Bentuk Granula
Pati dalam tanaman mempunyai bentuk granula (butir) yang berbeda-beda.
Dengan menggunakan mikroskop, jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai
bentuk, ukuran, letak hilum yang unik, dan juga dengan sifat birefringent-nya.
Distribusi ukuran granula pati berpengaruh terhadap kekuatan pembengkakan pati.
Ukuran granula pati yang kecil menyebabkan kekuatan pembengkakannya rendah.
Bentuk mikroskopis granula menandakan sumber patinya. Bentuk dan ukuran
granula pati dipengaruhi oleh sifat biokimia dari kloroplas atau amyloplasnya.
Sifat birefringence adalah sifat granula pati yang dapat merefleksi cahaya
terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop polarisasi membentuk bidang
berwarna biru dan kuning (Astuti 2013).
Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang dalam
air panas. Apabila suspensi pati dipanaskan sampai suhu 60-70 oC, granula pati
yang berukuran relatif besar akan membengkak sangat cepat. Jika suhu
pemanasan terus meningkat, granula yang lebih kecil ikut membengkak hingga
seluruh granula pati membengkak secara maksimal. Pembengkakan ini terjadi
akibat energi panas yang akan menyebabkan ikatan hidrogen terputus, dan air
masuk ke dalam granula pati. Air yang masuk selanjutnya membentuk ikatan
hidrogen dengan amilosa dan amilopektin. Meresapnya air ke dalam granula
menyebabkan terjadinya pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan
meningkat sampai batas tertentu sebelum akhirnya granula pati tersebut pecah.
Pecahnya granula menyebabkan bagian amilosa dan amilopektin berdifusi keluar.
Proses masuknya air ke dalam pati yang menyebabkan granula mengembang dan
akhirnya pecah disebut dengan gelatinisasi, sedangkan suhu dimana terjadinya
gelatinisasi disebut dengan suhu gelatinisasi (Pratiwi 2014).
Ukuran granula pati berkaitan dengan seberapa banyak air yang dapat
ditampung ketika pati mengalami proses pemanasan. Semakin besar ukuran
granula, maka air yang dapat ditampung akan semakin besar. Hal ini terkait
dengan kapasitas penyimpanan air yang dimiliki pati dan mempengaruhi sifat
pemasakan pati (Makfud 1982). Pengamatan bentuk granula pati pada praktikum
ini dilakukan terhadap beberapa jenis pati yaitu pati singkong, kacang hijau,
ganyong, ubi jalar putih, sagu, dan kentang. Berdasarkan hasil pengamatan yang
telah dilakukan, terdapat variasi bentuk dari granula masing-masing pati yang
diamati.
Menurut Kalsum dan Surfiana (2013), perbedaan ukuran granula pada pati
singkong dapat dipengaruhi oleh kondisi dan waktu panen singkong. Ukuran
granula pati singkong umumnya berukuran 4-35 m, berbentuk oval, kerucut
dengan bagian atas terpotong, dan seperti kettle drum. Banyak granula-granula
pada pati singkong menunjukkan keberadaan hilum di bagian tengahnya.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, bentuk granula dari pati singkong
yang dihasilkan adalah berbentuk oval dengan ukuran yang besar. Ukuran granula
yang besar pada pati singkong menyebabkan lebih tingginya kemampuan granula
untuk menyerap air.
Menurut Astuti (2013), bentuk granula pati kacang hijau adalah oval
hingga bulat dengan diameter butiran 7-26 m. Pati kacang hijau memiliki ukuran
pembentukan gel. Selain itu, semakin rapat granula pati membuktikan bahwa pati
masih belum terjadi pemecahan granula pada pati (Astuti 2013).
Kadar Pati
Pati memiliki bentuk kristal, bergranula yang tidak larut dalam air pada
temperatur ruangan, dan memiliki ukuran dan bentuk tergantung pada jenis
tanamannya. Pati digunakan sebagai pengental dan penstabil dalam makanan. Pati
alami (native) mudah mengalami sineresis (pemisahan air dari struktur gelnya)
akibat terjadinya retrogradasi pati, terutama selama penyimpanan dingin.
Retrogradasi terjadi karena kecenderungan terbentuknya ikatan hidrogen dari
molekul-molekul amilosa dan amilopektin selama pendinginan sehingga air akan
terpisah dari struktur gelnya. selain itu, pati alami juga memiliki kestabilan dan
ketahanan pasta yang rendah( Winarno 2002).
Kadar pati dari suatu bahan pangan dapat diketahui dengan menggunakan
metode Luff Schoorl. Prinsip dari penetapan kadar pati dengan metode Luff
Schoorl adalah gula pereduksi (glukosa dan matosa) dapat mereduksi Cu 2+
menjadi Cu+. Kemudian sisa Cu2+ yang tidak tereduksi dititrasi secara iodometrik.
Jumlah Cu2+ asli ditentukan dalam suatu percobaan blanko dan dari penetapannya
dapat ditentukan jumlah gula dalam suatu bahan pangan yang dianalisis. Kadar
pati merupakan kriteria mutu dan kualitas dari pati murni yang dihasilkan (Krisna
2011). Pada praktikum ini dilakukan uji kadar pati pada berbagai jenis tepung
yang meliputi tepung ketan hitam, tepung ubi jalar ungu, tepung ubi jalar merah,
tepung pisang, tepung talas, dan tepung kacang hijau.
Ketan hitam memiliki kadar pati yang tinggi yaitu sekitar 80-85%. Ketan
hitam juga mengandung protein, vitamin (terutama pada bagian aleuron), mineral,
dan air. Tepung ketan memiliki amilopektin yang lebih besar dibandingkan
dengan tepung-tepung lain. Amilopektin inilah yang menyebabkan tepung ketan
hitam lebih pulen dibandingkan dengan tepung lainnya. Makin tinggi kandungan
amiloktin pada pati maka makin pulen pati tersebut (Soeharto 2012). Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan, kadar pati yang dihasilkan berbeda signifikan
dengan literatur tersebut yaitu hanya sebesar 38,19%. Hasil yang berbeda ini dapat
disebabkan akibat perubahan warna yang berbeda antar kelompok karena tidak
adanya ketetapan warna hasil titrasi. Selain itu, hasil praktikum ini menunjukkan
bahwa tepung ketan hitam yang digunakan memiliki kandungan pati yang lebih
rendah dari ketan hitam pada umumnya.
Kadar pati tepung pisang umumnya memiliki rentang antara 65,98 70,29%. Tepung pisang dengan perlakuan pemanasan menyebabkan turunnya
kadar pati dari tepung tersebut hingga rentang 62,12-64,81%. Pemanasan
menyebabkan reduksi kandungan pati akibat gelatinisasi pati. Gelatinisasi pati ini
menyebabkan substansi kerusakan pati yang menunjukkan peningkatan level
kerusakan pati. Peningkatan level kerusakan pati berkorelasi positif dengan
peningkatan daya cerna dan kadar amilosa (Jenie et al 2012). Pada praktikum ini,
kadar pati tepung pisang yang digunakan berbeda signifikan dengan tepung pisang
literatur yaitu memiliki kadar pati sebesar 34,2%. Hasil yang berbeda ini dapat
disebabkan akibat perubahan warna yang berbeda antar kelompok karena tidak
adanya ketetapan warna hasil titrasi. Selain itu, hasil praktikum ini menunjukkan
bahwa tepung pisang yang digunakan memiliki kandungan pati yang lebih rendah
dari tepung pisang pada umumnya.
Viskositas
Viskositas atau kekentalan adalah daya alir bahan terhadap suatu gaya
maupun tekanan. Peningkatan penggelembungan granula oleh pengaruh panas
akan meningkatkan viskositas suspensi pati sampai mencapai tingkat
pengembangan maksimum atau viskositas maksimum (VM) yaitu viskositas
puncak pada saat pati terjadi gelatinasi sempurna. Makin besar kemampuan
mengembang granula pati maka viskositas pasta makin tinggi dan akhirnya akan
menurun kembali setelah pecahnya granula pati. Suspensi pati bila dipanaskan,
granula-granula akan menggelembung karena menyerap air dan selanjutnya
mengalami gelatinasi dan mengakibatkan terbentuknya pasta yang ditandai
dengan kenaikan viskositas pasta. Kenaikan viskositas ini disebabkan oleh
terjadinya penggelembungan granula pati khususnya amilosa. Proses ini berlanjut
terus hingga viskositas puncak pasta tercapai, kemudian viskositas menurun
akibat gaya ikatan antara granula-granula pati yang telah mengembang dan
tergelatinasi menjadi berkurang oleh pemanasan yang tinggi dan pengadukan yang
keras (Imanningsih 2011).
Selain itu, akibat pemanasan ini struktur granula pati juga pecah sehingga
menyebabkan penurunan viskositas pasta serta stabilitas viskositas pasta rendah.
Ketahanan viskositas pasta pati terhadap gaya gesekan atau pengadukan berbeda
untuk setiap jenis pati tergantung pada kekuatan ikatan hydrogen granula pati. Pati
yang berasal dari akar, umbi dan pati amilosa rendah bila dimasak, granula
patinya sangat mudah mengembang dan mudah pecah sehingga penurunan
viskositasnya sangat besar dan menghasilkan pasta yang encer. Sebaliknya pati
yang berasal dari serealia (jagung, gandum, sorgum dan beras), pemasakannya
lebih lambat, pengembangan granula lebih rendah dan menunjukkan ketahanan
yang lebih besar untuk melawan penurunan viskositas akibat pengadukan.
Besarnya penurunan viskositas pasta setara dengan kemampuan mengembang dan
kelarutan granula pati (Amin 2013).
Sifat viskositas beberapa macam pati dapat diamati dan dibandingkan
dengan menggunakan alat Rapid Visco analyzer (RVA) untuk mengevaluasi sifatsifat gelatinisasi pati selama proses pemasakan. RVA ini mengukur apparent
viscosity berdasarkan rasio antara shear stress dan shear rate. Apparent viscosity
berubah seiring dengan fungsi temperatur, gesekan, waktu dan jenis sampel. Data
apparent viscosity diperoleh pada tingkat gesekan yang berbeda, berupa jumlah
putaran per menit (rpm). Data ini dapat digunakan untuk mengkarakterisasi sifat
dari larutan pati (Noviasari et al 2013).
Kurva yang dihasilkan oleh RVA memiliki karakteristik yang sangat khas.
Sumbu x pada kurva ini adalah waktu, sedangkan sumbu y adalah viskositas
(mPas). Selama pengukuran, cairan dipanaskan sambil diaduk. Gaya tahan cairan
terhadap baling-baling pemutar diukur sebagai viskositas. Ada fase-fase dalam
pengukuran dengan menggunakan RVA. Pada fase pertama kurva, suhu masih
berada di bawah suhu gelatinisasi pati, sehingga viskositas yang terukur rendah.
Pada fase kedua, suhu lalu ditingkatkan secara perlahan sampai mencapai suhu
gelatinsasi pati, yaitu suhu di mana granula pati mulai membengkak dan
viskositas meningkat. Peningkatan suhu dan viskositas ini dikenal dengan istilah
suhu puncak dan viskositas puncak (peak viscosity) (Jannah 2013).
menunjukkan tingginya tingkat kekentalan dari suatu pati. Pati yang memiliki
tingkat kekentalan yang sama dapat digunakan untuk substitusi satu sama lain
(Imanningsih 2011).
Kejernihan Pasta
Pada saat terjadi gelatinasi akibat panas, maka suspensi pati yang mulamula buram berangsur-angsur berkurang dan akhirnya menjadi jernih. Tingkat
kejernihan pasta berhubungan langsung dengan pengembangan granula pati.
Makin besar kemampuan mengembang granula pati maka pasta yang diperoleh
lebih jernih, sebaliknya bila granula pati yang mengembang sedikit maka pasta
yang dihasilkan menjadi buram. Kejernihan pasta juga berhubungan langsung
dengan keadaan dispersi dan kecenderungan terjadinya gelatinasi ((Krisna 2011)).
Pratiwi (2014) mengemukakan bahwa perubahan granula pati dan struktur
molekul oleh hidroksipropilasi dapat memfasilitasi penetrasi air dan absorbsi
granula pati, sehingga menyebabkan pati mudah menggelembung dan
meningkatkan kejernihan pasta. Hal ini berarti tersubtitusinya gugus
hidroksipropil ke dalam granula pati, dapat menghambat terjadinya retrogradasi,
yang berpengaruh pada kejernihan pasta pati. Meningkatnya kejernihan pasta pati
disebabkan karena masuknya gugus subtitusi hidrofilik, yang mana menahan
molekul air untuk membentuk ikatan hidrogen pada granula pati.
Mekanisme ini dapat dijelaskan sebagai berikut, pasta pati yang
dipanaskan sampai melampaui suhu gelatinisasinya akan menyebabkan
terlarutnya amilosa dari bagian pati ke bagian air. Pati yang tidak dimodifikasi
memiliki suhu gelatinisasi yang paling tinggi diikuti dengan pati terasetilasi.
Apabila kedua jenis pati ini dipanaskan hingga melampaui suhu gelatinisasi pati
asalnya, maka amilosa yang terlarut pada pati yang dimodifikasi lebih banyak
dibandingkan pati yang tidak dimodifikasi. Dalam hal ini pati terasetilasi memiliki
amilosa terlarut paling banyak. Bila suhu pasta pati kemudian diturunkan hingga
25C, amilosa terlarut cenderung berestrukturisasi/saling bergabung dengan
amilosa yang lain (dikenal sebagai proses retrogradasi). Oleh karena itu, saat
dianalisa dengan spektrofotometer, pada pasta pati yang dimodifikasi terdapat
lebih banyak partikel-partikel amilosa sehingga menyerap lebih banyak sinar.
Akibatnya adalah pasta pati yang dimodifikasi memiliki tingkat kekeruhan yang
lebih tinggi daripada pati yang tidak termodifikasi (Amin 2013).
Kejernihan pasta pati digunakan untuk melihat tendensi retrogradasi yang
terjadi pada pasta pati. Apabila pasta pati dibiarkan mendingin, lama kelamaan
akan menjadi buram, karena proses retrogradasi dan akan dipercepat pada suhu
rendah. Pati yang telah dimasak umumnya memiliki ciri khas rasa netral,
kejernihan yang tinggi, kekuatan mengikat yang tinggi, tekstur baik dan
kecenderungan minim terjadinya busa atau perubahan warna menjadi kuning pada
larutan tersebut (Armanto dan Nurasih 2008).
Penelitian Jannah (2013) melaporkan pati yang memiliki nilai kejernihan
pasta tinggi menghasilkan pasta pati dengan warna yang bening atau transparan,
sehingga jika digunakan sebagai bahan baku akan menghasilkan produk dengan
warna yang jernih atau transparan. Proses pemanasan yang dilakukan berulangulang dapat mempengaruhi kejernihan pasta. Semakin banyak pemanasan yang
terjadi menyebabkan kejernihan pasta pati cenderung menurun. Pada praktikum
ini dilakukan pengukuran kejernihan pasta pati meliputi pati singkong, pati
kacang hijau, pati ubi jalar putih, pati ganyong, pati sagu, dan pati kentang.
Pada praktikum ini, tingkat kejernihan pasta dilakukan dengan mengukur
tingkat kekeruhan dengan menggunakan alat spektrofotometer. Semakin tinggi
nilai transmittan, menunjukkan bahwa suatu bahan memiliki warna yang semakin
keruh yang berarti memiliki kejernihan yang semakin rendah. Perhitungan
kejernihan pasta yang dilakukan menghasilkan bahwa tepung yang memiliki
kejernihan paling tinggi dimiliki oleh pati kacang hijau dengan prosentase
transmittan sebesar 27,1%. Kejernihan pasta terendah yang berarti memiliki warna
paling keruh dan nilai transmittan paling tinggi berdasarkan hasil praktikum
dimiliki oleh pati kentang dengan prosentase sebesar 75%. Pasta lain yang
memiliki kekeruhan tinggi adalah tepung sagu yang memiliki nilai transmittan
sebesar 71%. Pati yang diamati lainnya yaitu pati ganyong, singkong, dan ubi
jalar putih memiliki tingkat kekeruhan pada selang 35-55%.
serealian yang memiliki tingkat kelarutan yang rendah dilakukan terhadap pati
kacang hijau.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kalsum dan Surfiana (2013),
nilai kelarutan ubi kayu berkisar antara 55,12 % - 81,36 %. Hasil pengujian juga
menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi dan suhu pemanasan sangat
memengaruhi karakteristik kelarutan dalam air pati ubi kayu. Dibandingkan
dengan pati asal, dekstrin (produk turunan pati) memiliki kelarutan dalam air yang
lebih tinggi dan kekentalan yang lebih rendah. Nilai kelarutan ubi kayu yang
dilakukan pada praktikum memiliki nilai yang tidak berbeda signifikan dengan
literatur tersebut yaitu sebesar 76.7%.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Ladamay dan Yuwono
(2014), kelarutan kacang hijau dalam air sebesar 19,04%. Hal ini dikarenakan pati
yang berasal dari serealia memiliki derajat ikatan antar molekul pati sehingga
memiliki kelarutan yang rendah. Hasil praktikum menunjukkan bahwa pati
kacang hijau memiliki nilai kelarutan yang berbeda signifikan dengan hasil
penelitian tersebut, yaitu sebesar 83.3%. Hasil yang menyimpang ini dapat terjadi
akibat suhu pemanasan dan pengadukan yang tidak bisa dijaga konstan sehingga
proses pelarutan pati dalam air kurang sempurna.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan oleh Wigati dan Putri
(2015), kelarutan pati ubi jalar putih pada suhu 60 oC memiliki kelarutan 66.576.20%, pada suhu 70oC berkisar antara 73,23-80,29% dan Pada suhu 80 oC
berkisar antara 72,28-80,15%. Semakin tinggi suhu yang digunakan, maka ikatan
antar molekul pati dapat diputus sehingga menghasilkan kelarutan yang makin
tinggi. Pada praktikum ini, dilakukan kelarutan pati ubi jalar putih pada suhu 70
o
C dan menghasilkan kelarutan berbeda signifikan dengan literatur yaitu sebesar
43.3%. Hasil yang menyimpang ini dapat terjadi akibat suhu pemanasan dan
pengadukan yang tidak bisa dijaga konstan sehingga proses pelarutan pati dalam
air kurang sempurna.
Dari keseluruhan pengamatan kelarutan pati yang telah dilakukan, hasil
praktikum menunjukkan bahwa kelarutan tertinggi dimiliki oleh pati kacang hijau
yaitu sebesar 83,33%. Kelarutan terendah pada praktikum ini dimiliki oleh pati
sagu yaitu sebesar 20%. Hasil ini menyimpang dengan literatur dari Pratiwi
(2014) yang menyebutkan bahwa serealia memiliki kelarutan yang rendah akibat
ikatan antar molekul pati yang kuat.
Daya Serap Air (Swelling Power)
Swelling power merupakan kenaikan volume dan berat maksimum pati
selama mengalami pengembangan di dalam air. Swelling power menunjukkan
kemampuan pati untuk mengembang dalam air. Swelling power yang tinggi
menunjukkan semakin tinggi pula kemampuan pati mengembang dalam air. Nilai
swelling power perlu diketahui untuk memperkirakan ukuran atau volume wadah
yang digunakan dalam proses produksi sehingga jika pati mengalami swelling,
wadah yang digunakan masih bisa menampung pati tersebut (Amin 2013).
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya serap pati dalam air antara lain
rasio amilosa-amilopektin, distribusi berat molekul dan panjang rantai, serta
derajat percabangan dan konformasinya. Semakin besar sweeling power berarti
semakin banyak air yang diserap selama pemasakan. Hal ini berkaitan dengan
kandungan amilosa dan amilopektin yang terkandung dalam tepung. Semakin
tinggi kadar amilosa maka nilai pengembangan volume akan semakin tinggi. Hal
itu karena dengan kadar amilosa yang tinggi maka akan menyerap air lebih
banyak sehingga pengembangan volume juga semakin besar. Sifat swelling pada
pati sangat tergantung pada kekuatan dan sifat alami antar molekul di dalam
granula pati, yang juga tergantung pada sifat alami dan kekuatan daya ikat granula
(Krisna 2011).
Swelling power terjadi karena adanya ikatan nonkovalen antara molekulmolekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan
menyerap air dan membengkak. Namun demikian, jumlah air yang terserap dan
pembengkakannya terbatas. Ketika granula pati dipanaskan dalam air, granula pati
mulai mengembang (swelling). Swelling terjadi pada daerah amorf granula pati.
Ikatan hidrogen yang lemah antar molekul pati pada daerah amorf akan terputus
saat pemanasan, sehingga terjadi hidrasi air oleh granula pati. Granula pati akan
terus mengembang, sehingga viskositas meningkat hingga volume hidrasi
maksimum yang dapat dicapai oleh granula pati. Ketika molekul pati sudah benarbenar terhidrasi, molekul-molekulnya mulai menyebar ke media yang ada di
luarnya dan yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang memiliki
rantai pendek. Semakin tinggi suhu maka semakin banyak molekul pati yang akan
keluar dari granula pati. Selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati,
sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak
mengeluarkan amilosa (Setiawan 2011). Selain itu, Jenie et al (2012) juga
melaporkan selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati
dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak mengeluarkan
amilosa.
Swelling power juga dipengaruhi oleh ikatan antarmolekul penyusun pati.
Dengan masuknya air ke dalam molukul pati, ikatan antar molekul pati akan
melemah sehingga nilai swelling power pati lebih tinggi daripada pati alami.
Hasil penelitian Hardiyanti et al (2013) mengatakan bahwa semakin kecil
perbandingan pati dan air, maka semakin besar nilai swelling power. Selain itu,
Swelling power juga dipengaruhi oleh keberadaan gugus amilosa sebagai salah
satu komponen penyusun pati. Semakin lama waktu proses, maka semakin banyak
amilosa yang tereduksi, sehingga penurunan jumlah amilosa tersebut
mengakibatkan kenaikan swelling power. Menurut Winarno (2002), kandungan
amilosa dan amilopektin juga akan berhubungan dengan daya serap air. Pati
dengan kadar amilosa tinggi, dapat menyerap dan melepaskan air lebih cepat.
Selain menyerap air lebih banyak, pati dengan kadar amilosa yang tinggi memiliki
daya kembang yang lebih besar saat dimasak,s sehingga sering digunakan untuk
produk ekstrusi.
Faktor lain yang berpengaruh adalah rentang ukuran granula pati yang
terkecil dimiliki oleh pati gandum (2-35m), diikuti dengan kapasitas penyerapan
air yang paling kecil pula (40-42%). Semakin kecil ukuran granula pati, kapasitas
penyerapan air semakin sedikit, dan menghasilkan nilai swelling index yang
semakin rendah (Pratiwi 2014).
Pada praktikum ini dilakukan pengujian swelling power terhadap beberapa
pati yaitu pati singkong, pati kacang hijau, pati ubi jalar putih, pati sagu, pati
ganyong, dan pati kentang. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Armanto dan Nurasih (2008), nilai daya serap air ubi kayu berkisar antara 71%.
Pada praktikum ini, nilai swelling power yang dihasilkan pada pengamatan ubi
Amin Nur Azizah. 2013. Pengaruh Suhu Fosforilasi Terhadap Sifat Fisikokimia
Pati Tapioka Termodifikasi. Skripsi. Program Studi Ilmu Dan Teknologi
Pangan, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas
Hasanuddin, Makassar
Armanto Rosida dan Nurasih Anita Sawitri. 2008. Kajian Konsentrasi Bakteri
Asam Laktat dan Lama Fermentasi pada Pembuatan Tepung Pati Singkong
Asam. Jurnal Agroteknologi, Volume 28, Nomor 3.
Astuti Yuli. 2013. Pengetahuan Bahan Pangan : Granula Pati. Tugas Terstruktur.
Purwokerto (ID): Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Jurusan
Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman.
Darmajana DA. 2011. Pengaruh Konsentrasi Starter dan Konsentrasi Karagenan
terhadap Mutu Yoghurt Nabati Kacang Hijau. Prosiding SnaPP2011 Sains,
Teknologi, dan Kesehatan. Bandung : Balai Besar pengembangan teknologi
tepat guna-LIPI.
Hardiyanti Rini, Rusmarilin Herla, dan Karo-Karo Terip. 2013. Karakteristik
Mutu Mie Instan dari Tepung Komposit Pati Kentang Termodifikasi, Tepung
Mocaf, dan Tepung Terigu dengan Penambahan Garam Fosfat. Jurnal
Rekayasa Pangan dan Pertanian, Volume 1, Nomor 3.
Imanningsih Nelis. Profil Gelatinisasi Beberapa Formulasi Tepung-Tepungan
untuk Pendugaan Sifat Pemasakan. Jurnal Penel Gizi Makan Volume
35Nomor 1: halaman 13-22.
Jannah Miftakhul. 2013. Perbedaan Sifat Fisik Dan Kimia Yoghurt Yang Dibuat
dari Tepung Kedelai Full Fat dan Low Fat dengan Penambahan Penstabil
Pati Sagu pada Berbagai Konsentrasi. Skripsi. Surakarta (ID) : Program
Studi Transfer S1 Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Jenie Betty Sri Laksmi, Putra Reski Praja, dan Kusnandar Feri. 2012. Fermentasi
Kultur Campuran Bakteri Asam Laktat dan Pemanasan Otoklaf dalam
Meningkatkan Kadar Pati Resisten dan Sifat Fungsional Tepung Pisang
Tanduk (Musa Paradisiaca Formatypica). Jurnal Pascapanen Volume 9
Nomor 1: 18 26.
Kalsum Nurbani dan Surfiana. 2013. Karakteristik Dekstrin dari Pati Ubi Kayu
yang Diproduksi dengan Metode Pragelatinisasi Parsial. Jurnal Penelitian
Pertanian Terapan Volume 13 Nomor 1: halaman 13-23
Krisna Dimas Damar Adi. 2011. Pengaruh Regelatinasi dan Modifikasi
Hidrotermal terhadap Sifat Fisik pada Pembuatan Edible Film dari Pati
Kacang Hijau. Tesis. Semarang (ID): Program Studi Magister Teknik Kimia,
Universitas Diponegoro.
Ladamay Nidha Arfa dan Yuwono Sudarminto Setyo. 2014. Pemanfaatan Bahan
Lokal dalam Pembuatan Foodbars (Kajian Rasio Tapioka : Tepung Kacang
Hijau dan Proporsi CMC). Jurnal Pangan dan Agroindustri Volume 2 Nomor
1:67-78
Makfud Djarir. 1982. Deskripsi Pengolahan Hasil Nabati. Yogyakarta(ID):
Agritech.
Noviasari Santi, Kusnandar Feri, dan Budijanto Slamet. 2013. Pengembangan
Beras Analog dengan Memanfaatkan Jagung Putih. Jurnal Teknologi dan
Industri Pangan Volume 24 Nomor 2
Polnaya FJ, Talahatu J, Haryadi, dan Marseno DW. 2009. Karakterisasi Tiga Jenis
Pati Sagu (Metroxylon sp.) Hidroksipropil. Jurnal Agritech, Vol. 29, No. 2.
Pratiwi Arlinda. 2014. Pengaruh Konsentrasi Garam dan Lama Fermentasi
Spontan terhadap Pembengkakan Granula, Kelarutan, Nilai Rehidrasi,
Konsentrasi Terbentuknya Gel, Warna, dan Aroma Tepung Ubi Jalar Putih.
Skripsi. Lampung (ID) : Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas
Pertanian, Universitas Lampung.
Pusparani Tika, Sudarminto, dan Yuwono Setyo. 2014. Pengaruh Fermentasi
Alami pada Chips Ubi Jalar (Ipomoea batatas) terhadap Sifat Fisik Tepung
Ubi Jalar. Jurnal Pangan dan Agroindustri, Volume 2, Nomor 4 : 137-147
Ratnaningsih Nani, Nugraheni Mutiara, Handayani Titin Hera Widi dan Chayati
Ichda. 2011. Perbaikan Mutu dan Diversifikasi Produk Olahan Umbi
Ganyong dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan. Hasil Penelitian.
Yogyakarta (ID): Jurusan Pendidikan Teknik Boga dan Busana, Fakultas
Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta.
Setiawan Iwan. 2011. Pengaruh Tingkat Pencampuran Tepung Ubi Jalar Merah
dengan Bekatul Padi Terhadap Karakteristik Biskuit yang Dihasilkan.
Skripsi. Padang(ID): Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas Andalas.
Soeharto imam. 2012. Kajian pustaka : beras ketan hitam. [terhubung]
http://eprints.uny.ac.id/9312/3/BAB%202%20-09512134014.pdf (27 April
2015)
Wigati Peni dan Putri Widya Dwi Rukmi. 2015. Sifat Fisiko Kimia Tepung Ubi
Jalar Putih Termodifikasi Perendaman STPP (Kajian Konsentrasi dan Lama
Perendaman). Jurnal Pangan dan Agroindustri Volume 3 Nomor 1: 186-192
Winarno. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta(ID): Gramedia Pustaka Utama.
Witono JR, Kumalaputri AJ, Dan Lukmana HS. 2012. Optimasi Rasio Tepung
Terigu, Tepung Pisang, dan Tepung Ubi Jalar, serta Konsentrasi Zat Aditif
pada Pembuatan Mie. Hasil Penelitian. Bandung (ID): Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Katolik Parahayangan.
Yasni Sedarnawati, Widowati Sri, Agustinisari Iceu. 2009. Pemanfaatan Ubi Jalar
Ungu sebagai Bahan Produk Pangan Fungsional. Hasil penelitian. Bogor
(ID): Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Simpulan :
Bentuk dan ukuran granula dipengaruhi oleh jenis bahan sehingga
memiliki ukuran yang spesifik. Bentuk, ukuran, dan kerapatan granula pati
menentukan daya serap pati dalam air dan viskositas. Pati yang memiliki ukuran
yang besar dan kerapatan yang tinggi mampu menyerap air lebih besar dan
memiliki viskositas yang tinggi. Hasil praktikum menunjukkan bahwa bentuk
granula pati umumnya oval dan pati yang memiliki granula berukuran besar dan
rapat adalah pati kentang.
Kadar pati merupakan kriteria mutu dan kualitas dari pati murni yang
dihasilkan. Kadar pati tertinggi dimiliki oleh tepung ubi jalar ungu dan terendah
dimiliki oleh tepung talas.
Viskositas atau kekentalan adalah daya alir bahan terhadap suatu gaya
maupun tekanan. Tingginya viskositas ini dapat disebabkan oleh pemanasan dan
pengadukan dan menunjukkan tingginya tingkat kekentalan dari suatu pati. Pati
yang memiliki tingkat kekentalan yang sama dapat digunakan untuk substitusi
satu sama lain. Hasil praktikum menunjukkan pati yang memiliki viskositas
tertinggi dimiliki oleh pati sagu dan terendah oleh pati ganyong.
Kejernihan pasta pati digunakan untuk melihat tendensi retrogradasi yang
terjadi pada pasta pati. Pengukuran kejernihan pasta pati dilakukan menggunakan
spektrofotometer dengan menghitung nilai transmittan. Semakin tinggi nilai
transmittan, menunjukkan bahwa suatu bahan memiliki warna yang semakin
keruh yang berarti memiliki kejernihan yang semakin rendah. Pada praktikum ini,
pasta pati paling keruh dimiliki oleh pati kentang dan paling jernih oleh pati sagu.
Pati memiliki kelarutan yang terbatas dalam air. Hal ini berhubungan
dengan tingkat kekuatan ikatan antar molekul pati yang bisa putus akibat
pelarutan dalam air. Pada praktikum ini, kelarutan pati tertinggi dimiliki oleh pati
kacang hijau dan terendah oleh pati sagu.
Swelling power (daya serap air) menunjukkan kemampuan pati untuk
mengembang dalam air. Nilai swelling power digunakan untuk memperkirakan
ukuran atau volume wadah yang digunakan dalam proses produksi sehingga saat
terjadi swelling, wadah yang digunakan masih bisa menampung pati. Hal ini
berhubungan dengan ukuran dan kerapatan granula pati. Hasil praktikum
menunjukkan bahwa daya serap air tertinggi dimiliki oleh pati kentang dan
terendah oleh pati ubi jalar putih.