Percikan Pemikiran
Hak penerbitan ada pada penerbit : Ababil Corp
Pengantar Penulis
Penulis
Aji Setiawan
Daftar Isi
Cover---i
Katalog Dalam Penerbitanii
Pengantar Penulis--iii
Daftar isi---iv
1. Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia--2. Sejarah Thariqah Masuk Indonesia
3. Jejaring Ulama Nusantara Sepanjang Masa--4. Peran Pondok Pesantren Dalam Penyebaran Islam di
Indonesia
5. Peran Ulama pada Masa Kemerdekaan dan Refleksi
Hari Santri Nasional
6. Peran NU Pra dan Pasca Kemerdekaan
7. Habaib dan Ulama Berdampingan Membangun Betawi
Indonesia
Masa
Dari masa ke masa ulama-ulama Nusantara telah lama
menjalin jejaring sanad keilmuan dengan para maha guru Islam
yang ada di Mekkah dan Timur Tengah. Sekembalinya dari
merantau itulah, para ulama Indonesia mulai mengembangkan
keilmuan (pembaharuan) serta menjadi inspirasi untuk
menggerakan semangat jihad melawan kolonialisme
John R Bowen dalam artikelnya Intellectual Pilgrimages
and Local Norms in Fashioning Indonesian Islam menulis, ulama
Indonesia yang pernah berguru kepada ulama Makkah dan
Madinah, kembali ke Indonesia membawa semangat pembaruan
untuk melawan tekanan kolonialisme melalui organisasi Islam.
Gerakan ini pada dasarnya adalah bentuk pemurnian nilai Islam
dari campuran nilai-nilai lain. Meski awalnya organisasi ini
bersifat kultural dan kedaerahan, pola tersebut kemudian
berkembang menjadi gerakan modern.
4
Peran Pondok Pesantren Dalam
Penyebaran Islam di Indonesia
Hasil penyebaran Islam tahap awal selanjutnya dimantapkan
dengan proses pemahaman dan pengamalan ajaran Islam antara
lain melalui jalur pendidikan yang kemudian dikenal dengan
nama pesantren.
kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan
Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah,
(2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul
Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.
Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah
kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren
Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putraputri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Yakub.
Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH.
Muhammad Hasyim Asyari dengan KH. Mohammad Cholil, gurunya. Dulu saya
memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid
Tuan, kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil. Kyai
Hasyim menjawab, Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan
mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru
pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang.
Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya. Tanpa merasa
tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. Keputusan dan
kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami
akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,
katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa
berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepatcepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak
memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid
akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang
ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya
menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang
semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah
Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan
tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus
pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia
pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada
kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal
mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya tradisi
menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu
mampu menyedot perhatian ummat Islam. Maka tak heran bila pesertanya datang
dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil.
Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim.
Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim
kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH.
Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. R. Asad Syamsul Arifin, KH.
Wahid Hasyim (anaknya, salah satu founding father Republik Indonesia) dan KH.
Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai
Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar
dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku Tradisi
Pesantren, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan
pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila
para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar)
kepada Kyai Hasyim Asyari al Basyaiban.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim
menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk
merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937,
tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan.
Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang
suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan
penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan
naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan
disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Karuan saja, Van der Plas
(penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah
mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942.
Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya
tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya,
ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu. Masa awal
perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya
perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak
segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang
penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada
tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran
di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga
tewas.
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim
dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat
piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut
dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan
cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk
memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya,
hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan
serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa
revolusi fisik tahun 1940an. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda
menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan
de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.
Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan
Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang
menggabungkan antara kebijakan represif dan kooptasi, sebagai upaya untuk
memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan represif
Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan
kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu
kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00
pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada
Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh
seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas
di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah
lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan
ditahan secara berpindahpindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian
Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.
Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak
yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan,
Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari
tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratus
Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total.
Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri
Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota
Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim
dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain
itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai
Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama
Saikoo Sikikan di Jakarta. Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA
Nedherland (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh
pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha
melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan
Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan
pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.
Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya,
meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang
bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari
kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan
Sekutu. Resolusi ini bermula dari fatwa KH. Hasyim Asyari pada
22 Oktober 1945 di Surabaya, yang kemudian dikokohkan pada
Muktamar NU XVI di Purwokerto 26-29 Maret 1946.
Resolusi Jihad menyebutkan bahwa berperang melawan
penjajah adalah kewajiban fardu ain bagi orang yang berada
dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk atau kedudukan
musuh. Fardu ain itu baik bagi lelaki, perempuan, maupun anakanak, bersenjata atau tidak. Dan bagi orang yang di luar jarak 94
km (jauh), kewajiban berperang itu menjadi fardu kifayah. Cukup
dikerjakan oleh sebagian saja. Keberhasilan pertempuran Hari
Pahlawan 10 Nopember 1945 di Surabaya tak lepas dari Resolusi
Jihad ini. Selain itu, Perang Paderi, Perang Aceh, Pemberontakan
Petani di Banten, Pemberontakan Rakyat Singaparna di Jawa
Barat, dan banyak peristiwa lainnya, juga dipicu oleh fatwa jihad
dari para ulama.
Mengenang hari santri pada hari ini tepatnya tanggal 22 Oktober 2015
setidaknya mengenang jasa perjuangan salah seorang pejuang dan founding father
bangsa ini KH Hasyim Asyari. Setidaknya dimana rekam jejak KH. Hasyim dari
kurun waktu 1899 sampai 1913 dalam membangun pesantren Tebuireng tidak
mudah. Pesantren Tebuireng sempat dibakar Belanda pada tahun 1913 karena
perlawanan halusnya kepada pemerintah. Namun saat itu KH. Hasyim menasehati
santrinya agar tidak melakukan perlawanan terbuka kepada Belanda. Soalnya
waktunya dianggap belum tiba.
Sebuah kesabaran yang luar biasa dari sosok seorang ulama dan pejuang,
AlHadratus Syaikh sampai menggadaikan pesantren Tebuireng Jombang untuk
membiayai pesantren. AlHadratusSyaikh seorang enterpreuner (pengusaha) yang
sukses, Jatuh bangun membangun nama besar Tebuireng, sebagai sebuah Pondok
Pesantren. Namun berkat kesabaran, semua rintangan beliau lalui dengan sukses
selain bertani, berkebun, berdagang kuda dan rempah-rempah di Surabaya.
KH. alHadratussyaikh Hasyim Asyari alBasyaiban juga seorang pendidik
modernis. Akan tetapi model pendidikan pesantren yang saat itu juga bersamaan
dengan cikal bakal sistem pendidikan Islam modern di Sumatra Barat yaitu
Dinniyah School dan Sumatra Tawalib School serta Madrasah Jamiat Kheir Tanah
Abang Lembaga Rabithah Alawiyah. KH. Hasyim Asyari juga menjalankan
sistem yang modern. Ia menerapkan sistem madrasah klasikal dipesantrennya pada
1916. Pelajaran umum seperti membaca dan menulis huruf latin , ilmu bumi,
sejarah dan bahasa Melayu diajarkan di Tebuireng. Pesantren pun dilengkapi
dengan dengan bangku dan meja. Pembaruan dan pembaharuan ini sempat
sekarang di saat Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam keadaan damai bukan
berperang, kita diajak untuk belajar pada sejarah. Bahwa nilai-nilai kebangsaan
(bela negara) juga diajarkan di pesantren bahkan di sekolah sampai universitas
perguruan tinggi mulai dari Pendidikan Moral Pancasila, PSBB, Mata Kuliah
Pancasila, Penataran P4 bagi mahasiswa baru, Mata Kuliah Kewiraan (yang
mengajar sarjana militer berpangkat minimal Kolonel) dll. Jihad juga tidak harus
memanggul senjata dan berperang.
Dan perlu dipahami jalur dakwah tidak harus selalu berada di atas panggung
podium dengan pidato (bil lisan), tetapi dengan jihad harta (bil mal), jihad tenaga
dan ibadah ( ibda bi nafsi dengan riyadhah dan mujahadah) dan pikiran (ghazwul
fiqry, sampai ijtihad, orang yang sampai berijtihad baik sendiri maupun kolektif
lewat bahsul massail itu dapat dikatakan sampai tingkat mujtahid,- namun sangat
sulit) namun para ulama juga berjihad dengan berdakwah (bil kalam) dengan
tulisan sebagaimana tradisi intelektual ulama Nusantara yang begitu kaya dengan
menghasilkan karya tulisan dan kitab berbobot yang menjadi rujukan kalangan
ilmuan lokal bahkan menjadi kajian kaum cendekiawan., namun jihad yang paling
besar sesungguhnya adalah berperang melawan hawa nafsu (jihadun nafsy).
Ada tujuh pakar keislaman dari Indonesia di tanah suci pada abad 19-an
yang menjadi maha guru bagi pelajar dari Indonesia termasuk AlHadratussyaikh
KH Hasyim Asyari bahkan ulama dari berbagai penjuru nusantara dan dunia pada
saat itu. Ketujuh tokoh tersebut adalah Syaikh Soleh Darat, Syaikh Nawawi Al
Bantani, Syaikh Ahmad Khatib Al Sambasi, Kiai Mahfuzh At-Tarmasi (Tremas
Pacitan), Syaikh Junaid Al Betawi, Syaikh Nahrowi al Banyumasi dan Syaikh
Kholil Al Bangkalan. Mata rantai keilmuan keislaman pada akhir abad 18 dan awal
abad 19 tidak lepas dari ketujuh tokoh dari ketujuh tokoh dari Indunisie di muka.
Ketujuh ulama ini sangat memperhatikan orang-orang Islam awam dalam
bidang agama. Mereka amat berjasa dalam membentuk dunia santri di tanah Jawa
mulai dari menulis ilmu fiqih, aqidah, tasawuf dan akhak dengan bahasa yang
mudah dipahami orang awam, yakni dengan bahasa Jawa, atau Arab Pegon.
Menurut sebagian cerita kenapa harus huruf Arab Pegon, Syaikh Saleh
Darat, Syaikh Nawawi al Bantani dan Syaikh Cholil Bangkalan yang ingin
melakukan komunikasi antar sesama suku bangsa asal pulau Jawa yang sedang
belajar di Arab Saudi. Sementara Syaikh Juned al Betawi menulisnya kitab
kuningnya dengan Arab Melayu.
Arab pegon atau arab jenggotan atau arab gandulan (karena ada pemaknaan
yang menggantung di bawahnya) dirancang sebagai bahasa sandi antar guru dan
murid yang sedang belajar di Saudi dalam bahasa Jawa. Karena pada waktu itu,
Kolonial Belanda sedang menancapkan penjajahan di bumi Hindia Belanda.
Sementara para ulama di atas mendapat lindungan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan
mufti Mekkah saat itu. Sementara untuk editor percetakannya adalah Syaikh Habib
an Nahrowi al Muhtaram al Banyumasi.
Kembali kesoal dunia santri, santri bila dilihat secara harfiyah terdiri dari
lima huruf; Sin, Nun, Ta, Ro dan Ya. Kelima huruf itu mempunyai arti tersendiri.
Pertama huruf Sin, berasal dari kata salikul filibadah (melaksanakan ibadah). Nun,
berasal dari kata naibun anissyuukhi (bersedia datang kepada gurunya baik ketika
masih hidup maupun sudah meninggal). Huruf ketiga Ta berasal dari kata taibun
artinya santri senantiasa bertaubat dari melakukan dosa dan menjauhi maksiat.
Huruf keempat Ro berasal dari kata roghibu artinya senang mendatangi tiap-tiap
kebajikan atau bila diajak melaksanakan perkara yang bajik (baik, bagus), santri
selalu senang. Sedangkan huruf terakhir huruf kelima Ya, berasal dari kata yaqin.
Santri harus yakin dengan pembagian nikmat dari Allah Subhannallah Wataala
Jalajalluhu Warohmatuhu (Abi Ahmad Syihabuddin M, Pondok Pesantren Al
Kautsar Babadan Kediri; 2002).
Ada juga istilah pesantren sendiri berasal dari kata India shastri, yang berarti
orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Dalam hubungan ini kata Jawa
pesantren (tempat/pondok santri mencari ilmu) yang diturunkan dari kata santri
dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran an, memberi makna sebuah pusat
pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa sebagai model
sekolah agama di Jawa.
Sejak zaman pra-Islam, menurut Gus Dur, di Jawa sudah berkembang desadesa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis dan keramat. Ketika para
penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam terbentuk dengan pesantrenpesantren yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak. Istilah yang
hampir sama juga sudah ada di daerah lain bahkan mungkin lebih dahulu dari
istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh, daerah pertama yang mengenal Islam,
pesantren disebut dengan dayah atau rangkang, meunasah. Di Pasundan ada
pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren para santri melakukan
telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan bermacam-macam pendidikan
rohani, mental, dan sedikit banyak pendidikan jasmani. (Muchtarom, 1988: 6-7).
Secara historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran
tekstual baru muncul pada akhir abad ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang
pendirian pesantren pada masa awal Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama
kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w. 1419M). Maulana
Malik Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu
agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari
situlah kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama
kali di Kembang Kuning, Surabaya pada tahun 1619 M.
Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel Denta. Pesantren ini semakin
lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur. Pada tahap selanjutnya
bermunculan pesantren baru seperti Pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang
di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, Raden Fatah di Demak. (Mastuki
dan Ishom El-Saha (ed.): 8). Bahkan, tercatat kemudian, murid-murid pesantren
Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Madura, Kangean, hingga Maluku.
Menurut catatan Martin Van Brunessen, belum ada lembaga semacam
pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi
ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat informal. Anak-anak dan orang-orang
desa belajar membaca dan menghafal Al-Quran dari orang-orang kampung yang
terlebih dahulu menguasainya. Kalau ada seorang haji atau pedagang Arab yang
singgah di desa, dia diminta singgah beberapa hari di sana dan mengajarkan kitab
agama Islam.
Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum
kepada masyarakat di masjid. Murid yang sangat berminat akan mendatanginya
untuk belajar dan bahkan tinggal di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar
lebih lanjut pergi mondok ke Jawa, atau bila memungkinkan pergi ke Mekah.
Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada abad-abad pertama penyebaran
Islam. (Brunessen, 1999: 25)
Apabila masih ada Pondok Pesantren atau santri-santri masih dalam masa
belajar tidak berfikir yang penting sebagai santri mencari kepintaran dan masih
perlu banyak mengaji kitab kuning kepada para Kyai dan Ulama di Pesantren,
yakinilah bahwa Allah SWT akan selalu memberi jalan rizqi. Demikianlah uraian
seputar dunia santri, Manghayubagya Hari Santri Nasional yang pertama semoga
sinar agama Islam tetap berkibar ke seluruh penjuru Nusantara, sehingga cita-cita
Negara dan Bangsa Kesatuan Republik Indonesia akan tetap aman, adil, makmur
penuh ampunan ridho Allah SWT. Amin Amin Ya Mujibas Sailin. (*****)
Sejarah mencatat Tinta Emas kemerdekaan RI tidak jatuh dari langit, namun
melalui jalan panjang pergerakan umat Islam Indonesia. Jejaring ulama pada 1819 yang banyak menimbulkan korban begitu banyak di kalangan rakyat, mulai
dari Perang Diponegoro, Perang Aceh, Perang Padri, Pemberontakan Petani
Banten, membuat sebagian tokoh cendekian terpelajar merubah pergerakaan yang
tadinya non kooperasi menjadi kooperasi sembari menyatukan barisan untuk
sebuah pergerakan melalui jalur pendidikan.
Pergerakan tanpa pendidikan adalah pemberontakan sangat pas lah untuk
menggambarkan perjuangan umat Islam pada masa untuk mencapai cita-cita
bersama atau mimpi besar (great imagine) masa depan gemilang. Munculnya
Jamiat Kheir, NU, Muhammadiyyah, Masyumi adalah upaya upaya organisasi
Islam untuk memperjuangkan anggota-anggotanya.
Nahdlatul Ulama yang lahir 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344
H) menyimpan sejarah kelahiran yang berliku-liku. Selain
menghadang arus modernisasi pemikiran yang bertentangan
dengan kaum tradisionalis, juga menjadi wadah para ulama
dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal
muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin)
Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus
1925) dan kongres Al-Islam kelima di Bandung (5 Februari
1926), kedua Rapat Akbar Umat Islam Indonesia ini untuk
memilih utusan untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di
Mekah.
makan (RM di Jl. Raden Saleh) langganan kita, kata Dahlan kepada Subchan ZE
dengan tertawa terkekeh-kekeh.
Tanpa disadari sebelumnya, kantor PBNU itu ternyata berhadapan dengan
CC-PKI. Seperti diketahui Jalan Kramat Raya itu memanjang dari ujung paling
utara di Senen Raya dan ujung paling selatan di Salemba Raya. Di jalan strategis
dan sibuk itu 4 partai politik menempatkan kantor mereka. Pada satu deretan
berjarak antara 200-300 meter berdiri kantor DPP Masyumi, CC PKI persis di
muka PBNU, mendekati Salemba Raya berdiri kantor DPP-PNI.
Hingga kini, setelah 70 tahun lebih berselang, gedung di Jl Kramat Raya 164
tetap dimanfaatkan sebagai kantor PBNU. 1999 sewaktu KH. Abdurrahman Wahid
menjabat sebagai Presiden RI, gedung PBNU direnovasi menjadi gedung megah
berlantai delapan.(***)
7
Berdampingan Membangun Betawi
laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Sedangkan diluar Hejaz, dari beberapa
golongan ada yang memberikan title Sayyid dan Sayyidah, atau juga dengan
sebutan Habaib, dan lain sebagainya untuk memberikan satu tanda bahwa mereka
yang diberikan titel ini dianggap masih memiliki kaitan darah dan nasab dengan
Nabi Muhammad SAW.
Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatiri dalam bukunya Sirah alSalaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum Alawi di Hadramaut dibagi
menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar
yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin
ialah :
Imam (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan
keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum Khawariji.
Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja.
Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah,
Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.
Syaikh (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan
munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan
berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah
keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti
Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di
Tarim.
Habaib (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai
dengan mulai membanjirnya hijrah kaum Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara
mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih
dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India),
kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan
Bafaqih di Filipina. Tokoh utama Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi
al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya
yang luar biasa, juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib
Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin Syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib
Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.
Sayyid (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran
kecemerlangan kaum Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin
Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin
Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin
Hamid al-Muhdhar. Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan
bahwa Alawiyin atau qabilah Baalawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya
di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin
di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di
Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman.
Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawi
digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik
nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti
persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi anak
cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu
berabad-abad akhirnya sebutan Alawi hanya berlaku bagi anak cucu keturunan
Imam Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad
bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di
Hadramaut ini dinamakan Alawiyin diambil dari nama cucu beliau Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul.
Kaum Arab, terutama yang beragama Islam telah sejak berabad lamanya
melakukan perniagaan dengan berbagai negara di dunia, yang selanjutnya
menciptakan jalur-jalur perdagangan dan komunitas-komunitas Arab baru
diberbagai negara. Dalam berbagai sejarah dinyatakan bahwa kaum Arab yang
datang ke Indonesia merupakan koloni Arab dari daerah sekitar Yaman dan Persia.
Namun, yang dinyatakan berperan paling penting dan ini diperlihatkan dengan
jenis madzhab yang ada di Indonesia, dimungkinkan adalah dari Hadramaut. Dan
orang-orang Hadramaut ini diperkirakan telah sampai ke Indonesia semenjak abad
pertengahan (abad ke-13) sesudah adanya huru-hara di Baghdad.
Secara umum, tujuan awal kedatangan mereka adalah untuk berdagang
sekaligus berdakwah, dan kemudian berangsur-angsur mulai menetap dan
berkeluarga dengan masyarakat setempat. Dari mereka inilah kemudian muncul
banyak tokoh dakwah yang termaktub dalam team Walisongo dan banyak tokoh
dakwah islam hingga masa sekarang. Walaupun masih ada pendapat lain seperti
menyebut dari Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, tampaknya
itu semua adalah jalur penyebaran para Mubaligh dari Hadramawt yang sebagian
besarnya adalah kaum Sayyid (Syarif).
Berjuang
Jenderal Thomas Stamford Raffles yang berkuasa pada masa pemerintahan
Inggris di Indonesia (1811-1816) pernah memuji kegigihan dakwah para ulama
Betawi. Raffles selama lima tahun di Nusantara lebih banyak tinggal di Batavia,
ibukota Hindia Belanda. Dia tinggal di Rijswijk (kini Jl Segara), di gedung yang
sekarang menjadi Bina Graha (sebelah Istana Negara). Dulu, gedung ini pernah
dinamai Raffles House.
Dalam salah satu pidatonya pada peringatan ulang tahun Bataviasch
Genootschap lembaga kesenian yang para anggotanya beragama Kristen
Raffles meminta mereka belajar pada keberhasilan para ulama dalam menyebarkan
Islam. Terutama cara-cara pendekatan mereka dalam mengajarkan Al Quran yang
kala itu menjadi bacaan dan pelajaran di kampung-kampung Betawi.
Betawi dalam bahu membahu pergerakan dakwah Islam dari masa lalu hinggi kini.
Pergerakan jalur maritim lewat pantai utara Jawa yakni Pelabuhan barang Tanjung
Priok dan Pasar Ikan Muara Angke.
Yang awalnya komunitas penduduk itu berada di belahan utara Jakarta
sedikit demi sedikit bergeser ke arah Selatan atau Kota mulai dari Pekojan, Tanah
Abang, Senin, hingga akhirnya kawasan kampung Arab tidak bisa menjadi
dominasi penduduk karena Jakarta sudah bercampur baur. Ada mungkin orang
akan mencari jejaknya lewat kumpulan makam Habaib Arab yang ada di Kramat
Luar Batang, kampung Bandan, Al Hawi Cililitan, Kalibata, hingga Bekasi, Depok,
Bogor bahkan Banten. Keberadaan makam para Habaib ini tetap lestari karena
ziarah makam, peringatan Maulid dan Haul (memperingati hari meninggalnya
orang), upacara menikah, tasmiyah (aqiqah, pemotongan rambut pada bayi)
sampai upacara saat meninggal menjadi tradisi dan adat kalangan Habaib.
Berdampingan
Kaum Habaib sangat terbuka dan berjalan seiring berdampingan dengan
ulama setempat, karena ajaran Islam yang dibawa sama, bahkan ulama lokal
banyak berguru dengan Habaib dan Habaib juga banyak berguru dengan ulama
Betawi yang berbobot.
Sebenarnya banyak ulama Betawi yang kiprah keulamaannya cukup
menonjol masa itu, namun sayang sekali tidak banyak yang berhasil
didokumentasikan. Beberapa
yang
berhasil
diketahui berkiprah
dalam
melaksanakan ibadah haji saat ini dengan pesawat udara hanya perlu waktu
10 jam. Tidak demikian ketika perjalanan masih menggunakan kapal layar. Perlu
waktu berbulan-bulan, mungkin lebih setahun, dengan berbagai resiko selama
pelayaran.
Dalam suasana demikian, sejak abad ke-18 orang Betawi banyak yang pergi
ke kota suci Mekah. Mereka menjalankan ibadah haji. Karena perjalanan yang
begitu sulit, setelah menunaikan rukun Islam ke-5, banyak yang tidak kembali ke
tanah air dan bermukim di Mekah al Maukaramlah.
Mereka yang bermukim di sana menggunakan Al Batawi sebagai nama
keluarga. Menjadi kebiasaan para pemukim ketika itu menjadikan nama kota
asalnya sebagai nama keluarga. Misalnya, Syech Abdul Somad al Falimbani dari
Palembang, Syech Arsyad Al Banjari dari Banjarmasin, Syech Basuni Imran al
Sambasi dari Sambas dan Syech Nawawi al Bantani dari Banten.
Masih dengan kapal layar, pada pertengahan abad ke-19 (1834), Syech
Junaid, seorang ulama Betawi, mulai bermukim di Mekah. Ia pun memakai nama
al-Betawi. Ia amat termashur karena menjadi imam di Masjidil Haram. Syaikh
Junaid al Betawi, yang diakui sebagai syaikhul masyaikh para ulama Mahzab
Syafiie, juga mengajar agama di serambi Masjidil Haram. Muridnya banyak
sekali. Bukan hanya para mukiman dari Indonesia, juga mancanegara. Nama
Betawi menjadi termashur di tanah suci berkat Syech kelahiran Pekojan Jakarta
Barat, ini.
Enam ulama Betawi mulai Guru Marzuki, Guru Mughni, Guru Mansyur,
Guru Madjid, Guru Mahmud dan Guru Khalid juga dikemudian hari yang hadir
sebagai simpul pengikat mata rantai emas keilmuan (sanad ilm) dari hampir setiap
ulama di kemudian hari. Keenam guru utama ini adalah murid terkemuka Syekh
Junaid Al Betawi.
Selama itu di Betawi bukan sepi oleh perlawanan rakyat. Justru bersamaan
dengan berakhirnya Perang Diponegoro, saat itu di Betawi muncul awal letupanletupan sosial sebagaimana Kisah Si Pitung, Jampang dan Entong Gendut dan nun
jauh di bagian barat Betawi yakni bagian paling Barat Pulau Jawa, Kab Cilegon
(sekarang Provinsi Banten-red), muncul pemberontakan lokal petani desa oleh Haji
Wasid, H. Abdul Karim, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji
Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail.
Ulama-ulama lokal yang pergi haji, kemudian banyak belajar dengan Syaikh
Junaid di Mekkah. Syech Junaid mempunyai dua orang putera dan dua orang
puteri. Salah satu puterinya menikah dengan Abdullah al Misri, seorang ulama dari
Mesir, yang makamnya terdapat di Jatipetamburan, Jakarta Pusat.
Seorang puteri lainnya yang menikah dengan Imam Mujitaba. Sedangkan
kedua puteranya, Syech Junaid yakni Asad dan Arsyad, menjadi pelanjut ayahnya
mengajar di Masjidil Haram. Syeh Junaid wafat di Mekah pada 1840 dalam usia
100 tahun.
Kawasan Pekojan dikenal melahirkan banyak ulama. Antara lain, mualim
Rojiun, dan Kyai Syamun. Termasuk Habib Ustman bin Yahya dan Guru Mansyur
dari Kampung Jembatan Lima yang pada masa revolusi fisik masjidnya ditembaki
NICA, karena memasang bendera merah putih. Bahkan guru Mansyur berseru
kepada penduduk, Betawi, rempug.
Di antara murid Habib Usman adalah Habib Ali Al Habsji (1870-1966),
ulama kelahiran Kwitang, Jakarta Pusat. Ayahnya, Habib Abdurahman, adalah
sepupu pelukis kenamaan Raden Saleh Syarif Bustaman yang melukis gambar
Pangeran Diponegoro bertempur dengan seekor macan sambil memegang pistol
sambil terjatuh..
Ada beberapa ulama Betawi terkenal yang menjadi murid Habib Ali, seperti
KH R Abdullah Syafei, KH Tohir Rohili, KH Fathullah Harun dan KH Sjafii AlHazami. Dia, pada tahun 1911, mendirikan madrasah Unwanul Falah di Kwitang
(di samping Masjid Al-Riyad.
Pada masa revolusi fisik banyak ulama Betawi yang ikut mengomandoi
rakyat agar mempertahankan kemerdekaan sebagai bagian dari jihad fi sabillah.
Seperti KH Nur Ali dari Bekasi, Guru Mansyur (Jembatan Lima), KH Rahmatullah
Sidik (Kebayoran), dan Muhammad Ali Al Hamidi (Matraman). Ada ratusan buku
karangan ulama Betawi yang ditulis dalam Arab Melayu.
Di antara murid Syekh Junaid yang sampai kini kitab-kitabnya masih
tersebar di dunia Islam adalah Syech Nawawi al Bantani, keturunan pendiri
kerajaan Islam Banten, Maulana Hasanuddin (putera Syarif Hidayatullah).
Karenanya, setiap haul Syech Nawawi, selalu dibacakan fatihah untuk arwah
Syech Junaid.
Imam Mujitaba, yang menetap di Mekah, menikah dengan putri Syech
Junaid. Pasangan ini menurunkan guru Mujtaba tokoh ulama Betawi dari Cipinang
Muara, Jakarta Timur. Karena alimnya, guru Mujtaba diberi gelar waliyullah oleh
masyarakat Islam di tanah suci. Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, Guru
Mujitaba satu angkatan dengan mukimin Indonesia lainnya seperti Syech Nawawi
al Bantani dan Syech Ahmad Khatib al Minangkabawi.
Sedangkan putera almarhum guru Marzuki Cipinang Muara Jakarta Timur,
yang hingga kini memiliki perguruan di Rawabunga, Jakarta Timur, mendapat
gelar birulwalidain karena begitu berhidmatnya kepada kedua orang tuanya. Guru
Marzuki memiliki sejumlah murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di
Indonesia, seperti KH Abdullah Syafiie dari perguruan Assyafiiyah dan KH Tohir
Rohili dari perguruan Tohiriah di Bukitduri Tanjakan, Jakarta Timur. Kedua
perguruan Islam (Assyafiiyah dan Tohiriah) itu kini berkembang pesat sekali.
Keduanya memiliki sekolah mulai dari TK sampai perguruan tinggi. KH Abdullah
Sjafiie (wafat 3/9-1985) bersama putera-puterinya menangani 63 lembaga
pendidikan Islam.
Sedangkan masjid Al-Barkah di Kampung Bali Matraman, Jakarta Selatan,
yang dibangun pada 1933 saat kyai berusia 23 tahun, kini merupakan masjid yang
megah. Mushola bekas kandang sapi itulah yang kemudian menjadi cikal bakal
perguruan Asyafiiyah. Kini pengajian Ahad pagi di Masjid Al-Barkah selalu yang
diikuti ribuan jamaah. KH Abdullah Syafiie perguruannya menghasilkan ribuan
orang di antara mereka kini menjadi tokoh agama dan pimpinan majelis taklim
di berbagai tempat di Indonesia.
KH Abdullah Syafiie adalah figur yang mampu mengkombinasikan dua
arus besar pemikiran yang berkembang di lingkungan masyarakat Islam. Dalam
diri beliau tercermin betul warna NU dan Muhammadiyah-an. Toh beliau mampu
menjadikan diri sebagai model kombinasi yang menarik itu.
Kalau KH Abdullah Sjafii pada Pemilu 1955 berkampanye untuk partai
Masyumi. Maka, rekan seangkatannya, KH Tohir Rohili selama dua periode
pernah menjadi anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan. Seperti juga KH
Abdullah Syafiie, ia mulai berdakwah keliling Jakarta dengan bersepeda. Tiap
Ahad pagi, di majelisnya yang juga merupakan kediamannya, diadakan pengajian,
yang jamaahnya cukup banyak.
Tahun 80 sampai akhir tahun 2000 an gaya berdakwah ulama Betawi tetap
berbobot dan bersahaja. Di balik riuh denyut ibukota, kehadiran gaya orasi KH
Zainudin MZ (alm) adalah cukup fenomenal sebagai awal kebangkitan dakwah di
akhir abad 19 karena banyak menyedot perhatian dan simpati puluhan ribu
pengunjung dan dakwah Islam menjadi menarik bisa masuk ke acara televisi,
media telivisi dan elektronik.
Kemunculannya lewat polesan KH Dr. Idham Khalid alm semasa menjadi
ketua NU dan sekaligus Ketua PPP pada waktu itu, di kemudian hari menjadikan
gaya berdakwah KH Zainuddin MZ dan H. Rhoma Irama (Bang Haji) pada Pemilu
1977 menjadi rujukan banyak ustadz dan kyai yang masuk ke dalam dunia televisi
dan media. Mulailah bermunculan dai-dai bintang ibukota yang lahir dari sentuhan
dingin dari Habaib dan ulama Betawi.
Dengan demikian, selain arus gelombang urbanisasi pada kurun tahun 70-90
an dan simbiose mutulalisme masyarakat setempat pada akhirnya banyak juga
melahirkan ulama-ulama yang sebelumnya belajar pada ulama-ulama lokal bahkan
internasional kemudian masuk ke ibu kota berbaur dengan tradisi masyarakat
setempat, seperti Buya Hamka alm (Univ Hamka), KH Sukron Makmun (Ittiihadul
Mubalighin, Ponpes Darul Rohman, Kebayoran Baru), KH Abdurrahman Wahid
alm (PBNU Ciganjur), Prof. Dr. Nur Kholismadjid alm (Paramadina), KH Iskandar
Noer As-Shidiqy (Assyidiqiyah Jakarta Barat) dll dan belakangan seabrek ustadzustadz muda muncul ke panggung dakwah seperti Ustadz Jefry Bukhori (alm), KH
Arifin Ilham (Ad Zikra Depok), Ustadz Solmed, Ustadz Guntur, Ustadz Cecep,
Ustadz Maulana, Mamak Dedeh dan yang jelas bukan ustadz dadakan dan ustadz
karbitan dll.
Dan perlu dipahami jalur dakwah tidak melulu berada di atas panggung
podium (bil lisan), tetapi dengan jihad harta (bil mal), jihad tenaga dan ibadah (
ibda bi nafsi dengan riyadhah dan mujahadah) dan pikiran (ghazwul fiqry, sampai
ijtihad, orang yang sampai berijtihad baik sendiri maupun kolektif lewat bahsul
massail itu dapat dikatakan sampai tingkat mujtahid,- namun sangat sulit) namun
para ulama dan Habaib juga berdakwah (bil kalam) dengan tulisan sebagaimana
tradisi intelektual ulama Nusantara yang begitu kaya dengan menghasilkan karya
tulisan dan kitab berbobot yang menjadi rujukan kalangan ilmuan lokal bahkan
menjadi kajian kaum cendekiawan.
Ada banyak ulama Betawi yang cukup banyak dikenal produktif menulis
kitab bukan sekedar penerjemah seperti Dr Nahrowi Al Indunisie alm (Mampang),
Syekh Muhadjirin Amsar Ad-Dari alm (Bekasi Utara), Guru Mansyur, Syaikh
Junaid Al Betawi, KH Syafii Hadzami, dll.
Tentu berbeda dengan gaya ustadz baru pada jaman sekarang yang mudah
tergiur oleh perang tarif dan rating di media, sehingga mudah pasang harga. Sudah
barang tentu pergerakan ustadz jaman sekarang, akan mudah terkikis oleh para
ustadz dan Habaib kampung Betawi yang ikhlas berdakwah dan mereka cukup
berbobot secara keilmuan dan mereka kuat menjaga tradisi dalam menjalankan
ajaran agama.
Ulama dan Habaib lokal Betawi juga dikenal sangat keras dan kuat serta
energik dalam mengembangkan syiar Islam di berbagai majlis taklim dan pesantren
yang begitu banyak tersebar seantero Ibu Kota Jakarta, karena sangat jelas mereka
sangat mengerti ilmu agama (alim) dan bisa dijadikan petunjuk (muaalim). Untuk
mendapatkan mereka sangat mudah, cukup hadir dengan melakukan rihlah dan
silaturahmi di banyak acara pengajian, peringatan Maulid atau Haul ulama serta
Habaib yang ada di Jakarta.
Ulama dan Habaib di Jakarta dapat dikatakan berdampingan dalam
berdakwah. Lahan dan garapan umat yang mendiami kota Jakarta yang sangat luas
serta ber ragam, namun masih dalam satu nafas gerakan Islam, satu Thariqah
(jalan) yakni Thariqah Islam Ahlus Sunnah wal Jammaah.
Pluralitas dan keberagaman aliran serta madzhab dalam Islam yang bersebar
di berbagai lembaga agama, organisasi masa bahkan partai politik bila dikelola
dengan baik tentu saja dalam pengembangan dan penyebaran ajaran Islam yang
penuh Rahmatan Lil Alamin ini dengan cara-cara tawassut, itidal, toleran dan
mauizahidzotil khasanah akan melahirkan kekayaan khazanah keilmuan (dapat
menjadi al ikhtilafu ummah ila rahmah) dan budaya Islam yang menjadi modal
sosial dalam membangun negeri. Jadi gerakan modernisasi dan yang puritan
tradisional dalam Islam sebenarnya bisa berjalan seiring dan seirama dalam
menyongsong masa depan yang lebih baik.
Yang mencirikan pergerakan Habaib adalah pada masa kini, kalangan ini
biasa di sebut kaum Alawiyin, karena bernasab dengan jalur keturunan Rasulullah
SAW dan berbagai pesantren serta majlis taklim yang ada di Ibu kota ini tidak
menjadi ekslusif, namun semakin terbuka menerima murid atau jamaah anak
muda, sehingga tidak heran Majlis Taklim yang awalnya hanya terkenal di Majlis
Taklim Minggu Pagi Habib Ali Kwitang Kawasan Pasar Senin, Jakarta Pusat, kini
banyak bermunculan semacam Majlis Taklim Habib Munzir (alm) yang terkenal
dengan Majlis Rasulullah SAW, Majlis Taklim Nurul Musthofa Habib Mustofa
Alaydrus Tebet, Majlis Taklim Nurul Musthofa Habib Hasan bi Jakfar Assegaf dan
ribuan majlis Taklim dan pesantren yang tersebar di seantero Betawi saat ini.
Begitulah kota Jakarta. Sejak dahulu di saat rimbunnya pepohonan menebar
hawa sejuk keshalihan , seluruh penjuru kota Betawi hingga sekarang. Tatkala
keberkahan udara sejuk itu seakan tersapu oleh bumbungan asap polusi maksiat
kota metropolitan, Jakarta bisa dibilang hampir tidak pernah sepi melahirkan tokoh
tokoh ulama berbobot yang turut menghias indah sejarah perjalanan syiar Islam
Nusantara. (***)
menguasai masalah-masalah yang telah terbukukan dalam kitab fiqih yang ada.
(KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS)
Mengapa isu krisis ulama muncul? Barangkali melalui tarikan garis historis
yang panjang kita akan dapat menyimak munculnya isu itu. Semenjak beberapa
abad yang lalu, konsep fiqih yang berlaku di tengah-tengah masyarakat Indonesia
sempat menjadi sumber nilai. Fiqih tidak saja berlaku sebagai norma yang
berwatak legalistik, tapi juga mewarnai sikap dan perilaku masyarakat. Bahkan
sebagian konsep tersebut telah dianggap sebagai subkultur yang telah menyatu
dengan kehidupan yang ada.
Kecenderungan seperti ini sebagai hasil nyata dari kemampuan para ulama
yang telah mencoba memasyarakatkan fiqih, dengan pendekatan kultural
sedemikian rupa, sehingga perubahan budaya dengan nilai-nilai Islami dari ajaran
fiqih berjalan beriringan begitu mulus tanpa menimbulkan kerawanan yang berarti.
Secara konvensional, ajaran-ajaran fiqih itu dimodifikasi oleh para ulama
sedemikian rupa sesuai dengan tradisi yang ada pada zamannya.
Membicarakan masalah ulama, konsep-konsep dan keadaan masyarakat
yang berbudaya fiqih tentu tidak mungkin lepas dari membicarakan eksistensi
pesantren yang telah memberikan kontribusi paling besar bagi pembudayaan fiqih
itu sendiri. Sejak berdirinya, pesantren merupakan lembaga tafaqquh fiddin
(memahami agama) yang begitu kuat, mengakar dan sekaligus diterima oleh
masyarakat pada zamannya. Lembaga ini memang lahir di tengah-tengah
masyarakat kelas bawah, sehingga warna konvensional sangat pekat tampak dalam
sikap, langkah dan pemikiran pesantren.
Namun justru berangkat dari kesederhanaan demikian, pesantren menjadi
lebih mudah mengakomodasikan nilai-nilai fiqih ke dalam kehidupan yang ada.
Bagaimanapun, masyarakat lebih suka menerima hal-hal yang tidak terlalu asing,
aneh, dan berkesan baru serta modern bagi segala aspek perilaku kehidupannya.
Masyarakat pada masa itu cenderung menolak apa saja datang dari penjajah, tentu
saja bercorak modern, baru dan asing. Hal ini malah semakin mendukung langkah
pesantren dalam mengkonsumsikan ajaran-ajaran fiqih.
Sebagai lembaga tafaqquh fiddin, pesantren membekali para santrinya
dengan ilmu-ilmu yang bermuara pada pendalaman masail diniyah (masalahmasalah agama). Ilmu-ilmu fiqih paling kuat mempunyai manfaat dalam hal itu,
karenanya pesantren menjadi getol mengkajinya ketimbang ilmu-ilmu yang lain,
meski tidak berarti meninggalkannya. Kekentalan eksistensi pesantren sebagai
lembaga tafaqquh fiddin berjalan beberapa abad lamanya sampai suatu saat ketika
pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan bentuk pendidikan baru yang
benama sekolah, untuk mengimbangi pengaruh pesantren.
Perubahan pun tak terelakkan lagi. Pesantren juga mengimbangi sistem
klasikal yang dimiliki oleh sekolah dengan mendirikan lembaga pendidikan dalam
pesantren yang bertitel madrasah, yang secara harfiah adalah terjemahan dari
sekolah.
Pada mulanya, pesantren dengan madrasahnya itu, meski wilayah
garapannya bertambah akan tetapi justru semakin memantapkan eksistensinya di
tengah masyarakat. Madrasah sebagai wujud pengembangan pesantren, juga tetap
menitikberatkan tafaqquh fiddin sebagai garapan utamanya. Hanya saja, sistem dan
metodenya berbeda dengan pesantren tradisional (salaf). Madrasah-madrasah
pesantren pada waktu itu belum mengenal sertifikasi bagi setiap lulusannya dan
juga akreditasi sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan lain.
Baru ketika mulai diperkenalkan pendidikan guru agama oleh pemerintah
yang diikuti dengan pengangkatan guru negeri dengan gaji tetap, maka mulai
tampak pergeseran nilai-nilai ikhlas, dari menuntut ilmu li wajhillah menjadi
karena ijasah. Dampaknya, eksistensi pesantren menjadi kabur, bahkan hilang
identitasnya secara perlahan.
Fenomena pergeseran nilai semacam itu tidak bisa semata-mata diartikan
sebagai kemunduran pesantren secara total. Sampai saat ini masih cukup banyak
ditemukan pesantren tradisional, baik di Jawa maupun luar Jawa, meski profilnya
tentu saja tidak seperti yang ada pada tahun 60-an ke belakang, di mana para
alumnus pesantren masih dapat digolongkan sebagai mutafaqqih. Pergeseran
tersebut hanya merupakan kasus secara individual, yang menimpa para insan
pesantren dan bukan secara kolektif.
Lalu di mana letak krisis ulama terjadi? Kembali kepada kriteria al-Ghazali
tentang ulama yang representatif dan mumpuni, maka kita bisa melihat dan
menyimak nilai-nilai ikhlas telah tercederai oleh faktor-faktor eksternal. Produk
yang lahir dari kaburnya orientasi itu adalah alumnus-alumnus pesantren yang
kurang representatif untuk disebut ulama. Memang, kita tidak bisa
mengambinghitamkan begitu saja terhadap faktor-faktor eksternal.
Kita tidak boleh menutup mata terhadap berkurangnya animo santri sekarang
ini untuk menggali kitab kuning secara baik dan benar. Bahkan ada beberapa pihak
yang mencoba mencari jalan pintas di dalam mengkaji ilmu-ilmu agama dengan
jalur penterjemahan kitab-kitab kuning, yang tentu saja tidak akan bisa sama persis
dengan aslinya. Ini tidak kecil efek negatifnya, apalagi bagi orang yang telah
berkecimpung lama di dunia pesantren. Ada reduksi dan kemerosotan yang sangat
terasa, sebagai kesenjangan yang kentara dan tidak mustahil akan berubah menjadi
satu-satunya momok bagi perjalanan pesantren.
Isu krisis ulama agaknya pernah coba dihadapi dan ditanggulangi oleh
beberapa pihak, khususnya oleh pemerintah. Lebih dari setengah dasawarsa yang
lalu, ada semacam langkah untuk mengisi posisi ulama dalam kehidupan yang
semakin menuntut peran ulama lebih besar lagi. Meskipun banyak pihak yang
kurang sependapat dengan isu kekosongan ulama, akan tetapi jumlah kuantitas
umat yang kian bertambah, tentu tidak akan cukup hanya dihadapi dengan jumlah
pemuka agama yang masih bisa dihitung dengan jari. Akan tetapi langkah tersebut
ternyata tidak efektif, bahkan menimbulkan kesan akan menggeser posisi sentral
ulama sebagai legitimator masalah-masalah fiqhiyah.
Gambaran situasi di atas sebagai kenyataan dan tantangan serius bagi para
ulama dan pesantrennya, sekaligus merupakan dorongan yang kuat terhadap
kebutuhan adanya lembaga kader fuqaha'(ahli-ahli ilmu fiqih) yang rapih dengan
manajemen dan pendanaan yang memadahi.
Kebutuhan dan urgensi akan lembaga ini pernah muncul dan dibahas dalam
sebuah forum ulama pada sekitar tiga tahun lalu. Waktu itu, alhamdulillah
sambutan para ulama cukup positif. Saya beserta para ulama pengasuh pesantren
yang hadir mencoba memformulasikan lembaga yang ideal bagi penempaan kaderkader fuqoha yang alami, zuhud dan ikhlas itu.Alhamdulillah pula, gaung yang
ada terus bersambut. Pihak-pihak yang merasa terkait kemudian mencoba untuk
berpartisipasi. Sebagai contoh, lahirlah madrasah aliyah program khusus yang
diprakarsai Departemen Agama. Namun tentu saja hal itu masih belum mencukupi
kebutuhan. Kita masih menanti uluran tangan dan partisipasi penuh dari umat
sekalian.
Pendidikan Sosial Keagamaan
Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang membentuk watak dan
perilaku secara sistematis, terencana dan terarah. Sedangkan sosial, secara
ensiklopedis berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat atau secara
abstraksis berarti masalah-masalah kemasyarakatan yang menyangkut pelbagai
fenomena hidup dan kehidupan orang banyak, baik dilihat dari sisi mikro
individual maupun makro kolektif. Dengan demikian, sosial keagamaan berarti
masalah-masalah sosial yang mempunyai implikasi dengan ajaran Islam atau
sekurang-kurangnya mempunyai nilai Islamiah.
Pendidikan sosial keagamaan seperti pada lazimnya mempunyai tujuan,
media dan metoda serta sistem evaluasi. Media dalam hal ini bisa berupa
kurikulum atau bentuk-bentuk kegiatan nyata. Yang terakhir inilah yang akan
menjadi pembahasan dalam tulisan ini.
Ajaran Islam atau lebih khusus syariat Islam, mempunyai titik singgung
yang sangat kompleks dengan masalah-masalah sosial. Karena, syariat Islam itu
sendiri justru mengatur hubungan antara manusia (individual mau pun kelompok)
dengan Allah SWT, antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam
lingkungannya.
Hubungan pertama terumuskan dalam bentuk ibadah (baik individual
maupun sosial). Interaksi kedua terumuskan dalam bentuk muamalah dan
muasyarah. Prinsip mu'amalah dalam Islam, tidak menitikberatkan pada
yang kuat (karakter) bangsa India untuk dan membangun dengan kemampuan
sendiri atau dikenal dengan budaya swadesi.
Prinsip inilah yang membuat India tumbuh menjadi negara paling mandiri di
Asia saat ini. Berbagai kebutuhan hidup mulai dari paling sederhana seperti sabun
mandi hingga mobil, mesin-mesin industri, kapal laut bahkan pesawat terbang
dibuat sendiri. Meskipun produk-produk tersebut kualitasnya rendah (tidak
mempunyai keunggulan kompetitif) dengan bangsa Jepang maupun barat, namun
semangat Swadesi (cinta produk dalam negeri) secara komparatif produk-produk
domestik India telah menjadikan ketergantungan India terhadap produk impor yang
sangat rendah. Ekonomi India bukanlah yang terbaik di Asia, namun hutang luar
negeri India tidak ada (zero).
Karakter bangsa-bangsa lainnya juga hampir sama.Prinsipnya adalah ada
kombinasi antara semangat juang, disiplin, dan kerja keras. Indonesia yang
memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah ruah
seharusnya dapat menjadi salah satu bangsa yang unggul di kancah dunia. Namun,
untuk mencapai hal tersebut bangsa Indonesia haruslah berbenah diri terlebih
dahulu dan harus membangun bangsa ini dengan menumbuhkan karakter positif
diri setiap bangsa Indonesia. Pemerintah Jokowi-JK sebagai rregulator dan
instruktur bahkan sekaligus dirigen dari kabinet sudah terbentuk sejak bulan
Oktober 2014 perlu membangun langkah-langkah strategis agar dapat membentuk
karakter bangsa Indonesia yang unggul dan siap bersaing dengan bangsa lain di era
globalisasi.
Beberapa langkah yang dapat diambil pemerintah untuk membangun
karakter bangsa antara lain: Pertama, menginternalisasikan pendidikan karakter
pada instansi pendidikan sejak tingkat dini atau anak-anak. Kedua, menanamkan
sebuah koordinasi gerakan revitalisasi kebangsaan bersama generasi muda, yang
diarahkan terutama pada penguatan ketahanan masyarakat dan bangsa terhadap
upaya nihilisasi pihak luar terhadap nilai-nilai budaya positif bangsa Indonesia.
Ketiga, meningkatkan daya saing bangsa dalam bentuk kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Daya saing sebagai salah satu keunggulan yang
dimiliki suatu entitas dibandingkan entitas lainnya, bukanlah baru muncul di era
abad ke 21 sekarang ini namun sudah muncul sejak jaman yang lampau. Daya
saing di sini tentunya harus dipahami dalam arti yang lebih luas. Peran teknologi
dan informasi serta telekomunikasi hanya sebatas mempercepat sekaligus
memperbesar peran daya saing dalam menentukan keunggulan suatu entitas
dibandingkan dengan entitas lainnya.
Keempat, menggunakan media sebagai penyalur upaya pembangunan
karakter bangsa. Dimana peran media ada tiga yakni sebagai informasi, edukasi
dan hiburan. Peran strategis ini dapat diberdayakan pemerintah dengan kerja sama
yang baik antara pemerintah dan pemilik media dalam penayangan informasi yang
positif dan mendorong karakter bangsa yang kompetitif.
Keempat langkah di atas hanyalah sebagian dari langkah-langkah strategis
yang dapat diambil oleh pemerintahan yang baru akan terbentuk untuk
membangun karakter bangsa ini. Masih banyak cara yang dapat ditempuh agar
dunia pendidikan bangsa ini memiliki kapasitas daya saing yang tinggi, agar
mampu memberikan komplementasi baik keunggulan komparatif maupun
kompetitif pada persaingan global sehingga mampu menyumbangkan dan
memberikan peran pada sektor perekonomian dan sektor-sektor lainnnya. Semoga!
(***)
Makalah
ini
dimuat
di
http://www.muslimedianews.com/2015/02/membangun-pendidikan-berbasiskarakter.html 20 Februari 2015
10
ilmu itu merupakan kewajiban (faridhotun) bagi umat Islam baik laki-laki maupun
perempuan. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadist Nabi Muhammad
SAW,Carilah ilmu sejak kamu dalam ayunan sampai kamu masuk liang kubur.
Allah SWT secara tegas memberikan penghargaan kepada mereka yang
berpengetahuan dan mengangkat derajat oraang-orang yang berilmu. Allah
mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang orang yang berilmu
melebihi orang lainnya: QS Adzariyat : 56).
Ketinggian derajat orang yang berilmu itu jelas terlihat dalam kehidupan
bermasyarakat kita. Orang-orang yang berilmu itu telah menjadi penerang dalam
mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan kita sebagai manusia.
Jadi benarlah apa yang diungkapkan melalui sebuah kata ulama bahwa ilmu itu
adalah cahaya, karena dengan ilmu lah manusia mendapat jalan terang untuk
mengarungi kehidupannya. Penghargaan terhadap orang berilmu sendiri juga
disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, khoirunnas anfauhum linnas (Yang
paling bagus di antara kamu adalah yang paling bermanfaat bagi manusia).
Sejarah Islam telah memperlihatkan bahwa melalui ajarannya yang
menganjurkan pencarian pengetahuan yang menyebabkan masyarakat Islam
menjadi masyarakat yang berbudaya tinggi (civilized). Perkembangan pengetahuan
dalam masa Islam awal telah melahirkan berbagai macam ahli yang kemudian bisa
menerangi dunia dengan pengetahuannya.
Dengan berbagai tuntutan yang dikemukakan di atas, apa yang disodorkan
oleh Islam sebenarnya bisa disederhanakan pada apa yang disebut longlife
education. Ini berarti bahwa pendidikan dalam Islam bukan hanya pembelajaran
di dalam kelas , di mana para murid mendapatkan pengetahuan dari para guru.
Pendidikan dalam Islam haruslah dijadikan sebagai media pembentukan watak dan
karakter, sehingga anak didik tidak hanya pintar, tetapi juga berperadaban secara
pengetahuan atau berakhlaq. Akhlaq itu bukan hanya aspek moralitas tingkah laku
atau sopan santun manusia, tetapi juga menyangkut sikap , pandangan atau bahkan
karakter seorang muslim.
Dengan demikian, pendidikan adalah totalitas pembentukan manusia supaya
berguna bagi sesamanya dengan mempunyai akhlaq yang tinggi. Imam Ghozali
merumuskan akhlaq sebagai potensi yang dipunyai manusia dalam kaitan manusia
berperan sebagai khalifatul fil ardhi. Potensi ini harus diarahkan agar bisa
memberikan manfaat bagi kehidupan manusia pada umumnya.
Pendidikan, sekali lagi harus dapat memberikan manfaat bagi kemanusiaan,
yakni ketika pendidikan mampu membentuk manusia-manusia yang tidak hanya
pintar tapi juga berakhlaq atau berperadaban. Sering dikatakan orang bahwa
menjadi orang pintar itu gampang, sebab dengan disekolahkan orang akan menjadi
pintar, artinya mempunyai pengetahuan. Yang tidak mudah adalah membentuk
manusia pintar dan berakhlaq.
Imam Ghozali membedakan akhlaq itu ke dalam akhlaq karimah dan akhlaq
madzummah. Ahlaq karimah adalah potensi manusia yang direalisasikan dalam
kehidupan nya yang memberi manfaat bagi sesama manusia. Sedangkan akhlaq
madzummah itu muncul ketika potensi manusia tidak memberikan manfaat bagi
manusia. Jadi dalam hal ini akhlaq tidak diartikan semata-mata sebagai sopan
santun, tetapi sebagai peradaban.
Akhlaq itu adab sebagaimana dikatakan Rasulullah SAW, addabani rabbi
fa ahsana tadibi. Memang berbeda Rasulullah SAW yang mengajari akhlaq
beliau adalah Allah SWT sehingga tadib nya tentu sempurna. Dalam Al Quran
disebutkan bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang berakhlaq mulia. Jadi ahlaq
mulia itu tidak hanya berkaitan dengan sopan santun tetapi juga sikap dan karakter
manusia yang diarahkan untuk memberikan manfaat bagi umat manusia.
Misi pendidikan
Ada dua konsep penting yang berkaitan yang berkaitan dengan keberadaan
manusia yang karenanya pendidikan yang kita lakukan juga diarahkan ke sana.
Konsep itu terangkum dalam firman Allah SWT, wa ma kholaqtul jinna wal insa
illa liyabudun, yang artinya adalah, tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali
untuk menyembah Ku. Perintah Allah SWT mengharapkan manusia agar menjadi
hamba yang Islam (yang taat) yang melaksanakan perintah-Nya.
Nilai-nilai yang terkandung dalam perintah Allah SWT ini bersifat universal.
Artinya hal itu berkaitan dengan ukuran yang sama dirumuskan oleh manusia. Al
Quran dalam hal ini mendorong manusia agar menjadi khalifatullah (khalifah
Allah) di bumi yang berarti menjadi hamba Allah yang mengurusi kehidupannya
dan kehidupan manusia lainnya. mengurusi itu mempunyai arti yang luas, tidak
hanya berarti menjadi pemimpin manusia juga mengekplorasi rahasia alam dan
lainnya untuk kepentingan umat manusia.
Karena itulah dalam pendidikan Islam anak didik itu dengan
pengetahuannya diarahkan untuk mempunyai tanggung jawab terhadap sesamanya.
Dengan berilmu manusia itu dibebani untuk membantu sesamanya dan
menciptakan tidak saja masyarakat yang religius tetapi juga masyarakat yang
makmur, tidak kekurangan.
Jadi misi pendidikan tidak saja membentuk kesalehan individu menjadi
abdullah (hablum minallah) belaka namun juga kesalehan sosial di mana seorang
manusia juga dituntut menjadi manusia yang baik secara sosial (kholifatullah).
Dalam konsep kholifatullah itulah dimensi akhlaq mendapatkan tempat, karena
salah satu aspek yang harus dipenuhi manusia untuk menjadi khalifatullah yang
berhasil adalah masalah keberadaban (akhlaq).
Pemenuhan kedua konsep di atas adalah bentuk ekspresi dari keimanan dan
keislaman umat Islam. Islam itu memang berkaitan dengan masalah akidah dan
11
CATATAN PENUTUP
Meneladani Sang Insanul Kamil
Ihsannul kamil atau akhlaq paripurna atau budi pekerti mulia sebagaimana
dicontohkan dan digambarkan dalam perilaku Rasulullah SAW. Sungguh pada diri
Rasulullah SAW terdapat perilaku dan suri tauladan yang mulia dan terpuji.
Islam diakui sebagai agama yang istimewa karena hal ini oleh Allah sendiri
telah dinyatakan sebagai agama paripurna dan membentuk insane-insan yang
mulia. Inilah dinnul Islam yang lurus , agung , sempurna, abadi dan universal.
Tentu saja agama yang sempurna ini hanya mampu dibawa oleh seorang utusan
yang mulia dan sempurna pula. Utusan yang mengemban agama Tuhan yang
terakhir ini adalah nabi terakhir, Sayidunna Muhammad SAW.
Kekaguman kepada Rasulullah SAW tidak hanya diakui oleh orang Islam
sendiri, namun dunia Barat juga mengakuinya, sebagaimana mereka tulis dalam
buku-buku mereka. Adalah sarjana Barat Michael H Hart salah satu ilmuwan barat
yang mengakui dan mengagumi Rasulullah SAW, ia tulis dalam bukunya The 100
a Ranking of The Most Influential Person in History, yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul,Seratus Tokoh Yang
Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, dia menempatkan nama Nabi Muhammad
SAW pada rangking pertama. Dia menjatuhkan pilihan kepada Nabi Muhammad
SAW pada urutan pertama sebagai tokoh paling berpengaruh tentu mengejutkan
para pembacanya dan menjadi tanda Tanya sebagian yang lain.
Tapi saya berpegang pada keyakinan saya , dia (Nabi Muhammad SAWred) satu-satunya manusia dalam sejarah yang meraih sukses luar biasa , baik
ditilik dari sisi agama ataupun lingkup duniawi, demikian alasan Michael H Hart
sang penulis buku.
Sedemikian tinggi kedudukan agung Rasulullah SAW sehingga orang non
muslim seperti Michael H Hart pun sebagai sejarahwan besar kontemporer
mengakui dan kita atas umat Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk
mengikuti dan menjadikannya suri tauladan , karena inilah makna dari beriman
kepada Nabi Muhammad SAW termasuk mengamalkan al Quran dan al Hadist
menjadi bagian pokok dari tanggung jawab untuk mencontoh dan mengikuti ajaran
beliau.
Adalah Sunnah-sunnah beliau yang dahulu kita tinggalkan, mulailah kita
hidupkan kembali termasuk upaya untuk mengikuti beliau. Kewajiban kita adalah
mendahulukan sunnah-sunnah beliau di atas nalar pemikiran. Jangan sampai
mempertentangkan dengan Allah SWT sebab tidak mungkin beliau menyimpang
dari pada ajaran syariat Allah SWT. Selain itu beliau adalah Nabi terakhir sebagai
utusan Allah kepada ummat manusia sepanjang masa.
Jika pada zaman ini ada yang mempertentangkan Sunnah insan kamil ini
dengan Allah SWT atau dengan al Quran maka sudah barang tentu orang tersebut
telah terseret dalam kesesatan aqidah. Sebab tidak mungkin dan mustahil seorang
utusan seperti beliau bertentangkan dengan Allah dan tidak mungkin pula syariat
yang dibawanya menyimpang dari tuntunan Illahy.
Setiap kata yang terucap dari lisannya, perbuatan dan perangainya berada
dalam bingkai syariat dan tentunya itu semua datang dari Allah SWT yang telah
mengutus beliau sebagai Nabi. Hal ini senada dengan penjelasan Allah dalam Al
Quran, Dan tidaklah Dia (Nabi Muhammad SAW) berbicara dengan hawa nafsu
(keinginan dirinya semata), ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang diturunkan
(kepadanya). (QS An-Najm; 3-14).
Maka semua akhlaq Rasulullah adalah yang terbaik, perkataannya adalah
paling utama. Dengan mengikuti jejak Sang Insan Kamil ini dapat dipastikan kita
akan mendapat kebahagiaan dunia akherat.
Ayat Al Quran paling sarat memuji Nabi Muhammad SAW adalah ayat
berbunyi wa innaka laala khuluqin azhim, yang artinya sesungguhnya engkau
(hai Muhammad ) memiliki akhlak yang sangat agung. Kata khuluq berarti akhlak
secara linguistik mempunyai akar kata yang sama dengan khalq yang berarti
ciptaan. Bedanya kalau kalau khalq lebih bermakna ciptaan Allah yang bersifat
lahiriah dan fisikal, maka khuluq adalah ciptaan Allah yang bersifat batiniah.
Seorang sahabat pernah mengenang Nabi Muhammad SAW yang mulia
dengan kalimat kana rasulullah ahsanan nasi khalqan wa khuluqan, bahwa
Rasulullah SAW adalah manusia yang terbaik secara khalq dan khuluq. Dengan
demikian, Nabi Muhammad SAW adalah manusia sempurna dalam segala aspek,
baik lahiriah maupun batiniah.
Kesempurnaan lahiriah beliau sering kita dengar dari riwayat para sahabat
yang melaporkan tentang sifat-sifat beliau. Hindun bin Abi Halah misalnya
mendeskripsikan sifat-sifat lahiriah beliau bahwa Nabi Muhammad SAW adalah
seorang manusia yang sangat anggun, yang wajahnya bercahaya bagaikan bulan
purnama di saat sempurnanya. Badannya tinggi sedang.
Postur tubuh Nabi tegap. Rambutnya ikal dan panjang tidak melebihi daun
telinganya. Warna kulitnya terang. Dahinya luas. Alisnya memanjang halus,
bersambung dan indah. Sepotong urat halus membelah kedua alisnya yang akan
timbul saat marahnya. Hidungnya mancung sedikit membengkok, yang bagian
atasnya berkilau cahaya. Janggutnya lebat, pipinya halus. Matanya hitam.
Mulutnya sedang. Giginya putih tersusun rapi. Dadanya bidang dan berbulu ringan.
Lehernya putih, bersih dan kemerah-merahan. Perutnya rata dengan dadanya.
Bila berjalan, jalannya cepat laksana orang yang turun dari atas. Bila
menoleh, seluruh tubuhnya menoleh. Pandangannya lebih banyak ke arah bumi
ketimbang langit, sering merenung. Beliau mengiringi sahabat-sahabatnya di saat
berjalan, dan beliau jugalah yang memulai salam.
Deskripsi para sahabat Nabi tentang sifat-sifat manuisa agung seperti ini
sangat banyak. Namun ada yang fokus dari al-Quran tentang gambaran sifat Nabi
Muhammad SAW. Lalu apa yang menjadi fokus pandangan al-Quran terhadap
Nabi? Jawabnya adalah khuluq-nya alias akhlaqnya. Apa arti akhlak?
Kata Imam al-Ghazali, akhlak adalah wajah batiniah manusia. Ia bisa indah
dan juga bisa buruk. Akhlak yang indah disebut al khuluq al hasan; sementara
akhlak yang buruk disebut al khuluq as-sayyi. Akhlak yang baik adalah akhlak
yang mampu meletakan secara proporsional fakultas-fakultas yang ada di dalam
jiwa manusia. Ia mampu meletakkan dan menggunakan secara adil fakultasfakultas yang ada dalam dirinya: aqliyah (rasio), ghadabiyah (emosi),
syahwaniyyah (syahwat) dan wahmiyah (imajinasi).
Manusia yang berakhlak baik adalah yang tidak melampui batas dalam
menggunakan empat fakultas di atas dan tidak mengabaikannya secara total. Ia
akan sangat adil dan proposional di dalam menggunakan fakultas yang ada dalam
dirinya.
Orang yang menyandang khuluq al-hasan adalah orang yang mampu
meletakan secara proposional dalam membagi secara adil mana hak dunia dan hak
akhiratnya. Orang yang menyandang sifat ini akan memantulkan suatu bentuk
sangat indah lahiriah di dalam segala aspek kehidupan sehari-hari. Akhlak seperti
inilah yang ditunjukan Rasulullah SAW kepada umatnya.
Akhlak Nabi Muhammad SAW adalah cerminan al Quran. Bahkan beliau
sendiri adalah Al Quran hidup yang hadir di tengah-tengah umat manusia.
Membaca dan menghayati akhlak beliau berarti membaca dan menghayati isi
kandungan Al Quran. Itulah kenapa Siti Aisyah berkata akhlaq Nabi adalah alQuran.
Kecintaan kita tulus benar adanya, setiap langkah Nabi SAW pasti kita ikuti
dan diamalkan, itulah definisi cinta .Jika cintamu sungguh-sungguh pasti kamu
menaatinya, sesungguhnya orang yang cinta pasti taat pada orang yang
dicintainya.
perlindungan yang adil, menyusulah rombongan kedua pada tahun 617 M atau 9
tahun sebelum Hijriah atau tahun ke 8 sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW.
Rombongan hijrah kedua ini jumlahnya terdiri 83 orang pria dan 18 orang wanita.
Rombongan ini mencerminkan telah menyebarnya ajaran Islam di berbagai
kalangan marga di lingkungan suku Quraisy.
Perpindahan hijrah kedua ini rupa-rupanya terdengar oleh kaum Quraisy,
sehingga mereka khawatir kalau-kalau umat Islam di tempat barunya nanti akan
menjadi lebih kuat dan ajaran islam akan semakin menyebar. Maka untuk
mencegah jangan terjadi peningkatan kekuatan kaum muslimin dan penyebaran
Islam, kaum kafir Qurais mengutus dua orang pejabatnya yaitu Amr bin Ash dan
Abdullah bin Abu Rabiah dan dikawal Ammarah bin Walid untuk menghadap
Raja Najasyi dengan berbagai macam hadiah yang sangat berharga.
Hijrah yang ketiga kaum muslimin adalah yang paling besar dan paling
penting karena dikuti oleh seluruh kaum muslimin Mekkah beserta Rasulullah
SAW dan para sahabatnya. Hijrah ketiga ini membawa perubahan besar bagi
kehidupan kaum muslimin dan Islam sendiri. Sebab setelah hijrah dari Mekkah ke
Yatasrib, kaum muslimin dapat hidup bebas daari tekanan dan ancaman kaum kafir
Quraisy dan dapat mempraktikan kehidupan yang Islami, damai dan tentram secara
leluasa di Madinah. Di samping itu Rasulullah SAW bersama para sahabat
mempunyai kesempatan untuk menyusun strategi dakwah yang lebih canggih rapi
dan lengkap dan dakwah Islam memang memancar dari Madinah dan gencar ke
seluruh penjuru dunia dari tepi Timur sampai Barat.
Hijrah ketiga ini kemudian dijadikan permulaan perhitungan tahun dalam
kalender Islam karenya tahun itu dalam Islam disebut Tahun Hijriah. Sebab tidak
serta merta penggunaan hijrah itu sebagai awal perhitungan kalender Islam, karena
setelah 17 tahun hijrah terjadi kaum muslimin baru menggunakannya sebagai
permulaan kalender Islam. Itu pun setelah melalui perdebatan yang panjang , sebab
sebagian kaum muslimin menghendaki agar perhitungan tahun kalender Islam
dimulai dari lahirnya Rasulullah SAW atau saat kenabian Nabi Muhammad SAW
bahkan ada yang menginginkan agar dihitung sejak kewafatan Rasulullah SAW.
Periode Madinah ini mengedepankan ukhuwwah wathaniyyah,
persaudaraan lintas agama, periode ini berlangsung sekitar 10 tahun lamanya
dimulai sejak hijrah (perpindahan) Muhammad SAW beserta seluruh umat Islam
dari Mekkah ke kota Yatsrib (Madinah). Periode Madinah ini memberikan
kesempatan kepada Nabi Muhammad SAW untuk membangun tatanan masyarakat
sipil di bawah naungan Piagam Madinah. Dalam piagam yang memuat 47 pasal
itu, sungguh pun dibuat oleh mayoritas umat Islam, sama sekali tidak menyebut
asas Islam atau pun dasar al-Quran serta al-Hadist.
Substansi piagam Madinah merupakan refleksi atas rekonsiliasi antar etnis
dan agama guna membangun pranata sosial-masyarakat yang damai, aman dan
maulid Nabi SAW ini banyak dinyanyikan saat Mahalul Qiyam (Shalawat Berdiri)
mulai dari Maulid Simthud Durar, Burdah, Barjanji, Ad Dibai, Azhabi, sampai Ad
Dhiaul Lami semua mengugah dan mengundang kita untuk menghadirkan sosok
sang manusia teragung dan mulia Habibuna murrobuna al Musthofa wal wafa
Nabiyuna alhady Muhammad SAW.Marhaban Ahlan wa sahlan.
Yaa Nabiy salaam alaika
Yaa rosuul salaam alaika
Wahai Nabi, salam sejahtera bagimu, wahai Rasul salam sejahtera bagimu
Yaa habiib salaam alaika
Sholawaatullaah alaika
Wahai kekasih salam sejahtera bagimu, Sholawat Allah bagi~mu.
Abrozallaahul musyaffa
Shoohibul qodril muroffa
Telah tiba dengan kehendak Allah Sang Pemberi Syafaat, Pemilik derajat yang
dimuliakan
Famalaan~nuurun~nawaahii
Amma kullal kauni ajma
Maka limpahan cahaya memenuhi segala penjuru, meliputi seluruh alam semesta
Nukkisat ashnaamu syirkin
Wa binaas-syirki tashodda
Maka berjatuhanlah patung patung berhala di kabah, dan bangunan kemusyrikan
pun roboh
Wa danaa waqtul hidaayah
Wa himaal kufri tazaza
Dan telah dekatlah waktu hidayah maka benteng kekufuran berguncang, saat saat
petunjuk,
Marhaban ahlan wa sahlan
Bika y dzal qodril arfa
Salam sjahteralah dan selamat datang padamu, wahai
Sang pemilik derajat yg mulia.
Ya imaamahlir risaalah
Man bihil aafaatu tudfa
Wahai imam para rosul, yang dengannya (saw) bencana bencana tertolakkan,
MARHABAN YA MARHABAN YA NUURO AINIY
MARHABAN JADDAL HUSAINI
MARHABAN MARHABAN
Anta fiil hasyri malaadzun
Laka kullul kholqi tafza
Engkaulah satu satunya tmpat brlindung dihari Qiyamat,
tidakkah engkau berharap Muhammad akan bersama dengan kita sehingga kami
dapat memotong kepalanya, dan engkau dapat kembali kepada keluargamu? kata
Abu Sufyan kepadanya.
Demi Allah, aku tidak berharap sekarang ini Muhammad berada di sini, di
mana satu duri pun dapat menyakitinya jika hal itu menjadi syarat agar aku dapat
kembali ke keluargaku, jawab Zaid tegas. Wah, aku belum pernah melihat
seorang pun yang begitu sayang kepada orang lain seperti para sahabat Muhammad
menyayangi Muhammad, sahut Abu Sofyan.
Kisah kecintaan sahabat kepada Rasulullah SAW banyak diungkapkan
dalam sejarah. Salah satunya ditunjukan oleh Umar bin Khatthab. Ya, Rasulullah.
Aku mencintaimu lebih dari segalanya, kecuali jiwaku, kata Umar. Mendengar
itu, Rasulullah SAW menjawab, Tak seorang pun di antara kalian beriman, sampai
aku lebih mereka cintai daripada jiwamu.
Demi Dzat yang menurunkan kitab suci Al-Quran kepadamu, aku
mencintaimu melebihi kecintaanku kepada jiwaku sendiri, sahut Umar spontan.
Maka Rasulullah SAW pun menukas, Wahai Umar, kini kamu telah mendapatkan
iman itu (HR Bukhari).
Hari Kiamat
Penghormatan dan pemuliaan terhadap Rasulullah SAW memang
merupakan perintah Allah SWT. Firman Allah, Sesungguhnya Kami mengutus
engkau sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya
kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan-Nya,
membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang (QS Al
Fath : 8-9).
Sebuah ayat menekankan pentingnya kecintaan terhadap Allah SWT dan
Rasulullah SAW, Katakanlah (wahai Muhammad), jika ayah-ayahmu, anakanakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, keluargamu, harta kekayaanmu,
perdagangan yang kamu kekhawatirkan kerugiannya, dan rumah yang kamu
senangi, lebih kalian cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya, dan dari berjihad di
jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah
tidak akan memberi hidayah kepada orang-orang fasik (QS At-Taubah: 24).
Kecintaan kaum muslimin kepada Rasulullah SAW juga merupakan faktor
penting bagi keselamatannya di hari kiamat kelak. Hal itu terungkap ketika suatu
hari seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, Kapankah datangnya hari
kiamat? Maka jawab Rasulullah SAW, Apa yang sudah engkau persiapkan untuk
menghadapinya? Jawab sahabat itu, Saya tidak mempersiapkannya dengan
banyak shalat, puasa, dan sedekah, tapi dengan mencintaimu dalam hati. Lalu,
sabda Rasulullah SAW, Insya Allah, engkau akan bersama orang yang engkau
cintai itu.
Menurut Ibnu Masud, Abu Musa al-Asyari, Shafwan, dan Abu Dzar,
Rasulullah SAW telah bersabda mengenai seseorang yang dengan tulus
mencintainya, Seseorang akan berada di Yaumil Mahsyar bersama orang yang
dicintainya. Mendengar itu, para sahabat sangat berbahagia karena mereka sangat
mencintai beliau.
Suatu hari seorang sahabat hadir dalam suatu majelis bersama Rasulullah
SAW, lalu berkata, Wahai Rasulullah, aku saya mencintaimu lebih dari mencintai
nyawa, harta dan keluargaku. Jika berada di rumah, aku selalu memikirkanmu. Aku
selalu tak bersabar untuk dapat berjumpa denganmu. Bagaimana jadinya jika aku
tidak menjumpaimu lagi, karena engkau pasti akan wafat, demikian juga aku.
Kemudian engkau akan mencapai derajat Anbiya, sedangkan aku tidak?
Mendengar itu Rasulullah terdiam. Tak lama kemudian datanglah Malaikat
Jibril menyampaikan wahyu, Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya,
mereka akan bersama orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi,
shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Mereka adalah sebaik-baik sahabat, dan itulah
karunia Allah Yang Maha Mengetahui (QS An-Nisa : 69-70).
Kecintaan para sahabat kepada Rasulullah SAW inilah pula yang
menggerakkan mereka menyebarkan berdakwah ke seluruh penjuru dunia.
Kecintaan luar biasa kepada Rasulullah SAW itu tergambar pada diri
seorang perempuanbeberapa saat usai Perang Uhud. Dia baru saja kehilangan
ayah, kakak laki-laki dan suaminya yang gugur sebagai syuhada. Ia bukannya
meratapi mereka, tapi menanyakan nasib Rasulullah SAW, Apa yang terjadi pada
diri Rasulullah, semoga Allah memberkati dan melimpahkan kedamaian
kepadanya.
Nabi baik-baik saja sebagaimana engkau mengharapkannya, jawab para
sahabat. Lalu kata perempuan itu lagi, Tunjukanlah dia kepadaku hingga aku
dapat memandangnya. Kemudian para sahabat menunjukan posisi Rasulullah
SAW. Sungguh, kini semua deritaku tak ada artinya. Sebab, engkau selamat, kata
perempuan itu kepada Rasulullah SAW.
Mereka yang mencintaiku dengan sangat mendalam adalah orang-orang
yang menjemputku. Sebagian dari mereka bersedia mengorbankan keluarga dan
kekayaannya untuk berjumpa denganku, sabda Rasulullah SAW sebagaimana
diceritakan oleh Abu Hurairah (HR Muslim, Bukhari, Abu Dzar).
Betapa kecintaan sahabat Bilal kepada Rasulullah SAW, terungkap
menjelang ia meninggal. Bilal melarang isterinya bersedih hati, sebab, katanya,
Justru ini adalah kesempatan yang menyenangkan, karena besok aku akan
berjumpa dengan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Wafatnya Rasulullah
SAW merupakan kesedihan luar biasa bagi para sahabat dan pencintanya.
Dikisahkan, ada seorang perempuan yang menangis di makam Rasulullah SAW
sampai ia meninggal.
untuk mengadakan kontak dan interaksi dengan pihak luar. Bahkan, yang lebih
mengejutkan lagi, pelayaran yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia
(Nusantara) pada zaman bahari telah sampai ke Mandagaskar.
Bukti dari berita itu sendiri adalah berdasarkan penelitian yang dilakukan yaitu tipe
jukung yang sama yang digunakan oleh orang-orang Kalimantan untuk berlayar
Fantastis. Pada zaman bahari telah menjadi Trade Mark bahwa Indonesia
merupakan negara maritim. Indonesia merupakan negara maritim yang mempunyai
banyak pulau, luasnya laut menjadi modal utama untuk membangun bangsa ini.
Indonesia adalah Negara kepulauan, Indonesia adalah Nusantara, Indonesia
adalah Negara Maritim dan Indonesia adalah Bangsa Bahari,Berjiwa Bahari
serta Nenek Moyangku Orang Pelaut bukan hanya merupakan slogan belaka.
Laut dijadikan ladang mata pencaharian, laut juga dijadikan sebagai tempat
menggalang kekuatan, mempunyai armada laut yang kuat berarti bisa
mempertahankan kerajaan dari serangan luar. Memang, laut dalam hal ini menjadi
suatu yang sangat penting sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang. Dengan
mengoptimalkan potensi laut menjadikan bangsa Indonesia maju karena Indonesia
mempunyai potensi yang sangat besar untuk mengembangkan laut. Laut akan
memberikan manfaat yang sangat vital bagi pertumbuham dan perkembangan
perekonomian Indonesia atau perdaganagan pada khususnya.
Melihat bagaimana kejayaan masa lampau diperoleh karena mengoptimalkan
potensi laut sebagai sarana dalam suksesnya perekonomian dan ketahanan politik
suatu negara, maka menjadi suatu hal yang wajar bila sekarang ini Indonesia harus
lebih mengembangkan laut demi tercapianya tujuan nasional. Indonesia
menyandang predikat Negara Maritim atau negara kepulauan.
Konsekwensi sifat maritim itu sendiri lebih mengarah pada terwujudnya aktifitas
pelayaran di wilayah Indonesia. Dalam kalimat ini bahwa Indonesia sebagai negara
kepulauan dalam membangun perekonomian akan senantiasa dilandasi oleh
aktivitas pelayaran. Pentingnya pelayaran bagi Indonesia tentunya disebabkan oleh
keadaan geografisnya, posisi Indonesia yang strategis berada dalam jalur
persilangan dunia, membuat Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar
untuk mengembangkan laut. Laut akan memberikan manfaat yang sangat vital bagi
peninggalan sejarah sebelum masehi berupa bekas kerajaan Marina yang didirikan
perantau dari Nusantara yang ditemukan di wilayah Madagaskar. Tentu pengaruh
dan kekuasaan tersebut dapat diperoleh bangsa Indonesia waktu itu karena
kemampuan membangun kapal dan armada yang layak laut, bahkan mampu
berlayar sampai lebih dari 4.000 mil.
Selain Sriwijaya dan bahkan sebelum Majapahit, Kerajaan Singosari juga memiliki
armada laut yang kuat dan mengadakan hubungan dagang secara intensif dengan
wilayah sekitarnya. Kita mengetahui strategi besar Majapahit mempersatukan
wilayah Indonesia melalui Sumpah Amukti Palapa dari Mahapatih Gajah Mada.
Kerajaan Majapahit telah banyak mengilhami pengembangan dan perkembangan
nilai-nilai luhur kebudayaan Bangsa Indonesia sebagai manifestasi sebuah bangsa
bahari yang besar. Sayangnya, setelah mencapai kejayaan budaya bahari, Indonesia
terus mengalami kemunduran, terutama setelah masuknya VOC dan kekuasaan
kolonial Belanda ke Indonesia. Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 antara Belanda
dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta mengakibatkan kedua raja tersebut harus
menyerahkan perdagangan hasil wilayahnya kepada Belanda.
Sejak itu, terjadi penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa Indonesia, dan
pergeseran nilai budaya, dari budaya bahari ke budaya daratan. Namun demikian,
budaya bahari Indonesia tidak boleh hilang karena alamiah Indonesia sebagai
negara kepulauan terus menginduksi, membentuk budaya bahari bangsa Indonesia.
Catatan penting sejarah maritim ini menunjukkan bahwa dibandingkan dengan
negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki keunggulan
aspek budaya bahari bentukan secara alamiah oleh aspek-aspek alamiah Indonesia.
Berkurangnya budaya bahari lebih disebabkan berkurangnya perhatian Pemerintah
terhadap pembangunan maritim.
Sesungguhnya, secara pemikiran dan konsepsi, Bangsa Indonesia sudah lama ingin
kembali ke laut. Pada tahun 1957, Bangsa Indonesia mendeklarasikan Wawasan
Nusantara, yang memandang bahwa wilayah laut di antara pulau-pulau Indonesia
sebagai satu-kesatuan wilayah nusantara, sehingga wilayah laut tersebut
merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang
ada di bawahnya serta seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya sebagai
kekayaan nasional yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Bung Karno saat pembukaan
siakan. Berbeda dengan negara maritim lain seperti RRC, AS, dan Norwegia, yang
sudah memanfaatkan laut sedemikian rupa hingga memberikan kontribusi di atas
30 persen terhadap PDRB nasional mereka. Dengan melihat kenyataan seperti ini,
sudah saatnya Bangsa Indonesia membangkitkan kembali kesadaran bahwa laut
harus dipandang sebagai kesatuan wilayah dan sumber kehidupan, media
perhubungan utama, wahana untuk merebut pengaruh politik dan wilayah
pertahanan penyanggah utama.
Kedudukan Indonesia pada posisi silang perdagangan dan memiliki 4 dari 9 Sea
Lines of Communication dunia mengakibatkan Indonesia mempunyai kewajiban
yang sangat besar untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran
internasional di Selat Malaka/ Singapura dan 3 Alur Laut Kepulauan Indonesia
(ALKI). Indonesia belum mempunyai kemampuan pertahanan dan keamanan laut
yang memadai untuk hal tersebut, apalagi untuk menjaga kedaulatan di seluruh
wilayah laut yurisdiksinya. Sepanjang berkaitan dengan kebijakan pertahanan
nasional, pada dasarnya Indonesia adalah negara yang cinta damai dan tidak
memiliki ambisi untuk menguasai negara atau wilayah bangsa lain.
Akan tetapi, Indonesia memiliki pulau-pulau yang jauh terutama di Laut Natuna
dan Sulawesi, dan masih ada wilayah perbatasan yang belum ditetapkan serta
wilayah dengan potensi sengketa. Oleh karena itu, Indonesia harus tetap
mewaspadai adanya kemungkinan kontingensi. Indonesia harus memiliki
kesiagaan dan kemampuan untuk dapat mengendalikan lautnya dan
memproyeksikan kekuatannya melalui laut dalam rangka memelihara stabilitas dan
integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagi suatu Negara dengan
kekuatan ekonomi yang terus berkembang, kelanjutan kemajuan Indonesia akan
makin bergantung pada perdagangan dan angkutan laut dan ketersediaan energi,
serta pada ekploitasi sumber daya laut dan bawah laut serta membangun industri
maritim yang tangguh.
Oleh karena itu, sangat jelas bahwa Indonesia memiliki kepentingan nasional yang
sangat besar di laut. Sebagai hal yang mendasari kepentingan Indonesia di laut,
Indonesia harus memiliki kemerdekaan atau kebebasan menggunakan laut
wilayahnya untuk memperjuangkan tujuan nasionalnya, serta mempunyai strategi
untuk menjaga kepentingan maritimnya dalam segala situasi. Pertanyaannya
Ada kisah yang sukup menyentuh, sekelumit tentang pengambilan keputusan atau
hukum, mari kita simak kisah sepenggal tanya jawab antara Rasulullah SAW dan
Sahabat Muadz bin Jabbal. Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya
mengemukakan pendapat, Muadz hampir sama dengan Umar bin Khathab. Ketika
Rasulullah SAW hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya, Apa
yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Muadz?"
Kitabullah, jawab Mu'adz.
Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?, tanya Rasulullah pula.
Saya putuskan dengan Sunnah Rasul."
Jika tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?"
Saya pergunakan pikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia,
jawab Muadz.
Maka berseri-serilah wajah Rasulullah SAW. Segala puji bagi Allah yang telah
memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh Rasulullah,
sabda beliau.
Dan mungkin kemampuan untuk berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan
kecerdasan inilah yang menyebabkan Muadz berhasil mencapai kekayaan dalam
ilmu fiqih, mengatasi teman dan saudara-saudaranya hingga dinyatakan oleh
Rasulullah sebagai orang yang paling tahu tentang yang halal dan yang haram.
Karena itulah, dalam memilih pemimpin mulai dari skala yang lebih kecil, sampai
pada tingkat nasional, penulis hanya ingin mengingatkan, semoga bisa dijadikan
nasihat dan sekaligus dapat dilaksanakan dalam memilih calon pemimpin baik
BUpati maupun Gubernur secara langsung sehingga bisa memilih pemimpin yang
baik dan berkualitas. Insya Allah. Amiin. (***)
Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:
http://www.muslimedianews.com/2015/03/mencari-sosok-pemimpin-dalampandangan.html#ixzz3zHE7NjF2
wartawan khususnya, pers pada umumnya, mempunyai arti strategi sendiri dalam
upaya untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Setelah mengetahui sejarah awal pers di Indonesia, kita dapat melihat bahwa pers
di Indonesia memiliki arti yang sangat penting. Pers Indonesia turut memberikan
kesaksian, mencatat dan sekaligus menjadi pendorong perjuangan bangsa untuk
mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Saat ini diharapkan pers Indonesia dapat
memberikan kontribusi positif untuk mengembangkan Indonesia ke arah yang
lebih baik.
Reformasi telah bergulir, kebebasan pers saat ini bisa dinikmati oleh siapa saja dan
berdampak besar bagi kemajuan hak berdemokrasi dan penegakan HAM. Tapi di
balik cerita manis prosesi demokrasi dengan adanya kebebasan pers sendiri masih
tersisa wajah buruk pers.
Kekerasan demi kekerasan terhadap wartawan terus terjadi. Simak saja laporan
Tahunan AJI (Aliansi Jurnalis Independen). Pada periode Agustus 2011 hingga Juli
2012 saja, AJI mencatat terdapat 45 kasus kekerasan yang dialami jurnalis. Setiap
tahun angkanya selalu tinggi, yaitu di atas 40 kasus, kata Kepala Divisi Advokasi
AJI, Aryo Wisanggeni pada malam resepsi ulang tahun ke-18 organisasi pers itu,
di Galeri Nasional, Jakarta, Selasa (7/8).
Tapi dari sekian kasus yang menimpa wartawan itu, barangkali sampai sekarang
yang tidak ada yang mampu menandingi tragisnya kematian Fuad Muhammad
Safrudin, akrab dipanggil Udin, yang bekerja sebagai wartawan Bernas. Sejak
penganiayaan yang terjadi pada 13 Agustus 1996 yang berbuntut tewasnya Udin,
kasus tersebut belum terungkap jelas. Memang ada tersangka tunggal, Dwi Sumaji
alias Iwik, namun Iwik didudukan di kursi terdakwa karena penyidik yakin ada
latar love affair yang melibatkan Iwik dalam kasus pembunuhan tersebut. Sehingga
latar belakang rekayasa dalam penanganan kasus semakin jelas. Padahal kasusnya
sudah kadaluarsa pada 16 Agustus 2014.
Masalahnya, sejak awal, masyarakat dan kalangan Pers yakin bahwa terbunuhnya
Udin lebih banyak berkaitan dengan masalah pemberitaan. Keyakinan ini pula
yang dipegang Tim Pencari Fakta PWI Yogyakarta yang dibentuk khusus untuk
menelusuri latar belakang peristiwa penganiyaan tersebut. Tak pelak, kontroversi
yang menyelimuti kasus yang terjadi di daerah Bantul pada kurun dekade 1996
dengan cepat masuk ke agenda Internasional. Sebab, ternyata, tak cuma kalangan
pers dalam negeri yang menyorot kasus tersebut. Lembaga lembaga internasional
semacam : Internasional Federation of Journalists (Brussels), Commite to Protec
Journalists (New York), Article 19 (London) dan Reportour Sans Frontier (Paris)
pun menaruh harapan besar agar pelaku sebenarnya terungkap.
Tekanan terhadap pers dan jatuhnya korban di kalangan wartawan, sebagaimana
sedikit diceritakan dalam kasus-kasus di atas, sebenarnya ironis dengan nasib
sejarahyang dialami dunia pers saat ini. Di tengah gencarnya gelombang
kompetisi antar pers yang semata-mata ditujukan untuk meningkatkan jumlah
oplah, pers ternyata masih dipandang , setidaknya oleh sebagian pejabat
pemerintah , sebagai sumber gangguan. Mitos pers sebagai pilar demokrasi
keempat (sesudah lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif) yang sudah terlanjur
melekat agaknya sulit dieliminasi begitu saja.
Tekanan terhadap pers dan jatuhnya korban di kalangan wartawan, sebagaimana
sedikit diceritakan dalam kasus-kasus di atas, sebenarnya ironis dengan nasib
sejarahyang dialami dunia pers saat ini. Di tengah gencarnya gelombang
kompetisi antar pers yang semata-mata ditujukan untuk meningkatkan jumlah
oplah, pers ternyata masih dipandang , setidaknya oleh sebagian pejabat
pemerintah , sebagai sumber gangguan. Mitos pers sebagai pilar demokrasi
keempat (sesudah lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif) yang sudah terlanjur
melekat agaknya sulit dieliminasi begitu saja.
Ini sebenarnya paradoks: di satu sisi pers dihadapkan pada kenyataan historis
sebagai sebuah industri yang harus memperhitungkan segala bentuk perhitungan
untung rugi, tapi di sisi lain, tak seperti lembaga lembaga bisnis lainnya, ia juga
tak mungkin menepis fitrahnya sebagai pencari dan penyebar informasi yang
acapkali menghasilkan benturan-benturan kepentingan.
Justru di titik inilah letak kekuatan sekaligus kelemahan pers. Ia menjadi kekuatan
informasi yang disebarkan sanggup menjadi penggalang opini publik, tapi di saat
lain juga menjadi titik lemah yang dengan mudah menjadi alasan untuk
membunuhnyaterutama yang datang dari kekuasaan.
Dari segi profesi, peran wartawan pun cap dianggap berbeda dengan jenis-jenis
profesi lainnya. Padahal, kalau melihat output, yang dihasilkan: pekerjaan ini sama
sekali tidak ada istimewanya. Yang diperlukan seseorang untuk menjadi seorang
wartawan hanyalah ketrampilan menulis. Tapi karena profesi ini berhubungan
dengan pemaparan fakta (yang sering identik dengan kebenaran) yang terjadi di
tengah masyarakat, persoalan pun lantas menjadi lebih rumit. Sebab tidak semua
pemaparan fakta disukai setiap orang. Di sinilah letak resiko itu: ketika kebenaran
itu menjadi musuh bagi mereka yang merasa dirugikan dengan adanya aliran
informasi yang bebas. Tak heran, bahkan seorang Arief Budiman pun tak segan
menggolongkan wartawan sebagai bagian dari barisan intelegensia.
Paradigma kritis adalah sebuah pilihan dari Jurnalisme kritis yang sebenarnya telah
lahir sejak munculnya jurnalisme pada abad 15-an. Rentangan sejarah panjang
jurnalis merupakan sebuah tugas mulia dimana pers adalah sebuah institusi sosial
yang pasti di dalamnya adalah fungsi komunikasi. Dan lebih spesifik lagi sebagai
bagian pers nasional, pers menurut UU no 40 tahun 1999 mempunyai fungsi
sebagai media informasi, pendidikan , hiburan dan kontrol sosial.
Kekerasan terhadap wartawan adalah perbuatan melanggar Undang Undang UU
No 40 Pasal 2, dimana Kemerdekaan Pers adalah salah satu wujud kedaulatan
rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi , keadilan dan supermasi hukum.
Dan Pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Kematian Udin sungguh misteri
sampai kini. Kekerasan yang diterimanya jelas menciderai kemerdekaan setiap
warga negara untuk melakukan kontrol sosial. Maka untuk melaksanakan dan
menegakan hukum rule of law diperlukan lembaga-lembaga tertentu yang
mempunyai kekuasaan yang diakui. Karena itu maka kekuasaan dan hukum
menjadi jaminan bagi yang berlaku atau demi tegaknya hukum.
Melalui sistem hukum , hak hak dan kewajiban-kewajiban ditetapkan bagi para
warga masyarakat yang menduduki posisi tertentu. Termasuk kalangan pemerintah
(eksekutif) dan DPR (legislatif). Sejalan dengan itu, kebebasan yang diberikan
kepada golongan lain disertai tanggungjawab. Walaupun demikian, pada
hakekatnya hukum merupakan suatu alat dari elite yang berkuasa yang sedikit
jumlahnya digunakan untuk mempertahankan atau telah menambah kekuasaan.
Dalam negara demokrasi kekuasaan itu diperoleh dari rakyat, jadi
mempertahankan amanat rakyat.
Kesimpulan dan Saran
Episode Lengsernya Soeharto dan berlanjut dengan Pemerintahan Reformasi
secara berturut-turut Habibie, Gus Dur, Mega ternyata membawa dampak luarbiasa
dalam perkembangan pers nasional. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia
langsung masuk ke dalam barisan tiga negara yang dikategorikan memiliki
kebebasan Pers, sesudah Filiphina dan Thailand. Beberapa organisasi pers,
semacam AJI malah membentuk South East Asia Press Alliance (SEAPA), yang
bertugas mengekspor kebebasan pers ke negara-negara tetangga.
Indikasi pers bebas di Indonesia kini memang tidak ada yang menyangkal. Media
Massa, baik cetak maupun elektronik, sekarang nyaris tidak punya hambatan lagi
dalam meliput dan menyiarkan berita. Semua tampil berani. Hampir tidak ada lagi
tabu-tabu politik yang semasa Orba berkuasa begitu membelenggu ruang gerak
pers. Apapun bisa ditulis: Keluarga Cendana, Cikeas, Century, Wisma Atlet,
Proyek Hambalang sampai masalah HAM dan SARA. Semua bisa ditulis dan
disebarkan. Begitupula dalam organisasi wartawan, semua bebas membentuk
organisasi.
Kasus Udin dapat dismissalkan demi tegaknya hukum. Sehingga peran dan fungsi
pers dapat dikuatkan dan masa depan pers nasional dijamin oleh banyak pihak,
baik pemerintah, DPR, Kepolisian, dan rakyat. Apalagi kasus Udin akan
kadaluarsa secara hukum pada bulan Agustus tahun 2014.
Toh keragu-raguan terhadap masa depan pers nasional masih ada. Pertama, dengan
persoalan kualitas jurnalisme itu sendiri. Pers bebas yang berjalan sekarang
ternyata tidak diikuti oleh peningkatan kualitas jurnalisme. Yang ada hanya
keberaniansering tanpa disertai pertanggungjawaban moral terhadap dampak
yang mungkin merugikan kehidupan masyarakat.
Kedua, adanya UU Pers yang menjamin kebebasan pers ternyata masih
menyisakan kekerasan terhadap wartawan. Ini membuktikan masyarakat dan
pemerintah belum sepenuhnya menjamin kekebasan pers dan berpendapat.
Ketiga, terkait kesejahteraan jurnalis. Kebebasan pers tanpa independensi dari
wartawan tentu sulit ditegakan. Wartawan agar tetap independen, maka harus
sejahtera. Tugas mulia jurnalis ini harus dihargai dengan nilai-nilai kepantasan agar
kehidupan jurnalis menjadi lebih baik.
Bagaimanapun, salah satu penikmat terbesar era reformasi ini adalah pers. Justru
karena itu menjadi tanggung jawab bersama agar perjuangan ke arah kekebasan
pers yang di idealkan bisa menjadi kenyataan. Semoga pers Indonesia menjadi
lebih baik dan mampu mengemban amanah-amanah publik, dan tidak sekedar
menjadi mitos penyangga pilar keempat dari demokrasi di republik tercinta ini.
(***)
*Alumnus Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta
Implementasi Aswaja
Bentuk pemahaman keagamaan Ahlussunnah Waljamaah yang dikembangkan NU
disebutkan secara tegas dalam AD NU Bab II tentang Aqidah/Asas Pasal 3 (Setjen
PBNU, 2000: 10), yakni Nahdlatul Ulama sebagai Jamiyyah Diniyah Islamiyyah
beraqidah/berasas Islam menurut faham Ahlussunnah Waljamaah dan menganut
salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali. Untuk bidang
tasawuf yang merupakan dasar pengembangan akhlak atau perilaku kehidupan
individu dan masyarakat, NU menganut paham yang dikembangkan oleh Abul
Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi dan Muhammad ibnu Muhammad Al-Ghazali serta
Imam-Imam yang lain (Setjen PBNU: tt., 9).
Dari penjelasan itu dapat dipahami bahwa NU mengembangkan faham
Ahlussunnah Waljamaah yang mencakup tiga hal pokok yang secara garis besar
juga merupakan aspek-aspek ajaran Islam, yaitu: (1) akidah; (2); syariah atau
fikih; dan (3) akhlak.
Akidah merupakan aspek terpenting sekaligus yang melatarbelakangi lahirnya
paham Ahlussunnah Waljamaah dalam dunia Islam. Di lingkungan NU,
pemahaman terhadap aspek akidah menggunakan metode Asyariah dan
Maturidiah. Paham Ahlussunnah Waljamaah menempatkan nash Al-Quran dan
Sunnah Nabi sebagai otoritas utama yang berfungsi sebagai petunjuk bagi umat
manusia dalam memahami ajaran Islam. Dalam kaitan ini, akal yang mempunyai
Hierarki sumber ini berlaku untuk semua aspek keagamaan, baik akidah, syariah
atau fikih, maupun akhlak. Hierarki seperti ini, secara implisit juga tergambar
dalam pernyataan Asyari pada saat memproklamirkan pahamnya di depan publik,
bahwa sandaran otoritas pendapat dan keyakinan yang dianutnya adalah berpegang
teguh Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, atsar sahabat, perkataan tabiin, pembela
hadis, dan apa yang dikatakan oleh Ahmad ibn Hanbal. (lihat: Nasir Yusuf dan
Karsidi Ningrat, 1998: 46-47).
Watak atau ciri NU dalam mengembangkan paham Ahlussunnah Waljamaah
adalah pengambilan jalan tengah yang berada di antara dua ektrim. Kalau kita
melihat ke belakang, sejarah teologi Islam memang banyak diwarnai oleh berbagai
macam ektrem, seperti Khawarij dengan teori pengkafirannya terhadap pelaku
dosa besar, Qadariyah dengan teori kebebasan kehendak manusianya, Jabariyah
dengan teori keterpaksaan kehendak dan berbuat manusianya, dan Muktazilah
dengan pendewaannya terhadap kemampuan akal dalam mencari sumber ajaran
Islam. Di sinilah Asyariah dan Maturidiah dengan mengambil inspirasi berbagai
pendapat yang sebelumnya dikembangkan terutama oleh Ahmad ibn Hanbal-merumuskan formulasi pemahaman kalamnya tersendiri dan banyak mendapatkan
banyak pengikut di seluruh dunia.
Dalam Risalah Khittah Nahdliyyah, K.H. Achmad Shiddiq (1979: 38-40),
menjelaskan bahwa paham Ahlussunnah Waljamaah memiliki tiga karakter.
Pertama, tawsuth atau sikap moderat dalam seluruh aspek kehidupan; kedua, alitidl atau bersikap tegak lurus dan selalu condong pada keberanaran keadilan;
dan ketiga, at-tawzun atau sikap keseimbangan dan penuh pertimbangan.
Tiga karakter tersebut berfungsi untuk menghindari tatharruf atau sikap ekstrim
dalam segala aspek kehidupan. Dengan kata lain, (Muhith Muzadi, tt: 33-34) harus
ada pertengahan dan keseimbangan dalam berbagai hal. Dalam akidah, misalnya,
harus ada keseimbangan atau (pertengahan) antara penggunaan dalil naqliy dan
aqliy, antara ekstrim Jabariyah dan Qadariyah. Dalam bidang syariah dan fikih,
ada pertengahan antara ijtihad sembrono dengan taklid buta dengan jalan
bermazhab. Tegas dalam hal-hal qathiyyt dan toleran pada hal-hal dzanniyyt.
Dalam akhlak, ada keseimbangan dan pertengahan antara sikap berani (syajah)
dan sikap penakut serta ngawur. Sikap tawdlu (rendah hati) merupakan
pertengahan antara takabbur (sombong) dan tadzallul (rendah diri).
Secara keseluruhan, bisa juga dikatakan bahwa paham keagamaan Ahlussunah
Waljamaah yang ditampilkan oleh NU merupakan manhaj yang mengambil jalan
tengah antara kaum ekstrem aqliy (rasionalis) dengan kaum ekstem naqliy
(skripturalis). Akan tetapi, dalil-dalil berdasarkan nash Al-Quran dan sunnah
(naqliy) secara hierarkis berada di atas dalil berdasarkan akal atau logika (aqliy).
Dengan kata lain bahwa di dalam lingkungan NU diterapkan metode berpikir untuk
mendahulukan nash dari pada akal (taqdm an-nashsh al al-aql).
Perpaduan antara tawassuth, itidl, dan tawzun ini juga mencerminkan tradisi NU
yang dalam secara kultural bersikap mempertahankan tradisi lama yang baik,
menerima hal-hal baru baru yang lebih baik, tidak bersikap apriori dalam
menerima salah satu di antara keduanya, dan lain sebagainya. Inilah maksud dari
adagium al-muhfazhah al al-qadm ash-shlih wa al-akhdz bi al-jadd alashlah. Dengan demikian, secara konseptual NU memilih jalan moderat dan
terbuka (inklusif) dalam mengamalkan ajaran agama (baca: Islam).
Dalam tataran implementasi, memang selalu ditemukan kendala antara sisi almuhfazhah al al-qadm ash-shlih dan al-akhdz bi al-jadd al-ashlah,. Yaitu,
adanya kesimpulan bahwa kaum nahdliyyin merupakan masyarakat Islam
tradisional, pada satu sisi barangkali meskipun bisa dipahami dalam pengertian
lain, antusiasme mereka dalam melestarikan budaya dan tradisi lokal dalam
mengamalkan ajaran agama disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam
mengimplementasikan paham Ahlussunnah Waljamaah itu mereka lebih
menitikberatkan pada aspek prinsip tadi.
Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siraj, seorang tokoh NU yang pada tahun 1990-an sempat
menggemparkan wacana Ahlussunnah Waljamaah di lingkungan NU, berpendapat
bahwa adagium itu sebaiknya dipertajam lagi dengan istilah al-jd atau alibd bi al-jadd al-ashlah yang mengandung pengertian aktif dan kreatif
daripada al-akhdz yang mengandung pengertian pasif (lihat: Endang Turmudzi,
dkk, 2004: 2).
Apa yang dijelaskan oleh Said Aqil Siraj itu pada dasarnya merupakan otokritik
atas apa yang selama ini berkembang di lingkungan nahdliyyin. Terlepas dari
perdebatan mengenai hal ini, yang harus dipahami adalah bahwa prinsip almuhfazhah al al-qadm ash-shlih al-akhdz b al-jadd al-ashlah merupakan
sebuah kesatuan, dan harus diimplementasikan secara seimbang.
Dengan demikian selalu ada celah di mana paham Ahlussunnah Waljamaah harus
selalu dikaji dan dikritisi, di samping menjaga keutuhan metode pemikirannya.
Pemahaman seperti ini (Said Aqil Siradj, 1999: 197), bukan dimaksudkan sebagai
upaya vis a vis Imam Asyari dan Imam Maturidi. Namun, justru diproyeksikan
sebagai upaya untuk meneruskan dasar-dasar yang pernah mereka paparkan secara
kritis, metodologis, dan analisis.
Aktualisasi sebuah ajaran tentu mensyaratkan adanya upaya untuk selalu
menjadikan ajaran itu relevan dengan situasi kongkret dan kekinian, serta mampu
memberikan solusi atas persoalan-persoalan yang terus berkembang. Hal ini
mengandaikan adanya proses pencermatan secara kritis terhadap apa yang telah
dihasilkan oleh para pendiri paham Ahlussunah Waljamaah. Sikap yang cermat
dan kritis inilah yang akan mengantarkan seseorang bersikap moderat dan terbuka
dalam beragama.
Ahussunnah Waljamaah sebagaimana dirumuskan oleh Kiai Hasyim Asyari
dalam Rislah Ahl as-Sunnah wa al-Jamah merupakan cara pandang, berpikir,
dan pada dasarnya bersifat holistik (menyeluruh) yang mengasumsikan bahwa
segala persoalan hidup kemanusiaan baik lahir maupun batin bisa terjawab dengan
paham keagamaan itu. Akan tetapi, memang sulit dijumpai karya-karya ulama di
lingkungan NU yang secara panjang lebar menjelaskan persoalan filsafat dan
politik, meskipun soal politik ini juga dibahas dalam lain kesempatan, misalnya
dalam Resolusi Jihad, dan bisa dimasukkan sebagai bagian dari sistem
Ahlussunnah Waljamaah yang dianut NU. Selain itu, kalangan NU pada umumnya
melihat bahwa filsafat NU adalah Ghazalian, sedangkan politiknya Mawardian,
yangmengacu pada Imam Mawardi. Namun semuanya itu agaknya lebih banyak
dipraktekkan ketimbang dirumuskan menjadi pola pemahaman Ahlussunnah
Waljamaah secara lebih sistematis dan terinci. (Abdul Munim Dz, 2004: ws.).
Akan tetapi pada dasarnya NU senantiasa memberikan respons terhadap persoalan-
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15. Arsip Ag 15771/08 (ANRI, Jakarta), Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bogor,
29 Juni 1908.
16. Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta), Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bogor, 3
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49. Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta:
BIOGRAFI PENULIS