruksjbnal.i'l'es tersebut mungkin tidak dapat
mengukur penguasaan rnahasiswa terhadap seluruh uraian
pengajar dalarn proses instruksional, sebab apa yang diberikan
pengajar selama proses tersebut belumtentu seluruhnya relevan
dengan tujuan instruksional. lsi pelajaran bukanlah kriteria
untuk mengukur keberhasilan proses pelaksanaan instruksional.
La bagian dari proses itu dan terrnasuk harus diuji relevansinya
dengan tujuan instruksional.
ti~gkat pencapaian rn~;:lsiswa terhadap

Dalarn Bab VII ini akan diuraikan teknik dan prosedur


penulisan tes yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur
seberapa jauh tingkat keberhasilan rnahasiswa dalarn rnencapai
tujuan instruksional. Hasilpencapaian rnahasiswa ini rnerupakan
petunjuk pula akan tingkat keberhasilan sis tern instruksional
yang digunakan.

A. PengertianTes Acuan Patokan


Seperti dikernukakan dalarn bab-bab terdahulu, .tujuan
instruksional khusus berisi perilaku-perilaku yang belumdikuasai
mahasiswa sebelurn memulai pelajaran tersebut. Ia rnerupakan
hasil dari dua proses, yaitu: hasil kegiatan rnelaksanakan analisis
instruksional dan mengidentifikasi perilaku dan karakteristik
awal rnahasiswa. Pengembang instruksional haruslah menyusun
tes yang dapat rnengukur penguasaan rnahasiswa dalam setiap
perilaku tersebut. Seandainya butir tes yang rnengacu kepada
TIK itu diberikan kepada mahasiswa sebelurn mulai proses

133

PEKERTI

instruksional, pastilah mahasiswa tidak mencapai skor dengan


baik karena setiap perilaku dalam TIK yang diukur dengan tes
tersebut memang belum dikuasai mahasiswa.
Tiap-tiap butir tes yang relevan dengan TIK adalah valid
untuk digunakan. Apabila di :kemudianhari setelah selesai
proses instruksional seluruh mahasiswa ternyata menguasa'
100% perilaku dalam TIK tersebut, dapat ditafsirkan bahwa
proses instruksional tersebut telah efektif, Bukan pada tempatnya
pengembang instruksional menganggapbahwa butir tes untuk
TIK tersebut terlalu mudah, dan harus diubah atau mungkin
dibuang, Penarikan kesimpulan seperti itu tentu kurang benar,
Kesimpulan dari data tersebut adalah proses instruksionalnya
efektif, karena dapat membuat semua mahasiswa yang semula
tidak menguasai perilaku itu, tetapi pada akhir proses
instruksional dapat menguasainya dengan baik, Butir tes itu
sendiri tidak perlu diubah, karen a telah mengukur apa yang
seharusnya diukur, Butir tes yangmengacu kepada tujuan
instruksional atau dengan perkataan lain untuk mengukur tingkat
penguasaan mahasiswa terhadap perilakuyang terdapat dalam
TIK tersebut tes acuan patokan, Istilah tersebut terjemahan
dari criterion-referenced test. Kadang-kadang literatur asing
menyebut criterion-referenced sebagai objective-referenced,
content referenced. domain. referenced, dan universe referenced.
Skor yang dicapai mahasiswa dalam tes tersebut ditafsirkan
sebagai tingkat penguasaannya terhadapperilaku yang diukurnya.
Cara menafsirkan hasil tes acuan patokan yang didasarkan atas
persentase skor yang dicapai mahasiswa dibandingkan dengan
skor maksimum itu merupakan hal yang harus digarisbawahi.
Berapa persen mahasiswa itu menguasai perilaku tersebut?
Atau dengan perkataan lain seberapa tinggi tingkat penguasaan
mahasiswa tertentu terhadap perilaku yang terdapat dalam TIK
tersebut?
Skor yang dicapai setiap mahasiswa ditafsirkan dengan cara
yang sarna, yaitu membandingkan dengan skor maksimum yang
mungkin dicapai mahasiswa untukperilaku yang terdapat dalam
TIK. Dengan demikian, penafsiran dari hasil tes tersebut
mencerminkan tingkat penguasaan mahasiswa terhadap perilakuperilaku yang terdapat dalam TIl<. Cara menafsirkan hasll tes
134

PEKERTI

seperti ini disebutp~nafsiran acuan patokansebagai terjemahan


dari crittrio,,r,!,renc,d Interpretation. Jadi, bila tes yang
digunakan berupa tes acuan patokan, penafsiran hasil testersebut
haruslah dengan cara penafsiranacuan patokan.

B. Tes Acuan Norma


Jenis tes lain yang tidak akan di gunakan dalam
pengembangan Instruksional, tetapi iperlu diketahui untuk
membedakannya 'dengan jenis tes terdahulu adalah tes acuan
norma. Istilah ini terjemahari dari norm-referenced test. Tes ini
disusun untuk menentukan kedudukan atau posisi seorangpeserta
tes di antifra. ~loJIlP()kp,y~, bukan untukiji,~p~lltuk,an tingkat
peaguasaan seiiap 'peserta tes terhadap perii~u yang.~()a()alam
TIK. Yang dimaksud dengan kelompoknya di sini adalah
kelompok mahasiswa dalam suatu kelas, sekolah, propinsi, atau
nasional.
Karena maksud tes ini untuk menentukan kedudukan
seseorang di antara kelompoknya, tes yang harus disusun adalah
tes yang dapat membedakan antara peserta yang satu dengan
peserta yang lain. antara pesertayang Iebih pandai dengan
peserta yang kurang pandai. Untuk menyusun tes seperti itu,
perlu dipilih butir tes yang mempunyai daya pembeda tertentu,
yaitu butir tes yang haIiya dapat dijawab dengan benar oJeh
seluruh atau sebagaian besar mahasiswa yang lebih pandai dan
tidak ada atau hanya sebagian keeil oleh 'mahasiswa yang
kurang pandai. Karena itu, apabila dalam 'uji coba ternyata
seluruh mahasiswa salah atau seluruh mahasiswabenar untuk
suatu butir tes, butir tes tersebut harus direvisi atau dibuang.
, Butir tes seperti itu tidak dapat membedakanmahasiswa yang
Iebih pandaidengankurang pandai.'Deniiki~~pplasuatubutir
tes dikatakan tidak mempunyaidaya pembedabila butir tes
tersebut dapat .dijawab oleh.sejumlah mahasiswa darigolongan
yang pandai dangolongan kurangpandai dengan sama banyak,
atau oleh mahasiswa dari golongan pandai juml.ah,nyaleblh
sedikit dari mahasiswa dati golongan kurang pandai, -',
OJ samping hams mempunyaidayaperiibeda~butir tes
acuan norma harus pula 'mempunyai tingkat kesulitan. Bila
sebagian besar, misalnya900/0 atau seluruh mahasiswa dapat
menjawab dengan benardalam suatu butir tes, butir tes tersebut
135

PEKERTI

dianggap terlalu mudah. Keputusan yang harus diambil penyusun


tes acuan norma adalah mengubah atau membuang butir tes
tersebut. Demikian pula bila suatu butir tes ternyata tidak dapat
dijawab dengan benar oleh sebagian besar, misalnya 90% atau
seluruh mahasiswa. Keputusan yang harus diambil penyusun tes
acuan norma adalah sama dengan butir tes yang terlalu mudah,
yaitu merevisi atau membuangnya. Hanya butirtes yang dapat
dijawabdengan benar oleh 20-80% tnahasiswa yang disebut
mempunyai tingkat kesulitan dapat diterima oleh penyusun tes
acuan norma.
Pengukuran daya pembeda dan tingkat kesulitan butir tes
harus dilakukan dalam uji coba sebelum digunakan di lapangan
sesungguhnya. Mahasiswa yang digunakan dalam uji coba harus
setara dengan mahasiswa yang akan mengikuti tes sesungguhnya.
Hasil perhitungan daya pembeda dan tingkat kesulitan setiap
butir acuan norma digabungkan untuk diinterpretasikan lagi.
Suatu butir tes yang dijawab dengan benar oleh 50% darijumlah
mahasiswa yang. mengikuti tes dianggap butir tes yang
mempunyai tingkat kesulitan sedang. Dad segi tingkat
kesulitannya, butir tes seperti ini ideal. Tetapi, bila di antara
yang menjawab butir tes itu dengan benar ternyata lebih banyak
mahasiswa yang tergolong kurang pandai, dan lebih sedikit
mahasiswa yang tergolong pandai, butir tes ini dianggap tidak .
mempunyai daya pembeda yang cukup. Butir tes seperti ini juga
harus direvisi atau dibuang. Butir tes yang dapat diterima oleh
penyusun tes acuan norma adalah butir tes yang mempunyai
daya pembeda dan tingkatkesulitan memadai.
Jadi, menyusun tes aeuan norma lebih sulit dari pada tes
aeuan patokan, karena tidak semua butirtes acuan patokan
dapat digunakan dalam tes acuan norma. Walaupun suatu butir
tes sangat relevan dengan TIK tertentu, bila t~rr.y~~ ~:~diii. uji
eoba tergo!0!1g terlalu 1Il.~~!h ter~iiu sulit atau tergolong
mempunyai daya n~illoeda terlalu rendahbutir tes tersebut
tidak ~;Pai: digunakan dalam tes aeuan no~a.
Cara menafsirkan hasil tes aeuan normajugaberbeda dengan
cara me.nafsirkan tes aeuan patokan. Maksud penyusunan tes
aeuan norma adalah menunjukkan k.edudulcan 8~orans pcserta
tes di antara kelompoknya. Apilkah peserta tersebut tergolong .
136

PEKERTI
:

lebih pandai atau kurang pandai dibandingkan denganrata-rata


kelompok tersebut? Ataukah iii termasuk golongan sedang karena
seharusnya tidakjauh di atas atau sedikit di bawah kelompoknya?
Karena itu, untuk menafsirkan skor yang dicapai seorang
mahasiswa biasanya digunakankurva normal.
Dengan membagi daerah kurva normal menjadi beberapa
golongan, rnisalnya tinggivsedang, dan rendah, skor seorang
mahasiswa dapat dikategorikan ke dalam salah satu di antara
ketiga golongan tersebut. Mahasiswa yang tergolong tinggidi
sini belum tentu dapat ditafsirkan menguasai dengan baik
perilaku-perilaku dalam :TIK. Ia termasuk mahasiswa yang
lebih pandai, tergolong sedang atau rendah di kelompoknya.
Tetapi, mungkin ia pun tidak rnenguasai perilaku .dalam TIK
dengan baik. Ia terbaik di dalarn kelompok mahasiswa yang
semuanya kurang pandai.
Dalam kasus lain, mahasiswa yang tergolong rendah pada
suatu kelompok belum tentu dapat ditafsirkan kurang menguasai.
Mungkin ia termasuk golongan rendah karena ia berada di
dalam kelompok orang-orang pandai. Tetapi,sebenarnya ia pun
tergolong cukup pandaikarena telah menjawab dengan benar
sebagian besar butir tes yang ia kerjakan.
Cara lain untuk menafsirkan hasil tes acuan norma adalah
menggunakan skor persentil. Skor yang dicapai oleh seorang
mahasiswa yang ditentukan skor persentilnya dengan cara
menghitung berapa persenjumlah mahasiswa lain yang mencapai
skor yang sarna dan Iebih rendah darinya. Bila mahasiswa Neny
Asriany yang meneapai skor mentah 71 dari skormaksimum 100
akan dicari skor persentilnya, langkah yangharus dilakukan
adalah:
(1) Hitung jumlah mahasiswa yang mencapai skor 71 dan di

bawahnya, misalnya 20orang. Jumlah peserta tes seluruhnya


arau kelompok norma adalah 50 orang.
.

(2) Skor persentil Neny di .antarakelompok norma tersebut


adalah

;g

= persentil 40.

137

PEKERTI

Di dalam kelas itu, Neny Asriany yang mencapai skor 71


dari skor maksimum 100 ternyata termasuk di antara 40%
mahasiswa di kelompok bawah. Masih ada 60% dari mahasiswa
di kelasnya yang berada di atas Neny. Kedudukan ini tidak
boleh ditafsirkan bahwa Neny Asriany anak bodoh walaupun di
kelasnya ia tidak tergolong kelomp()k atas. Seandainya skor
mentah yang dicapaitf~m':,A.sriaIiyitU:~eradadi suatu kelas lain
atau di sekolah (Ii selJeran'g:jalan seitol*h' Neny, mungkin skor
persentilnya adalah 90%k~~ri~ietda~~t.90% dari jumlah seluruh
mah~siswa mencapai' ~~&?I~anllebih rendah,
Posisi Neny Asriany yang mencapai skor mentah 71 itu
relatif tergantungkepada kelompok tempat ia berada. Itulah
sebabnya cara penafsiranacuan norma disebut pula penafsiran
dengan standar relatif.
Dalam suatu seleksi yang penyelenggara tesnya hanya
bertujuan memilih sekianorang yang terbaik di antara semua
peserta, tanpa perduli tingkat penguasaannya, tes yang harus
digunakan adalah tes acuan norma. Cara penafsiran yang
digunakan adalah penafsiran acuan norma. Orang yang terpilih
mungkin benar-benar orang yang sangat menguasai perilaku
yang diukur, karena semua peserta berasal dari orang-orang
yang pandai. Mungkin pula terjadi orang-orang yang dipilih
terdiri atas orang-orang yang m'empunyai tingkat penguasaan
kurang karena semua peserta berasal dari orang-orang yang
kurang pandai.
Bayangkan penggunaan tes untuk suatupropinsi yang kurang
rnaju, dan penggunaan tes yang sama untuk suatu propinsi yang
telah jauh lebih maju. Bila kelompok norma yang digunakan
adalahkelompok nasional, mungkin terjadi bahwa mahasiswamahasiswa yang mencapaiskor men~h tertinggi di propinsipropinsi yang belum maju, misalnya skor 64 hanya termasuk
persentil 70. Kalau cara penafsiran dengan menggunakan
kelompok norma nasional seperti ini digunakan untuk memilih
30% mahasiswa terbaik di seluruh Indonesia, mungkin tidak
seorang pun dari mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari
propinsi yang. kurang maju akan terpilih, karena pada persentil
70 norma nasional diperoleh skor 78. Ini berarti skor minimal
untuk masuk 30% mahasiswa terbaik di seluruh Indonesia adalah:
di atas 78.
. .

138

PEKERTI

Karena itu, bila diingmkan agar setiap wilayah terdapat


sejumlah mahaslswa yang harus masuk dalam 30% mahasiswa
yang akan dipilib, penafsiran skorberdasarkan acuan norma
n asional tersebut barus diubah menjadi norma wilayah, atau
teknik-teknik lain yang dapat memenuhi keinginan di atas.
Lain halnya dengan penafsiran aeuanpatokan. Maksud
pemberian nilai dalam tesacuan patokan adalah untuk menilai
tingkat penguasaan setiap mahasiswa terhadapperilaku dengan
TIK; tanpa perduli ia lebih tinggi atau .Iebih rendah dad kawau
sekelomppknya. Penafsiran yang digunakan adalah penafsiran
acuan patokan.
Angka mentah yang dicapai Neny, 71 dari skor maksimum
100, ditafsirkan sebagai 71 % menguasai pelajaran tersebut.
Nilai dalam rapornya adalah 7,1 bila sekolah tersebut
menggunakan nilai 1-10 atau 71 bila menggunakan 1-100.
Demikian pula mahasiswa-mahasiswa terbaik di propinsi
yang belum maju yang meneapai skor 64, berarti telah menguasai
64 % dari perilaku yang diteskan.
Di antara keduajenis tesdan dua cara penafsiran yang telah
diuraikan di atas tidak berarti yang satu lebih baik dari yang
lain. Setiap tes tersebut tepat untuk tujuan masing-masing. Tes
acuan patokan dan cara interpretasinya tepat untuk -digunakan
memberikan nilai yang menunjukkan penguasaan -mahasiswa
dalam mata pelajaran tertentu. Tes dan earainterpretasitersebut
digunakan untuk memberi nilai dalam rapor, ijazah, dan nilai
kemajuan mahasiswa dalam setiap tahap pelajaran. Tes aeuan
norma dan cara yang interpretasinyatepat digunakan untuk
menentukan prestasi mahasiswa di antarakelompoknya, misalnya
dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru, seleksi mahasiswa
terbaik, seleksipenerirnaan pegawai yang akan memilih beberapa
orang terbaikdi antara beberapa ratus pelamar, dan sebagainya.

C. Persamaan dan Perbedaan Tes AcuanNorma dan


Tes Acuan Patokan
Berikut ini Gronlund (1990) mengem ukakan persamaan dan
perbedaan dari kedua jenis tes yang telah didiskusikan seeara
singkat di atas.
139

PEKERTI

Persarnaannya
1.

2.
3.

4.

5.

6.

Keduanya rnernpersyaratkan perurnusan secara spesifik


perilaku yang akan diukur;
Keduanya disusun dari sam pel butir-butir tes yang relevan
dan representatif;
Keduanya rnenggunakan rnacarn tes yang sarna seperti tes
subjektif, tes karangan, tes penampilan atau.keterarnpilan;
Keduanya menggunakan ketentuan yang sarna dalam rnenulis
butir tes, kecuali untuk kesulitan tes. Ini berarti bahwa
keduanya sarna-sarna membutuhkan kalibrasi dayapernbeda
dan analisis "option";
Keduanya dinilaikualitasnya dari segi validitas dan
relialibilitasnya;
Keduanya digunakan ke dalarn pendidikan walaupun untuk
rnaksud yang berbeda.

Perbedaannya
1. Tes Acuan Norma biasanya rnengukur sejurnlah besar
per~laku khusus i :dengl~n, ~~diki,t butir tes untuk setiap
penlaku.
I I
..
'I
I
Tes Acuan Patokaubiasanya rnengukur perilaku khusus
dalam jurnlah yang terbatas dengan banyak butir tes untuk
setiap perilaku.
2. Tes Acuan Norma rnenekankan perbedaan di antara peserta
tes dari segi tingkat pencapaian belajar secara relatif.
Tes Acuan Patokan rnenekankan penjelasan tentang apa
perilaku yang dapat dan yang tidak dapat dilakukan oleh
setiap peserta tes.
3. Tes Acuan Norma lebih rnementingkan butir-butir tes yang
mernpunyai tingkat kesulitan sedang 'dan biasanya mernbuang
tes yang terlalu rnudah dan yang terlalu sulit.
Tes Acuan Patokan mementingkan butir-butir tes yang
relevan dengan perilaku yang akan diukur tanpa perduli
dengan tingkat kesulitannya,
4. Tes Acuan Norma digunakan terutarna (tetapi tidak khusus)
untuk tes survai. Tes Acuan Patokan digunakan terutarna
(tetapi tidak khusus) untuk tes penguasaan.
5. Penafsiran hasil Tes Acuan Norma membutuhkan
pendefinisian kelornpok secara jelas.

140

PEKERTI

Penaf'siran hasil Tes Aeuan Patokan rnernbutuhkan


pendefinisian perilaku yang diukur secarajelas dan terbatas.

D. Prosedur Penyusunan Tes Acuan Patokan


Seperti dikernukakan pada tahap permulaan bab ini, tes
yang akan dikernbangkan oleh pengernbang instruksional adalah
tes acuanpatokan, karena dimaksudkan untuk mengukur tingkat
penguasaan setiap mahasiswa terhadap perilaku yang tercantum
dalarn TIK.
Untuk rnenyusun tes seperti itu pengembang instruksional
perlu melakukan langkah-Iangkah seperti berikut:
1. Langkab pertama, menentukan maksud tes

Tes yang akan disusun oleh pengernbang instruksional akan


digunakan untuk dua maksud utama sebagai berikut:
Memberikan umpan balik bagi mahasiswa tentang.hasrl
belajar mahasiswa dalam setiap tahapprosesbelajarnya.
Karena itu, pengembang instruksional perIu rnenyusun
Tes Acuan Patokan .untuk mengukur secara cerrnat
peneapaian mahasiswa terhadap setiap perilaku dalam
TIK. Tesini berfungsi sebagai tes forrnatif. Hasil tes ini
dapat pula dijadikan petunjuk tentang kesulitan
mahasiswa dalam bagian-bagian tertentu dari bahan
instruksional yang digunakan.
b. Menilai efektiv itas sis tern i nstruks'ional seeara
keseluruhan.Untuk ini pengembang instruksional periu
menyusun Tes' Acuan Patokan yang dapat mengukur
hasil belajar mahasiswa dalam menguasai seluruh
perilaku dalam TID dansampel perilaku dalam TIK.
Tes ini akan digunakan sebagai tes awal dan tes akhir
dalam uji cobasistem instruksional yang telah
dikem bangkan,

a.

2. Langkah kedua,membuat tabel spesiflkasi.urituksetiap tes

untuk butir l a dan Ib di atas yang terdiri atas empatkolom,


yaitu: daftar perilaku, bobot perilaku, persentase jenis res,
dan jumlah butir tes. Tabel spesifikasi tersebut tampak
sebagai berikut:
141

PEKERTI

Tabel 11. Karangka Tabel Speslflkasl


Daftar
Perilaku
1

Sobot
Peri/aku

Janis Tes

Jumlah Butlr
Tes
4

Tabel spesifikasi ini disebut pula kisi-kisi atau blue print untuk
penyusunan tes.
a. Kolom pertama berisi daftar perilaku atau kata kerja
dan objet yang terdapat dalam TIK.
b. Kolom kedua berisi persentase yang menunjukkan bobot
setiap perilaku. Jumlah bobot seluruh perilaku 100%.
Bobot setiap perilaku ditentukan oleh pendesain
instruksional atas dasar penting-tidaknya dan luastidaknya perilaku tersebut dibandingkan dengan perilaku
yang lain.
c. Kolom ketiga menunjukkan jenis tes untuk setiap TIK.
Jenis tes ini ditentukan oleh pengembang instruksional
atas desain pertimbangan kesesuaian perilaku dalam
setiap TIK dengan kelebihan dan kekurangan setiap
macam tes,
.
Berikut .ini disajikan suatu label yang memberikan saran bagi
pengembang instruksional dalam memilih macam tes yang sesuai
dengan kata kerja yang digunakan dalam perilaku yang akan
diukur.

142

PEKERTI

Tabel , 2.

Jenls Kala
Kerjayang

Pemlllhan Janis Tes Berda&arkan Jenis Kata


Kerja yang Digunakan dalam TIK
Tea Objekllt

Tea

Karangan MengIsiI

Digunakan

meleng-

dalamTlK

kapI

Menyebut-

TesPenam-

Menjodohkan

PiUhan

Benar

p11an

5aIah

Berganda

Memlllh

Membeda-

kan

Menglden-

lIftkaslkan

Mendlskuslkan

Mendellnl-

slkan

kan

Memecahkan
mesalah

Mengembangkan

Menggenerallsaslkan

Melakukan
(keglatan
8tau gerak)

d. Kolorn keernpat, rnenunjukkan jumlah butir tes yang


akan dibuat, Jumlah butir tes yang akan dibuat ditentukan
oleh jurnlah waktu yang tersedia bagi mahasiswa untuk
rnengerjakan tes tersebut. Di sarnping itu, jurnlah butir
tes dipengaruhi pula oleh jenis tes. Pada urnurnnya
dalarn jangka waktu yang sarna, jurnlah tes karangan
lebih sedikit daripada jurnlah tes objektif,

143

PEKERTI

Berikut ini pedornan dalarn rnengisi kolom keernpat pada tabel


spesifikasi. Lihatlah lagi Tabel-l kolorn 3 yang berisijenis tes. Bila
seluruh kolorn tiga rnenunjukkan tes objekstif, tanpa tes karangan
dan tanpa tes penampilan, sedangkan 'waktu yang tersedia bagi
rnahasiswa untukmengeriakan tes tersebutselama tigajam rnisalnya,
butir tes yang harus disiapkan kurang lebih dua ratus butir tes.
Untuk itu, pengernbang instruksional harus rnengisi seluruh kolorn
keernpat dengan jurnlah 200. Setiap angka dalam kolorn keempat
tersebut rnenunjukkan jumlah butir tes yang harus dikernbangkan
untuk perilaku yang tercantum dalam kolorn pertama. Penentuan
jurnlah butir tes objektif'konsisten atau proposional terhadap bobot
setiap perilaku yang akan diukur. Hal ini didasarkan atas ketentuan
umum bahwa setiap butir tes objektif dalam suatu set tes haruslah
setara dengan butir tes yang lain.
Pernbuatan tabel spesiftkasi setiap tes, baik tes formatif rnaupun tes
yang akan digunakan untuk rnengukur efektivitas sistern
instruksional pada saat uji coba, harus dilakukan secara terpisah
antara satu dengan yang lain.
Dengandernikian,pengernbanginstruksionalharus rnengernbangkan
paling sedikit dua tabel spesifIkasi, yaitu: satu tabel spesifikasi
untuk tes formatifyang akandigunakan sepanjang proses uji coba
sistern instruksional dan satu tabel spesifikasi lagi untuk digunakan .
sebagai tes awal dan tes akhir dalam uji coba tersebut.
Perhatikan contoh tabel spesifikasi berikut ini untuk
mengembangkan dua ratus butir tes obyektif atas dasar
tujuan instruksional A sarnpai dengan K. Seluruh tujuan
instruksional itu terrnasuk dalarn kawasan kognitif.

144

PEKERT/

Tabel13. Tabel Spe~iflkasi untuk Tes Formatif


yang mellputl Daftar' Prllaku dalam Tujuan
Instrukslonal A sampai dengan K

Daftar
PeriJaku

Janis Tes

Bobot
Persentase

Jumlah
Butir Tes

Pillhan Berganda

Pilihan Berganda

10

BenarSalah

20

eenarSalah

14

Pilihan Berganda

16

10

Menjodohkan

20

10

Menjodohkan .

20

BenarSalah

10

10

Pilihan Berganda

20

15

. Pillhan Berganda

30

15

PUlhan Berganda

4
, 10

10

30
,

100

200

Perhatikan pula13bel14 berikutini sebagaicontohtabelspesifikasi


campuran antara tes objektif, tes karangan, dan tespenarnpilan,
misalnyates yangakan digunakansebagaites akhir dalam uji coba
suatu prototipesistem inslruksional.
:~ ' I

145

PEKERTI

Tabel14. Tabel Speslflkasl untuk Tes Akhir


dalam Ujl Coba Program X '
Daftar
Perilaku

Bobot
Persentase

Jenis Tes

Jumlah
Butlr Tes

.-..;.

A
D
F
K
0

2
3
4
6
10
15
5
10
20
25

R
T
V

Plllhan Berganda
Pllihan Salah
Menjodohkan
Pillhan Berganda
Tes Karanqan
Tes Penampilan
Plllhan Berganda
Tes Karangan
Tes Karangan
Tes Penampllan

100

2
3
4
6
2
1
5
2
3
1

20 Tes Objektlf
7 Tes Karangan
2 Tes Penampllan

3. Langkab ketiga dalarn menyusun Tes Acuan Patokan adalah


menulis Butir Tes

Berdasarkan daftar spesifikasi yang telah disusun, pendesain


instruksional mulai menulis butir-lHltlf tes.
Hal-hal yang harns diperbatikan dal3m menulissetiap bum tes

adalah:

a. Macam dan jumlah butir tes sesuai dengan tabel


spesifikasi.
b. Menggunakan komponen kondisi dalam TIK sebagai
dasar dalam menyusu,n pertanyaan.
c. Setiap menyelesaikan'penulisan satu butir tes atau satu
kelompok butir tes yang mengacu kepada satu TIK,
pengembangan instruksional harus menanyakan kepada
dirinya sendiri dengan pertanyaan sebagai berikut,
"Seandainya mahasiswa dapat menjawab pertanyaan ,
,

146

'

PEKERTI

atau melakukan perilaku yang dikehendaki oleh butir


tes tersebut dengan benar, apakah mahasiswa berarti
telah mampu melakukan atau rnenguasai perilaku seperti
yang tercantum dalam TIK?" Bila jawabnya ragu-ragu
atau belum tentu, butir tes atau kelompok butir tes itu
barus direvisi. Proses seperti ini sangat penting dilakukan
dengan seksama karena merupakan kunci validitas isi
suatu tes.
d.

Perhatikan kesesuaian butir soal dengan TIK dalam


contoh di bawah ini.

TIK: Jika diberikan satu set data, mahasiswa UT program


studi StatistikTerapan Semester I akan dapat membuat
tabel distribusi dengan 100% benar,
ButirTes:

Buatlab tabel distribusi frekuensi dengan


menggunakan data di bawah ini:
11

15

17

17
16

13

15
15

13

12
16
17
20
14
17
19

10
24

21
16
17
11

11

13

10

ZI
22
17
16
13

23
22
14
15
16
17
11

20
19
17

25
22
20
11

12
14
16
11

21
24

TIK: Jika diberi kesempatan lima kali melakukan tembakan


dari arab tertentu, siswa SMA Negeri V kota X akan
dapat memasukkan bola ke "ring" basket paling sedikit
empatkali.
Butir Tes:

Lakukan tembakan dari arab depan, kiri atau


kanan sebanyak lima kali dengan sasaran ring
basket.

147

PEKERTI

Setelah menulis seluruh butir tes, pendesain instruksional hams


memeriksa kembali apakah bobot tes atau kelompok butir tes itu
telah sesuai dengan bobot persentase yang ditentukan dalam tabel

spesifikasi,
4.

Langkah keempat, merakit Tes


Butir tes yang telah selesai ditulis dikelompokkan atas dasar jenis
kemudian diberi nomor urut I sampai seterusnya,

5.

Langkah kelima, menulis petunjuk


Dalam langkah keempat, butir-butir tes telah dikelompokkan
berdasarkan jenis tes, misalnya mengisi, jawaban pendek,
menjodohkan, benar-salah, pilihan berganda, tes karangan, dan tes
penampilan .atau melakukan suatu ke~iatan. Setiap jenis tes itu
diberi petunjuk untuk mahasiswa tentang menuliskanjawabannya.
Di samping itu, mahasiswadiberipulapetunjuk tentang waktu yang
diperlukan untukmenjawab atau menyelesaikanseluruh tes tersebut
Petunjuk ini hams sederhana, singkat, tetapi jelas.

6.

Langkah keenam, menulis Kunci Iawaban


Kunci jawaban setiap butir tes perlu dipersiapkan untuk digunakan
pemberi skor atau orang yang memeriksadan menilaihasiljawaban
mahasiswa. Kunci jawaban menunjukkan dua hal, yaitu:
a.

148

Iawaban yang benar. Untuk tes objektif jawaban yang


benar adalah satu di antara pilihanjawaban yang tersedia
(kecuali tes mengisi atau jawaban pendek yang harus
dituliskan isian atau jawabannya yang benar). Untuk tes
karangan dan tes penampilan atau melakukan suatu
kegiatan dapat berupa model-model jawaban yang baik,
sedang, dan kurang. Metode pemberian skor berdasarkan
model-model ini disebut metode global. Kunci jawaban
untuk tes karangan dapat pula berupa garis-garis besar
jawaban yang diharapkan dan skor maksimom untok ' .

PEKERT/

setiap gads besar jawaban tersebut. Metode pemberian


skor seperti ini disebut metode analistik,
b. Di samping berupajawaban yang benar, kunci jawaban
harus pula mengandung cara pemberian skor untuk
setiap butir tes. Hal ini sangat diperlukan terutama
untuk tes karangan dan tes penampilan atau melakukan
suatu kegiatan.
7.

Langkah ketujuh dalam penyusunan atau pengembangan tes


adalah mengujicobakan tes

Tes yang telah tampak jelas dan baik di hadapan pengembang


instruksional dan para ahli belurn tentu sarna halnya di hadapan
mahasiswa. Karena itu, tes perIu diujicobakan untuk melihat
beberapahal penting berikut ini.
a. Kualitas setiap butir tes.
b. Kejelasan dan kesederhanaan petunjuk cara menjawab.
c.

Kemudahan mahasiswa memahami maksud setiap


pertanyaan.

d. Kelengkapan alat-alat yang harus dibawa mahasiswa,


misalnya kalkulator, tabel, kertas jawaban, pensil atau
alat tulis tertentu.
e.

Kesesuaian waktu yang dibutuhkan mahasiswa dengan


yang ditetapkan dalam tes tersebut. Bila waktu yang
dibutuhkan mahasiswa lebih lama dari yang tersedia
dalam tes, jumlah butir tes tersebut harus dikurangi atau
waktunya ditambah. Bila waktu yang dibutuhkan
mahasiswa lebih singkat, waktu yang tersedia harus
dikurangi atau butir tesnya ditambah. Pengurangan atau
penambahan jumlah seluruh butir tes harus dilakukan
pada setiap TIK secaraproporsional menurut bobot atau
persentase masing-masing.

f.

Kejelasan dan kebersihan pengetikan.

149

PEKERTI

8. Langkaii kedelap an menganalisis hasil ujicoba


Hasil ujicoba tes dapat diolah dalam dua bagian penting, yaitu:
a. Kualitas setiap butir tes;
b. Kualitas teknik penulisan dan kualitas fisiko

Kualitas setiap butir tesacuan patokan dianalisis daya pembedanya


dan untuk tespilihan bergandadianalisis pula fungsi setiap ..option"

yang ada di dalamnya. Kualitas teknik penulisan dankualitas fisik


tes dianalisis menurut unsur-unsur butir 7b sampai 7f di alas.
9. Langkah terakhir dalam menyusun atau mengembangkan
tes adalah merevisi Tes.
Tes yang telah diujicobakan direvisi seperlunya menurut hasil uji
coba.Apabilarevisi tes itusecarakeseluruhancukupbesar, sebaiknya
tes bam tersebut diujicobakan lagi,
Pelaksanaan langkah ke-7, 8, dan 9 dapat ditunda sampai saat
pengembang instruksional mengujicobakan bahan dan strategi
instruksional, nantipada akhir prosespengembangan instruksional.

E. Menggunakan Tes Acuan patoIFan


Sampai batas uraian ini telah diuraikan penyusunan tes
untuk digunakan dalam tiga hal sebagai berikut: Pertama,
mengukur tingkat pencapaian mahasiswa setelah menyelesaikan
seluruh proses instruksional untuk suatu matapelajaran atau
kursus. Tes itu disebut tes akhi.-(posttest). Kedua, mengukur
tingkat penguasaan mahasiswa sebelum dimulai proses
insti:uksional. Tes ini disebut tes awal(pretest). Untuk itu,
pengembang instruksionalharus menyusun tes yang setara
dengan tes akhir. Alternatif lain, pengembang instruksional
dapat pula menggunakan tes yang digunakan dalam tes akhir.
Bila alternatif ini ditempuh, kerahasiaan tes tersebut setelah
digunakan dalam tes awal harus dijaga. Setelah penyelenggaraan
tes awal, seluruh Iembar soal danljawaban ditarik dari peredaran.
Di samping itu, mahasiswa tidak boleh tahu bahwa tes tersebut
akan digunakan dalam tes akhir, Bita kerahasiaan ini tidak
dapat dipertahankan, sebaiknya disusun tes lain yang setara.

150

PlEKlERTI

Tes awal ini tidak selalu digunakan, terutama bila pengembang


instruksional yakin bahwa perilaku yang diajarkan itu jelas barn
bagi mahasiswa.

Dengan mempunyai data hasil tes awal dan tes akhir,


pendesain instruksional akan dapat menghitung kenaikan
penguasaan mahasiswa selama proses instruksional.
Ketiga, di samping digunakan dalam tes awal dan tes akhir,
pengembang instruksional menggunakan Tes Acuan Patokan
un tuk mengetahui kemajuan mahasiswa selama proses
instruksional. Dengan mengetahui kemajuan mahasiswa ini,
pengajar diharapkan dapat mengambil keputusan untuk terns
mengajarkan bagian selanjutnya atau harus mengulang dulu
ba g ian yang baru lalu, karena bagian ini masih belum dikuasai
mahasiswa. Keputusan seperti ini sangat penting artinya,
terutama bila pengajar sedang mengajarkan perilaku prasyarat.
Di samping itu, pelaksanaan tes ini penting bagi mahasiswa
sebagai umpan balik atas kemajuan yang telah dibuatnya setiap
selesai mempelajari suatu bagian pelajaran. Tes ini biasa disebut
tes formatif.

F.

Latihan

Sebagai hasil latihan dalam Bab VI yang lalu, Anda telah


menyusun TIK untuk mata pelajaran yang sedang Anda
kern bangkan sistem instruksionalnya. Daftar TIK tersebut adalah
prasyarat untuk dapat melakukan latihan ini. Karena itu, bila
Anda belum membuatnya, kembalilab ke Bab VI dan kerjakanlah
latihan yang diminta.
Berdasarkan TIK yang telah Anda susun itu, tulislah Tes
Acuan Patokan dengan rnengikuti langkah-Iangkah yang
tercantum dalam halaman 141 s.d. 150. Paling sedikit Anda
harus mulai dari langkah 1 s.d. langkah 6. .Sedangkan langkah
7, 8, dan 9 dapat Anda tunda sampai pelaksanaan ujicoba
pro totipe sistem instruksional Anda nanti.
1.

2.

Yang perlu Anda kembangkan adalah:


Tes formatif yang meliputi seluruh TIK;
Tes akhir dan tes awal yang meliputi seluruh TID dan
sam pel TIK yang representatif.

151

PEKERTI

G. Rangkuman
Langkah kelima adalah menulis tes acuan patokan dengan
menggunakan tabel spesifikasi atau kisi-kisi yang sederhana.
Tabel tersebut tidak menggunakan taksonomi tujuan
instruksional seperti pada umumnya, karena penggunaan tabel
seperti itu dirasakan terlalu sulit bagi seorang pengajar biasa
yang bukan ahli pengembangan tes. Di samping itu, penggunaan
tabel yang sederhana seperti yang dikemukakan dalam buku ini
dapat memenuhi kebutuhan seorang pengajar untukmenyusun
tes yang konsisten dengan tujuan instruksional, baik yang bersifat
kognitif, psikomotor maupu~ afektif. Tes yang telah
dikembangkan digunakan untuk' mengukur tingkat penguasaan
. mahasiswa dalam setiap bagian pelajaran atau seluruh mala
pelajaran.

Daftar Kepustakaan
Gronlund, N.E. Measurement and Evaluation in Teaching(6th
Ed.), New York: Macmillan Publishing Company, 1990.
Hopkins, Charles D. and Antes, Richard L. Classroom Measurement and Evaluation (2nd Ed.). Itasca, Illinois : F.E.
Peacock Publishers, Inc., 1985.
Mehrens, William A. and Lehmann, Irvin J. Measurement and
Evaluation in Education and Psychology. New York:
Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Popham, W. James. Modern Educational Measurement.
Englewood Cliffs: Prentice Hall.' 1981

152

PEKERTI

BAB VIII
MENGEMBANGKAN STRATEGI
INSTRUKSIONAL
r------~-------~

,al
I

IDENTIFIKASI
KEllliTUHAH
INSTRUKSlONAl
DANMENUUS

TUJUAH
INSTRUKSIONAL
UWM(TIU)

~eb

I
INSTRUK
SIOIW.
lOlUSUS

IoIENGQI.

BAHGKAN

>

OESAINOAN

IoEI.AKSAHA- .

IlAIlAN

KAN EVN..UASl

INSTRUK

FOIUoI4TIF

SISTeu
INSTRUK
SlONAI.

SIOIW.

(TIll)

. 1

I
I
I
1
I.

Ii
UENYUSUH

MEHUUS
TIWAH
.)

~.

L __ .J_~_.J

I
I
I
I
I
1

J.

I
I
I
I
I
I

Kegiatan instruksional yang dilakukan pengajar beraneka


ragam. Ada pengajaryang memulaikegiatannya dengan
menunggu pertanyaandari mahasiswa.uda yang aktif mem ulai
dengan mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa, ada pula
yang mulai dengan memberikan penjelasan tentang materi yang
akandiuraikan, dan ada-yangmemulai mengulangi penjelasan
tentang mated yang lalu.: Selanjutnya,ada yang melanjutkan
dengan kegiatan menjawabpertanyaanmahasiswa, rnembentuk
kelompok diskusi atau menggunakan program kaset untuk
didengarkan bersama, Akhirnya, kegiatan Iristruksional itu
ditutup dengan tesataurangkuman materiyang telah dijelaskan.

153

PEKERT/

Setiap pengajar mempunyai tara sendiri untuk menentukan


urutan kegiatan instruksionalnya. Setiap cara itu dipilih atas
dasar keyakinan akan keberhasitannya .dalam mengajar.
Pemilihan itu mungkin didasarkan atas intuisi, kepraktisan,
atau mungkin pula atas dasar teori-teori tertentu.
Bab ini akan membahas hal-hal yang berhubungan dengan
bagaimana sebaiknya pengajar mengatur urutan kegiatan
instruksionalnya setiap kali.ia mengajarkan suatu bagian dari
mata pelajarannya,
'
Beberapa pertanyaan di bawah ini akan terjawab dalam bab
ini.
1. .Perlukah urutan tertentu dalam kegiatan instruksional?
Mengapa?
2. Berapa banyak jenis urutan kegiatan instruksional itu?
Ataukah hanya ada satu urutan yang paling baik untuk
mengajarkan segala macam pengetahuan, keterampilan, dan
sikap kepada mahasiswa? Mengapa?
3. Perlukah metode dan media tertentu dalam kegiatan
instruksional? Mengapa?
4. Perlukah penentuan pembagian waktu untuk setiap kegiatan
yang termasuk dalam kegiatan instruksional? Mengapa?

Bagi seorang pengajar ketiga kemampuan di atas akan


,menjadi modal utamadalarri merencanakari kegiatan
instruksionalnya secara sistematik. Apayang diajarkannya
bukannya saja harus relevan dengan tujuaninstruksional mata
pelajaran tersebut, melainkanjuga harus dapat dikuasai dengan
baik oleh mahasiswa yang diajarnya. Di samping itu, kegiatan
instruksionalnya harus menarik dan bervariasi.
!

Bagi seorang pengelola program pendidikan dan latihan,


kemampuan di atas akan sangat bermanfaat dalam menetapkan
materi pelajaran, media, dan fasilitas yang dibutuhkan program,

154

PEKERTI

atau kursusnya serta dalam menyarankan penggunaan metode


Instruksional yang lebih tepat kepada pengajar.
Bagi pengembang instruks ional , kemampuan di atas
rn erupakan -tulangpunggungdalam memproduksi bahan
instruksional atau membuat prototipe sistem instruksional. .

A. Apakah Strategilnstruksional Itu?


Pada saat menulisbab ini saya teringatapa yang dilakukan
guru saya dahulu semasih duduk di kelas6Sekoiah Dasaryang
waktu itu disebut Sekolah RakyaL Guru itu dikenal disekolah
sebagai guru yang baik. Beliau yang. kebetulan tinggal satu
rumah dengan sayakarenakakak kandung saya, selalu membuat
persiapan mengajar untuk setiap mata pelajaranyangakan
diajarkan keesokan harinya atau beberapa hari yang akan datang.
'Terlepas dad macampelajaran yang akan diajarkannya,
persiapan itu berisi komponen pokok yangtetap.. Di an tara
komponen pokok itu terdapat tiga judul yang menarik perhatian
saya karena ditulis dengan tinta biru untuk membedakannya
dengan uraiannya yang ditulis dengan tinta hitarn, yaitu:
pendahuluan, pelajaran inti, penutup.

Lebih dariduapuluh tahun kemudian,baru saya ketahui


bahwa ketiga komponen itu menunjukkan bentuk sederhana dari
suatu strategi instruksionaI. Terlalu sederhana untuk disebut
suatu strategi instruksional yangbaik, karena tidak ada
penjabarannya lebih lanjut dan karena itu, tidak .dapat
dimodifikasi Iagiagarsesuai dengan tujuan yang akandicapai.
Dick dan Carey (1985) mengatakan bahwa suatu strategf
instruksional menjelaskan komponen-komponenumum dari
suatu setbahan instruksional dan prosedur-prosedur yang akan
. digunakan bersama bahan-bahan tersebutuntuk menghasilkan
hasil belajar tertentu pada mahasiswa.

Ia menyebutkanHma komponen umum dari strategi


i.pstruksional sebagai berikut:
1; Kegiatan pra-instruksional;
2. Penyajian informasi;
3. Partisipasi mahasiswa;
4. Tes;

155

PEKERTI

5. Tindak lanjut.
Kelima komponen tersebut bukanlah satu-satunya rumusan
strategi instruksional. Tigakomponen yang dibuat guru Sekolah
Dasar dahulu itu juga merupakari suatu bentuk rumusan strategi
instruksional. Merril dan Tennyson (1977) menyebutnya sebagai
urutan tertentu dari penyajian. Sedangkan AT&T (1985)
menyamakannya dengan metode instruksional. Gagne dan Briggs
(1979) menyebutnya sebagai sembilan urutan kegiatan
instruksional, yaitu:
1. Memberikan motivasi atau menarik perhatian;
2. Menjelaskan tujuan instruksional kepada mahasiswa;
3. Mengingatkan kompetensi prasyarat;
4. Memberi stimulus (masaIab, topik,konsep);
5. Memberi petunjuk belajar (cara mempelajari);
e
6. Menimbulkan penampilan mahasiswa;
7. Memberi umpan baIik;
8. Menilai penampilan;
9. Menyimpulkan.
Briggs dan Wager (1981) mengungkapkan bahwa tidak
sernua pelajaran rnemerlukan seluruh'sembilan urutan kegiatan
tersebut, Sebagian pelajaran hanya rnenggunakan beberapa di
antara sernbilan urutan kegiatan tersebut, tergantung kepada
karakteristik mahasiswa dan jenis perilaku yang ada dalarn
tujuan instruksional. Pengurangan dari sernbilan urutan tersebut
masih dimungkinkan sepanjang alasan secara rasionalnyajelas,
Strategi instruksicnal adalah suatu komponen sistern
instruksional yang masih terbelakang.la masihbelurn
berkembang seperti komponen-komponen yang lain. Kaitannya
dengan komponen yang lain untuk rnernbentuk suatu sis tern
be1umkokoh benar. Da1arn proses pengernbangan instruksional,
kaitan antara pengidentifikasian TIU\ analisis instruksional,
TIK, dan tes misalnya telah tampak sedemikian ketat.
Pengembangan setiap komponentersebut pun telah sistematik.
Tetapi, strategi lnstruksional sebagai salah satu kornponen di
samping tes yang akan menjadidasar pengernbangan atau
pemilihan bahan belajar, masih perlu dikembangkan lebihjauh.
Briggs dan Wager (1981) menjelaskan b.ahwa pengetanuan
kita be1urn lengkap tentang urutan kegiatan instruksional yang

156

PEKERTI

sesuai untuk berbagaimacam mahasiswa dan tujuan. Penelitian


dalam bidang ini masing terhitung langka.
Tampaknya para ahli sepakat bahwa strategi instruksional
berkenaan dengaapendekatanpengajaran dalam mengelola
kegiatan instruksional untuk menyampaikan materi alan isi
pelajaran secarajsistematik; sehingga kemampuan yang
diharapkan dapat dikuasai oleh mahasiswa secara efektif dan
efisien. Didalamnya terkandung empat pengertian sebagai
berikut:
"
1. Urutan kegiataninstruksional, yaitu urutan kegiatan pengajar
dalam menyampaikan isi pelajaran kepada mahasiswa:
2. Metode instruksional, yaitu cara pengajarmengorganisasikan
materi pelajaran dan mahasiswa agar terjadi proses belajar
secara efektif dan efisien;
3. Media instruksional, yaitu peralatan dan bahan instruksional
yang digunakan pengajar dan mahasiswa dalam kegiatan
instrusional;
4. Waktu yang digunakan oleh pengajar dan mahasiswa dalam
menyelesaikan setiap langkah dalam kegiatan instruksional.
Dengan dern ikian, strategi instruksional merupakan
perpaduan dari urutan kegiatan, cara pengorganisasian materi
pelajaran dan mahasiswa, peralatan dan bahan, serta waktu
yang digunakan dalam proses instroksional untuk mencapai
tujuan instruksional yang telah ditentukan. Dengan perkataan
lain, strategi instruksional dapat pula disebut sebagai cara yang
sistematik dalam mengkomunikasikan isi pelajaran kepada
mahasiswa .untuk mencapai tujuan instruksional tertentu. Ia
berkenaan dengan bagaimana (the how) menyampaikan isi

pelajaran.

Rumusan strategi instruksional lebih dari sekedar urutan


kegiatan dan metode instruksional saja. Di dalamnya terkandung
pula media instruksional dan pembagian waktu untuk setiap
langkah kegiatan tersebut.
Dalamsetrap pemilihan strategi Instruksional, kita perlu
mengajukan dna pertanyaan sebagai berikut: Pertama, seberapa
jauh strategi yang disusun itu didukung denganteori-teori
psikologidan teoriinstruksional yang ada? Pertanyaan kedua,
seberapa jauh strategi yang disusun itu efektif dalam membuat
mahasiswa mencapai tujuan instruksional yang telah ditetapkan?

157

PEKERTI

Karena strategi instruksional ini disusun untuk mencapai


tujuan instruksional tertentu, ia harus disusun sesuai dengan
TIK. Pada umumnya model desain instruksional sepertilnstructional DevelopmentInstitute, Systems Approach/or Education,
The Project Minerva. Banathy, dan Teaching Research
menggunakan langkah yang sarna. Mereka mengembangkan
strategi instruksionallangsung dari TIK. Sedangkan pada model
Dick dan Carey walaupun tahap strategi instruksional
digambarkan dalam bagan di belakang pengernbangan tes, di
dalam penjelasannya dinyatakan bahwa ia dikembangkan
langsung dari TIK juga.
Strategi instruksional yang akan dijelaskan dalambuku ini
pada dasarnya terbagi atas empat komponen utama, yaitu:
urutan kegiatan instruksional, metode, media, dan waktu.
Komponen utama yang pertama, yaitu urutan kegiatan
instruksional mengandung beberapa komponen, yaitu
pendahuluan, penyajian, dan penutup.
Komponen Pendahuluan terdiri atas tiga langkah sebagai
berikut:
1. Penjelasana singkat tentang isi pelajaran;
2. Penjelasan relevansi isi pelajaran baru dengan pengalaman
mahasiswa:
3. Penjelasan ten tang tujuan instruksional.
Komponen Penyajian juga terdiri atas tiga langkah, yaitu:
4. Uraian;
5. Contoh;
6.

Latihan,

Komponen Penutup terdiri atas dua langkah sebagai berikut:


7. Tes formatif dan umpan balik;
8. Tindak. lanjut.
Komponen utama yang kedua, yaitu metode instruksional,
terdiri atas berbagai macam metode yang digunakan dalam
setiap langkah pada urutan kegiatan instruksional. Setiap langkah
tersebut mungkin menggunakan satu atau beberapa metode atau
mungkin pula beberapa langkah menggunakan metode yang
sarna.
158

PEKERTI

Komponen utama yang ketiga, yaitu media instruksional,


berupa media cetak dan atau media audiovisual yang digunakan
pada setiap langkah pada urutan kegiatan instruksional. Seperti
halnya penggunaan metode instruksional, mungkin beberapa
media digunakan pada suatu Iangkah atau satumedia digunakan
-, pada beberapa langkah.
Dalam bentuk bagan Strategi Instruksionaltampak sebagai
berikut:
URUTAN KEGIATAN INSTRUKSIONAL

MEDIA WAKTU

METODE
_.

Deskripsi Singkat: .
PENDAHULUAN

Relevansi:
TIK:
Uraian:

PENYAJIAN

Contoh:
Latihan:
Tes Formatif

PENUTUP

Umpan Balik:
Tindak Lanjut:

Tabel 15. KomponenUtama dan Komponendalam Strategi


Instrukslonal
.
l

Penetapan komponen-komponen di atas didasarkan atas dua


belas prinsip kegiatan 'instruksional yang telah diuraikan dalam
Bah L'Berikut ini disampaikan uraian tentang pengertian setiap
komponendan setiap langkah yang terdapat 'dalam strategi
instruksional.
.
159

PEKERTI

B. Komponen Utama Pertama: Urutan Kegiatan


Instrukslonal
Urutan kegiatan instruksional terdiri atas komponen
pendahuluan, penyajian, dan penutup. Setiap subkomponen
tersebut terdiri atas beberapa langkah.

1. Subkomponen Pendahuluan
Pendahuluan merupakan kegiatan awal dad kegiatan
. instruksional yang sesungguhnya. Dick dan Carey (1985)
rnenyebutnya pre-instructional activities dan modul Universitas
Terbuka menggunakan istilah pengantar atau kadang-kadang
disebut pendahuluan.
Kegiatan awal tersebut dirnaksudkan untuk mempersiapkan
mahasiswa agar secara mental siap mempelajari pengetahuan,
keterampilan dalam sikap barn. Seorang pengajar yang baik
tidak akan secara mendadak -mengajak rnahasiswa untuk
membahas topik hari itu, misalnya "Kebudayaan Asing dan
Pengaruh-pengaruhnya di Indonesia", pada saat mereka sedang
hangat-hangatnya diliputidemam devaluasi di Indonesia yang
baru diumumkan semalam. Pengajar itu harus bersedia
menggunakan waktunya sejenak untuk ikut bersama mereka
membicarakan devaluasi, kemudian secara pelan-pelan
membawa peinbicaraan tersebut kepada topik pelajaran hari itu.
Di samping itu, pengajar yang baik akan berusaha menaikkan
motivasi mahasiswa untuk mempelajari mated pelajaran baru
sebelum ia mengajarkannya dengan cara menjelaskan apa
manfaat pelajaran tersebut bagi kehidupan mahasiswa atau bagi
pelajaran lanjutannya di kernudian hari.
.
Fungsi subkomponen Pendahuluan ini akan tercermin dalam
ketiga langkah yang akan dijelaskan di bawah ini:
a;

Penjelasan Singkat tentang lsi Pelajaran

Pada babak permulaan pelajaran, mahasiswa ingin segera


mengetahui apa yang akan dipelajarinya pada pertemuan saat
itu.
Keingintahuan ini akan terpenuhi bila pengajar menjelaskannya seeara singkat.

160

PEKERTI

Dengan demikian, pada permulaan kegiatan belajarnya


mahasiswa telah mendapat gambaran secara global ten tang isi
pelajaran yang akan dipelajarinya.
b. Penjelasan Relevansi lsi Pelajaran Baru
, Mahasiswa akan lebih cepat mempelajari sesuatu yang baru
bila sesuatu yang akan dipelajarinya itu dikaitkan dengan sesuatu
yang telah diketahuinyaatau dengan sesuatu yang biasa
dilakukannya sehari-hari, Karena itu, pada tahap permulaan.
kegiatan instruksional mahasiswa perIu diberi penjelasan
mengenai relevansi atau kegiatan isi pelajaran yangrakan
dipelajarinya dengan pengetahuan, keterampilan, atau sikap
yang telah dikuasainya atau relevansinya dengan pengalaman
dan pekerjaannya sehari-hari.
c.

Penjelasan ten tang Tujuan Instruksional

Mahasiswa, terutama yang telah dewasa 'atau matang, akan


belajar dengan lebih cepat bila ia mendapatkan tanda-tanda
yang mengarahkan proses belajarnya. Tanda-tanda tersebut
antara lain berupa penjelasan ten tang tujuan instruksional.
Seperti telah sering disebutkan dalam bab-bab terdahulu, tujuan
instruksional berisi kemampuan yangakan.dicapaimahasiswa
pada akhir proses belajarnya. Dengan tanda tersebut ia
rnempunyai kemungkinan mengorganisasikan atau rnengatur
sendiri proses belajarnya dengan menggunakan sumber-sumber
yang ada di Iingkungannya. Di samping itu, pengetahuannya
tentang tujuan instruksional tersebut akanmeningkatkan
motivasinya selama proses belajarnya. Karena itu, pengajar '
perlu menjelaskan tujuan InstruksionalRepada mahasiswa
sebelum memulai kegiatan instruksional sesungguhnya, - '
Dengan selesainya ketiga kegiatan pendahuluan tersebut,
mahasiswa telah mempunyai gambaran global tentang isi
pelajaran yang akan dipe.lajarinya, kaitannyadengan
pengalamannya sehari-hari, bermotivasi tinggi untuk
mempelajarmya, dan mungkin, dapat mengorganisasikan
kegiatan belajarnya sebaik-baiknya. Waktu yang dibutuhkan
untukketiga kegiatan dalam komponen pendahuluantersebut
tidak banyak, mungkin hanya 3-5 menit dari 45-90 menit waktu
pelajaran tersebut. Tetapi, artinya cukup besar untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensibelajar mahasiswa.

161

PEKERTI

Dalam bentuk bagan, subkomponen Pendahuluan dapat


digambarkan sebagai berikut:
I

URUTAN KEGIATAN PENDAHULUAN METODE

MEDIA

WAKTU

Deskrlpsi Slngkat:

Relevansl:

TIK:

Tabel 16. Komponen Pendahuluan dan Langkah-Iangkah di


Oalamnya

Yang dimaksnd dengan deskripsi singkat adalah penjelasan


secara global tentang isi pelajaran yang berhubungan dengan
TIK.
Relevansi adalah kaitan isi pelajaran yang sedang dipelajari
dengan pengetahuan yang telah dimiliki mahasiswa atau dengan
pekerjaan yang dilakukannya sehari~hari.

TIK berisi pengetahuan, keterampilan, atau sikap yang


diharapkan dicapai mahasiswa pada akhir pelajaran.

2. Sabkomponen Penyajian
Setelah selesai kegiatan Pendahuluan, pengajar mulai
memasuki kegiatan Penyajian. Penyajian adalah subkomponen
yang sering ditafsirkan secara.awam sebagai pengajarankarena
memanginerupakan inti kegiatan pengajaran. Di dalamnya
terhndung lisa pengertian patak sebagal berlkut: pertama
uraian, keduacontoh, dan ketiga latihan.
.
162

PEKERTI

Dalam bentuk bagan komponen penyajian ini tampak sebagai


berikut:
URUTAN KEGIATAN PENYAJIAN

METODE

. MEDIA

WAKTU

Uralan:

Contoh:

Latlhan:

Tabel 17. Komponen Penyajian dan Langkah-Iangkah di


Dalamnya

Berikut ini akan diuraikan subkomponen dalam Penyajian


tersebut di atas. I
a. Uraian
Uraian adalah penjelasan tentang materi pelajaran atau
konsep, prinsip, dan prosedur yang akan dipelajari mahasiswa.
b. Contoh
. Contoh adalah benda atau kegiatan yang terdapatdalam
kehidupan mahasiswa sebagai ujuddari materi pelajaran yang
sedang diuraikan. Contoh meliputi benda atau kegiatan yang
bersifat positif dan yang negatif atau baik yang konsisten
maupun yang bertentangan dengan uraian. Uraian dan contoh
ini merupakan tanda-tanda dan kondisi belajar yang merangsang .
mahasiswa untuk memberikan respon terhadap isi pelajaran
yangsedang dipelajarinya, Semakin relevanuraian dan contoh
tersebut terhadap kehidupan mahasiswa, semakin jelas bagi
mahasiswa.
.

163

PEKERTI

Kegiatan pengajar dalam menguraikan isi pelajaran dan


memberikan contoh yang relevan dapat berbentuk uraian lisan,
tulisan atau buku, media audiovisual, poster, benda sebenarnya
dan sebagainya. Pada saat memberikan uraian, pengajar dapar
menggunakan berbagai metode seperti ceramah, diskusi, dan
sumbang saran.
c.

Latihan

Latihan adalah kegiatan mahasiswa dalam rangka


menerapkan konsep, prinsip, atau prosedur yang sedang
dipelajarinya ke dalarn praktik yang relevan dengan pekerjaan
atau kehidupannya sehari-hari. Latihan ini merupakan bagian
dari proses belajar mahasiswa, bukan tes. Dengan latihan,
berarti mahasiswa belajar dengan aktif, tidak hanya duduk
membaca dan mendengarkan. Belajar secara aktif akan
mempercepat penguasaan mahasiswa terhadap materi yang
sedang dipelajarinya. Latihan yang dilakukan oleh mahasiswa
diikuti dengan bimbingan dan koreksi atas kesalahan yang
dibuatnya serta petunjuk cara memperbaikinya dari pengajar.
Latihan ini diulang seperlunya sampai mahasiswa dapat
menyelesaikannya dengan benar tanpa bantuan dari pengajar.

3. Subkomponen Penutup
Penutup adalah subkomponen terakhir dalam urutan kegiatan
instruksional. Ia terdiri dari dua langkah, yaitu: langkah pertama
tes formatif dan umpan balik, sedangkan langkah kedua tindak
lanjut.
a.

Tes Formatif

Tes formatif adalah satu set pertanyaan untuk dijawab atau


seperangkat tugas untuk dilakukan untuk mengukur kemajuan
belajarmahasiswa setelah menyelesaikan suatu tahap pelajaran.
Tes ini dapat diajukan secara tertulis atau lisan. Di samping
untuk mengukur kemajuan mahasiswa, tes merupakan bagian
dari kegiatan belajar mahasiswa yang secara aktif membuat
respon, Belajar dengan aktif tersebut akan lebih efektif bag i
mahasiswa untuk menguasai apa yang dipelajartnya, Hasil tes
formatif harus diberitahukan kepada mahasiswa dan diikuti .

164

PEKERTI

dengan penjelasan tentang hasil kemajuan mahasiswa. Kegiatan


memberitahukan hasil tes tersebut dinamakan umpanbalik. Hal
ini penting artinya bagi mahasiswa agar proses belaiar menjadi
e fektif, _efisien, dan menyenangkan. Umpan bank merupakan
salah satu kegiatan instruksional yang sangat besar pengaruhnya
terhadap hasil belajar mahasiswa.
'
b. Tindak Lanjut
Tindak lanjut adalah kegiatan yang dilakukan rnahasiswa
setelah rnelakukan tes formatif dan mendapatkan umpan balik.
Mahasiswa yang telah mencapai hasil baik dalam tes formatif
dapat meneruskan ke bagian pelajaran selanjutnya atau
mempelajari bahan tambahan untuk memperdalam pengetahuan
yang telah dipelajarinya, Mahasiswa yang mendapatkan hasil
kurang dalam tes fofmatifharus mengulang isi pelajaran tersebut
dengan menggunakan bahan instruksional yang sama atau
berbeda. Petunjuk dad pengajar tentang apa yang barus dilakukan
mahasiswa merupakan salah satu bentuk pemberian tanda dan
bantuan kepada mahasiswa untuk memperlancarkegiatan belajar
selanjutnya.
Dalam bentuk tabel komponen penutup ini tampak sebagai
berikut:

.-

URUTAN KEGIATAN PENUTUP

METODE

MEDIA

WAKTU

Tes Formatif dan Umpan Balik:

Tindak Lanjut:

Tabel 18.

Komponen Penutup dan Langkah-Iangkah di


Dalamnya

165

PEKERTI

C. Komponen Utama Kedua: Metode Instrukslonal


Salah satu komponen utama pada strategi instruksional di
Iuar urutan kegiatan instruksional adalah metode instruksional.

Tidak setiap metode instruksional sesuai untuk digunakan


dalam mencapai tujuan instruksional tertentu. Karena itu,
pengembang instruksional harus memilih rnetode yang sesuai
untuk setiap TIK yang ingin dicapai.
Metode instruksional berfungsi sebagai cara dalam
menyajikan (menguraikan, memberi contoh, dan rnemberi
Iatihan) isi pelajaran kepada mahasiswa untuk mencapai tujuan
tertentu. Berbagai metode berikut ini biasa digunakan pengajar
dalarn kegiatan instruksional..
1. Metode Ceramah (Lecture)

Metode Ceramah berbentuk penjelasan pengajar kepada


mahasiswa dan biasanya diikutidengan tanya-jawab tentang isi
pelajaran yang belum jelas. Yang perIu dipersiapkan pengajar
hanyalah daftar topik yang akan diuraikan dan media visual
yang sederhana,
Metode ini tepat untuk diterapkan bila:
a. Kegiatan instruksional baru dirnulai;
b. Waktu terbatas, sedangkan informasi yang akan disampaikan
banyak;
c. Jumlah pengajar sedikit, sedangkan jumlah mahasiswa
banyak.
'
Tetapi, metode ini mempunyai keterbatasan sebagai berikut:
a. Partisipasi mahasiswa rendah;
.
b. Kemajuan mahasiswa sulit dipantau;
c. .Perhatian dan minat mahasiswa tidak dapat dipantau.
2. Metode Demonstrasi
Metode Demonstrasi mengambil bentuk sebagai contoh
pelaksanaan suatu keterampilan atau proses kegiatan.
Penggunaan metode ini mempersyaratkan adanya suatu keahlian
untuk mendemonstrasikan penggunaan alat atau melaksanakan
kegiatan tertentu seperti kegiatan yang sesungguhnya..Keahlian
rnendemonstrasikan tersebut harus dimiliki oIeh dosen atau
166

PEKERTt

orang lain yang dipilih oleh dosen. Setelah deJrionstrasi,


mahasiswa diberi kesempatan melakukan latihan keterampilan
atau proses yang sama di bawah supervisi pengajar.
Metode Demonstrasi tepat digunakan hila:
Kegiatan instruksional bersifat formal, magang (interne
ship), atau latihan kerja.
b. Materi pelajaran berbentuk ketrampilan gerak psikornotor.
petunjuk sederhana untuk melakukan ketrampilan, bahasa
asing, dan prosedur melaksanakan suatu kegiatan.
c. Pengajar bermaksud menggantikan dan rnenyederhanakau
penyelesaian kegiatan yang panjang , baik yang menyangkut
pelaksanaan suatu prosedur maupun dasar teorinya.
d. Pengajar berrnaksud menunjukkan suatu standar penampilan.

a.

Kesulitan penggunaan metode demonstrasi adalah


mendapatkan orang yang bukan saja ahli dalam
mendemonstrasikan ketcrampitan atau prosedur yang ak an
diajarkan, melainkan juga mampu menjelaskan setiap langkah
yang didemonstrasikannya secara verbal.

3. Metode Penampilan
MetodcPenampilan berbcntuk pelaksanaan praktik oleh
rnahasiswa di bawah supervisi dari dekat oleh pengajar. Prakt ik
tersebut dilaksanakan atas dasar penjelasan atau dernonstrasi
yang telah diterima atau diarnati mahasiswa.
Untuk mcnggunakan metode ini pengajar harus:
a. Mcmbcrikan pcnjelasan yang cukup kepada rnahas iswa
selarna rnahasiswa berpraktik.
.
b. Mclakukan tindakan pcngamanan sebelum kegiatan praktik
dimulai untuk keselamatan mahasiswa dan alat-alat yang
digunakan.
a.
b.
c.
d.
e.

Metode Penampilan tepat digunakan bila:


Pelajaran telah mencapai tingkatIanjutan.
Kegiatan instruksional bersifat formal, latihan kerja, atau
magang,
Mahasiswa rnendapatkan kemungkinan untuk menerapkan
apa yang dipelajaririya ke dalam situasi sesungguhnya.
Kondisi praktik sarna dengan kondisi kerja.
Dapat disediakan supervisi dan bimbingan kepada mahasiswa
seeara dekat selamapraktik.
;

167

.,~

PEKERTr

Kesulitan penggunaan metode ini adalah:


a. Membntuhkan waktu panjang, karena mahasiswa harns
mendapat kesempatan berpraktik sampai baik.
b. Membutnhkan fasilitas dan alat khusus yang mungkin mahal,
sulit diperoleh, dan dipelihara seeara terus-menerus.
c. Membutuhkan pengajar yang Iebih banyak, karena setiap
pengajar hanya dapat membantusejumlah kecil mahasiswa.
4. Metode Diskusi
Metode Diskusi merupakan interaksi antara mahasiswa dan
mahasiswa atau mahasiswa dan pengajar untnk menganalisis,
menggali atau memperdebatkan topik atau permasalahan
tertentu.
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Untuk menggunakan metode ini pengajar harus:


Menyediakan bahan, topik atau masalah yang akan
didiskusikan.
Menyebutkan pokok-pokok masalah yang akan dibahas atau
memberikan studi khusus kepada mahasiswa sebelum
menyelenggarakan diskusi.
Menugaskan mahasiswa untuk menjelaskan, menganalisis,
dan meringkas.
Membimbing diskusi, tidak memberi ceramah.
Sabar terhadap kelompok yang Iambat dalam mendiskusikannya.
Awas kepada kelompok yang tampak: kebingongan atau
berjalan dengan tidak menentu.

Metode diskusi tepat digunakan untuk:


Tahap menengah atau tahapakhir proses belajar.
Pelajaran formal atan magang.
Perluasan pcngetahuan yang telah dikuasai mabasiswa.
Belajar mengindentiflkasi dan memecabkan masalah serta
mengambil keputusan.
e. Membiasakan mabasiswa berhadapan dengan berbagai
pendekatan, interpretasi, dan kepribadian.
C. Menghadapi masalah secara berkelompok.

a.
b.
c.
d.

Tetapi, metode ini mempunyai keterbatasan sebagai berikut:


a. Menyila waktu lama dan jumlah mahaslswa harns sedlkit.
b. Mernpersyaratkan mahasiswa mempunyai latar belakang
yang cukupdalam topik atau masalah yang didiskusikan.
168

PEKERTI

C,.

Tidak tepat digunakan pada tahap awal proses belajar bila


mahasiswa.baru diperkenalkan kepada bahan instruksional
baru.
.

S.

Metode Studi Mandiri

Metode Studi Mandiri berbentukpelaksanaan tugas membaea


atau penelitian oleh mahasiswa tanpabimbingan atau pengajaran
khusus. Metode ini dilakukan dengan carat
a. Memberikandaftar bacaan kepada mahasiswa yang sesuai
.
dengan kebutuhannya.
b. Menjelaskan.hasil yang diharapkan dicapai oleh mahasiswa
pada akhir kegiatan studi mandiri.
c. Mempersiapkan tes untuk menilaikeberhasilan mahasiswa.
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Penerapan metode ini adalah:


Pada tahap terakhir proses belajar.
Dapat digunakan pad a semua mata pelajaran.
Menunjang metode instruksional yang lain.
Meningkatkan kemampuan kerja mahasiswa.
Mempersiapkan mahasiswa untuk kenaikan tingkat atau
jabatan.
Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk
memperdalam minatnya tanpa dicampuri mahasiswa lain.

Tetapi, metode ini hanya dapat digunakan bila mahasiswa


mampu menentukan sendiri tujuannya dan dapat rnemperoleh
sum ber-sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
6.

Metode Kegiatao Instruksional Terprogram

Metode Kegiatan lnstruksiooal Terprogram menggunakan


bahao instruksiooal yang disiapkan secara khusus. lsi pelajaran
di dalamnya harus dipecahmenjadi langkah-Iangkah keeil,
diurut dengan cermat, diarahkan untuk mengurangi kesalahan,
dan diikuti umpan balik dengan segera. Mahasiswamendapat
kebebasan untuk belajar menurut kecepatan masing-masing.
Untukmenggunakan metode ini perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a. Mahasiswa harus benar-benar memiliki seluruh bahan, alatalat dan perlengkapan lain yang dibutuhkanuntuk
menyelesaikan pelajaran tersebut.
169

PEKERTI

b. Mahasiswa harus benar-benar tahu bahwa bahan itu bukan


tes. Respon yang harus dibuat mahasiswa selama proses
belajarnya dimaksudkan untuk membantunya belajar, bukan
untuk dijadikan dasar penilaian dalam mata pelajaran
tersebut.
c. Tersedia sumber yang dapat membantu mahasiswa bila ia
mengalami kesulitan.
d. Secara periodik, rnahasiswa harus dicek kemampuannya
untuk membuatnya benar-benar belajar.
.
Metode ini diterapkan untuk:
Semua tahap belajar, dari permulaan sampai dengan proses
akhir belajar mahasiswa.
b. Pelajaran formal, belajar jarak jauh, dan magang.
c. Mengatasi kesulitan perbedaan individual.
d. Mernpermudah mahasiswa belajar dalam waktu yang
diinginkan.

a.

Tetapi, metode ini mempunyai keterbatasan-keterbatasan


sebagai berikut:
a. Bahan belajar yang telah dikembangkan dengan baik
membuat setiap mahasiswa melalui urutan kegiatan belajar
yang sarna. Hal ini membuat metode ini kurang fleksibel,
b. Biaya pen gembang an tinggi.
c. Mahasiswa kurang mendapat interaksi sosial.
7. Metode Latihan dengan Ternan
Metode Latihan dengan Ternan memanfaatkan seorang
mahasiswa yang telah lulus dalam Iatihan tertentu untuk
bertindak sebagai pelatih bagi seorang mahasiswa lain. Ia dapat
memilih rnetode instruksional yang diinginkan untuk melatih
temannya tersebut. Setelah ternan tersebut lulus, ia pun akan
bertindak sebagai pelatih bagi seorang mahasiswa yang baru.
Untuk menggunakan metode ini perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a. Mula-mula seorang mahasiswa memperhatikan seorang
mahasiswa lain yang telah mencapai tingkat lanjut dalam
melaksanakan semua tugas di bawahsupervisipelatih.
b. Setelah mengenal tugas tersebut, mahasiswa diIatihdalam
keterampilanmelakukannya.
c.

170

Setelah lulus tes, ia menjadi pelatih untuk mahasiswa


berikutnya,

PEKERTI

Metode Latihan dengan Ternan ini tepat diterapkan pada:


a.. Semua tahap yang membutuhkan latiban satu per satu,
b. Latihan kerja, latihan formal, dan magang.
Kesulitan penggunaan metode ini adalah:
a. Terbatasnya mahasiswa yang dapat dilatih dalam suatu
periode tertentu.
b. Kegiatan latihan harus senantiasa dikontrol secara langsun g
untuk memelihara kualitas,
8. Metode Simulasi
Metode ini menampilkan simbol-simbol atau peralatan
yang menggantikan proses, kejadian, at au bendayang.
sebenarnya.
Untuk rnenggunakan metode simulasi perlu diperhatikan
beberapa hal berikut ini:
a. Pada tahap permulaan proses belajar, diperlukan tingkat di
bawah realitas. Mahasiswa diharapkan rnengidentifikasi
lokasi tujuan, sifat-sifat benda, tindakan yang sesuai dengan
kondisi tertentu, dan sebagainya.
b. Pada tahap pertengahan proses belajar, diperlukan tingkat
realitas yang memadai. Mahasiswa diharapkan dapat
mempelajari sesuatu dalarn kaitan dengan pengetahuan yang.
lebih luas dan memulai mengkoordinasikan keterampilankete-rarnpilan.
c. Pada tahap akhir, diperlukan tingkat realitas yang tinggi.
d. Mahasiswa diharapkan dapat melakukan pekerjaan seperti
seharusnya,
Metode ini sesuai diterapkan untuk:
Semua tahap belajar.
Pendidikan formal atau magang,
Memberikan kejadian-kejadian yanganalogis.
Memungkinkan praktik dan umpan balik dengan resiko
kecil.
e. Diprogramkan sebagai alat pelajaran mandiri.

a.
b.
c.
d.

Tetapi, metode simulasi mempunyai kelemahan sebagai


berikut:
a. Biaya pengembangannyatinggi dan perlu waktu lama.

171

PEKERTl

b. Fasilitas dan alat-alat khusus yang dibutuhkan mungkin


sulit diperoleh serta mahal harga dan pemeliharaannya.
c. Resiko mahasiswa atau pengajar tinggi.
9. Metode Sumbang Pendapat atau Sumbang Saran (Brainstormingy

Metode Sumbang Saran merupakan proses penampungan


pendapat dari mahasiswa tanpa evaluasi terhadap kualitas
pendapat tersebut. Bila menggunakan metode ini, guru tidak.
boleh berorientasi terhadap hasil metode tersebut, tetapi terhadap
prosesnya, yaitu mendorong keberanian mahasiswa
memunculkan pendapatnya tanpa takut disalahkan. Setiap
pendapat mahasiswa ditampung tidak ada yang ditolak.
Metode ini tepat bila digunakan untuk meningkatkan
partisipasi mahasiswa dalam mengajukan pendapatnya. Tetapi,
metode ini dapat menimbulkan frustrasi di kalangan mahasiswa,
karen a mereka tidak menemukan konsensus pada akhir proses
tersebut, Metode ini dapat pula digunakan dalam mencari
berbagai kemungkinan cara.rnemecahkan masalah.
10. Metode Studi Kasus
.Metode Studi Kasus berbentuk penjelasan tentang masalah,
kejadian, atau situasi tertentu, kemudian mahasiswa ditugaskan
mencari alternatif pemecahannya. Metode ini digunakan untuk
mengembangkan keterampilan berpikirkritis dan mendapatkan
persepsi baru dari suatukonsep dan masalah, Metode ini tepat
digunakan untuk mahasiswa yang mempunyai Iatar belakang
pengetahuanyang cukup dalam masalah tersebut.
Kesulitan penggunaan metode ini adalah:
Mendapatkan kasus yang telah ditulis dengan baik sebagai
hasil penelitian lapangan .dan sesuai dengan lingkungan
kehidupanmahasiswa.
b. Mengembangkan kasus sangat mahal.

a.

11. Metode Computer Assisted Learning (CAL)


Metode ini berbentuk suatu seri kegiatan belajar yang sangat
berstruktur dengan menggunakan komputer. lsi pelajaran
172

PEKERTI

dimunculkan oleh kornputer dalam bentuk masalah.Mahasiswa


diminta memberikan jawaban atau pemecahan masalahmelalu i
komputer pula dan seketika itu jugajawaban mahasiswa diproses
secara elektronik. Selang satu atau beberapa detik kernudian ,
mahasiswa mendapat umpan balik tentang jawabannya. CAL
memberikan mahasiswa untuk maju menurutkecepatan masingmasing.
Metode ini dapat digunakan pada setiap tingkat pengetahuan
dari yang sederhana sampai dengan yang paling kompleks.
Kesulitan penggunaan metode ini:
a. Pengembangan program CAL membutuhkan biaya tinggi
dan waktu lama.
b. Pengadaan dan pemeliharaan alat mahal.
12. Metode Insiden
Metode Insidenmerupakan variasi dari metode studi kasus.
Mahasiswa diberi data dasar yang tidak Iengkap tentang suatu
peristiwa atau masalah. Ia harus mencari data tambahan yang
diperlukan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya
tentang peristiwa atau masalah tersebut. Data tambahan tersebut .
dapat diminta kepada pengajar. Untuk itu, pengajar harus
mempersiapkan berbagai lembaran data untuk diberikan kepada
mahasiswajika mahasiswamengajukan permintaan yang sesuai.
Kelebihan metodeini dari metode studi kasus adalah
mahasiswa belajar menyusun dan menyelami masalah lebih
dahulu sebelum belajar berpikir kritis untuk mencar i
pemecahannya, Penggunaannya sarna dengan metode studi kasus.
13. Metode Praktikum
Metode Praktikum berbentuk pemberian tugas kepada
mahasiswa untuk menyelesaikan suatu proyek dengan berpraktik
.
dan menggunakan instrumen tertentu.
14. Metode Proyek
MetodeProyek berbentuk pemberian suatu tugas kepada
semua mahasiswa untukdikerjakan secara individual. Laporan
penyelesaian dituangkan dalam bentuk makalah.

173

PEKERTI

15. Metode Bermain Peran


Metode Bermain Peran berbentuk interaksi antara dua atau
lebih mahasiswa ten tang suatu topik atau situasi. Dalam interaksi
itu setiap mahasiswa melakukan peran terbuka. Metode ini
sering digunakan untuk memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk mempraktikkan isi pelajaran yang baru saja
dipelajarinya dalam rangka menemukan kemungkinan masalah
yang akan dihadapi.dalam pelaksanaan sesungguhnya, Metode
ini memerlukan observasi yang cermat dari pengajar untuk
menunjukkan kekurangan setiap peran yang dilakukan
mahasiswa.
16. Metode Seminar
Metode Seminar berbentuk kegiatan belajar bagi sekelompok
rnahasiswa untuk membahas topik atau masalah tertentu, Setiap
anggota seminar diharapkan aktif berpartisipasi. Penyelesaian
tugas membahas topik atau masalah tersebut menjadi tanggung
jawab anggota seminar, sedangkan pengajar bertindak sebagai
narasumber.
17. Metode Simposium

Metode Tutorial berbentuk pemberian bahan belajar yang


telah dikembangkan untuk dipelajari.mahasiswa secara mandiri
dan kesempatan berkonsultasi secara periodik ten tang kemajuan
dan masalah yang dialaminya,
19. Metode Deduktif
Metode Deduktif dirnulai dengan pemberian penjelasan
ten tang prmsip-prinsip isi pelajaran, kemudian disusul dengan
penerapannya atau contoh-contohnya pada situasi tertentu.
Metode ini bergerak dari yang bersifat umum ke yang bersifat
khusus.
'
.
, I

174

a.
b.

c.
d.

PEKERTI

Metode ini tepat digunakan bila:


Mahasiswa belum mengenal pengetahuan yang sedang
dipelajari.
lsi pelajaran meliputi terminologi, teknis dan bidang yang
kurang membutuhkan proses berpikir kritis.
Pengajaran mengenai pelajaran tersebut mempunyai .
persiapan yang baik dan pembicara yang baik,
Waktu yang tersediasingkat.

20. Metode Induktif


Metode Induktif dimulai dengan pemberian berbagai kasus,
f'akta, contoh, atau sebab yang mencerminkan suatu konsep atau

prinsip. Kemudian, mahasiswa dibimbing untuk berusaha keras


mensintesis, menemukan, atau menyimpulkan prinsip dasar
dari pelajaran tersebut. Metode ini disebut pula metode discovery atau socratic.
Metode ini tepat digunakan bila:
Mahasiswa telah mengenal atau telah mempunyai
pengalaman yang berhubungan dengan mata pelajaran
tersebut.
b. Yang akan diajarkan berupa keterampilan komunikasiantara
pribadi, sikap, pemecahan masalah, dan pengambilan

a.

keputusan,

c.

Pengajarmempunyaiketerampilan mendengarkan yang baik,


fleksibel, terampilmengajukan pertanyaan, terampil
mengulang pernyataan, dan sabar.
d. Waktu yang tersedia cukup panjang.
Di samping kedua puluh metode instruksional di atas, masih
banyak metode lain yang dapat pula dipergunakan. Setiap
komponen yang tergabungdalam komponen utama urutan
kegiatan instruksional, dimulai dad deskripsi singkat sampai
tindak lanjutmemerlukansuatu atau gabungan dari beberapa
metode instruksional. Pemilihanmetode untuk setiap komponen
tersebut didasarkan atas TIKyang telah dirumuskan sebelumnya,
Berikutinidikemukakan tabel yang menunjukkan hubungan
metode dan kemampuan dalam TIK. Tabel ini diharapkan dapat
dijadikan salah satu bahan pertimbangan dalam memilih metode
di samping pertimbangan-pertimbangan lain seperti: jumlah
mahasiswa, jumlah pengajar, alat dan fasilitas yang tersedia,
biaya, dan waktu.

175

PEKERTI

Tabel 19.

Hubungan antara Metode dan Kemampuan yang


akan Dlcapai

NO. METODE

1.
2.

Ceramah
Demonstrasl

3.
4.
5.

Penampilan
Diskusi
Studi Mandlri

6.

Kegiatan.
lnstrukslonal

KEMAMPUAN OALAM TIK

Menjelaskan konsep, prlnslp, atau prosedur


Melakukan suatu keterampllan berdasarkan
standar prosedur tertentu
Melakukan suatu keterampllan
Menganallsls/memecahkan masalah
Menjelaskan/menerapkantmenganal lslsrmenslntesls/mengevaluaslfmelakukan sesuatu, baik yang bersitat kognitit maupun
pslkomotor
Menjelaskan konsep, prlnsip, atau prosedur
Terpro9r~m

8.

Latlhan dengan
Teman
Simulasi

9.

Sumbang Saran

7.

12.
13.
14.

Studl Kasus
Computer Assisted
Learning
Inslden
Praktlkum
Proyek

15.

Barmaln Peran

16.
17.
18.

Seminar
S/mposlum
Tutorial

19.

Deduktlt

20.

Indukt/f

10.
11.

Melakukan suatu keterampllan


Menjelaskan', menerapkan, dan
menganallsls
suatu konsep dan prinslp
Menjelaskan/menerapkantmenganalisis
konsep, prlnslp, dan prosedur tertentu
Menga!'1allslstmemecahkan masalah
Menjelaskan. menerapkantmenganalisisl
menslntesls/inengevaluasi sesuatu
MenganallslSlmemecahkan masalah
Melakukan suatu keterampilan
Melakukan ~esuatu/menyusun laporan

suatu kegtatan .

176

Menerapkan suatu konsep. prlnslp, atau


prosedur
Menganallslstmemecahkan masalah
Menganalls/s masalah
Menjelaskan/menerapkanlmenganallsls
suatu konsep. prlns/p. atau prosedur
Menjelaskan/menerapkan/menganallsls
. suatu konsep. prlnslp, prosedur
Mens/otes/s suatu kosenp, prlns/p atau
prjlaku

PEKERTI

D. Komponen Utama Ketiga: Medi, Instruksional


Media adalah alat yangdigunakan untuk menyalurkan pesan
atau informasi dari pengirim kepada penerima pesan. Pengirirn
dan penerima pesan itu dapat berbentuk orang atau lembaga,
sedangkan media tersebut dapat berupa alat-alat elektronik,
gam bar . buku dan sebagainya.
Media digunakan dalam kegiatan instruksional karena
berbagai kemampuannya sebagai berikut: .
1.

Memperbesar benda yang sangat kecil dan tidak tampak


oleh mata menjadi lebih besar, seperti penggunaan gam bar
atau film tentang perkembangan suatu kuman atau sel.

2.

Menyajikan benda atau peristiwa yang terletak jauh dari


mahasiswa ke hadapan mahasiswa, seperti penggunaan
gambar atau program video tentang salju, air terjun Niagara.
bulan. dan perut bumi.

3.

Menyajikan peristiwa yang kompleks. rumit, berlangsung


dengan sangat cepat atau sangat lambat menjadi lebih
sistematik dan sederhana, seperti penggunaan film atau
program video tentang proses mengoperasi salah satu bagian
tubuh man usia. terjadinya gol dalam permainan sepak bola.
dan 'bekerjanya suatu mesin.

4.

Menampung sejumlah besar mahasiswa untuk mempelajari


materi pelajaran dalarn waktu yang sarna, seperti.penggunaan
program televisi dalamproses pembedahan jantung ,
penggunaan buku atau modulo serta program radiopada
Universitas Terbuka.

5. Menyajikan benda atau peristiwa berbahaya ke hadapan


mahasiswa, seperti penggunaan film atau film .bingkai
(slides) ten tang angin topan Tornado yang sedang
mengganas, harimauyang sedang menerkam mangsanya
atau kuman penyakit yang sedang menggerogoti paru-paru
manusia,
I
6. Meningkatkan daya tarik pelajaran dan perhatian mahasiswa,
seperti penggunaan gambar berwarna ten tang keindahan
alam, at au program kaset audio tentang ceritera si Kabayan.

1n

PEKERTI

7. Meningkatkan sistematika pengajaran, sepertipenggunaan


transparansi, kaset audio, dan grafik dalam mengajar.
Penggunaan media tersebut selalu didahului dengan
persiapan dan pembuatannya sebelum mengajar serta
perencanaan urutan penggunaannya dalam proses
pengajaran.
Media yang digunakan dalam kegiatan instruksional
beranekaragam, Pengembang instruksional dapatmemilih salah
satu atau beberapa di antaranya untuk digunakan dalam menyusun
strategi instruksionalnya. Allen memberikan petunjuk yang
dapat dijadikan pertimbangan dalam memilih media yang sesuai
dengan tujuan instruksional tertentu. Ia menggambarkan tinggirendahnya kemampuan setiap jenis media bagi pencapaian
berbagai tujuan belajar sebagai berikut:

Tabel20. Kemampuan Setiap Jenis Media dalam Mempengaruhi Berbagai Macarn Belajar

i~
media
instrukstonal

GambarDiam

Gambar Hiclup

Televlsl
Objek11ga
Di~

Belajar
MenyajlBelajar
Belajar konsep, Belajar kan keteinformasi pengenaI- prinslp, prose- r8mpilan
'faktuaJ
persepsi
vlsuaJ &aturan dur
gerak

ar

Progr8med
InstructionDemonstrasl

BukuTeksTerc:etak
Sajlan Oral

178

slkap,opl-

ni dan
motivasi

sedang
sedang
sedang

tlnggi

sedang sedang
lingg!
tlnggl
IInggl
sedang
~

rendah
sedang
rendah

rendah
sedang
sedang

rendah

tlngg!

rendah rendah

rendah

rendah
sedang

sedang

rendah

I8I'ldah

sedang,

rendah

tinggi

Rekaman

Audio

Mengembangkan

sedang. , sedang sedang tlnggI


rendah
sedang rendah tinggl
slldang
sedang

rendah
I9ndah

sedang, sedang
sedang &edang

rendah
sedang

sedang

rendah
rendah

sedang
sedang

sedang

PEKEm-t

Untuk menggunakan tabel tersebut seorang pengemba~g


instruksional pertama-tama harus mempelajari macam ~elaJ~r
yang terkandung dalamtujuan instruksion~l yangakan dicapai,
Dalam suatu tujuan instruksional mungkin terkandung salah
satu atau beberapa macam belajar sebagaiberikut:
I. Belajar informasi faktual, seperti mempelajari nama orang.
tempat, tanggal terjadinya peristiwa.
2. Belajar pengenalan visual, seperti mengamati bentuk dan
gerak dari suatu benda atau peristiwa.
3. Belajar konsep, prinsip, dan aturan, seperti mempelajar i
fisika, matematika, atau hukum sosial.
4. Belajar prosedur, seperti mempelajari caramembuat tes,
rnembongkar pasang pesawat radio, menyusun rencana
kegiatan dengan rnenggunakan PERT dan CPM.
5. Belajar rnenyajikan keterampilan atau persepsi gerak, seperti
mempelajari teknik 10mpat tinggi, menendang bola, dan
cara melintasi tikungan dalam stadion balap sepeda.
6. Belajar rnengembangkan sikap, opini, dan motivasi, seperti
belajar menghargai karya Iukis, norma sosial suatu bangsa,
perbedaan pendapat orang, dan meningkatkan keinginan
untuk lebihsering menolong sesama, serta rnendorong untuk
melaksanakan perbuatan yang selaras dengan konsep hidup
.
sehat.
Setelah mengidentifikasi macam belajar yang terkandung
dalam suatu tujuan instruksional, pengembang instruksional
memilih media yang sesuai dengan macam belajar tersebut
dengan cara melihatkata tinggiyang berada di bawah kolom
macam belajar tersebut. Selanjutnya, lihat secara horizontal ke
kolom yang paling kid untuk mendapat petunjuk tentang media
yang tepat untuk digunakan. Bila media tersebut ternyata tidak
tersedia, tidak mungkindisediakan karena mahal, tidak praktis
atau tidak sesuai dengan karakteristik mahasiswa, pilihan kita
turun kepada media lain yang berada di sebelah kiri kala sedang :
Ini berarti kita telah memilih medium yang "kedua terbaik" ,
bukan yang terbaik. Pemilihan media berdasarkan kesesuaiannya
dengan tujuan instruksional-merupakan kriteria utama,
179

PEKERT/

Dalam proses pemilihan media pengembang instruksional


mungkin dapat mengidentifikasi beberapa media yang sesuai
untuk tujuaninstruksional tertentu. Langkah selanjutnya adalah
memilih salah satu atau dua media di antaranya atas dasar
.
berbagai pertimbangan sebagai berikut:
1. Biaya yang lebih murah, baik pada saatpembelian maupun

pemeliharaan
Pengembang instruksional memilih media atas dasar biaya
yang tersedia. Seringkali kriteria biaya ini ditempatkan sebagai
kriteria utama. Bila sejak semula telah diketahui bahwa tidak
ada biaya untuk mengembangkan atau menggunakan media lain
kecuali media cetak misalnya, perhatian pengembang
instruksional harus dipusatkan kepada media cetak saja.
Pertimbangan biaya ini dilakukan baik pada saat pembelian
maupun pemeliharaan. Pertimbangan ini digunakan tidak saja
oleh lembaga pendidikan dan pengajar, tetapi juga oleh
mahasiswa.
2. Kesesuaiannya dengan metode instruksional
Untuk jumlah mahasiswa yang besar, penggunaan media
yang mampu memproyeksikan pelajaran yang kecil menjadi
gambar yang lebih besar akan lebih baik daripada bahan pelajaran
itu sendiri. Sebaliknya, untuk kegiatan instruksional individual
atau kelompok kecil cukup menggunakan media yang lebih
kecil .'

3. Kesesuaian dengan karakteristik mahasiswa


Hasrl keg iatan mengfdentiffkasi karakteristik awai
mahasiswa dijadikan bahan pertimbangan memilih media,
misalnyatingkat kemampuan membaca, melihat, dan mendengar.
4.Pertimbangan praktis
Media dipilih atas dasar praJctis tidaknya untuk

seperti:
180

di~unakan

a.
b.

c.
d.
e.
5.

PEKERTI

Kemudahannya dipindahkan atau ditempatkan;


Kesesuaiannya dengan fasilitas yang ada di kelas;
Keamanan penggunaannya;
Daya tahannya; .
Kemudahan perbaikannya.
Ketersediaan media tersebut berikut suku cadangnya di
pasaran serta ketersediaannya bagi mahasiswa

Jenismedia yang akan digunakan harus dipilih berdasarkan


kriteria utama, yaitu kesesuaiannya dengan tujuan instruksional
dan lima kriteria tambahan seperti telah diuraikan di atas. Bila
media yang dipilih hanya memenuhi sebagaian dari kriteria
rersebut, dapat terjadi hal-hal sebagai berikut: .
a. Tampak baik dalam perencanaan tetapi tidak berhasil
diproduksi, karena terlalu mahal atau sulit diperoleh
peralatan dan bahan bakunya,
b. Diproduksi dengan kualitas rendah, karena alasan yang
sarna dengan butir 1 di atas.
c. Tidak atau kurang digunakan, karena tidak sesuai dengan
karakteristik mahasiswa, tidak praktis untuk digunakan,
atau tidak sesuai dengan metode instruksionaI.
d. Kurang efektif dalam mencapai tujuan instruksionaI.

E. Komponen Utama Keempat: Waktu


Komponen terakhir dalam strategi instruksional adalah
waktu, yaitu jumlah waktu dalam menit yang dibutuhkan oleh
pengajar dan mahasiswa untuk menyelesaikan setiap langkah
pada urutan kegiatan instruksional. Jumlah waktu yang
dibutuhkan untuk mengajar, terbataskepada waktu yang
digunakan pengajar dalampertemuan dengan mahasiswa, Waktu
untuk mahasiswaadalah jumlah waktu yang digunakan dalam
pertemuan dengan pengajar ditambah dengan waktu yang
digunakan untuk melaksanakan tugas yang sehubungan dengan
rnata pelajaran di luar pertemuan dengan pengajar.
Menghitung jumlah waktu yang digunakan oleh pengajar
penting artinya bagi pengajar sendiri dalam mengelola kegiatan .
instruksional. Ia harus dapatmembagi waktu untuk setiap langkah

181

PEKERTI

dalam pendahuluan, penyajian, dan penutup. Bagi pengelo1a


program pendidikan, penghitungan jumlah waktu ini dapat
digunakan untuk mengatur jadwal pertemuan dan menentukan
jangka waktuprogram secara keseluruhan.
Menghitung jumlah waktu yang dibutuhkan mahasiswa
penting artinya bagi berbagai pihak. Bagi mahasiswa jumlah
waktu itu merupakan petunjuk dalam mengelola waktu
belajarnya. Bagipengelola program pendidikan jumlah waktu
yang dibutuhkan mahasiswa merupakan petunjuk tentang bobot
mata pelajaran. Di perguruan tinggi misalnya, jumlah waktu
yang dibutuhkan mahamahasiswa untuk mempelajari suatu mata
kuliah menunjukkan SKS (Satuan Kredit Semester) mata kuliah
tersebut. Penggunaan jumlah jam belajar yang dibutuhkan
mahamahasiswa dalam suatu mata kuliah sebagai pedoman
penghitungan SKS lebih tepat daripada penggunaan jumlah
waktu yag dipergunakan dosen dalam pertemuan dengan
.mahamahasiswa: Beberapa mata kuliah seperti penyusunan karya
ilmiah, praktik penelitian, dan studi mandiri (independent study)
misalnya, lebih banyak dilakukan mahamahasiswa di luar
pertemuan dengan dosen. Mahamahasiswa banyak melakukan
kegiatan tersebut di luarpengawasan langsung dosen. mata
kuliah seperti itu pada umumnya rnempunyai bobot SKS lebih
besar daripada matakuliahyang lain. Dalam hal seperti itu
kiranya akan sulit diterima bila dieari dasar rasional penetapan
jumlah SKS mata kuliah tersebut dari segi pertemuan dengan
dosen. Dalam mata kuliah lain pun penentuan bobot SKS
seyogianya didasarkan pada jumlah jam belajar yang dibutuhkan
mahasiswa, baik dalam pertemuan dengan dosen tetapi dalam
.belajar mandiri, maupun dalam menyelesaikan tugas-tugas dan

sebagainya,
Penentuan waktu yang dibutuhkan pengajar dan mahasiswa
pada setiap langkah dalam urutan kegiatan instruksional
merupakan salah satu pembatasan bagi pengajar dan mahasiswa
bahwa tujuan instruksicnalnkan dapat dicapai bila mereka
dapat memeriuhinya. Untuk suatu tujuan instruksional yang
menghendakipenggunaan sebagian besar dari .waktu kegiatan .
instruksional dicurahkan pada latihan rnisalnya, tidak dapat
dig anti dengan banyak uraian tetapi sedikit latihan. Walaupun
urutan kegiatan instruksional sama, metode dan media yang
digunakan juga sama, tetapi penekanan jumlah waktu berbeda,
hasilnya dapat berbeda pula. '

182

PEKERTI

F.

Menyusun Strategi Instruksional


Penyusunan srrategi instruksional haruslah didasarkan atas

tuj uan instruksionalyang akan dicapai sebagai kriteria utama.

Di samping itu, penyusunan tersebut didasarkan pula atas


pertirnbangan lain, yaitu hambatan yang mungkin dihadapi
pengembang instruksional atau pengajar seperti waktu, biaya,
dan fasilitas. Tidak ada strategi yang tepat untuk mencapai
semua tujuan, Urutan kegiatan instruksional pada penyajian,
misalnya, belum tentu selalu UCL (Uraian, Contoh, dan Latihan)
rn ungkin dapat berbentuk CUL. Sedangkan urutan kegiatan
instruksional pada Pendahuluan yang tersusun DRT (Deskripsi
Singkat, Relevansi, dan TIK) dan Penutup yang terdiri dari TUT
(Tes Formatif, Umpan Balik, dan Tindak Lanjut) tampaknya
tidak perlu mengalami perubahan,
Setiap urutan kegiatan seperti DRT -UCL- TUT atau urutan
yang lain, selalu diikuti pemilihan metode dan media serta
penentuan waktu untuk mencapai tujuan instruksional khusus.
Khusus penentuan waktu bagi setiap kegiatan, pengembang
instruksional, di samping menggunakan kegiatan sebagai suatu
kriteria, ia menggunakan pula jenis metode dan media sebagai
kriteria lain. Ini berarti penentuan waktu setiap kegiatan tersebut
dilakukan atas pertimbangan langkah dalam urutan kegiatan
seperti D,R,T,U,C,L,T,U dan komponen metode dan media
yang digunakan. Perubahan pada metode atau media tersebut
memungkinkanperubahan waktu yang dibutuhkan pengajar
dan mahasiswa. Karena itu, penyusunan strategi instruksional
harus dilakukan dengan mengintegrasikan keempat komponen
yang tergabung di dalamnya, yaitu urutan kegiatan instruksional,
metode, media, dan waktu. Kekurangan salah satu di antaranya
akan menghasilkan strategi instruksional yang kurang
komprehensif untuk dijadikan dasar dalam pengembangan
bahan belajar atau sistem instruksional,
Berikut ini akandiuraikan bagaimana mengisi tabel untuk
menyusun strategi instruksional.
1 _ Mengisi nomor TIK yang strategi instruksionalnya akan
disusun. lni berarti bahwa pengembang instruksional akan
menyusun satu strategi instruksional untuk satu TIK. Nomor
TIK itu diambil dati yang telah Anda susun pada Bab VI.

183

PEKERTI
Tabel 20: Strategllnstrukslonal
TIK No.:

Mata Pelajaran
.

. URAIAN KEGIATAN INSTRUKSIONAL

METODE MEDIA

WAKTU
(DALAM MENIT)
DOSEN MHS JML

p
E

--"

_.-

A
H
U

--

P
E
N

Y
A
J
I

A
N

P
E'
N
U

T
U

P
A
N

PEKERTI

Mulailah dengan TIK nomor satu. Bila belum merumuskannya,


Anda belum dapat menyusun strategi InstruksionalAnda.
2.

Kolom satu telah diisi dengan Pendahuluan, Penyajian dan


Penutup. Anda tidak perIu mengisinya kembali, karena
urutan ini tidak perlu diubah. Tetapi, pada kolom dua, Anda
mulai memikirkan urutan kegiatan instruksional yang sesuai
untuk menghasilkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap
yang tercantum dalam TIK.
a. Kolom Pendahuluan ada tiga kegiatan yang harus Anda
isikan, yaitu: D (Deskripsi Singkat), R (Relevansi), dan
T (Tujuan Instruksional Khusus).
Urutan mana yang ingin Anda gunakan? DRT, RTD,
TDR, RDT, DTR atau TRD. Mengapa Andamemilihnya,
mengapa tidak urutan yang lain? Rasional pemilihan
urutan ini penting untuk Anda jawab sendiri agar Anda
lebih menyelami kebaikan urutan kegiatan yang Anda
lakukan. Urutan mana pun yang Anda pilih, ketiga
kegiatan tersebut haruslah lengkap.
b. Dalam Penyajian ada kegiatan yang harus Anda isikan
dalam tabel, yaitu: U (Uraian), C (Contoh), dan L
(Latihan).
Urutan mana yang akan Anda pilih? UCL, CLU, LUC,
CUL, ULC atau LCU? Seperti halnya butir I, pemilihan
urutan tersebut sang at penting untuk Andajawab sendiri.
Beberapa pedoman di bawah ini penting dijadikan
pertimbangandalam menentukan urutan kegiatan dalam
Penyajian,
1) UCL adalah penyajian yang konservatif (MerryI &
. Tennyson, 1977) yang dimulai dengan memberikan
uraian tentang pengertian suatu konsep, prinsip
atau prosedur, diikuti dengancontohpenerapannya
dalam kehidupan sehari-hari dan diakhiri dengan
latihan untuk menguasainya. Dalammetode
instruksional urutan kegiatan dalam penyajian ini

185

PEKERT/

disebut metode deduktif. Secara logis mahasiswa


akan bergerak dari hal yang bersifat umum kepada
yang khusus. Strategi ini sesuai untuk kebanyakan
mahasiswa dan kebanyakan tujuan instruksional,
khususnya untuk mengajarkan terminologi dan
teknik me1aksanakan sesuatu yang sebelumnya
masih belum dikenal mahasiswa.
2) CLU ada1ah penyajian yangdimulai dari pemberian
co ntoh atau kasus diikuti dengan Iatihan
memecahkannya dan diakhiri dengan uraian atau
generalisasi dari .isl pelajaran. Secara logis .
mahasiswa akan bergerak dari yang khusus ke yang
umum. Dalam metode instruksional urotan ini
dikenal dengan metode induktif. Strategi ini sesuai
untuk mengajarkan sikap, pemecahan masalah, dan
pengambilan keputusan untuk mahasiswa yang telah
.mempunyai latar belakang atau pengalaman cukup
dalam bidang yang dipelajari.
3) LUC adalab penyajian yang dimulai dari pemberian
1atihan atau percobaan diikuti dengan uraian dan
diakhiri dengan contoh. Urutan penyajian ini tepat
digunakan untuk menimbulkan dinamika mahasiswa
dalam belajar melalui coba-coba, Tetapi, 1atihan
tersebut tidak boleh diberikan terlalu lama agar
tidak menimbulkan frustrasi. Mahasiswa harus
segera diberi uraian tentang isi pelajaran dan contoh
. penerapannya, Urutan kegiatan ini sangat sesuai
untuk mengajarkan sesuatu yang tidak mudah
. menimbulkanbahaya bagi mahasiswa yang telah
mempunyai 1atar belakang pengetahuan dalam
bidang yag sedang dipelajari.
4) CUL adalah penyajian yang dimulai dari pemberian
contoh diikuti dengan uraian tentang konsep, prinsip,
atau prosedur yang terkandung di dalamnya dan
diakhiri dengan latihan menerapkannya. Strategi
ini seperti halnya dengan CLU, secara logis bergerak
dari hal-hal yang bersifat khusus kepada yang
bersifat umum. Urutan penyajian ini. Iebih tepat
untuk mahasiswa yangbaru mempunyai pengalaman .
sedikit dalam bidang tersebut.

186

PEKERTI

5) ULC adalah penyajian yang dimulai dari pemberian


uraian diikuti dengan uraian tentang konsep, prinsip
atau prosedur yang dipelajari diikuti dengan latihan
untuk menguasainya dan akhirnya ditutup dengan
contoh penerapan apa yangdipelajarinya dalam
kehidupan sehari-hari. Urutan penyajian ini sesuai
untuk mengajarkan keterampilan gerak melalui
penjelasan, kemudian percobaan melakukan gerak.
Selanjutnya, baru disusul dengan contoh untuk
membandingkan apa yang dilakukannya dengan
yang seharusnya.
6) LCU adalah penyajian yang memberikan kesempatan
mencoba terlebih dahulu kemudia diikuti dengan
contob .untuk perbandingan dan diakhiri dengan
uraian atau kesimpulan. Urutan penyajian ini tepat
digunakan untuk mengembangkan kreativitas dan
keberanian mahasiswa mencobakan ide yang ada
pada dirinya. Karena proses ini melalui kegiatan
coba-coba, tepat digunakan untuk mempelajari
sesuatu yang tidak berbahaya, tidak mengandung
resiko tinggi, atau digunakan untuk mahasiswa
yang telah memiliki Iatar belakang cukup dalam
bidang tertentu,
Seluruh kolom2 diisi dengan pertimbangan di atas.
Dengan selesainya pengisian seluruh kolom 2 yang
menunjukkan urutan kegiatan instruksional. Anda
'selanjutnya memasuki kolom 3 dengan prosedur
pengisian yang berbeda. Sejak kolom 3 Anda akan
mengisi baris demi baris, tidak kolom demikolom.

3. Bila Anda perhatikan akan tampak bahwa kolom 3 masih


berada di bawah Urutan Kegiatan InstruksionaI. Kolom
tersebut diisi dengan garis-garis besar materi yang akan
diberikan pengajar dalam setiap urutan kegiatan, Pada baris
D (Deskripsi Singkat) misalnya, harus dituliskan sebagai
berikut:
Ruang lingkup X yang meliputi .... (isi dengan ruang lingkup
tersebut)

187

PEKERTI

Dalarnkolom 3 ini pendesaininstruksionalmenuliskanmateriatau


isi pelajaran secara singkat untuk setiap TIK dimulai dari
pendahuluan sarnpaipada penutup. Dengandemikianisi pelajaran
tersebut tidak saja mencerminkan apanya (the what) tetapi juga
cara atau langkah-langkah menyajikannya (the how).
Karenakolom 3 ini berisi uraian garisbesar materi,makasebaiknya
dibuat jauh lebih lebar dati kolom-kolom yang lam yaitu setengah
dati lebar .formulir strategi instruksional.
Sebelum meneruskan pada baris: R atau T, isilab lebih
dahulu kolom4, 5, dan 6 yang sehubungan dengan baris D.
Kolom 4 tentang metode yang akan digunakan untuk kegiatan
0, dan kolorn 5tentang media yang dipilib untuk digunakan,
sedangkan kolom 6 ten tang waktu yang dibutuhkan untuk
kegiatan D tersebut. Demikian pula pengisian R, T, dan
selanjutnya, diselesaikan baris demi baris.
Perhatikan dua contoh strategi instruksional di bawah ini.
Kedua strategi instruksional ini adalah hasil karyaDra.
Yuliani Nurani tentang Psikologi Pendidikan dan Dra. Refni
Oelfi tentang Evaluasi Hasil Belajar. Keduanya adalah
mahamahasiswa S2 program studi Teknologi Pendidikan
pada Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta tabun 1991.

188

PEKERTI

Tabel 21 :Contoh Strategi Instruksional-l


Mata Kuliah
TIKNo.8

Psikologi Pendidikan (oleh Ora. Yuliani Nurani)


Jikaditunjukkan peristiwabelajardi dalam kelas, mahasiswa yangmengambil matakuliah
In;akan dapat menjelaskan pengertian kondisibe!ajarminimal 80% benar.

URA/ANKEGIATANINSTRUKSIONAL

METOOE MEDIA

WAKTU
(DALAM MENIl)
DOSEN MHS JMI.

Oesktipsi Slngkat

: Pentingnya pengetahuan tentang kondisl-kondisi belajar


dalampembuatan desalnlnstrukslonal danpengembangannyassrta contohjenls-jenisbelajar.

Ceramah OHP+
Transparansl

A
H
U
L

Relevans;

: Tanpakondisibelajaryangkonduslfpadamaslng-masing
jenlsbelajar. makakeberhasilan belajarakansulittercapai
secara optimal.

Ceramah OHP+
Transparansl

Tujuan Instrukslonal : Jlkaditunjukkan perlstiwabelajardidalamkelas,mahaslswayangmengambil matakullahin! akan dapatmenjelaskan


pengertian kondislbelajarminimal80% banar.
Khusus(TIl<)

Ceramah OHP+
Transparanst

A
N
P

UraianMateri

Ceramah
Bervariasi
dengan
Tanya
jawab

15

20

EN
0

E
N

189

: Penjelasan tentang:
1. Kondisi balajarinformasi
2. Kondisi be/ajarkonsep
3. kondls! balajarprinsip
4. Kondisl belajarketerampilan
5. .kondisi belaJar sikap

OHP+
Trans-

parans!
Modul

PEKERTI

J
-I
A
N

Contoh

: Contoh-contoh penerapan dan maslng-maslng kondlsl Diskusi OHP+


belajar dalsmprosespembelajaran dl kalas.
Terplmpln Transparansl

15

20

--

Latihan

: Mahasiswa ~lrlatih merancang kegiatan belajar yang Resltasl


menggunakan salahsatu kondlsl belajar dl atas.

Lembar
Kerja

20

25

p
E

Tes Forrnatif dan


Umpan Balik

: Pelaksanaan dalamtesbentukpllihan ganda10bUllr yang


ada dl daJam modul.
Periilalan terhadap Jawaban mahaslswa untuk manila!
t1ngkat penguasaan mahaslswa.
Mengldei1l1fikasl kesulltan yang maslh dlrasaxan oleh
mahaslswB sehubungan dengan uralanmateridantugasJ
Iallhan.
--

Lembar
soal
dalam
Modul

10

15

50

50

100

u-

T
U

Tlndak lanjuV
Follow Up

Mel8ksanakanT811
dan
Diskusl-

- .

: Panjelasan kembali baglan-baglan yang belum dlpahlaml Ceramah Lembar


Kerja
oJeh mahaslswa.
modul
Penugasan pembuatan satuanacara pengajaran (SAP)
untuk 1 kall partemuan atau 1 X 5 menlt dengan
memperhatlkan kondlsl-kondlsl khusus dalam proses
pembelajaran.

t'cKI::H II

Tabel 22: Contoh Slrategi Instruksional -2

Mata Kuliah

Evaluasi HasilBelajar (oleh Ora. Relni Delli)

TIK No.1

Mahasiswa Perguruan Tlnggi X Semester III akan dapatmenjelaskan pengertian Evaluasi Hasil
Belajar minimal 80"lcbilakepadanya disebutkan namabeberapaahliataupengarangbukuEvaluasi
URAIAN KEG/ATAN INSTRUKSIONAL

METODE MEDIA

WAKTU
(DALAM MENIT)

. DOSEN MHS
1

P
E
N

Deskripsi Singkat

N
P
E
N

191

Relevansl

Ceramah OHP+
Transparansi

: Tugassahari-hari seorang gurudiSekolah tidakblsatapas


dan keglatan evaJuasl.

Caramah OHP+
Transparansl

Ceramah

Bralns
White
tormlng
board
Ceramah OHP
dan
Transparansi

10

Tujuan Instrukslonal : Mahaslswa akandapatmenjelaskan pengertian evaluasl


Khusus(TIK)
hasllbelajar.
UraianMateri

JML

:Ungkup pelajaraninladalah:
- Beda.evaluasi dengan pEilngukuran
- Pengertian evaluasl hasll belajar
- Faktor-faktoryang mempengaruhlkaberhasilan evaJuasl
hasil belajar.

0
A
H
U
L
U

: PenJelasan tentang:
- istilah evaJuasi dan istilah pengukuran
- pengertian svaluast hasil belajar
- laktor-Iaktor yang mempengaruhi kebarhasllan
pelaksanaan evaluaslhasil belajar.

15

PEKERTI
1

J
I
A

Contoh

: Contoh-contoh:
Diskusl
OHP+
- Kegiatan evaJuasi
Terplmpln Trans- Kegiatan pengukuran
paransl
- Keglatan evaJuasi hasllbelajar
Faktor-Jaktor yang mempengaruhi keberhasllan
pelaksanaan evaJuasi.

Latlhan

: Jelaskan kembaJi tentang:


Tanya
Perbedaan antarapengukuran dan evaluasl
Jawab
- Pengertlan evaJuasl hasil belajar
- Faktor-faktor yang mempengaruhikeberhasilan
pelaksanaan evaluasi.

p
E
N
U

Tes Formatif dan


Umpan Balik

; Pengldentifikasian kesulitan:kesulitan yang dihadapidaJam


rnengerjakan tas
.-.

Diskusi

10

5
-

Lsmber
Tes
Akhlr

T
U

Tindak LanJut

PenJelasan kembaJl bag/an-baglan yangbelum dimengerti. Ceramah OHP'

P
Jumlah

50

PEKERTI

G. Latihan
Susunlah strategi instruksional untuk mata pelajaran yang
akan Anda ajarkan dengan Iangkah-Iangkah sebagai berikut:
1. Membuat formulir strategi instruksional yang tampak pada
halaman 159, dengan ukuran dua "folio.
2. Memperbanyak formulir tersebut sebanyak TIK yang
dimiliki.
3. Mengisi formulir dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengisi nomor urut TIK: TIK nomor 1;
b. Mengisi seluruh kolom 2;
c. Mengisi baris teratas pada komponen Pendahuluan
dimulai darikolom 3 sampai dengan kolom 6;
d. Mengisi baris-baris selanjutya seperti butir c;
e. Menjumlahkan kolom waktu.
4.

Mengisi formulir kedua untuk TIK kedua dan formulrr


ketiga untuk TIK ketiga dan seterusnya sampai selesai
dengan langkah-langkah seperti yang tercantum dalam butir
3 di atas,

Ingat, latihan ini bukan tes, melainkan bagian dari proses


belajar Anda. Anda diminta menyediakan waktu cukup untuk
mengerjakan latihan ini. Mungkin Anda membutuhkan sekitar
20-30 jam kerja, tergantung kepada tingkat kesulitan dan
keluasan ruang lingkup mata pelajaran Anda. Sediakan waktu
tersebnt, sebab hasilnyaakan sangat membantuAnda dalam
tahap pengembangan instruksional berikutnya.
H. Rangkul1Ian

Langkah keenam adalah mengernbangkan strate g i


instruksional. Strategi instruksional, di samping ditafsirkan
sebagai urutan kegiatan instruksional, sering pula dikaitkan
dengan metode instruksional bahkan ada yang menyamakan
keduanya, Sedangkan metode instruksional sering pula dikaitkan
dengan penggunaan media instruksional. Kekaburan pengertian
ini merupakan pencermiiian akan kekurangmantapan komponen

193

PEKERTI

tersebut di dalam proses pengembangan instruksional secara


keseluruhan. Model yang digunakan da:Iam buku ini yaitu MPr,
menempatkan konsep-konsep yang berkaitan tersebut dalam
suatu peta yang berbentuk tabel. Konsep strategi instruksional
sebagai urutan kegiatan instruksional yang dikaitkan dengan
metode, media yang .4igti~~an da:il.w~ht yang dibutuhkan
pengajar dan ma~~Si~"i~;~mp~ ,rjlehcap'~i,t~~uaninstruksional
tertentu. Strategi instruksional yang digambarkan dalam MPI
bukan saja cara te'ntan& b~gaJrpaQa
instruksional dicapai,
melainkan juga dengah illlat ~pa':dart berapa besar usaha yang
harus dilaksanakan pengajar danmahasiswa.

MiUi?

Daftar Kepustakaan
Briggs,Leslie J. and Wager, Walter W. Hanbook of Procedures
for the Design of Instruction (2nd Ed.). Englewood
Cliffs, New Jersey: Educational. Technology Publications, 1981. .
Dick, W. and Carey, L. The Systematic Design of Instruction
(2nd Ed.). Glecview, Illinois: Scot, Foresman and Company,1985.
Gagne, R.M. and Briggs, L.J. Principles of'Instructional Design
(2nd Ed.) New York: Holt, Rinehart and Winston, 1979.
Merril, M. David and Tennyson, Robert D. Teaching Concepts:
An Instructional Design Guide. Englewood Cliffs, New
Jersey: Educational Technology Publications, 1977.
Mukti, Farida, Media Instruksional, Bahan Workshop dalam
Media Instruksional di Lembaga Pengembangan Perbankan
.
Indonesia, 1982.
The AT & T-Communications Learning and Development Organization. Instructional Design Alternatives, Somerest,
New Jersey: AT & T-C, 1985.

194
I

.: 1

PEKERn

BAB IX
MENGEMBANGKAN BAHAN INSTRUKSIONAL
r -. - - - - - ~ - - - - - - - AI

r--_,:

.~

~...
IDEHTIFIKASl
KEBUTUHAN
INSTRUKSlONAl

MENYUSUN
DESAlNDAN
NElAKSANA
KAN EVAlUASl
FORMATIF

MENUUS
TUJUAH
INSTRUK
SIONAl
KHUSUS

DAN MENUUS
~)o
TWUAN
INSTRUKSIONAL

SISlEII
INSTRUK
SIDNAI.

(Il1Q

UMUM(TIU)

AI

~t

IENGlDEHnAKASI
PERIlAKU DAN
KAIWCTEIlISllK i-AWAllWlASlSWA

I
I
I
I
I
I

L __ .J_'__ .J

I
I
I
I
I
I

.l, __ J

Strategi instruksional yang telah dikembangkan dalam Bab


VIII dan tes yang telah disusun dalam Bab VU merupakan resep
untuk mengembangkan bahan instruksional. Pertanyaan yang
segera muneul adalah bahan instruksional yang bagaimana yang
akan dikembangkan? Jawaban pertanyaan ini tergantung kepada
bentuk kegiatan instruksional yang akan dilaksanakan.

195

PEKERTJ

Pada dasarnya bentuk kegiatan instruksional ada tiga macam.


Pertama, pengajar sebagai fasilitator dan mahasiswa belajar
mandiri. Kedua, pengajar sebagai sumber tunggal dan mahasiswa
belajar darinya. Ketiga, pengajar sebagai penyaji bahan belajar
yang dipilihnya atau yang dikembangkannya.
Setiap bentuk kegiatan instruksional di atas membutuhkan
bahan instruksional yang berbeda.

A. 1iga Bentuk Keglatan Instruksional dan


Instrukslonal Maslng-masing

Bahan

1. .Pengajar sebagai Fasilitator dan Mahasiswa Belajar


Sendiri
Bentuk kegiatan instruksional yang pertama adalah kegiatan
pengajar bertindak sebagai fasilitator sedangkan mahasiswa
belajar sendiri. Bentuk kegiatan instruksional ini disebut pula
belajar mandiri (independent learning),
.
,

Dalam belajar m~n~iH! m;a~asiSv/a menggunakan bahan


belajar yang didesain sebara lfh!usti~. Bahan tersebut dipelajarinya
tanpa tergantung kepada kehadiran pengajar. Jenis bahan belajar
tersebut dapat berupa salah satu atau kombinasi dari program
media, bahan cetak, film, kaset audio, program radio, slide.
program video, televisi, komputer, dan lain-lain.
Pengajar bertindak sebagai fasilitator untuk mengontrol
kemajuan mahasiswa, memberi motivasi, memberi petunjuk
untuk memecahkan kesulitan mahasiswa, dan menyelenggarakan
tes. Biasanya mereka disebut tutor atau fasilitator. Kegiatan
instruksional seperti ini tampak dalam sistem pendidikan jarak
jauh seperti di SMP Terbuka, Universitas Terbuka, dan program
belajar jarak jauh pada Lembaga Pengembangan Perbankan.
Untuk bentuk kegiatan belajar mandiri, pengembang
instruksional harus mengembangkan bahan belajar mandiri yang
biasanya disebut modul, Termasuk di dalamnya bahan belajar
yang akan digunakan mahasiswa, petunjuk untuk tutor, tes, dan
petunjuk untuk mahasiswa.

196

PEKERTJ

Di samping digunakan pada sistem belajar jarakjauh, bah an


belajar mandiri dapat pula digunakan dalam kelas biasa, Dalarn
hal seperti itu peranan tutor dalam mengontrol kemajuan
mahasiswa dan membantu mahasiswa dalam memecahkan
rnasalah yang dihadapi haruslah dilakukan secara intensif dan
individual. Tanpa memberikan perhatian yang besar terhadap
'peranan tutor atau fasilitator tersebut, penggunaan bah an belajar
mandiri di dalam kelas biasa akan kehilangan makna.
Penggunaan bentuk kegiatan instruksional Belajar Mandiri
ini mempunyai beberapa keuntungan, yaitu: .
a. Biaya pengajarannyatidak mahal, karena dapat diikuti oleh
.
sejumlah besar mahasiswa;
b. Mahasiswa dapat maju menurut kecepatan rnasing-masing ;
c. Bahan Belajar dapat direviu dan direvisi secara bertahap,
bag ian demi bagian, untuk mengatasi hal-hal yang
membingungkan atau kurang jelas dari mahasiswa:
d. Mahasiswa mendapat umpan batik secara teratur dalam
proses belajarnya, karena telah terintegrasi dalam bahan
belajar yang dipelajarinya. .
Tetapi, bentuk kegiatan instruksional Belajar Mandiri ini
mempunyai kekurangan-kekurangan sebagai berikut:
a. Biaya pengembangan bahan tinggi dan waktuyang
dibutuhkan lama;
.
b. Menuntut disiplin belajar yang tinggi yang mungkin kurang
dimiliki oleh mahasiswa pada umumnya dan mahasiswa
yang masih belum matang pada khususnya;
c. Membutuhkan ketekunan yang lebih tinggi dari fasilitator
untuk terus-menerus memantau proses belajar mahasiswa,
memberi motivasi dan konsultasi secara individual setiap
waktu mahasiswa membutuhkannya. Ketekunan seperti itu
tidak selalu dimiliki fasilitator yang telah biasa rnenjadi
pengajar, bukan karena sulitnya cara melaksanakan tugas
tersebut melainkan perbedaannya dengan sikap dalam
mengajar secara klasikal yang. dilakukari guru pada
umumnya.
a.

Bentuk kegiatan Belajar Mandiri ini tepat digunakan bila:


Didesak kebutuhan menampung sejumlah besar mahasiswa
dalam satu periode tertentu yang tidak mungkin diatasi
dengan bentuk pengajaran reguler atau konvensional;

197

PEKERTt

b.

Kekurangan tenaga pengajar untuk berfungsi sebagai


pengajar reguler:
c. Tersedia sejumlah tenaga pengembang instruksional yang
mampu mengembangkan atau memproduksi bahan
instruksional;
d. Kemampuan dan karakteristik mahasiswa sangat heterogen
sehingga tidak mungkin diberi pelajaran secara kelasikal. 2.

Pengajar sebagai Sumber Tunggal dan Mahasiswa Belajar


Darinya

Bentuk kegiatan instruksional yang menempatkan pengajar


sebagai sumber tunggal disebut Pengajaran Konvensional.
Kegiatan instruksional ini berlangsung dengan menggunakan
pengajar sebagai satu-satunya sumber belajar dan sekaligus
bertindak sebagai penyaji isi pelajaran. Pengajaran ini tidak
menggunakan bahan belajar apa pun, kecuali garis-garis besar
isi dan jadwal pelajaran yang disampaikan pada permulaan
pelajaran, beberapa tra,nsparansi, lembaran kertas yang berisi
gambar, bagan, dan formulir-formulir isian untuk digunakan
dalam latihan (exercise) selama proses pengajaran. Mahasiswa
mengikuti kegiatan instruksional tersebut dengan cara
mendengarkan ceramah dari pengajar, mencatat, mengisi
formulir, dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh
pengajar.
Bahan-bahan yang perlu dibuatoleh pengembang
instruksional berbentuk:
a. Program pengajaran yang berisi:
1) Deskripsi singkat isi pelajaran;
2) Topik dan jadwal pelajaran untuk setiap pertemuan
(bila terdiri dati lebih dari satu kali pertemuan);
3) Tugas-tugas ylulgqiharap,kan diselesaikan mahasiswa;
4) Cara pemberian nilai h;1Sil belajar rnahasiswa.
Bahantersebutdibagikan kepaaa mahasiswa pada permulaan
pelajaran.
b. Bahan-bahan transparansi, gambar.bagan, formulir isian,
dan lain-lain. Bahan ini dikumpulkan atau dibagikan kepada
mahasiswa selama proses pengajaran berlangsung
c. Strategi instruksional dan tes yang telah dikembangkan
untuk digunakan oleh pengajar. Strategi instruksional
e .

198

PEKERTI

tersebut acapkali diganti dengan garis-garis besar program


pengajaran (GBPP) dan satuan acara pengajaran (SAP).
Keduanya lebih populer bagi kalangan pengajar di Indonesia, baik pad a tingkat pendidikan dasar dan menengah
maupun pendidikan tinggi,
Pengajaran konvensional mempunyaibeberapa kelebihan
sebagai berikut:
a. Efisien;
b. Tidak mahal , karen a menggunakan sedikit bahan
instruksional;
c. Kegiatan instruksional mudah disesuaikan dengan keadaan
mahasiswa.
~

Tetapi, bentuk kegiatan instruksional ini mempunyai


kekurangan sebagai berikut:
a. Biaya penyajian mahal, karena harus disampaikan oleh
pengajar langsung;
b. Sulit melayani kelompok mahasiswa yang heterogen;
c. Gaya pengajar yang dapat berubah-ubah dari waktu ke
waktu atau daripengajar yang satu kepada pengajar yang
lain dapat membuat kegiatan instruksional tidak konsisten.

Bentuk kegiatan instruksional yang disebut Pengajaran


Konvensional ini biasa digunakanidi sekolah-sekolah pada
umumnya.

3. Pengajar sebagai Penyaji Bahan Belajar yang dipilihnya


_, disingkat Pengajar, Bahan, Siswa (PBS) .
Kegiatan instruksional PBS. menggunakan bahan belajar
yang telah ada .lIdi lapangan". Bahan belajar itu dipilih oleh
pengajar atas dasar kesesuaiannya dengan strategi instruksional
yang telah disusunnya. Pengajar menyajikan isi pelajaransesuai
dengan strategi instruksional yang disusunnya dengan menambah
atau mengurangi materi yang ada di dalam bahanbelajar yang
ia gunakan.
.
Bahan instruksional yang harus disiapkan oleh pen gem bang
instruksional terdiri atas:
a. Garis-garis besar program pengajaran;

199

PEKERTI

b. Bahan instruksional yangkebetulan tersedia di lapangan,


tetapi relevan dengan strategi instruksional yang telah
.
disusunnya;
c. Tes.
Keuntungan penggunaanPBS adalah:
a. Relatif efisien;
b. Kegiatan instruksional mudah disesuaikan dengan keadaan
mahasiswa.
. .
Kekurangan PBS: Bahan belajar yang kebetulanada di
lapangan belum tentu sesuai benar. Bila bahan tersebut
diambilkan dari berbagai sumber, konsistensinya antara bag ian
yang satu dengan yang lain belum tentu terjamin.
Bentuk kegiatan instruksional yang semacam PBS ini banyak
digunakan di tingkat perguruan tinggi, Para dosen menggunakan
buku atau bagian-bagian tertentu dari berbagai buku yang
diramunya sendiri.
Bahan-bahan tersebut tidak selalu diambil dari buku-buku
yang dicetak dalam bahasa Indonesia, tetapi juga bahkan
seringkali dari buku-buku yang menggunakan bahasa asing.
Dalam penyajian di depan kelas, dosen menambah bagianbagian yang masih dianggap kurang lengkap pada bahan-bahan
yang dibagikan.

B. Tiga Macam Pengembangan Batianlnstruksional


Dengan ketiga bentuk kegiatan instruksional tersebut di
atas, terdapat tiga macam pengembangan bahan instruksional,
yaitu:
1. Pengembangan bahan belajar mandiri; .
2. Pengembangan bahan pengajaran konvensional;
3. Pengembangan bahan PBS.

200

PEKERTI

1.

Pengembangan

Bab~~elajar Mandiri

Dalam uraian yang Ialu dapat disimpulkan bahwa jenis


bahan instruksional yang dikembangkan tergantung kepada

bentuk kegiatan instruksional yang akan dilakukan.


Bahan instruksional tersebut terdiri atas bahan belajar yang
akan digunakan mahasiswa, pedoman mahasiswa, dan pedoman
pengajar termasuk tes. Bahan belajar mandiri dikembangkan
bila dalam pelaksanaan kegiatan instruksional mahasiswa adalah
belajar secara mandiri, tanpa tergantung kepada kebadiran
pengajar. Bahan Instruksional itu adalah gurunya.
Bahan belajar mandiri mempunyai empat ciri pokok sebagai
berikut:
a. Mempunyai kalimat yang mampu menjelaskan sendiri.
Uraian dalam baban itujelas sehingga tidak perlu penjelasan
tambaban dari pengajaratau sumber lain.
b. Dapat dipelajari oleh mahasiswa sesuai dengan kecepatan
belajar masing-masing. Dalarn baban tersebut telah terdapat
petunjuk kapan mabasiswa boleh terus maju ke bagian
berikutnyadan kapan harus mengulang mempelajari bahan
belajar yang sarna atau bahan yang lain. Mahasiswa yang
mampu belajar dengan cepat dapat maiu terus tanpa perIu
menunggu mahasiswa yang lebih lanibat. Sebaliknya,
mahasiswa yang lambat tidak perlu merasa tertinggal dan
memburu kecepatanmahasiswa yang lebih cepat.
c. Dapat dipelajari oleh mahasiswa menurut waktu dan temp at
yang dipilihnya.
d. Mampu membuat mahasiswa aktif melakukan sesuatu pada
. saat belajar, seperti mengerjakan latihan, tes atau kegiatan
praktik. Mahasiswa belajar tidak sekedar membaca buku,
mendengarkan kaset audio/radio. melihat program video
atau televisi.
Untuk memproduksi bahan belajar.mandirl, pendesain
instruksional dengan strategi instruksional di tangannya
melakukan Iangkah-langkah sebagai berikut:
a. Memilih dan mengumpulkan bahan instruksional yang
kebetulan tersedia di lapangan dan relevan dengan isi
pelajaran yang tercantum dalam strategi instruksional.
Bahan-bahan tersebut berbentuk buku, bab tertentu dalam
buku, dan program ...media audiovisual.
.
201

PEKEATI

b. Mengadaptasikan bahan instruksional tersebut ke dalam


bentuk bahan belajar mandiriflengan mengikuti strategi
instruksional yang telah disusun sebelumnya. BHa.ternyata
tidak ada yang sesuai, pengembang instruksional harus
mulai menulis bahan belajar sendiri.
c. Meneliti kembali konsistensi isi bahan belajar tersebut
dengan strategi instruksional.
d. Meneliti kualitas teknis dari bahan tersebut, yang meliputi
tiga hal sebagai berikut:
1) Bahasa yang sederhana dan relevan
Sejauh mungkin modul yang dikembangkan menggu. nakan bahasa yang . mudah dan konsisten dengan
terminologi - yang biasa digunakan dalam bidang
pengetahuan yang bersangkutan,
2) Bahasa yang komunikatif
Bahasa yang digunakan dalam modul disusun dengan
bahasa yang mencerminkan pembicaraan langsung dari
seorang pengajar atau pelatih kepadaseorangmahasiswa
yang mernbacanya atau mendengarkannya, Sebagai
perkiraan, bahasa dalam modul seyogianya berada di
antara bahasa formal seperti yangdigonakan dalam
buku teks biasa dan bahasa percakapan sehari-hari.
Bahasa dalam modul tidak bolehterlalu formal. tetapi
juga tidak boleh seperti orang bercakap-cakap seharihari. Karena itu.pada saat menyusunmodul.pengembang
rnodul harus menempatkan diri sebagai seorang guru
yang sedang mengajar seorang mahasiswanya.
3) Desain Fisik
Desain fisik dari suatu modul, khusus yangberbentuk
media cetak, harus artistik, rapi, menarik, dan diketik
dengan jelas.tidak terlalu rapat. Bentukfisik ini penting
diperhatikan, karena modul yang tampak buruk atau
ruwet akan mengurangi keinginan mahasiswa untuk
mempelajarinya walaupun Isinya sesungguhnya baik.
Pada babak permulaan kita biasa menilai sesuatu dari
penampilan fisiknya, sedangkan isinya dinilaikemudian.
Ibarat suatu makanan, kita melihat bentuk, warna, dan
cara penataan dalam menyajikannya lebih dahulu
sebelum mencicipi. rasanya. Kita akan lebih nikrnat
.bila mengunyah makanan yang tidak saja enak rasanya. '

202

PEKERTI

tetapi juga bagus dipandang mata, Di samping ito,


modul tersebut dibuat dalam ukuran yang mudah dibawa
dalam perjalanan. Desain fisik dari suatu modul, khusus
yang berbentuk media noncetak, harus kedengaran
. empuk suaranya dan atau indah gam barnya,baik kualitas
bahan bakunya, indah bungkusnya atau kotaknya, mudah
menyimpannya.
Hasilpenulisan pada tahap pertama itu biasanya banyak
kekurangannya. PenyempUrnaannya menghasilkan kosep kedua,
ketiga, dan seterusnya sampai bahan belajar final; yang berarti
siap diujicobakan.
Untuk memproduksi bahan belajar mandiri, tim yang
tergabung dalam pengembangan instruksional ini harus bekerja
sama. Ahli desain instruksional, ahli.materi atau pengajar, ahli
media, dan ahli penyusun tes bekerja sama untuk memproduksi
bahan instruksional yang sesuai dengan strategi instruksional.
Bahan belajar mandiri tersebut adalah tulang punggung dati
kegiatan instruksional yang menitikberatkan kepada kegiatan
belajar mandiri mahasiswa. Pengembangan bahan lain, seperti
pedoman pengajar, pedoman mahasiswa, dan tes yang
menyertainya akan diuraikan kemudian setelah pengembangan
bahan pengajarankonvensional dan bahan PBS.

2. Pengembangan Bahan Pengajaran Konvensional


Bahan pengajaran konvensional sangat terbatas jumlahnya,
karena yang menjadi tulang punggung kegiatan instruksional di
smi adalah pengajar dan bahan-bahan pengajaran. Pengajar
menyajikan isi pelajaran dengan urutan, metode, media dan
waktu yang telah ditentukan dalam strategi instruksional.
Satu-satunya bahan yang diberikan kepada mahasiswa adalah
program pengajaran seperti yang telah dijelaskan dalam
permulaan bab ini, butir A.2.a. Bahan lainnya yangberupa
transparansi, .gambar, dan bagan, tidak dibagikan kepada
rnahasi swa, . tetapi digunakan pengajar sebagai media
ins truksional. .
Untuk menyusun programpengajaranyang akan dibagikan
kepada mahasiswa, .beberapa langkah di bawah ini akan
membantu pengembang instruksional.

203

PEKERTI

a.

Menulis deskripsi singkat isi pelajaran tersebut yang


disimpulkan dari seluruh subkomponen D (Deskripsi Singkat)
pada strategi. instruksional untuk seluruh TIK.
b. Menulis topik dan jadwal pelajaran yang diangkat dari
setiap subkomponen D dan waktu yang dibutuhkan pengajar
pada strategi instruksional.
c. Menyusun tugas dan jadwal penyelesaiannya yang
diharapkan dilakukan mahasiswa. Daftar tersebut meliputi
seluruh Latihan (L) yang terdapat dalam strategi
instruksional. '
d. Menyusun cara pemberian nilai hasil pelaksanaan tugas dan
tes.
Bahan lainnya, yang berupa transparansi, gambar, dan bagan
dibuat atas dasar subkomponen U (Uraian) pada setiap strateg i
instruksional.
3. Pengembangan Bahan PBS

Tulang punggung bahan PBS bersumber pada bahao


instruksional dan pengajar. Keduanya harussaling mengisi.
Apa yang tidak terdapat pada bahan pengajaran diisi oleh
pengajar.
.
Untuk mengembangkan bahan PBS ini, pengembang
instruksional dengan menggunakan strategi instruksional di
tangan memilih dan mengumpulkan bahan instruksional yang
kebetulan tersedia di Iapangan dan relevan dengan strategi
instruksionalyang telah dimilikinya. Bahan-bahan tersebut
tidak perlu diubah, baik isi maupun formatnya, Segala
kekurangannya untuk memenuhi strategi instruksional diisi
oleh pengajar, Karena itu, kompleks-tidaknya petunjuk pengajar
untuk PBS sangat tergantung kepada relevansi bahan
instruksional yang tersedia di lapangan dengan strateg i
pengajaran yang telah disusun sebelumnya.
Berikut ini langkah-langkah yang dapat digunakan oleh
pengembang instruksional dalam mengembangkan bahan PBS.
a. Memilih dan mengumpulkan bahan instrukstonal yang
kebetulan tersedia di lapangan danrelevan dengan isi
pelajaran yang tercantum dalam strategi instruksion~l. Bahan
tersebut berbentuk media cetak dan 'audiovisual.
204

PEKERTI

Menyusun bahan tersebut sesuai dengan urutan pada urutan


U (Uraian) yang terdapat dalam strategi instruksional.
c. Mengidentifikasi bahan-bahan yang tidak diperoleh dari
lapangan untuk ditutup dengan penyajian pengajar.
d. Menyusun program pengajaran seperti yang dijelaskan dalam
permulaan bab ini butir A.2.a.
e. Menyusun petunjuk cara menggunakan bahan instruksional
yang dibagikan kepada mahasiswa.
f. Menyusun bahan lain (bila masih diperlukan) .yang berupa
transparansi, gambar, bagan, dan semacamnya.
b.

C. Mengembangkan Pedoman Mahasiswa dan Pedoman


Pengajar

Setelah mengembangkan bahan instruksional yang berbentuk


salah satu di antara bahan belajar mandiri, bahan pengajaran
konvensional atau bahan PBS,pengembang instruksional masih
harus mengembangkan dua macam pedoman, yaitu pedoman
rnahasiswa dan pedoman pengajar.
Pedoman mahasiswa dan pedoman pengajar ini diperlukan
oleh setiap bentuk kegiatan instruksional.
1. Pedoman mahasiswa berisi:
a. Petunjuk penggunaan semua bahan belajar yang diterima
mahasiswa. 1
b. Oaftar kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan secara
berurutan setiap unit pelajaran atau pertemuan. Untuk
pengajaran konvensional dan PBS ujud dari pedoman
rnahasiswa adalah program pengajaran yang telah
diterimanya pada awal pertemuan.
c. Dalam Belajar Mandiri, pedoman mahasiswa perlu
disusun lebih lengkap daripada pedoman mahasiswa
yangdigunakan dalam pengajaran konvensional dan
PBS. Di dalamnya harus dilengkapi dengan petunjuk
yang rinei ten tang cara dan waktu yang tepat dalam
menggunakan setiap set bahan instruksional, baik yang
berbentuk media cetak maupun audiovisual. Kegiatan
mahasiswa tersebut disusun secara berurutan sejalan
dengan urutan materi yang dijadikan bahan pelajaran
'
mandiri.

205

PEKERTI

2. Pedoman pengajar berisi petunjuk kegiatan yang hams


dilakukan pengajar.
a.

Dalam bentuk kegiatan instruksional belajar mandiri,


pedoman pengajar itu berupa pedoman fasilitator atau
tutor. Pedoman tersebut berisi:
1) Petunjuk memberikan motivasi;
2) Petunjuk cara membimbing atau memberikan
konsultansi kepada mahasiswa dalam'memecahkan
masalah yang dihadapinya. I
3) Petunjuk menggunakan bahan instruksional, baik
yang berbentuk media cetak maupun noncetak.
4) Petunjuk memberikan bimbingan kepada mahasiswa
dalam menyelesaikan setiap latihan;
5) Petunjuk menyelenggarakan dan memeriksa hasil
tes;
6) Naskah tes akhir.
Kadang-kadangbahan tes akhir ini disusun secara
tersendiri dengan petunjuk tutor, karena
penyelenggaraan tes tersebut dilaksanakan secara
terpusat.

b.

Dalam pelajaran konvensional, pedoman pengajar berisi:


1) Strategi instruksional yang telah disusunnya;
2) Program pengajaran yang dibagikan kepada
mahasiswa;
3) Petunjuk penggunaan formulir kerja atau petunjuk
kegiatan praktik;
4) Petunjuk penyelenggaraan tes: .
5) Naskah tes: tes awal, tes selama proses instruksional
(biasa disebut tes formatif), dan tes akhir.

C.

Dalam PBS, pedoman pengajar berisi petunj uk ten tang :


1) lsi Pelajaran yang belum termasuk dalam bahan
belajar yang dibagikan kepada mahasiswa;
. 2) Cara memberikan motivasi kepada mahasiswa;
3) Cara menyajikan dan menggunakan bahan belajar
yang telah dibagikan kepada mahasiswa;
4) Cara menyelenggarakan dan memeriksa hasil tes
5) Naskah dan cara menyelenggarakan tes awal, tes
selama proses instruksional,' dan tes akhir.

206

..

PEKERTI

Bahan instruksional yang terdiri atas bah an belajar, pedoman


rn ahasiswa, pedoman pengajar, dan tes merupakan satu paket

bahan yang dipergunakan oleh mahasiswa dan pengajar selama


rrrelaksanakan kegiatan belajar. Seluruh bahan instruksional
rersebut telah dikembangkan melalui proses yang sistematik
atas dasar prinsip belajar dan prinsip instruksional serta kadangkadang digunakan pula akal sehat. Secara hipotesis, bahan
tersebut efektif dan efisien dalam meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap mahasiswa seperti yang tercantum di
dalam tujuan instruksionalnya. Tetapi, hipotesis ini perlu diuji
t.erlebih dahulu melalui evaluasi formatif.

D. Latihan
Kembangkanlah salah satu macam bahan instruksional yang
sesuai dengan bentuk kegiatan instruksional di lembaga
pendidikan tempat Anda akan bekerja. Bahan instruksional
yang Anda kembangkan harus memenuhi kriteria sebagaiberikut:
1. sesuai dengan strategi instruksional yang telah Anda
kernbangkan.
2.

meliputi:
a. bahan belajar (bila bukan pengajaran konvensional):
b. pedoman pengajar: .
c. pedoman rnahasiswa.

3.

akan diajarkan selama satu semester.

E~

Rangkuman

Langkah ketujuh adalah mengembangkan bahan


instruksional berdasarkan strategi instruksional dan tes yang
telah disusun. Bahan instruksional tersebut terdiri atas bahan
belajar, pedoman pengajar atau fasilitator, tes dan cara
menyelenggarakannya, serta pedoman mahasiswa. Bahan
instruksional, terutama bahan belajar mahasiswa, berbentuk
media cetak, audio-visual atau kombinasi keduanya. Di dalamnya
terkandung materi pelajaran yang disiapkan secara sistematik
mengikuti urutan kegiatan instruksional tertentu. Di samping

207

PEKEATI

itu, setiap langkah dalam urutan kegiatan tersebut menggunakan


metode dan jumlah waktu tertentu.
Caftar Kepustakaan

o-

Dick, W., & Carey, L., The Systematic Design a/Instruction


Ed.) Glenview, Illinois: Scott, Foresman. and Company,
1990.
Suparman, Atwi., Sistem Pengelolaan Belajar Jarak Jauh
dengan Modul: Makalah untuk BKKBN, Cipayung:
1986.
I

208

PEKERTI

BABX
MENDESAIN DAN MELAKSANAKAN
EVALUASI FORMATIF
r------~-------~

~""'b

~
INSTRUKSIONAl
IDENTIFIKASI
KEBUTUHAN
INSTRUKSIONAL
DAN MENUUS
~)
TUJUAN
INSTRUKSIONAl
UMUI.4 (flU)

II
...,1

TESACUAH
PATOKAH

i~~l:Wrt~~~~~~~~~j~~~

MEHUUS

loIEHGEMBANGKAN
IlAHAH

TIWAN
INSTRUK
SDNAl

.)

INSTRUK
SDNAl

KHUSUS
(TIIQ

'1'

"j'

I
I
lolENGlDEHTIAKASI
I
PERllAKU DAN
I
KARAKTERISTIK
AWAl MAllASlSWA
I
t _ _ ....JII
L
~

L)

MEHYUSUN

STRATEGI
INSTRUKSIONAl

r
I

I
I
I
I

,)

SlSTEM
INSTRUK

SJONAl.

I
I
I

~)

I
I
I
I
I
I
I

SeteIahbahan instruksional diproduksi, pendesain instruksional periu mengajukan pertanyaan kepada dirinya sendiri.
Apakah bahan instruksional yang telah dikembangkan atau
dipilih berdasarkan suatu proses yang sistematik itu benarbenar efektif dalam mencapai tujuannya? Apakah bahan
instruksional itu masih perlu direvisi agar mahasiswa dan
pengajar dapat menggunakan dengan Iebih efektif dan efisien?
Kedua pertanyaan itu perlu dijawab denganmelakukan evaluasi
fonnatifuntuk mencari kekurangannya dan kemudian melakukan
revisi untuk meningkatkan kualitasnya.

209

PEKERTI

Bab ini membahas cara melaksanakan evaluasi formatif


terhadap bahan instruksional yang telah Anda produksi, yang
berbentuk bahan belajar, pedoman pengajar, pedoman
mahasiswa, dan tes. Di samping itu, faktor yang dievaluasi
adalah pelaksanaan kegiatan instruksional dengan menggunakan
bahan-bahan tersebut.

A. Pengertian Evaluasi Formatif


Secara sepintas, istilah evaluasi memberikan kesan
menyeramkan dan menakutkan. Bila dikatakan ada suatu tim
evaluasi yang akan mengunjungi kantor Anda, segera muncul
berbagai pertanyaan dalam pikiran Alida. Adakah sesuatu yang
salah yang telah saya lakukan? Mengapa tim itu akan datang ke
kantor saya? Apa yang perlu saya persiapkan agar keadaan
kantor saya lebih baik? Demikian pula bila Anda mendengar
kabar bahwa selama satu minggu atasan Anda mengadakan
evaluasi kegiatan instruksional di lembaga tempat Anda
mengajar, Terlintas dalam pikiran Anda untuk mempersiapkan
kegiatan instruksional Anda agar lebih baik daripada biasanya,
paling tidak dalam satu minggu.itu.
I

'

Evaluasi telah mengundang reaksi dari pihak yang dievaluasi


untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat mendatangkan
rasa lebih aman. Akhirnya, data yang berhasil dikumpulkan
oleh orang yang mengevaluasi tidak seperti apa adanya, tetapi
menggambarkan keadaan sesaat yang dibuat-buat.
Keadaan seperti ini terjadi di mana saja dan telah puluhan
tahun berkembang. Mungkindengan istilah yang berlainan
telah pula digunakan orang sejak zaman purba. Di Amerika
Serikat pada tahun 1960-an proyek-proyek pengembangan
kurikulum telah melakukan hal yang sarna. Dick dan Carey.

210

PEKERTI

(1985) mengemukakanbahwa mereka mengadakan evaluasi


terhadap produk instruksional dengan cara membandingkan
efektivitasnya dengan produk yang telah ada. Biasanya, produk
yang baru menghasilkan prestasi yanglebih rendah. Mengapa?
Pengaruh kebiasaan rnenggunakan produk lama dapat merupakan
faktor yang merugikan produk baru. Sedangkan sesuatu yang
baru memang sering butuh wak:tu untuk mengendap dan diterima
oleh pemakainya.
Membandingkan efektivitas beberapa jenis produk untuk
memilih salah satu yang terbaikdan menyingkirkan yang lainnya,
- merupak:an suatu proses yang menentukan mana produk yang
boleh digunak:an terus dan mana yang harus dihentikan atau
tidak boleh digunakan. Tujuan seperti ini adalah tujuan evaluasi
sumatif. Jenis evaluasi ini tidak: menghasilkan petunjuk bagi
orang yang mengevaluasi ten tang bagian mananya dari kurikulum
atau program instruksional itu yang harus direvisi. Evaluasi
seperti itu tidak pula menghasilkan petunjuk bagaimana cara
merevisinya agar kualitasnya lebih baik.
Jenis evaluasi lain, evaluasi formatif, bertujuan untuk
menentukan apa. yang harus ditingkatkan ataudirevisi agar
produk tersebut lebih efektif dan lebih efisien. Secara ekstrim,
dapat dikatakan betapapunkurang efektifatau sangat efektifnya
produk itu, evaluator masih harus mencari apa yangperlu
d ilakukan untuk .meningkatkan efektivitasnya sehingga
kualitasnya lebih tinggi daripada sebelumnya. Dalam proses
pengembangan suatu produk instruksional,pelaksanaan evaluasi
forrnatif adalah suatu keharusan, Hanya dengan cara itulah
pengembang instruksionaldapat merasa yakin bahwa sistem
instruksional yang ia kembangkan akan efektif dan efisien di
lapangan sesungguhnya nanti.
Evaluasi formatif dapat didefinisikan sebagai proses
menyediakan dan menggunakan informasi untuk dijadikan dasar
pengambilan keputusan dalam rangka meningkatkan kualitas
produk atau program instruksional.

B. Empat TahapEvaluasi Formatif


Idealnya, pengembang instruksional melakukan empat tahap

211

PEKERTI

evaluasi formatif, yaitu review oleh ahli bidang studi di luar tim
pengembang instruksional, evaluasi satu-satu (one-to-one evaluation), evaluasi kelompok keeil dan ujieoba lapangan.
1. Review oleh ahli bidang studi di luar pengembang
instruksional penting artinya untuk mempermudah pendapat
orang lain, sesama ahli dalam bidang studi, khususnya
tentang ketepatan isi atau materi produk instruksional
tersebut. Di samping itu, dilakukan pula review ahli desain
fisik dan ahli media lain; Masukan dati para ahli lain ini
perlu segera digunakan untuk merevisi produk instruksional
tersebut.
Masukan yang diharapkandari ahli lain adalah:
a. Kebenaran isi atau materi menurnt bidang ilmunya dan
relevansinya dengan tujuan instruksional.
b. Ketepatan perumusan TIU;
c. Relevansi TIK dengan TIU;
d. Ketepatan perumusan 11K.;
e. Relevansi tes dengan tujuan instruksional;
f. Kualitas teknis penulisan tes;
g. Relevansi strategi instruksional dengan tujuan instruksional;
h. Relevansi produk atau bahan instruksional dengan tes dan
tujuan instruksional;
i. Kualitas teknisproduk instroksional.

Review oleh ahli lain ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a.

Tim pengembang instruksional mengundang beberapa ahli di


luar pengembang instruksional yang terdiri dari: '
1) 1 - 3 orang ahli bidang studi;
2) 1 - 3 orang .ahli pengembang instruksionallain;
3) 1 - 3 orang ahli produksi media.

b.

Tim menjelaskan proses yang telah dilaksanakan dalam


mengembangkan bahan instruksional tersebut kepada para
.ahli yang diundang.
Memintakomentartentangkualitasbahan instruksional tersebut
dati sudut pandangan keahlian masing-masing, Komentar ini
dapat diperoleh dengan saIah satu cam sebagai berikut:

e.

212

PEKERTI

1) Memberikan kuesioner untuk diisi;


Wawancara;
3) Diskusi terbuka dengan membahas kualitas bahan
instruksional secara bersamaan antara seluruh ahli yang
diundang dengan seluruh anggota tim pengembang
instruksional. Topik diskusi adalah butir 1.a sampai i di
atas.

2)

Kegiatan review tersebut di atas menuntut keterbukaan setiap


anggota tim pengembang instruksional dengan sikap menerima
sernuakomentarwalanpunmungkin tidakrelevan. Selamakegiatan
review tersebut setiap anggota tim pengembang hanya dapat
meminta kejelasan tentang pendapat ahli lain apabila pendapat
tersebut dirasa belurn jelas atau dianggap kurang benar. Sikap
untuk menolakatau menerimanyaharusditentukan oleh tim setelah
selesai kegiatan review tersebut.
Dengan perkataan lain, kesabaran, ketekunan mendengarkan, dan
mencatatkomentar ahli lain rnerupakan kuncikeberhasilan kegiatan
review tersebut Hasil kegiatan review tersebut dianalisis dan
disimpulkan untuk kemudian digunakan daIam merevisi produk
instruksional tersebut.
2.

Evaluasisatu-satu dilakukan antara pengembang


instruksional dengan dua atau tiga mahasiswa secara individual. Mahasiswa yang dipitih adalah yang mempunyai
ciri-ciri seperti populasi sasaran. Ketiga mahasiswa tersebut
berasal dari mahasiswa yang mempunyai kemampuan sedang,
di atas sedang, dan di bawah sedang. Maksud evaluasi ini
untuk mengidentifikasi dan mengurangi kesalahankesalahan yang secara nyata terdapat dalam bahan
instruksional. Di samping itu evaluasi ini dimaksudkan
untuk mendapatkan komentar dari mahasiswa tentang isi
atau materi pelajaran.
Langkah-langkah dalam melaksanakan evaluasi satu-satu
adalah sebagai berikut:
a. Pengembang instruksional menjelaskan maksud evaluasi
tersebut kepada mahasiswa, yaitu mendapatkan
komentarnya terhadap bahan-bahan instruksional yang
baru saja selesai dikembangkan.
213

PEKERT/

b. Pengembang instruksional mendorong mahasiswa untuk


mengikuti kegiatan instruksional sebaik-baiknya dalam
waktu yang telah ditentukan. Bila yang dievaluasi berupa
bahan belajar mandiri. atau PBS, pengembang
instruksional mengajak mahasiswa membaea bahan
belajar tersebut bersamanya dan mendiskusikan
pengertiannya.
e. Pada akhir pelajaran mahasiswa diberi tes.
d. Pengembang instruksional mendorong mahasiswa untuk
memberikan komentar dengan leluasa tentang kegiatan
instruksional yang diikutinya, terutama isi pelajaran
atau bahan instruksional dan tes. Keterampilan
pengembang instruksional dalam berinteraksi atau
berwawaneara dengan mahasiswa akan menentukan
kualitas informasi yang diperolehnya, Pengembang
instruksional harus menempatkan diri dan bersikap untuk
berusaha memahami komentar mahasiswa tentang bahan
instruksional yang telah diproduksinya tanpa merasa
tersinggung, apalagi meneoba mempertahankannya.
Tanpa sikap positif seperti ituusaha evaluasi ini akan
sia-sia.
e. Pengembang instruksional meneatat komentar
mahasiswa dan rnenyimpulkan implikasinya terhadap
perbaikan kegiatan instruksional seeara keseluruhan
termasuk terhadap bahan instruksional.
Hasil evaluasi satu-satu ini langsung digunakan untuk merevisi
kegiatan instruksional termasukbahan instruksional.

3. Setelah direvisi berdasarkan masukan evaluasi satu-satu,


produk instruksional tersebut dievaluasi lagi dengan
menggunakan sekelompok keeil mahasiswa yang terdiri
atas 8-12 orang. Kelompok kecil mahasiswa ini harus
representatif untuk mewakili populasi sasaran yang
sebenarnya. Di antara mereka tidak termasuk tiga orang
mahasiswa yang telah ikutdalam evaluasi satu-satu. Maksud
evaluasi kelornpok keeil ini adalah mengidentifikasi
kekurangan kegiatan instruksional setelah direvisi
berdasarkan evaluasi satu-satu. Masukan yang diharapkan
bukan saja ten tang bahan instruksional, melalnkan juga
proses instruksional.

214

PEKERTI

Langkah-Iangkah yang harus ditempuh pengembang


instruksional adalah:
a. Mengumpulkan mahasiswa yang menjadi sampel di
suatu ruangan dan menjelaskan maksud evaluasi ini,
yaitu untuk mendapatkan umpan balik dalam rangka
merevisi produk instruksional tersebut.
b. Menjelaskan kegiatan instruksional yang akan dilakukan
danrnendorong mahasiswa untuk memberi komentar
dengan leluasa setiap saat, selama kegiatan tersebut
berlangsung, ten tang kualitas produk instruksional, baik
yang menyangkut bahan instruksional maupun proses
instruksionalnya,
c. Me laks anakan kegiatan instruksional dengan
menggunakan bahan instruksional yang diproduksi dan
telah direvisi berdasarkan hasil review dan evaluasi
satu-satu.
.
d. Mencatat komentar mahasiswa terhadap proses dan
bahan instruksional termas uk komentar terhadap tes
yang digunakan.
e. Melakukan interviu dan rnengajukan kuesioner kepada
beberapa mahasiswa untuk mendapatkan informasi lebih
jauh tentang:
1) Seberapa mudah mahasiswa memahami pelajaran
yang baru lalu?
'
2) Apakah kegiatan instruksional itu menarik dan
sistematik?
3) Bagian mana dari pelajaran tersebut yang sulit
dipahami dan mengapa?
4) Butir tes yang mana yang tidak relevan dengan
materi yang disajikan?
Bila informasi yang diperoleh memberikan petunjuk
tentang sangat banyaknya kekurangan produk
instruksional yang dievaluasi, pengembang instruksional
tidak boleh kecewa atau cenderung membuang produk
tersebut. Evaluasi formatiftersebut memang bermaksud
untuk mendapatkan informasi tentang kelernahan produk
instruksional bukan untuk mendapatkan informasi yang
mengenakkan telinga saja atau sengaja hanya mencari
kebaikannya. Sebaliknya, pengembang instruksional
harus bergembira mendapatkan informasi tentang
kelemahan produk instruksionalnya, kareria ia

215

PEKERT/

mempunyai dasar untuk memperbaikinya.Pengembang


instruksional harus sadar benar bahwa produk
instruksional yang terbaik pun masih dapat ditingkatkan
kualitasnya. lni berarti produk itu masih mempunyai
bagian yang perIu diperbaiki. Tekad pengembang
instruksional dalam melaksanakan evaluasi formatif
memang ingin mendengar, bukan takut terhadap
kelemahan produknya, Di sini letak salahsatu perbedaan
yang mendasar antara evaluasi formatif dan evaluasi
sumatif. Evaluasi sumatif di pihak lain, yang
membandingkan efektifitas suatu produk instruksional
dengan produk yang lain untuk memilihsalah satu yang
terbaik di antaranya memang mengandung resiko
tersisihkan atau tidak terpakainya suatu produk
instruksional karena kalah baik,
f.

4.

Menggunakan hasil evaluasi kelompok kecil untuk


merevisi produk instruksional.

Uji Coba Lapangan


Setelah direvisi berdasarkan masukan evaluasi kelompok kecil,
produk instruksional tersebut diujicobakan di lapangan sebagai
tahap keempat atau tahap akhir dalam evaluasi formatif. Maksud
uji coba lapangan ini adalah untuk mengidentifikasi kekurangan
produkinstruksional tersebut biladigunakan di dalamkondisi yang
mirip dengan kondisi pada saat produk tersebut digunakan dalam
dunia sebenamya. Produkitu sendiri, lingkunganpelaksanaan, dan
pelaksana uji coba hams dibuat semirip mungkin dengan keadaan
pada waktu digunakan oleh populasi sasaran nanti.Inilah salahsatu
letak perbedaan secara mendasar antara uji coba lapangan ini dan
tahap evaluasi formatif sebelumnya.
Jumlah mahasiswa yang menjadi sampel dalam uji coba lapangan
ini lebih besar dari jumlah mahasiswa yang berpartisipasi dalam
evaluasi kelompok kecil, Jumlah sekitar 15-30 orang mahasiswa
sudah dianggap cukup sepanjang telah mempunyai ciri yang sarna
atau mirip dengan populasi sasaran. '
Uji coba lapangan ini dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
I

216

PEKERTI

Menentukan sampel yang akan digunakan sebanyak 15~30


orang mahasiswa.
b. Mempersiapkan lingkungan, fasilitas, dan alat-alat yang
dibutuhkan sesuai dengan strategi instruksional dan bentuk
kegiatan instruksional yang telah ditentukan, yaitu belajar
mandiri, pengajaran konvensional, atau PBS.
c. Melaksanakankegiatan instruksional sesuai dengan bahan
instruksional dan bentuk: kegiatan instruksional.
d. Mengumpulkan,data tentang kualitas proses instruksional dan
bahan untuk instruksional termasuk bahan belajar,pedolllan
mahasiswa, dan tes. Pengumpulan data ini dapat dilakukan
dengan memberikan kuesioner, interviu dengan mahasiswa
atau kombinasi keduanya. Di samping itu, pengembang
instruksionalmengumpulkan datadenganmengobservasi proses kegiatan mahasiswa dan keadaan lingkungan kegiatan
instruksional tersebut untuk mendapatkan informasi tentang
kekurangsesuaiannya dengan strategi instruksional yang telah
ditetapkan,
e. Menyelenggarakan tes awal dan tes akhir untuk mengetahui
efektivitas kegiatan istruksional tersebut. Hasil tes ini tidak
digunakan untuk nlenentukan terusdigunakan atau
dibatalkannya penggunaan produk instruksional tersebut, tetapi
untuk mengetahui seberapa besar lagi usaha yang hams
dilakukan pengembang instruksional untuk meningkatkan

a.

kualitasnya.

c.

Komponen yang Perlu Diperhatikan dalam Merencanakan


Evaluasi Formatif
I

Pelaksanaan suatu evaluasi harus dimulai dan didasarkan


kepada reneana yang disusun sebelumnya. Ada tujuh komponen
penting yang harus diperhatikan oleh pengembanginstruksional,
yaitu:
.
."i-""
1.

Maksud evaluasi formatif

Sejak awal perencanaan, maksud evaluasi yang akan


dilakukan harus jelas. Hasilnya akan digunakan merevisi program atau produk instruksional bukan untuk menentukan
digunakan atau tidak digunakannya produk tersebut.

217

PEKERTI

Maksud ini harus dijadikan dasar dalam menyimpulkan


hasil evaluasi nanti. Misalnya, apabila maksud evaluasi tersebut
semula digunakan untuk merevisi produk instruksional, tetapi
kemudian kesimpulan hasilnya digunakan untuk menetapkan
bahwa produk tersebut tidak jadi digunakan karena banyak
kelemahannya, kesimpulan yang seperti itu tidak tepat.
Kesimpulannya menyimpang dari maksud evaluasi tersebut.
Kekeliruan seperti ini bukan hanya mungkin terjadi pada
pengembang instruksional yang masih muda, tetapi juga yang
sudah senior.
'

2.

Siapa yang akan menggunakan hasil evaluasi tersebut?

Dalam iperencanaan harus ditetapkan siapa yang akan


menggunakan hasil evaluasi itu. Dalam proses yang kita bahas
selamaini orang tersebut adalah tim pengem bang instruksional.
Karena itu, hasil evaluasi harus dilaporkan kepada tim tersebut.
Bila hasil evaluasi tersebut diserahkan kepada orang lain,
misalnya para guru sebagai eaton pemakai, hasil evaluasi formatif
itu akan ditafsirkan lain, yaitu rendahnya kualitas produk
instruksional tersebut. Dari jauh had calon pemakai tersebut
tentu menolak untuk menggunakannya.

3. Apa informasi yang akan dikumpulkan?


Perumusan informasi yang perIu dikumpulkan berhubungan
erat dengan maksud evaluasi. Dalam proses evaluasi yang kita
lakukan, yaitu evaluasi formatif, dibutuhkan informasi ten tang
kekurangan produk instruksional.
.
Bila informasi yang dikumpulkan tidak sesuai dengan tujuan,
misalnya informasi tentang efektivitasnya bila dibandingkan
dengan efektivitas produk instruksional lain, maka hasil evaluasi
tersebut tidak dapat memberikan petunjuk tentang koinponen
apa dari produk instruksional tersebut yang harus direvisi.
Karena itu menetapkan jenis informasi yang relevan dengan
maksud evaluasi sangat penting artinya dalam evaluasi. Untuk
evaluasi formatif terhadap produk instruksional, pengembang
instruksional perIu mengumpulkan berbagai informasi melalui:
review oleh para ahli di luar pengembang instruksional, evaluasi
satu-satu, evaluasi kelompok kecil dan ujicoba lapangan. Jenis
informasi untuk setiap tahap tersebut telah diuraikan dalam sub
bab yang lalu,
.

218

PEKERTI

4.

Sumber-sumber apa yang diperlukan?


a. Fasilitas, alat-alat dan waktu;
b. Tenaga pelaksana evaluasi;
c. Instrumen evaluasi seperti kuesioner, pedoman interview, check-list, tes, skala sikap dan sebagainya;
d. Respondent
e. Biaya.

5. Bagaimana, kapan dandi mana data dikumpulkan? Siapa


yang melaksanakan pengumpulan data.dari sumber informasi
yang telah ditentukan?
6. Bagairnana, kapan dan siapa yang melaksanakan analisis
data?
7. Bagaimana bentuk laporannya? Perlukah laporan lisan di
samping laporan tertul is? Laporan tersebut harus
disarnpaikan kepada tim pengembang instruksional.
Ketujuh komponen di atas merupakarr komponen pokok
. yang perlu mendapat perhatian dalam evaluasi, agar hasilnya
benar-benar bermanfaat dan sesuai dengan maksudnya..

D. Merevisi Produk Instruksional


Pelaksanaan evaluasi formatif belum menjamin terjadinya
peningkatan kuaIitas produk instruksional, bila rekomendasi
yang dihasilkan evaluasi itu tidak digunakan untuk merevisi
produk instruksional yang dievaluasi tersebut.
Revisi yang dihasilkan dapat dikelompokkan dalam tiga
bidangbesar:
1. lsi dari produk instruksional, baik yang terdapat dalam
bahan instruksional maupun yang diuraikan oleh pengajar
(bila bukan bahan belajar mandiri).
2. Kegiatan instruksional yang meliputi prosedur penggunaan
bahan instruksional dan penyajian atau presentasi.
3. Kualitas fisik bahan instruksional.

219

PEKEATI

Revisi terhadap produk instruksional dilakukan dalam tiga


bidang tersebut di atas. Hasil revisi tersebutberbentuk produk
instruksional baru. Bila perubahan-perubahan yang dilakukan
untuk menghasilkan produk baru tersebut sangat besar dan
mendasar, evaluasi formatif yang kedna perlu dilakukan. Tetapi,
bila perubahan itu tidak terIalu besar dan tidak mendasar,
produk baruitu siap dipakai di lapangan sebenarnya. Produk
baru seperti ini disebut sistem instruksional.
Berikut inidikemukakan bagaimana revisi itu dilakukan
pada setiap tahap evaluasi:
.
1. Hasil review ahli bidang studi digunakan lebih awal dari
hasil setiap tahap evaluasi yang lain, yaitu evaluasi satusatu, kelompok kecil, atau uji coba lapangan.
2. Hasil evaluasi satu-satu merupakan masukan yang berharga
bagi pengembang instruksional, terutama komentar dan
kesulitan mahasiswa memahami setiap bagian dari bahan
instruksional dan strategi instruksional. Ini berarti bahwa
masukan.dari hasil evaluasi satu-satu dan para ahli bidang
studi banyak menyangkut isi prod UK instruksional.
Pengernbang instruksional melakukan perbaikan langsung
pada bag ian yang dianggap sulit dipahami oleh mahasiswa,
sulit dibaca atau menimbulkan.salah pengertian. Komentar
para ahli lain untuk hal ini merupakan datayang memperkuat
perlunya revisi, tetapi tidak dapat menolaknya, Jumlah
mahasiswa dalam evaluasi satu-satu ini sangat kecil, tetapi
kontribusi mereka sangat besar dalam mernperbaiki tingkat
keterbacaan dankemudafian memahami produk instruksional
':
yang dievaluasi.
3. Hasil evaluasi kelompok kecilldigunakan untuk:
a.

220

Menganalisis kualitas 'setiap butir tes yang meliputi:


1) Analisis alternatif jawaban bila digunakan tes
pilihanberganda:
.
2) Komentar mahasiswa tentang kejelasan maksud
pertanyaan dalarn butir tes tersebut.

PEKERTI

b. Menganalisis kenaikan skor mahasiswa untuk butirbutir tes yang mengukur setiap perilaku dalam TIK
dengan cara membandingkan skor tes awal dan skor tes
akhir.
Bila tidak ada kenaikan yang berarti sedangkan hasil tes
awal dan tes akhir relatif rendah, bah an instruksional dan
kegiatan instruksional yang berhubungan dengan TIK
tersebut perIu diteliti kembali dengan seksama dan dicari
kelemabannya. Bila kenaikan dari basil tes awal dan akhir
untuk TIK tersebut tidak berarti sedangkan keduanya
menunjukkan hasil yang tingg i, isi pelajaran yang
berhubungan dengan TIK tersebut perlu dipertirnbangkan
untuk dihilangkan karen a dari semula mahasiswa telah
menguasainya. Keputusan untuk menghilangkannya
sebaiknya menunggu hasil uji coba. Bila hasil uji coba
tersebut konsisten dengan basil evaluasi kelompok kecil,
bagian tersebut tidak perIu diragukan lagi, perlu dihilangkan
atau dipersingkat. Dengan mempersingkat tersebut berarti
materi pelajaran keseluruhan tetap utuh.
c.

Menganalisis basil tes akhir dari dua TIK yang


mempunyai struktur perilaku yang hierarkikal.
Sebarusnya skor rata-rata mahasiswa untukkedua prilaku
tersebut mempunyai korelasi yang signifikan. Bila .
ternyata korelasinya rendah, perlu diteliti hal-hal sebagai
berikut:
1) Kualitas butir tes pada setiap perilaku tersebut;
2) Kual itas baban instruksional dan strategi
instruksional yang berhubungan dengan kedua
perilaku tersebut, terutama komentar mahasiswa
dan para ahli bidang studi di luar pengembang
instruksional,

d. Menganalisis hasil tes akhir dati beberapa TIK yang


mempunyai struktur perilaku prosedural terutama
kawasan psikomotor. Bita skor mahasiswa dalam
perilaku tersebut rendah, yang terutama diteliti kembali
adalah kemungkinan penambahan jumlah latiban atau
praktik yang dilakukan mahasiswa. Bila jumlah latihan
cukup, perIu diteliti kualitas alat-alat yang digunakan.
~,

221

PEKERT/

e.

4.

Menganalisis komentar mahasiswa tentang proses


instruksional terutama yang menyangkut metode dan
media instruksional.

Hasil uji eoba lapangan digunakan untuk merevisi produk


Instruksional dengan menggunakanptosedur yang sarna
dengan penggunaan hasil evaluasi kelompok kecil. Hasil uji
coba lapangan ini adalah yang paling mirip dengan keadaan
sesungguhnya karena dilakukan dalam lingkungan yang
menyerupai lingkungan yang sebenarnya. Karena itu,
rnasukan dari uji coba ini akan menggambarkan reaksi
populasi sasaran kepada produk instruksional. Bila rnasukan
dari evaluasi satu-satu dankelompok keeil terutama berisi
hal-hal pokok, masukan dari uji coba lapangan ini merupakan
rnasukan yang rnenyeluruh dan terperinei tentang kualitas
bahan dan strategi instruksional yang dicobakan.
Analisis hasil ujieoba lapangan meliputi:
a.

Membandingkan hasil tes awaldan tes akhir mahasiswa


untuk seluruh butir. tes. Cara ini dimaksudkan untuk
melihat efektivitas seluruh produk instruksional:
Pengetahuan akan tingkat efektivitas ini bukan untuk
mernutuskan digunakan atau tidakjadi digunakan produk
tersebut, melainkan untuk menentukan seberapa keras
usaha yang masih harus dilakukan untuk rneningkatkan
kualitasnya dikemudian hari .. Bila kenaikan skor
mahasiswa dari tes awal ke tes akhir masih rendah,
pengembang instruksionaldapat menggunakannya
sebagai petunjuk bahwa usaha meningkatkan kualitas
produk instruksional tersebut dikemudian hari masih
harus dilakukan lebih keras.

b.

Membandingkan hasil tes awal dan tes akhir mahasiswa


untuk kelompok butir tes yang mengacukepada setiap
TIK. Hasil ini diperkuat dengan kornentar mahasiswa
dan ahli bidang studi dijluar pengembang instruksional,
akan memberi petunjuk untuk melakukan revisi pada
bahan dan strategi instruksional yang mengacu kepada
TIK tersebut.
'

222
, I

".

PEKERTI

c. Menafsirkan komentar mabasiswa tentang kejelasan


dan kualitas f~sik bah an belajar serta tentang sikap
mereka terhadap kegiatan instruksional yang diikutinya
rnerupakan masukan yang harus digunakan untuk
memperbaiki produk instruksional.
d. Menafsirkan komentar mahasiswa terhadap proses
instruksional, terutama metode dan media yang
digunakan serta hasi l observasi pengembang
instruksional terhadap kegiatan mahasiswa dan fasilitas
yang digunakan selama proses tersebut.
Dari uraian sejak permulaan bab ini pengembang
instruksional telah melakukan empat tahap evaluasi, yaitu;
review yang dilaksanakan atas bantuan ahli lain di luar
pengembang instruksional, evaluasi satu-satu, evaluasi kelompok
keeil, dan akhirnya uji coba lapangan. Keempat tahap tersebut
dilaksanakan selama proses pengembangan, yaitu sebelum
menggunakan produk instruksional di lapangan yang sebenarnya.
Proses yang ideal sepertiitu perIu dilakukan, terutama bagi
produk instruksional yang akandigunakan secara nasional untuk
rnenghindari kekurangan-kekurangan yang mendasar sebelum
terlanjur digunakan dalam skala besar.
Tetapi, untuk produk instruksional yang akandigunakan
pada lembaga yang terbatas dapat digunakan beberapa di antara
empat tahaptersebut sesuaidengan kemungkinan pelaksanaannya.
Berikut ini akah dikemukakan beberapa alternatif untuk
melaksanakan sebagian di antara keempat tahap evaluasi
formatif:
1. Bila akan dilaksanakan tiga di antara empat tahap tersebut,
sebaiknya dilakukan tahap:
a. Review;
b. Satu-satu atau kelompok kecil;
e. Uji coba lapangan.
2. Bila akan dilaksanakan dua diantaranya, sebaiknya:
a. Satu-satuatau kelompok kecil;
b. Uji coba lapangan.

223

PEKERT/

3. Bila akan dilaksanakan satu di antaranya, sebaiknya satusatu atau kelompok keeil.
Alternatif mana pun yang akan diambilvproses evaluasi
tersebut sebaiknya dilaksanakan sebelum digunakan di lapangan
yang sebenarnya.
Tetapi, adakalanya suatu produk instruksional tidak sempat
lagi dievaluasi sebelumnya karena alasan tertentu seperti tidak
adanya waktu atau belum adanya biaya. Dalam hal seperti itu,
evaluasi formatif masih mungkin dilakukan pada saat
penggunaan produk tersebut di lapangan. Yang paling penting
adalah pengembang instruksional dengan cara yang paling
sederhanapun harus berusaha mendapatkan informasi untuk
memperbaiki produk instruksional berdasarkan masukan dari
lapangan terutama mahasiswa. Evaluasi formatif sebagai bagian
tidak terpisahkan dari proses pengembangan berjalan terus
menerus, tidak pernah berhenti.

E. Latihan
1. Susunlah reneana evaluasi formatif Anda dengan

menggunakan mated yang.terdapat dalam Bab X ini subbab


B dan C.
Pertama, menulis rencana evaluasi formatif dengan
menggunakan ketujuh komponen yang telah disebutkan
dalam subbab C yang Ialu, Di dalam rencana tersebut harus
termasuk tahap-tahap evaluasi yang akan dilakukan,
2. Susunlah instrumen evaluasi yang akan Anda gunakan dalam
evaluasi tersebut. Untuk menyusun instrumen ini Anda
perIu membuat label sebagai berikut:

224

PEKERTI

Informasl yang
Akan Olear!

Indikator

Jenls Instrumen
yang Akan
Digunakan

Responden

Tabel22, Formullr Perencanaan Instruman Evaluasl

Selanjutnya Anda mengembangkan instrumen berdasarkan


tabel di atas.
3. Lakukanlah evaluasi formatif terhadap bahan instruksional
yang telah Anda produksi sesuai dengan rencana yang telah
.
Anda susun.

F. Rangkuman
Langkah kedelapan sebagai langkah terakhir dalam MPI
adalah menyusun desain dan menyelenggarakan evaluasi

225

.'?'\'i!
-.-

PEKEATI

formatif. Konsep evaluasi formalif yang membedakannya


dengan evaluasi sumatif dibahas dalam langkah tersebut untuk
dijadikan titik tolak proses evaluasi selanjutnya. Di sam ping
itu, dibahas pula empat tahap yang ideal untuk pelaksanaan
evaluasi forrnatif, informasi yang perIu dikumpulkan untuk
setiap tahap, dan saran untuk memilih beberapa tahap di
antaranya bila tidak mungkin melakukanseluruhnya. Akhirnya,
langkah tersebut ditutup dengan bagaimana menggunakan hasil
evaluasi untuk merevisi bahan belajar,
.

Daftar Kepustakaan
1.

Dick, W., & Carey, L. The SistematicDesign of!nstructionrs- Ed)


Glenview, lllinois: Scott, Foresman and Company, 1990.

2.

Rossi, Peter H., Freeman, Howard E., and Wright, Sonia R.,
Evaluation: A Systematic Approach. Beverly Hills: Sage Publications 1979.

3. Ten Brink, Terry D., Evaluation: A Practical Guide for Teachers.


New York: Mc Graw-Hill, Book Company, 1974.
4.

The Joint Committee on Standards for Educational Evaluation.,


Standards for Evaluation ofEducational Programs. Projects, and
Materials., New York: Mc Grct"(-Hill B~k Company, 1981.

I.

226

PEKERTI

SENARAI
Ana/isis Instruksional
proses menjabarkanperilaku wnum menjadiperilakukhusus yang
tersusun secara logis dan sistematik.
Analisis Sistem (System analysis)
proses penjabaranataupemilahansuatusisteminstruksional menjadi
bagian-bagiannya,
Audio visual
jenis media instruksional yang non-cetak, seperti film, audio
cassettes, slide bersuara, dll.
Be/ajar Tuntas (Mastery Learning)
suatu strategi belajar yang didasarkan pada aswnsi bahwa semua,
atau harnpir semua, mahasiswa marnpu belajar dengan baik. dan
mampu mencapai tujuan-tujuan instruksional yang ditetapkan
apabilamerekadiberiwaktuyangcukupdansesuaidengankecepatan
belajar mereka.
Criterion-referenced Interpretation (Penafsiran Acuan Patokan)
caramenafsirkan skoryangdicapaimahasiswamelaluiperbandingan
dengan suatu standar/patokan tertentu.
Disain instruksional, pengembangan -instruksional. perancangan

instruksional, atauperencanaan instruksional.


suatu proses yangsistematikdalammenyusun sistem instruksional

yang efektifdanefisien melaluikegiatan pengidentifikasian masalah,


pengembangan, dan pengevaluasian.
Efektifitas
tingkat/kondisi tercapainya tujuan instruksional yang telah
ditentukan dalarn suatu proses pembelajaran.
Heterogen
tingkat keterampilan sejumlah mahasiswa yang beragam atau
berbeda satu sarna lain.

227

PEKERTI

formatif. Konsep evaluasi formatif yang membedakannya


dengan evaluasi sumatif dibahas dalam langkah tersebut untuk
dijadikan titik tolak proses evaluasi selanjutnya. Di samping
itu, dibahas pula empat tahap yang ideal untuk pelaksanaan
evaluasi forrnatif, informasiyang perIu dikumpulkan untuk
setiap tahap, dan saran untuk memilih beberapa tahap di
antaranya bila tidak mungkin melakukanseluruhnya. Akhirnya,
langkah tersebut ditutup dengan bagaimana menggunakan hasil
evaluasi untuk merevisi bahan belajar.
.

DaftarKepustakaan
1.

Dick, W., & Carey, L. TheSistematic DesignofInstruction (3rd Ed)


Glenview, illinois: Scott, Foresman 'and Company, 1990.

2.

Rossi, Peter H., Freeman, Howard E., and Wright, Sonia R,


Evaluation: A SystematicApproach. Beverly Hills: Sage Publica'
tions 1979.

3.

Ten Brink, Terry D., Evaluation: APrJctical Guidefor Teachers.


New York: Me Graw-Hill, Book Company, 1974.

4.

The Joint Committee 00 Standards for Educational Evaluation.,

Standardsfor Evaluation ofEducational Programs. Projects. and


Materials., New York: Me Graw-Hill Book Company, 1981.

.,
.:1

226

PEKERTI

SENARAI
AnalisisInstruksional
proses menjabarkanperilaku umum menjadiperilaku kbusus yang
tersusun secara logis dan sistematik.
Analisis Sistem(System analysis)
prosespenjabaranataupemilahansuatusisteminslnJk.sional menjadi
bagian-bagiannya.
Audio visual
jenis media instruksional yang non-cetak, seperti film, audio
cassettes. slide bersuara, dll.
Be/ajar Tuntas(MasteryLearning)
suatu strategi belajar yang didasarkanpada asumsi bahwa semua,
atau hampir semua, mahasiswa mampu belajar dengan baik dan
mampu mencapai tujuan-mjuan instruksional yang ditetapkan
apabilamerekadiberiwaktuyangcukupdansesuaidengankecepatan
belajar mereka.
Criterion-referenced Interpretation (Penafsiran Acuan Patokan)
caramenafsirkanskoryangdicapaimahasiswamelaluiperbandingan
dengan suatu standar/patokan tertentu.
Disain instruksional, pengembangan -instruksional, perancangan
instruksional, atau perencanaan instruksional.
suatu prosesyangsistematik dalam menyusunsistem instruksional
yangefektifdanefisienmelaIuikegiatan pengidentifikasian masalah,
pengembangan, dan pengevaluasian.
Efekiifitas

tingkat/kondisi tercapainya tujuan instruksional yang telah


ditentukan dalam suatu proses pembelajaran.

Heterogen
tingkat keterampilan sejurnlah mahasiswa yang beragam atau
berbeda satu sarna lain.

227

ePEKERTI

Kalibrasi

teknik menganalisabutir soal dengan rnenggunakan perhitungan


matematis untuk mengukur kualitas soal,
Kompetensi atau kemampuan
perubahanperilaku (behavior)sebagai hasil belajar.
Level ofMastery

tingkat penguasaan peserta didik atas materi perkuliahan/bidang


ilmunya.
Metode Analitik

.. rnetodepemberianskorjawabansuatuteskarangan yangberdasarlcan
garis-garis besar jawaban yang diharapkan dan skor maksimurn
untuk setiap garis besar jawaban tersebut.
Metode Instruksional
berfungsi sebagai earn dalam menyajikan (menguraikan,
memberi contoh, dan memberi latihan) lsi pelajaran kepada
mahasiswa untuk mencapai tujuan tertentu.
Monitoring

prosespengendalian dan pengawasan yangdilakukan secaraberkala


dan terus menerusuntuk memperbaiki kualitas pelaksanaansuatu

program instruksional.
Pandangan Sistem.tsystem view)
kebiasaanmemandangbendaatau peristiwasebagaisesuatu yang
terdiri dari bagian-bagian yang di samping mempunyai fungsi
sendiri-sendiri mempunyaipula fungsi bersama untuk rnencapai
tujuan tertentu.
Pendekatan Sistem (System Approach)

proses pernecahan rnasalah yang rnenerapkan pandangan sistem,


melalui analisis sistern dan sintesis sistem,

228

PEKERT/

Pendidikan formal
jenis pendidikan yang berjenjang dan terorganisasi secara formal
yangditawarkan olehlembllsa..lembagapcncUdJkan yang berbentuk
sekolahdasar, sekolah menengah, dan pendidikan tlnggi,
Penilaian kebutuhan (NeedsAssessment)
proses mengidentifikasi kesenjangan antara keadaan saat ini dan
keadaan ideal.

Penyajian yang konservatif


bentuk penyajian materi perkuliahan dengan eara memberikan
uraian, kemudian contoh, dan latihan secara berurutan.
Prototipe Instruksional
,
produk sementara dari proses perancangan instruksional yang siap
untuk diujicobakan.
Ranah Afektif
kawasan atau bidang kemampuan manusia dalam bersikap.

Ranah Kognitif
kawasan atau bidang kemampuan manusia dalam berpikir.

Ra nah Psikomotor
kawasan atau bidang kemampuan manusia dalam melakukan
gerak fisiko

Se If-report
salah satu bentuk skala penilaian yang meminta responden untuk
memberikan Imelaporkan informasi yang diperlukan berdasarkan
'
persepsinya sendiri.
,'r

Setting (latarr lnstruksional


fasilitas, alat, bahan, lingkungan dan sumber daya lain yang
tersedia dan dapat digunakan dalam memecahkan masalah.

PEKERT
Skala Penilaian (Rating Scales)
salah satu bentuk alat ukur non-tes yang meminta responden un
memberikan penilaian dalam skala yang telah ditentukan d
berdasarkan persepsinya sendiri.

Sintesis Sistem (System Synthesis)


proses penggabunganatau pengkombinasianbagian-bagian menja .
suatu sistem.

Sistem
benda, peristiwa, kejadian, atau cara yang terorganisasi dan ter
dari bagian-bagian yang lebih kecil, dan seluruh bagian tersebu
secara bersama-sama berfungsi untuk mencapai tujuan tertentu.

Strategi Instruksional
merupakan perpaduan dari urutan kegiatan, cara pengorganisasi
materi pelajaran dan mahasiswa, peralatan dan bahan, serta wak
yang digunakan dalam proses instruksional untuk rnencapai tu j
instruksional yang telah ditentukan.:

Supervisi (Penyeliaan)
proses pengendalian danpengawasan yang dilakukan dalam jangka
waktu tertentu oleh seorang atasan terhadap bawahan.

TeknologiInstruksional
proses perancangan, pengembangan dan pengevaluasian
pembelajaran untuk memecahkan masalah pembelajaran.

Tujuan Institusional
keadaan yang diharapkandihasilkanolehsuatulembaga(pendidikan)
sebagai akibat dati program-programnya.

Tujuan Instruksional, tujuan pembelajaran atau sasaran belajar.


pemyataan tentang kompetensi yang diharapkan dicapai olen
mahasiswa pada akhir perkuliahan.

230

PEKERTI

Tujuan Instruksional Umum (general instructional objectives. goal.


terminal objective)
kemampuan umum yang diharapkan dicapai oleh mahasiswasetelah
menyelesaikan suatu matakuliah selama semester.
"
"

Tujuan Kurikuler
pernyataan yang berisi kompetensi yang diharapkan untuk dicapai
oleh mahasiswa setelah menyelesaikan suatu program studio

Tujuan Penampilan atau Tujuan Kinerja (Performance Objective)


tujuaninstruksional yang berisikompetensiyanghamsditampilkan

atau ditunjukkan.

'

231

Anda mungkin juga menyukai