Anda di halaman 1dari 18

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

FIQH ISLAM TENTANG TUNTUNAN THAHARAH


DAN TATA CARA IBADAH ORANG SAKIT 1
(dari Teori hingga Praktek)
Oleh: Drs. H.I.N. Mufti Abu Yazid & Muinan Rafi, S.H.I., M.SI.2

I.

PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna di muka bumi ini.
Sehingga tidaklak salah jika Allah memuji ciptaan-Nya itu dalam Firman-Nya surat
al-Tin [95]: 4.

Sungguh Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya.

Begitu besar nikmat yang diberikan kepada manusia. Sehingga dengan terangterangan Allah menegaskan bahwa kenikmatan yang Allah berikan tidak akan bisa
dijangkau dan di nalar oleh manusia. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam alQuran surat Ibrahim [14]: 34,




.









Dan jika kamu sekalian menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu
tidak dapat menghitungnya. Sungguh manusia itu sangat zalim dan
mengingkari nikmat Allah.

Sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih atas segala nikmat yang
diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya itu, maka haruslah mampu dibuktikan oleh
manusia melalui sarfu al-ni'am 'ala ni'mati al-Mun'im, dengan kata lain, membalas
jasa atas anugerah Allah yang dilimpahkan kepada manusia dengan jalan
menghambakan diri untuk beribadah dan taqarrub kepada-Nya. 3 Statemen tersebut
merujuk pada al-Quran surat adz-Dzariat [51]: 56.


Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa, manusia di samping sebagai
khalifah di muka bumi, juga dituntut pula untuk mengabdi kepada-Nya, dengan
Makalah dengan tema: "Peribadatan Orang yang Sakit disampaikan pada Kuliah Agama Islam
Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta Program Reguler dan Internasional, bertempat di gedung Lt. 5,
pada hari Senin, 13 Oktober 2012.
2
Ketua Yayasan Bunga Selasih Yogyakarta; Asisten Pengganti pada kuliah Agama Islam Fakultas
Kedokteran UGM Yogyakarta Program Reguler dan Internasional; penulis buku Peltikan Segar Hati
Kusut dan Potensi Zakat dari Konsumtif Karitatif ke Produktif Berdayaguna Perspektif Hukum
Islam; Pengampu Jamaah Pengajian Majlis Talim SeNdeGAp Sergep Nderes Gelis Apal, bidang
Fiqh Rubu Ubudiyyah (Fiqh al-Ibadah) se-Condongcatur Depok Sleman Yogyakarta & sekitarnya;
staf ahli Lembaga Konsultasi Keluarga Sakinah (LKKS) serta Rohaniawan Yayasan Bunga Selasih
Yogyakarta.
3
Muinan Rafi, Peltikan Segar Hati Kusut, cet.1 (Yogyakarta: Citra Pustaka, 2010), hlm. 4243.
1

(1)

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

cara beribadah. Taqarrub/ibadah kepada Allah tidak mengenal batas ruang dan
waktu serta kondisi yang mengitarinya. Baik diwaktu luang maupun sempit, bahagia
maupun susah, baik ketika mendapat nikmat maupun bencana, baik di waktu sehat
maupun sakit, semuanya itu bagi orang yang beriman tidak ada kata putus untuk
beribadah. Rasa cintanya kepada Allah menuntutnya untuk selalu berhubungan
kepada-Nya. Kewajiban beribadah terutama yang fardu yakni shalat, tidak boleh
ditinggalkan hanya karena alasan sakit. Karena hukumnya adalah wajib, apabila
ditinggalkan maka berdosa dan bila dilaksanakan akan mendapat pahala.
Makalah sederhana ini akan mengupas mengenai tata cara bersuci (thahrah)
dan shalat bagi orang/pasien yang sedang sakit dalam tinjauan fiqh Islam. Tema ini
disampaikan agar mahasiswa khususnya memahami fiqh Islam yang berkaitan
dengan peribadatan orang sakit, serta mampu memberikan tuntunan thahrah dan
shalat bagi pasien yang sakit.

II. THAHRAH DAN RUANG LINGKUPNYA.


A.Definisi Thahrah:

Thahrah berasal dari bahasa arab " " yang berarti bersih atau suci dari
kotoran, baik yang berwujud dzat (hissiyah) atau yang tidak berwujud
(manawiyah). Diantara Kotoran yang berwujud seperti kencing, tinja dan lain
sebagainya, sedangkan yang bersifat ma`nawiyah seperti syirik dan semua
akhlak yang tercela.
Sedangkan thahrah menurut syari' terdapat beberapa pengertian. Sebagian
ulama` berpendapat bahwa thahrah ialah mengerjakan sesuatu yang
menyebabkan seseorang diperbolehkan menunaikan ibadah shalat dan
semisalnya, seperti wudlu, tayammun, dan menghilangkan najis. Sebagian yang
lain mendefinisikan bahwa thahrah yaitu bersih dari najis,4 baik najis yang
bersifat hakiki yakni kotoran najis maupun yang bersifat hukmi yakni hadats.5
Dengan demikian, thaharah adalah menghilangkan kotoran yang masih melekat
di badan yang membuat tidak sahnya shalat dan ibadah lain 6.
Adapun menurut Imam Nawawi dari madzhab Syafii mendefinisikan
thahrah dengan, mengangkat hadats atau menghilangkan najis. Pengertian ini
serasi dengan pengertian yang di tafsirkan dikalangan fuqaha madzhab Malikiyah
dan Hanabilah, mereka menafsirkan thahrah dengan, mengangkat hadats dan
najis dari sesuatu yang menghalangi untuk melaksanakan shalat, baik dengan air,
atau mengangkat (hukmi) hukumnya dengan tanah/debu (tayamum).7

Najis adalah kotoran yang wajib dibersihkan oleh setiap muslim, dengan mencuci benda yang
terkena. Adapun Macam-macam najis:
a) Air kencing, tinja manusia, dan hewan yang tidak halal dagingnya, telah disepakati para
ulama. Sedangkan kotoran hewan yang halal dimakan dagingnya, hukumnya najis menurut
madzhab Hanafi dan Syafii; dan suci menurut madzhab Maliki dan Hanbali;
b) Madzi, yaitu air putih lengket yang keluar ketika seseorang sedang berpikir tentang seks dan
sejenisnya;
c) Wadi, yaitu air putih yang keluar setelah buang air kecil;
d) Darah yang mengalir. Sedangkan yang sedikit di-mafu. Menurut madzhab Syafii darah
nyamuk, kutu, dan sejenisnya dimafu jika secara umum dianggap sedikit;
e) Anjing dan babi;
f) Muntahan;
g) Bangkai, kecuali mayat manusia, ikan dan belalang, dan hewan yang tidak berdarah mengalir.
5
kifayah al-Akyar, hlm. 6
6
Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni Juz I: 12; dan Abdullah Al-Bassam, Taudhih Al-Ahkam, Juz I:
87.
7
Kitab Majmu Juz. 1:124 dan Kitab Mughni Muhtaj Juz. I: 16
4

(2)

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Begitu pentingnya pembahasan thahrah ini, sehingga tidaklah salah jika


para fuqaha mendahulukan pembahasan bab thahrah dari pada bab shalat
karena thahrah adalah kunci dalam melaksanakan shalat, dan merupakan syarat
dari sahnya shalat serta ibadah-ibadah lainnya.

B. Dasar Hukum Thahrah:


Pada dasarnya thahrah mempunyai hukum yang berkaitan erat dengan
ibadah lain. Seperti shalat, thawaf, menyentuh mushaf al-Quran dan lain
sebagainya. Berkenaan dengan shalat, thahrah hukumnya wajib dan tidak sah
jika tidak dalam keadaan suci, karena thahrah merupakan syarat sahnya shalat.
Abu Hurairah meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. tentang hal ini, Beliau
SAW bersabda:


.


8

Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadats hingga ia berwudlu`.

Begitu juga thawaf yaitu sama dengan shalat. Bahkan sebagian lagi
berpendapat (meskipun masih terjadi perbedaan pendapat/ikhtilaf al-fuqaha)
bahwa menyentuh mushaf, tidak diperbolehkan kecuali dalam kondisi suci dari
hadats. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:

79

"Tidak boleh menyentuhnya (al-Qur`an) kecuali bagi mereka yang dalam


keadaan suci."

Dalam al-Quran surat an-Nisa ayat 43, dijelaskan tentang perintah untuk
bersuci dari hadats maupun najis, baik dengan cara berwudlu atau dengan
tayamum. Allah SWT berfirman:






Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan
pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar
berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam
musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS: An-Nisa/4: 43)

Dikeluarkan (di-takhrij) oleh Muttafaqun alaihi, Imam Bukhari hadis nomor: 135 dan Imam
Muslim hadis nomor 225. Hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi serta Abu
Dawud dalam Imam Muhammad ibn Ismail al-Kahilani, Subul as-Salam bi Syarh Bulug al-Maram Min
Jami Adillah al-Ahkam, Ahmad ibn Ali ibn Muhammad ibn Hajar al-Asqalani al-Qahiri, (Surabaya:
Al-Hidayah, t.t.), Juz. I, hlm. 40; bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islami wa
Adilatuhu, Juz 1, hal. 208.
8

(3)

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Dalam segala situasi, kita dianjurkan supaya dalam keadaan suci. Sebab itu,
Allah mencintai orang-orang yang dalam keadaan suci. Seperti firman-Nya
dalam surat al-Baqarah ayat 222:

222

"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang


yang bersuci." (Q.S. al-Baqarah/2: 222)

Jadi hukum thahrah wajib dilaksanakan dalam rangka untuk memenuhi


syarat sahnya suatu ibadah.

C. Pembagian Thahrah:
Dengan memahami pengertian di atas, thahrah dapat dibagi menjadi dua,
yakni:
1. Thahrah dari hadats, seperti wudlu', mandi dan tayammum.
2. Thahrah dari najis. ini yang dimaksud adalah mensucikan najis yang ada
pada badan, tempat dan pakaian kita.

D.Alat Thahrah:
Alat yang dapat digunakan untuk bersuci baik dari hadats maupun najis- ada
empat macam, yaitu:
1. Air
2. Debu
3. Batu
4. Dabghu (sama`)
Sebagian ulama` muta`akh-khirin menambahkan sabun sebagai pelengkap
alat bersuci.

E. Air sebagai Alat Thahrah:


1. Macam-macam air untuk bersuci.
Air merupakan sarana yang fundamental dalam hal thahrah. Air yang
dapat dipergunakan untuk bersuci adalah air yang bersih (suci dan
menyucikan), yaitu air yang turun dari langit atau bersumber dari bumi yang
tidak terkena najis dan belum di pakai untuk bersuci.
Ditinjau dari sumber asalnya, air terbagi menjadi tujuh macam:
1) Air hujan. Yakni air yang turun dari langit dalam bentuk air. Sesuai
firman Allah SWT:

11

: ...

Artinya: dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk


menyucikan kamu dengan hujan itu.

2) Air sumur. Yakni air yang bersumber dari dalam tanah. Allah SWT
berfirman:


21 :

Artinya: Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya


Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumbersumber air di bumi.
Dalam hadits riwayat Sahal disebutkan:
(4)

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta



..."




Artinya: Ya Rasulullah, engkau berwudlu dari air sumur Budloah yang
digunakan orang-orang untuk bersuci (istinja`), untuk mandi orang yang
haidl maupun junub. Rasulullah SAW menjawab: air itu suci dan
mensucikan, tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu.

3) Air laut. Yakni air yang berada di lautan dan memiliki rasa asin secara
alami. Rasulullah SAW ditanya tentang air laut kemudian beliau
bersabda:
9

Artinya: Laut itu airnya mensucikan dan bangkainya halal dimakan.


4) Air sungai. Air yang berada di sungai dan memiliki rasa tawar.

5) Air salju. Yakni air yang turun dari langit dalam wujud es yang lembut
dan halus.
6) Air es. Air yang turun dari langit dalam wujud beku dan keras.
7) Air embun. Air yang turun dari langit pada pertengahan malam dan
menempel pada dedaunan atau benda-benda yang lain.
2. Pembagian Air.
Dari ketujuh macam air di atas, semuanya dapat digunakan untuk
bersuci. Namun dengan syarat air tersebut dihukumi suci dan tidak berubah
sifat-sifatnya. Dari sisi hukumnya, air terbagi menjadi empat10 kategori :
a. Air thhir muthahir.
Artinya air tersebut dihukumi suci yang bisa mensucikan sesuatu dan
tidak makruh digunakan untuk bersuci. Air ini juga disebut air mutlhlak,
sebab air ini masih dalam keadaan murni dan statusnya tidak di pengaruhi
oleh hal apapun selain pengaruh tempat. 11 Seperti air yang di sebutkan di
atas, semuanya tergolong air muthlak.
b. Air thhir muthahir, namun makruh digunakan pada badan.
9

Hadits ini diriwayatkan oleh tujuh shahabat yaitu Abu Hurairah, Jabir bin Abdullah, Ali bin Abi
Thalib, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Abu Bakar as-Shidiq dan al-Farasiy (Nashbu al-Rayah Juz.
1: 90, lihat juga Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, Juz 1: 114.
10
Ada satu macam air lagi yaitu air yang suci dan menyucikan tetapi haram memakainya,
semisal air yang diperoleh dengan cara ghasab atau mencuri (mengambil tanpa izin), air yang
dikhususkan untuk minum (ma`u musabbal li-syarb).
11
Maksudnya adalah, setiap air yang mengalami perubahan nama atau status karena sematamata memandang tempat atau wadahnya, semisall air laut. Dinamakan air laut karena air tersebut
memang berada di lautan. Apabila dipindah ke dalam kendi, niscaya air tersebut akan berubah
namanya menjadi air kendi, dimasukkan ke dalam sumur menjadi air sumur, demikian seterusnya.
Berbeda dengan air yang memiliki status atau nama yang permanen, seperti air kopi, air susu, dll.
Air ini, diletakkan dalam wadah apapun tetap namanya tidak akan berubah, baik diletakkan dalam
gelas, kendi, gallon, maupun yang lainnya. Air yang memiliki status permanen bukan termasuk air
yang suci menyucikan, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk berwudlu, mandi dan
menghilangkan najis.

(5)

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Air ini tergolong air suci dan mensucikan. Namun, makruh digunakan
untuk anggota badan manusia dan hewan ternak. Kemakruhan ini
disebabkan adanya bahaya yang ditimbulkan dari air tersebut.
Termasuk kategori ini yaitu air musyammas. Dikatakan air musyammas
karena air tersebut panas akibat sengatan matahari di dalam bejana yang
terbuat dari logam selain emas dan perak, dan berada di daerah yang
panas seperti Negara Yaman saat kemarau.12 Jika digunakan untuk anggota
badan, akan menimbulkan infeksi pada kulit.13 Selain air musyammas yaitu
air yang sangat panas sebab direbus dan air yang sangat dingin. Kedua air
tersebut bisa menghentikan peredaran darah.
Air musyammas dihukumi makruh jika memenuhi sembilan syarat
dibawah ini, yaitu:
1. Berada di kawasan yang cuacanya panas. Seperti Arab Saudi.
2. Sengatan matahari bias mempengaruhi perubahan air menjadi berkarat.
3. Air ditempatkan pada bejana selain emas dan perak.
4. Penggunaannya saat air masih dalam kondisi panas.
5. Digunakan untuk tubuh baik bagian luar maupun dalam.
6. Pemanasannya pada musim kemarau.
7. Tidak ditemukan selain air tersebut.
8. Waktu belum mendesak.
9. Tidak terbukti atau tidak ada dugaan adanya madlarat. Jika benarbenar terbukti adanya kemadlaratan, maka haram penggunaannya.
Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat imam Rafi`i. Akan tetapi
berbeda halnya dengan Imam Nawawi, beliau berpendapat bahwa tidak
ada hukum makruh dalam menggunakan air musyammas.
c. Air thhir ghairu muthahir.
Yang dimaksud air thhir ghairu muthahir, yaitu air yang masih dalam
kondisi suci, namun tidak dapat digunakan untuk bersuci. Termasuk
kategori air thhir ghairu muthahir ada dua, yakni:
1. Air musta'mal, yaitu air yang telah digunakan untuk menyucikan hadats
atau menghilangkan najis, selama tidak berubah sifat-sifatnya (warna,
rasa dan baunya), serta volume airnya tidak bertambah.
2. Air mutaghayyir, yaitu yang telah berubah salah satu sifatnya.
Berdasarkan sebabnya, air mutaghayyir ada tiga, yaitu :
a. Mutaghayyir bil-mukhalith.
Yaitu air yang berubah sifat-sifatnya sebab bersenyawa dengan
benda suci lainnya hingga mempengaruhi terhadap nama dan
statusnya, semisal air kopi, teh, sirup, susu dll.
b. Mutaghayyir bi-thaulil muktsi.
Yaitu air yang berubah sifat-sifatnya sebab terlalu lama diam.
Seperti air kolam yang tidak pernah dijamah manusia hingga
berubah sifatnya.
c. Mutaghayyir bil-mujawir.
12

Untuk Negara Indonesia, termasuk bercuaca sedang, sehingga air yang terkena sengatan
matahari tidak masuk kategori musyammas.
13
Sahabat Nabi pernah ada yang menggunakan air musyammas dan tidak lama kemudian
meninggal dunia sebab parahnya infeksi kulit yang ditimbulkan dari karat bejananya.

(6)

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Yaitu, air yang berubah sifat-sifatnya sebab terpengaruh benda lain


yang ada disekitarnya. Semisal air yang berdekatan dengan bunga
melati hingga tercium aroma melati pada air tersebut.
Di antara ketiga air mutaghayyir di atas, yang tidak dapat
digunakan untuk bersuci hanya air mutaghayyir bil-mukhalith.
Sedangkan dua yang lainnya masih bisa digunakan untuk bersuci.
d. Air mutanajjis.
Yaitu air yang terkena najis (kemasukan najis). Berdasarkan
ukurannya, air Mutanajis ada dua:
1. Mutanajis dalam ukuran air kurang dari dua qullah.
Yaitu air yang terkena najis (kemasukan najis) sedang volumenya
kurang dari dua qullah, baik berubah sifatnya atau tidak.
2. Mutanajis dalam ukuran air dua qullah atau lebih.
Yaitu air yang terkena najis (kemasukan najis) sedang volumenya
ada dua qullah atau lebih hingga najis mempengaruhi terhadap
perubahan sifat-sifat air. Dan Jika tidak terjadi perubahan maka
sah di gunakan untuk bersuci.
Sedangkan ukuran air dua qullah sama dengan atau
mendekati 270 liter, atau kubus yang semua sisinya 58 cm.14
3. Tayamum
Arti Tayamum menurut bahasa adalah menyengaja. Sedangkan menurut
syara ialah menyengaja tanah untuk menghapus muka dan kedua tangan
dengan maksud menghilangkan hadats. Adapun dalil disyariatkannya
tayamum:
a. Q.S. An-Nisa/4: 43







Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan
pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, 15 terkecuali
sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang
dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
b. Q.S. Al-Maidah/5: 6.

14

Mustafa Dib al-Biga, al-Tadzhib fi adilati matn al-Gayah wa Al-Taqrib al-Masyhur bi Matn
Abu Suja fi Fiqh as-Syafii, (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), hal. 11.
15
Menurut sebahagian ahli tafsir dalam ayat ini termuat juga larangan untuk bersembahyang
bagi orang junub yang belum mandi

(7)

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta









Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika
kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit 16 atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh 17 perempuan,
lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang
baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak
hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
c. Hadits Rasulullah S.A.W.
Artinya: Seluruh bumi dijadikannya bagiku dan umatku sebagai masjid dan
alat bersuci. Maka dimana juga sholat itu menemui salah seorang
diantara umatku, di sisinya terdapat alat untuk bersuci itu. (HR.
Bukhari)
4. Sebab-sebab yang Membolehkan Tayamum
Dibolehkan bertayamum bagi orang yang berhadats kecil maupun
berhadats besar, baik diwaktu mukim maupun dalam perjalanan. Adapun
sebab-sebab yang membolehkan tayamum :
a. Jika seseorang tidak mendapatkan air, atau ada tetapi tidak cukup untuk
bersuci. Hadits Rasulullah S.A.W. :

:
: :


) :
[338 : ( ]

Artinya: Ketika itu kami berada dalam perjalanan bersama Rasulullah


S.A.W. Beliaupun sholat bersama orang-orang. Kiranya ada seorang lelaki
memencilkan diri, maka tanya Nabi : Kenapa anda tidak sholat?. Ujarnya;
Saya dalam keadaan janabat, sedang air tidak ada. Maka sabda Nabi
Pergunakanlah tanah, demikian itu cukup bagi anda.
16

Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.


Artinya: menyentuh. menurut jumhur ialah: menyentuh sedang sebagian mufassirin Ialah:
menyetubuhi.
17

(8)

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

b.

Jika seseorang dalam keadaan sakit atau luka, dan ia khawatir dengan
memakai air penyakitnya semakin parah atau lama sembuhnya.
c.
Jika air sangat dingin dan dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya
dan ia tidak sanggup memanaskan air tersebut.
d.
bila air tersebut sangat dibutuhkan untuk keperluan minum bagi
manusia maupun hewan.
5. Tata Cara Bertayamum
Hendaklah orang yang bertayamum itu berniat terlebih dahulu, kemudian
meletakkan kedua telapak tangan ke tanah yang suci lalu menghembuskan
kedua telapak tangan tersebut, kemudian sapukan ke muka.
Selanjutnya letakkan kembali kedua telapak tangan ke tanah yang suci lalu
dihembus kemudian sapukan kedua tangan sampai pergelangan.
6. Hal-hal Yang Dibolehkan dengan Tayamum
Tayamum adalah pengganti wudlu dan mandi. Ketika tidak ada air, maka
dibolehkan dengan tayamum itu apa yang dibolehkan dengan wudlu dan mandi
seperti: sholat, thawaf, menyentuh Al Quran, dan lain-lain.
7. Yang Membatalkan Tayamum
Tayammum itu menjadi batal oleh segala sesuatu yang membatalkan
wudlu, karena ia merupakan ganti dari wudlu. Begitu pula ia batal disebabkan
adanya air bagi rang yang tidak mendapatkan air, atau bila telah dapat
memakai air bagi orang yang tidak sanggup pada mulanya. Misalnya orang yang
sakit, karena terlalu dingin.

III.

SHALATNYA ORANG YANG SAKIT.


A.Shalat Sebagai Kewajiban.
Syariat Islam dibangun atas dasar ilmu dan kemampuan orang yang
dibebani. Tidak ada satu pun beban syariat yang diwajibkan kepada seorang di
luar kemampuannya. Allah Taala sendiri menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:

....
Allah
tidak
membebani
seseorang
kesanggupannya.....(Qs. Al-Baqarah/2:286)

melainkan

sesuai

dengan

Atas dasar itu para ulama sepakat dan berisidlal membuat dalil, bahwa
barangsiapa yang tidak mampu melakukan shalat dengan berdiri hendaknya
shalat sambil duduk, dan jika tidak mampu dengan duduk, maka shalat sambil
berbaring dengan posisi tubuh miring dan menghadapkan muka ke kiblat.
Disunnatkan miring dengan posisi tubuh miring di atas tubuh bagian kanan. Dan
jika tidak mampu melaksanakan shalat dengan berbaring miring, maka ia boleh
shalat dengan berbaring telentang.
Imam An-Nasai menambahkan: lalu jika tidak mampu, maka sambil
telentang. Barangsiapa mampu berdiri, akan tetapi tidak mampu ruku` atau
sujud, maka kewajiban berdiri tidak gugur darinya. Ia harus shalat sambil
berdiri, lalu ruku dengan isyarat (menundukkan kepala), kemudian duduk dan
sujud dengan berisyarat, hal ini sebagaimana firman Allah SWT:

Dan berdirilah karena Allah (dalam shalat-mu) dengan khusyu`. (Q.S. AlBaqarah/2: 238).

(9)

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Pun demikian Rasulullah SAW pernah bersabda: Shalatlah kamu sambil


berdiri. Firman Allah SWT:

....
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah
serta taatlah... (At-Taghabun: 16).
Sementara para ahli kedokteran yang terpercaya mengatakan:
Jika kamu shalat bertelentang lebih memudahkan pengobatanmu, maka boleh
shalat telentang. Barangsiapa tidak mampu ruku`dan sujud, maka cukup
berisyarat dengan menundukkan kepala pada saat ruku dan sujud, dan
hendaknya ketika sujud lebih rendah daripada ruku`. Dan jika hanya tidak
mampu sujud saja, maka ruku` (seperti lazimnya) dan sujud dengan berisyarat.
Jika ia tidak dapat membungkukkan punggungnya, maka ia membungkukkan
lehernya; dan jika punggungnya memang bungkuk sehingga seolah-olah ia sedang
ruku`, maka apabila hendak ruku`, ia lebih membungkukkan lagi sedikit, dan di
waktu sujud ia lebih membungkukkan lagi semampunya hingga mukanya lebih
mendekati tanah se-mampunya. Dan barangsiapa tidak mampu berisyarat dengan
kepala, maka dengan niat dan bacaan saja, dan kewajiban shalat tetap tidak
gugur darinya dalam keadaan bagaimanapun selagi ia masih sadar (berakal),
karena dalil-dalil tersebut di atas. Dan apabila ditengah-tengah shalat si
penderita mampu melakukan apa yang tidak mampu ia lakukan sebelumnya,
seperti berdiri, ruku`, sujud atau berisyarat dengan kepala, maka ia berpindah
kepadanya (melakukan apa yang ia mampu) dengan meneruskan shalat tersebut.
Dan apabila si sakit tertidur atau lupa melakukan shalat atau karena lainnya, ia
wajib menunaikannya di saat ia bangun atau di saat ia ingat, dan tidak boleh
menundanya kepada waktu berikutnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Barangsiapa tertidur atau lupa melakukan shalat, maka hendaknya ia
menunaikannya pada saat ia ingat, tidak ada tebusan lain baginya kecuali hanya
itu. Lalu beliau membaca firman Allah:


Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku,
Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku. (Q.S. Thaha:
14).
Dalam keadaan bagaimanapun, setiap mukallaf wajib bersungguh-sungguh
untuk menunaikan shalat pada hari-hari sakitnya melebihi hari-hari ketika ia
sehat.18 Jadi, tidak boleh baginya meninggalkan shalat wajib hingga lewat
waktunya, sekalipun ia sakit selagi ia masih sadar (kesadarannya utuh). Ia wajib
menunaikan shalat tersebut menurut kemampuannya. Dan apabila ia
meninggalkannya dengan sengaja, sedangkan ia sadar (masih berakal) lagi
mukallaf serta mampu melakukannya, walaupun hanya dengan isyarat, maka dia
adalah orang yang berbuat dosa. Bahkan ada sebagian dari para Ahlul `ilm
(ulama) yang mengkafirkannya berdasarkan sabda Nabi SAW: Perjanjian antara
18

Dan bagi yang sakit, jika ia kesulitan untuk melakukan shalat pada waktunya, maka boleh
menjama antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat Isya, baik
jama taqdim maupun jama takhir, sesuai kemampuannya. Dan jika ia mau boleh memajukan
shalat Asharnya digabung dengan shalat Zhuhur atau mengakhirkan Zhuhur bersama Ashar di waktu
Ashar. Atau jika ia menghendaki, boleh memajukan Isya bersama Maghrib atau mengakhirkan
Maghrib bersama Isya. Adapun shalat Subuh, (tetap dilakukan seperti biasa) tidak bisa dijama
dengan shalat sebelum atau sesudahnya, karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan
sesudahnya.

(10)

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

kita dengan mereka (orang munafiq) adalah shalat, barangsiapa


meninggalkannya maka kafirlah ia.
Begitu pula sabda beliau yang lain: (Pembatas) antara seorang muslim
dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat (HR. Muslim di
dalam Shahih-nya).

B. Dasar Hukum Shalat Bagi Orang yang Sakit.


Di antara hukum-hukum yang berhubungan dengan orang sakit dalam
ibadah shalatnya adalah:
1. Orang yang sakit tetap wajib shalat diwaktunya dan melaksanakannya
menurut kemampuannya. Hal ini berdasar pada firman Allah:

.......
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan
dengarlah serta taatlah.... (Qs. At-Taghbn/ 64:16). Dan berdasar pada
perintah Rasulullah SAW kepada Imrn bin Husain:











:
] ] .


Diriwayatkan dari Imran bin Husein ra., ia berkata; Saya menderita penyakit
wasir, lalu saya bertanya kepada Rasulullah saw., maka beliau menjawab:
Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka shalatlah kamu sambil
duduk. Jika tidak mampu (duduk), maka hendaklah shalatlah dengan
berbaring. (HR. al-Bukhari)19
Dalam hadis yang lain diriwayatkan oleh Imam ad-Daruqutni, bahwa
Rasulullah SAW pernah bersabda:

19

H.R. al-Bukhari no. 1117 bandingkan dengan Mustafa Dib al-Biga, al-Gayah wa Al-Taqrib .,
hlm. 15. Dari hadist tersebut di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa: (1) Kalau masih mampu
berdiri, lakukanlah shalat dengan berdiri; (2) Bila tidak mampu berdiri, maka kerjakanlah dengan
duduk seperti duduk iftirasy (bersimpuh ketika duduk untuk melakukan tahiyat awal), dengan
menghadap kiblat; (3) Apabila masih tidak mampu (sambil duduk) maka dapat dilakukan dengan
berbaring ditempat tidur, kalau masih sanggup miringlah kekanan. Tetapi bila miring juga tidak
sanggup, maka lakukanlah dengan telentang. Mengenai takbiratul ihram dan gerakan-gerakan
lainnya dapat dilakukan menurut kemampuan. Tidak perlu sujud dan rukuk seperti waktu shalat
dengan berdiri. Cukup dengan isyarat takbir intiqal (takbir peralihan); (4) Apabila dengan itu semua
tidak mampu, maka shalat dapat dilakukan dengan semampunya, selama ingatan dan kesadaran
seseorang masih ada. Karena kewajiban shalat lima waktu merupakan kewajiban yang tidak bisa
ditawar-tawar, selagi nyawa masih dikandung badan.
Jika hal itu masih terasa sulit (terutama bagi yang sakit dengan kondisi serius) maka dapat
dilakukan dengan cara menjamak shalat, alternatif ini dipilih sebagai alasan rukhsah. Shalat Jama
ialah mengerjakan dua jenis shalat dalam satu waktu. Misalnya shalat Dzuhur dan shalat Ashar
dikerjakan pada waktu shalat Dzuhur, yang disebut Jama Taqdim; dan apabila shalat tersebut
dikerjakan pada waktu shalat Ashar maka disebut Jama Takhir. Adapun shalat yang dijama ialah,
(1) Dzuhur dengan Ashar; (2). Maghrib dengan Isya. Sedangkan shalat Shubuh tidak dapat dijama.
Lihat Abu al-Walid al-Qurtubi, al-Andalusi asy-Syahir bi Ibn al-Rusydi, Bidayah al-Mujtahid wa
Nihayah al-Muqtasid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), I: 124 fi bab al-salah. Bandingkan dengan Imam
Muhammad ibn Ismail al-Kahilani, Subul as-Salam bi Syarh Bulug al-Maram Min Jami Adillah alAhkam, Ahmad ibn Ali ibn Muhammad ibn Hajar al-Asqalani al-Qahiri, (Surabaya: Al-Hidayah, t.t.),
Juz. II, hlm. 41-43.

(11)

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

( ) .


Orang yang sakit jika hendak melakukan shalat, apabila mampu berdiri,
maka shalatnya dengan berdiri, apabila tidak mampu berdiri, maka dengan
duduk, apabila tidak mampu sujud, maka dengan isyaroh dan menjadikan
sujudnya lebih rendah daripada rukunya, apabila tetap tidak mampu, maka
dengan tidur miring sambil menghadap qiblat, apabila tidak masih mampu,
maka dengan mengarahkan kakinya ke arah qiblat (tidur terlentang). (HR.
Imam ad- Daruqutni).

2. Apabila berat melakukan setiap shalat pada waktunya maka diperbolehkan


baginya untuk men-jama (menggabung) antara shalat Zhuhur dan Ashar,
Maghrib dan Isya baik dengan jama taqdim atau takhir. Hal ini melihat
kepada yang termudah baginya. Sedangkan shalat Shubuh maka tidak boleh
dijama karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya.
Diantara dasar kebolehan ini adalah hadits Ibnu Abas ra., yang
menyatakan: Rasulullah SAW telah menjama antara Zhuhur dan Ashar,
Maghrib dan Isya di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Abu Kuraib
berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abas radhiallahu anhuma: Mengapa
beliau berbuat demikian? Beliau radhiallahu anhuma menjawab: Agar tidak
menyusahkan umatnya. (HR Muslim).20
Dalam hadits di atas jelaslah Rasulullah SAW membolehkan kita
menjama shalat karena adanya rasa berat yang menyusahkan (masyaqqoh)
dan jelas sakit merupakan masyaqqah. Hal ini juga dikuatkan dengan
menganalogikan orang sakit kepada orang yang terkena istihaadhoh yang
diperintahkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk mengakhirkan shalat
Zhuhur dan mempercepat Ashar dan mengakhirkan Maghrib dan mempercepat
Isya.
3. Orang yang sakit tidak boleh meninggalkan shalat wajib dalam segala
kondisinya selama akalnya masih baik.
4. Orang sakit yang berat untuk mendatangi masjid berjamaah atau akan
menambah dan atau memperlambat kesembuhannya bila shalat berjamaah di
masjid maka dibolehkan tidak shalat berjamaah.
Imam Ibnu al-Mundzir menyatakan: Tidak diketahui adanya perbedaan
pendapat dikalangan ulama bahwa orang sakit dibolehkan untuk tidak shalat
berjamaah karena sakitnya. Hal itu karena Rasulullah SAW ketika sakit tidak
hadir di Masjid dan berkata:

Perintahkan Abu Bakar agar mengimami shalat. (HR- Bukhari Muslim).21


20
21

Hadits nomor 705.


Lihat Shahih Muslim dan Fikih Sunnah Juz: I: 512-513

(12)

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

C. Tata Cara Shalat Bagi Orang yang Sakit.


Tata cara shalat orang sakit secara ringkas sebagai berikut:
1. Diwajibkan atas orang yang sakit untuk shalat berdiri apabila mampu dan
tidak khawatir sakitnya bertambah parah, karena berdiri dalam shalat wajib
adalah salah satu rukunnya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
Berdirilah untuk
Baqarah/2:238).

Allah

(dalam

shalatmu)

dengan

khusyu. (Qs.

Al-

Diwajibkan juga orang yang mampu berdiri walaupun dengan


menggunakan tongkat atau bersandar ke tembok atau berpegangan dengan
tiang berdasarkan hadits Ummu Qais ra., yang berbunyi:




















Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika berusia lanjut
dan lemah maka beliau memasang tiang di tempat shalatnya untuk menjadi
sandaran.(HR Abu Daud dan dishahihkan al-Albani dalam Silsilah AshShahihah 319).22
Demikian juga orang bungkuk diwajibkan berdiri walaupun keadaannya
seperti orang rukuk.23 Ibnu Utsaimin berkata, Diwajibkan berdiri atas
seorang dalam segala caranya, walaupun menyerupai orang ruku atau
bersandar kepada tongkat, tembok, tiang ataupun manusia. 24

2.Iorang sakit yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku atau sujud, tetap
tidak gugur kewajiban berdirinya. Ia harus shalat berdiri dan bila tidak bisa
rukuk maka menunduk untuk rukuk. Bila tidak mampu membongkokkan
punggungnya sama sekali maka cukup dengan menundukkan lehernya,
Kemudian duduk lalu menunduk untuk sujud dalam keadaan duduk dengan
mendekatkan wajahnya ke tanah sedapat mungkin.25
3. Orang sakit yang tidak mampu berdiri maka melakukan shalat wajib dengan
duduk, berdasarkan hadits Imrn bin Hushain dan ijma para ulama di atas.
Ibnu Qudmah rahimahullah menyatakan, Para ulama telah ber-ijma
(bersepakat) bahwa orang yang tidak mampu shalat berdiri maka dibolehkan
shalat dengan duduk. 26
4. Orang sakit yang dikhawatirkan akan menambah parah sakitnya atau
memperlambat kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan
shalat dengan duduk. Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan, Yang benar
adalah kesulitan (masyaqqah) membolehkan shalat dengan duduk. 27 Apabila
seorang merasa susah shalat berdiri maka ia boleh shalat dengan duduk,
berdasarkan firman Allah:

22
23
24
25
26
27

Lihat Ibnu Qudamah, al-Mughni Juz. II:571


Ibid., Juz. II:571
Syarh al-Mumti Ala Zd al-Mustaqni Juz. IV:459
Ibnu Qudamah, al-Mughni Juz. II: 572
Ibnu Qudamah, al-Mughni Juz. II: 570
Ibid., Juz. II: 571

(13)

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Allah menghendaki kemudahan bagimu,28 dan tidak menghendaki


kesukaran bagimu. (Qs. Al-Baqarah/2:185)
5. Orang yang sakit apabila shalat dengan duduk sebaiknya duduk bersila pada
posisi berdirinya berdasarkan hadits Aisyah ra., yang berbunyi:

Aku melihat Nabi SAW shalat dengan bersila.


Hal ini juga karena bersila secara umum lebih enak dan tumaninah
(tenang) dari duduk iftirsy.29
6. Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk maka boleh
melakukannya dengan berbaring miring, boleh dengan miring ke kanan atau ke
kiri dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Hal ini dilakukan dengan
dasar sabda Rasulullah SAW dalam hadits Imrn bin al-Hushain: Shalatlah
dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu
juga maka berbaringlah. (HR al-Bukhari no. 1117).
Dalam hadits ini Nabi SAW tidak menjelaskan sisi mana ke kanan atau ke
kiri sehingga yang utama adalah yang termudah dari keduanya. Apabila miring
ke kanan lebih mudah maka itu yang lebih utama dan bila miring ke kiri itu
yang termudah maka itu yang lebih utama. Namun bila kedua-duanya sama
mudahnya maka miring ke kanan lebih utama dengan dasar keumuman hadits
Aisyah ra., yang berbunyi:

Dahulu Rasulullah SAW suka mendahulukan sebelah kanan dalam seluruh


urusannya, dalam memakai sandal, menyisir dan bersucinya.(HR Muslim no
396).
Kemudian melakukan ruku dan sujud dengan isyarat menundukkan
kepala ke dada dengan ketentuan sujud lebih rendah dari ruku. Apabila
tidak mampu menggerakkan kepalanya maka para ulama berbeda pendapat
dalam tiga pendapat:
a) Melakukannya dengan mata. Sehingga apabila ruku maka ia
memejamkan matanya sedikit kemudian mengucapkan kata
lalu membuka matanya. Apabila sujud maka memejamkan
matanya lebih dalam.
b) Gugur semua gerakan namun masih melakukan shalat dengan
perkataan.

28

Sebagaimana juga bila berat berpuasa bagi orang yang sakit walaupun masih mampu
diperbolehkan berbuka dan tidak berpuasa maka demikian juga bila susah berdiri maka ia
dibolehkan shalat dengan duduk.
29
Apabila rukuk maka rukuk dengan bersila dengan membungkukkan punggungnya dan
meletakkan tangannya di lututnya, karena ruku berposisi berdiri. Dalam keadaan demikian masih
diwajibkan sujud diatas tanah dengan dasar keumuman hadits Ibnu Abas ra., yang berbunyi:
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, Aku diperintahkan untuk bersujud dengan tujuh tulang;
Dahi dan beliau mengisyaratkan dengan tangannya ke hidung- kedua telapak tangan, dua kaki dan
ujung kedua telapak kaki. (Muttafaqun Alaihi).
Bila tidak mampu juga maka ia meletakkan kedua telapak tangannya ketanah dan menunduk
untuk sujud. Bila juga tidak mampu maka hendaknya ia meletakkan tangannya dilututnya dan
menundukkan kepalanya lebih rendah dari pada ketika ruku. Lihat Syarhu al-Mumti Ala Zaad alMustaqni, Syeikh Ibnu Utsaimin, Juz. IV: 466-467

(14)

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

c) Gugur kewajiban shalatnya dan inilah pendapat yang dirajihkan Ibnu


Taimiyah.
Syeikh Ibnu Utsaimin merajihkan pendapat kedua dengan menyatakan,
Yang rajih dari tiga pendapat tersebut adalah gugurnya perbuatan saja,
karena ini saja yang tidak mampu dilakukan. Sedangkan perkataan maka ia
tidak gugur karena ia mampu melakukannya dan Allah berfirman: Maka
bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. AtTaghabun/64:16)30
Orang sakit yang tidak mampu berbaring miring, maka boleh melakukan
shalat dengan terlentang dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat karena
hal ini lebih dekat kepada cara berdiri. Misalnya bila kiblatnya arah barat
maka letak kepalanya di sebelah timur dan kakinya di arah barat.
7. Apabila tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mengarahkannya
atau membantu mengarahkannya ke kiblat, maka shalat sesuai keadaannya
tersebut, berdasarkan firman Allah Taala: Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.(Qs. Al-Baqarah/2:286)
8. Orang sakit yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka shalat sesuai
keadaannya dengan dasar Firman Allah:

Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. AtTaghaabun/64:16)


9. Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan seluruh keadaan di atas. Ia
tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak mampu juga dengan
matanya, maka ia shalat dengan hatinya. Shalat tetap diwajibkan selama
akal seorang masih sehat.
10. Apabila orang sakit mampu di tengah-tengah shalat melakukan perbuatan
yang sebelumnya ia tidak mampu, baik keadaan berdiri, ruku atau sujud,
maka ia melaksanakan shalatnya dengan yang ia telah mampui dan
menyempurnakan yang tersisa. Ia tidak perlu mengulang yang telah lalu
karena yang telah lalu dari shalat tersebut telah sah.
11. Apabila orang sakit tidak mampu sujud di atas tanah, maka ia menundukkan
kepalanya untuk sujud di udara dan tidak mengambil sesuatu sebagai alas
sujud. Hal ini didasarkan kepada hadits Jbir yang berbunyi: Sesungguhnya
Rasulullah SAW menjenguk orang sakit lalu melihatnya shalat di atas
(bertelekan) bantal, lalu beliau mengambilnya dan melemparnya. Lalu ia
mengambil kayu untuk dijadikan alas shalatnya, lalu Nabi SAW
mengambilnya dan melemparnya. Beliau bersabda: Shalatlah di atas tanah
apabila ia mampu dan bila tidak maka dengan isyarat dengan menunduk (alIm) dan menjadikan sujudnya lebih rendah dari rukunya.

D.Kesimpulan
30

Ibid., Syarh., Syeikh Ibnu Utsaimin, Juz. IV: 466-467

(15)

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Pada dasarnya orang sakit sama dengan orang sehat dalam hal kewajiban
melaksanakan shalat tanpa pengecualian, hanya saja bagi orang sakit ada
beberapa rukhsah (keringanan) dalam melaksanakannya. Di dalam al-Quran
dijelaskan bahwa agama Islam itu mudah tidak sulit, dan Allah tidak menjadikan
untuk kita dalam agama suatu kesempitan. Begitu urgen dan pentingnya shalat,
tak terkecuali orang yang sakit, maka bila tidak mampu dilaksakan dengan
berdiri boleh shalat dengan duduk. Apabila hal itu tidak mampu maka boleh
shalat dengan tidur miring. Bila hal

itu masih tidak mungkin, maka boleh

dikerjakan dengan terlentang atau shalat dengan isyarah. Jika hal itu semua
masih tidak mungkin maka shalat tetap dikerjakan dalam hati selagi oatak dan
akal fikiran masih sadar.

-Selamat Belajar dan Beribadah-

(16)

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Riwayat Hidup
Nama

: M u i n a n R a f i, S.H.I., M.SI.

Umur

: 32 Tahun

Tempat/Tanggal Lahir : Gresik, 03 Maret 1979


Agama

: Islam

Alamat di Yogyakarta : Jl. Sentulrejo 29 MG II/627, RT: 31/RW: IX Wirogunan


Yogyakarta 55151
Telp.

: Telp. (0274) 374390 / HP. 0817 541 2596

PENDIDIKAN:
Jenjang Formal:
1. SDN Pegundan 464 Bungah Gresik Jawa Timur

: Tahun 1985 - 1991

2. MI Al-Falahiyah Pegundan Bungah Gresik Jawa Timur

: Tahun 1987 - 1993

3. MTs. Maarif Assaadah I Sampurnan Bungah Gresik Jatim : Tahun 1993 - 1996
4. MAK Maarif Assaadah Sampurnan Bungah Gresik Jatim : Tahun 1996 - 1999
5. S-I UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas SyariahJurusan al-Ahwal al-Syahsiyyah (AS)

: Tahun 1999 - 2003

6. S-2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Program StudiHukum Islam Konsentrasi Hukum Keluarga

: Tahun 2004 2007

Jenjang Non-Formal:
1. PP. Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik Jatim

: Tahun 1993 - 1999

2. PP. Wahid Hasyim Gaten CC. Depok Sleman Yogyakarta

: Tahun 1999 - 2006

PENGALAMAN KERJA:
1. Koord. Departemen Pelayanan Umat LPM PPWH Yogya

: Tahun 1999 - 2001

2. Wakil Ketua LPM Wahid Hasyim Yogyakarta

: Tahun 2000 - 2003

3. Guru Staf Madrasah Diniyah PP. Wahid Hasyim Yogya

: Tahun 2003 - 2005

4. Guru Staf Bidang Studi Bahasa Arab MA Wahid Hasyim

: Tahun 2004 - 2006

5. Guru Staf Mahad Aly PP.Wahid Hasyim Yogyakarta.

: Tahun 2006 - 2009

6. Guru Staf LPD al-Itqon Yogyakarta.


7. Staf Ahli Lembaga Konsultasi Keluarga Sakinah (LKKS)

: Tahun 2005 - 2006


: Th. 2003 - Present

(17)

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

8. Staf/Penyuluh Agama Jamaah Pengajian BahjatulUmmahat se-Condongcatur Depok Sleman Yogyakarta.

: Th. 2001- Present

9. Direktur LP3M Madania dan Konsultan LAZIS MadaniaPanti Asuhan Nurul Haq Gedongkuning Yogyakarta

: Tahun 2008 2009

10. Bimbingan Belajar Bahasa Arab (LB3A)

: Tahun 2009 - 2010

11. Rohaniawan Yayasan Bunga Selasih Yogyakarta

- Present -

KARYA ILMIAH:
Dalam bentuk buku yang sudah terbit:
1. Peltikan Segar Hati Kusut. (Agustus, 2010)

: Penerbit Citra Pustaka

2. Potensi Zakat (dari Konsumtif-Karitatif ke ProduktifBerdayaguna) Perspektif Hukum Islam. (Feb. 2011)

: Penerbit Citra Pustaka

3. Dari Taklik Talak Hingga Cerai Gugat PerspektifGender & HAM (masih dalam proses editing penerbit).
Dalam bentuk lain (Seminar, Work Shop, Lomba Karya Tulis, dll):
1.

Nikah Sirri dalam Perspektif Hukum Islam (Makalah Seminar Mahasiswa)

2.

Pacaran dan Relevansinya dengan Khitbah (makalah seminar Remais seCondongcatur Depok Sleman Yogyakarta).

3.

Kafaah dalam Perkawinan (makalah pengajian Remais tidak diterbitkan).

4.

Shalat Tarawih atau Qiyamul Lail? Rekonstruksi Matan Hadis Shalatul-laili


Rasulullah Matsna-Matsna dengan Yusholli Arbaan. (makalah seminar Songsong
Ramadhan Remaja masjid se Kota Yogyakarta)

5.

Kepemimpinan dalam Keluarga (makalah tidak diterbitkan).

6.

Menuju Pesantren Eksekutif (Solusi Pesantren dalam Menciptakan Lapangan


Kerja

dan

Padat

Karya).

Makalah

dalam

Lomba

karya

tulis

ilmiah

pengembangan keilmuan keislaman dan ke-pesantrenan yang diadakan oleh


Kementrian Agama RI Pusat badan Litbang dan Diklat.
7.

Majmu Fiqh Amali Inda Aimmah al-Fuqaha (antara Teori dan Praktek)
(Diktat)

8.

Majmuah al-Khutabah al-Maasir (Menjadi Khatib yang Benar). (Diktat)

(18)

Anda mungkin juga menyukai