Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat makalah ini
tepat pada waktunya.
Makalah ini merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan tugas
yang telah diberikan kepada penulis. Dalam hal ini penulis menyadari bahwa
dalam pembuatannya tidak lepas dari petunjuk, bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak serta penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan dan
penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan kritik serta saran dari pembimbing serta pembaca yang
bersifat membangun dalam pembuatan makalah ini. Dan penulis harap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun dan pihak yang membacanya.
PENYUSUN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....i
DAFTAR ISI...........ii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG.............................................................................
B. RUMUSAN MASALAH.........................................................................
C. TUJUAN MAKALAH...............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Definisi Berduka
Jenis Berduka
1. Berduka normal, terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal
terhadap kehilangan.Misalnya, kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian,
dan menari diri dari aktivitas untuk sementara.
2. Berduka antisipatif, yaitu prosesmelepaskan diri yang muncul sebelum
kehilangan atau kematian yang sesungguhnya terjadi.Misalnya, ketika
menerima diagnosis terminal, seseorang akan memulai proses perpisahan
dan menyesuaikan beragai urusan didunia sebelum ajalnya tiba.
3. Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke
tahap berikutnya,yaitu tahap kedukaan normal. Masa berkabung seolah-
olah tidak kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang
bersangkutan dengan orang lain.
4. Berduka tertutup, yaitu kedudukan akibat kehilangan yang tidak dapat
diakui secara terbuka.Contohnya:Kehilangan pasangan karena AIDS, anak
mengalami kematian orang tua tiri, atau ibu yang kehilangan anaknya di
kandungan atau ketika bersalin.
C. Teori dari Proses Berduka
Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses
berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan
untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya dan juga
rencana intervensi untuk membantu mereka memahami kesedihan mereka dan
mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang
perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan
dukungan dalam bentuk empati.
1. Teori Engels
Menurut Engels (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat
diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.
a. Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk
malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis,
mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
b. Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin
mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan
kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
c. Fase III (restitusi)
e. Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari. Sehingga
pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran
baru telah berkembang.
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross pada tahun 1969 adalah
berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:
a.
Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk
mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti Tidak, tidak
mungkin seperti itu, atau Tidak akan terjadi pada saya! umum dilontarkan
klien.
b.
Kemarahan (Anger)
Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas
untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat
orang lain.
d.
Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna
kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya
melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
e.
Reaksi
Penerimaan (Acceptance)
fisiologi
menurun
dan
interaksi
sosial
berlanjut.
Kubler-Ross
Penghindaran
b.
c.
Konfrontasi
d.
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien
Akomodasi
f.
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan
mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana
klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.
D. Respons Berduka
Respons berduka seseorang terhadap kehilangan dapat melalui tahap-tahap
berikut (Kubler-Ross, dalam Potter dan Perry,1997)
1. Tahap Pengingkaran. Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan
adalah syok, tidak percaya, atau mengingkarikenyataan bahwa kehilangan benarbenar
terjadi.Reaksi
fisik
yang
letih,lemah,pucat,mual,diare,gangguan
terjadi
pada
tahap
ini
pernafasan,detak
adalah
jantung
halus
atau
terang-terangan
seolah
kehilangan
tersebut
dapat
E.
Tugas Berduka :
respon terhadap berduka .sebagai contoh : anak anak tidak dapat memahami rasa
kehilangan atau kematian, tapi sering merasakan kecemasan akibat kehilangan
objek dan terpisah dari orang tua.
2.
berkualitas dan arti hubungan yang hilang akan mempengaruhi respon terhadap
berduka. Dukungan sosial dalam pemulihan dar rasa kehilangan dan berduka.
3.
pada prilaku kesehatan dan kesejahteraan klien. Tekanan akbibat kematian yang
tidak diharapkan dan tiba-tiba memberikan tantangan yang berbeda dibanding
dengan kematian karena penyakit kronis.
4.
sesorang untuk memasukkan dukungan dan sunber daya untuk beradaptasi dengan
rasa kehilangan dan respon fisik terhadap tekanan. Ketika individu kekurangan
sumber daya financial beban kehilangan menjadi berlipat. Sebagai contoh seorang
klien dengan keterbatasan keuangan tidak dapat mengganti mobil yang rusak
akibat kecelakaaan dan membayar tagihan pengobatanakinat kecelakaan tersebut.
6.
Budaya dan etnik : budaya seseorang dan struktur sosial lainnya (misalnya
b.
c.
Hal yang terkait dengan keagamaan, kepercayaan dan nilai hidup (religious
e.
f.
Stres kehidupan
g.
Kebutuhan si sakit akan mudah dapat ditangkap , dianalisis dan dibahas melalui
komunikasi efektif, dimana terdapat persyaratan jujur dan terbuka (genuiness ),
tidak posesif (non possessive love) dan empati.Ada persyaratan lain yang harus
dipenuhi, yaitu menjaga kerahasiaan. Banyak pasien yang menginginkan kondisi
terminalnya tidak disampaikan kepada keluarganya. Susah memang, tetapi
keinginan ini harusnya dipenuhi sebagai bagian dari etik keperawatan . Aspek
medikolegal juga harus diperhitungkan dalam menjaga kerahasiaan ini. Sebagai
contoh, bilamana kematian tetap tidak dapat dicegah dan jenis maupun kwalitas
perawatannya tidak sesuai dengan harapan keluarga ada kemungkinan ketidak
puasan ini dapat menjadi masalah dikemudian hari.
Komunikasi dua arah antara pasien dan keluarga disatu pihak dan tim medis dip
ihak lain harus dapat menyimpulkan kondisi fisik dan emosi penderita sehingga
perencanaan akhir hayat dapat dilaksanakan dengan tepat. Agar isi pesan dapat
diterima maka jangan dilupakam kalau manus ia yang adalah mahluk
biopsikososiospir itual, memiliki 4 u nsur sehingga demensi penderita dengan
keadaan terminal adalah :
a.
Demensi fisik : penyakit utama, nyeri dan gejala lain berikut penanganannya
b.
c.
Demensi spiritual : nilai/ tujuan hidup, ikatan dengan leluhur dan kehidupan
beragama.
2.
penolakan
(denial),tahap
amarah
(anger),
tahap
tawar
menawar
yang
menimpa
penderita
menimbulkan
krisis
kehidupan dan perubahan besar ditempat kerja. Bagi mereka yang menggunakan
fungsi kognitif yang tinggi dan terpaterinya hubungan interpersonal yang
luas,inilah y ang merupakan merupakan hidup pen uh arti dan sekaligus
merupakan kekuatan hidup (Drench et al.2007). Karena itu tugas pendamping
bukan saja menghibur tetapi merubah pola fikir dengan cara melihat apek
kehidupan dari sudut pandang yang lain sehingga masih m erasa berdaya guna.
Proses inilah yang disebut cognitive reframing dan merupakan inti dari
pendampingan merencanakan sekaligus menyelesaikan tugas akhir didunia ini.
Pendampingan diakhir hayat hendaknya selalu mempertimbangkan kebutuhan si
sakit, terutamadi saat-saat penderita secara fisik sudah melemah. Sebagai manusia
yang holistik, maka perlu pendekatan secara holistik pula dengan memperhatikan
kebutuhan-kebutuhannya yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut :
a.
b.
Kebutuhan sosial :
Kebutuhan spiritual :
Kasih sayang yang diexpresikan secara nyata seperti jabat tangan, sentuhan,
strokes atau belaian.
Kesempatan untuk memperbaiki hubungan -hubungan interpersonalyang
terganggu diwaktu yang lalu, serta mendapatkan pengampunan atas kesalahankesalahannya dimasa lalu.
Keyakinan bahwa dirinya tetap dicintai dan dihargai.
Perasaan bahwa hidupnya tetap mempunyai arah/tujuan yang jelas dan berarti
bagi sesamanya.
4.
-Ross.
Lamanya
pascakematian.Sanders
(1989)
bisa
yang
berlangsung
mencetuskan
sampai
Integrative
-3
tahun
theory
of
bereavement , mengatakan bahwa ada 5 tahapan yang akan dilalui orang dalam
berdukacita yaitu :
a.
Tahap Shock: ada rasa tidak percaya musibah terjadi pada dirinya, fase ini
dilalui dengan rasa tidak berdaya walaupun melakukan tugas sekecil apapun.
b.
rasa letih berlebihan, bertanya pada diri sendiri seputar rasa kehilangan t ersebut,
sering mengisolir diri dan menolak melakuk an pekerjaan bahkan yang dulu
sangat diminatinya.
d.
bangkit kembali dari keterpurukannya. Pada awal fase ini orang acapkali merasa
heran dengan dirinya yang mulai dapat tertawa, bercanda bahkan kondisi ini
acapkali menimbulkan rasa bersalah pada dirinya d an acapkali membuatny a
mundur kembali.
e.
Tahap lembaran baru (renewal ) : pada akhirnya orang yang berduka cita
mulai melibatkan diri dalam semua aspek kehidupannya dengan kondisi barunya.
Dari teori yang diajukan Sanders ini perlu diperhatikan penderita yang
mengantisipasi kematiannya dengan melalui tahap-tahap ini sebelum dapat
merencanakan tugas dan kewajiban akhirnya. Dalam hal pendampingan ini ,
penderita maupun keluarga butuh pengertian dan bukan pemaksaan kehendak
pendamping atau kehendak keluarga walaupun mungki n hal itu baikbaginya. Bila
pendampingan tidak baik maka ada kemungkinan tahap penyembuhan apalagi
tahap lembaran baru tidak tercapai sehingga tugas akhir penderita tidak
terselesaikan.
Meninggal dunia dengan kondisi dimana penderita sadar benar bahwa
tugas dunianya tak terselesaikan akan melibatkan emosi yang pasti akan
mengganggu tahap kematiannya. Kondisi ini sering disebut sebagai the unfinished
bussiness suatu kondisi berlawanan dengan kematian dalam iman yang sering
disebut good-death.Mendampingi penderita bukanlah hal yang mudah.
Pengasuh (caregiver ) sering mengeluhkan kondisi perubahan negatif perilaku
penderita pada tim dokter. Kegelisahan penderita menyebabkan perlunya
penambahan energi fisik dan pemusatan perhatian di pihak pengasuh .
Kegelisahan mungki n karena distress penderita mengenai keadaannya yang
buruk. Tetapiperilaku manis yang ditunjukkan dengan berdiam diri, pasif ,
kecend erungan mengisolir diri, serta menolak makan dan minum juga bukan hal
yang baik.
Sering kali kondisi delierium dan depresi berat ditunjukkan dengan
penelantaran diri seperti perilaku manis tadi. Hati-hatilah dengan penelantaran dan
penyiksaan diri, karena hal ini kemungkinan juga merupakan upayabunuh diri
yang terselubung. Reaksi keluarga pada saat ditinggalkan penderita bermacam
macam, reaksi psikologis seperti sedih, marah , kecewa dan reaksi fisik sep erti
rasa lelah, sesak napas, sukar menelan dsb.
Bagi keluarga yang ditinggalkan bila pendampingan duka cita tidak
terlaksana dengan baik juga akan menimbulkan kondisi dukacit a yang tidak baik
bahkan potensial menimbulkan gangguan jiwa. Sebagai contoh bila tahap dukacita
berhenti pada keadaan penarikan diri maka akan terjadi gangguan neurosis atau
psikosomatis. Keadaan dimana anggauta keluarga selalu dalam kondisi cemas dan
depresi atau mengidap gangguan fisik akibat tekanan jiwanya (misalnya
dikalangan awam sakit maag) dan hal ini pasti mengganggu fungsi
kehidupan.Worden (2002), memberi 4 gambaran tugas dalam berduka cita (Task
of Mourning ) yaitu :
a.
b.
Menjalani rasa nyeri yang berhubungan dengan dukacita ini ( experience the
( emotionallyrelocate the person who has died and progress with life )Bilamana
terjadi hambatan dalam masa dukacita ini maka dapat terjadi griefing yang
abnormal atau complicated mourning dalam bentuk sebagai berikut :
Chronic grief reactions
Delayed grief reactions
Exaggerated grief reactions
Masked grief reactions
5.
menilai
kualitas
hidup
seseorang
dengan
menilai
status
penampilan
Mahajudin
2007)
mengatakan
lebih
70%
penderita
sangat
b.
c.
d.
lingkungan yang tenang dan terang, komunikasi yang efektif dan lainlain.Kebanyakan penderita dengan penyakit khronis yang serius menunjukkan
tanda-tanda kesedihan, cemas dan gejala -gejala depresi. Tanda dan gejala ini
biasanya berlangsung singkatsebagai reaksi terhadap situasi yang dihadapinya dan
bila persisten harus d inilai sebagai halyang abnormal dan perlu mendapatkan
perhatian secara khusus.
Depresi yang berkepanjangan dapat menjadi sumber penderitaan dan
karenanya perlu dinilai dan dideteksi secara dini. Lagi pula semakin dini diagnosis
ditegakkan semakin baik pul a responsnya terhadap terapi yangdiberikan. Faktor
risiko untuk terjadinya depresi antara lain rasa nyeri yang tidak terkontrol dengan
baik, hendaya fisik yang progresif dan tingkat keparahan penyakit yang
dideritanya, riwayat depresi diwaktu yang lalu, obat-obatan yang dipakai (steroid,
benzodiazepine) serta depresi yang secara langsung disebabkan oleh penyakitnya (
kanker pankreas, stroke pada hemisfer kiri ). Juga faktor sosial dan spiritual dapat
menimbulkan depresi pada penderita.
Penilaian adanya depresi pada penderita dengan penyakit yang sudah
lanjut tidak hanyaberdasarkan gejala somatiknya (nafsu makan/berat badan/libido
yang menurun, cepat lelah serta gangguan tidur) tetapi juga gejala psikologik dan
kognitifnya. Gejala depresi mayor yangmenonjol antara lain disforia yang
persisten, anhedonia, rasa tidak berdaya dan putus asa, rasa tidak berharga dan
hilangnya self-esteem, rasa bersalah yang berlebihan, kekecewaan yang
mendalam, pikiran yang berulang tentang kematian serta fikiran bunuh diri. T
anda lain seperti rasa nyeri yang tidak responsif terhadap pengobatan, perasaan
sedih dengan afek yang datar serta kecemasan, iritabilitas dan mood yang tidak
nyaman juga merupakan tanda yang signifikan.
Penatalaksanaan depresi pada penderita terminal meliputi pendekatan non
farmakologik seperti psikoterapi suportif, pendekatan kognitif, intervensi perilaku
(terapi relaksasi, terapi distraksi) dan pendekatan komplementer/alternatif serta
pemberian antidepresan dan psikostimulan. Mulailah dengan dosis rendah dan
perlahan-lahan dosisdititrasi sesuai dengan kebutuhan.
dapat
memperburuk
fungsi
kognitif
atau
menyebabkan
DAFTAR PUSTAKA