Analisis Daya Saing Kakao Indonesia
Analisis Daya Saing Kakao Indonesia
Oleh : Ragimun1
Abstraksi
Komoditas kakao merupakan penyumbang ketiga terbesar ekspor
nasional. Tanaman kakao ini ternyata sangat cocok dengan iklim Indonesia dan
mempunyai potensi peningkatan produksi dan perluasan lahan perkebunan
kakao. Indonesia, saat ini merupakan negara ketiga pemasok produk kakao
terbesar dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Namun nilai ekspor kakao
Indonesia tersebut masih didominasi oleh biji kakao mentah, sehingga
pemerintah berkewajiban mendorong terjadinya hilirisasi atau peningkatan nilai
tambah komoditas kakao. Dengan demikian diharapkan daya saing komoditas
kakao Indonesia akan terus meningkat. Tahun 2002 sampai dengan 2011 daya
saing kakao Indonesia masih cukup bagus, terbukti rata-rata Revealed
Competitive Advantage (RCA) di atas 4. Demikian juga dari hasil Indeks
Spesialisasi Pasar (ISP) rata-rata mendekati 1 yang berarti spesialisasi
Indonesia merupakan negara pengekspor. Sedangkan Indeks Konsentrasi Pasar
(IKP) diperoleh rata-rata kurang dari 0,35 yang berarti kerentanan terhadap
negara tujuan ekspor kakao relatif kecil. Untuk mendorong nilai tambah kakao
diperlukan kebijakan fiskal berupa penerapan bea keluar berjenjang, subsidi ke
petani, perbaikan infrastruktur serta riset dan pengembangan kakao nasional.
Abstract
Cocoa is the third largest contributor to national exports. This cocoa was
well suited to the climate of Indonesia and has the potential for increased
production and expansion of the cocoa plantations. Indonesia, currently the third
state of the world's largest supplier of cocoa after the Ivory Coast and Ghana. But
the export value of Indonesian cocoa is still dominated by raw cocoa beans, so
the government has an obligation to encourage or increase in va lue-added
cocoa. Thus the expected competitiveness of Indonesian cocoa will continue to
increase. In term 2002 to 2011 the competitiveness of Indonesian cocoa is still
pretty good, proved to the average Revealed Competitive Advantage (RCA) in
the top 4. Similarly, the results of Market Specialization Index on average close
to 1 which means that Indonesia is an exporter of specialization. While the
Market Concentration Index obtained an average of less than 0.35 which means
that the susceptibility to cocoa export destination countries are relatively small.
To encourage value-added cocoa needed fiscal policy in the form of a tiered
application of the export duty, subsidies to farmers, improvement of infrastructure
and research and development of the nationa l cocoa.
Keywords: Cocoa, value added, increased competitiveness
Peneliti pada Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu
email: ragimun@gmail.com
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara produsen utama kakao dunia. Luas areal
tanaman kakao Indonesia tercatat 1,4 juta hektar dengan produksi kurang lebih
500 ribu ton pertahun, menempatkan Indonesia sebagai negara produsen
terbesar ketiga dunia setelah Evory Coast (Pantai Gading) dan Ghana. Pantai
Gading, dengan luas area 1,6 Ha dan produksi nya sebesar 1,3 juta ton per tahun
dan Ghana sebesar 900 ribu ton per tahun. 2
Secara umum terdapat sekitar 50 negara produsen kakao, yang terbagi
dalam 3 benua yaitu Afrika yang menguasai sekitar 65 persen kakao dunia, Asia
sekitar 20 persen dan Amerika latin sekitar 15 persen. Sedangkan dari sisi
industri ( world cocoa brinding), Indonesia berada di nomor tujuh dunia dibawah
Belanda, Amerika, Jerman, Pantai Gading, Malaysia dan Brazil. Luas
perkebunan kakao di Indonesia terus meningkat sepanjang 5 tahun terakhir.
Dengan demikian peluang peningkatan produksi terbuka luas termasuk
penambahan nilai tambah produk-produk dari kakao.
Biji kakao maupun produk olahan kakao merupakan komoditi yang
diperdagangkan secara internasional. Indonesia termasuk negara pengekspor
penting dalam perdagangan biji kakao. Sedangkan untuk produk olahan kakao,
seperti
disinggung
sebelumnya,
ekspor
Indonesia
belum
menunjukkan
telah
mengeluarkan
serangkaian
kebijakan
produksi
dan
perdagangan produk olahan kakao. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
Indonesia
2
memiliki
potensi
untuk
meningkatkan
daya
saing
Koran Tempo , Senin 4 Juni 2012 dengan judul Program Gernas Kakao Dilanjutkan.
dengan
Frans Hero Kamsia Purba, Upaya Day a Saing dalam P erkembangan Kak ao Indonesia dalam
Perdagangan Internasional
(http://heropurba.blogspot.com/2012/01/upaya -daya-saing-dalamperkembangan.html). Berbagai sumber media terkait, data -data diolah
4
Kakao Indonesia Optimis Nomor Satu dunia dalam Artikel Ditjenbun Kementrian Pertanian
dalam
http://ditjenbun.dept an.go.id/bbp2tpmed/index.php?option=com_content& view=article&id=98:kak
ao-indonesia-optimis-nomor-satu-didunia
sehingga
nilai
ini
menjadi
tidak
optimal.
Untuk
meningkatkan dan mendorong daya saing kakao dan produk-produk dari kakao
diperlukan upaya-upaya strategis, salah satu diantaranya adalah melalui
kebijakan fiskal.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan
Share ij =
Xij
Xiw
dimana :
Xij
Xtj
Xiw
Xtw
mengetahui
besarnya
kontribusi
kakao
Indonesia
dalam
Xi
Pi x100%
Xt
dimana :
Xi
Xt
kakao
RCA =
( Xia) /(totalXa)
( Xiw) /(totalXw)
(Tambunan, 2001)
dimana :
X = ekspor atau nilai ekspor
i = jenis komoditi
a = negara asal
w= dunia (world)
Bila nilai RCA < 1 atau sampai mendekati 0, maka daya saing komoditi lemah.
Bila nilai RCA > 1 maka daya saingnya kuat, semakin tinggi RCA semakin tinggi
daya saingnya.
Untuk mengetahui ketergantungan kakao Indonesia terhadap negara mitra
dagang maka digunakan perhitungan Indeks Konsentrasi Pasar (IKP). IKP ini
merupakan salah satu cara guna mengetahui intensitas perdagangan suatu
negara dengan beberapa negara lainnya. Nilai intensitas tersebut didapat
dengan cara mengkuadratkan persentase perdagangan antara suatu negara
dengan negara lain. Semakin besar nilai intensitas perdagangan (0-1) maka
5
dimana,
Hj
xi
--------------------------
Introduction Trade of Research II:Trade Data and Statistics, Artnet Capacity Building Workshop
and Trade Research on 22-25 March 2005 prepared by Mia Mikic, Unescap
5
advantage)
dan
faktor
keunggulan
kompetitif
(competitive
dua
faktor
tersebut,
tingkat
daya
saing
suatu
negara
maupun
jangka
panjang,
dengan
disertai
keberhasilan
dalam
3. Daya saing yang rendah (nilai-nilai dimasyarakat tidak mendukung daya saing
dan globalisasi, kualitas wiraswasta dan kemampuan marketing yang rendah,
produktivitas menyeluruh yang rendah)
4. Infrastruktur lemah (pendidikan dan kesehatan yang kurang, perlindungan hak
patent dan cipta lemah, penegakan hukum lingkungan hidup yang lemah,
biaya telekomunikasi internasional yang mahal, anggaran yang mahal,
kurangnya alih teknologi, kurang ahli teknologi informasi).
Untuk itu perlu dilakukan penguatan perekonomian domestik dengan
orientasi dan daya saing global. Secara makro teori globalisasi ekonomi dapat
diartikan sebagai sebuah teori yang didasarkan atas asumsi perdagangan bebas
atau pasar bebas di seluruh dunia, tanpa adanya hambatan baik dalam bentuk
tarif atau non tarif (Wibowo, 2004). Namun secara mikro, globalisasi ekonomi
dapat diartikan sebagai sebuah inisiatif bisnis yang didasarkan atas kepercayaan
bahwa dunia telah menjadi sedemikian homogen, seiring dengan makin
mengaburnya perbedaan nyata antar pasar domestik. Sedangkan mengenai
kerjasama regional, (Hamdy Hadi, 2001) mengemukakan bahwa kerja sama
ekonomi dan keuangan, khususnya di bidang perdagangan internasional, saat ini
mengarah pada pembentukan kerja sama guna mewujudkan integrasi ekonomi
dan keuangan secara regional.
2.3 Prospek Kakao Indonesia
Kakao atau cokelat merupakan tanaman industri perkebunan, pohon
yang dikenal di Indonesia sejak tahun 1560 ini baru menjadi komoditi yang
penting sejak tahun 1951. Pemerintah Indonesia mulai menaruh perhatian dan
mendukung industri kakao pada tahun 1975, setelah PT Perkebunan VI berhasil
menaikkan produksi kakao per hektar melalui penggunaan bibit unggul Upper
Amazon Interclonal Hybrid, yang merupakan hasil persilangan antar klon dan
sabah. Tanaman tropis tahunan ini berasal dari Amerika Selatan. Penduduk
Maya dan Aztec di Amerika Serikat dipercaya sebagai perintis pengguna kakao
dalam makanan dan minuman. Sampai pertengahan abad ke XVI, selain bangsa
di Amerika Selatan , hanya bangsa Spanyol yang me ngenal tanaman kakao.
Dari Amerika Selatan tanaman ini menyebar ke Amerika Utara, Afrika dan Asia.
10
daya saing yang kuat. Semakin tinggi nilai RCA komoditi, maka semakin tangguh
daya saing produk tersebut, sehingga disarankan untuk terus dikembangkan
dengan melakukan spesialisasi pada komoditi tersebut.
Salah satu indikator yang dapat menunjukkan perubahan keunggulan
komparatif adalah RCA index. Indeks ini menunjukkan perbandingan antara
pangsa ekspor komoditas atau sekelompok komoditas suatu negara terhadap
pangsa ekspor komoditas tersebut dari seluruh dunia. Dengan kata lain indeks
RCA menunjukkan keunggulan komparatif atau daya saing ekspor dari suatu
negara dalam suatu komoditas terhadap dunia.
Bila hasil indeks RCA dari suatu negara untuk komoditas tertentu lebih
besar dari 1, maka berarti negara yang bersangkutan mempunyai keunggulan
komparatif di atas rata-rata dunia dalam komoditas tersebut. Sebaliknya, bila
hasilnya lebih kecil dari 1 berarti keunggulan komparatif untuk komoditas
tersebut rendah atau di bawah rat-rata dunia.
daripada permintaan dalam negeri. Dengan kata lain, untuk komoditi tersebut,
pada tahap ini negara tersebut lebih banyak mengimpor daripada mengekspor.
3.6 Upaya-upaya Peningkatan Daya Saing Kakao Indonesia
Strategi
peningkatan daya
saing
dilakukan
antara
lain
melalui
Abstraksi Analisis Daya Saing Produk Alas Kaki Indonesia di Pasar Amerika Serikat, Aksamil, Khair,
Perpustakan UI, dalam www.digilib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-71570.pdf
12
III.
PEMBAHASAN
Fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah mengana lisis daya saing
kakao Indonesia dengan beberapa negara. Ada tiga hal yang menjadi fokus
analisis komoditi kakao Indonesia dengan melihat tren dari hasil RCA, IKP dan
ISP.
RCA digunakan untuk mengetahui tingkat daya saing kakao Indonesia.
Untuk mengetahui kerentanan komoditas kakao dipergunakan IKP, sedangkan
ISP yang digunakan untuk mengetahui negara Indonesia termasuk katagori
eksportir atau importir untuk komoditi tersebut.
Sebagai pedoman penentuan daya saing komoditi kakao Indonesia agar
memiliki keunggulan meningkat maka diperlukan tiga persyaratan antara lain
sebagai berikut mempunyai daya saing tinggi dengan nilai RCA tinggi,
mempunyai nilai IKP rendah dan mempunyai nilai ISP tinggi dimana hal ini
merupakan persyaratan sebagai negara eksportir.
3.1 Sumbangan Ekspor Kakao Terhadap Ekspor Nasional
Saat ini Indonesia terus menggiatkan ekspor non migas. Tercatat nilai
ekspor produk-produk non migas Indonesia terus mengalami peningkatan
menandingi ekspor migas. Sampai dengan tahun 2011 ternyata ekspor migas
sebesar 29,64 persen dari total ekspor nasional yang nilainya sebesar US$ 46,8
milyar. Sedangkan ekspor komoditas non migas mencapai sebesar 71,26
persen.
Bila kita lihat komoditas ekspor kakao selama sepuluh tahun terakhir
ternyata kontribusi terhadap total ekspor nasional masih kecil yaitu rata-rata
sebesar 1,04 persen. Tercatat nilai ekspor kakao tahun 2011 mencapai US$ 1,3
milyar, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
13
maupun kuantitas ekspornya tentu saja bila daya saing produknya juga
meningkat.
Sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2011, kakao terus mengalami
peningkatan sharenya terhadap ekspor nasional. Rata-rata sharenya terhadap
ekspor nasional adalah sebesar 1 persen. Untuk tahun 2011 kontribusi terhadap
ekspor nasional sebesar 1,04 persen. Dan ke depan kontribusi ini dapat
ditingkatkan
Tabel 1
Nilai Ekspor Impor Kakao dan Produk Kakao Indonesia Tahun 2002-2011 (juta US$)
Uraian/Tahun
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Ekspor Indonesia
701
624
549
668
855
924 1.269 1.413
Impor Indonesia
64
81
86
85
76
83
119
121
Ekspor Malaysia
239
330
445
514
568
757 1.003
918
Ekspor Pantai Gading 2.297 2.251
2.182 2.060 2.035
2.205 2.807 3.724
Ekspor Ghana
*)
840
1.071
892 1.241
1.053 1.042 1.158
Ekspor Brazil
207
321
320
387
362
365
401
352
Total ekspor dunia
14.375 17.965 20.166 20.805 22.984 27.287 32.233 33.865
Sumber : Bloomberg, 2012, diolah. Ket: *) tidak ada data. Pembulatan ke atas.
2010
2011
1.644 1.345
165
176
1.303 1.378
3.827 4.159
976 2.294
417
421
37.815 33.334
nilai
tambah
ekspor,
salah
satunya
melalui
fermentasi.
Diperkirakan bila melalui fermentasi nilai tambah ekspor kakao perkg bertambah
Rp 3000. Saat ini di dalam negeri harga kakao berkisar antara Rp 15.000 perkg
sampai dengan Rp 24.000 perkg.
Hambatan ekspor saat ini yang banyak dikeluhkan para pelaku kakao
adalah diterapkannya Bea Keluar. Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu)
menyantumkan tarif bea keluar ekspor biji kakao bila harga 2.000-2.750 dollar
AS per ton dikenai pajak 5 persen. Untuk harga 2.750-3.500 dollar AS per ton,
dikenai pajak 10 persen, sedangkan harga diatas 3.500 dollar AS per ton maka
15
bea keluarnya 15 persen. Harga ekspor ini disesuaikan dengan fluktuasi tarif
internasional dari bursa berjangka di New York.
3.3 Daya Saing Kakao Indonesia
Menurut Buku Tarif Bea Masuk Indonesia/Harmonized System (HS) 2 digit
maka kakao bernomor HS 18. Komoditas ini merupakan komoditas unggulan
Indonesia yang mempunyai daya saing cukup bagus karena memiliki RCA lebih
besar dari 1.
Sepuluh tahun terakhir keunggulan komparasi kakao Indonesia rata-rata
diatas 4, yang berarti daya saing ekspor kakao Indonesia cukup bagus. Namun
tahun 2011 mengalami penurunan menjadi 2,75 yang hampir sama dengan RCA
Malaysia yang sebesar 2,52. RCA Indonesia dan Malaysia ini sangat jauh
dengan RCA negara Pantai Gading yang menguasai pasar dunia ataupun
dengan Ghana. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2, sebagai berikut :
Tabel 2
RCA Kakao Indonesia dan Beberapa Negara Eksportir Lainnya Tahun 2002-2011
Uraian / Tahun
2002 2003
2004 2005
RCA Indonesia
5,30
4,13
3,36
3,73
RCA Pantai Gading
199,8 170,9 145,0 135,8
RCA Ghana
*) 146,2
191,1 139,4
RCA Malaysia
1,10
1,27
1,54
1,73
RCA Brazil
1,48
1,77
1,45
1,56
Sumber : Bloomberg, 2012, diolah. *) data tidak tersedia
2006
4,29
126,2
173,6
1,79
1,33
2007
3,93
132,4
144,5
2,09
1,10
2008
4,39
136,1
129,7
2,39
0,96
Spesialisasi
Perdagangan
(ISP)
merupakan
indeks
yang
Demikian juga
Index (HHI)
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
HHI Indonesia
0,31
0,36
0,38
0,37
0,35
0,34
0,39
0,38
0,37
0,34
ISP Indonesia
0,83
0,77
0,73
0,77
0,84
0,84
0,83
0,84
0,82
0,77
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
-1,00
0,99
0,99
1,00
1,00
0,99
0,99
0,99
0,99
0,99
ISP Malaysia
0,16
0,01
0,08
0,09
-0,13
-0,07
-0,12
0,02
0,06
0,03
ISP Brazil
0,25
0,39
0,58
0,54
0,47
0,26
0,30
0,12
0,20
0,24
ISP Ghana
17
dalam
permodalan.
Sedangkan
dari
sisi
demand
berupa
daya saing usaha dan produk yang dihasilkan. Upaya peningkatan produktivitas
kebun dan efisiensii usaha produk dari kakao serta peningkatan kualitas bahan
olahan.
Ada beberapa strategi peningkatan daya saing kakao Indonesia, antara
lain adalah sebagai berikut :
(1) Program Gerakan Kakao Nasional
Program ini dimaksudkan sebagai gerakan nasional untuk meningkatkan
produksi dan kualitas kakao nasional. Peningkatan produksi dapat dilakukan
melalui perluasan lahan tanaman kakao, yang dicanangkan 450 ribu hektar,
yang bukan saja terkonsentrasi di wilayah Sulawesi saja tetapi ke beberapa
wilayah lainnya seperti wilayah Sumatra, Nusa Tenggara Barat, Bali dan
Papua. Program ini mempunyai tiga kegiatan yaitu peremajaan tanaman
kakao, rehabilitasi lahan dan intensifikasi melalui pemberian bantuan kepada
petani berupa bibit unggul, pupuk dan sarana produksi lainnya.
(2) Peningkatan mutu produk kakao
18
infrastruktur
diperlukan
guna
percepatan
dan
produktivitas
dan kreativitas
kerja..
Untuk
itu guna
4. 1 Simpulan
ekspor nasional sebesar 1 persen. Demikian juga nilai impor komoditas ini
terus mengalami tren naik, rata-rata impornyapun mengalami peningkatan
terutama dari produk-produk turunan kakao.
2. Daya saing komoditas kakao Indonesia cukup tinggi. Sepuluh tahun
terakhir dari 2002 sampai dengan 2011 rata-rata RCAnya diatas 4. Tahun
2011 RCA terjadii penurunan menjadi sebesar 2,75, namun tetap masih
diatas 1. Penurunan tersebut disebabkan nilai ekspor tahun 2011 juga
terjadi penuruanan. Dari hasil ISP, didapat rata-ratanya sebesar 0,80 atau
mendekati 1, hal ini berarti spesialisasi Indonesia sebagai pengekspor
komoditas kakao.
3.
4.
bagi
pelaku
usaha
kakao
Indonesia.
Namun
demikian
21
22
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Syamsul , Ediana Rae, Dian dan Joseph PR. Charles, 2007, Kerja Sama
Perdagangan Internasional, Peluang dan Tantangan bagi Indonesia,
Penerbit PT Elex media Komputindo, Jakarta
Baasir, Faisal, Indonesia Pasca Krisis, Catatan Politik dan Ekonomi 2003-2004,
2004, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
David S. Rubin, Richard I. Levin, 2006, Statistic for Management, Sevent Edition,
An Imprint of Pearson Education, New Delhi, India,
Deliarnov, 1995, Pengantar Ekonomi Makro. Jakarta, UI Press.
Frans, Hero K. Purba, Upaya Daya Saing dalam Perkembangan Kakao
Indonesia
dalam
Perdagangan
Internasional
dalam
http://heropurba.blogspot.com/2012/01/
upaya-daya-saing-dalamperkembangan.html
Hamdy, Hady. 2001. Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan Perdagangan
Internasional. Buku 1, Edisi Revisi Jakarta, Ghalia Indonesia.
Kuncoro, Mudrajat, 2007, Ekonomika Industri Indonesia Menuju Negara Industri
baru 2030, Penerbit Andi Yogyakarta
Mankiw, N. Gregory, Teori Makroekonomi, edisi kelima, 2003, Harvard
University,
Penerbit Erlangga, Jakarta
Kotler Philip, Keller L. Kevin, Metodologi Penelitian:Aplikasi Dalam Pemasaran,
Jakarta 2006.
Porter, Michael A. Competitive Advantage: Creating and sustaining superior
performance, New York: The Free Press, 1985.
Rahardja Prathama, Manurung Mandala, 2005, Teori Ekonomi Makro suatu
pengantar, edisi ketiga, LPFEUI, Jakarta
Subiyanto, Heru dan Riphat, Singgih, 2004, Kebijakan, Fiskal, Pemikiran Konsep
dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Salvatore, Dominick, 1992, Ekonomi Internasional, Teori dan Soal-Soal, Penerbit
Erlangga, Jakarta
23
24