ISI
Sirosis Hepatis
Sirosis adalah penyakit yang serius dan progresif yang disebabkan oleh
kegagalanhepar.PenyebabsirosisyangpalingumumdiAmerikaadalahalcohol
(Lachnacs cirrhosis). Penyebab lainnya termasuk hepatitis kronik aktif
(postnecrosiscirrhosis),cardiaccirrhosis,hemochromatosis,penyakitWilson,dan
defesiensia1antitrypsin.Tanpamengindahkanpenyebabnya,necrosishepatosit
diikutiolehregenerasifibrosisdannodular.Distorsiselheparnormaldansusunan
vascular menghalangi aliran vena portal yang menyebabkan hipertensi portal,
sementarakerusakanpadasintesisnormalhepardanfungsimetabolismeberbeda
lainnyadisebabkanolehpenyakitmultisystem.Secaraklinis,tandadansymptom
tidakberhubungandengankeganasanpenyakit.Tandatandanyatabiasanyatidak
terlihatpadaawalnya,tapiikterusdanasitespadaakhirnyaakanberkembangpada
kebanyakan pasien. Tandatanda lain termasuk spidernevy, eritema palmaris,
ginekomasti,dansplenomegali.
Tigakomplikasiutamasirosishepatis,yaitu;(1)perdarahanvarises,akibat
hipertensiportal,(2)retensicairan,dalambentukasitesdansindromhepatorenal,
(3)encephalopathyhepaticataukoma.+10%pasienjugamengalamisetidaknya
satu rangkaian peritonitis bakteri spontan, dan beberapa akan mengalami
carcinomahepatoselulerpadaakhirnya.
Beberapa penyakit akan menghasilkan fibrosis hepar tanpa nekrosis
hepatoseluler atau regenerasi nodular. Hal tersebut diakibatkan oleh hipertensi
portal dan dihubungkan dengan komplikasi. Fungsi hepatoseluler tidak selalu
dapat dipelihara. Kerusakan ini termasuk didalamnya schistosomiasis, fibrosis
portal idiopatik (Sindrom Banti), dan fibrosis hepatic congenital. Obstruksi
pembuluhdarahheparatauvenacavainferior(BuddChiarisyndrome)jugadapat
menyebabkan hipertensi. Yang terakhir mungkin akibat dari trombosis vena
(hypercoaguablestate),tumorthrombus(renalcarcinoma),ataupenyakitoklusi
pembuluhdarahheparsublobular.
dengan
gangguan
hati
dapat
terjadi
hipoalbuminemia.
Kondisi
menurunkan aliran darah hati sampai 30-50 %. Pada orang normal yang menjalani
tindakan operasi dan anestesi penurunan aliran darah ke hati tidak menimbulkan
iskemia hepatik karena mekanisme kompensasi berupa penurunan kebutuhan
oksigen dan meningkatnya ekstraksi oksigen oleh sel hati. Pada seseorang yang
mengalami gangguan fungsi hati, mekanisme autoregulasi terganggu sehingga
penurunan aliran ke hati sedikit saja mempengaruhi fungsi dan integritas sel hati.
Ketidakcukupan pasokan oksigen merupakan penyebab utama dekompensasi hati
pasca-operatif.
Risiko Pembedahan pada Penyakit Hati
Luas disfungsi hati dan tipe operasi menentukan tingkat morbiditas dan
mortalitas pasien dengan gangguan fungsi hati. Pasien dengan tingkat kerusakan
hati minimal memiliki risiko mortalitas lebih kecil dibandingkan pasien yang
mengalami sirosis yang berat. Tipe operasi dan sifat operasi (emergensi atau
tidak) menentukan risiko mortalitas. Pada pasien sirosis hati yang menjalani
operasi abdomen terbuka memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan operasi
laparoskopi. Seperti disebutkan sebelumnya, penempatan refraktor di hati dan
manipulasi visera abdominal pada operasi abdomen terbuka dapat menyebabkan
penurunan pasokan darah ke hati sebesar 50-60%. Operasi abdomen terbuka
mortalitasnya dapat mencapai 57% dibandingkan laparoskopi yang hanya 20%.
Penilaian Preoperatif
Tujuan penilaian preoperatif pada pasien dengan penyakit hati adalah untuk
menentukan derajat disfungsi hati, menilai faktor risiko morbiditas dan mortalitas
Penatalaksanaan Perioperatif
Penyebab kematian utama pada pasien penyakit hati berat yang menjalani
operasi adalah perdarahan, sepsis, kegagalan hati (ensefalopati) dan sindrom
hepato-renal. Agar penanganan menjadi lebih optimal maka pasien penyakit hati
sebaiknya dirawat oleh tim multi disiplin yang terdiri dari ahli bedah, anestesi,
internist/hepatologist, cardiologist, ahli gizi medik, intencivist, dan disiplin ilmu
lain sesuai keperluan.
Penanganan
faktor
penyulit
seperti
malnutrisi,
koagulopati,
asites,
utama
gastroesofageal,
hemorrhoidal,
periumbilical,
dan
sedangkan
pembedahan
ablasi,
transreseksi
esophageal,
dan
devaskularisasi gaster direncanakan untuk pasien dengan resiko tinggi. Shunt non
selektif (portacaval dan proksimal splenorenal) umumnya ditinggalkan daripada
shunt selektif (distal splenorenal). Yang terakhir ini menekan varises tapi tidak
merusak aliran darah hepar cukup banyak dan mempunyai kecil kemungkinan
untuk menyebabkan encephalopathy setelah operasi.
Asites pada pasien sirosis harus dikendalikan, karena dapat mengganggu
ekspansi paru, menyebabkan herniasi dinding abdomen dan mengganggu
penyembuhan luka. Asites dapat dikurangi dengan pemberian diuretik atau
parasentesis sebelum operasi, atau drainase pada saat laparotomi. Parasentesis 4-5
liter tanpa pemberian albumin relatif aman. Total parasentesis yang mencapai 8-10
liter perlu diimbangi dengan pemberian albumin infus. Cairan asites sebaiknya
diperiksa untuk mengetahui peritonitis bacterial spontan.
b. Manifestasi Hematologi
Anemia, trombositopenia, dan jarang terjadi leucopenia, mungkin akan
muncul. Penyebab anemia umumnya multifactor dan termasuk didalamnya
kehilangan darah, meningkatkan destruksi sel darah merah, penekanan sum-sum
tulang, dan defisiensi nutrisi. Splenomegali kongestif (dari hipertensi portal)
memiliki peran yang sangat besar dalam trombositopenia dan leucopenia.
Defisiensi factor koagulasi akibat penurunan sintesa hepar. Fibrinolisis yang
bertambah setelah terjadi penurunan activator system fibrinolytic juga dapat
berperan terhadap koagulopati (lihat bab 34). Kebutuhan akan transfusi darah
sebelum operasi harus seimbang dengan peningkatan dalam muatan nitrogen.
Protein yang tidak bekerja akibat transfusi darah yang sangat banyak dapat
mempercepat
encephalopathy.
Tapi
bagaimanapun,
koagulopati
harus
diberikan apabila kadar fibrinogen <75 mg/dL. Bila kadar trombosit <
50.000/mm3 transfusi trombosit perlu diberikan.
c. Manifestasi sirkulasi
Sirosis secara khas ditandai dengan keadaan sirkulasi yang hiperdinamik.
Cardiac output sering meningkat, dan vasodilatasi perifer secara merata akan
muncul. Shunting arteriovenous dapat muncul pada sirkulasi sistemik dan
pulmonal. Shunting arteriovenous bersama dengan penurunan dalam viskositas
darah karena anemia setidaknya berpengaruh 50% untuk cardiac output. Pasien
dengan superimposed alcoholic cardiomyopathy dapat meningkatkan kegagalan
jantung kongestif dengan mudah.
d. Manifestasi respiratory
Gangguan terhadap pertukaran udara pulmonal selain itu juga sering muncul
ventilasi mekanis. Hiperventilasisudah umum dan dihasilkan dalam alkalosis
respirasi. Umumnya terdapat hipoksemia dan diakibatkan oleh shunting (> 40%
dari cardiac output). Shunting disebabkan oleh komunikasiarteriovenous
pulmonary (absolute) dan kesalahan ventilasi/perfusi (relatif). Elevasi diafragma
dari asites yang menurunkan volume paru-paru, khususnya kapasitas residu
fungsional, dan predisposisi pada atelektasis. Terlebih lagi, jumlah yang sangat
besar dari asites dapat menyebkan defek pada ventilatory restriktif yang
meningkatkan kerja pernapasan.
Dengan melihat foto thorax dan pengukuran gas darah artesi sangat berguna
sebelum operasi karena atelektasis dan hipoksemia seringkali tidak tampak dalam
gejala klinisnya. Paracentesis harus dipertimbangkan untuk pasien dengan asites
massif dan pertimbangan pulmonary tapi harus dilakukan dengan sangat hati-hati
karena perpindahan cairan yang terlalu banyak akan mengakibatkan kolaps
sirkulasi.
e. Manifestasi Renal dan Keseimbangan Cairan
Pengaturan ulang keseimbangan cairan dan elektrolit bermanifestasi sebagai
asites, edema, gangguan elektrolit, atau sindrom hepatorenal. Mekanisme penting
yang berperan serta dalam timbulnya asites, yaitu :
untuk
hipovolemia
relatif
dan
hiperaldosteronisme
sekunder.
tinggi. Penanganannya secara suportif dan sering tidak berhasil kecuali jika
dilakukan transplantasi hepar.
Terapi cairan preoperative yang bijaksana pada pasien dengan pasien penyakit
hepar tingkat lanjut. Pentingnya perawatan fungsi renalsebelum operasi tidak
dapat terlalu mendapatkan penekanan. Diuresis pre operasi yang sangat berlebihan
harus dihindari, dan deficit cairan intravaskuler akut harus dikoreksi denagn
infuse koloid. Diuresis dari asites dan cairan edema harus diselesaikan setelah
beberapa hari. Diuresis Loop hanya dapat diberikan setelah pemberian tindakan
seperti bedrest, retriksi natrium (<2 g NaCl/d), dan terapi spironolakton dianggap
tidak efektif. Pengukuran berat badan setiap hari sangat penting untuk mencegah
pengosongan volume intravascular selama diuresis. Untuk pasien yang menderita
asites dan edema perifer, tidak lebih dari 1 kg/d harus dihilangkan selama diuresis,
sementara mereka yang hanya memiliki asites saja, yang harus dihilangkan lebih
dari 0,5 kg/d. Hiponatremia (serum Na+ < 130 meq/L) juga harus diretriksi cairan,
sedangkan deficit kalium harus diganti melalui preoperasi. Infus manitol
propilaktif perioperasi mungkin efektif untuk mencegah kerusakan renal, tapi hal
ini belum dibuktikan secara pasti.
Menghindari obat-obatan yang bersifat nefrotoksik (obat anti inflamasi
nonsteroid, antibiotik golongan aminoglikosid) dan selalu memperhatikan
keseimbangan cairan tubuh dapat mengurangi risiko gagal ginjal akut. Tindakan
dialisis preoperatif perlu dilakukan apabila dengan cara konvensional azotemia
tidak terkoreksi.
f. Manifestasi Sistem Saraf Pusat
Encephalopaty hepatic ditandai dengan perubahan pada status mental dengan
tanda-tanda neurologist yang tidak tetap (asterixis, hiperfleksi, atau refleks plantar
yang abnormal) dan perubahan electroencephalographie khusus ( tekanan tinggisimetris, aktivitas gelombang yang lemah). Beberapa pasien juga mengalami
peningkatan tekanan intracranial. Encephalopaty metabolic berhubungan dengan
jumlah kerusakan hepatoseluler yang muncul maupun derajat shunting dari daerah
portal jauh dari hepar dan langsung masuk ke sirkulasi sistemik. Akumulasi
substansi yang berasal dari daerah gastrointestinal tetapi dimetabolisme secara
normal oleh hepar telah di libatkan. Toksin, termasuk didalamnya ammonia,
hipokalemi
(dari
muntah-muntah
atau
diuresis),
infeksi
dan
yang
mengalami
trombositopeni
terkait
hipersplenik.
Apabila
dibutuhkan, tapi waktu paruh opioid cenderung lama. Cisatracurium bisa jadi agen
yang memblok neuromuscular yang dipilih, karena metabolisme hepaticnya yang
unik.
Mual sebelum operasi, muntah, perdarahan gastrointestinal atas, distensi
abdomen yang diakibatkan oleh asites yang sangat banyak, membutuhkan induksi
yang terencanakan dengan baik. Preoksigenasi dan rangkaian induksi yang sering
dengan tekanan cricoid sangat sering dijalankan. Untuk pasien yang tidak stabil
dan mereka dengan perdarahan aktif sangat disarankan, intubasi sadar atau induksi
yang sering dengan tekanan cricoid menggunakan ketamine (ethiomidate) dan
succyniocholine.
c. Monitoring
Monitoring yang teliti terhadap system respirasi dan kardiovaskular penting
bagi pasien yang menjalani prosedur abdominal. Monitoring EKG five lead pada
pasien yang diberi infuse vasopressin penting untuk mendeteksi iskemik miokard,
vasokonstriksi koroner. Oksimetri denyut nadi harus ditambahkan dengan
pengukuran gas darah arteri untuk mengevaluasi status asam basa. Pasien dengan
shunt intrapulmonary dari kanan ke kiri yang besar tidak dapat mentoleransi
penambahan nitrous oxide dan akan membutuhkan tekanan positif akhir ekspirasi
(PEEP) untuk mengatasi ketidakcukupan ventilasi/perfusi dan hipoksemia yang
mungkin akan terjadi.
Monitoring terhadap tekanan intraarterial umum dilakukan terhadap
kebanyakan pasien. Perubahan yang cepat pada tekanan darah munculsebagai
akibat dari perdarahan yang sangat banyak, pergantian cairan intercomparemental
yang sering dan manipulasi pembedahan. Status volume intravascular seringkali
sulit ditentukan tanpa ada monitoring, juga pada vena sentral atau tekanan arteri
pulmonary. Monitoring yang seperti ini mungkin kritis untuk mencegah sindrom
hepatorenal. Urinary output juga harus diawasi dengan cermat, mannitol atau
dopamine dalam dosis rendah harus dipertimbangkan agar bias diperoleh urinary
output yang sedikit meskipun perpindahan cairan intravaskuler memenuhi syarat.
d. Pemberian cairan
Sebelum operasi, sebagian besar pasien mengalami retriksi natrium, namun
pada intraoperatif, nperawatan terhadap volume intravascular dan urinary output
lebih diprioritaskan. Penggunaan cairan koloid intravena lebih dipilih untuk
menghindari berlebihnya muatan natrium dan untuk meningkatkan tekanan
onkotik. Pemberian cairan intravena harus dipertimbangkan karena perdarahan
hebat dan perpindahan cairan yang sering muncul pada pasien dengan prosedur
abdominal. Venous engorgement dari hipertensi portal, lisis dan adhesi setelah
pembedahan sebelumnya, dan koagulopati yang menyebabkan perdarahan hebat
selama pembedahan, sementara evakuasi asites dan prosedur pembedahan yang
berkepanjangan mengakibatkan perpindahan cairan dalam jumlah besar.
Pemberian cairan koloid intravena sering penting untuk mencegah hipotensi
yang dalam dan gagal ginjal yang menikuti perpindahan sejumlah besar cairan
asites. Karena sebagian besar pasien mengalami anemia dan koagulopati sebelum
operasi, transfusi merupakan hal yang sering dilakukan. Transfusi penting, bisa
memberi hasil dalam toksisitas sitrat. Sitrat, merupakan antikoagulan dalam
persiapan penyimpanan sel darah merah, dapat dimetabolisme dalam hepar
dengan mudah. Toksisitas dapat muncul pada pasien denga sirosis karena
mengalami gangguan metabolisme. Sitrat berikatan dengan serum kalsium
mengakibatkan hipokalsemia lanjutan. Kalsium intravena sering penting untuk
menghilangkan efek negative inotropik dalam satu tetes konsentrat kalsium berion
darah.
III. Pertimbangan Post operatif
Pasca-operasi pasien dengan gangguan fungsi hati harus dipantau secara
ketat. Jika preoperatif pasien memiliki faktor risiko tinggi maka pemantauan di
ICU diperlukan. Pasien harus dipantau secara teliti adanya tanda - tanda
dekompensasi hati, yaitu peningkatan kadar bilirubin dibandingkan preoperasi,
koagulopati, tanda - tanda disseminated intravascular coagulation (DIC),
ensefalopati dan asites. Fungsi renal harus dipantau untuk mengantisipasi risiko
sindrom hepato-renal. Kadar glukosa juga perlu dipantau karena pada
dekompensasi hati sering terjadi hipoglikemia. Tidak kalah penting adalah selalu
DAFTAR PUSTAKA
Garrison RN, Cryer HM, Howard DA, Polk HC. Clarification of risk factors for
abdominal operations in patients with hepatic cirrhosis. Ann Surg
1984;199(6):648-54.
Haranath SP. Perioperative management of the patient with liver disease. Loist
updated:
2006.
Acsessect
February
2007.
Available
from
http://www.emedicine.com.
Ziser A, Plevak DJ. Morbidity and mortality in cirrhotic patients undergoing
anesthesia and surgery. Current Opinion in Anaesthesiology 2001;14:707-11.
Pannen BHJ. Hepatic blood flow during anaesthesia and surgery. Europian
Society
of
Anaesthesiologist
2000.
Available
from
http:/www.euroanesthesia.org/rc-vienna/04rcl.HTM.
Friedman L.S. The risk of surgery in patients with liver disease. Hepatology 1999;
29(6):1617-23.
Sallah S., Bobzien B. Bleeding problem in patients with liver disease. Postgrad
Med 1999;106(4):187-95.
Malde AD. Viral hepatitis and anaesthesiologist. Indian J Anaesth 2004;48:26475.
Yeh CN, Chen MF, Jan YY. Laparoscopic cholecystectomy in 226 cirrhotic
patients. Experience of a single center in Taiwan. Surg Endosc 2002;16:
1583-7.
Suman A., Carey W. Assessing the risk of surgery in patients with liver disease.
Cleveland Clinic J of Medicine 2006;73(4):398-404.
Patel T. Surgery in he patient with liver disease. Mayo Clin Prac 1999;74:593-9.
Wiklund RA. Preoperative preparation of patients with advanced liver disease.
Crit Care Med 2004;32(4,Suppl):S106-S115.
Northup PG, Wanamaker RC, Lee VD, Adams RB, Berg CL. Ann Surgery 2005;
242:244-51.
Lu W, Wai CT. Surgery in patients with advanced liver cirrhosis : a Pandoras box.
Singapore Med J 2006;47(2):152-5.
Keegan MT, Plevak DJ. Preoperative assessment of the patient with liver disease.
Am J Gastroeterol 2005;100:2116-27
Heidelbaugh JL, Sherbondy M. Cirrhosis and chronic liver failure: Part II.
Complication and treatment. Am Fam Physician 2006;74(5):767-76.
Clarke P, Bellamy MC. Anaesthesia for patients with liver disease. Bulletin 4 The
Royal College of Anaesthetists 2000;158-61.