I.
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna di muka bumi ini.
Sehingga tidaklak salah jika Allah memuji ciptaan-Nya itu dalam Firman-Nya surat
al-Tin [95]: 4.
Begitu besar nikmat yang diberikan kepada manusia. Sehingga dengan terangterangan Allah menegaskan bahwa kenikmatan yang Allah berikan tidak akan bisa
dijangkau dan di nalar oleh manusia. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam alQuran surat Ibrahim [14]: 34,
.
Dan jika kamu sekalian menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu
tidak dapat menghitungnya. Sungguh manusia itu sangat zalim dan
mengingkari nikmat Allah.
Sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih atas segala nikmat yang
diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya itu, maka haruslah mampu dibuktikan oleh
manusia melalui sarfu al-ni'am 'ala ni'mati al-Mun'im, dengan kata lain, membalas
jasa atas anugerah Allah yang dilimpahkan kepada manusia dengan jalan
menghambakan diri untuk beribadah dan taqarrub kepada-Nya. 3 Statemen tersebut
merujuk pada al-Quran surat adz-Dzariat [51]: 56.
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa, manusia di samping sebagai
khalifah di muka bumi, juga dituntut pula untuk mengabdi kepada-Nya, dengan
Makalah dengan tema: "Peribadatan Orang yang Sakit disampaikan pada Kuliah Agama Islam
Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta Program Reguler dan Internasional, bertempat di gedung Lt. 5,
pada hari Senin, 13 Oktober 2012.
2
Ketua Yayasan Bunga Selasih Yogyakarta; Asisten Pengganti pada kuliah Agama Islam Fakultas
Kedokteran UGM Yogyakarta Program Reguler dan Internasional; penulis buku Peltikan Segar Hati
Kusut dan Potensi Zakat dari Konsumtif Karitatif ke Produktif Berdayaguna Perspektif Hukum
Islam; Pengampu Jamaah Pengajian Majlis Talim SeNdeGAp Sergep Nderes Gelis Apal, bidang
Fiqh Rubu Ubudiyyah (Fiqh al-Ibadah) se-Condongcatur Depok Sleman Yogyakarta & sekitarnya;
staf ahli Lembaga Konsultasi Keluarga Sakinah (LKKS) serta Rohaniawan Yayasan Bunga Selasih
Yogyakarta.
3
Muinan Rafi, Peltikan Segar Hati Kusut, cet.1 (Yogyakarta: Citra Pustaka, 2010), hlm. 4243.
1
(1)
cara beribadah. Taqarrub/ibadah kepada Allah tidak mengenal batas ruang dan
waktu serta kondisi yang mengitarinya. Baik diwaktu luang maupun sempit, bahagia
maupun susah, baik ketika mendapat nikmat maupun bencana, baik di waktu sehat
maupun sakit, semuanya itu bagi orang yang beriman tidak ada kata putus untuk
beribadah. Rasa cintanya kepada Allah menuntutnya untuk selalu berhubungan
kepada-Nya. Kewajiban beribadah terutama yang fardu yakni shalat, tidak boleh
ditinggalkan hanya karena alasan sakit. Karena hukumnya adalah wajib, apabila
ditinggalkan maka berdosa dan bila dilaksanakan akan mendapat pahala.
Makalah sederhana ini akan mengupas mengenai tata cara bersuci (thahrah)
dan shalat bagi orang/pasien yang sedang sakit dalam tinjauan fiqh Islam. Tema ini
disampaikan agar mahasiswa khususnya memahami fiqh Islam yang berkaitan
dengan peribadatan orang sakit, serta mampu memberikan tuntunan thahrah dan
shalat bagi pasien yang sakit.
Thahrah berasal dari bahasa arab " " yang berarti bersih atau suci dari
kotoran, baik yang berwujud dzat (hissiyah) atau yang tidak berwujud
(manawiyah). Diantara Kotoran yang berwujud seperti kencing, tinja dan lain
sebagainya, sedangkan yang bersifat ma`nawiyah seperti syirik dan semua
akhlak yang tercela.
Sedangkan thahrah menurut syari' terdapat beberapa pengertian. Sebagian
ulama` berpendapat bahwa thahrah ialah mengerjakan sesuatu yang
menyebabkan seseorang diperbolehkan menunaikan ibadah shalat dan
semisalnya, seperti wudlu, tayammun, dan menghilangkan najis. Sebagian yang
lain mendefinisikan bahwa thahrah yaitu bersih dari najis,4 baik najis yang
bersifat hakiki yakni kotoran najis maupun yang bersifat hukmi yakni hadats.5
Dengan demikian, thaharah adalah menghilangkan kotoran yang masih melekat
di badan yang membuat tidak sahnya shalat dan ibadah lain 6.
Adapun menurut Imam Nawawi dari madzhab Syafii mendefinisikan
thahrah dengan, mengangkat hadats atau menghilangkan najis. Pengertian ini
serasi dengan pengertian yang di tafsirkan dikalangan fuqaha madzhab Malikiyah
dan Hanabilah, mereka menafsirkan thahrah dengan, mengangkat hadats dan
najis dari sesuatu yang menghalangi untuk melaksanakan shalat, baik dengan air,
atau mengangkat (hukmi) hukumnya dengan tanah/debu (tayamum).7
Najis adalah kotoran yang wajib dibersihkan oleh setiap muslim, dengan mencuci benda yang
terkena. Adapun Macam-macam najis:
a) Air kencing, tinja manusia, dan hewan yang tidak halal dagingnya, telah disepakati para
ulama. Sedangkan kotoran hewan yang halal dimakan dagingnya, hukumnya najis menurut
madzhab Hanafi dan Syafii; dan suci menurut madzhab Maliki dan Hanbali;
b) Madzi, yaitu air putih lengket yang keluar ketika seseorang sedang berpikir tentang seks dan
sejenisnya;
c) Wadi, yaitu air putih yang keluar setelah buang air kecil;
d) Darah yang mengalir. Sedangkan yang sedikit di-mafu. Menurut madzhab Syafii darah
nyamuk, kutu, dan sejenisnya dimafu jika secara umum dianggap sedikit;
e) Anjing dan babi;
f) Muntahan;
g) Bangkai, kecuali mayat manusia, ikan dan belalang, dan hewan yang tidak berdarah mengalir.
5
kifayah al-Akyar, hlm. 6
6
Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni Juz I: 12; dan Abdullah Al-Bassam, Taudhih Al-Ahkam, Juz I:
87.
7
Kitab Majmu Juz. 1:124 dan Kitab Mughni Muhtaj Juz. I: 16
4
(2)
.
8
Begitu juga thawaf yaitu sama dengan shalat. Bahkan sebagian lagi
berpendapat (meskipun masih terjadi perbedaan pendapat/ikhtilaf al-fuqaha)
bahwa menyentuh mushaf, tidak diperbolehkan kecuali dalam kondisi suci dari
hadats. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
79
Dalam al-Quran surat an-Nisa ayat 43, dijelaskan tentang perintah untuk
bersuci dari hadats maupun najis, baik dengan cara berwudlu atau dengan
tayamum. Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan
pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar
berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam
musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS: An-Nisa/4: 43)
Dikeluarkan (di-takhrij) oleh Muttafaqun alaihi, Imam Bukhari hadis nomor: 135 dan Imam
Muslim hadis nomor 225. Hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi serta Abu
Dawud dalam Imam Muhammad ibn Ismail al-Kahilani, Subul as-Salam bi Syarh Bulug al-Maram Min
Jami Adillah al-Ahkam, Ahmad ibn Ali ibn Muhammad ibn Hajar al-Asqalani al-Qahiri, (Surabaya:
Al-Hidayah, t.t.), Juz. I, hlm. 40; bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islami wa
Adilatuhu, Juz 1, hal. 208.
8
(3)
Dalam segala situasi, kita dianjurkan supaya dalam keadaan suci. Sebab itu,
Allah mencintai orang-orang yang dalam keadaan suci. Seperti firman-Nya
dalam surat al-Baqarah ayat 222:
222
C. Pembagian Thahrah:
Dengan memahami pengertian di atas, thahrah dapat dibagi menjadi dua,
yakni:
1. Thahrah dari hadats, seperti wudlu', mandi dan tayammum.
2. Thahrah dari najis. ini yang dimaksud adalah mensucikan najis yang ada
pada badan, tempat dan pakaian kita.
D.Alat Thahrah:
Alat yang dapat digunakan untuk bersuci baik dari hadats maupun najis- ada
empat macam, yaitu:
1. Air
2. Debu
3. Batu
4. Dabghu (sama`)
Sebagian ulama` muta`akh-khirin menambahkan sabun sebagai pelengkap
alat bersuci.
11
: ...
2) Air sumur. Yakni air yang bersumber dari dalam tanah. Allah SWT
berfirman:
21 :
..."
Artinya: Ya Rasulullah, engkau berwudlu dari air sumur Budloah yang
digunakan orang-orang untuk bersuci (istinja`), untuk mandi orang yang
haidl maupun junub. Rasulullah SAW menjawab: air itu suci dan
mensucikan, tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu.
3) Air laut. Yakni air yang berada di lautan dan memiliki rasa asin secara
alami. Rasulullah SAW ditanya tentang air laut kemudian beliau
bersabda:
9
5) Air salju. Yakni air yang turun dari langit dalam wujud es yang lembut
dan halus.
6) Air es. Air yang turun dari langit dalam wujud beku dan keras.
7) Air embun. Air yang turun dari langit pada pertengahan malam dan
menempel pada dedaunan atau benda-benda yang lain.
2. Pembagian Air.
Dari ketujuh macam air di atas, semuanya dapat digunakan untuk
bersuci. Namun dengan syarat air tersebut dihukumi suci dan tidak berubah
sifat-sifatnya. Dari sisi hukumnya, air terbagi menjadi empat10 kategori :
a. Air thhir muthahir.
Artinya air tersebut dihukumi suci yang bisa mensucikan sesuatu dan
tidak makruh digunakan untuk bersuci. Air ini juga disebut air mutlhlak,
sebab air ini masih dalam keadaan murni dan statusnya tidak di pengaruhi
oleh hal apapun selain pengaruh tempat. 11 Seperti air yang di sebutkan di
atas, semuanya tergolong air muthlak.
b. Air thhir muthahir, namun makruh digunakan pada badan.
9
Hadits ini diriwayatkan oleh tujuh shahabat yaitu Abu Hurairah, Jabir bin Abdullah, Ali bin Abi
Thalib, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Abu Bakar as-Shidiq dan al-Farasiy (Nashbu al-Rayah Juz.
1: 90, lihat juga Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, Juz 1: 114.
10
Ada satu macam air lagi yaitu air yang suci dan menyucikan tetapi haram memakainya,
semisal air yang diperoleh dengan cara ghasab atau mencuri (mengambil tanpa izin), air yang
dikhususkan untuk minum (ma`u musabbal li-syarb).
11
Maksudnya adalah, setiap air yang mengalami perubahan nama atau status karena sematamata memandang tempat atau wadahnya, semisall air laut. Dinamakan air laut karena air tersebut
memang berada di lautan. Apabila dipindah ke dalam kendi, niscaya air tersebut akan berubah
namanya menjadi air kendi, dimasukkan ke dalam sumur menjadi air sumur, demikian seterusnya.
Berbeda dengan air yang memiliki status atau nama yang permanen, seperti air kopi, air susu, dll.
Air ini, diletakkan dalam wadah apapun tetap namanya tidak akan berubah, baik diletakkan dalam
gelas, kendi, gallon, maupun yang lainnya. Air yang memiliki status permanen bukan termasuk air
yang suci menyucikan, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk berwudlu, mandi dan
menghilangkan najis.
(5)
Air ini tergolong air suci dan mensucikan. Namun, makruh digunakan
untuk anggota badan manusia dan hewan ternak. Kemakruhan ini
disebabkan adanya bahaya yang ditimbulkan dari air tersebut.
Termasuk kategori ini yaitu air musyammas. Dikatakan air musyammas
karena air tersebut panas akibat sengatan matahari di dalam bejana yang
terbuat dari logam selain emas dan perak, dan berada di daerah yang
panas seperti Negara Yaman saat kemarau.12 Jika digunakan untuk anggota
badan, akan menimbulkan infeksi pada kulit.13 Selain air musyammas yaitu
air yang sangat panas sebab direbus dan air yang sangat dingin. Kedua air
tersebut bisa menghentikan peredaran darah.
Air musyammas dihukumi makruh jika memenuhi sembilan syarat
dibawah ini, yaitu:
1. Berada di kawasan yang cuacanya panas. Seperti Arab Saudi.
2. Sengatan matahari bias mempengaruhi perubahan air menjadi berkarat.
3. Air ditempatkan pada bejana selain emas dan perak.
4. Penggunaannya saat air masih dalam kondisi panas.
5. Digunakan untuk tubuh baik bagian luar maupun dalam.
6. Pemanasannya pada musim kemarau.
7. Tidak ditemukan selain air tersebut.
8. Waktu belum mendesak.
9. Tidak terbukti atau tidak ada dugaan adanya madlarat. Jika benarbenar terbukti adanya kemadlaratan, maka haram penggunaannya.
Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat imam Rafi`i. Akan tetapi
berbeda halnya dengan Imam Nawawi, beliau berpendapat bahwa tidak
ada hukum makruh dalam menggunakan air musyammas.
c. Air thhir ghairu muthahir.
Yang dimaksud air thhir ghairu muthahir, yaitu air yang masih dalam
kondisi suci, namun tidak dapat digunakan untuk bersuci. Termasuk
kategori air thhir ghairu muthahir ada dua, yakni:
1. Air musta'mal, yaitu air yang telah digunakan untuk menyucikan hadats
atau menghilangkan najis, selama tidak berubah sifat-sifatnya (warna,
rasa dan baunya), serta volume airnya tidak bertambah.
2. Air mutaghayyir, yaitu yang telah berubah salah satu sifatnya.
Berdasarkan sebabnya, air mutaghayyir ada tiga, yaitu :
a. Mutaghayyir bil-mukhalith.
Yaitu air yang berubah sifat-sifatnya sebab bersenyawa dengan
benda suci lainnya hingga mempengaruhi terhadap nama dan
statusnya, semisal air kopi, teh, sirup, susu dll.
b. Mutaghayyir bi-thaulil muktsi.
Yaitu air yang berubah sifat-sifatnya sebab terlalu lama diam.
Seperti air kolam yang tidak pernah dijamah manusia hingga
berubah sifatnya.
c. Mutaghayyir bil-mujawir.
12
Untuk Negara Indonesia, termasuk bercuaca sedang, sehingga air yang terkena sengatan
matahari tidak masuk kategori musyammas.
13
Sahabat Nabi pernah ada yang menggunakan air musyammas dan tidak lama kemudian
meninggal dunia sebab parahnya infeksi kulit yang ditimbulkan dari karat bejananya.
(6)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan
pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, 15 terkecuali
sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang
dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
b. Q.S. Al-Maidah/5: 6.
14
Mustafa Dib al-Biga, al-Tadzhib fi adilati matn al-Gayah wa Al-Taqrib al-Masyhur bi Matn
Abu Suja fi Fiqh as-Syafii, (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), hal. 11.
15
Menurut sebahagian ahli tafsir dalam ayat ini termuat juga larangan untuk bersembahyang
bagi orang junub yang belum mandi
(7)
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika
kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit 16 atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh 17 perempuan,
lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang
baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak
hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
c. Hadits Rasulullah S.A.W.
Artinya: Seluruh bumi dijadikannya bagiku dan umatku sebagai masjid dan
alat bersuci. Maka dimana juga sholat itu menemui salah seorang
diantara umatku, di sisinya terdapat alat untuk bersuci itu. (HR.
Bukhari)
4. Sebab-sebab yang Membolehkan Tayamum
Dibolehkan bertayamum bagi orang yang berhadats kecil maupun
berhadats besar, baik diwaktu mukim maupun dalam perjalanan. Adapun
sebab-sebab yang membolehkan tayamum :
a. Jika seseorang tidak mendapatkan air, atau ada tetapi tidak cukup untuk
bersuci. Hadits Rasulullah S.A.W. :
:
: :
) :
[338 : ( ]
(8)
b.
Jika seseorang dalam keadaan sakit atau luka, dan ia khawatir dengan
memakai air penyakitnya semakin parah atau lama sembuhnya.
c.
Jika air sangat dingin dan dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya
dan ia tidak sanggup memanaskan air tersebut.
d.
bila air tersebut sangat dibutuhkan untuk keperluan minum bagi
manusia maupun hewan.
5. Tata Cara Bertayamum
Hendaklah orang yang bertayamum itu berniat terlebih dahulu, kemudian
meletakkan kedua telapak tangan ke tanah yang suci lalu menghembuskan
kedua telapak tangan tersebut, kemudian sapukan ke muka.
Selanjutnya letakkan kembali kedua telapak tangan ke tanah yang suci lalu
dihembus kemudian sapukan kedua tangan sampai pergelangan.
6. Hal-hal Yang Dibolehkan dengan Tayamum
Tayamum adalah pengganti wudlu dan mandi. Ketika tidak ada air, maka
dibolehkan dengan tayamum itu apa yang dibolehkan dengan wudlu dan mandi
seperti: sholat, thawaf, menyentuh Al Quran, dan lain-lain.
7. Yang Membatalkan Tayamum
Tayammum itu menjadi batal oleh segala sesuatu yang membatalkan
wudlu, karena ia merupakan ganti dari wudlu. Begitu pula ia batal disebabkan
adanya air bagi rang yang tidak mendapatkan air, atau bila telah dapat
memakai air bagi orang yang tidak sanggup pada mulanya. Misalnya orang yang
sakit, karena terlalu dingin.
III.
....
Allah
tidak
membebani
seseorang
kesanggupannya.....(Qs. Al-Baqarah/2:286)
melainkan
sesuai
dengan
Atas dasar itu para ulama sepakat dan berisidlal membuat dalil, bahwa
barangsiapa yang tidak mampu melakukan shalat dengan berdiri hendaknya
shalat sambil duduk, dan jika tidak mampu dengan duduk, maka shalat sambil
berbaring dengan posisi tubuh miring dan menghadapkan muka ke kiblat.
Disunnatkan miring dengan posisi tubuh miring di atas tubuh bagian kanan. Dan
jika tidak mampu melaksanakan shalat dengan berbaring miring, maka ia boleh
shalat dengan berbaring telentang.
Imam An-Nasai menambahkan: lalu jika tidak mampu, maka sambil
telentang. Barangsiapa mampu berdiri, akan tetapi tidak mampu ruku` atau
sujud, maka kewajiban berdiri tidak gugur darinya. Ia harus shalat sambil
berdiri, lalu ruku dengan isyarat (menundukkan kepala), kemudian duduk dan
sujud dengan berisyarat, hal ini sebagaimana firman Allah SWT:
Dan berdirilah karena Allah (dalam shalat-mu) dengan khusyu`. (Q.S. AlBaqarah/2: 238).
(9)
....
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah
serta taatlah... (At-Taghabun: 16).
Sementara para ahli kedokteran yang terpercaya mengatakan:
Jika kamu shalat bertelentang lebih memudahkan pengobatanmu, maka boleh
shalat telentang. Barangsiapa tidak mampu ruku`dan sujud, maka cukup
berisyarat dengan menundukkan kepala pada saat ruku dan sujud, dan
hendaknya ketika sujud lebih rendah daripada ruku`. Dan jika hanya tidak
mampu sujud saja, maka ruku` (seperti lazimnya) dan sujud dengan berisyarat.
Jika ia tidak dapat membungkukkan punggungnya, maka ia membungkukkan
lehernya; dan jika punggungnya memang bungkuk sehingga seolah-olah ia sedang
ruku`, maka apabila hendak ruku`, ia lebih membungkukkan lagi sedikit, dan di
waktu sujud ia lebih membungkukkan lagi semampunya hingga mukanya lebih
mendekati tanah se-mampunya. Dan barangsiapa tidak mampu berisyarat dengan
kepala, maka dengan niat dan bacaan saja, dan kewajiban shalat tetap tidak
gugur darinya dalam keadaan bagaimanapun selagi ia masih sadar (berakal),
karena dalil-dalil tersebut di atas. Dan apabila ditengah-tengah shalat si
penderita mampu melakukan apa yang tidak mampu ia lakukan sebelumnya,
seperti berdiri, ruku`, sujud atau berisyarat dengan kepala, maka ia berpindah
kepadanya (melakukan apa yang ia mampu) dengan meneruskan shalat tersebut.
Dan apabila si sakit tertidur atau lupa melakukan shalat atau karena lainnya, ia
wajib menunaikannya di saat ia bangun atau di saat ia ingat, dan tidak boleh
menundanya kepada waktu berikutnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Barangsiapa tertidur atau lupa melakukan shalat, maka hendaknya ia
menunaikannya pada saat ia ingat, tidak ada tebusan lain baginya kecuali hanya
itu. Lalu beliau membaca firman Allah:
Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku,
Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku. (Q.S. Thaha:
14).
Dalam keadaan bagaimanapun, setiap mukallaf wajib bersungguh-sungguh
untuk menunaikan shalat pada hari-hari sakitnya melebihi hari-hari ketika ia
sehat.18 Jadi, tidak boleh baginya meninggalkan shalat wajib hingga lewat
waktunya, sekalipun ia sakit selagi ia masih sadar (kesadarannya utuh). Ia wajib
menunaikan shalat tersebut menurut kemampuannya. Dan apabila ia
meninggalkannya dengan sengaja, sedangkan ia sadar (masih berakal) lagi
mukallaf serta mampu melakukannya, walaupun hanya dengan isyarat, maka dia
adalah orang yang berbuat dosa. Bahkan ada sebagian dari para Ahlul `ilm
(ulama) yang mengkafirkannya berdasarkan sabda Nabi SAW: Perjanjian antara
18
Dan bagi yang sakit, jika ia kesulitan untuk melakukan shalat pada waktunya, maka boleh
menjama antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat Isya, baik
jama taqdim maupun jama takhir, sesuai kemampuannya. Dan jika ia mau boleh memajukan
shalat Asharnya digabung dengan shalat Zhuhur atau mengakhirkan Zhuhur bersama Ashar di waktu
Ashar. Atau jika ia menghendaki, boleh memajukan Isya bersama Maghrib atau mengakhirkan
Maghrib bersama Isya. Adapun shalat Subuh, (tetap dilakukan seperti biasa) tidak bisa dijama
dengan shalat sebelum atau sesudahnya, karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan
sesudahnya.
(10)
.......
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan
dengarlah serta taatlah.... (Qs. At-Taghbn/ 64:16). Dan berdasar pada
perintah Rasulullah SAW kepada Imrn bin Husain:
:
] ] .
Diriwayatkan dari Imran bin Husein ra., ia berkata; Saya menderita penyakit
wasir, lalu saya bertanya kepada Rasulullah saw., maka beliau menjawab:
Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka shalatlah kamu sambil
duduk. Jika tidak mampu (duduk), maka hendaklah shalatlah dengan
berbaring. (HR. al-Bukhari)19
Dalam hadis yang lain diriwayatkan oleh Imam ad-Daruqutni, bahwa
Rasulullah SAW pernah bersabda:
19
H.R. al-Bukhari no. 1117 bandingkan dengan Mustafa Dib al-Biga, al-Gayah wa Al-Taqrib .,
hlm. 15. Dari hadist tersebut di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa: (1) Kalau masih mampu
berdiri, lakukanlah shalat dengan berdiri; (2) Bila tidak mampu berdiri, maka kerjakanlah dengan
duduk seperti duduk iftirasy (bersimpuh ketika duduk untuk melakukan tahiyat awal), dengan
menghadap kiblat; (3) Apabila masih tidak mampu (sambil duduk) maka dapat dilakukan dengan
berbaring ditempat tidur, kalau masih sanggup miringlah kekanan. Tetapi bila miring juga tidak
sanggup, maka lakukanlah dengan telentang. Mengenai takbiratul ihram dan gerakan-gerakan
lainnya dapat dilakukan menurut kemampuan. Tidak perlu sujud dan rukuk seperti waktu shalat
dengan berdiri. Cukup dengan isyarat takbir intiqal (takbir peralihan); (4) Apabila dengan itu semua
tidak mampu, maka shalat dapat dilakukan dengan semampunya, selama ingatan dan kesadaran
seseorang masih ada. Karena kewajiban shalat lima waktu merupakan kewajiban yang tidak bisa
ditawar-tawar, selagi nyawa masih dikandung badan.
Jika hal itu masih terasa sulit (terutama bagi yang sakit dengan kondisi serius) maka dapat
dilakukan dengan cara menjamak shalat, alternatif ini dipilih sebagai alasan rukhsah. Shalat Jama
ialah mengerjakan dua jenis shalat dalam satu waktu. Misalnya shalat Dzuhur dan shalat Ashar
dikerjakan pada waktu shalat Dzuhur, yang disebut Jama Taqdim; dan apabila shalat tersebut
dikerjakan pada waktu shalat Ashar maka disebut Jama Takhir. Adapun shalat yang dijama ialah,
(1) Dzuhur dengan Ashar; (2). Maghrib dengan Isya. Sedangkan shalat Shubuh tidak dapat dijama.
Lihat Abu al-Walid al-Qurtubi, al-Andalusi asy-Syahir bi Ibn al-Rusydi, Bidayah al-Mujtahid wa
Nihayah al-Muqtasid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), I: 124 fi bab al-salah. Bandingkan dengan Imam
Muhammad ibn Ismail al-Kahilani, Subul as-Salam bi Syarh Bulug al-Maram Min Jami Adillah alAhkam, Ahmad ibn Ali ibn Muhammad ibn Hajar al-Asqalani al-Qahiri, (Surabaya: Al-Hidayah, t.t.),
Juz. II, hlm. 41-43.
(11)
( ) .
Orang yang sakit jika hendak melakukan shalat, apabila mampu berdiri,
maka shalatnya dengan berdiri, apabila tidak mampu berdiri, maka dengan
duduk, apabila tidak mampu sujud, maka dengan isyaroh dan menjadikan
sujudnya lebih rendah daripada rukunya, apabila tetap tidak mampu, maka
dengan tidur miring sambil menghadap qiblat, apabila tidak masih mampu,
maka dengan mengarahkan kakinya ke arah qiblat (tidur terlentang). (HR.
Imam ad- Daruqutni).
(12)
Allah
(dalam
shalatmu)
dengan
khusyu. (Qs.
Al-
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika berusia lanjut
dan lemah maka beliau memasang tiang di tempat shalatnya untuk menjadi
sandaran.(HR Abu Daud dan dishahihkan al-Albani dalam Silsilah AshShahihah 319).22
Demikian juga orang bungkuk diwajibkan berdiri walaupun keadaannya
seperti orang rukuk.23 Ibnu Utsaimin berkata, Diwajibkan berdiri atas
seorang dalam segala caranya, walaupun menyerupai orang ruku atau
bersandar kepada tongkat, tembok, tiang ataupun manusia. 24
2.Iorang sakit yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku atau sujud, tetap
tidak gugur kewajiban berdirinya. Ia harus shalat berdiri dan bila tidak bisa
rukuk maka menunduk untuk rukuk. Bila tidak mampu membongkokkan
punggungnya sama sekali maka cukup dengan menundukkan lehernya,
Kemudian duduk lalu menunduk untuk sujud dalam keadaan duduk dengan
mendekatkan wajahnya ke tanah sedapat mungkin.25
3. Orang sakit yang tidak mampu berdiri maka melakukan shalat wajib dengan
duduk, berdasarkan hadits Imrn bin Hushain dan ijma para ulama di atas.
Ibnu Qudmah rahimahullah menyatakan, Para ulama telah ber-ijma
(bersepakat) bahwa orang yang tidak mampu shalat berdiri maka dibolehkan
shalat dengan duduk. 26
4. Orang sakit yang dikhawatirkan akan menambah parah sakitnya atau
memperlambat kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan
shalat dengan duduk. Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan, Yang benar
adalah kesulitan (masyaqqah) membolehkan shalat dengan duduk. 27 Apabila
seorang merasa susah shalat berdiri maka ia boleh shalat dengan duduk,
berdasarkan firman Allah:
22
23
24
25
26
27
(13)
28
Sebagaimana juga bila berat berpuasa bagi orang yang sakit walaupun masih mampu
diperbolehkan berbuka dan tidak berpuasa maka demikian juga bila susah berdiri maka ia
dibolehkan shalat dengan duduk.
29
Apabila rukuk maka rukuk dengan bersila dengan membungkukkan punggungnya dan
meletakkan tangannya di lututnya, karena ruku berposisi berdiri. Dalam keadaan demikian masih
diwajibkan sujud diatas tanah dengan dasar keumuman hadits Ibnu Abas ra., yang berbunyi:
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, Aku diperintahkan untuk bersujud dengan tujuh tulang;
Dahi dan beliau mengisyaratkan dengan tangannya ke hidung- kedua telapak tangan, dua kaki dan
ujung kedua telapak kaki. (Muttafaqun Alaihi).
Bila tidak mampu juga maka ia meletakkan kedua telapak tangannya ketanah dan menunduk
untuk sujud. Bila juga tidak mampu maka hendaknya ia meletakkan tangannya dilututnya dan
menundukkan kepalanya lebih rendah dari pada ketika ruku. Lihat Syarhu al-Mumti Ala Zaad alMustaqni, Syeikh Ibnu Utsaimin, Juz. IV: 466-467
(14)
D.Kesimpulan
30
(15)
Pada dasarnya orang sakit sama dengan orang sehat dalam hal kewajiban
melaksanakan shalat tanpa pengecualian, hanya saja bagi orang sakit ada
beberapa rukhsah (keringanan) dalam melaksanakannya. Di dalam al-Quran
dijelaskan bahwa agama Islam itu mudah tidak sulit, dan Allah tidak menjadikan
untuk kita dalam agama suatu kesempitan. Begitu urgen dan pentingnya shalat,
tak terkecuali orang yang sakit, maka bila tidak mampu dilaksakan dengan
berdiri boleh shalat dengan duduk. Apabila hal itu tidak mampu maka boleh
shalat dengan tidur miring. Bila hal
dikerjakan dengan terlentang atau shalat dengan isyarah. Jika hal itu semua
masih tidak mungkin maka shalat tetap dikerjakan dalam hati selagi oatak dan
akal fikiran masih sadar.
(16)
Riwayat Hidup
Nama
: M u i n a n R a f i, S.H.I., M.SI.
Umur
: 32 Tahun
: Islam
PENDIDIKAN:
Jenjang Formal:
1. SDN Pegundan 464 Bungah Gresik Jawa Timur
3. MTs. Maarif Assaadah I Sampurnan Bungah Gresik Jatim : Tahun 1993 - 1996
4. MAK Maarif Assaadah Sampurnan Bungah Gresik Jatim : Tahun 1996 - 1999
5. S-I UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas SyariahJurusan al-Ahwal al-Syahsiyyah (AS)
6. S-2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Program StudiHukum Islam Konsentrasi Hukum Keluarga
Jenjang Non-Formal:
1. PP. Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik Jatim
PENGALAMAN KERJA:
1. Koord. Departemen Pelayanan Umat LPM PPWH Yogya
(17)
9. Direktur LP3M Madania dan Konsultan LAZIS MadaniaPanti Asuhan Nurul Haq Gedongkuning Yogyakarta
- Present -
KARYA ILMIAH:
Dalam bentuk buku yang sudah terbit:
1. Peltikan Segar Hati Kusut. (Agustus, 2010)
2. Potensi Zakat (dari Konsumtif-Karitatif ke ProduktifBerdayaguna) Perspektif Hukum Islam. (Feb. 2011)
3. Dari Taklik Talak Hingga Cerai Gugat PerspektifGender & HAM (masih dalam proses editing penerbit).
Dalam bentuk lain (Seminar, Work Shop, Lomba Karya Tulis, dll):
1.
2.
Pacaran dan Relevansinya dengan Khitbah (makalah seminar Remais seCondongcatur Depok Sleman Yogyakarta).
3.
4.
5.
6.
dan
Padat
Karya).
Makalah
dalam
Lomba
karya
tulis
ilmiah
Majmu Fiqh Amali Inda Aimmah al-Fuqaha (antara Teori dan Praktek)
(Diktat)
8.
(18)