Anda di halaman 1dari 21

PENDAHULUAN

Prevalensi penyakit hepar meningkat di Amerika Serikat. Sirosis merupakan


terminal patologi pada mayoritas penyakit hepar, didapatkan+
5% pada otopsi pada
seluruhinsidens.Sirosismerupakanpenyebabutamakematianpadalakilakidekadeke4
danke5,sertamortalityratenyameningkat.Pasiendenganpenyakithepar,+10%nya
mendapatkanoperasidalamkurunwaktu2tahunterakhirkehidupannya.Heparmemiliki
fungsiyangluarbiasadanmanifestasiklinikdaripenyakitheparseringtidaktampak
sampaiterjadikerusakanyangluas.Sebagaiakibatnya,ketikadatangkeruangoperasi,
beberapaefekdarianastesidanpembedahan dapatmemicudekompensasiheparyang
lebihlenjutmenujukearahgagalhepar.

Pasien dengan sirosis hepatis sering kali harus menjalani operasi.


Diperkirakan 1 di antara 700 pasien yang masuk ke rumah sakit untuk menjalani
operasi elektif memiliki gambaran fungsi hati yang abnormal. Penderita sirosis
hati saat ini kelangsungan hidupnya menjadi lebih lama karena faktor penyulit
seperti varises esofagus, koagulopati, masalah gizi dan asites relatif sudah dapat
ditangani lebih baik.
Sebelum klinisi memutuskan apakah pasien dengan gangguan sirosis hepatis
layak atau tidak dilakukan operasi maka sebelumnya harus dilakukan penilaian
preoperatif sehingga dapat diprediksi risiko morbiditas dan mortalitasnya.
Masalah yang muncul adalah sampai saat ini belum ada parameter sensitif yang
dapat menggambarkan korelasi yang kuat antara hasil pemeriksaan biokimiawi
dengan derajat kerusakan hati. Penilaian preoperatif pada pasien dengan sirosis
hepatis sangat penting karena semakin luas tingkat kerusakan hati semakin besar
pula risiko kematian. Jenis tindakan operasi dan sifat operasi (emergensi atau
tidak) juga sangat berpengaruh pada risiko mortalitas.
Pasien dengan gangguan sirosis hepatis secara hemodinamik sangat rentan
terhadap penurunan pasokan darah ke hati (hepatic blood flow). Tindakan operasi
dan anestesi yang dapat menurunkan pasokan darah ke hati menimbulkan
komplikasi pasca-operasi. Dengan demikian manajemen perioperatif yang optimal
pada pasien dengan sirosis hepatis yang akan menjalani operasi sangat penting
karena dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Penilaian preoperatif
yang baik dapat memprediksi kelangsungan hidup pasien dengan akurasi 90%
pada pasien sirosis yang menjalani operasi abdomen.

ISI
Sirosis Hepatis
Sirosis adalah penyakit yang serius dan progresif yang disebabkan oleh
kegagalanhepar.PenyebabsirosisyangpalingumumdiAmerikaadalahalcohol
(Lachnacs cirrhosis). Penyebab lainnya termasuk hepatitis kronik aktif
(postnecrosiscirrhosis),cardiaccirrhosis,hemochromatosis,penyakitWilson,dan
defesiensia1antitrypsin.Tanpamengindahkanpenyebabnya,necrosishepatosit
diikutiolehregenerasifibrosisdannodular.Distorsiselheparnormaldansusunan
vascular menghalangi aliran vena portal yang menyebabkan hipertensi portal,
sementarakerusakanpadasintesisnormalhepardanfungsimetabolismeberbeda
lainnyadisebabkanolehpenyakitmultisystem.Secaraklinis,tandadansymptom
tidakberhubungandengankeganasanpenyakit.Tandatandanyatabiasanyatidak
terlihatpadaawalnya,tapiikterusdanasitespadaakhirnyaakanberkembangpada
kebanyakan pasien. Tandatanda lain termasuk spidernevy, eritema palmaris,
ginekomasti,dansplenomegali.
Tigakomplikasiutamasirosishepatis,yaitu;(1)perdarahanvarises,akibat
hipertensiportal,(2)retensicairan,dalambentukasitesdansindromhepatorenal,
(3)encephalopathyhepaticataukoma.+10%pasienjugamengalamisetidaknya
satu rangkaian peritonitis bakteri spontan, dan beberapa akan mengalami
carcinomahepatoselulerpadaakhirnya.
Beberapa penyakit akan menghasilkan fibrosis hepar tanpa nekrosis
hepatoseluler atau regenerasi nodular. Hal tersebut diakibatkan oleh hipertensi
portal dan dihubungkan dengan komplikasi. Fungsi hepatoseluler tidak selalu
dapat dipelihara. Kerusakan ini termasuk didalamnya schistosomiasis, fibrosis
portal idiopatik (Sindrom Banti), dan fibrosis hepatic congenital. Obstruksi
pembuluhdarahheparatauvenacavainferior(BuddChiarisyndrome)jugadapat
menyebabkan hipertensi. Yang terakhir mungkin akibat dari trombosis vena
(hypercoaguablestate),tumorthrombus(renalcarcinoma),ataupenyakitoklusi
pembuluhdarahheparsublobular.

Pengaruh Operasi dan Anestesi Pada Pasien Sirosis Hepatis


Hati merupakan salah satu organ vital tubuh. Fungsi utama hati terutama
bertanggungjawab terhadap metabolisme glukosa dan lemak, sistesis protein
(albumin, globulin, dan faktor koagulan), ekskresi bilirubin, metabolisme obat dan
hormon dan detoksifikasi. Organ hati memegang peran penting dalam pengaturan
sirkulasi darah karena sekitar 25% curah jantung akan bersirkulasi melalui hati.
Aliran darah di hati melalui dua pembuluh darah, yaitu arteri hepatika
bertanggungjawab terhadap 25 - 30% total aliran darah hati (namun memberikan
50% pasokan oksigen ke hati), dan vena porta menyumbangkan 75% dari total
aliran darah ke hati. Aliran vena porta menerima darah dari lambung, limpa,
pankreas dan usus yang kaya akan nutrien, namun pasokan oksigen ke hati tidak
lebih dari 50 - 55%.
Pada pasien yang tidak memiliki gangguan fungsi hati, pemberian obat
anestesi, analgetik, sedatif, dan tindakan pembedahan dapat meningkatkan kadar
transaminase, alkali fhosfhatase, dan kadar bilirubin, namun umumnya bersifat
sementara. Sebaliknya pasien dengan penyakit hati penurunan pasokan darah ke
hati akibat tindakan operasi maupun anestesi dapat memicu dekompensasi hati.
Kerusakan hati yang berat pada sirosis hati dapat menimbulkan hipoalbuminemia,
trombositopenia, koagulopati, menurunnya imunitas, intoksikasi, perubahan
hemodinamik, ensefalopati dan sindrom hepatorenal. Keadaan tersebut menjadi
faktor penyulit pada saat tindakan operasi dan anestesi.
Hati berfungsi sebagai organ sintesis protein albumin dan globulin. Pada
pasien

dengan

gangguan

hati

dapat

terjadi

hipoalbuminemia.

Kondisi

hipoalbuminemia sangat menghambat proses penyembuhan luka. Penurunan


sintesis globulin di hati menyebabkan seseorang menjadi peka terhadap infeksi
karena sistem imunitas tubuh secara fungsional kemampuannya menurun. Pada
disfungsi hati yang berat metabolisme glukosa juga terganggu. Terganggunya
penggunaan glukosa dan meningkatnya kadar hormon pertumbuhan dan glukagon
dapat memicu intoleransi glukosa. Sintesis faktor pembekuan darah yang
diproduksi di hati mengalami penurunan pada pasien yang mengalami disfungsi
hati. Koagulopati dan trombositopenia (akibat hipertensi portal) meningkatkan

risiko perdarahan baik pre maupun pasca-operasi. Gangguan faktor pembekuan


darah terjadi akibat menurunnya sintesis faktor prokoagulan dan antikoagulan,
terganggunya pembersihan faktor koagulasi yang teraktifasi, defisiensi nutrisi
(vitamin K, asam folat), splenomegali, defek kualitatif trombosit dan akibat
penekanan trombopoiesis sumsum tulang.
Pada pasien sirosis, umumnya mengalami perubahan pola hemodinamik yang
bersifat hiperdinamik berupa peningkatan curah jantung, menurunnya resistensi
vascular sistemik dan meningkatnya volume intravaskular. Perfusi jaringan
menurun karena adanya shunting arterio-venosa. Respons sistem kardiovaskular
terhadap simpatomimetik eksogen dan endogen menurun. Shunting intrapulmomal, meningkatnya cairan ekstravaskular, diafragma yang mengalami
elevasi karena desakan asites menyebabkan timbulnya mismatch rasio ventilasi
terhadap aliran darah, hipoksemia dan hipoventilasi. Aliran darah ke ginjal juga
cenderung menurun sehingga risiko terjadinya sindrom hepatorenal meningkat.
Hati berperan dalam metabolisme dan eliminasi berbagai jenis obat.
Metabolisme obat pada pasien dengan disfungsi berat akan terganggu karena
menurunnya jumlah hepatosit dan pasokan aliran darah hati. Waktu paruh
beberapa obat menjadi meningkat dan eliminasi menurun. Risiko intoksikasi obat
meningkat. Contohnya, kerja obat penyekat neuromuscular (neuromuscular
blocking) menjadi lebih panjang karena aktivitas enzim pseudokolinesterase
menurun pada pasien dengan gangguan fungsi hati.
Morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan penyakit hati dipengaruhi oleh
faktor stres tindakan operasi dan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan
penyakit hati dipengaruhi oleh faktor stres tindakan operasi dan anestesi.
Tindakan operasi dan anestesi menurunkan pasokan aliran darah menuju hati.
Pasien dengan sirosis sangat peka terhadap perubahan hemodinamik. Semakin
banyak perdarahan semakin banyak penurunan pasokan darah ke hati. Pada
operasi abdomen, aliran darah hati regional menurun karena oklusi struktur
vaskular, terutama apabila arteri hepatika atau vena porta diklem untuk
mengurangi aliran darah selama reseksi hati. Penempatan refraktor di hati dan
manipulasi visera abdominal dapat menurunkan pasokan darah ke hati mencapai
50-60%. Pemberian obat anestesi secara regional maupun general dapat

menurunkan aliran darah hati sampai 30-50 %. Pada orang normal yang menjalani
tindakan operasi dan anestesi penurunan aliran darah ke hati tidak menimbulkan
iskemia hepatik karena mekanisme kompensasi berupa penurunan kebutuhan
oksigen dan meningkatnya ekstraksi oksigen oleh sel hati. Pada seseorang yang
mengalami gangguan fungsi hati, mekanisme autoregulasi terganggu sehingga
penurunan aliran ke hati sedikit saja mempengaruhi fungsi dan integritas sel hati.
Ketidakcukupan pasokan oksigen merupakan penyebab utama dekompensasi hati
pasca-operatif.
Risiko Pembedahan pada Penyakit Hati
Luas disfungsi hati dan tipe operasi menentukan tingkat morbiditas dan
mortalitas pasien dengan gangguan fungsi hati. Pasien dengan tingkat kerusakan
hati minimal memiliki risiko mortalitas lebih kecil dibandingkan pasien yang
mengalami sirosis yang berat. Tipe operasi dan sifat operasi (emergensi atau
tidak) menentukan risiko mortalitas. Pada pasien sirosis hati yang menjalani
operasi abdomen terbuka memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan operasi
laparoskopi. Seperti disebutkan sebelumnya, penempatan refraktor di hati dan
manipulasi visera abdominal pada operasi abdomen terbuka dapat menyebabkan
penurunan pasokan darah ke hati sebesar 50-60%. Operasi abdomen terbuka
mortalitasnya dapat mencapai 57% dibandingkan laparoskopi yang hanya 20%.

Operasi laparoskopi lebih aman dibandingkan operasi terbuka. Pada studi


retrospektif yang melibatkan 226 pasien sirosis (Child Pugh A atau B) yang
menjalani kolesistektomi laparoskopi, dilaporkan kematian hanya 2 orang
(0,88%). Operasi bedah emergensi dibandingkan operasi elektif lebih memberikan
risiko mortalitas. Pada pasien dengan sirosis hati operasi jantung emergensi
menyebabkan mortalitas sebesar 80% dibandingkan operasi elektif (3-46 %).
Tingkat kerusakan hati berkorelasi dengan mortalitas pasien. Pasien sirosis
hati dengan nilai prothrombine time (PT) di atas normal, 47% di antaranya
meninggal dibandingkan pasien yang memiliki PT normal yaitu 7%. Pasien sirosis
dengan kategori Child kelas A yang meninggal hanya 10% dibandingkan Child
kelas B 31% dan Child kelas C 76%.

Penilaian Preoperatif
Tujuan penilaian preoperatif pada pasien dengan penyakit hati adalah untuk
menentukan derajat disfungsi hati, menilai faktor risiko morbiditas dan mortalitas

berkaitan dengan tindakan operasi, sehingga penanganan preoperatif dapat


diberikan secara lebih optimal dan komplikasi pascaoperasi dapat ditekan. Risiko
morbiditas dan mortalitas pasien dengan penyakit hati tergantung pada derajat
disfungsi hati dan tipe operasi. Pemeriksaan biokimiawi konvensional yang
mencerminkan gangguan fungsi hati berkorelasi lemah dengan tingkat disfungsi
hati. Salah satu contoh, pasien dengan sirosis awal parameter biokimiawinya
masih mungkin dalam keadaan normal. Contoh lain, pada pasien dengan
peningkatan transaminase masih sulit untuk menilai apakah perjalanan gangguan
tersebut baru mulai atau sudah dalam perbaikan. Oleh sebab itu dalam
memberikan penilaian preoperatif diperlukan pengumpulan dan penilaian data
secara lebih teliti sehingga dapat direncanakan kapan saatnya tindakan operasi.
Evaluasi preoperatif dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis selain menggali keluhan pasien juga diarahkan untuk mendapatkan
faktor risiko penyakit hati, seperti riwayat transfusi darah, minum alkohol
berlebih, penggunaan obat narkotika intravena dan hubungan seks yang berisiko
tinggi. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendapatkan tanda-tanda hepatitis
akut/kronis seperti: pruritus, ikterus, hepato-splenomegali, asites, palmar eritem,
atrofi testis, spider nevi, dilatasi vena di dinding abdomen, ginekomasti, dan
sebagainya.
Temuan anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat lebih mengarahkan ada
tidaknya disfungsi hati sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan perlu
tidaknya pemeriksaan labortorium dan pemeriksaan pendukung lainnya. Faktor
penyulit yang merupakan bentuk kegagalan fungsi hati primer, seperti asites,
koagulopati, ensefalopati, hipoalbuminemia, peningkatan kadar bilirubin, asites
dan malnutrisi harus diidentifikasi. Bentuk kegagalan fungsi hati sekunder yang
dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular, otak, sistem endokrin, ginjal dan
sistem imunitas juga harus dinilai dengan teliti.
Penilaian Resiko Operasi Pada Pasien Sirosis Hepatis
Penilaian menggunakan Chil-Pugh classification atau Pugh scoring system
dan Model of End State Liver Disease (MELD) score sering digunakan untuk
menilai risiko operasi pada pasien sirosis hati. Klasifikasi Child-Pugh (klas A, B

atau C) menilai kombinasi 3 parameter biokimiawi (pro-thrombin time, albumin,


bilirubin) dan 3 parameter klinis (status nutrisi, ada/tidak asites, ensefalopati).
Sistem skor Pugh hampir sama dengan klasifikasi Child-Pugh hanya parameter
nutrisi tidak dinilai. Penilaiannya hampir sama, yaitu: Child kelas A identik
dengan skor Pugh 5-6, Child kelas B identiK dengan skor Pugh 7-9 dan Child C
identik dengan skor Pugh 10-15. Makin tinggi kelas atau skor makin besar
mortalitasnya.
MELD score pada awalnya dikembangkan dan divalidasi untuk menilai
prognosis pasien sirosis yang menjalani prosedur transjugular intrahepatic
portosystemic shunt (TIPS). Nilai skor terdiri atas 3 parameter objektif, yaitu
serum international normalized ratio (INR), bilirubin total dan kadar kreatinin.
Berdasarkan beberapa studi, MELD score, yang merupakan parameter objektif
dalam menilai derajat sirosis, sangat bermanfaat sebagai prediktor preoperatif
risiko mortalitas pada pasien sirosis yang menjalani operasi. Pasien sirosis dengan
skor >15 memiliki risiko mortalitas tinggi. Apabila operasi harus dilakukan maka
perlu dipilih alternatif metode operasi (misalnya, laparotomi terbuka diganti
dengan laparoskopi), atau operasi dilakukan secara hati-hati dan pasien dipantau
secara ketat. Pasien sirosis hati mempunyai risiko mortalitas tinggi apabila (1)
menjalani operasi emergensi, operasi abdomen (kolesistektomi, reseksi gaster,
kolektomi), operasi jantung dan reseksi hati, (2). Pasien memiliki penampilan
klinis seperti seperti: sirosis Child (C>B), asites, ensefalopati, infeksi, anemia,
malnutrisi, ikterus, hipoalbuminemia, hipertensi portal, pemanjangan waktu
protrombin >2,5 di atas normal yang tidak terkoreksi dengan vitamin K.

Penatalaksanaan Perioperatif
Penyebab kematian utama pada pasien penyakit hati berat yang menjalani
operasi adalah perdarahan, sepsis, kegagalan hati (ensefalopati) dan sindrom
hepato-renal. Agar penanganan menjadi lebih optimal maka pasien penyakit hati
sebaiknya dirawat oleh tim multi disiplin yang terdiri dari ahli bedah, anestesi,
internist/hepatologist, cardiologist, ahli gizi medik, intencivist, dan disiplin ilmu
lain sesuai keperluan.
Penanganan

faktor

penyulit

seperti

malnutrisi,

koagulopati,

asites,

ensefalopati, gangguan fungsi ginjal dan elektrolit, perdarahan varises, serta


pemilihan teknik, obat anestesi dan pemantauan pasca-operasi harus dilakukan
secara optimal agar dapat menurunkan komplikasi dan kematian pasca-operasi.
I. Pertimbangan preoperatif
Pasien dengan sirosis memiliki resiko tinggi mengalami penurunan fungsi
hepar karena terbatasnya reservasi fungsional. Keberhasilan penanganan anestesi
pada apsien tergantung pada pengenalan sifat/jenis multisistem dari sirosis dan
mengontrol atau mencegah komplikasinya.

Manifestasi Sirosis dan Penatalaksanaan Preoperatifnya


a. Manifestasi Gastrointestinal
Hipertensi portal (>10mmHg) mengakibatkan berkembangnya saluran portalvena sistemik kolateral yang panjang. Secara umum telah diketahui 4 tempat
kolateral

utama

gastroesofageal,

hemorrhoidal,

periumbilical,

dan

retroperitoneal. Hipertensi portal sering muncul sebelum operasi seperti


dibuktikan dengan melebarnya pembuluh darah pada dinding abdominal (caput
medusa). Perdarahan yang banyak dari varises gastroesofageal adalah penyebab
utama morbiditas dan mortalitas pada pasien sirosis. Selain itu, efek dari
kehilangan banyak darah, peningkatan muatan nitrogen (tidak jalannya darah pada
daerah intestinal) dapat mempercepat terjadinya encephalopathy hepatic.
Endoskopi merupakan alat diagnosis dan terapi yang baik. Identifikasi terhadap
tempat perdarahan sangat penting, karena pasien ini akan mengalami perdarahan
dari ulkus peptic atau gastritis, yang membutuhkan terapi berbeda.
Penanganan perdarahan varises umumnya secara suportif. Darah yang hilang
harus digantikan dengan cairan intravena. Penanganan non bedah termasuk
didalamnya vasopressin (0,1-0,9 u/min. secara intravena), propanolol, balloon
tamponade (dengan tube Sengstaken Blakorhore), somatostatin (250 ug diikuti
dengan 250 ug/jam), dan sclerosis endoskopik dari varises. Vasopressin,
somatostatin, dan propanolol, mengurangi kehilangan darah. Vasopressin dalam
dosis tinggi dapat dihasilkan dalam gagal jantung kongestif atau miokardial
iskemik, infuse concomitant dari nitrogliserin intravena dapat mengurangi
kemungkinan komplikasi, selain itu juga mengurangi pendarahan. Endoskopik
sclerosis atau ligasi dari varises biasanya efektif untuk menghentikan
perdarahan + 90% dari seluruh perdarahan. Percutaneus transjugular intrahepatic
portosystemic shunts (TIPS) dapat menurunkan hipertensi portal dan perdarahan
(tapi, dapat meningkatkan luasnya jangkitan

encephalopathy). Pada saat

perdarahan gagal dihentikan atau terjadi lagi, pembedahan darurat harus


dilakukan. Resiko pembedahan telah diperlihatkan untuk menghubungkan dengan
tingkat kerusakan hepar, berdasarkan penemuan klinis dan laboratorium.
Prosedur shunting umumnya hanya dilakukan pada pasien dengan resiko
rendah,

sedangkan

pembedahan

ablasi,

transreseksi

esophageal,

dan

devaskularisasi gaster direncanakan untuk pasien dengan resiko tinggi. Shunt non
selektif (portacaval dan proksimal splenorenal) umumnya ditinggalkan daripada
shunt selektif (distal splenorenal). Yang terakhir ini menekan varises tapi tidak
merusak aliran darah hepar cukup banyak dan mempunyai kecil kemungkinan
untuk menyebabkan encephalopathy setelah operasi.
Asites pada pasien sirosis harus dikendalikan, karena dapat mengganggu
ekspansi paru, menyebabkan herniasi dinding abdomen dan mengganggu
penyembuhan luka. Asites dapat dikurangi dengan pemberian diuretik atau
parasentesis sebelum operasi, atau drainase pada saat laparotomi. Parasentesis 4-5
liter tanpa pemberian albumin relatif aman. Total parasentesis yang mencapai 8-10
liter perlu diimbangi dengan pemberian albumin infus. Cairan asites sebaiknya
diperiksa untuk mengetahui peritonitis bacterial spontan.
b. Manifestasi Hematologi
Anemia, trombositopenia, dan jarang terjadi leucopenia, mungkin akan
muncul. Penyebab anemia umumnya multifactor dan termasuk didalamnya
kehilangan darah, meningkatkan destruksi sel darah merah, penekanan sum-sum
tulang, dan defisiensi nutrisi. Splenomegali kongestif (dari hipertensi portal)
memiliki peran yang sangat besar dalam trombositopenia dan leucopenia.
Defisiensi factor koagulasi akibat penurunan sintesa hepar. Fibrinolisis yang
bertambah setelah terjadi penurunan activator system fibrinolytic juga dapat
berperan terhadap koagulopati (lihat bab 34). Kebutuhan akan transfusi darah
sebelum operasi harus seimbang dengan peningkatan dalam muatan nitrogen.
Protein yang tidak bekerja akibat transfusi darah yang sangat banyak dapat
mempercepat

encephalopathy.

Tapi

bagaimanapun,

koagulopati

harus

disembuhkan sebelum pembedahan. Faktor-faktor pembekuan harus digantikan


dengan produk darah yang tepat misalnya FFP dan kriopresipitat.
Koagulopati dan trombositopenia pada pasien penyakit hati harus dikoreksi
karena berisiko perdarahan durante atau setelah operasi. Koagulopati dikoreksi
dengan pemberian vitamin K 10 mg secara parenteral, fresh frozen plasma (FFP)
setiap 12 jam dengan dosis 10-15 ml/kg. Dosis >30 mL/kg dalam 24 jam berisiko
terjadinya kelebihan volume (volume overload). Infus creopricipitate perlu

diberikan apabila kadar fibrinogen <75 mg/dL. Bila kadar trombosit <
50.000/mm3 transfusi trombosit perlu diberikan.
c. Manifestasi sirkulasi
Sirosis secara khas ditandai dengan keadaan sirkulasi yang hiperdinamik.
Cardiac output sering meningkat, dan vasodilatasi perifer secara merata akan
muncul. Shunting arteriovenous dapat muncul pada sirkulasi sistemik dan
pulmonal. Shunting arteriovenous bersama dengan penurunan dalam viskositas
darah karena anemia setidaknya berpengaruh 50% untuk cardiac output. Pasien
dengan superimposed alcoholic cardiomyopathy dapat meningkatkan kegagalan
jantung kongestif dengan mudah.
d. Manifestasi respiratory
Gangguan terhadap pertukaran udara pulmonal selain itu juga sering muncul
ventilasi mekanis. Hiperventilasisudah umum dan dihasilkan dalam alkalosis
respirasi. Umumnya terdapat hipoksemia dan diakibatkan oleh shunting (> 40%
dari cardiac output). Shunting disebabkan oleh komunikasiarteriovenous
pulmonary (absolute) dan kesalahan ventilasi/perfusi (relatif). Elevasi diafragma
dari asites yang menurunkan volume paru-paru, khususnya kapasitas residu
fungsional, dan predisposisi pada atelektasis. Terlebih lagi, jumlah yang sangat
besar dari asites dapat menyebkan defek pada ventilatory restriktif yang
meningkatkan kerja pernapasan.
Dengan melihat foto thorax dan pengukuran gas darah artesi sangat berguna
sebelum operasi karena atelektasis dan hipoksemia seringkali tidak tampak dalam
gejala klinisnya. Paracentesis harus dipertimbangkan untuk pasien dengan asites
massif dan pertimbangan pulmonary tapi harus dilakukan dengan sangat hati-hati
karena perpindahan cairan yang terlalu banyak akan mengakibatkan kolaps
sirkulasi.
e. Manifestasi Renal dan Keseimbangan Cairan
Pengaturan ulang keseimbangan cairan dan elektrolit bermanifestasi sebagai
asites, edema, gangguan elektrolit, atau sindrom hepatorenal. Mekanisme penting
yang berperan serta dalam timbulnya asites, yaitu :

1. Hipertensi potal, yang meningkatkan tekanan hidrostatik dan transudasi


cairan melewati usus
2. Hipoalbuminemia, yang menurunkan tekanan onkotik plasma dan
transudasi cairan
3. Perembesan cairan limfe yang kaya protein dari permukaan serosa hepar
menjadi distorsi dan obstruksi saluran limfe di hepar
4. Retensi natrium renal (dan seringkali air).
Kedua teori underfilling dan overflow telah diajukan untuk menjelaskan
retensi natrium. Teori underfilling menyatakan bahwa meskipun total cairan
ekstraseluleryang dapat diukur dan volume plasma pada pasien sirosis dengan
asites meningkat, volume plasma efektif malah menurun; retensi natrium kurang
penting

untuk

hipovolemia

relatif

dan

hiperaldosteronisme

sekunder.

Ketidaksesuaian yang terlihat antara ukuran volume plasma efekstif dapat


dijelaskan dengan peningkatan volume darah splanchnic. Sebaliknya teori
overflow beranggapan bahwa abnormalitas yang utama adalah retensi natrium
oleh ginjal asites merepresentasikan transudasi menengah ke volume plasma yang
semakin meluas. Pasien dengan asites telah meningkatkan level sirkulasi
katekolamin, yang dianggap disebabkan oleh aliran simpatetik. Sebagai tambahan
untuk peningkatan rennin dan angiotensin II, pasien menunjukkan intensifitas
pada sirkulasi atrial natriuretic peptide.
Tanpa mengindahkan keterlibatan mekanisme, pasien sirosis dan asites telah
mengurangi perfusi renal, merubah hemodinamik intrarenal, memperbesar
reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan distal, dan gangguan pada klirens air
bebas. Hiponatremia dan hipokalemia sudah umum terjadi. Hiponatremia adalah
pengenceran, sedangkan hipokalemi disebabkan oleh kehilangan kalium melalui
urin yang sangat banyak (hiperaldosteronisme sekunder atau diuresis).
Manifestasi berkembangnya penyakit menuju yang lebih buruk dapat terlihat
dengan berkembangnya sindroma hepatorenal.
Sindrom hepatorenal adalah suatu gangguan fungsi renal pada pasien sirosis
yang biasanya diikuti dengan perdarahan gastrointestinal, diuresis aggresif, sepsis
atau pembedahan mayor. Hal ini ditandai oleh oligouria yang progresif dengan
retensi natrium yang banyak, azotemia, intractable ascites, dan mortality rate yang

tinggi. Penanganannya secara suportif dan sering tidak berhasil kecuali jika
dilakukan transplantasi hepar.
Terapi cairan preoperative yang bijaksana pada pasien dengan pasien penyakit
hepar tingkat lanjut. Pentingnya perawatan fungsi renalsebelum operasi tidak
dapat terlalu mendapatkan penekanan. Diuresis pre operasi yang sangat berlebihan
harus dihindari, dan deficit cairan intravaskuler akut harus dikoreksi denagn
infuse koloid. Diuresis dari asites dan cairan edema harus diselesaikan setelah
beberapa hari. Diuresis Loop hanya dapat diberikan setelah pemberian tindakan
seperti bedrest, retriksi natrium (<2 g NaCl/d), dan terapi spironolakton dianggap
tidak efektif. Pengukuran berat badan setiap hari sangat penting untuk mencegah
pengosongan volume intravascular selama diuresis. Untuk pasien yang menderita
asites dan edema perifer, tidak lebih dari 1 kg/d harus dihilangkan selama diuresis,
sementara mereka yang hanya memiliki asites saja, yang harus dihilangkan lebih
dari 0,5 kg/d. Hiponatremia (serum Na+ < 130 meq/L) juga harus diretriksi cairan,
sedangkan deficit kalium harus diganti melalui preoperasi. Infus manitol
propilaktif perioperasi mungkin efektif untuk mencegah kerusakan renal, tapi hal
ini belum dibuktikan secara pasti.
Menghindari obat-obatan yang bersifat nefrotoksik (obat anti inflamasi
nonsteroid, antibiotik golongan aminoglikosid) dan selalu memperhatikan
keseimbangan cairan tubuh dapat mengurangi risiko gagal ginjal akut. Tindakan
dialisis preoperatif perlu dilakukan apabila dengan cara konvensional azotemia
tidak terkoreksi.
f. Manifestasi Sistem Saraf Pusat
Encephalopaty hepatic ditandai dengan perubahan pada status mental dengan
tanda-tanda neurologist yang tidak tetap (asterixis, hiperfleksi, atau refleks plantar
yang abnormal) dan perubahan electroencephalographie khusus ( tekanan tinggisimetris, aktivitas gelombang yang lemah). Beberapa pasien juga mengalami
peningkatan tekanan intracranial. Encephalopaty metabolic berhubungan dengan
jumlah kerusakan hepatoseluler yang muncul maupun derajat shunting dari daerah
portal jauh dari hepar dan langsung masuk ke sirkulasi sistemik. Akumulasi
substansi yang berasal dari daerah gastrointestinal tetapi dimetabolisme secara
normal oleh hepar telah di libatkan. Toksin, termasuk didalamnya ammonia,

methionine metabolit (mercaptans), rangkaian pendek nasam lemak, dan phenol.


Keabnormalan lainnya termasuk naiknya level darah dari asam amino aromatic,
menurunnya level darah dari asam amino rantai cabang, peningkatan penyerapan
oleh sawar darah otak, dan level tinggi yang abnormal dari g-aminobutiric acid
dalam otak. Faktor-faktor yang diketahui mempercepat encephalopathy hepatic
termasuk perdarahan gastrointestinal, meningkatkan pemasukan diet protein,
alkalosis

hipokalemi

(dari

muntah-muntah

atau

diuresis),

infeksi

dan

memburuknya fungsi hepar.


Encephalopaty seharusnya ditangani secara agresif preoperative. Hal-hal yang
bias memicunya harus dikoreksi. Laktulosa oral 30-50 ml 98h atau neomycin 500
mg 96h berguna untuk menurunkan penyerapan ammonia intestinal. Laktulosa
berperan sebagai osmotic laxative dan seperti neomycin mungkin menghalangi
produksi ammonia dan bakteri intestinal. Pencegahan sedative pada pasien dengan
encephalopathy dianjurkan.
g. Manifestasi Malnutrisi
Pasien dengan sirosis yang mengalami malnutrisi memiliki risiko mortalitas
yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengalami gangguan nutrisi.
Malnutrisi meningkatkan kebutuhan transfusi sel darah merah, FFP, memperlama
penyembuhan dan perawatan. Pada pasien penyakit hati tingkat lanjut, pemberian
nutrisi parenteral atau enteral harus segera dimulai pada preoperatif karena pascaoperatif terjadi peningkatan kebutuhan nutrisi. Pemilihan nutrisi harus
mengandung karbohidrat dan lemak lebih tinggi serta mengurangi asam amino
aromatik.
II. Pertimbangan Intraoperatif
a. Respon Obat
Respon terhadap obat anestesi tidak dapat ditebak pada pasien dengan sirosis.
Perubahan pada kepekaan system saraf pusat, volume distribusi, ikatan protein,
metabolisme obat, dan eliminasi obat sudah umum. Banyak pasien yang
menunjukkan peningkatan kepekaan system saraf pusat ke thiopental, sementara
beberapa dengan sejarah alkoholik akan terlihat menunjukkan toleransi.

Peningkatan volume distribusi untuk obat-obatan dengan ion tinggi, misalnya


neuromuscular blocking agent (disebut juga muscle relaxan), disebabkan oleh
meluasnya tempat cairan ekstraseluler, resisten yang terlihat dapat diobservasi,
membutuhkan dosis yang lebih besar dari yang normal. Bagaimanapun, dosis
yang lebih kecildari yang dibutuhkan oleh anti neuromuscular blocking agent
bergantung pada eliminasi di hepar (pancuronium, recuroniam, dan vecuronium)
juga diperlukan. Ini merupakan waktu penanganan yang lama untuk
succinilcholine sebagai akibat dari pengurangan level pseudocholinesterase, tapi
jarang bermanifestasi klinis.
b. Teknik Anestesi
Anestesi regional maupun umum menurunkan aliran darah hati sampai 3050%. Penurunan aliran darah ke hati disebabkan pengaruh intermittent positive
presure ventilation dan efek obat anestesi yang mempengaruhi tekanan darah serta
curah jantung dapat memicu dekompensasi hati dan ensefalopati. Pada induksi
anastesi apabila diperlukan dosis tiopental harus diturunkan. Pemberian ketamine
drip pada 151 pasien yang mengalami gangguan fungsi hati bersifat aman dan
tidak mengganggu fungsi hati. Tidak jelas manakah yang lebih baik antara
anestesi regional atau umum, namun anestesi regional sebaiknya dihindari pada
pasien

yang

mengalami

trombositopeni

terkait

hipersplenik.

Apabila

menggunakan anestesi umum dosis sebaiknya dititrasi. Penggunaan isofluran


relatif memberikan risiko lebih kecil dibandingkan preparat lain karena efek
penurunan aliran darah ke hati lebih minimal.
Aliran darah vena porta berkurang pada kasus sirosis. Hepar menjadi sangat
bergantung pada perfusi arteri hepatic. Pemeliharaan aliran darah arteri hepatic
dan pencegahan terhadap agen yang memiliki kemungkinan memberikan efek
yang merugikan fungsi hepar harus kritis. Anestesi regional bisa dilakukan pada
pasien tanpa trombositopenia atau koagulopati, tapi perawatan yang lebih diatas
normal harus diarahkan untuk menghindari hipotensi. Induksi barbiturate diikuti
dengan isofluran dalam oksigen atau campuran oksigen-nitrous oxide adalah yang
paling umum digunakan dalam anestesi pada umumnya. Penggunaan halotan
biasanya dihindari supaya tidak mengacaukan diagnosis jika tes hepar memburuk
post operasi. Penambahan opioid mengurangi dosis anestesi inhalasi yang

dibutuhkan, tapi waktu paruh opioid cenderung lama. Cisatracurium bisa jadi agen
yang memblok neuromuscular yang dipilih, karena metabolisme hepaticnya yang
unik.
Mual sebelum operasi, muntah, perdarahan gastrointestinal atas, distensi
abdomen yang diakibatkan oleh asites yang sangat banyak, membutuhkan induksi
yang terencanakan dengan baik. Preoksigenasi dan rangkaian induksi yang sering
dengan tekanan cricoid sangat sering dijalankan. Untuk pasien yang tidak stabil
dan mereka dengan perdarahan aktif sangat disarankan, intubasi sadar atau induksi
yang sering dengan tekanan cricoid menggunakan ketamine (ethiomidate) dan
succyniocholine.
c. Monitoring
Monitoring yang teliti terhadap system respirasi dan kardiovaskular penting
bagi pasien yang menjalani prosedur abdominal. Monitoring EKG five lead pada
pasien yang diberi infuse vasopressin penting untuk mendeteksi iskemik miokard,
vasokonstriksi koroner. Oksimetri denyut nadi harus ditambahkan dengan
pengukuran gas darah arteri untuk mengevaluasi status asam basa. Pasien dengan
shunt intrapulmonary dari kanan ke kiri yang besar tidak dapat mentoleransi
penambahan nitrous oxide dan akan membutuhkan tekanan positif akhir ekspirasi
(PEEP) untuk mengatasi ketidakcukupan ventilasi/perfusi dan hipoksemia yang
mungkin akan terjadi.
Monitoring terhadap tekanan intraarterial umum dilakukan terhadap
kebanyakan pasien. Perubahan yang cepat pada tekanan darah munculsebagai
akibat dari perdarahan yang sangat banyak, pergantian cairan intercomparemental
yang sering dan manipulasi pembedahan. Status volume intravascular seringkali
sulit ditentukan tanpa ada monitoring, juga pada vena sentral atau tekanan arteri
pulmonary. Monitoring yang seperti ini mungkin kritis untuk mencegah sindrom
hepatorenal. Urinary output juga harus diawasi dengan cermat, mannitol atau
dopamine dalam dosis rendah harus dipertimbangkan agar bias diperoleh urinary
output yang sedikit meskipun perpindahan cairan intravaskuler memenuhi syarat.

d. Pemberian cairan
Sebelum operasi, sebagian besar pasien mengalami retriksi natrium, namun
pada intraoperatif, nperawatan terhadap volume intravascular dan urinary output
lebih diprioritaskan. Penggunaan cairan koloid intravena lebih dipilih untuk
menghindari berlebihnya muatan natrium dan untuk meningkatkan tekanan
onkotik. Pemberian cairan intravena harus dipertimbangkan karena perdarahan
hebat dan perpindahan cairan yang sering muncul pada pasien dengan prosedur
abdominal. Venous engorgement dari hipertensi portal, lisis dan adhesi setelah
pembedahan sebelumnya, dan koagulopati yang menyebabkan perdarahan hebat
selama pembedahan, sementara evakuasi asites dan prosedur pembedahan yang
berkepanjangan mengakibatkan perpindahan cairan dalam jumlah besar.
Pemberian cairan koloid intravena sering penting untuk mencegah hipotensi
yang dalam dan gagal ginjal yang menikuti perpindahan sejumlah besar cairan
asites. Karena sebagian besar pasien mengalami anemia dan koagulopati sebelum
operasi, transfusi merupakan hal yang sering dilakukan. Transfusi penting, bisa
memberi hasil dalam toksisitas sitrat. Sitrat, merupakan antikoagulan dalam
persiapan penyimpanan sel darah merah, dapat dimetabolisme dalam hepar
dengan mudah. Toksisitas dapat muncul pada pasien denga sirosis karena
mengalami gangguan metabolisme. Sitrat berikatan dengan serum kalsium
mengakibatkan hipokalsemia lanjutan. Kalsium intravena sering penting untuk
menghilangkan efek negative inotropik dalam satu tetes konsentrat kalsium berion
darah.
III. Pertimbangan Post operatif
Pasca-operasi pasien dengan gangguan fungsi hati harus dipantau secara
ketat. Jika preoperatif pasien memiliki faktor risiko tinggi maka pemantauan di
ICU diperlukan. Pasien harus dipantau secara teliti adanya tanda - tanda
dekompensasi hati, yaitu peningkatan kadar bilirubin dibandingkan preoperasi,
koagulopati, tanda - tanda disseminated intravascular coagulation (DIC),
ensefalopati dan asites. Fungsi renal harus dipantau untuk mengantisipasi risiko
sindrom hepato-renal. Kadar glukosa juga perlu dipantau karena pada
dekompensasi hati sering terjadi hipoglikemia. Tidak kalah penting adalah selalu

menjaga stabilitas hemodinamik dan melakukan tindakan medis secara steril


untuk mengurangi risiko infeksi.
KESIMPULAN
Pasien dengan sirosis hepatis, yang mengalami gangguan sintesis,
metabolisme, perubahan hemodinamik dan koagulopati memiliki risiko tinggi
mengalami morbiditas dan mortalitas akibat stres tindakan bedah dan anestesi.
Tipe operasi dan luasnya disfungsi hati menentukan tingkat morbiditas dan
mortalitas pasien dengan gangguan sirosis hati. Pasien dengan operasi abdomen
terbuka dan bersifat emergensi memiliki risiko mortalitas yang tinggi.
Penatalaksanaan perioperatif mulai dari pre, intra, dan post operatif sangat penting
diperhatikan. Penilaian preoperatif dan persiapan yang optimal pada pasien sirosis
dapat menurunkan risiko komplikasi atau kematian pascaoperasi. Penanganan
faktor penyulit (malnutrisi, koagulopati, asites, ensefalopati, hipoalbuminemia,
perdarahan varies), penanganan intraoperatif, dan pemantauan pasca-operasi harus
dilakukan secara optimal agar dapat menurunkan risiko komplikasi atau kematian
pascaoperasi.

DAFTAR PUSTAKA
Garrison RN, Cryer HM, Howard DA, Polk HC. Clarification of risk factors for
abdominal operations in patients with hepatic cirrhosis. Ann Surg
1984;199(6):648-54.
Haranath SP. Perioperative management of the patient with liver disease. Loist
updated:

2006.

Acsessect

February

2007.

Available

from

http://www.emedicine.com.
Ziser A, Plevak DJ. Morbidity and mortality in cirrhotic patients undergoing
anesthesia and surgery. Current Opinion in Anaesthesiology 2001;14:707-11.
Pannen BHJ. Hepatic blood flow during anaesthesia and surgery. Europian
Society

of

Anaesthesiologist

2000.

Available

from

http:/www.euroanesthesia.org/rc-vienna/04rcl.HTM.
Friedman L.S. The risk of surgery in patients with liver disease. Hepatology 1999;
29(6):1617-23.
Sallah S., Bobzien B. Bleeding problem in patients with liver disease. Postgrad
Med 1999;106(4):187-95.
Malde AD. Viral hepatitis and anaesthesiologist. Indian J Anaesth 2004;48:26475.
Yeh CN, Chen MF, Jan YY. Laparoscopic cholecystectomy in 226 cirrhotic
patients. Experience of a single center in Taiwan. Surg Endosc 2002;16:
1583-7.
Suman A., Carey W. Assessing the risk of surgery in patients with liver disease.
Cleveland Clinic J of Medicine 2006;73(4):398-404.
Patel T. Surgery in he patient with liver disease. Mayo Clin Prac 1999;74:593-9.
Wiklund RA. Preoperative preparation of patients with advanced liver disease.
Crit Care Med 2004;32(4,Suppl):S106-S115.
Northup PG, Wanamaker RC, Lee VD, Adams RB, Berg CL. Ann Surgery 2005;
242:244-51.
Lu W, Wai CT. Surgery in patients with advanced liver cirrhosis : a Pandoras box.
Singapore Med J 2006;47(2):152-5.

Keegan MT, Plevak DJ. Preoperative assessment of the patient with liver disease.
Am J Gastroeterol 2005;100:2116-27
Heidelbaugh JL, Sherbondy M. Cirrhosis and chronic liver failure: Part II.
Complication and treatment. Am Fam Physician 2006;74(5):767-76.
Clarke P, Bellamy MC. Anaesthesia for patients with liver disease. Bulletin 4 The
Royal College of Anaesthetists 2000;158-61.

Anda mungkin juga menyukai