Anda di halaman 1dari 128

Percikan Pemikiran

Katalog Dalam Penerbitan : ISBN : 0507-11878

Percikan Pemikiran
Hak penerbitan ada pada penerbit : Ababil Corp

Penyusun: Aji Setiawan


Penyunting: Penerbit
Desain Sampul: ajie
Diterbitkan oleh penerbit: Ababil Publishing

Buku ini dapat dipesan di perwakilan penerbit:

Pengantar Penulis

Segala puji bagi Allah SWT, shalawat serta salam semoga


selalu kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga , sahabat dan pengikut setia beliau hingga hari
kemudian.
Pembaca yang budiman yang semoga senantiasa di Rahmati
Allah SWT, pada kesempatan kali ini penulis mencoba
menyajikan sebuah jejaring ulama-ulama terkemuka Nusantara
sejak kedatangan Islam masuk Indonesia. Ada banyak sekali
ulama-ulama dari Indonesia yang menjadi rujukan bagi umat
Islam dunia. Sumbangan pemikiran dan intelektual muslim
Indonesia itu tidak saja mewarnai khazanah Islam Indonesia
namun juga Dunia yang terangkum dalam buku Jejaring Ulama
Nusantara. Di mana mereka menyambung mata rantai
khazanah Islam Nusantara dari dahulu dan berkembang hingga
kini.
Dengan dibukukan semoga karya dan sumbangsih ulamaulama terkemuka Nusantara itu dapat dijadikan referensi dan
dapat dijadikan rujukan lebih lanjut dalam khazanah Islam
Nusantara.
Demikian pengantar penulis dalam penerbitan buku
Jejaring Ulama Nusantara semoga dapat bermanfaat bagi kita
sekalian.

Penulis

Aji Setiawan

Daftar Isi

Buku : Jejaring Ulama Nusantara

Cover---i
Katalog Dalam Penerbitanii
Pengantar Penulis--iii
Daftar isi---iv
1. Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia--2. Sejarah Thariqah Masuk Indonesia
3. Jejaring Ulama Nusantara Sepanjang Masa--4. Peran Pondok Pesantren Dalam Penyebaran Islam di
Indonesia
5. Peran Ulama pada Masa Kemerdekaan dan Refleksi
Hari Santri Nasional
6. Peran NU Pra dan Pasca Kemerdekaan
7. Habaib dan Ulama Berdampingan Membangun Betawi

8. Peran Strategis Ulama Pada Masa Sekarang


9. Pentingnya Pendidikan Karakter--10. Misi Pendidikan Islami-11. Catatan Penutup
12. Daftar Pustaka
13. Biografi Penulis

Sejarah Masuknya Islam ke

Indonesia

Wacana tentang masuknya Islam ke Indonesia, masih


menyisakan perdebatan panjang di kalangan para ahli.
Setidaknya ada tiga masalah pokok yang menjadi
perbedaan. Tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya,
dan waktu kedatangannya. Berbagai teori berusaha menjawab
tiga masalah pokok ini dan nampaknya belum tuntas karena
kurangnya data pendukung dari masing-masing teori. Pula, ada
kecenderungan dari teori-teori yang menekankan salah satu
aspek dan mengabaikan aspek-aspek yang lain.
Paling tidak, ada tiga teori yang dikembangkan para ahli
mengenai masuknya Islam di Indonesia: Teori Gujarat, Teori
Persia, dan Teori Arabia. Teori Gujarat dianut oleh
kebanyakan ahli dari Belanda. Penganut teori ini memegang
keyakinan bahwa asal muasal Islam di Indonesia dari Anak
Benua India, bukan dari Persia atau Arabia.
Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah
Pijnappel dari Universitas Leiden, Belanda. Menurut Pijnappel,
orang-orang Arab yang bermazhab Syafii yang bermigrasi dan
menetap di wilayah India kemudian membawa Islam ke
Indonesia. (Azra, 1998: 24).
Teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje.
Teori ini lebih menitikberatkan pandangannya ke Gujarat sebagai
asal berdasarkan: Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan
peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke

Indonesia. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah lama


terjalin lama. Ketiga, transkripsi tertua tentang Islam yang
terdapat di Sumatera memberikan gambaran hubungan antara
Sumatera dengan Gujarat. (Suryanegara, 1998: 75)
Pandangan Snouck Hurgronje yang demikian ini mempunyai
pengaruh yang besar terhadap para sejarawan Barat dan
berpengaruh juga terhadap sejarawan Indonesia. Sampai hari ini
kita masih mendapati buku terbaru yang menyebut Gujarat
sebagai asal masuknya agama Islam ke Nusantara. Sejalan
dengan pendapat di atas ini, Moquette, seorang sarjana Belanda.
Ia mendasarkan kesimpulannya setelah mengamati bentuk batu
nisan di Pasai, kawasan utara Sumatera yang bertanggal 17
Dzulhijjah 1831 H/27 September 1428. Batu nisan yang mirip
ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (w.1822/1419) di
Gresik, Jawa Timur.
Berdasarkan contoh-contoh batu nisan ini ia berkesimpulan,
bahwa batu nisan di Cambay, Gujarat dihasilkan bukan hanya
untuk pasar lokal tetapi juga untuk diekspor ke kawasan lain,
termasuk Sumatera dan Jawa. Selanjutnya, dengan mengimpor
batu nisan dari Gujarat, orang-orang Indonesia juga mengambil
Islam dari sana. (Azra,1998:24-25)
Sarjana Belanda lainnya, W.F. Stuterheim menyatakan
masuknya agama Islam ke Nusantra pada abad ke-13 Masehi.
Pendapat ini didasarkan pada bukti batu nisan sultan pertama
dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik Al-Saleh pada tahun
1297. Selanjutnya tentang asal negara yang mempengaruhi
masuknya Islam ke Indonesia adalah Gujarat dengan alasan
bahwa Islam disebarkan melalui jalur perdagangan IndonesiaCambay (India)-Timur TengahEropa. Di samping itu, Stuterheim
memperkuat alasannya bahwa relief batu nisan Sultan Malik AlSaleh bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan
batu nisan di Gujarat. (Suryanegara,1998: 76).
Dengan demikian, dari pandangan para ahli di atas, baik
Pijnapel, Hurgronje, Moquette, maupun Stutterheim, dapat
disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Gujarat India
pada abad XIII-XIV Masehi melalui jalur perdagangan.
Masih dalam konteks Teori Gujarat, J.C. Van Leur
menyatakan bahwa pada tahun 674 M di pantai barat Sumatera
telah terdapat perkampungan Islam. Dengan pertimbangan

bahwa bangsa Arab telah mendirikan perkampungan di Kanton


pada abad IV M. Perkampungan ini mulai dibicarakan lagi pada
tahun 618 dan 626. Pada perkembangan selanjutnya,
perkampungan ini ternyata mempraktekkan ajaran Islam seperti
yang terdapat di sepanjang jalan perdagangan Asia Tenggara.
(Suryanegara, ibid.)
Berdasarkan keterangan Van Leur, disimpulkan bahwa
masuknya Islam ke Nusantara tidaklah terjadi pada abad ke-13,
melainkan pada Abad ke-7. Sedangkan Abad ke-13 adalah masa
perkembangan Islam. Perluasan lebih lanjut terjadi pada abad
ke-16, sebagai akibat perubahan politik di India.
Perkembangan Islam pada abad XIII sebagai akibat
terjadinya jalur perdagangan, yang tadinya melalui Selat Sunda,
berubah melewati selat Malaka. Perubahan mempengaruhi
timbulnya pusat perdagangan di selat Malaka. Perluasan lebih
lanjut ditunjang oleh perubahan politik di India, yakni runtuhnya
kekuasaan Brahmana yang digantikan kekuatan Mongol (1526
M) dan diikuti jatuhnya kerajaan Vijayanagar (1556). Perubahan
politik inilah yang mempengaruhi perkembangan Islam di
Indonesia. (Suryanegara, 1998: 77).
Pandangan Van Leur mempunyai kesamaan dengan
pendapat TW Arnold tentang waktu masuknya Islam ke
Indonesia, yaitu pada abad VII. Tetapi, Van Leur tidak dapat
melepaskan pandangan bahwa Islam masuk Indonesia dari India,
seperti pandangan para ahli sebelumnya. Di samping itu, mereka
mengakui adanya bangsa Arab yang membawa Islam.
(Suryanegara, ibid.).
Leur juga menginformasikan bahwa motivasi para bupati
masuk Islam adalah untuk mempertahankan kekuasaanya.
Dengan demikian, informasi ini memberikan gambaran bahwa
sebelumnya Islam telah menjadi agama rakyat yang kemudian
disusul oleh para penguasa. Dengan demikian, kajian tentang
awal masuknya Islam ke Indonesia mestinya tidak didasarkan
kepada saat timbulnya kekuasaan politik, tapi perlu juga
memperhatikan perkembangan Islam di tengah masyarakat.
(Suryanegara, ibid.)
Tetapi, pada umumnya para penulis memusatkan
perhatiannya pada awal timbulnya kekusaan politik. Bernard
Vlekke misalnya. Berdasarkan laporan Marcopolo yang pernah

singgah di Sumatera pada tahun 1929, digambarkan bahwa


situasi di ujung utara Sumatera, daerah Perlak (Aceh)
penduduknya telah memeluk agama Islam. Vlekke menandaskan
bahwa Perlak adalah satu-satunya daerah Islam di Indonesa
waktu itu.
Dari berbagai argumen teori Gujarat di atas, analisis para
ahli kebanyakan bersifat India-Hindisentris, sehingga seluruh
perubahan sosial-politik di India mempengaruhi langsung sosialpolitik di Indoensia. Teori ini tentunya memiliki kelemahan dan
menuai kritik dari para ahli yang lain.
SQ Fatimi, misalnya, menyatakan bahwa argumen yang
mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai --termasuk batu nisan
Malik Al-Saleh dengan batu nisan di Gujarat, diragukan. Menurut
penelitiannya, batu nisan Malik Al-Saleh berbeda dengan batu
nisan yang terdapat di Gujarat. Batu nisan tersebut justeru mirip
dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu seluruh
batu nisan itu pasti didatangkan dari sana. Dengan demikian
Islam masuk ke Indonesia dari Bengal. Namun pendapat ini
dipersoalkan berkenaan dengan perbedaan mazhab. Muslim
Indonesia bermazhab Syafii, sementara muslim di Bengal
bermahzab Hanafi. (Azra, 25).
Pengkritik teori Gujarat lain adalah Morisson yang
menyatakan bahwa meski batu-batu nisan yang ada di Nusantara
diimpor dari Gujarat, bukan berarti Islam berasal dari sana.
Morisson mematahkan teori ini dengan data sejarah. Raja
Samudera Pasai yang melakukan Islamisasi di Pasai wafat pada
tahun 1297. Padahal, Gujarat saat itu masih merupakan kerajaan
Hindu, dan baru pada tahun 1298 ditaklukkan oleh penguasa
muslim. Menurut Morrison, Islam masuk ke Indonesia pada akhir
abad ke-13 dari Corromandel (India Timur). (Azra, 26).
Pandangan ini nampaknya sejalan dengan T.W. Arnold, yang
berargumen bahwa Islam Indonesia berasal dari Coromandel dan
Malabar. Hal ini disokong oleh kenyataan bahwa kedua wilayah
itu mempunyai kesamaan mazhab, yakni Syafii. Tetapi perlu juga
dicatat, menurut Arnold, Coromadel dan Malabar, bukan satusatunya asal Islam dibawa ke Nusantara, tetapi juga Arabia pada
awal abad VII M. (Azra Ibid., 26-27.)
Teori kedua tentang masuknya Islam di Indonesia adalah
teori Persia. Pembangun teori ini di Indonesia adalah Hoesin

Djajadiningrat. Teori ini menitikberatkan pandangannya pada


kesamaan kebudayaan masyarakat Indonesia dengan Persia.
Pandangan ini agak mirip dengan pandangan Morrison yang
melihat persoalan masuknya Islam di Indonesia dari sisi
kesamaan mazhab, meski berbeda asal muasalnya.
Kesamaan kebudayaan yang dimaksud dalam teori Persia ini
adalah: Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai
hari peringatan Syiah terhadap syahidnya Husain. Peringatan ini
ditandai dengan pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan
Muharam dinamakan bulan Hasan-Husein. Di Bengkulu ada
tradisi Tabut, dengan mengarak keranda Husein untuk
dilemparkan ke sungai atau perairan lainnya. Kedua, ada
kesaman ajaran wahdatul wujud Hamzah Fansuri dan Syekh Siti
Jenar dengan ajaran sufi Persia, Al-Hallaj (w.922 M). Ketiga,
pengunaan istilah Persia dalam tanda bunyi harakat dalam
pengajian Al-Quran, seperti jabar (Arab: fathah), huruf sin tidak
bergigi (Arab: bergigi). Keempat, nisan Malik Al-Saleh dan
Maulana Malik Ibrahim dipesan dari Gujarat. Argumen ini sama
persis dengan argumen teori Gujarat. Kelima, pengakuan umat
Islam Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafii sama dengan
mazhab muslim Malabar. Argumen ini sama dengan argumen
Morisson. Pandangan ini agak ambigu karena di satu sisi ia
menekankan kesamaan budaya Islam Indonesia dengan Persia,
tetapi di sisi lain dalam hal pandangan mazhab ia terhenti
sampai di Malabar, tidak sampai ke Mekkah, pusat mazhab
Syafii. (Suryanegara, 91)
Menjawab teori Persia ini, K.H. Saifuddin Zuhri, seorang
intelektual Islam dan Mantan menteri Agama RI, menyatakan
sukar menerima pendapat bahwa Islam datang ke Indonesia dari
Persia, apalagi bila berpedoman bahwa Islam masuk sejak abad
VII, yang berarti pada masa Bani Umayyah. Saat itu tampuk
kekuasaan politik dipegang oleh bangsa Arab dan pusat
peradaban Islam berkisar di Mekah, Madinah, Damaskus, dan
Bagdad. Tidak mungkin Islam Indonesia berasal dari Persia
mengingat zaman itu Islam juga baru masuk ke Persia.
(Suryanegara, 91.)
Dengan demikian teori Persia ini memiliki aspek-aspek
kelemahan yang akan dijawab oleh teori ketiga, yakni teori
Arabia. Teori ini sebenarnya merupakan koreksi terhadap teori

Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia. Di antara para ahli


yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold, Crawfurd, Keijzer,
Niemann, De Holander, Naquib Al-Attas, A. Hasymi, dan Hamka.
Kedua terakhir adalah ahli dari Indonesia.
Arnold menyatakan bahwa para pedagang Arab juga
menyebarkan Islam ketika mereka mendominasi perdagangan
Barat-Timur sejak abad awal Hijriyah, atau pada abad VII dan
VIII Masehi. Meski tidak terdapat catatan-catatan sejarah, cukup
pantas
mengasumsikan
bahwa
mereka
terlibat
dalam
penyebaran Islam di Indonesia. Asumsi ini lebih mungkin bila
mempertimbangkan fakta-fakta yang disebutkan sumber Cina
bahwa pada akhir perempatan ketiga abad VII M seorang
pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab di
pesisir Sumatera. Sebagian mereka bahkan melakukan
perkawinan dengan masyarakat lokal yang kemudian membentuk
komunitas muslim Arab dan lokal. Anggota komunitas itu juga
melakukan kegiatan penyebaran Islam. Argumen Arnold di atas
berdasarkan kitab Ajaib al-Hind, yang mengisaratkan adanya
eksistensi komunitas muslim di Kerajaan Sriwijaya pada Abad X.
Crawfurd juga menyatakan bahwa Islam Indonesia dibawa
langsung dari Arabia, meski interaksi penduduk Nusantara
dengan muslim di timur India juga merupakan faktor penting
dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara Keizjer
memandang Islam dari Mesir berdasarkan kesamaan mazhab
kedua wilayah pada saat itu, yakni Syafii. Sedangkan Nieman
dan De Hollander memandang Islam datang dari Hadramaut,
Yaman, bukan Mesir.
Pembela gigih teori Arabia lain adalah Naquib Al-Attas. Ia
menolak temuan epigrafis yang menyamakan batu nisan di
Indonesia dengan Gujarat sebagai titik tolak penyebaran Islam di
Indonesia. Batu-batu nisan itu diimpor dari Gujarat hanya
semata-mata pertimbangan jarak yang lebih dekat dibanding
dengan Arabia. Menurut Al-Attas, bukti paling penting yang
perlu dikaji dalam membahas kedatangan Islam di Indonesia
adalah karakteristik Islam di Nusantara yang ia sebut dengan
teori umum tentang Islamisasi Nusantara yang didasarkan
kepada literatur Nusantara dan pandangan dunia Melayu.
(Azra,28).

Menurut Al-Attas, sebelum abad XVII seluruh literatur Islam


yang relevan tidak mencatat satupun penulis dari India.
Pengarang-pengarang yang dianggap oleh Barat sebagai India
ternyata berasal dari Arab atau Persia, bahkan apa yang disebut
berasal dari Persia ternyata berasal dari Arab, baik dari aspek
etnis maupun budaya. Nama-nama dan gelar pembawa Islam
pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab
atau Arab-Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang melalui
India, tetapi setengahnya langsung datang dari Arab, Persia,
Cina, Asia Kecil, dan Magribi (Maroko).
Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan
mereka adalah faham yang berkembang di Timur Tengah kala
itu, bukan India. Sebagai contoh adalah corak huruf, nama
gelaran, hari-hari mingguan, cara pelafalan Al-Quran yang
keseluruhannya menyatakan ciri tegas Arab. (Attas, 1990:53-54)
Argumen ini didukung sejarawan Azyumardi Azra dengan
mengemukakan historiografi lokal meski bercampur mitos dan
legenda, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan
lain-lain yang menjelaskan interaksi langsung antara Nusantara
dengan Arabia. (Azra, 30).
Penggagas Teori Arabia lain adalah Hamka. Dalam
pidatonya dalam Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta pada tahun 1958 ia juga
melakukan koreksi keras terhadap Teori Gujarat. Teorinya
disebut Teori Mekah yang menegaskan bahwa Islam berasal
langsung dari Arab, khususnya Mekah. Teori ini ditegaskannya
kembali pada Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di
Medan, 17-20 Maret 1963.
Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 dan berasal dari
Gujarat. Hamka lebih mendasarkan teorinya pada peranan
bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia. Menurutnya,
Gujarat hanyalah merupakan tempat singgah, dan Mekah adalah
pusat Islam, sedang Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran.
(Suryanegara, 81-82).
Hamka menekankan pengamatannya kepada masalah
mazhab Syafii yang istimewa di Mekah dan mempunyai
pengaruh besar di Indonesia. Sayangnya, hal ini kurang
mendapat perhatian dari para ahli Barat. Meski sama dengan

Schrike yang mendasarkan pada laporan kunjungan Ibnu


Bathuthah ke Sumatera, Hamka lebih tajam lagi terhadap
masalah mazhab yang dimuat dalam laporan Ibnu Batutah.
Selain itu Hamka, juga menolak anggapan Islam masuk ke
Indonesia pada abad XIII. Islam sudah masuk ke Nusantara jauh
sebelumnya, yakni sekitar Abad VII. (Ibid. 82).
Pandangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van Leur, dan AlAttas yang menekankan pentingya peranan Arab, meski teori
Gujarat tidak mutlak menolak peranan Arab dalam penyebaran
Islam di Nusantara.
Arnold sendiri telah mencatat bahwa bangsa Arab sejak
abad kedua sebelum Masehi telah menguasai perdagangan di
Ceylon (Srilangka). Memang tidak dijelaskan lebih lanjut tentang
sampainya ke Indonesia. Tetapi, bila dihubungkan dengan
kepustakaan Arab kuno yang menyebutkan Al-Hind (India) dan
pulau-pulau sebelah timurnya, kemungkinan Indonesia termasuk
wilayah dagang orang Arab kala itu. Berangkat dari keterangan
Arnold, tidaklah mengherankan bila pada abad VII, telah
terbentuk perkampungan Arab di sebelah barat Sumatera yang
disebut pelancong Cina, seperti disebutkan Arnold dan Van Leur.
Hamka juga menolak teori Persia yang mendasarkan diri pada
persamaan budaya Indonesia dengan Persia. Tradisi Tabut,
misalnya, menurut Hamka, bukan berarti menujukkan bahwa
Islam Indonesia bercorak Syiah dari Persia, karena Muslim di
Indonesia yang bukan Syiah umumnya juga menghormati HasanHusein, meski bukan berarti Hamka menafikan pengaruh Syiah
atau Persia di Indonesia, terutama pada bidang tasawuf.
(Suryanegara, ibid., h. 92).
Dari uraian ketiga teori di atas dapat dilihat segi-segi
persamaan dan perbedaan dari masing-masing teori. Teori
Gujarat dan Persia memiliki persamaan pandangan mengenai
masuknya Islam ke Nusantara yang berasal dari Gujarat.
Perbedaanya terletak pada teori Gujarat dan mempersandingkan
dengan ajaran mistik India. Teori Persia juga memandang adanya
kesamaan mistik muslim Indonesia dengan ajaran mistik Persia.
Gujarat dipandang sebagai daerah yang dipengaruhi Persia, dan
menjadi tempat singgah ajaran Syiah ke Indonesia.
Dalam hal memandang Gujarat sebagai tempat singgah
(transit) bukan pusat, sependapat dengan Teori Arabia/Mekah.

Tetapi teori Mekah memandang Gujarat sebagai tempat singgah


perjalanan perdagagan laut antara Indonesia dan Timur Tengah,
sedangkan ajaran Islam diambilnya dari Mekah atau dari Mesir.
Teori Gujarat tidak melihat peranan bangsa Arab dalam
perdagangan ataupun dalam penyebaran agama islam ke
Indonesia. Teori ini lebih melihat peranan pedagang India yang
beragama Islam dari pada bangsa Arab yang membawa ajaran
Islam. Oleh karena itu berdasarkan skripsi tertua dan laporan
Marcopolo, ditetapkan daerah Islam pertama di Nusantara
adalah Samudera Pasai, dan waktunya pada abad ke-13.
Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan pendapat
bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada saat timbulnya
kekuasaan politik Islam pada abad 13 di Sumatera dengan
pusatnya di Samudera Pasai.
Kebalikannya adalah teori Arabia/Mekah yang tidak dapat
menerima abad 13 sebagai awal masuknya islam ke Indonesia
yang didasarkan pada berdirinya kerajaan Islam. Sedangkan
masuknya Islam ke Nusantara terjadi pada abad ke-7. Dasar
argumennya bertolak dari besarnya pengaruh mazhab Syafii di
Indonesia.
Sekalipun teori Persia juga membicarakan masalah
pengaruh mazhab Syafii di Indoensia, tetapi hal itu juga
dijadikan argumen besarnya pengaruh India atas Indonesia.
Pandangan teori Persia dengan melihat mazhab Syafii di
Indonesia sebagai pengaruh yang berkembang luas di Malabar.
Dari Malabar inilah mazhab Syafii dibawa oleh pedagang India
ke Indonesia.
Mempertimbangkan diskusi di atas mungkin dapat diambil
kesimpulan bahwa Islam sudah diperkenalkan dan ada di
Indonesia sejak abad ke-7 Masehi atau abad pertama Hijriah,
namun perkembangan yang lebih massif baru terlihat pada abad
12 dan 16. Adapun pembawa dan penyebar yang paling dominan
adalah bangsa Arab, baru kemudian orang Persia dan India.
Demikian pula asalnya, adalah Arabia yang kemudian dibumbui
warna Persia dan India. Penyebaran itu pertama kali dilakukan di
pesisir utara Sumatera (Aceh), karena posisi selat Malaka
merupakan jalur perdagangan penting dunia, dan kemudian
menyebar ke daerah yang lebih timur dan utara, seperti Jawa

(1450), Kalimantan (1580), Maluku (1490), Sulawesi (1600), Sulu


(1450) dan Filipina Selatan (1480). (***)

Masuknya Thariqah dan Perkembangannya di


Indonesia

Seiring kepulangan santri Jawa yang telah selesai belajar di


tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas, berbagai
thariqah telah tersebar luas di nusantara.
Sepeninggal Nabi SAW, fitnah besar terjadi di separuh
terakhir masa pemerintahan Al-Khulafaur Rasyidun, dan semakin
menghebat pada masa daulah Bani Umayyah, di mana sistem
pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki
kekuasaan
yang
tak
terbatas,
yang
cenderung
lebih
mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau
kelompoknya dan mengalahkan kepentingan rakyat kebanyakan.

Dan akhirnya berujung pada munculnya pemberontakan yang


digerakkan oleh golongan Khawarij, Syiah, dan Zuhhad.
Dua golongan pertama memberontak dengan motivasi
politik: merebut kekuasaan dan jabatan. Sementara golongan
terakhir melakukan pemberontakan untuk mengingatkan para
penguasa agar kembali kepada ajaran agama dan kembali
memakmurkan kehidupan rohani. Mereka berpendapat bahwa
kehidupan rohani yang terjaga dan terpelihara dengan baik akan
dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan dendam.
Fitnah yang muncul dari iri dan dengki yang lahir karena
perasaan hubbud dunya wa karahiyatul maut (terlalu cinta pada
kehidupan duniawi dan takut mati) itu pula yang belakangan
mereka yakini telah menghancurleburkan Daulat Bani Umayyah
dan Daulat Bani Abbasiyyah. Meski keduanya pernah termasyhur
sebagai merupakan pemerintahan yang terbesar di dunia,
dengan wilayah kekuasaan yang terbentang dari daratan Asia
dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di
bagian barat.
Gerakan para Zuhhad pada mulanya merupakan kegiatan
sebagian
kaum muslimin yang semata- mata berusaha
mengendalikan jiwa mereka dan menempuh cara hidup untuk
mencapai ridlo Allah SWT, agar tidak terpengaruh dan
terpedaya oleh tipuan dan godaan duniawi (materi). Lama
kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh
berkembang menjadi alat untuk mencapai tujuan yang lebih
murni, bahkan lebih mendalam, yaitu mencapai hakekat
ketuhanan dan marifat (mengenal) kepada Allah yang sebenarbenarnya,
melalui
riyadhah
(laku
pihatin),
mujahadah
(perjuangan
batin
yang
sungguh-sungguh),
mukasyafah
(tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah), musyahadah
(penyaksian terhadap keberadaan Allah).
Dengan istilah lain, laku batin yang mereka tempuh dimulai
dengan takhalli (mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela), lalu
tahalli (menghiasi hati dengan sifat yang terpuji), lalu tajalli
(mendapatkan pencerahan dari Allah SWT). Tata cara kehidupan
rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang di kalangan
masarakat muslim, yang akhirnya menjadi disiplin keilmuan
tersendiri, yang dikenal dengan ilmu tashawuf atau sufisme.

Bersamaan munculnya tasawuf di akhir abad kedua hijriah,


lahir juga istilah thariqah yang perlahan mulai menemukan
bentuknya sebagai sebuah sistem dan metodologi yang terdiri
dari sekumpulan aqidah, akhlak, dan seperangkat aturan terentu
bagi kaum sufi. Thariqah Shufiyyah, metode kaum sufi, saat itu
menjadi penyeimbang terhadap Thariqah Arbabil Aql wal fikr,
metode penalaran kelompok orang yang menggunakan akal dan
pikiran.
Thariqah yang pertama lebih menekankan pada dzauq
(rasa) sedangkan yang kedua lebih menekankan pada burhan
(bukti nyata /empiris). Istilah thariqah juga digunakan untuk
menyebut suatu pembimbingan pribadi dan perilaku yang
dilakukan oleh seorang guru musyid
kepada muridnya.
Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami orang
banyak ketika mendengar kata thariqah atau tarekat.
Perkembangan berikutnya, berkembang perbedaan metode
laku batin yang diamalkan dan diajarkan para tokoh sufi kepada
muridnya, yang disebabkan perbedaan pengalaman dan rasa
antar masing-masing tokoh, meski tujuan akhir mereka semua
tetap sama: menggapai ridha dan cinta Allah SWT. Perbedaan
metode itulah yang akhirnya memunculkan aliran-aliran thariqah
yang namanya diambil dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut,
seperti
Qadiriyah,
Rifaiyyah,
Syadziliyyah,
Dasuqiyyah/Barahamiyyah,
Zainiyyah,
Tijaniyyah,
Naqsabandiyyah, Alawiyyah dan lain sebagainya.
Mursyid Thariqah
Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing
thariqah yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru
mursyid di atasnya, yang terus bersambung sanadnya sampai
kepada Rasulullah SAW sebagai Shahibuth Thariqah, untuk mentalqin-kan dzikir atau wirid thariqah kepada orang-orang yang
datang meminta bimbingannya (murid). Dalam thariqah
Tijaniyyah, sebutan untuk mursyid adalah muqaddam.
Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu
thariqah. Karena ia tidak saja pembimbing yang mengawasi
murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah sehari-hari agar tidak
menyimpang dari ajaran Islam dan terjerumus dalam
kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian

bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah


SWT. Karena ia merupakan washilah (perantara) antara si murid
dengan Allah SWT. Demikian keyakinan yang terdapat
dikalangan ahli thariqah.
Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh dipangku oleh
sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu
thariqah cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki
kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci.
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy, salah seorang tokoh Thariqah
Naqsyabandiyah yang bermazhab Syafii, menyatakan, yang
dinamakan Syaikh/Mursyid adalah orang yang sudah mencapai
maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna
suluk/lakunya dalam syariat dan hakikat menurut Al Quran,
sunnah dan ijma.
Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna
pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqam
(kedudukan) yang lebih tinggi darinya, yang terus bersambung
sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang bersumber
dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat
(baiat)
dan
memperoleh
izin
maupun
ijazah
untuk
menyampaikan ajaran suluk dzikir itu kepada orang lain.
Seorang mursyid yang mutabar, diakui keabsahanya, itu
tidak boleh diangkat dari seorang yang bodoh, yang hanya ingin
menduduki jabatan itu karena nafsu. Mursyid merupakan
penghubung antara para muridnya dengan Allah SWT, juga
merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk
menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang tidak
mempunyai mursyid yang benar di atasnya, menurut Al-Kurdy,
maka mursyidnya adalah syetan. Seseorang tidak boleh
melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali
setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat
izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak dan
mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah SAW.
Sementara Syaikh Abdul Qadir Jailani, sebagaimana dikutip
oleh Syaikh Jafar bin Abdul Karim Al-Barzanji, menetapkan
syarat menjadi mursyid lebih luas lagi: memiliki keilmuan
standar para ulama, kearifan para ahli hikmah, dan wawasan
serta nalar politik seperti para politisi.

Pra syarat yang cukup berat ini menunjukkan bahwa selain


membimbing dalam urusan agama, seorang mursyid juga
menjadi penasehat bagi murid-muridnya dalam hampir seluruh
aspek kehidupannya: politik, ekonomi, budaya, sosial dan
pendidikan.
Di luar urusan pendidikan dan kapasitas personal, kalangan
thariqah juga meyakini, bahwa terpilihnya seorang sufi menjadi
guru mursyid adalah anugerah sekaligus ujian hidup yang luar
biasa. Karena itu pemilihan seseorang mursyid bukan sekedar
hasil pemikiran dan ijtihad dari gurunya, melainkan hasil
petunjuk dari Allah Taala dan Rasulullah SAW, sebagai pemilik
dan guru sejati ilmu thariqah. Karena pengangkatannya
bersumber dari petunjuk atau isyarah yang diberikan Allah,
kemursyidan seseorang sufi biasanya diketahui secara spiritual
oleh mursyid-mursyid mutabar lain di thariqahnya.
Selain penjagaan otentisitas sanad kemursyidan melalui
jalur spiritual, upaya penjagaan lahiriah juga diupayakan para
guru mursyid dengan selalu menghadirkan empat orang saksi
dalam prosesi pengangkatan seorang murid menjadi mursyid,
dan belakangan dengan surat keterangan tertulis. Ini semua
dalam rangka menghindari fitnah-fitnah atau pengakuan palsu
mengenai kemursyidan seseorang, yang berpotensi merugikan
umat Islam yang ingin mempelajari dan mengikuti thariqah
shufiyyah.
Karena prosesnya yang diyakini murni bersumber dari
petunjuk Allah SWT dan Rasulullah SAW itu pula proses
regenerasi kemursyidan tidak berjalan dengan mudah dan terus
mengalir secara otomatis. Jika ada seorang ulama yang menjadi
mursyid, tidak otomatis bisa diharapkan anaknya akan
menggantikannya sebagai mursyid kelak sepeninggal sang ayah.
Juga tidak dengan mudah diharapkan, jika ada seorang mursyid
yang memiliki banyak murid maka akan dengan mudah
mengangangkat banyak pengganti. Karena itu tak jarang,
seorang mursyid yang sangat terkenal sampai wafatnya tidak
mengangkat mursyid baru atau mursyid penggantinya, sehingga
garis kemursyidannya pun terputus.
Selain Mursyid atau Muqaddam, yang berhak mengajarkan
thariqah, menerima baiat dan mengangkat mursyid baru, dalam
tradisi thariqah termasuk Syadziliyyahdi Indonesia juga

dikenal sebutan Khalifah dan Badal Mursyid. Khalifah adalah


seorang sufi yang mendapat ijazah untuk mengajarkan thariqah
dan menerima pembaiatan, kepada umat Islam, tetapi tidak
berhak mengangkat mursyid baru. Sedangkan Badal adalah
seorang sufi, murid senior dari seorang mursyid, yang membantu
proses pengajaran thariqah dan menerima pembaaiatan atas
nama dan dengan ijin mursyid. Jadi badal tidak berhak membuka
pembaiatan dan pengajaran sendiri, secara mandiri. Ketika
seorang guru mursyid wafat dan tidak mengangkat pengganti,
maka demi keberlangsungan suluknya, para murid diharuskan
melanjutkan pelajaran, baiat dan suluknya kepada guru mursyid
lain.
Sejarah thariqah di Indonesia diyakini sama tuanya dengan
sejarah masuknya Islam ke Nusantara itu sendiri. Proses
islamisasi nusantara secara besar-besaran terjadi pada
penghujung abad 14 atau awal abad 15, bersamaan dengan masa
keemasan perkembangan tasawuf akhlaqi yang ditandai dengan
munculnya aliran-aliran thariqah di Timur Tengah.
Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid
Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111 M) merumuskan konsep
tasawuf moderat yang memadukan keseimbangan unsur akhlaq,
syariat, dan filsafat. Konsep itu diterima secara terbuka oleh
kaum fuqoha yang sebelumnya menentang habis-habisan ajaran
tasawuf falsafi yang kontroversial.
Setelah Al-Ghazali sukses dengan konsep tasawuf
moderatnya yang dianggap selaras dengan syariat, berturutturut muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyyah
pengajaran tasawuf akhlaqi di berbagai tempat. Sebut saja
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang ajaran
tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh
Najmudin Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri
Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat
1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara;
Ahmad Ar-Rifai (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah
Rifaiyyah.
Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase
pertumbuhan Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh
Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan
Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syaikh Abdullah Asy-

Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah tersebut belakangan


menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di
tanah air.
Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik
itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula
beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi
dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan
spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah
beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para Wali.
Sayangnya dokumen sejarah Islam sebelum abad 17 cukup
sulit dilacak. Meski begitu, beberapa catatan tradisional di
keraton-keraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas
thariqah di kalangan keluarga istana raja-raja muslim.
Sebenarnya tak jauh berbeda, definisi tasawuf menurut Buya
HAMKA dalam buku Tasawwuf Modern, tasawuf adalah keluar
dari budi pekerti yang jelek menuju budi pekerti yang luhur.
Salah satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia
thariqah adalah Serat Banten Rante-rante, sejarah Banten kuno.
Dalam karya sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan
Banten itu disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati
pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa
dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan AsySyadzili.
Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang sunan konon
memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah Kubrawiyyah dan
Syadziliyyah. Meski jika mengacu pada data kronologi sejarah
tentu saja pertemuan fisik antara Sunan Gunung Jati yang hidup
di abad 16 dengan Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili yang wafat di
abad 13, apalagi dengan Syaikh Najmudin Kubra yang wafat
pada tahun 1221 M, tidaklah mungkin.
Terlepas dari kebenaran cerita pertemuan Sunan Gunung
Jati dengan dua pendiri thariqah dalam Serat Banten Ranterante, pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang
pertama yang membawa Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah
ke tanah Jawa. Thariqah lain yang masuk Nusantara pada
periode awal adalah Thariqah Qadiriyyah, Syaththariyyah dan
Rifaiyyah. Ketiga thariqah tersebut masuk ke Sumatra
sepanjang abad 16 dan 17 secara susul menyusul.

Setelah era Syaikh Al-Qusyasyi dan Al-Kurani, pada abad


18, tokoh ulama sufi yang menjadi tujuan belajar utama santri
Jawa adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani
(wafat 1775 M), penjaga makam Rasulullah SAW, yang produktif
menulis
dan
mengajarkan
perpaduan
ajaran
thariqah
Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah.
Sufi yang dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun
sebuah ratib dan mengajarkan metode berzikir baru yang
belakangan dikenal sebagai wirid Thariqah Sammaniyyah.
Seiring kepulangan santri Jawa yang telah selesai belajar di
tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas, berbagai
thariqah telah tersebar luas di nusantara. Setiap daerah memiliki
kekhasan thariqahnya sendiri, sesuai yang dianut petinggi agama
setempat. Beberapa daerah juga memiliki tradisi yang
merupakan perpaduan dari berbagai thariqah terkenal.
Jejak Thariqah Qadiriyyah dan Rifaiyyah, misalnya, bisa
dikenali lewat kesenian debus yang tersebar mulai di berbagai
kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak, Minangkabau, Banten,
Cirebon, Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian yang
mengedepankan aspek kesaktian itu juga dikenal di komunitas
Melayu di Cape Town, Afrika Selatan, yang mungkin
mendapatkannya dari Syaikh Yusuf Al-Makassari dan muridmuridnya.
Selain dua thariqah tersebut, debus juga dijadikan media
penyebaran
dan
perjuangan
Thariqah
Qadiriyyah
wa
Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat baru yang didirikan oleh ulama
sufi Makkah asal Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib AsSambasi (wafat 1878). Sufi besar itu mempunyai tiga orang
khalifah (asisten, yang kelak bisa menggantikan sebagai guru
utama), yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah
Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah Madura (tinggal di
Makkah).
Thariqah Alawiyyah sendiri diasas oleh Al Faqih Al
Muqaddam Muhammad bin Ali Baalawi (574 H/1178M653H/1255 M Tarim-Yaman). Ada dua jalur keilmuan dan
thariqah yang diambilnya. Pertama ia mengambilnya dari jejak
leluhurnya yakni lewat ayah, kakek dan terus bersambung
sampai Rasulullah SAW. Jalur yang kedua ia mengambil dari
ulama sufi, yakni Syaikh Abu Madyan Syuaib dimana sanad mata

rantai keilmuannya juga akhirnya sambung sinambung sampai


Rasulullah SAW.
Di Kemudian hari, keluarga Baalawi ini
sebagian ada masuk ke wilayah Nusantara seiring gelombang
penyebaran Islam ke bumi Nusantara. Apalagi saat itu,
Nusantara menjadi objek kunjungan dagang, melalui Bandar
Malaka.
Thariqah besar lain yang ikut mewarnai khazanah muslim
Nusantara adalah Thariqah Tijaniyyah yang didirikan oleh Syaikh
Ahmad At-Tijani (1737 1815) Sufi dari Afrika Utara. Karena
usianya yang masih muda, thariqah ini baru masuk Indonesia
setelah tahun 1920an, melalui Jawa Barat. Pembawanya adalah
Syaikh Ali bin Abdullah At-Thayyib Al-Azhari, ulama pengembara
kelahiran Makkah.
Selain thariqah-thariqah yang sudah disebut di muka, ada
lagi beberapa thariqah yang masuk ke Nusantara di seputar abad
19-20. Seperti Nama Al-Idrisiyyah dinisbatkan kepada salah
seorang Mursyid Al-Idrisiyyah yang bernama Syekh Ahmad bin
Idris Ali Al-Masyisyi Al-Yamlakhi Al-Hasani. (1760 - 1837), salah
seorang Mujaddid (Neo Sufisme) yang berasal dari Maroko
(Maghribi). Idris, yang kepadanya dinisbatkan nama tarekat ini
adalah nama ayah dari pendirinya. Syekh Ahmad bin Idris
dikenal sebagai sosok Ulama yang berhasil memadukan dua
aspek lahir (syariat) dan batin (hakikat). Ia juga dikenal sebagai
pembaharu dalam dunia tasawuf dari penyelewengan kaum
kebatinan seperti tahayul, khurafat, dll.
Tarekat Sanusiyyah dibawa ke Indonesia oleh Asy-Syekh AlAkbar Abdul Fattah tahun 1932. Dia menerimanya dari Syekh
Ahmad Syarif As-Sanusi (1875-1933) di Jabal Qubais (Mekkah)
dan berguru selama 4 tahun. Kemudian dengan beberapa alasan
Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah mengganti nama tarekatnya
menjadi Tarekat Idrisiyyah. Sejak masuknya ke Indonesia pada
masa penjajahan, Tarekat ini sudah mengalami 4 kepemimpinan.
Saat ini tampuk pimpinan tarekat dipegang oleh Syekh
Muhammad Fathurahman, M.Ag. Dalam masa kepemimpinannya
Al-Idrisiyyah telah berkembang hingga memiliki 50 Zawiyah yang
tersebar pada 12 Propinsi di Indonesia.
Yang paling besar tentu saja Thariqah Naqsyabandiyyah
Chalidiyyah
(TNC),
hasil
pembaruan
dari
thariqah
Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh Maulana Chalid Al-

Mujaddid Al-Baghdadi. Thariqah ini, menurut berbagai sumber


yang dikutip Martin Van Bruinessen, dalam buku Tarekat
Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk Nusantara untuk kali
pertama melalui Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang mengajar
di Singapura, di abad 19. Melalui tokoh mendapat ijazah dari
Syaikh Abdullah Barzanjani (khalifah Maula Khalid) itu TNC-pun
menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh
tanah air.
Thariqah
Naqsyabandiyyah
Chalidiyyah
semakin
berkembang pesat di tanah air melalui jamaah haji sejak Syaikh
Sulaiman Zuhdi, khalifah thariqah tersebut membuka zawiyyah
di Jabal Abi Qubais, Makkah Al-Mukarramah. Untuk wilayah
Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga khalifah: Syaikh
Abdullah Kepatihan (Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja
(Banyumas), dan Syaikh Muhammad Hadi, Girikusumo
(Salatiga).
Setidaknya ada 45 Thariqah NU yang berstandar, yakni
Thariqah yang Mutabaroh. Hanya mereka yang memenuhi
standar saja yang diperkenankan masuk menjadi Banom NU
dalam JATMAN, Jamiyyah Ahlith Thariqah Al Mutabaroh Al
Nahdliyyah. Seperti apa standar Thariqah versi NU? KH. Aziz
Masyhuri, pengasuh Pondok Pesantren Al-Aziziyah Denanyar
Jombang pernah melakukan penelitian tentang aliran Thariqah di
Indonesia. Kesimpulan yang didapat; keberadaan Thariqah di
tanah air ini ada sekitar ribuan. Jumlah itu dianggap wajar
seiring dengan dinamika yang mengelilinginya.
Secara singkat, Kiai Aziz mengemukakan bahwa kriteria ke
mutabaran sebuah Thariqah adalah dapat dilihat dari sanad
para Mursyidnya yang muttashil (bersambung ijazah baiat -nya)
sampai kepada Rasulullah SAW. Demikian pula yang tidak bisa
ditawar adalah ajaran yang disampaikan harus berpedoman pada
pakem NU; yakni dalam fiqh mengikuti salah satu imam empat.
Dalam aqidah mengikuti Imam Asyari dan Maturidi.
Jika di andaikan sebuah rumah, maka Thariqat adalah
pondasi paling bawah yang menjadi dasar bangunan besar
Nahdlatul ulama. Kemudian pesantren, di lapis kedua, dari
struktur bangunan organisasi kemasyarakatan NU. Karena
masuknya Islam ke bumi Nusantara, diawali dengan masuknya
thariqat, jadi thariqat adalah peletak dasar bangunan NU.

Kekuatan inilah yang menjadikan NU mengakar di tengah-tengah


jamaah dan jamiyyahnya, demikian diungkapkan Rois Aam
Jamiyyah Ahli Thariqah Al-MuTabarah An Nahdliyah, KH. Habib
Luthfiy Ali bin Yahya.
Menurutnya, sejarah membuktikan bahwa agama Islam di
berbagai belahan dunia berkembang berkat jasa para ulama
yang kemudian dikenal sebagai Wali Allah, seperti di India,
Afrika Utara dan Afrika Selatan bahkan di Indonesia. Di Aceh
terkenal dengan serambi Mekkah, suatu gelar yang diberikan
untuk menggambarkan betapa pesatnya kemajuan Ilmu-ilmu
Islam di daerah itu, seperti Syekh Nuruddin Ar Raniri, Syekh
Abdurrauf Singkly, Syekh Syamsuddin Sumatrani, dan masih
banyak lagi; sebagai orang-orang yang sangat berjasa dalam
pengembangan Islam di sana.
Demikian pula di Jawa, terkenal dengan Walisongonya
sebagai ulama yang berjasa dalam pengembangan Islam. Dan
masih banyak lagi yang dapat disebutkan hanya untuk
menjelaskan bahwa ulama-ulama tasawuflah yang banyak jasa
dan pengorbanannya dalam pengembangan Islam di dunia.
Karena dimanapun tempat mereka berada, walaupun berbeda
adat dan budaya maupun bahasa mereka berbaur dengan
masyarakat dengan hati dan jiwa suci sehingga dengan
mudahlah ajaran Allah dan Rasul-Nya difahami.
Jadi sufisme atau dalam Islam diberi nama tasawuf ,
bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan.
Intisari sufisme, adalah kesadaran akan adanya komunikasi
rohaniah antara manusia dengan Tuhan lewat jalan kontemplasi.
Jalan kontemplasi tersebut, dalam dunia tasawuf dikenal dengan
istilah tarekat, urai habib Luthfi bin Yahya yang memiliki
puluhan juta jamaaah ini.(***)

Jejaring Ulama Nusantara Sepanjang

Masa
Dari masa ke masa ulama-ulama Nusantara telah lama
menjalin jejaring sanad keilmuan dengan para maha guru Islam
yang ada di Mekkah dan Timur Tengah. Sekembalinya dari
merantau itulah, para ulama Indonesia mulai mengembangkan
keilmuan (pembaharuan) serta menjadi inspirasi untuk
menggerakan semangat jihad melawan kolonialisme
John R Bowen dalam artikelnya Intellectual Pilgrimages
and Local Norms in Fashioning Indonesian Islam menulis, ulama
Indonesia yang pernah berguru kepada ulama Makkah dan
Madinah, kembali ke Indonesia membawa semangat pembaruan
untuk melawan tekanan kolonialisme melalui organisasi Islam.
Gerakan ini pada dasarnya adalah bentuk pemurnian nilai Islam
dari campuran nilai-nilai lain. Meski awalnya organisasi ini
bersifat kultural dan kedaerahan, pola tersebut kemudian
berkembang menjadi gerakan modern.

Jejaring ulama Nusantara ini sudah lama diteliti oleh Dr


Asyumardi Azra dalam disertasi asli The Transmission of Islamic
Reformism to Indoesia: Networks of Middle Eastern and MalayIndonesian Ulama in the Seventeenth and Eighteenth
Centuries. Disertasi saudara Azyumardi Azra yang diajukan
kepada Departemen Sejarah, Columbia University, New York,
pada akhir tahun 1992, guna memperoleh gelar Ph.D. Dalam
penelitiannya ini, Dr. Azyumardi Azra, dikemukakan lebih jauh,
bahwa penelitian ini adalah merupakan langkah awal dalam
menyelidiki sejarah sosial dan intelektual ulama dan pemikiran
Islam di Indonesia, khususnya dalam kaitannya perkembangan
pemikiran Islam di pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah.
Karena tidak mungkin, pembaharuan yang terjadi di
berbagai negara Muslim ini tanpa adanya mata rantai yang
sambung-bersambung (sanad ilm, mata rantai emas sanad
keilmuan-red) dengan pusat pertumbuhan dan perkembangan
Islam dari tempat Nabi Muhammad SAW berasal, yakni daratan
tanah Arab (Timur Tengah).
Dalam
realitas
kesejarahan,
pertumbuhan
dan
perkembangan Islam di Nusantara, yang pada dasarnya memiliki
keterkaitan erat dengan dinamika umat Islam di Timur Tengah,
bukanlah sekedar dilandasi oleh faktor politis. Pada masa
awalnya, yakni pada akhir abad ke-8 hingga abad ke-12,
hubungan diantara kedua wilayah umat Islam tersebut, lebih
sebagai hubungan perdagangan dan ekonomi. Pada masa
berikutnya, hingga akhir abad ke-15, hubungan antar kedua
kawasan mulai mengambil aspek yang lebih luas.
Disamping mereka melakukan praktik perdagangan, para
pedagang dari Timur Tengah juga melakukan upaya penyebaran
agama Islam, sehingga akhirnya terjalin hubungan sosialkeagamaan yang sangat erat diantara keduanya. Selanjutnya,
pada abad ke-15 hingga paruh kedua abad ke-17, hubungan yang
terjalin diantara Melayu-Indonesia dengan Daulat Utsmani, lebih
banyak diwarnai oleh faktor politis.
Kenyataan ini sebagai akibat dari adanya pengaruh
perebutan dua kekuatan besar, yakni dari penguasa Spanyol dan
Daulah Utsmani. Dengan adanya hal ini, maka kemudian para
elit penguasa di Nusantara mengambil posisi untuk menjalin

kebersamaan dengan daulat Utsmani. Hubungan yang lebih


bersifat keagamaan dan politis ini, dikembangkan dengan para
penguasa di Haramayn. Dengan adanya jaringan dengan ulama
di Haramayn ini, kemudian menjadikan ulama dari Nusantara
untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan keilmuan
serta intelektualnya. Dari sinilah kemudian sejak paruh kedua
abad ke-17 ini, hubungan diantara ulama Haramayn dengan
ulama di Nusantara ini lebih merupakan hubungan sosialintelektual, selain juga hubungan sosial-keagamaan.
Melalui pendekatan penelitian historis-filosofis serta
pendekatan sosiologis-antropologis penulis dapat menelusuri
pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan
yang terjadi dikawasan periferi, yang selama ini dianggap remeh
oleh para peneliti serta sarjana modern. Dari penelitian little
tradition yang ada di kawasan periferi ini, terdapat gagasan
serta ide-ide pembaharuan, yang pada dasarnya juga dikembang
tumbuhkan dari jaringan ulama, yang berpusat di Haramayn,
dengan memunculkan sintesis baru menjadi great tradition.
Jaringan Ulama yang telah lama terbangun dalam wilayah
Internasional ini dibuktikan dengan adanya jaringan ulama
Melayu-Indonesia, bukan berarti hasilnya berlaku lokal bagi
Muslimin di Nusantara, karena Jaringan Ulama yang terjadi ini
merupakan mata rantai emas keilmuan yang sangat luas dan
menyeluruh ke semua belahan Dunia Muslim. Ulama MelayuIndonesia adalah merupakan bagian dari jaringan besar tersebut
dimana pada masa itu mulai dilaksanakannya pemikiran serta
gerakan pembaharuan di wilayah Islam Nusantara.
Menurut penulis, setidaknya ada dua istilah kunci
digunakan Dr Azyumardi Azra dalam menguak jejaring ulama
Nusantara yang menjadi sangat penting dan menentukan.
Pertama adalah kata Jaringan. Dengan jaringan ini maka
diantara para ulama yang berasal dari berbagai daerah bisa
melakukan kontak untuk melakukan dialog serta proses
peleburan
tradisi-tradisi kecil
(little
tradition)
untuk
membentuk sintesis baru yang sangat condong pada tradisi
besar (great tradition). Proses peleburan yang semacam ini,
diantara ulama dilakukan dengan berpusat di Haramayn
(Makkah dan Madinah).

Kedua adalah kata Transmisi. Yang dimaksud dengan


transmisi adalah, upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk
menyebarkan , menyampaikan gagasan, ilmu serta metode yang
diperoleh dari daerah tertentu, tentang sesuatu yang tertentu
pula, untuk kemudian disebarkan ke berbagai daerah lainnya.
Yang dimaksud dengan transmisi ini adalah, upaya yang
dilakukan
oleh
seorang
ulama
untuk
menyebarkan,
menyampaikan gagasan, ilmu serta metode yang diperoleh di
Haramayn, tentang tradisi keagamaan pusat-pusat keilmuan
Timur Tengah, ke berbagai dunia Muslim, seperti MelayuIndonesi (Nusantara). Proses transmisi ini akan menghasilkan
letupan-letupan pembaharuan, yang pada gilirannya nanti secara
signifikan akan mempengaruhi perjalanan historis Islam di tanah
air masing-masing.
Ulama-ulama Nusantara memberikan sumbangan dalam
pengembangan keilmuan Islam pada masa itu. Karena, pertama,
tertolaknya suatu asumsi yang mengatakan bahwa hubungan
antara Ulama di Timur Tengah dengan para Ulama di Nusantra,
hanyalah bersifat politis. Hal ini dikarenakan, semenjak abad ke17, terutama diparuh kedua abad ini, hubungan diantara mereka
lebih menekankan pada aspek sosial-intelektual (keilmuan).
Kedua, tertolaknya suatu asumsi yang mengatakan bahwa
abad ke-17 dan 18 adalah abad kegelapan bagi umat Islam.
Karena pada kenyataannya di abad ini justru merupakan masa
yang sangat harmonis dan dinamis, bagi perkembangan
pemikiran serta keilmuan Islam. Islam dimasa ini bukan lagi
Islam yang bercorak mistik (sufistik), akan tetapi Islam yang
merupakan perpaduan antara Tasawwuf dan Syariah (Neo
Sufism). Terjadinya perpaduan diantara keduannya ini,
merupakan kesadaran dari para ulama fiqih (fuqoha) dan ulama
tasawwuf (sufi), untuk saling menyadari akan keberadaan serta
peranan masing-masing. Dengan adanya kesadaran yang
demikian inilah, maka kemudian berkembang suatu praktik
keislaman yang baru, yakni yang disebut dengan Neo-Sufisme.
Ketiga, adanya peranan serta keterlibatan ulama-ulama
Melayu dalam jaringan ulama Internasional, yang pada taraf
selanjutnya mampu melakukan upaya transmisi keilmuan dan
pemikiran ke wilayah Nusantara, untuk melakukan langkah

pembaharuan. Perkembangan pemikiran dan keilmuan didunia


Islam, memang tidak terlepas dari adanya jaringan yang
terbentuk diantara para ulama Timur Tengah dengan ulamaulama lain di berbagai dunia Muslim.
Demikian pula dengan perkembangan pemikiran dan
pembaharuan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia,
adalah merupakan hasil dari keberadaan ulama MelayuIndonesia yang terlibat dalam jaringan tersebut. Peranan Ulama
ini bisa dilakukan dengan mengaplikasikan ilmu, gagasan serta
metode yang didapatkan dalam jaringan tersebut, di tanah
airnya, atau juga bisa melalui buku-buku yang disusun dan
disebarkan ke wilayah asalnya. Teori-teori yang berkembang
dapat ditelisik melalui dialog para ahli sejarah, dapat dirunut
melalui awal sejarah kedatangan Islam ke Nusantara yang
dimulai dari abad ke 7 sampai abad 12 M melalui gelombang I
(Dewan Wali) dan II (Wali Songo). Sebagian mengatakan dari
India (Gujarat), sebagian lain dari China ( melalui sahabat Said
bin Abi Waqqas yang diutus Rasulullah SAW ke Cina), Persi dan
lain sebagainya.
Dengan demikian, dapat ditarik benang merah mengenai
hubungan antara Haramayn dengan Nusantara. Kebangkitan dan
perkembangan jaringan ulama nusantara ini masih dalam
jaringan internasional yang berpusat di Haramayn (Mekkah).
Berbagai kebijakan yang
diambil dalam pemerintahan
Haramayn, yang kemudian memunculkan kemudahan dan
efektifitas diantara para ulama untuk melakukan transmisi
keilmuan diantara mereka. Selain itu juga dijelaskan proses
ekspansi jaringan ulama ke daerah lain.
Adanya pembaharuan yang terjadi, sebagai akibat dari
terjalinnya antar ulama dari berbagai daerah ini. Perkembangan
dan kecenderungan masyarakat muslim dari mistik menuju pada
neo-sufisme. Ulama-ulama Nusantara memiliki andil terhadap
kelahiran pembaharuan Islam di negeri Nusantara. Ulama
Nusantara pada masa itu antara lain Syekh Nurrudin Al Raniri
(w.1068/1658), Syekh Abd Al Rauf Al Sinkili (1024-1105/16151730) dan Syekh Muhammad Yusuf Al Makassari (10371111/1627-1699), Syekh Burhanudin Ulakan (w. 1100 H/1680 M),
Syekh Arsyad Al Banjari (w.1777) dll.

Sementara jaringan ulama beserta langkah pembaharuan


yang dilakukan oleh para ulama di wilayah Melayu-Indonesia
pada abad 17 dan 18 banyak dilakukan oleh Ulama Aceh di
bawah pimpinan Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien
dll , ulama-ulama Padri di bawah komando Tuanku Imam Bondjol
(Padang Minangkabau), P Diponegoro dan Kyai Mojo di Tanah
Jawa, Sayid Idrus Sulawesi, Syekh Arsyad Al Banjari Kalimantan,
Haji Wasid dan H Abdul Karim Banten dll banyak membentuk
pola pemberontakan lokal dan belum meluas serentak se tanah
air dalam melawan kolonialisme. Pengembangan keilmuan Islam
pada saat itu tentu terpusat pada surau, dayah dan musholla,
sisanya banyak ulama, kyai dan santri berjuang secara gerilya
dalam skala lokal (territorial) Kompeni Belanda.
Baru pada akhir abad ke-19, ulama-ulama pesantren di
Nusantara di atas makin masif berkonsolidasi. Selain di Makkah
Madinah (Haramain) konsolidasi juga dilakukan di Nusantara,
misalnya di Aceh tahun 1873 telah mencetuskan ide Jumhuriyah
Indonesia (Republik Indonesia) dan disebarkan hingga ke Papua
untuk membangun cita-cita kesatuan tanah dan bangsa
Indonesia. Jejaring ini pernah dibangun dalam jejaring Busur
Laut Nusantara pada abad ke-14 hingga abad ke-16. Jejaring
ulama-santri yang telah menegakkan Indonesia sebenarnya hasil
dari proses panjang terbentuk dan terkonsolidasinya jejaring
ulama Timur Tengah dan Nusantara sebelumnya.
Memasuki paroh kedua abad ke-19 dan abad ke-20, semakin
banyak ulama tanah Jawa yang menuntut ilmu di tanah suci.
Informasi tentang biografi mereka lebih banyak dan tercatat
dengan cukup detail di dalam kitab-kitab sanad dan buku-buku
biografi Arab. Banyak dari mereka telah mendapat ijazah
(sertifikasi) dan mengajar di Masjidil Haram. Hal tersebut secara
tidak langsung, menjadikan mereka di tanah suci sebagai
penerus jejaring ulama Nusantara yang telah dirintis oleh para
ulama Nusantara sebelumnya.
Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan, seorang mufti agung
Makkah pada abad ke-19 yang telah membuka pintu bagi ulamaulama Nusantara untuk berkiprah dan memancangkan
komunitasnya di Haramain dan berjejaring dengan ulama-santri
di Nusantara. Sebagian ada yang menyemai di Haramain untuk

menampung para ulama-santri yang datang dari berbagai


penjuru nusantara, sebagian kembali ke Nusantara untuk
menjadi poros dan mengokohkan bergeraknya jejaring yang
telah dibangun.
Seperti dari Kalimantan muncul Syekh Khatib As Sambasi,
Syekh Arsyad Al Banjari dan Syekh Nafi Al Banjari, dari
Sumatera muncul Syekh Ismail al Minangkawi, Syekh
Abdusshommad Al Falimbani dan Syekh Ahmad Khatib
Minangkabawi, Syaikh Abdul Wahab Sandenreng Daeng Bunga
Bugis, dari Jawa muncul Syekh Habib Ahmad an Nahrawi al
Banyumasi, Syekh Juned al Batawi , Syaikh Abdur rahman al
Mishri, Syekh Nawawi al Bantani, Syeikh Agung Asnawi bin
Syeikh Abdurahman Caringin al Bantani, Syekh Mahfudz Termas
Pacitan, Syekh Abdul Karim al Bantani, dan dari Nusa Tenggara
Barat menghadirkan Syekh Abdul Madjid Bima pada abad ke-19
yang berada di Masjidil Haram Makkah menjadi poros bagi
ulama-ulama Nusantara.
Poros ulama Nusantara di Haramain tersebut berhasil
membentuk soliditas ulama. Muncullah nama-nama semisal
Syekh Sholeh Darat As-Semarangi, KH Ahmad Rifaii Kalisalak,
Syekh Khalil Bangkalan, Al Hadlratus Syekh Hasyim Asyari
Jombang, Syekh Tolhah Cirebon, KH Ahmad Dahlan Jogjawi,
Tuan Guru Haji Zainuddin bin Abdul Madjid Al Amfani Al Fancuri
(Tuan Guru Zainudin Pancor , Lombok NTB) , KH Ahmad Sanusi
Sukabumi Gunung Puyuh Sukabumi, Guru Mansur Al Batawi,
Syaikh Muhtar Al Bughuri, Dr. H Moh Hatta Bukit Tinggi dll.
Kenapa penulis perlu memasukan Dr Hatta dalam salah satu
khazanah ulama Indonesia. Dr Moh Hatta pernah belajar dengan
Haji Mohammad Djamil, putra Syekh Batu Hampar. Ia juga
belajar dengan Syekh Arsyad dan Syekh Djambek yang tiada lain
tokoh besar ulama Minangkabau pada masa itu, dll.
Ulama-ulama inilah yang dikemudian hari menjadi jangkar
ulama di Nusantara yang menggerakkan poros tersebut,
berkiprah di pesantren, surau atau dayah. Mereka tidak hanya
menimba ilmu di Haramain, tapi juga di Kairo Mesir sehingga
terdapat diskursus intelektual dan perbedaan garis perjuangan.
Meskipun demikian, karena memiliki kesamaan semangat anti
kolonial, diskursus dan perbedaan tersebut mampu diredam

meskipun percikan-percikannya tentu saja mempengaruhi arah


dan warna perjuangannya di kemudian hari, khususnya dalam
tradisi keberagamaan.
Dan sejarah mencatat, simpul-simpul utama jejaring ulama
tersebut terkonsolidasi dalam suatu poros untuk menegakkan
bangsa
Indonesia.
Syekh
Hasyim
Asyari
berupaya
mensinergikan simpul-simpul utama ulama, habaib, dan
kelompok
pembaharu
(intelegensia/cendekiawan)
untuk
bergerak bersama KH Wahab Hasbullah dan kyai-kyai di
Surabaya pada tahun 1926 dalam Nahdlatoel Ulama (HBNO), KH
Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah, KH Ahmad Sanusi
dengan Persatuan Islam (Persis), Tuan Guru Zainuddin bin Abdul
Madjid Al Al Fancuri (Tuan Guru Pancor , Lombok Nusa
Tenggara Barat) dengan mendirikan Nahdlatul Wathan pada
1937, Sayid Idrus (Guru Tua) dengan Al Khairat di Palu
(Sulawesi), Syekh Nafi dengan Darussalam di Banjarmasin,
Jejaring ulama Betawi-Bekasi (Guru Mansyur Jembatan Lima,
Guru Mughni Kuningan, Guru Mujtaba, Guru Mahmud, Guru,
Khalid, Guru Marzuki Cipinang Muara, KH Noer Ali Bekasi,
Syaikh Muhadjirin Amsar ad-Dari, KH Abdullah Syafii, KH Tohir
Rohili, KH Fatullah Harun, KH Zayadi Muhajir dll). Sementara
tokoh pergerakan dan kebangkitan Nasional dari intelektual
muslim, tampil Dr Moh Hatta , KH Abdul Wachid Hasyim, Ir
Soekarno dan Syahrir dengan Persatuan Nasional Indonesia
(PNI) dan lain sebagainya.
Melalui jejaring gurunya, koleganya dan muridnya, simpulsimpul itu membangun soliditas dan kekuatan utama baik
Jumhuriyyah Indunisie maupun pergerakan nasional hingga
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terbentuk dan
terkoneksinya jejaring itu menjadi kekuatan baru (new
emergyzing) yang nantinya membungkam sejarah kolonial dan
menjadi titik pijak gerakan pembaharuan Islam (nasionalis-Islam)
baik yang gerakan Islam tradisional dan gerakan Islam moderat.
Gerakan Islam yang tradisional , moderat dan toleran itu masih
berkembang hingga kini telah mewarnai, bentuk dan serta corak
gerakan Islam keagamaan, politik, ekonomi, hukum dan sosial
budaya kemasyarakatan dalam bingkai NKRI . (***)

4
Peran Pondok Pesantren Dalam
Penyebaran Islam di Indonesia
Hasil penyebaran Islam tahap awal selanjutnya dimantapkan
dengan proses pemahaman dan pengamalan ajaran Islam antara
lain melalui jalur pendidikan yang kemudian dikenal dengan
nama pesantren.

Istilah pesantren sendiri berasal dari kata India shastri,


yang berarti orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Dalam
hubungan ini kata Jawa pesantren yang diturunkan dari kata
santri dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran an, memberi
makna sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah
pondok untuk para siswa sebagai model sekolah agama di Jawa.
Sejak zaman pra-Islam, menurut Gus Dur, di Jawa sudah
berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang
kharismatis dan keramat. Ketika para penduduk masuk Islam,
desa-desa perdikan Islam terbentuk dengan pesantren-pesantren
yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak. Istilah
yang hampir sama juga sudah ada di daerah lain bahkan
mungkin lebih dahulu dari istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh,
daerah pertama yang mengenal Islam, pesantren disebut dengan
dayah atau rangkang, meunasah. Di Pasundan ada pondok, dan
di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren para santri
melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan
bermacam-macam pendidikan rohani, mental, dan sedikit banyak
pendidikan jasmani. (Muchtarom, 1988: 6-7).
Secara historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan
tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad ke-18,
namun sudah terdapat cerita tentang pendirian pesantren pada
masa awal Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali
mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w.
1419M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan
pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada
gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari situlah
kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan
pesantren pertama kali di Kembang Kuning, Surabaya pada
tahun 1619 M.
Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel Denta.
Pesantren ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh
luas di Jawa Timur. Pada tahap selanjutnya bermunculan
pesantren baru seperti Pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan
Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, Raden
Fatah di Demak. (Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): 8). Bahkan,
tercatat kemudian, murid-murid pesantren Giri sangat berjasa
dalam penyebaran Islam di Madura, Kangean, hingga Maluku.

Menurut catatan Martin Van Brunessen, belum ada lembaga


semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok
sebelum abad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana
masih sangat informal. Anak-anak dan orang-orang desa belajar
membaca dan menghafal Al-Quran dari orang-orang kampung
yang terlebih dahulu menguasainya. Kalau ada seorang haji atau
pedagang Arab yang singgah di desa, dia diminta singgah
beberapa hari di sana dan mengajarkan kitab agama Islam.
Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian
umum kepada masyarakat di masjid. Murid yang sangat
berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkan tinggal
di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut pergi
mondok ke Jawa, atau bila memungkinkan pergi ke Mekah.
Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada abad-abad
pertama penyebaran Islam. (Brunessen, 1999: 25)
Di Sulawesi Selatan, masjid difungsikan sebagai pesantren
sekaligus. Masjid yang didirikan di Kallukobodae (Goa-Talllo)
juga berfungsi sebagi pusat pengajian di daerah itu. Ajaran yang
diberikan adalah syariat Islam, rukun Islam, rukun iman, hukum
perkawinan, warisan, dan upacara hari besar Islam. Sejak
pengembangan Islam di Sulawesi Selatan, orang Melayu yang
tinggal di Makassar dan sekitarnya mempunyai peranan penting
dalam penulisan dan penyalinan kitab-kitab agama Islam dari
bahasa Melayu ke bahasa Makassar. Berbagai lontar yang
ditemukan dari bahasa Melayu zaman permulaan Islam di
Sulawesi Selatan pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-18.
(Abdullah (ed.), 2002: 22).
Sedang sejarah pesantren di Jawa, Serat Centini pernah
menceritakan adanya sebuah pesantren yang bernama Karang di
Banten, yang terletak di sekitar Gunung Karang, Pandeglang,
Banten. Salah satu tokohnya adalah Danadarma yang mengaku
telah belajar 3 tahun kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, tokoh
sufi yang wafat di Baghdad. Tokoh utama lainnya adalah
Jayengresmi alias Among Raga. Ia belajar di Paguron Karang di
bawah bimbingan seorang Arab bernama Syekh Ibrahim bin Abu
Bakar yang dikenal dengan julukan Ki Ageng Karang.
Selanjutnya Jayengresmi berguru lagi kepada Ki Baji Panutra di
desa Wanamarta. Di sini ia menunjukkan pengetahuannya yang

sangat mendalam tentang kitab-kitab ortodoks. (Abdullah (ed.),


2002: 22)
Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin,
pendidikan pesantren memang luar biasa. Pendidikan pesantren
membekali santrinya dengan ilmu hidup, mengajari mereka
berinteraksi dengan berbagai budaya, dan bahkan belajar
tentang perbedaan.
Dari pesantren, Menag mengaku memahami peran nilainalai agama dalam menyatukan keragaman. Hal ini penting
sebagai modal hidup di Indonesia yang sangat beragam.
Sesungguhnya esensi dari semua agama itu bertemu pada satu
titik temu yakni memanusiakan manusia, ujarnya.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengapresiasi
kiprah pondok pesantren sebagai jantung pendidikan umat
Islam di Indonesia yang tetap eksis di tengah arus globalisasi.
Menurutnya, hal itu tidak terlepas dari nilai-nilai yang hidup di
dunia pesantren itu sendiri yang menjadi modal utama dalam
menghadapi berbagai tantangan, rintangan, dan halangan.
Nilai-nilai tersebut adalah keikhlasan, kesederhanaan,
kemandirian, dan kebebasan berpikir terkait keilmuan tutur
Menag. Keikhlasan para pengasuh, kiai dan ustadz pesantren,
bagi Menag tak ternilai harganya. Hal ini membuat pesantren
terus terterangi cahaya. Apalagi keikhlasan tersebut dikuatkan
dengan kesederhanaan para pemegang amanah pesantren.
Pesantren juga mandiri dan tidak bergantung. Hal ini yang
menjadikan lulusan pesantren mampu dan siap mengerjakan apa
pun, karena para santri mempunyai spirit kuat, selain juga jiwa
entrepreneurship tinggi, sehingga sedikit yang berkeinginan
menjadi pegawai, baik pegawai sipil maupun swasta. Nilai
kemandirian ini sungguh sesuatu yang mahal, ungkapnya.
Menag melihat, meski para santri mempunyai jiwa ke
thawaduan yang tak diragukan, namun di pesantren ada
kebebasan dalam berpikir terkait dengan keilmuan. Jadi seorang
santri yang menimba ilmu, tidak dibatasi dengan ilmu-ilmu
tertentu. Bebas yang dimaksud adalah bebas dalam artian
masih dalam norma-norma dan acuan, bukan bebas dalam
kontenks berpikir yang mengarah pada liberalisasi, jelasnya.

Bebas di sini, tambah Menag, adalah suatu pemahaman,


bahwa
masing-masing
santri,
mempunyai
tantangannya
tersendiri. Karenanya tak jarang seorang santri, dalam menuntut
ilmu, sering kali berpindah pesantren, baik karena tuntutan
pencarian ilmu ataupun arahan dari pengasuhnya. Selain itu,
seorang santri bersamaan dengan keharusannya untuk tetap
menghormati ulama, tetap mempunyai ruang untuk berbeda
pendapat. Karena, apa yang disampaikan sang guru, kadang,
kurang sesuai dengan masa depan santri, urai Menag panjang
lebar.
Demikianlah, pesantren menjadi pusat penyebaran agama
Islam yang efektif di Indonesia. Kesuksesan ini ditunjang oleh
posisi penting para kiai, ajengan, tengku, tuan guru, atau tokoh
agama lainnya di tengah masyarakat. Mereka bukan hanya
dipandang sebagai penasehat di bidang spiritual saja, kiai juga
dianggap tokoh kharismatik bagi santri dan masyarakat
sekitarnya. Kharisma kiai ini didasarkan kepada kekuatan
spritual dan kemampuan memberi berkah karena kedekatannya
dengan alam gaib.
Ziarah ke kuburan para kiai dan wali dipandang sebagai
bagian integral dari wasilah, keperantaraan spiritual. Mata
rantai yang terus bersambung melalui guru-guru terdahulu dan
wali sampai dengan nabi, dianggap penting untuk keselamatan
dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat. (Brunessen, 1999:20).
(*****)

Peran Ulama pada Masa Kemerdekaan dan Refleksi Hari Santri


Nasional

Gagasan Hari Santri Nasional yang diperingati setiap 22


Oktober menjadi sebuah rutinitas ceremonial (upacara)
kenegaraan baru namun perlu disambut dengan positif thinking.
Hari ini tanggal tepat 22 Oktober 2015 pada kalender
Nasional ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional oleh Presiden
RI Joko Widodo dengan lewat Keputusan Presiden (Keppres) No
22 Tahun 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta patut disambut dengan
positif thingking. Kenapa hari ini dipilih sebagai hari santri?
Keppres tersebut telah diteken oleh Presiden Jokowi 15 Oktober.
Penetapan Hari Santri sendiri telah dijanjikan Jokowi saat
berkampanye di Pilpres 2014. Alasannya adalah untuk
menghargai jasa santri yang ikut memperjuangkan kemerdekaan
Republik Indonesia.
Pada hari ini, bertepatan dengan 70 tahun yang lalu
dikeluarkankan fatwa Jihad oleh AlHadratus Syaikh Hasyim
Asyari al Basyaiban. Dengan demikian 22 Oktober 1945 bagi
santri Nahdlatul Ulama pada saat itu pada saat itu keluarnya
Fatwa berperang (jihad) melawan Kompeni Belanda.
Keluarnya berperang melawan segala bentuk penjajahan
dunia
sebelumnya
sebenarnya
sudah
dilakukan
oleh
AlHadlaratussyaikh KH. Hasyim Asyari sejak pertama kali
Asyaikh membuka pesantren. KH. Hasyim Asyari merupakan
pendiri Nahdlatul Ulama yaitu sebuah organisasi massa Islam
yang terbesar di Indonesia. KH. Hasyim Asyari merupakan putra
dari pasangan Kyai Asyari dan Halimah, Ayahnya Kyai Asyari
merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di
sebelah selatan Jombang. KH. Hasyim Asyari merupakan anak
ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH.
Hasyim Asyari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka
Tingkir (Sultan Pajang). dari Ayah dan Ibunya KH. Hasyim
Asyari mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang
kokoh.
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH. Hasyim Asyari
memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai
pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santrisantri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan
kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren

lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian


pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang.
Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren
Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil.
Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di
pesantren yang diasuh Kyai Yaqub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar
menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Yaqub dikenal sebagai ulama
yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama lima tahun
Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Yaqub sendiri
kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan
saja mendapat ilmu, melainkan juga istri.
Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu
puteri Kyai Yaqub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya
berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim
kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal. Tahun 1893, ia
berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun
dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At
Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said
Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki,
Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.
Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik
kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng.
Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan
pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu,
biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawahsawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil
pertaniannya baik padi maupun palawija serta rempah-rempah. Dari bertani dan
berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di
Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir,
pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur
Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang
terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah
embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah
di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal.
Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi
28 orang.
Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus
kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah
menampakkan hasil yang menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah

kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan
Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah,
(2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul
Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.
Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah
kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren
Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putraputri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Yakub.
Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH.
Muhammad Hasyim Asyari dengan KH. Mohammad Cholil, gurunya. Dulu saya
memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid
Tuan, kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil. Kyai
Hasyim menjawab, Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan
mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru
pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang.
Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya. Tanpa merasa
tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. Keputusan dan
kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami
akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,
katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa
berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepatcepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak
memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid
akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang
ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya
menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang
semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah
Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan
tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus
pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia
pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada
kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal
mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya tradisi
menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu
mampu menyedot perhatian ummat Islam. Maka tak heran bila pesertanya datang
dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil.
Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim.

Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim
kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH.
Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. R. Asad Syamsul Arifin, KH.
Wahid Hasyim (anaknya, salah satu founding father Republik Indonesia) dan KH.
Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai
Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar
dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku Tradisi
Pesantren, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan
pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila
para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar)
kepada Kyai Hasyim Asyari al Basyaiban.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim
menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk
merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937,
tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan.
Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang
suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan
penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan
naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan
disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Karuan saja, Van der Plas
(penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah
mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942.
Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya
tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya,
ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu. Masa awal
perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya
perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak
segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang
penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada
tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran
di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga
tewas.
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim
dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat
piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut
dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan
cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk
memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya,
hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan

serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa
revolusi fisik tahun 1940an. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda
menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan
de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.
Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan
Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang
menggabungkan antara kebijakan represif dan kooptasi, sebagai upaya untuk
memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan represif
Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan
kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu
kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00
pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada
Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh
seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas
di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah
lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan
ditahan secara berpindahpindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian
Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.
Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak
yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan,
Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari
tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratus
Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total.
Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri
Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota
Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim
dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain
itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai
Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama
Saikoo Sikikan di Jakarta. Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA
Nedherland (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh
pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha
melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan
Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan
pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.
Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya,
meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang
bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari
kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan

gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai


Hari Pahlawan Nasional. Pada tanggal 7 Nopember 1945tiga hari sebelum
meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabayaumat Islam membentuk
partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi).
Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat
Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Rois Am (Ketua
Umum) pertama periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir
penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal
dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan
gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa
meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.
Para ulama dianggap oleh para penjajah sebagai Pendeta
Islam itu ternyata merupakan golongan yang paling aktif dalam
setiap peristiwa pemberontakan. Mereka umumnya berdarah
campuran antara orang Arab dan penduduk pribumi, dalam
jumlah besar berkeliling dari negara satu ke negara lain, di
pulau-pulau Timur. Akibat intrik dan hasutan mereka, pemimpin
pribumi biasanya dikerahkan untuk menyerang atau membunuh
orang Eropa, yang mereka anggap sebagai kafir dan pengacau.
Kedua, memimpin gerakan non kooperatif pada penjajah
Belanda. Para ulama di masa penjajahan banyak mendirikan
pesantren di daerah-daerah terpencil, untuk menjauhi bangsa
penjajah yang banyak tinggal di kota. Ketika Belanda, di masa
revolusi, mempropagandakan pelayanan perjalanan haji dengan
ongkos dan fasilitas yang dapat dijangkau oleh kaum Muslim di
daerah jajahannya, KH Hasyim Asyari pemimpin para ulama di
Jawamenentang. Beliau mengeluarkan fatwa bahwa pergi haji
dalam masa revolusi dengan menggunakan kapal Belanda
hukumnya haram.
Ketika posisi Belanda sulit dalam Perang Dunia II, mereka
meminta orang-orang Indonesia masuk militer Belanda dengan
dalih untuk mempertahankan Indonesia melawan musuh Jepang.
Waktu itu Kiai Hasyim mengeluarkan fatwa yang terkenal, yaitu
mengharamkan
masuk
menjadi
tentara
Belanda
atau
bekerjasama dengan Belanda dalam bentuk apapun.
Setiap bujukan agar Kiai Hasyim tunduk dan mendukung
Belanda selalu gagal dilakukan. Bahkan tawaran Belanda yang
akan menganugerahkan bintang jasa terbuat dari perak dan

emas pada 1937 ditolaknya. Gerakan non kooperatif pada


penjajah itu juga dilakukan dan dipimpin oleh ulama-ulama
lainnya.
Ketiga, mengeluarkan fatwa wajibnya jihad melawan
penjajah. Fatwa jihad ini sangat besar pengaruhnya dalam
membangkitkan semangat perlawanan. Perang melawan
penjajah dianggap jihad fi sablillah, yakni perang suci atau
perang sabil demi agama. Ajaran perang suci ini muncul di Aceh
paling awal abad ke-17, dibangkitkan oleh para guru agama pada
masa krisis, yang terparah pada akhir abad ke-19. Salah satu
guru agama di tengah medan perang, Syaikh Abbas Ibnu
Muhammad, mengatakan dalam Tadhkirat ar-Rakidinajaran
utama tahun 1889bahwa Aceh merupakan Dar-al-Islam, kecuali
daerah yang diperintah Belanda dan menjadi Dar-al-Harb. Jihad
merupakan kewajiban moral (fardu ain) orang Islam, termasuk
wanita dan anak-anak, berperang untuk mengembalikan tanah
yang dikuasai orang kafir kepada Dar-al-Islam. Padahal pada
waktu Muktamar HBNO (Hoolfbestuur Nahdlatoel Oelama) 1928
di Banjarmasin Kalimantan, HBNO telah menyebut sebuah
konsep Negeri Darussalam (sebuah negeri yang penuh aman,
sehat, adil makmur, sejahtera dan penuh keselamatan).
Perang Diponegoro atau Perang Jawa dapat berkobar lima
tahun (1825-1830) juga karena alasan serupa. Dalam proklamasi
dan permintaan dukungannya pada ulama, bangsawan, dan
masyarakat Jawa, Pangeran Diponegoropangeran yang juga
ulamamenekankan bahwa ia adalah pemimpin perang sabil,
perang suci, untuk mengusir Belanda yang tidak beriman dari
Jawa. Ia menyurati ulama dan pemimpin di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, menghimbau mereka untuk ikut melawan Belanda
di seluruh daerah untuk mengembalikan kedudukan tinggi
kerajaan berdasar agama yang benar (ngluhurken agami
Islam).Dalam menyebarkan fatwa jihad itu, Diponegoro dibantu
oleh Kiai Mojo, Kiai Besari, dan ulama-ulama lainnya.
Setelah penjajahan Jepang berakhir dengan kekalahannya
pada Perang Dunia II, Belanda dan pasukan Sekutu berusaha
menjajah Indonesia lagi. Saat itu, Resolusi Jihad yang
dikeluarkan para ulama NU, sangat besar pengaruhnya dalam
membangkitkan perlawanan rakyat terhadap Belanda dan

Sekutu. Resolusi ini bermula dari fatwa KH. Hasyim Asyari pada
22 Oktober 1945 di Surabaya, yang kemudian dikokohkan pada
Muktamar NU XVI di Purwokerto 26-29 Maret 1946.
Resolusi Jihad menyebutkan bahwa berperang melawan
penjajah adalah kewajiban fardu ain bagi orang yang berada
dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk atau kedudukan
musuh. Fardu ain itu baik bagi lelaki, perempuan, maupun anakanak, bersenjata atau tidak. Dan bagi orang yang di luar jarak 94
km (jauh), kewajiban berperang itu menjadi fardu kifayah. Cukup
dikerjakan oleh sebagian saja. Keberhasilan pertempuran Hari
Pahlawan 10 Nopember 1945 di Surabaya tak lepas dari Resolusi
Jihad ini. Selain itu, Perang Paderi, Perang Aceh, Pemberontakan
Petani di Banten, Pemberontakan Rakyat Singaparna di Jawa
Barat, dan banyak peristiwa lainnya, juga dipicu oleh fatwa jihad
dari para ulama.
Mengenang hari santri pada hari ini tepatnya tanggal 22 Oktober 2015
setidaknya mengenang jasa perjuangan salah seorang pejuang dan founding father
bangsa ini KH Hasyim Asyari. Setidaknya dimana rekam jejak KH. Hasyim dari
kurun waktu 1899 sampai 1913 dalam membangun pesantren Tebuireng tidak
mudah. Pesantren Tebuireng sempat dibakar Belanda pada tahun 1913 karena
perlawanan halusnya kepada pemerintah. Namun saat itu KH. Hasyim menasehati
santrinya agar tidak melakukan perlawanan terbuka kepada Belanda. Soalnya
waktunya dianggap belum tiba.
Sebuah kesabaran yang luar biasa dari sosok seorang ulama dan pejuang,
AlHadratus Syaikh sampai menggadaikan pesantren Tebuireng Jombang untuk
membiayai pesantren. AlHadratusSyaikh seorang enterpreuner (pengusaha) yang
sukses, Jatuh bangun membangun nama besar Tebuireng, sebagai sebuah Pondok
Pesantren. Namun berkat kesabaran, semua rintangan beliau lalui dengan sukses
selain bertani, berkebun, berdagang kuda dan rempah-rempah di Surabaya.
KH. alHadratussyaikh Hasyim Asyari alBasyaiban juga seorang pendidik
modernis. Akan tetapi model pendidikan pesantren yang saat itu juga bersamaan
dengan cikal bakal sistem pendidikan Islam modern di Sumatra Barat yaitu
Dinniyah School dan Sumatra Tawalib School serta Madrasah Jamiat Kheir Tanah
Abang Lembaga Rabithah Alawiyah. KH. Hasyim Asyari juga menjalankan
sistem yang modern. Ia menerapkan sistem madrasah klasikal dipesantrennya pada
1916. Pelajaran umum seperti membaca dan menulis huruf latin , ilmu bumi,
sejarah dan bahasa Melayu diajarkan di Tebuireng. Pesantren pun dilengkapi
dengan dengan bangku dan meja. Pembaruan dan pembaharuan ini sempat

menimbulkan reaksi cukup hebat, sehingga sejumlah orang tua memindahkan


anak-anaknya ke pesantren lain karena Tebuireng dianggap terlalu modern.
Kesadaran bahwa selain fatwa berperang, Tebuireng juga melahirkan salah
satu santrinya yang tidak lain adalah putra KH. Hasyim Asyari yang juga tidak
lain adalah anak beliau. KH. Abdul Wahid Hasyim. Sebenarnya jauh sebelum
Hasyim meninggal, Wahid memang sudah dipersiapkan memimpin Tebuireng pada
tahun 1941, dia sempat mengundurkan diri dari ketua Dewan Majlis Islam Ala
Indonesia (MIAI) dalam rapat HBNO. KH. Wahid Hasyim pernah diminta pulang
ke Jombang untuk mengurus Ponpes Tebuireng. Pada saat itu Ponpes Tebuireng
jumlah santrinya berjumlah 1500 orang.
Semasa kepemimpinan KH. Wahid Hasyim membawa warna tersendiri
dalam dunia pendidikan pesantren. Dimana pesantren tidak melulu diajarkan
pendidikan agama dan teks-teks kitab fiqh namun juga pelajaran non agama seperti
Bahasa Asing ; bahasa Jerman, Belanda dan Inggris. Dalam proses belajar KH.
Wahid juga menekankan pentingnya proses dialogis (discusy) antara Kyai dan
santri. Guru bukan merupakan satu-satunya sumber belajar. Karena itu, pendapat
guru juga bisa didiskusikan. Bagi santri senior, KH. Wahid Hasyim mengajar
wawasan kebangsaan. Tidak semua santri bisa mengikuti kelasnya. Hanya santri
top saja yang boleh mengikuti kelasnnya, kata KH. Muchit Muzadi (alm)
sebagaimana dikutip majalah Risalah NU No 25 Tahun IV/2011 hal 45.
Selain perombahan dan pembaharuan kurikulum pesantren, KH A. Wahid
Hasyim juga membangun sejumlah gedung dan melengkapi koleksi perpustakaan.
Ragam bacaan mulai teks pelajaran, sastra hingga aneka Koran dan majalah. Pada
waktu itu perpustakaan Tebuireng koleksinya tidak kalah dengan Perpustakaan
Nasional Salemba, Jakarta Pusat (tepatnya sebelah selatan Kementrian Sosial
sekarang-red).
Perkembangan pesat Tebuireng juga diganggu Perang. Pada pertengahan
1948-setahun setelah Wahid menggantikan Bapaknya, pasukan Belanda masuk
Jombang bahkan merangsek masuk pesantren. Santri Tebuireng berpencar kemanamana, sementara KH. Wahid Hasyim beserta keluarga memutuskan pindah ke
Jakarta. KH. Wahid Hasyim menjadi salah satu tokoh Masyumi apalagi setahun
kemudian KH. Wahid Hasyim ditunjuk sebagai Menteri Agama dan Tebuireng saat
itu dipercayakan pada KH. Abdul Karim Hasyim dan KH. Ahmad Baidlowi.
Ditengah kesibukan menjadi pejabat Negara KH. Wahid Hasyim tetap memantau
perkembangan Tebuireng, semua santri yang terpencar di mana-mana dipanggil
kembali untuk meneruskan pelajaran.
Kata Jihad (berperang) dikeluarkan pada saat penjajah benar-benar sudah
membahayakan keadaan dan keberadaan NKRI. Memperingati hari berperang tiap
22 Oktober 1945 kemudian ditetapkan sebagai hari Santri Nasional, bagi bangsa
Indonesia patut disambut positif, karena mewarisi nilai semangat berjihad. Di Era

sekarang di saat Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam keadaan damai bukan
berperang, kita diajak untuk belajar pada sejarah. Bahwa nilai-nilai kebangsaan
(bela negara) juga diajarkan di pesantren bahkan di sekolah sampai universitas
perguruan tinggi mulai dari Pendidikan Moral Pancasila, PSBB, Mata Kuliah
Pancasila, Penataran P4 bagi mahasiswa baru, Mata Kuliah Kewiraan (yang
mengajar sarjana militer berpangkat minimal Kolonel) dll. Jihad juga tidak harus
memanggul senjata dan berperang.
Dan perlu dipahami jalur dakwah tidak harus selalu berada di atas panggung
podium dengan pidato (bil lisan), tetapi dengan jihad harta (bil mal), jihad tenaga
dan ibadah ( ibda bi nafsi dengan riyadhah dan mujahadah) dan pikiran (ghazwul
fiqry, sampai ijtihad, orang yang sampai berijtihad baik sendiri maupun kolektif
lewat bahsul massail itu dapat dikatakan sampai tingkat mujtahid,- namun sangat
sulit) namun para ulama juga berjihad dengan berdakwah (bil kalam) dengan
tulisan sebagaimana tradisi intelektual ulama Nusantara yang begitu kaya dengan
menghasilkan karya tulisan dan kitab berbobot yang menjadi rujukan kalangan
ilmuan lokal bahkan menjadi kajian kaum cendekiawan., namun jihad yang paling
besar sesungguhnya adalah berperang melawan hawa nafsu (jihadun nafsy).
Ada tujuh pakar keislaman dari Indonesia di tanah suci pada abad 19-an
yang menjadi maha guru bagi pelajar dari Indonesia termasuk AlHadratussyaikh
KH Hasyim Asyari bahkan ulama dari berbagai penjuru nusantara dan dunia pada
saat itu. Ketujuh tokoh tersebut adalah Syaikh Soleh Darat, Syaikh Nawawi Al
Bantani, Syaikh Ahmad Khatib Al Sambasi, Kiai Mahfuzh At-Tarmasi (Tremas
Pacitan), Syaikh Junaid Al Betawi, Syaikh Nahrowi al Banyumasi dan Syaikh
Kholil Al Bangkalan. Mata rantai keilmuan keislaman pada akhir abad 18 dan awal
abad 19 tidak lepas dari ketujuh tokoh dari ketujuh tokoh dari Indunisie di muka.
Ketujuh ulama ini sangat memperhatikan orang-orang Islam awam dalam
bidang agama. Mereka amat berjasa dalam membentuk dunia santri di tanah Jawa
mulai dari menulis ilmu fiqih, aqidah, tasawuf dan akhak dengan bahasa yang
mudah dipahami orang awam, yakni dengan bahasa Jawa, atau Arab Pegon.
Menurut sebagian cerita kenapa harus huruf Arab Pegon, Syaikh Saleh
Darat, Syaikh Nawawi al Bantani dan Syaikh Cholil Bangkalan yang ingin
melakukan komunikasi antar sesama suku bangsa asal pulau Jawa yang sedang
belajar di Arab Saudi. Sementara Syaikh Juned al Betawi menulisnya kitab
kuningnya dengan Arab Melayu.
Arab pegon atau arab jenggotan atau arab gandulan (karena ada pemaknaan
yang menggantung di bawahnya) dirancang sebagai bahasa sandi antar guru dan
murid yang sedang belajar di Saudi dalam bahasa Jawa. Karena pada waktu itu,
Kolonial Belanda sedang menancapkan penjajahan di bumi Hindia Belanda.
Sementara para ulama di atas mendapat lindungan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan

mufti Mekkah saat itu. Sementara untuk editor percetakannya adalah Syaikh Habib
an Nahrowi al Muhtaram al Banyumasi.
Kembali kesoal dunia santri, santri bila dilihat secara harfiyah terdiri dari
lima huruf; Sin, Nun, Ta, Ro dan Ya. Kelima huruf itu mempunyai arti tersendiri.
Pertama huruf Sin, berasal dari kata salikul filibadah (melaksanakan ibadah). Nun,
berasal dari kata naibun anissyuukhi (bersedia datang kepada gurunya baik ketika
masih hidup maupun sudah meninggal). Huruf ketiga Ta berasal dari kata taibun
artinya santri senantiasa bertaubat dari melakukan dosa dan menjauhi maksiat.
Huruf keempat Ro berasal dari kata roghibu artinya senang mendatangi tiap-tiap
kebajikan atau bila diajak melaksanakan perkara yang bajik (baik, bagus), santri
selalu senang. Sedangkan huruf terakhir huruf kelima Ya, berasal dari kata yaqin.
Santri harus yakin dengan pembagian nikmat dari Allah Subhannallah Wataala
Jalajalluhu Warohmatuhu (Abi Ahmad Syihabuddin M, Pondok Pesantren Al
Kautsar Babadan Kediri; 2002).
Ada juga istilah pesantren sendiri berasal dari kata India shastri, yang berarti
orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Dalam hubungan ini kata Jawa
pesantren (tempat/pondok santri mencari ilmu) yang diturunkan dari kata santri
dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran an, memberi makna sebuah pusat
pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa sebagai model
sekolah agama di Jawa.
Sejak zaman pra-Islam, menurut Gus Dur, di Jawa sudah berkembang desadesa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis dan keramat. Ketika para
penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam terbentuk dengan pesantrenpesantren yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak. Istilah yang
hampir sama juga sudah ada di daerah lain bahkan mungkin lebih dahulu dari
istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh, daerah pertama yang mengenal Islam,
pesantren disebut dengan dayah atau rangkang, meunasah. Di Pasundan ada
pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren para santri melakukan
telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan bermacam-macam pendidikan
rohani, mental, dan sedikit banyak pendidikan jasmani. (Muchtarom, 1988: 6-7).
Secara historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran
tekstual baru muncul pada akhir abad ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang
pendirian pesantren pada masa awal Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama
kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w. 1419M). Maulana
Malik Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu
agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari
situlah kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama
kali di Kembang Kuning, Surabaya pada tahun 1619 M.
Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel Denta. Pesantren ini semakin
lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur. Pada tahap selanjutnya

bermunculan pesantren baru seperti Pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang
di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, Raden Fatah di Demak. (Mastuki
dan Ishom El-Saha (ed.): 8). Bahkan, tercatat kemudian, murid-murid pesantren
Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Madura, Kangean, hingga Maluku.
Menurut catatan Martin Van Brunessen, belum ada lembaga semacam
pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi
ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat informal. Anak-anak dan orang-orang
desa belajar membaca dan menghafal Al-Quran dari orang-orang kampung yang
terlebih dahulu menguasainya. Kalau ada seorang haji atau pedagang Arab yang
singgah di desa, dia diminta singgah beberapa hari di sana dan mengajarkan kitab
agama Islam.
Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum
kepada masyarakat di masjid. Murid yang sangat berminat akan mendatanginya
untuk belajar dan bahkan tinggal di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar
lebih lanjut pergi mondok ke Jawa, atau bila memungkinkan pergi ke Mekah.
Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada abad-abad pertama penyebaran
Islam. (Brunessen, 1999: 25)
Apabila masih ada Pondok Pesantren atau santri-santri masih dalam masa
belajar tidak berfikir yang penting sebagai santri mencari kepintaran dan masih
perlu banyak mengaji kitab kuning kepada para Kyai dan Ulama di Pesantren,
yakinilah bahwa Allah SWT akan selalu memberi jalan rizqi. Demikianlah uraian
seputar dunia santri, Manghayubagya Hari Santri Nasional yang pertama semoga
sinar agama Islam tetap berkibar ke seluruh penjuru Nusantara, sehingga cita-cita
Negara dan Bangsa Kesatuan Republik Indonesia akan tetap aman, adil, makmur
penuh ampunan ridho Allah SWT. Amin Amin Ya Mujibas Sailin. (*****)

PErAN NU PRA DAN PASCA KEMERDEKAAN RI

Sejarah mencatat Tinta Emas kemerdekaan RI tidak jatuh dari langit, namun
melalui jalan panjang pergerakan umat Islam Indonesia. Jejaring ulama pada 1819 yang banyak menimbulkan korban begitu banyak di kalangan rakyat, mulai
dari Perang Diponegoro, Perang Aceh, Perang Padri, Pemberontakan Petani
Banten, membuat sebagian tokoh cendekian terpelajar merubah pergerakaan yang
tadinya non kooperasi menjadi kooperasi sembari menyatukan barisan untuk
sebuah pergerakan melalui jalur pendidikan.
Pergerakan tanpa pendidikan adalah pemberontakan sangat pas lah untuk
menggambarkan perjuangan umat Islam pada masa untuk mencapai cita-cita
bersama atau mimpi besar (great imagine) masa depan gemilang. Munculnya
Jamiat Kheir, NU, Muhammadiyyah, Masyumi adalah upaya upaya organisasi
Islam untuk memperjuangkan anggota-anggotanya.
Nahdlatul Ulama yang lahir 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344
H) menyimpan sejarah kelahiran yang berliku-liku. Selain
menghadang arus modernisasi pemikiran yang bertentangan
dengan kaum tradisionalis, juga menjadi wadah para ulama
dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal
muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin)
Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus
1925) dan kongres Al-Islam kelima di Bandung (5 Februari
1926), kedua Rapat Akbar Umat Islam Indonesia ini untuk
memilih utusan untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di
Mekah.

Kongres Al-Islam di Yogyakarta dan Bandung sangat


didominasi oleh kalangan Islam modernis. Bahkan sebelum
kongres di Bandung itu kalangan modernis sudah mengadakan
pertemuan terlebih dahulu (8-10 Januari 1926) yang salah satu
keputusannya menetapkan H.O.S. Tjokroaminoto dari Sarekat
Islam dan KH Mas Mansur dari Muhammadiyah sebagai utusan
untuk menghadiri kongres di Mekah.
KH A Wahab Chasbullah dari kalangan tradisionalis yang
disingkirkan dalam perhelatan itu, mencoba mengajukan usulusul atas aspirasi Islam tradisonalis agar Raja Ibnu Saud
menghormati tradisi keagamaan seperti membangun kuburan,
membaca doa seperti Dalailul Khayrat, ajaran madzhab,
termasuk tradisi yang menggurat di Mekah dan Madinah. Tetapi
usul-usul tersebut nampaknya dikesampingkan oleh kalangan
modernis. (lihat alKisah, No 4/IV/2006, rubrik Sejarah; Harlah
NU: Menghadang Langkah Wahabi, hal 68-72).
Akhirnya Kiai Wahab beserta tiga orang pengikutnya
meninggalkan kongres dan mengambil inisiatif tersendiri dengan
mengadakan rapat-rapat di kalangan ulama senior. Musyawarahmusyawarah kecil itu awalnya hanya melibatkan beberapa tokoh
yang datang dari sekitar daerah Ampel, Kawatan, Bubutan,
Sawahan dan daerah sekitarnya, semuanya kebanyakan dari
Surabaya. Uniknya, rapat semacam itu dilakukan di sebuah
mushala yang didirikan oleh H. Musa. Mushala itu terletak Jalan
Ampel Masjid (sekarang menjadi Jl Kalimas Udik).
Baru setahun kemudian, tepatnya pada 31 Januari 1926 (16
Rajab 1344 H), dalam sebuah pertemuan di rumah Kiai Wahab di
kampung Kawatan, Surabaya, yang dihadiri sejumlah ulama dari
beberapa pesantren besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, para
kiai
sepuh
sepakat
mendirikan
Komite
Hijaz
untuk
mengantisipasi gerakan Wahabi, yang didukung secara politik
oleh Raja Ibnu Saud.
Pertemuan bersejarah itu memang dihadiri oleh beberapa
ulama senior yang berpengaruh, seperti KH Hasjim Asjari dan
KH Bisri Syansuri (Jombang), KH R. Asnawi (Kudus), KH Masum
(Lasem, Rembang) KH Nawawi (Pasuruan), KH Nahrowi, KH.
Alwi Abdul Aziz (Malang), KH Ridlwan Abdullah, KH Abdullah
Ubaid (Surabaya), KH Abdul Halim (Cirebon), KH Muntaha

(Madura), KH Dahlan Abdul Qohar (Kertosono), KH Abdullah


Faqih (Gresik) dan lain-lain. (sumber: Pengurus Wilayah NU Jawa
Timur, Khitthah Nahdhlatul Ulama, Surabaya, Lajnah Talif Wan
Nasr, t.t hal 10-11).
Pertemuan para ulama di kediaman Kiai Wahab itu juga
menyepakati pembentukan sebuah jamiyah sebagai wadah para
ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal
muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin). Jamiyah itu
diberi nama Nahdlatoel Oelama (kebangkitan kaum ulama), yang
antara lain bertujuan membina masyarakat Islam berdasarkan
paham Ahlusunnah wal Jamaah seperti tertuang dalam Pasal 3
ayat a & b, (Statuten Perkoempulan Nadlatoel Oelama 1926,
HBNO, Soerabaia, 1344 H), yakni: Mengadakan perhoebungan
di antara oelama-oelama jang bermadzhab dan memeriksa
kitab-kitab sebeloemnya dipakai oentoek mengadjar, soepaja
diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitab Ahli Soennah wal
Djamaah atau kitab Ahli Bidah.
Dalam forum ulama yang cukup sederhana itu, Haji Hasan
Gipo (1869-1934) ditunjuk oleh KH Wahab Chasbullah menjadi
ketua Tanfidziyah HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama)
dengan diampingi KH Rois Said (Paneleh, Surabaya) sebagai Rois
Syuriah. Pertemuan tersebut juga memutuskan, mengirim
delegasi (Komite Hijaz) antara lain: KH Wahab Hasbullah
(Jombang), KH Khalil Masyhudi (Lasem) dan Syekh Ahmad
Ghunaim Al-Mishri untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di
Makkah sekaligus menemui Raja Ibnu Saud. Mereka membawa
pesan para ulama agar Ibnu Saud menghormati ajaran madzhab
empat dan memberikan kebebasan dalam menunaikan ibadah.
Dalam jawaban tertulisnya, Ibnu Saud hanya menyatakan akan
menjamin dan menghormati ajaran empat madzhab dan paham
Ahlusunnah wal Jamaah.
Sampai sekarang, riwayat ketua Tanfidziyah HBNO
pertama, yakni Haji Hasan Gipo, sangat sulit dilacak. Hanya saja
sejarah mencatat, kepengurusan duet H. Hasan Gipo dan KH.
Rois Said berlangsung selama 3 tahun. Menurut buku Karisma
Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Yayasan Saifuddin
Zuhri dan penerbit Mizan, 1998 hal 49-54 menyebutkan, Hasan
Gipo lahir di daerah Kampung Sawahan (sekarang Jl. Kalimas

Udik). Ia masih keturunan keluarga besar dari marga Gipo


sehingga nama Gipo diletakan di belakang nama Hasan. Nama
Gipo sebenarnya merupakan singkatan Sagipoddin dari bahasa
Arab Saqifuddin, saqaf (pelindung, atap para wali) dan al-dien
(agama). Jika dirunut silsilahnya, Hasan Gipo masih punya
hubungan keluarga dengan KH. Mas Mansyur, salah seorang
pendiri Muhammadiyah, yang juga adalah keturunan Abdul
Latief Gipo.
Gipo yang berdarah Arab, merupakan saudagar kaya di
daerah komplek Ampel, Surabaya. Hingga kampung tempat Gipo
kemudian dikenal dengan Gang Gipo dan keluarga ini
mempunyai makam keluarga yang dinamai makam keluarga,
makam Gipo di kompleks Masjid Ampel.
Gang Gipo sendiri kini berubah menjadi Jalan Kalimas Udik.
Sebagai orang yang punya keturunan Arab, Hasan Gipo
digambarkan bertubuh sedikit besar, berbadan gemuk dan
berkumis. Ia dikaruniai tiga putra dan wafat pada tahun 1934.
Sebagian keturunan Hasan Gipo kini tinggal di daerah
Wonokromo, Surabaya dan Gresik.
Baru sesudah Muktamar IV di Semarang (1348 H/1929 M),
H. Hasan Gipo digantikan oleh KH Noor (Sawah Pulo, Surabaya)
yang didampingi KH Hasyim Asyari sebagai Rois Akbar HBNO
dengan KH Wahab Chasbullah sebagai Katib Am. (Sumber: surat
permintaan pengakuan pengajuan pendirian NO pada 5
September 1929 M oleh kuasa Nahdlatoel Oelama yakni KH Said
bin Saleh). Pemerintah Hindia Belanda baru merespon
permintaan tersebut pada tanggal 6 Februari 1930 dan masuk
dalam besluit (Surat Keputusan) Goebernoer-Djendral (GD)
Nomor I x.23.1930. Dalam Statuten itu juga berisi Anggaran
Dasar NO yang terdiri 12 pasal yang ditulis dengan dwi bahasa;
Belanda dan Indonesia. Yang mengesahkan Badan Hukum NO
atas nama GD Hindia-Nederland adalah GR. ERDBINK. Sayang,
dokumen penting ini kini berada di Universitas Leiden, Belanda.
Kantor HBNO
Presiden HBNO pertama, H. Hasan Gipo, menempati sebuah rumah yang
sederhana sebagai sekretariat di Jl. Sasak no 32, Surabaya sampai tahun 1945.
Selain HBNO, badan otonom NO yakni barisan pemuda Anshor berkantor di Jl

Bubutan 6/2, Surabaya. Ketika Surabaya direbut Belanda dan menyusul


meletusnya perlawanan rakyat melawan penjajah pada 10 November 1945. KH
Muhammad Dahlan, Konsul NO Jawa Timur memindahkan ke Jl. Pengadangan 3,
Kabupaten Pasuruan. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda I (1947) dan Pasuruan
jatuh ke tangan Belanda, KH Mohammad Dahlan kembali memindahkan kantor
HBNO ke Jl. Dr. Soetomo No 9, Madiun. Setahun kemudian, September 1948
meletus pemberontakan PKI Madiun dan disusul dengan Angresi Militer Belanda
II. Akhirnya kantor PBNU kembali dipindahkan ke Surabaya. Sejak ibukota
Republik Indonesia kembali ke Jakarta, 1950, PBNO juga ikut pindah ke Jakarta.
Ruangan kantor PBNO terletak di Jl Menteng Raya 24, kira-kira 300 meter sebelah
timur stasiun Gambir. Ruangan tersebut adalah bagian dari Kantor Dagang
Waras, sebuah perusahaan dagang milik orang-orang NO yakni Wahid Hasyim,
Zainul Arifin dan Achsien.
Sekalipun berpindah-pindah kantor, NO telah menjelma menjadi bayi
raksasa seperti yang telah diramalkan KH Cholil, Bangkalan. Pengurus Cabang
dan Wilayah secara cepat telah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dan
menadapat dukungan yang luas dari para Kiai serta santri pesantren salaf. Tak
mengherankan jika pada Pemilu 1955, dalam tempo kurang dari tiga tahun
persiapan, NO mampu menduduki tiga dari the big four (empat besar) pemenang
pemilu dengan jumlah pemilih 6.955.141 suara; setelah PNI dan Masyumi, posisi
keempat ditempati PKI.
Tentu, untuk ukuran sebuah organisasi sosial kemasyarakatan dan partai
politik Islam terbesar di Indonesia, kantor NO di Menteng Raya sudah sangat tidak
layak. Pada 1956, KH Saifuddin Zuhri sewaktu menjabat Sekjen PBNO meminta
KH Mohammad Dahlan untuk mencari tempat yang lebih layak. Dua minggu
kemudian, Dahlan melapor kepada KH Saifuddin Zuhri bahwa calon gedung
PBNO terletak di Jl. Kramat Raya No 164.
Ketika melihat bangunan fisiknya, Saifuddin merasa kurang cocok dengan
gedung itu. Baginya, gedung tersebut hanya layak sebagai toko. Dahlan terus
meyakinkan Saifuddin bahwa letak yang strategis dan harganya juga murah, cuma
Rp 1.250.000,- dan dapat diangsur dua kali. Menurut KH Mohammad Dahlan, sulit
mencari gedung yang baik dan harga terjangkau PBNO karena kondisi keuangan
PBNO waktu itu kurang menggembirakan. (sumber: Buku Berangkat Dari
Pesantren, KH Saifuddin Zuhri, PT Gunung Agung, 1987).
Selain itu ada cerita menarik lainnya, dahulu KH Mohamad Dahlan dan KH
Saifuddin Zuhri mempunyai kesukaan yang sama yakni makan sup, gulai dan sate
kambing di Jl. Raden Saleh yang terkenal sangat nikmat. Mengapa Dahlan ngotot
memilih gedung di Jl Kramat 164 sebagai kantor PBNU, menurut Subhan ZE
kepada KH Saifuddin Zuhri.Letaknya kan hanya 300-400 meter dari warung

makan (RM di Jl. Raden Saleh) langganan kita, kata Dahlan kepada Subchan ZE
dengan tertawa terkekeh-kekeh.
Tanpa disadari sebelumnya, kantor PBNU itu ternyata berhadapan dengan
CC-PKI. Seperti diketahui Jalan Kramat Raya itu memanjang dari ujung paling
utara di Senen Raya dan ujung paling selatan di Salemba Raya. Di jalan strategis
dan sibuk itu 4 partai politik menempatkan kantor mereka. Pada satu deretan
berjarak antara 200-300 meter berdiri kantor DPP Masyumi, CC PKI persis di
muka PBNU, mendekati Salemba Raya berdiri kantor DPP-PNI.
Hingga kini, setelah 70 tahun lebih berselang, gedung di Jl Kramat Raya 164
tetap dimanfaatkan sebagai kantor PBNU. 1999 sewaktu KH. Abdurrahman Wahid
menjabat sebagai Presiden RI, gedung PBNU direnovasi menjadi gedung megah
berlantai delapan.(***)
7
Berdampingan Membangun Betawi

Kaum Alawiyin berdampingan dengan ulama lokal Betawi, di Jakarta atau


Batavia itu. Ada sebutan Habaib yang menandakan bahwa ia adalah anak
keturunan Rasulullah SAW
Para Habaib itu datang ke Betawi sejak jaman penaklukan Sunda Kelapa
oleh R Fatahillah (Jatinegara Kaum) dan seiring migrasi besar-besaran dari tanah
Hijren terutama pada abad 18. Dalam dunia Islam, baik dari sunni maupun syiah,
di Arab maupun di luar Arab, bertarikat ataupun tidak, dikenal dengan adanya
golongan-golongan yang mengaku sebagai ahlul bayt, atau sebagai keturunan nabi.
Dengan berbagai silsilah yang dinyatakan sebagai yang paling valid atau
benar, mereka banyak yang diagung-agungkan oleh ummat. Dalam sejarah Hejaz,
keturunan nabi ini hingga abad ke-20 memegang peranan penting dalam
pemerintahan Arab bahkan setelah keruntuhan Dinasti Othoman di Turki, karena
hampir dipastikan corak Negara yang bersifat khilafah bahkan di beberapa bagian
dari kerajaan Islam dunia berangsur-angsur mulai digantikan oleh yang bercirikan
Republik atau Nasionalis yang sifatnya territorial, berdasarkan letak kepulauan
atau dalam batas-batas tertentu daratan sebagaimana semangat dan watak
Demokrasi yang mulai bergaung dari jaman Revolusi Prancis, Yunani di belahan
Eropa dan berkembang dengan Revolusi Amerika, sejak itulah Negara Demokrasi
menjadi pilihan utama bagi Negara-negara yang masih terjajah oleh Post
Kolonialisme.
Semenjak masa-masa sebelumnya mereka ini mendapat tempat khusus
dimata penduduk Hejaz. Mereka dibaiat menjadi penguasa dan imam serta
pelindung tanah suci. Dalam tatanan Hejaz, mereka diberikan sebutan Syarif untuk

laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Sedangkan diluar Hejaz, dari beberapa
golongan ada yang memberikan title Sayyid dan Sayyidah, atau juga dengan
sebutan Habaib, dan lain sebagainya untuk memberikan satu tanda bahwa mereka
yang diberikan titel ini dianggap masih memiliki kaitan darah dan nasab dengan
Nabi Muhammad SAW.
Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatiri dalam bukunya Sirah alSalaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum Alawi di Hadramaut dibagi
menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar
yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin
ialah :
Imam (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan
keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum Khawariji.
Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja.
Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah,
Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.
Syaikh (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan
munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan
berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah
keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti
Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di
Tarim.
Habaib (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai
dengan mulai membanjirnya hijrah kaum Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara
mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih
dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India),
kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan
Bafaqih di Filipina. Tokoh utama Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi
al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya
yang luar biasa, juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib
Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin Syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib
Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.
Sayyid (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran
kecemerlangan kaum Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin
Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin
Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin
Hamid al-Muhdhar. Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan
bahwa Alawiyin atau qabilah Baalawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya
di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin
di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di
Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman.

Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawi
digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik
nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti
persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi anak
cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu
berabad-abad akhirnya sebutan Alawi hanya berlaku bagi anak cucu keturunan
Imam Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad
bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di
Hadramaut ini dinamakan Alawiyin diambil dari nama cucu beliau Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul.
Kaum Arab, terutama yang beragama Islam telah sejak berabad lamanya
melakukan perniagaan dengan berbagai negara di dunia, yang selanjutnya
menciptakan jalur-jalur perdagangan dan komunitas-komunitas Arab baru
diberbagai negara. Dalam berbagai sejarah dinyatakan bahwa kaum Arab yang
datang ke Indonesia merupakan koloni Arab dari daerah sekitar Yaman dan Persia.
Namun, yang dinyatakan berperan paling penting dan ini diperlihatkan dengan
jenis madzhab yang ada di Indonesia, dimungkinkan adalah dari Hadramaut. Dan
orang-orang Hadramaut ini diperkirakan telah sampai ke Indonesia semenjak abad
pertengahan (abad ke-13) sesudah adanya huru-hara di Baghdad.
Secara umum, tujuan awal kedatangan mereka adalah untuk berdagang
sekaligus berdakwah, dan kemudian berangsur-angsur mulai menetap dan
berkeluarga dengan masyarakat setempat. Dari mereka inilah kemudian muncul
banyak tokoh dakwah yang termaktub dalam team Walisongo dan banyak tokoh
dakwah islam hingga masa sekarang. Walaupun masih ada pendapat lain seperti
menyebut dari Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, tampaknya
itu semua adalah jalur penyebaran para Mubaligh dari Hadramawt yang sebagian
besarnya adalah kaum Sayyid (Syarif).
Berjuang
Jenderal Thomas Stamford Raffles yang berkuasa pada masa pemerintahan
Inggris di Indonesia (1811-1816) pernah memuji kegigihan dakwah para ulama
Betawi. Raffles selama lima tahun di Nusantara lebih banyak tinggal di Batavia,
ibukota Hindia Belanda. Dia tinggal di Rijswijk (kini Jl Segara), di gedung yang
sekarang menjadi Bina Graha (sebelah Istana Negara). Dulu, gedung ini pernah
dinamai Raffles House.
Dalam salah satu pidatonya pada peringatan ulang tahun Bataviasch
Genootschap lembaga kesenian yang para anggotanya beragama Kristen
Raffles meminta mereka belajar pada keberhasilan para ulama dalam menyebarkan
Islam. Terutama cara-cara pendekatan mereka dalam mengajarkan Al Quran yang
kala itu menjadi bacaan dan pelajaran di kampung-kampung Betawi.

Tampaknya, seperti juga Portugis dan Belanda, penguasa Inggris ini


khawatir terhadap perkembangan Islam, hingga ia meminta organisasi Nasrani itu
mencari jalan keluar mengimbangi dakwah para mubaligh. Jika kesuksesan para
mubaligh itu dibiarkan, mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi
kelangsungan penjajahan, kata Letnan Jenderal Gubernur Inggris saat itu.
Seperti layaknya meneruskan perang Salib, sekalipun tidak sekeras Portugis,
Belanda juga menunjukkan kebencian terhadap Islam, termasuk terhadap para
mubaligh dan kiai figur yang dihormati di masa penjajahan.
Ia memang banyak belajar dari kekalahan kumpeni pada Sunda Kelapa yang
saat itu ditaklukan R Fatahillah. Sesudah Sunda Kelapa kembali berusaha direbut
VOC Kumpeni, tetapi itupun sangat tidak mudah bahkan terus menerus mendapat
perlawanan rakyat yang dikomandoi oleh kyai dari Jawa, para ulama dan Jawara,
pendekar Banten yang bahu membahu mempertahankan Sunda Kelapa atau
Batavia dari pendudukan penjajahan asing.
Menurut Risalah Rabithah Alawiyah, pada tahun 1925 pemerintah kolonial
mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak kegiatan dakwah dan
pendidikan. Di antaranya, tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama
atau mengaji. Kebijakan ini sekalipun oleh para ulama Betawi tidak diindahkan
lantaran sejak lahirnya Jamiat Kheir pada 1905 banyak lembaga pendidikan
Islam bermunculan.
Sejak zaman VOC, kedatangan Belanda di Indonesia sudah bermotif
ekonomi, politik dan agama. Dalam hak actroi VOC terdapat suatu pasal berbunyi,
Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan, harus
memperhatikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah.
Karena tekanan yang demikian keras dari penjajah, Prof Dr Abdul Karim
Amrulah (HAMKA) yang selama bertahun-tahun tinggal di perkampungan Betawi
mengemukakan kekagumannya terhadap keteguhan orang Betawi memeluk Islam.
Menurut HAMKA, antara penjajah dan anak negeri bagaikan minyak dan air
meskipun keduanya dimasukkan ke dalam satu botol tapi tidak akan bisa menyatu.
Menurut HAMKA, kalau para perantau yang datang ke Betawi banyak
meneruskan pendidikannya ke Belanda atau negara Eropa lainnya, orang Betawi
belajar agama di Arab Saudi. Kemudian di antara mereka banyak yang
berkedudukan cukup baik. Di antara mereka terdapat Syaikh Junaid Al-Betawi,
kelahiran Pekojan, Jakarta Barat. Pekojan, pada abad ke-19 dan 20, banyak
menghasilkan ulama terkemuka.
Seiring dengan arus urbanisasi itu, mereka datang ke Sunda Kelapa pada
waktu itu. Ini bisa dilacak dengan kedatangan para Habaib di bumi Betawi di
makam-makam keramat yang ada di Luar Batang, Kramat Bandan, Koja, Kwitang,
Al Hawi, Kalibata dll yang menandakan bahwa kaum Habaib tidak membentuk
komunitas sendiri menjadi kaum Arab, namun bersimbiosis dengan ulama lokal

Betawi dalam bahu membahu pergerakan dakwah Islam dari masa lalu hinggi kini.
Pergerakan jalur maritim lewat pantai utara Jawa yakni Pelabuhan barang Tanjung
Priok dan Pasar Ikan Muara Angke.
Yang awalnya komunitas penduduk itu berada di belahan utara Jakarta
sedikit demi sedikit bergeser ke arah Selatan atau Kota mulai dari Pekojan, Tanah
Abang, Senin, hingga akhirnya kawasan kampung Arab tidak bisa menjadi
dominasi penduduk karena Jakarta sudah bercampur baur. Ada mungkin orang
akan mencari jejaknya lewat kumpulan makam Habaib Arab yang ada di Kramat
Luar Batang, kampung Bandan, Al Hawi Cililitan, Kalibata, hingga Bekasi, Depok,
Bogor bahkan Banten. Keberadaan makam para Habaib ini tetap lestari karena
ziarah makam, peringatan Maulid dan Haul (memperingati hari meninggalnya
orang), upacara menikah, tasmiyah (aqiqah, pemotongan rambut pada bayi)
sampai upacara saat meninggal menjadi tradisi dan adat kalangan Habaib.
Berdampingan
Kaum Habaib sangat terbuka dan berjalan seiring berdampingan dengan
ulama setempat, karena ajaran Islam yang dibawa sama, bahkan ulama lokal
banyak berguru dengan Habaib dan Habaib juga banyak berguru dengan ulama
Betawi yang berbobot.
Sebenarnya banyak ulama Betawi yang kiprah keulamaannya cukup
menonjol masa itu, namun sayang sekali tidak banyak yang berhasil
didokumentasikan. Beberapa
yang
berhasil
diketahui berkiprah
dalam
melaksanakan ibadah haji saat ini dengan pesawat udara hanya perlu waktu
10 jam. Tidak demikian ketika perjalanan masih menggunakan kapal layar. Perlu
waktu berbulan-bulan, mungkin lebih setahun, dengan berbagai resiko selama
pelayaran.
Dalam suasana demikian, sejak abad ke-18 orang Betawi banyak yang pergi
ke kota suci Mekah. Mereka menjalankan ibadah haji. Karena perjalanan yang
begitu sulit, setelah menunaikan rukun Islam ke-5, banyak yang tidak kembali ke
tanah air dan bermukim di Mekah al Maukaramlah.
Mereka yang bermukim di sana menggunakan Al Batawi sebagai nama
keluarga. Menjadi kebiasaan para pemukim ketika itu menjadikan nama kota
asalnya sebagai nama keluarga. Misalnya, Syech Abdul Somad al Falimbani dari
Palembang, Syech Arsyad Al Banjari dari Banjarmasin, Syech Basuni Imran al
Sambasi dari Sambas dan Syech Nawawi al Bantani dari Banten.
Masih dengan kapal layar, pada pertengahan abad ke-19 (1834), Syech
Junaid, seorang ulama Betawi, mulai bermukim di Mekah. Ia pun memakai nama
al-Betawi. Ia amat termashur karena menjadi imam di Masjidil Haram. Syaikh
Junaid al Betawi, yang diakui sebagai syaikhul masyaikh para ulama Mahzab
Syafiie, juga mengajar agama di serambi Masjidil Haram. Muridnya banyak

sekali. Bukan hanya para mukiman dari Indonesia, juga mancanegara. Nama
Betawi menjadi termashur di tanah suci berkat Syech kelahiran Pekojan Jakarta
Barat, ini.
Enam ulama Betawi mulai Guru Marzuki, Guru Mughni, Guru Mansyur,
Guru Madjid, Guru Mahmud dan Guru Khalid juga dikemudian hari yang hadir
sebagai simpul pengikat mata rantai emas keilmuan (sanad ilm) dari hampir setiap
ulama di kemudian hari. Keenam guru utama ini adalah murid terkemuka Syekh
Junaid Al Betawi.
Selama itu di Betawi bukan sepi oleh perlawanan rakyat. Justru bersamaan
dengan berakhirnya Perang Diponegoro, saat itu di Betawi muncul awal letupanletupan sosial sebagaimana Kisah Si Pitung, Jampang dan Entong Gendut dan nun
jauh di bagian barat Betawi yakni bagian paling Barat Pulau Jawa, Kab Cilegon
(sekarang Provinsi Banten-red), muncul pemberontakan lokal petani desa oleh Haji
Wasid, H. Abdul Karim, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji
Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail.
Ulama-ulama lokal yang pergi haji, kemudian banyak belajar dengan Syaikh
Junaid di Mekkah. Syech Junaid mempunyai dua orang putera dan dua orang
puteri. Salah satu puterinya menikah dengan Abdullah al Misri, seorang ulama dari
Mesir, yang makamnya terdapat di Jatipetamburan, Jakarta Pusat.
Seorang puteri lainnya yang menikah dengan Imam Mujitaba. Sedangkan
kedua puteranya, Syech Junaid yakni Asad dan Arsyad, menjadi pelanjut ayahnya
mengajar di Masjidil Haram. Syeh Junaid wafat di Mekah pada 1840 dalam usia
100 tahun.
Kawasan Pekojan dikenal melahirkan banyak ulama. Antara lain, mualim
Rojiun, dan Kyai Syamun. Termasuk Habib Ustman bin Yahya dan Guru Mansyur
dari Kampung Jembatan Lima yang pada masa revolusi fisik masjidnya ditembaki
NICA, karena memasang bendera merah putih. Bahkan guru Mansyur berseru
kepada penduduk, Betawi, rempug.
Di antara murid Habib Usman adalah Habib Ali Al Habsji (1870-1966),
ulama kelahiran Kwitang, Jakarta Pusat. Ayahnya, Habib Abdurahman, adalah
sepupu pelukis kenamaan Raden Saleh Syarif Bustaman yang melukis gambar
Pangeran Diponegoro bertempur dengan seekor macan sambil memegang pistol
sambil terjatuh..
Ada beberapa ulama Betawi terkenal yang menjadi murid Habib Ali, seperti
KH R Abdullah Syafei, KH Tohir Rohili, KH Fathullah Harun dan KH Sjafii AlHazami. Dia, pada tahun 1911, mendirikan madrasah Unwanul Falah di Kwitang
(di samping Masjid Al-Riyad.
Pada masa revolusi fisik banyak ulama Betawi yang ikut mengomandoi
rakyat agar mempertahankan kemerdekaan sebagai bagian dari jihad fi sabillah.
Seperti KH Nur Ali dari Bekasi, Guru Mansyur (Jembatan Lima), KH Rahmatullah

Sidik (Kebayoran), dan Muhammad Ali Al Hamidi (Matraman). Ada ratusan buku
karangan ulama Betawi yang ditulis dalam Arab Melayu.
Di antara murid Syekh Junaid yang sampai kini kitab-kitabnya masih
tersebar di dunia Islam adalah Syech Nawawi al Bantani, keturunan pendiri
kerajaan Islam Banten, Maulana Hasanuddin (putera Syarif Hidayatullah).
Karenanya, setiap haul Syech Nawawi, selalu dibacakan fatihah untuk arwah
Syech Junaid.
Imam Mujitaba, yang menetap di Mekah, menikah dengan putri Syech
Junaid. Pasangan ini menurunkan guru Mujtaba tokoh ulama Betawi dari Cipinang
Muara, Jakarta Timur. Karena alimnya, guru Mujtaba diberi gelar waliyullah oleh
masyarakat Islam di tanah suci. Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, Guru
Mujitaba satu angkatan dengan mukimin Indonesia lainnya seperti Syech Nawawi
al Bantani dan Syech Ahmad Khatib al Minangkabawi.
Sedangkan putera almarhum guru Marzuki Cipinang Muara Jakarta Timur,
yang hingga kini memiliki perguruan di Rawabunga, Jakarta Timur, mendapat
gelar birulwalidain karena begitu berhidmatnya kepada kedua orang tuanya. Guru
Marzuki memiliki sejumlah murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di
Indonesia, seperti KH Abdullah Syafiie dari perguruan Assyafiiyah dan KH Tohir
Rohili dari perguruan Tohiriah di Bukitduri Tanjakan, Jakarta Timur. Kedua
perguruan Islam (Assyafiiyah dan Tohiriah) itu kini berkembang pesat sekali.
Keduanya memiliki sekolah mulai dari TK sampai perguruan tinggi. KH Abdullah
Sjafiie (wafat 3/9-1985) bersama putera-puterinya menangani 63 lembaga
pendidikan Islam.
Sedangkan masjid Al-Barkah di Kampung Bali Matraman, Jakarta Selatan,
yang dibangun pada 1933 saat kyai berusia 23 tahun, kini merupakan masjid yang
megah. Mushola bekas kandang sapi itulah yang kemudian menjadi cikal bakal
perguruan Asyafiiyah. Kini pengajian Ahad pagi di Masjid Al-Barkah selalu yang
diikuti ribuan jamaah. KH Abdullah Syafiie perguruannya menghasilkan ribuan
orang di antara mereka kini menjadi tokoh agama dan pimpinan majelis taklim
di berbagai tempat di Indonesia.
KH Abdullah Syafiie adalah figur yang mampu mengkombinasikan dua
arus besar pemikiran yang berkembang di lingkungan masyarakat Islam. Dalam
diri beliau tercermin betul warna NU dan Muhammadiyah-an. Toh beliau mampu
menjadikan diri sebagai model kombinasi yang menarik itu.
Kalau KH Abdullah Sjafii pada Pemilu 1955 berkampanye untuk partai
Masyumi. Maka, rekan seangkatannya, KH Tohir Rohili selama dua periode
pernah menjadi anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan. Seperti juga KH
Abdullah Syafiie, ia mulai berdakwah keliling Jakarta dengan bersepeda. Tiap
Ahad pagi, di majelisnya yang juga merupakan kediamannya, diadakan pengajian,
yang jamaahnya cukup banyak.

Ulama Betawi, angkatan KH Abdullah Syafii dan KH Tohir Rohili, yakni


Mualim Rojiun, KH Nur Ali, Bekasi, sangat ditakuti oleh Belanda karena
keberaniannya di front terdepan Bekasi Karawang Purwakarta, KH Fathullah
Harun, KH Zayadi dari Klender, Mualim Tabrani, Paseban, dan sejumlah kyai
lainnya.
Ulama Betawi sesudah angkatan ini adalah KH Syafii Hazami, mantan
ketua MUI Jakarta Raya, yang memiliki belasan perguruan Islam di Ibukota.
Kemudian KH Abdurahman Nawi, yang kini memiliki tiga buah pesantren yang
kesemuanya bernama Al-Awwabin, di Tebet, Depok I, dan Tugu (Sawangan
Depok). Tiga pesantrennya itu memiliki ribuan santri sejak tingkat TK sampai
SLTA.
Bersamaan dengan KH Abdurahman Nawi yang memiliki tiga pesantren
sebuah di Tebet (Jakarta Selatan) dan dua di Depok KH Abdul Rasyid AS,
putera almarhum KH Abdullah Sjafii, kini juga membangun majelis taklim di
Pulau Air, Sukabumi. Di sini dia telah menghasilkan santri-santri yang
memperdalam Alquran.
Sementara, kakaknya, Hj Tuty Alawiyah AS, kini tengah mengembangkan
Perguruan dan Universitas Asyafiiyah, di Jatiwaringin, Jakarta Timur. KH.
Abdurahman Nawi sendiri merupakan salah seorang murid KH Abdullah Sjafii.
KH Abdul Rasyid kini juga tengah menyiapkan pembangunan Universitas Islam
KH Abdullah Sjafii dan rumah sakit Islam di Sukabumi di atas tanah seluas 28
hektar.
Satu angkatan dengan kedua ulama itu adalah Habib Abdurahman Al
Habsyi, putera Habib Muhammad Al Habsji dan cucu Habib Ali Kwitang. Pada
awal abad ke-20 Habib Ali mendirikan madrasah modern dengan sistem kelas yang
diberi nama Unwanul Falah. Perguruan Islam yang juga menampung murid-murid
perempuan ini, sayang, terhenti pada masa proklamasi. Karena itulah, Habib Ali
yang meninggal tahun 1968 dalam usia 102 tahun dianggap sebagai guru para
ulama Betawi, banyak diantara mereka pernah belajar di sekolahnya.
Dia adalah murid Habib Usman Bin Yahya, yang pernah menjadi Mufti
Betawi. Hampir bersamaan datang dari Hadramaut Habib Ali bin Husein Alatas.
Dia bersama Habib Salim Bin Jindan banyak ulama Betawi yang belajar
kepadanya. Termasuk KH Abdullah Syafii, KH Tohir Rohili, dan KH Sjafii Al
Hazami. Yang belakangan ini kelahiran Gang Abu, Batutulis, Jakarta Pusat.
Mantan Gubernur DKI Fauzi Bowo ketika kecil, di Batutulis, belajar agama
kepadanya.
Salah seorang ulama Betawi kelahiran Matraman yang merupakan penulis
produktif adalah KH Ali Al Hamidy. Dia telah menulis tidak kurang dari 19 kitab
dan buku, seperti Godaan Setan. Menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, KH
Ali Al Hamidy setiap minggu membuat naskah khotbah Jumat yang digunakan

para khotib di masjid-masjid. Tidak hanya di Jakarta tapi juga di Sumatera.


Termasuk masjid-masjid ahlussunah wal jamaah, sekalipun tulisannya lebih kental
kearah Muhammadiyah. Tatkala masuk penjara dalam Orde Lama karena
kedekatannya dengan Masyumi, ia berhenti menulis. Dan, akhirnya penguasa
mengijinkan ia menulis naskah khutbah Jumat dari balik terali penjara.
Sampai tahun 1970-an, dikenal luas nama ulama KH Habib Alwi
Jamalullail, yang telah beberapa kali mendekam di penjara, baik pada masa Orla
maupun Orba, karena keberaniannya mengkritik pemerintah, yang kala itu
dianggap tabu. Pada masa itu di Betawi sejaman dengan Singa Podium Jakarta
Habib Novel bin Salim bin Ahmad Jindan alm, Habib Syekh Ali Jufri alm
(Condet), KH Syukron Makmun, KH Hasyim Adnan (Kayu Manis) dll.
Perjuangan Habib Alawi kemudian diteruskan oleh puteranya, Habib Idrus
Djamalullail, yang pada tahun 1995 mengajak demo forum alim ulama Betawi
yang pada waktu itu dikomandani KH Saifuddin Amsir ke DPR menolak SDSB.
Keluarga Jamalullail termasuk generasi awal yang datang ke Indonesia dari
Hadramaut pada abad ke-18. Mereka banyak terdapat di Aceh. Yang Dipertuan
Agung Malaysia sekarang ini juga dari keluarga Jamalulail.
Islamisasi di Betawi mendapatkan momentum baru tatkala Sultan Agung
melancarkan dua kali ekspedisi ke Batavia untuk menyerang VOC. Terlepas
ekspedisi ini tidak berhasil menyingkirkan penjajah Belanda, tapi dari segi
kultural, ekspedisi itu mencapai hasil yang mempesona. Para tumenggung
Mataram, setelah gagal mengusir Belanda, setelah tinggal di Jakarta, banyak
menjadi juru dakwah yang handal. Mereka telah mempelopori berdirinya surausurau di Jakarta yang kini menjadi masjid seperti Masjid Kampung Sawah,
Jembatan Lima, yang didirikan pada 1717.
Salah seorang ulama besar dari kampung ini adalah guru Mansyur. Ia lahir
tahun 1875. Ayahnya bernama Abdul Hamid Damiri al Betawi. Pada masa remaja
dia bermukim di Mekah. Di kota suci ini dia berguru pada sejumlah ulama Mekah,
seperti Syech Mujtaba bin Ahmad Al Betawi. Guru Mansyur sewaktu-waktu hadir
dalam majelis taklim Habib Ustman, pengarang kitab Sifat Duapuluh. Guru
Mansyur menguasai ilmu falak, dan memelopori penggunaan ilmu hisab dalam
menentukan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri serta Idul Adha di Jakarta. Dia
juga merupakan penulis produktif. Tidak kurang dari 19 kitab karangannya.
Guru Mansyur mendalami ilmu falak, karena dulu di Betawi orang
menetapkan awal Ramadhan dan lebaran dengan melihat bulan. Kepala penghulu
Betawi menugaskan dua orang pegawainya untuk melihat bulan. Jika bulan
terlihat, pegawai tadi lari ke kantornya memberi tahu kepala penghulu. Kepala
penghulu meneruskan berita ini kepada masjid terdekat. Mesjid terdekat memukul
beduk bertalu-talu tanda esok Hari Raya Idul Fitri atau Hari Idul Adha.

Tahun 80 sampai akhir tahun 2000 an gaya berdakwah ulama Betawi tetap
berbobot dan bersahaja. Di balik riuh denyut ibukota, kehadiran gaya orasi KH
Zainudin MZ (alm) adalah cukup fenomenal sebagai awal kebangkitan dakwah di
akhir abad 19 karena banyak menyedot perhatian dan simpati puluhan ribu
pengunjung dan dakwah Islam menjadi menarik bisa masuk ke acara televisi,
media telivisi dan elektronik.
Kemunculannya lewat polesan KH Dr. Idham Khalid alm semasa menjadi
ketua NU dan sekaligus Ketua PPP pada waktu itu, di kemudian hari menjadikan
gaya berdakwah KH Zainuddin MZ dan H. Rhoma Irama (Bang Haji) pada Pemilu
1977 menjadi rujukan banyak ustadz dan kyai yang masuk ke dalam dunia televisi
dan media. Mulailah bermunculan dai-dai bintang ibukota yang lahir dari sentuhan
dingin dari Habaib dan ulama Betawi.
Dengan demikian, selain arus gelombang urbanisasi pada kurun tahun 70-90
an dan simbiose mutulalisme masyarakat setempat pada akhirnya banyak juga
melahirkan ulama-ulama yang sebelumnya belajar pada ulama-ulama lokal bahkan
internasional kemudian masuk ke ibu kota berbaur dengan tradisi masyarakat
setempat, seperti Buya Hamka alm (Univ Hamka), KH Sukron Makmun (Ittiihadul
Mubalighin, Ponpes Darul Rohman, Kebayoran Baru), KH Abdurrahman Wahid
alm (PBNU Ciganjur), Prof. Dr. Nur Kholismadjid alm (Paramadina), KH Iskandar
Noer As-Shidiqy (Assyidiqiyah Jakarta Barat) dll dan belakangan seabrek ustadzustadz muda muncul ke panggung dakwah seperti Ustadz Jefry Bukhori (alm), KH
Arifin Ilham (Ad Zikra Depok), Ustadz Solmed, Ustadz Guntur, Ustadz Cecep,
Ustadz Maulana, Mamak Dedeh dan yang jelas bukan ustadz dadakan dan ustadz
karbitan dll.
Dan perlu dipahami jalur dakwah tidak melulu berada di atas panggung
podium (bil lisan), tetapi dengan jihad harta (bil mal), jihad tenaga dan ibadah (
ibda bi nafsi dengan riyadhah dan mujahadah) dan pikiran (ghazwul fiqry, sampai
ijtihad, orang yang sampai berijtihad baik sendiri maupun kolektif lewat bahsul
massail itu dapat dikatakan sampai tingkat mujtahid,- namun sangat sulit) namun
para ulama dan Habaib juga berdakwah (bil kalam) dengan tulisan sebagaimana
tradisi intelektual ulama Nusantara yang begitu kaya dengan menghasilkan karya
tulisan dan kitab berbobot yang menjadi rujukan kalangan ilmuan lokal bahkan
menjadi kajian kaum cendekiawan.
Ada banyak ulama Betawi yang cukup banyak dikenal produktif menulis
kitab bukan sekedar penerjemah seperti Dr Nahrowi Al Indunisie alm (Mampang),
Syekh Muhadjirin Amsar Ad-Dari alm (Bekasi Utara), Guru Mansyur, Syaikh
Junaid Al Betawi, KH Syafii Hadzami, dll.
Tentu berbeda dengan gaya ustadz baru pada jaman sekarang yang mudah
tergiur oleh perang tarif dan rating di media, sehingga mudah pasang harga. Sudah
barang tentu pergerakan ustadz jaman sekarang, akan mudah terkikis oleh para

ustadz dan Habaib kampung Betawi yang ikhlas berdakwah dan mereka cukup
berbobot secara keilmuan dan mereka kuat menjaga tradisi dalam menjalankan
ajaran agama.
Ulama dan Habaib lokal Betawi juga dikenal sangat keras dan kuat serta
energik dalam mengembangkan syiar Islam di berbagai majlis taklim dan pesantren
yang begitu banyak tersebar seantero Ibu Kota Jakarta, karena sangat jelas mereka
sangat mengerti ilmu agama (alim) dan bisa dijadikan petunjuk (muaalim). Untuk
mendapatkan mereka sangat mudah, cukup hadir dengan melakukan rihlah dan
silaturahmi di banyak acara pengajian, peringatan Maulid atau Haul ulama serta
Habaib yang ada di Jakarta.
Ulama dan Habaib di Jakarta dapat dikatakan berdampingan dalam
berdakwah. Lahan dan garapan umat yang mendiami kota Jakarta yang sangat luas
serta ber ragam, namun masih dalam satu nafas gerakan Islam, satu Thariqah
(jalan) yakni Thariqah Islam Ahlus Sunnah wal Jammaah.
Pluralitas dan keberagaman aliran serta madzhab dalam Islam yang bersebar
di berbagai lembaga agama, organisasi masa bahkan partai politik bila dikelola
dengan baik tentu saja dalam pengembangan dan penyebaran ajaran Islam yang
penuh Rahmatan Lil Alamin ini dengan cara-cara tawassut, itidal, toleran dan
mauizahidzotil khasanah akan melahirkan kekayaan khazanah keilmuan (dapat
menjadi al ikhtilafu ummah ila rahmah) dan budaya Islam yang menjadi modal
sosial dalam membangun negeri. Jadi gerakan modernisasi dan yang puritan
tradisional dalam Islam sebenarnya bisa berjalan seiring dan seirama dalam
menyongsong masa depan yang lebih baik.
Yang mencirikan pergerakan Habaib adalah pada masa kini, kalangan ini
biasa di sebut kaum Alawiyin, karena bernasab dengan jalur keturunan Rasulullah
SAW dan berbagai pesantren serta majlis taklim yang ada di Ibu kota ini tidak
menjadi ekslusif, namun semakin terbuka menerima murid atau jamaah anak
muda, sehingga tidak heran Majlis Taklim yang awalnya hanya terkenal di Majlis
Taklim Minggu Pagi Habib Ali Kwitang Kawasan Pasar Senin, Jakarta Pusat, kini
banyak bermunculan semacam Majlis Taklim Habib Munzir (alm) yang terkenal
dengan Majlis Rasulullah SAW, Majlis Taklim Nurul Musthofa Habib Mustofa
Alaydrus Tebet, Majlis Taklim Nurul Musthofa Habib Hasan bi Jakfar Assegaf dan
ribuan majlis Taklim dan pesantren yang tersebar di seantero Betawi saat ini.
Begitulah kota Jakarta. Sejak dahulu di saat rimbunnya pepohonan menebar
hawa sejuk keshalihan , seluruh penjuru kota Betawi hingga sekarang. Tatkala
keberkahan udara sejuk itu seakan tersapu oleh bumbungan asap polusi maksiat
kota metropolitan, Jakarta bisa dibilang hampir tidak pernah sepi melahirkan tokoh
tokoh ulama berbobot yang turut menghias indah sejarah perjalanan syiar Islam
Nusantara. (***)

Peran Strategis Ulama Indonesia Masa Kini

Dalam membangun bangsa yang maju besar dan beradab,


agama memiliki peran yang sangat besar. Sebagai organisasi
sosial keagamaan, sejak dulu Ulama-ulama berperan sangat
besar dalam mengayomi dan membangun masyarakat, baik
melalui pendidikan, dakwah dan lain sebagainya.
Peran ulama yang sedemikian besar itu diemban oleh para
ulama tidak lain karena ulama adalah pewaris dari ajaran naby
(al ulama warisatun anbiya, sementara tugas ulama selain
liyatafaqqahu
fiddin,
mengggali,
merumuskan
dan
mengembangkan pemikiran keagamaan, tetapi juga memiliki
tugas yang tidak kalah pentingnya dan bahkan sangat strategis
yang berkaitan dengan masalah sosial dan kebangsaaan yaitu
tugas liyundziru qaumahum (membangun masyarakat) yakni
membentuk kepribadian.
Dalam kaitan dengan masalah masyarakat, Ulama masa kini
memiliki beberapa tugas pertama adalah pembangunan mentalspiritual, pembentukan kepribadian atau karakter masyarakat
(character building) ini sangat penting agar lahir kader orangorang atau masyarakat yang memiliki sikap, memiliki ketegasan,
memiliki prinsip serta memiliki tanggung jawab baik terhadap
Tuhan dan terhadap sesama manusia dan terhadap bangsa dan
Negara. Karena itu para ulama memiliki tugas kedua yaitu
nation building (pembangunan bangsa).
Dengan adanya pembantukan karakter (character building)
itulah nation building (pembangunan bangsa) bisa dilaksanakan
dan ini merupakan modal dasar bagi state building (membangun
Negara). Dengan nation building ini maka bangsa Indonesia akan
menjadi bangsa yang disegani, karena memiliki kepribadian
nasional yang kokoh, sehingga bisa berdiri tegak sejajar dengan
bangsa-bangsa beradab yang lain.

Tugas ketiga adalah criticism buiding (membangun sikap


kritis), ini sesuai dengan prinsip amar maruf nahi munkar.
Sebagaimana sering ditegaskan bahwa sikap ulama terhadap
negara taat mutlak bahwa negara harus dijaga dan dibela, tetapi
terhadap pemerintah yang ada ulama menerapkan prinsip amar
maruf nahi munkar. Sementara dalam melakukan amar maruf
sendiri
perlu
menggunakan
etika,Amar
maruf
bil
maruf.(Barangsiapa mengajak kebaikan maka dengan cara
yang baik pula). Pun demikian dalam mencegah kemunkaran
dengan cara-cara yang baik pula, mauidzotil khasanah (nahy
munkar bil maruf-red).
Sikap kritis Ulama dalam mendukung atau mengkritik
pemerintah ini didasari oleh pertimbangan etis, bukan oleh
pertimbangan politis, karena itu akan dilakukan terus walaupun
Ulama sudah banyak di Partai Politik dan Ormas, namun ulama
memang memiliki tugas moral atau etis.
Kembali pada upaya character building dan nation building,
ini merupakan langkah yang sangat mendesak saat ini, karena ini
merupakan persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat
ini ketika sekolah dan lembaga pendidikan lain termasuk
lembaga kebudayaan yang ada tidak melakukan tugas ini.
Sementara
gelombang
globalisasi
yang
begitu
besar
menghancurkan sendi-sendi bangsa ini di semua sektor
kehidupan, sehingga terjadi kemerosotan moral, budipekerti,
akhlaq dan lunturnya karakter. Penanaman rasa cinta tanah air
dan bangga terhadap sejarah serta peradaban sendiri itu
dilakukan karena berdasarkan pertimbangan bahwa: (barang
siapa tidak memiliki tanah air dan tidak mencintai tanah air,
maka tidak memiliki sejarah, barang siapa tidak memiliki sejarah
maka tidak memiliki memori dan karakter).
Bagi orang atau bangsa yang tidak memiliki memori maka
dia akan menjadi bangsa tidak memiliki karakter, dan bangsa
yang tidak memiliki karakter akan kehilangan segalanya.
Politiknya akan hilang, peradabannya akan merosot dan aset
ekonominya pun akan dijarah bangsa lain akhirnya akan menjadi
bangsa yang miskin dan tidak terhormat. Inilah pentingnya
menanamkan rasa cinta tanah air, dan karena itu tidak hentihentinya,
ulama-ulama
Indonesia
sejak
jaman
dahulu

menanamkan rasa cinta tanah air. Penegasan pada Pancasila,


UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI ini merupakan bentuk
paling nyata dari rasa cinta tanah air tersebut. Itulah sebabnya
Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa cinta tanah air
merupakan bagian dari iman (hubbul wathan minal iman). Dalam
pengertian itulah agama ditempatkan sebagai unsur mutlak
dalam nation dan character building. (Said Agil Siraj, Pidato
Harlah NU ke 89).
Pentingnya pendidikan karakter ini tentu menjadi kewajiban para ulama
untuk membentuk kader-kader pejuang ummat. Syarat-syarat berjuang bagi ummat
Islam di jaman sekarang menurut Prof. Dr. Said Ramadhan Bouti dalam al
Ruhaniyat al ijtimaiyah (spiritualisme sosial) dengan: (1) Membaca dan
merenungkan makna kitab suci al Quran ; (2) Membaca dan mempelajari makna
kehadiran Nabi Muhammad SAW melalui sunnah dan sirah (membaca biografi)
beliau; (3) Memelihara hubungan dengan orang-orang saleh seperti ulama dan
tokoh Islam yang zuhud; (4) Menjaga diri dari sikap dan tingkah laku tercela; (5)
Mempelajari hal-hal tentang ruh dan metafisika dalam al Quran dan sunnah
dengan sikap penuh percaya; (6) Melakukan ibadah-ibadah wajib dan sunnah.
KH Sahal Mahfudz dalam sebuah buku Nuansa Fiqih Sosial, 2004
(Yogyakarta: LKiS) telah mengisaratkan akan adanya kemungkinan munculnya
kekhawatiran berlebihan, yang dapat menimbulkan keputusasaan dan sikap pesimis
di kalangan umat terhadap gejala kekosongan ulama, sehingga akan mendorong
persiapan sedini mungkin.
Pembicaraan kali ini menyangkut ulama. Tidak sembarang orang boleh dan
mampu memberikan kriteria ulama, karena ia memiliki nilai lebih yang sering kali
tidak dapat dijangkau oleh keawaman umat. Saya hanya menggunakan kriteria dan
batasan ulama menurut al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin yang menyebutkan,
ulama adalah seorang yang rajin beribadah, zuhud, alim dalam berbagai bidang
ilmu, khususnya ilmu-ilmu ukhrawi, senantiasa ikhlas karena Allah dan faqih
dalam segala aspek kemaslahatan umat.
Dari kriteria itu, yang seringkali tidak dipahami secara benar adalah sebutan
faqih bagi ulama. Ada dua pengertian yang hampir sama, yakni faqih dan
mutafaqqih. Faqih secara harfiah berarti seorang yang alim fiqih. Sementara
mutafaqqih adalah orang yang menguasai fiqih. Kedudukan faqih berada di atas
mutafaqqih, karena di dalam mengkaji masalah-masalah fiqih seorang faqih tidak
hanya memahami teks-teks kodifikasi fiqih yang sudah matang, akan tetapi juga
melalui kajian-kajian suplementer, seperti ushul al-fiqh, qowa'id al-fiqh, ishtilah
al-fuqaha' dan lain sebagainya. Sedangkan mutafaqqih adalah seorang yang hanya

menguasai masalah-masalah yang telah terbukukan dalam kitab fiqih yang ada.
(KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS)
Mengapa isu krisis ulama muncul? Barangkali melalui tarikan garis historis
yang panjang kita akan dapat menyimak munculnya isu itu. Semenjak beberapa
abad yang lalu, konsep fiqih yang berlaku di tengah-tengah masyarakat Indonesia
sempat menjadi sumber nilai. Fiqih tidak saja berlaku sebagai norma yang
berwatak legalistik, tapi juga mewarnai sikap dan perilaku masyarakat. Bahkan
sebagian konsep tersebut telah dianggap sebagai subkultur yang telah menyatu
dengan kehidupan yang ada.
Kecenderungan seperti ini sebagai hasil nyata dari kemampuan para ulama
yang telah mencoba memasyarakatkan fiqih, dengan pendekatan kultural
sedemikian rupa, sehingga perubahan budaya dengan nilai-nilai Islami dari ajaran
fiqih berjalan beriringan begitu mulus tanpa menimbulkan kerawanan yang berarti.
Secara konvensional, ajaran-ajaran fiqih itu dimodifikasi oleh para ulama
sedemikian rupa sesuai dengan tradisi yang ada pada zamannya.
Membicarakan masalah ulama, konsep-konsep dan keadaan masyarakat
yang berbudaya fiqih tentu tidak mungkin lepas dari membicarakan eksistensi
pesantren yang telah memberikan kontribusi paling besar bagi pembudayaan fiqih
itu sendiri. Sejak berdirinya, pesantren merupakan lembaga tafaqquh fiddin
(memahami agama) yang begitu kuat, mengakar dan sekaligus diterima oleh
masyarakat pada zamannya. Lembaga ini memang lahir di tengah-tengah
masyarakat kelas bawah, sehingga warna konvensional sangat pekat tampak dalam
sikap, langkah dan pemikiran pesantren.
Namun justru berangkat dari kesederhanaan demikian, pesantren menjadi
lebih mudah mengakomodasikan nilai-nilai fiqih ke dalam kehidupan yang ada.
Bagaimanapun, masyarakat lebih suka menerima hal-hal yang tidak terlalu asing,
aneh, dan berkesan baru serta modern bagi segala aspek perilaku kehidupannya.
Masyarakat pada masa itu cenderung menolak apa saja datang dari penjajah, tentu
saja bercorak modern, baru dan asing. Hal ini malah semakin mendukung langkah
pesantren dalam mengkonsumsikan ajaran-ajaran fiqih.
Sebagai lembaga tafaqquh fiddin, pesantren membekali para santrinya
dengan ilmu-ilmu yang bermuara pada pendalaman masail diniyah (masalahmasalah agama). Ilmu-ilmu fiqih paling kuat mempunyai manfaat dalam hal itu,
karenanya pesantren menjadi getol mengkajinya ketimbang ilmu-ilmu yang lain,
meski tidak berarti meninggalkannya. Kekentalan eksistensi pesantren sebagai
lembaga tafaqquh fiddin berjalan beberapa abad lamanya sampai suatu saat ketika
pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan bentuk pendidikan baru yang
benama sekolah, untuk mengimbangi pengaruh pesantren.
Perubahan pun tak terelakkan lagi. Pesantren juga mengimbangi sistem
klasikal yang dimiliki oleh sekolah dengan mendirikan lembaga pendidikan dalam

pesantren yang bertitel madrasah, yang secara harfiah adalah terjemahan dari
sekolah.
Pada mulanya, pesantren dengan madrasahnya itu, meski wilayah
garapannya bertambah akan tetapi justru semakin memantapkan eksistensinya di
tengah masyarakat. Madrasah sebagai wujud pengembangan pesantren, juga tetap
menitikberatkan tafaqquh fiddin sebagai garapan utamanya. Hanya saja, sistem dan
metodenya berbeda dengan pesantren tradisional (salaf). Madrasah-madrasah
pesantren pada waktu itu belum mengenal sertifikasi bagi setiap lulusannya dan
juga akreditasi sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan lain.
Baru ketika mulai diperkenalkan pendidikan guru agama oleh pemerintah
yang diikuti dengan pengangkatan guru negeri dengan gaji tetap, maka mulai
tampak pergeseran nilai-nilai ikhlas, dari menuntut ilmu li wajhillah menjadi
karena ijasah. Dampaknya, eksistensi pesantren menjadi kabur, bahkan hilang
identitasnya secara perlahan.
Fenomena pergeseran nilai semacam itu tidak bisa semata-mata diartikan
sebagai kemunduran pesantren secara total. Sampai saat ini masih cukup banyak
ditemukan pesantren tradisional, baik di Jawa maupun luar Jawa, meski profilnya
tentu saja tidak seperti yang ada pada tahun 60-an ke belakang, di mana para
alumnus pesantren masih dapat digolongkan sebagai mutafaqqih. Pergeseran
tersebut hanya merupakan kasus secara individual, yang menimpa para insan
pesantren dan bukan secara kolektif.
Lalu di mana letak krisis ulama terjadi? Kembali kepada kriteria al-Ghazali
tentang ulama yang representatif dan mumpuni, maka kita bisa melihat dan
menyimak nilai-nilai ikhlas telah tercederai oleh faktor-faktor eksternal. Produk
yang lahir dari kaburnya orientasi itu adalah alumnus-alumnus pesantren yang
kurang representatif untuk disebut ulama. Memang, kita tidak bisa
mengambinghitamkan begitu saja terhadap faktor-faktor eksternal.
Kita tidak boleh menutup mata terhadap berkurangnya animo santri sekarang
ini untuk menggali kitab kuning secara baik dan benar. Bahkan ada beberapa pihak
yang mencoba mencari jalan pintas di dalam mengkaji ilmu-ilmu agama dengan
jalur penterjemahan kitab-kitab kuning, yang tentu saja tidak akan bisa sama persis
dengan aslinya. Ini tidak kecil efek negatifnya, apalagi bagi orang yang telah
berkecimpung lama di dunia pesantren. Ada reduksi dan kemerosotan yang sangat
terasa, sebagai kesenjangan yang kentara dan tidak mustahil akan berubah menjadi
satu-satunya momok bagi perjalanan pesantren.
Isu krisis ulama agaknya pernah coba dihadapi dan ditanggulangi oleh
beberapa pihak, khususnya oleh pemerintah. Lebih dari setengah dasawarsa yang
lalu, ada semacam langkah untuk mengisi posisi ulama dalam kehidupan yang
semakin menuntut peran ulama lebih besar lagi. Meskipun banyak pihak yang
kurang sependapat dengan isu kekosongan ulama, akan tetapi jumlah kuantitas

umat yang kian bertambah, tentu tidak akan cukup hanya dihadapi dengan jumlah
pemuka agama yang masih bisa dihitung dengan jari. Akan tetapi langkah tersebut
ternyata tidak efektif, bahkan menimbulkan kesan akan menggeser posisi sentral
ulama sebagai legitimator masalah-masalah fiqhiyah.
Gambaran situasi di atas sebagai kenyataan dan tantangan serius bagi para
ulama dan pesantrennya, sekaligus merupakan dorongan yang kuat terhadap
kebutuhan adanya lembaga kader fuqaha'(ahli-ahli ilmu fiqih) yang rapih dengan
manajemen dan pendanaan yang memadahi.
Kebutuhan dan urgensi akan lembaga ini pernah muncul dan dibahas dalam
sebuah forum ulama pada sekitar tiga tahun lalu. Waktu itu, alhamdulillah
sambutan para ulama cukup positif. Saya beserta para ulama pengasuh pesantren
yang hadir mencoba memformulasikan lembaga yang ideal bagi penempaan kaderkader fuqoha yang alami, zuhud dan ikhlas itu.Alhamdulillah pula, gaung yang
ada terus bersambut. Pihak-pihak yang merasa terkait kemudian mencoba untuk
berpartisipasi. Sebagai contoh, lahirlah madrasah aliyah program khusus yang
diprakarsai Departemen Agama. Namun tentu saja hal itu masih belum mencukupi
kebutuhan. Kita masih menanti uluran tangan dan partisipasi penuh dari umat
sekalian.
Pendidikan Sosial Keagamaan
Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang membentuk watak dan
perilaku secara sistematis, terencana dan terarah. Sedangkan sosial, secara
ensiklopedis berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat atau secara
abstraksis berarti masalah-masalah kemasyarakatan yang menyangkut pelbagai
fenomena hidup dan kehidupan orang banyak, baik dilihat dari sisi mikro
individual maupun makro kolektif. Dengan demikian, sosial keagamaan berarti
masalah-masalah sosial yang mempunyai implikasi dengan ajaran Islam atau
sekurang-kurangnya mempunyai nilai Islamiah.
Pendidikan sosial keagamaan seperti pada lazimnya mempunyai tujuan,
media dan metoda serta sistem evaluasi. Media dalam hal ini bisa berupa
kurikulum atau bentuk-bentuk kegiatan nyata. Yang terakhir inilah yang akan
menjadi pembahasan dalam tulisan ini.
Ajaran Islam atau lebih khusus syariat Islam, mempunyai titik singgung
yang sangat kompleks dengan masalah-masalah sosial. Karena, syariat Islam itu
sendiri justru mengatur hubungan antara manusia (individual mau pun kelompok)
dengan Allah SWT, antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam
lingkungannya.
Hubungan pertama terumuskan dalam bentuk ibadah (baik individual
maupun sosial). Interaksi kedua terumuskan dalam bentuk muamalah dan
muasyarah. Prinsip mu'amalah dalam Islam, tidak menitikberatkan pada

penguasaan mutlak bagi kelompok atas pemilikan alam, sehingga menjadikan


penguasaan individual, sebagaimana paham sosialisme (al-isytirakiyah almutlaqah). Ia juga tidak menitikberatkan penguasaan bagi individu secara mutlak
yang cenderung pada sikap monopoli tanpa memiliki konsen (kepedulian) terhadap
yang lain, sebagaimana dalam kapitalisme (al-ra'sumaliah al-mutlaqah).
Akan tetapi Islam menghargai hak penguasaan individual yang diimbangi
dengan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing dan tanggung jawab
kelompok. Pembuktian prinsip ini bisa dilihat pada pelbagai hal, antara lain
berlakunya hukum waris, zakat, nafkah, larangan judi, larangan menimbun barang
kebutuhan pokok sehari-hari dan lain-lain.
Sedangkan prinsip muasyarah dalam Islam dapat dilihat dalam pelbagai
dimensi kepentingan dan struktur sosial. Dalam kepentingan kemaslahatan umum,
kaum Muslimin dituntut oleh ajaran Islam sendiri agar bekerja sama dengan penuh
tasamuh (toleransi) dengan pihak-pihak di luar Islam. Sedangkan antara kaum
Muslimin sendiri, Islam telah mengatur hubungan interaksinya dalam kerangka
ukhuwah Islamiah bagi segala bentuk sikap dan pelilaku pergaulan sehari-hari.
Dari sisi struktur sosial yang menyangkut stratifikasi sosial bisa dilihat,
bagaimana ajaran Islam mengatur interaksinya, misalnya hubungan lingkar balik
antara ulama, umara' (pemerintah), aghniya (orang kaya) dan kelompok fuqara
(orang fakir). Pendek kata, dalam Islam terdapat aturan terinci mengenai
muasyarah antara pelbagai kelompok sosial dengan pelbagai status masingmasing.
Disiplin sosial secara sosiologis dapat diartikan sebagai suatu proses atau
keadaan ketaatan umum atau dapat juga disebut sebagai ketertiban umum.
Ketertiban itu sendiri merupakan aturan muasyarah antar masyarakat baik yang
ditentukan oleh perundang-undangan mau pun yang tidak tertulis, hasil bentukan
dari suatu kultur atau budaya. Dapat juga, ia merupakan nilai-nilai yang berlaku,
baik yang berorientasi pada budaya mau pun agama.
Bagi Islam, bentuk disiplin sosial adalah kesadaran menghayati dan
melakukan hak dan kewajiban bagi para pemeluknya, baik dalam sikap, perilaku,
perkataan perbuatan mau pun pemikiran. Dalam hal ini, di dalam Islam dikenal ada
huquq Allah (hak-hak Allah) dan huquq al-Adami (hak-hak manusia). Sedangkan
hak-hak manusia pada hakikatnya adalah kewajiban-kewajiban atas yang lain. Bila
hak dan kewajiban masing-masing bisa dipenuhi, maka tentu akan timbul sikapsikap sebagai berikut: Solidaritas sosial (al-takaaful al-ijtima'i), toleransi (altasamuh), mutualitas/kerjasama (al-taawun), tengah-tengah (al-i'tidal), dan
stabilitas (al-tsabat).
Sikap-sikap itu merupakan disiplin sosial yang sangat erat hubungannya
dengan ajaran Islam yang mempunyai cakupan luas, seluas aspek kehidupan yang
berarti, bahwa Islam sebenarnya mampu menjadi sumber referensi nilai bagi

bentuk-bentak kehidupan sosial. Lebih dari itu, mengaktualisasikan sikap-sikap itu


dengan motivasi ajaran dan perintah agama, berarti melakukan ibadah. Disiplin
sosial dapat juga identik dengan ibadah dalam Islam (dengan amal).
Dari uraian pada ketiga kerangka di atas, dapatlah diambil kesimpulan,
bahwa masalah-masalah sosial ke agamaan Islam meliputi semua aspek kehidupan
sosial sementara itu ajaran Islam telah meletakkan landasan yang kuat dan fleksibel
bagi sikap dan perilaku dalam disiplin sosial.
Pendidikan ke arah itu sebenarnya implisit masuk dalam pendidikan Islam.
Karena pendidikan Islam seutuhuya yang menyangkut iman (aspek aqidah), Islam
(aspek syariah), hubungan antar manusia (muamalah) dan ihsan (aspek akhlaq,
etika dan tasawuf) akan berarti melibatkan semua aspek rohani dan jasmani bagi
kehidupan manusia sebagai makhluk individual mau pun makhluk sosial. (***)

Pendidikan Berbasis karakter

"Begitu terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dalam


berbagai kesempatan mengemukakan pendapatnya, Untuk membangun bangsa
ini dengan melakukan revolusi mental.
Revolusi mental hanya bisa diwujudkan melalui dunia pendidikan
(Gramsci). Dalam era globalisasi yang terjadi saat ini membawa masyarakat
Indonesia melupakan pendidikan karakter bangsa. Padahal, pendidikan karakter
merupakan suatu pondasi bangsa yang sangat penting dan perlu ditanamkan dini
kepada anak-anak. Dari kasus kekerasan yang semakin marak di tanah air ini
menunjukan bahwa masyarakat ternyata mampu melakukan tindak kekerasan
yang sebelumnya mungkin belum pernah terbayangkan. Hal ini karena globalisasi
telah membawa kita pada penuhanan materi sehingga terjadi ketidakseimbangan
antara pembangunan ekonomi dan tradisi kebudayaan masyarakat.
Banyak faktor yang menyebabkan runtuhnya karakter bangsa Indonesia
pada saat ini. Di antaranya adalah faktor pendidikan. Kita tentu sadar bahwa
pendidikan merupakan mekanisme institusional yang akan mengakselerasi
pembinaan karakter bangsa dan juga berfungsi sebagai arena mencapai tiga hal
prinsipal dalam pembinaan karakter bangsa.
Ada tiga hal prinsipal dalam membangun karakter bangsa; Pertama,
pendidikan sebagai arena untuk re-aktivasi karakter luhur bangsa Indonesia. Secara
historis bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki karakter kepahlawanan ,
nasionalisme , sifat heroik, semangat kerja keras serta berani menghadapi
tantangan. Kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lampau adalah bukti
keberhasilan pembangunan karakter yang mencetak masyarakat maju, berbudaya
dan berpengaruh.
Kedua, pendidikan sebagai sarana untuk membangkitkan suatu karakter
bangsa yang dapat mengakselerasi pembangunan sekaligus memobilisasi potensi
domestik untuk meningkatkan daya saing bangsa.
Ketiga, pendidikan sebagai sarana untuk menginternalisasi kedua aspek di
atas, yakni se-aktivasi sukses budaya masa lampau dan karakter inovatif serta
kompetitif , ke dalam segenap sendi-sendi kehidupan bangsa dan program
pemerintah. Internalisasi ini harus berupa suatu concerted efforts dari seluruh
instansi dan pemerintah.
Berdasar fenomena tersebut dan menyadari akan pentingnya pendidikan
berbasis karakter sebagai tindak lanjut dan jalan keluar dari berbagai masalah dan
testimoni tantangan multidimensional dunia pendidikan.
Di mana dunia pendidikan di Indonesia dinilai belum mendorong
pembangunan bangsa. Hal ini disebabkan oleh ukuran-ukuran dalam pendidikan
tidak dikembalikan pada karakter peserta didik, tapi dikembalikan pada pasar.

Pendidikan nasional belum mampu mencerahkan bangsa ini. Pendidikan nasional


telah kehilangan nilai-nilai luhur kemanusiaan, padahal pendidikan seharusnya
memberikan pencerahan nilai-nilai luhur. Dunia pendidikan telah kehilangan
ruhnya lantaran tunduk dengan pasar bukan pencerahan pada peserta didik.Pasar
tanpa karakter akan hancur dan akan menghilangkan aspek-aspek manusia dan
kemanusiaan , karena kehilangan karakter itu sendiri.
Selain itu faktor kemunduran bangsa Indonesia adalah karena bobroknya
mental pejabat di pemerintahan. Ini bisa dilihat dari skor korupsi, di mana
Indonesia merupakan rangking tertinggi sebagai negara terkorup se Asia Tenggara.
Jika melihat kondisi terburuk dalam korupsi, maka pantaslah bangsa
Indonesia mengalami kemunduran dalam berbagai macam posisi di dunia. Untuk
mengawasi permasalahan tersebut, pemerintahan yang terbentuk di bawah Kabinet
duet H. Joko Widodo dan H. Yusuf Kala (Jokowi-Kala), pemerintah harus
membina membangun bangsa dengan menanamkan nilai-nilai positif (pendidikan
berbasis karakter), agar bangsa Indonesia memiliki karakter yang positif dan
mampu bersaing dengan negara lain di era globalisasi.
Gagasan pembangunan bangsa yang unggul sebenarnya telah ada sejak awal
kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Di
mana Presiden Soekarno pada waktu itu telah menyatakan perlunya nation and
character building sebagai bagian integral dari pembangunan bangsa.
Ir Soekarno (Presiden 1) pada waktu itu menyadari bahwa karakter bangsa
berperan besar dalam mempertahankan eksistensi bangsa Indonesia. Cukup banyak
fakta empiris yang membuktikan bahwa karakter bangsa yang kuat berperan besar
dalam mencapai tingkat keberhasilan dan kemajuan bangsa. Contoh pertama
adalah bangsa Cina. Negeri Cina dikatakan tidak lebih makmur di banding
Indonesia pada tahun 1970-an.
Namun, dalam kurun kurang lebih 30 tahun, dengan disiplin baja dan kerja
keras, Cina telah berhasil bangkit menggerakan mesin produksi nasionalnya.
Budaya disiplin Cina tercermin dari berhasilnya negeri ini menekan masalah
korupsi di kalangan birokrat (pemerintahan) tanpa pandang bulu baik secara
struktural maupun substansial.
Sementara itu, budaya kerja keras menampak pada semangat rakyat Cina
untuk bersedia selama 7 hari dalam seminggu untuk bekerja demi mencapai
keunggulan dan kejayaan negerinya. Saat ini Cina tidak saja menjadi pengekspor
terbesar, akan tetapi produksi ekspor Cina semakin banyak yang memiliki
kandungan teknologi menengah dan teknologi tinggi.
Contoh lainnya adalah India. Negeri India telah berhasil menjadi
berswasembada pangan. Dengan jumlah penduduk kedua terbesar sedunia,
pencapaian posisi kesanggupan memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri
merupakan prestasi yang membanggakan. Keberhasilan ini didorong keinginan

yang kuat (karakter) bangsa India untuk dan membangun dengan kemampuan
sendiri atau dikenal dengan budaya swadesi.
Prinsip inilah yang membuat India tumbuh menjadi negara paling mandiri di
Asia saat ini. Berbagai kebutuhan hidup mulai dari paling sederhana seperti sabun
mandi hingga mobil, mesin-mesin industri, kapal laut bahkan pesawat terbang
dibuat sendiri. Meskipun produk-produk tersebut kualitasnya rendah (tidak
mempunyai keunggulan kompetitif) dengan bangsa Jepang maupun barat, namun
semangat Swadesi (cinta produk dalam negeri) secara komparatif produk-produk
domestik India telah menjadikan ketergantungan India terhadap produk impor yang
sangat rendah. Ekonomi India bukanlah yang terbaik di Asia, namun hutang luar
negeri India tidak ada (zero).
Karakter bangsa-bangsa lainnya juga hampir sama.Prinsipnya adalah ada
kombinasi antara semangat juang, disiplin, dan kerja keras. Indonesia yang
memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah ruah
seharusnya dapat menjadi salah satu bangsa yang unggul di kancah dunia. Namun,
untuk mencapai hal tersebut bangsa Indonesia haruslah berbenah diri terlebih
dahulu dan harus membangun bangsa ini dengan menumbuhkan karakter positif
diri setiap bangsa Indonesia. Pemerintah Jokowi-JK sebagai rregulator dan
instruktur bahkan sekaligus dirigen dari kabinet sudah terbentuk sejak bulan
Oktober 2014 perlu membangun langkah-langkah strategis agar dapat membentuk
karakter bangsa Indonesia yang unggul dan siap bersaing dengan bangsa lain di era
globalisasi.
Beberapa langkah yang dapat diambil pemerintah untuk membangun
karakter bangsa antara lain: Pertama, menginternalisasikan pendidikan karakter
pada instansi pendidikan sejak tingkat dini atau anak-anak. Kedua, menanamkan
sebuah koordinasi gerakan revitalisasi kebangsaan bersama generasi muda, yang
diarahkan terutama pada penguatan ketahanan masyarakat dan bangsa terhadap
upaya nihilisasi pihak luar terhadap nilai-nilai budaya positif bangsa Indonesia.
Ketiga, meningkatkan daya saing bangsa dalam bentuk kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Daya saing sebagai salah satu keunggulan yang
dimiliki suatu entitas dibandingkan entitas lainnya, bukanlah baru muncul di era
abad ke 21 sekarang ini namun sudah muncul sejak jaman yang lampau. Daya
saing di sini tentunya harus dipahami dalam arti yang lebih luas. Peran teknologi
dan informasi serta telekomunikasi hanya sebatas mempercepat sekaligus
memperbesar peran daya saing dalam menentukan keunggulan suatu entitas
dibandingkan dengan entitas lainnya.
Keempat, menggunakan media sebagai penyalur upaya pembangunan
karakter bangsa. Dimana peran media ada tiga yakni sebagai informasi, edukasi
dan hiburan. Peran strategis ini dapat diberdayakan pemerintah dengan kerja sama

yang baik antara pemerintah dan pemilik media dalam penayangan informasi yang
positif dan mendorong karakter bangsa yang kompetitif.
Keempat langkah di atas hanyalah sebagian dari langkah-langkah strategis
yang dapat diambil oleh pemerintahan yang baru akan terbentuk untuk
membangun karakter bangsa ini. Masih banyak cara yang dapat ditempuh agar
dunia pendidikan bangsa ini memiliki kapasitas daya saing yang tinggi, agar
mampu memberikan komplementasi baik keunggulan komparatif maupun
kompetitif pada persaingan global sehingga mampu menyumbangkan dan
memberikan peran pada sektor perekonomian dan sektor-sektor lainnnya. Semoga!
(***)
Makalah
ini
dimuat
di
http://www.muslimedianews.com/2015/02/membangun-pendidikan-berbasiskarakter.html 20 Februari 2015

10

Misi Pendidikan Islam

Masalah pendidikan di negara kita telah menarik perhatian berbagai kalangan,


mengingat pendidikan belum bisa beranjak dari masalah-masalah dari kurang
berkualitasnya para lulusan sekolah , masih banyaknya guru yang mismatch
sampai kurang memadainya gaji para guru yang menyebabkan proses pengajaran
mereka lakukan kurang terkonsentrasi.
Berbagai upaya perbaikan telah dilakukan dengan dibuatnya undang-undang
yang menjamin pendidikan yang memadai hingga peningkatan insentif guru. Tetapi
masalah pendidikan itu belum kunjung reda. Dari aspek kualitas pendidikan, kita
berada jauh di bawah negara-negara maju, bahkan jika kita bandingkan dengan
negara tetangga kita yakni Malaysia dan Philipina. Belum lagi kalau kita tengok
kepada bangsa Indonesia pendidikan semakin hari semakin merosot moralnya.
Buruknya kondisi moral bangsa ini tetntunya berkaitan dengan tidak berhasilnya
misi pendidikan.
Banyak orang menilai bahwa kegagalan pendidikan di negeri ini pada
umumnya disebabkan kurang diarahkannya pendidikan kita pada pembentukan
karakter bangsa (nation caracter building). Pengajaran di sekolah sekolah atau
perguruan tinggi hanya difokuskan pada penguasaan siswa terhadap pelajaranpelajaran yang diberikan. Mengenai masalah ini, pendidikan kita memang berhasil
meluluskan para anak didiknya setiap tahun dari berbagai pendidikan tinggi dan
sekolah, sehingga secara statistik jumlah orang pintar selalu bertambah.
Kalau pendidikan pada umumnya kurang memberi perhatian pada aspek
pembentukann karakter, hal ini kelihatannya lebih ditangani oleh lembaga lembaga
pendidikan agama. Sesuai dengan tradisinya, pendidikan Islam sebenarnya lebih
menekankan pada aspek pendidikan karakter, seperti terlihat dari berbagai aspek
materi yang diajarkannya. Akan tetapi sekolah-sekolah agama pun sekarang ini
terkesan telah meninggalkan habitatnya. Mereka justru telah meninggalkan
tradisinya hanya untuk melayani kebutuhan umum yang dikelola pesantren ,
misalnya, sama saja dengan pembelajaran sekolah-sekolah umum yang memeberi
pelajaran sekuler dengan meninggalkan pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan
budi pekerti dan akhlak.
Sudah menjadi pemahaman umum di kalangan kaum muslimin bahwa
mencari ilmu pengetahuan merupakan keharusan atau mendekati kewajiban
mengingat pengetahuan manusia itu hidup dan dengan pengetahuan pula mereka
mengabdi kepada Allah SWT sesuai dengan hadist Rasulullah SAW, Mencari

ilmu itu merupakan kewajiban (faridhotun) bagi umat Islam baik laki-laki maupun
perempuan. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadist Nabi Muhammad
SAW,Carilah ilmu sejak kamu dalam ayunan sampai kamu masuk liang kubur.
Allah SWT secara tegas memberikan penghargaan kepada mereka yang
berpengetahuan dan mengangkat derajat oraang-orang yang berilmu. Allah
mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang orang yang berilmu
melebihi orang lainnya: QS Adzariyat : 56).
Ketinggian derajat orang yang berilmu itu jelas terlihat dalam kehidupan
bermasyarakat kita. Orang-orang yang berilmu itu telah menjadi penerang dalam
mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan kita sebagai manusia.
Jadi benarlah apa yang diungkapkan melalui sebuah kata ulama bahwa ilmu itu
adalah cahaya, karena dengan ilmu lah manusia mendapat jalan terang untuk
mengarungi kehidupannya. Penghargaan terhadap orang berilmu sendiri juga
disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, khoirunnas anfauhum linnas (Yang
paling bagus di antara kamu adalah yang paling bermanfaat bagi manusia).
Sejarah Islam telah memperlihatkan bahwa melalui ajarannya yang
menganjurkan pencarian pengetahuan yang menyebabkan masyarakat Islam
menjadi masyarakat yang berbudaya tinggi (civilized). Perkembangan pengetahuan
dalam masa Islam awal telah melahirkan berbagai macam ahli yang kemudian bisa
menerangi dunia dengan pengetahuannya.
Dengan berbagai tuntutan yang dikemukakan di atas, apa yang disodorkan
oleh Islam sebenarnya bisa disederhanakan pada apa yang disebut longlife
education. Ini berarti bahwa pendidikan dalam Islam bukan hanya pembelajaran
di dalam kelas , di mana para murid mendapatkan pengetahuan dari para guru.
Pendidikan dalam Islam haruslah dijadikan sebagai media pembentukan watak dan
karakter, sehingga anak didik tidak hanya pintar, tetapi juga berperadaban secara
pengetahuan atau berakhlaq. Akhlaq itu bukan hanya aspek moralitas tingkah laku
atau sopan santun manusia, tetapi juga menyangkut sikap , pandangan atau bahkan
karakter seorang muslim.
Dengan demikian, pendidikan adalah totalitas pembentukan manusia supaya
berguna bagi sesamanya dengan mempunyai akhlaq yang tinggi. Imam Ghozali
merumuskan akhlaq sebagai potensi yang dipunyai manusia dalam kaitan manusia
berperan sebagai khalifatul fil ardhi. Potensi ini harus diarahkan agar bisa
memberikan manfaat bagi kehidupan manusia pada umumnya.
Pendidikan, sekali lagi harus dapat memberikan manfaat bagi kemanusiaan,
yakni ketika pendidikan mampu membentuk manusia-manusia yang tidak hanya
pintar tapi juga berakhlaq atau berperadaban. Sering dikatakan orang bahwa
menjadi orang pintar itu gampang, sebab dengan disekolahkan orang akan menjadi
pintar, artinya mempunyai pengetahuan. Yang tidak mudah adalah membentuk
manusia pintar dan berakhlaq.

Imam Ghozali membedakan akhlaq itu ke dalam akhlaq karimah dan akhlaq
madzummah. Ahlaq karimah adalah potensi manusia yang direalisasikan dalam
kehidupan nya yang memberi manfaat bagi sesama manusia. Sedangkan akhlaq
madzummah itu muncul ketika potensi manusia tidak memberikan manfaat bagi
manusia. Jadi dalam hal ini akhlaq tidak diartikan semata-mata sebagai sopan
santun, tetapi sebagai peradaban.
Akhlaq itu adab sebagaimana dikatakan Rasulullah SAW, addabani rabbi
fa ahsana tadibi. Memang berbeda Rasulullah SAW yang mengajari akhlaq
beliau adalah Allah SWT sehingga tadib nya tentu sempurna. Dalam Al Quran
disebutkan bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang berakhlaq mulia. Jadi ahlaq
mulia itu tidak hanya berkaitan dengan sopan santun tetapi juga sikap dan karakter
manusia yang diarahkan untuk memberikan manfaat bagi umat manusia.
Misi pendidikan
Ada dua konsep penting yang berkaitan yang berkaitan dengan keberadaan
manusia yang karenanya pendidikan yang kita lakukan juga diarahkan ke sana.
Konsep itu terangkum dalam firman Allah SWT, wa ma kholaqtul jinna wal insa
illa liyabudun, yang artinya adalah, tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali
untuk menyembah Ku. Perintah Allah SWT mengharapkan manusia agar menjadi
hamba yang Islam (yang taat) yang melaksanakan perintah-Nya.
Nilai-nilai yang terkandung dalam perintah Allah SWT ini bersifat universal.
Artinya hal itu berkaitan dengan ukuran yang sama dirumuskan oleh manusia. Al
Quran dalam hal ini mendorong manusia agar menjadi khalifatullah (khalifah
Allah) di bumi yang berarti menjadi hamba Allah yang mengurusi kehidupannya
dan kehidupan manusia lainnya. mengurusi itu mempunyai arti yang luas, tidak
hanya berarti menjadi pemimpin manusia juga mengekplorasi rahasia alam dan
lainnya untuk kepentingan umat manusia.
Karena itulah dalam pendidikan Islam anak didik itu dengan
pengetahuannya diarahkan untuk mempunyai tanggung jawab terhadap sesamanya.
Dengan berilmu manusia itu dibebani untuk membantu sesamanya dan
menciptakan tidak saja masyarakat yang religius tetapi juga masyarakat yang
makmur, tidak kekurangan.
Jadi misi pendidikan tidak saja membentuk kesalehan individu menjadi
abdullah (hablum minallah) belaka namun juga kesalehan sosial di mana seorang
manusia juga dituntut menjadi manusia yang baik secara sosial (kholifatullah).
Dalam konsep kholifatullah itulah dimensi akhlaq mendapatkan tempat, karena
salah satu aspek yang harus dipenuhi manusia untuk menjadi khalifatullah yang
berhasil adalah masalah keberadaban (akhlaq).
Pemenuhan kedua konsep di atas adalah bentuk ekspresi dari keimanan dan
keislaman umat Islam. Islam itu memang berkaitan dengan masalah akidah dan

syariah, yang menuntut manusia untuk mempersembahkan keimannya kepada


Allah SWT serta memberikan ketaatannya atas aturan aturan Nya. Sepertti sering
dinyatakan dalam ajaran Islam sendiri, pencapaian keduanya haruslah seimbang
dalam artian tidak ditinggal salah satunya, karena keduanya yakni hablumninnallah
dan hablumminannas merupakan hal yang saling berkaitan dengan keislaman itu
sendiri.
Dalam dunia pendidikan, pengenalan kedua hal itu harus ditekankan karena
keduanya menjadi sumber pembentukan karakter para siswa. Jadi, pendidikan
Islam itu membentuk kesalehan secara menyeluruh. Orang yang saleh itu bukan
hanya yang taat beribadah, tetapi juga harus peduli dengan masalah kehidupan
sosial manusia. Dengan kata lain, kesalehan yang harus dibentuk melalui
pendidikan keagamaan juga kesalehan sosial dan kesalehan religius.
Orang yang taat sholat di masjid harus juga menjadi orang yang peduli
lingkungan dan orang yang mengikuti aturan sosial yang berlaku. Di jalanan,
misalnya, orang yang saleh itu harus menjadi pengendara yang baik, mentaati
semua peraturan lalu lintas, karena melakukan hal itu juga bagian dari keharusan
agama, yakni menjadi khalifah di muka bumi. Memang banyak nilai-nilai dan
ajaran Islam yang mendorong manusia untuk beradab tadi.
Misi pendidikan Islam sebaiknya diarahkan bagi terbentuknya manusia yang
mengabdi kepada Allah SWT dengan juga melakukan masalah keduniawiyannya
sebagai bagian dari pengabdiannya kepada Allah SWT. Jangan sampai pendidikan
yang dilakukan melulu untuk mencerdaskan bangsa dengan tanpa mengasah unsur
spritualnya. Demikian juga kurang sempurna pendidikan hanya bagi pembentukan
spiritual manusia dengan melupakan maslaah-masalah duniaawi di mana manusia
sendiri hidup. Penggabungan keduanya menjadi keharusan, sebab disamping
hamba yang taat menjadi kekasih Allah SWT, tetapi juga menjadi khalifah di muka
bumi yang mendapatkan nilai lebih dari Allah SWT. (***) Makalah ini dimuat di
http://www.muslimedianews.com/2015/03/misi-pendidikan-islam.html 8 Maret
2015

11

CATATAN PENUTUP
Meneladani Sang Insanul Kamil

Ihsannul kamil atau akhlaq paripurna atau budi pekerti mulia sebagaimana
dicontohkan dan digambarkan dalam perilaku Rasulullah SAW. Sungguh pada diri
Rasulullah SAW terdapat perilaku dan suri tauladan yang mulia dan terpuji.
Islam diakui sebagai agama yang istimewa karena hal ini oleh Allah sendiri
telah dinyatakan sebagai agama paripurna dan membentuk insane-insan yang
mulia. Inilah dinnul Islam yang lurus , agung , sempurna, abadi dan universal.
Tentu saja agama yang sempurna ini hanya mampu dibawa oleh seorang utusan
yang mulia dan sempurna pula. Utusan yang mengemban agama Tuhan yang
terakhir ini adalah nabi terakhir, Sayidunna Muhammad SAW.
Kekaguman kepada Rasulullah SAW tidak hanya diakui oleh orang Islam
sendiri, namun dunia Barat juga mengakuinya, sebagaimana mereka tulis dalam
buku-buku mereka. Adalah sarjana Barat Michael H Hart salah satu ilmuwan barat
yang mengakui dan mengagumi Rasulullah SAW, ia tulis dalam bukunya The 100
a Ranking of The Most Influential Person in History, yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul,Seratus Tokoh Yang
Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, dia menempatkan nama Nabi Muhammad
SAW pada rangking pertama. Dia menjatuhkan pilihan kepada Nabi Muhammad
SAW pada urutan pertama sebagai tokoh paling berpengaruh tentu mengejutkan
para pembacanya dan menjadi tanda Tanya sebagian yang lain.
Tapi saya berpegang pada keyakinan saya , dia (Nabi Muhammad SAWred) satu-satunya manusia dalam sejarah yang meraih sukses luar biasa , baik
ditilik dari sisi agama ataupun lingkup duniawi, demikian alasan Michael H Hart
sang penulis buku.
Sedemikian tinggi kedudukan agung Rasulullah SAW sehingga orang non
muslim seperti Michael H Hart pun sebagai sejarahwan besar kontemporer
mengakui dan kita atas umat Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk

mengikuti dan menjadikannya suri tauladan , karena inilah makna dari beriman
kepada Nabi Muhammad SAW termasuk mengamalkan al Quran dan al Hadist
menjadi bagian pokok dari tanggung jawab untuk mencontoh dan mengikuti ajaran
beliau.
Adalah Sunnah-sunnah beliau yang dahulu kita tinggalkan, mulailah kita
hidupkan kembali termasuk upaya untuk mengikuti beliau. Kewajiban kita adalah
mendahulukan sunnah-sunnah beliau di atas nalar pemikiran. Jangan sampai
mempertentangkan dengan Allah SWT sebab tidak mungkin beliau menyimpang
dari pada ajaran syariat Allah SWT. Selain itu beliau adalah Nabi terakhir sebagai
utusan Allah kepada ummat manusia sepanjang masa.
Jika pada zaman ini ada yang mempertentangkan Sunnah insan kamil ini
dengan Allah SWT atau dengan al Quran maka sudah barang tentu orang tersebut
telah terseret dalam kesesatan aqidah. Sebab tidak mungkin dan mustahil seorang
utusan seperti beliau bertentangkan dengan Allah dan tidak mungkin pula syariat
yang dibawanya menyimpang dari tuntunan Illahy.
Setiap kata yang terucap dari lisannya, perbuatan dan perangainya berada
dalam bingkai syariat dan tentunya itu semua datang dari Allah SWT yang telah
mengutus beliau sebagai Nabi. Hal ini senada dengan penjelasan Allah dalam Al
Quran, Dan tidaklah Dia (Nabi Muhammad SAW) berbicara dengan hawa nafsu
(keinginan dirinya semata), ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang diturunkan
(kepadanya). (QS An-Najm; 3-14).
Maka semua akhlaq Rasulullah adalah yang terbaik, perkataannya adalah
paling utama. Dengan mengikuti jejak Sang Insan Kamil ini dapat dipastikan kita
akan mendapat kebahagiaan dunia akherat.
Ayat Al Quran paling sarat memuji Nabi Muhammad SAW adalah ayat
berbunyi wa innaka laala khuluqin azhim, yang artinya sesungguhnya engkau
(hai Muhammad ) memiliki akhlak yang sangat agung. Kata khuluq berarti akhlak
secara linguistik mempunyai akar kata yang sama dengan khalq yang berarti
ciptaan. Bedanya kalau kalau khalq lebih bermakna ciptaan Allah yang bersifat
lahiriah dan fisikal, maka khuluq adalah ciptaan Allah yang bersifat batiniah.
Seorang sahabat pernah mengenang Nabi Muhammad SAW yang mulia
dengan kalimat kana rasulullah ahsanan nasi khalqan wa khuluqan, bahwa
Rasulullah SAW adalah manusia yang terbaik secara khalq dan khuluq. Dengan
demikian, Nabi Muhammad SAW adalah manusia sempurna dalam segala aspek,
baik lahiriah maupun batiniah.
Kesempurnaan lahiriah beliau sering kita dengar dari riwayat para sahabat
yang melaporkan tentang sifat-sifat beliau. Hindun bin Abi Halah misalnya
mendeskripsikan sifat-sifat lahiriah beliau bahwa Nabi Muhammad SAW adalah
seorang manusia yang sangat anggun, yang wajahnya bercahaya bagaikan bulan
purnama di saat sempurnanya. Badannya tinggi sedang.

Postur tubuh Nabi tegap. Rambutnya ikal dan panjang tidak melebihi daun
telinganya. Warna kulitnya terang. Dahinya luas. Alisnya memanjang halus,
bersambung dan indah. Sepotong urat halus membelah kedua alisnya yang akan
timbul saat marahnya. Hidungnya mancung sedikit membengkok, yang bagian
atasnya berkilau cahaya. Janggutnya lebat, pipinya halus. Matanya hitam.
Mulutnya sedang. Giginya putih tersusun rapi. Dadanya bidang dan berbulu ringan.
Lehernya putih, bersih dan kemerah-merahan. Perutnya rata dengan dadanya.
Bila berjalan, jalannya cepat laksana orang yang turun dari atas. Bila
menoleh, seluruh tubuhnya menoleh. Pandangannya lebih banyak ke arah bumi
ketimbang langit, sering merenung. Beliau mengiringi sahabat-sahabatnya di saat
berjalan, dan beliau jugalah yang memulai salam.
Deskripsi para sahabat Nabi tentang sifat-sifat manuisa agung seperti ini
sangat banyak. Namun ada yang fokus dari al-Quran tentang gambaran sifat Nabi
Muhammad SAW. Lalu apa yang menjadi fokus pandangan al-Quran terhadap
Nabi? Jawabnya adalah khuluq-nya alias akhlaqnya. Apa arti akhlak?
Kata Imam al-Ghazali, akhlak adalah wajah batiniah manusia. Ia bisa indah
dan juga bisa buruk. Akhlak yang indah disebut al khuluq al hasan; sementara
akhlak yang buruk disebut al khuluq as-sayyi. Akhlak yang baik adalah akhlak
yang mampu meletakan secara proporsional fakultas-fakultas yang ada di dalam
jiwa manusia. Ia mampu meletakkan dan menggunakan secara adil fakultasfakultas yang ada dalam dirinya: aqliyah (rasio), ghadabiyah (emosi),
syahwaniyyah (syahwat) dan wahmiyah (imajinasi).
Manusia yang berakhlak baik adalah yang tidak melampui batas dalam
menggunakan empat fakultas di atas dan tidak mengabaikannya secara total. Ia
akan sangat adil dan proposional di dalam menggunakan fakultas yang ada dalam
dirinya.
Orang yang menyandang khuluq al-hasan adalah orang yang mampu
meletakan secara proposional dalam membagi secara adil mana hak dunia dan hak
akhiratnya. Orang yang menyandang sifat ini akan memantulkan suatu bentuk
sangat indah lahiriah di dalam segala aspek kehidupan sehari-hari. Akhlak seperti
inilah yang ditunjukan Rasulullah SAW kepada umatnya.
Akhlak Nabi Muhammad SAW adalah cerminan al Quran. Bahkan beliau
sendiri adalah Al Quran hidup yang hadir di tengah-tengah umat manusia.
Membaca dan menghayati akhlak beliau berarti membaca dan menghayati isi
kandungan Al Quran. Itulah kenapa Siti Aisyah berkata akhlaq Nabi adalah alQuran.
Kecintaan kita tulus benar adanya, setiap langkah Nabi SAW pasti kita ikuti
dan diamalkan, itulah definisi cinta .Jika cintamu sungguh-sungguh pasti kamu
menaatinya, sesungguhnya orang yang cinta pasti taat pada orang yang
dicintainya.

Ekspresi gembira, bersukaria, memperbanyak shalawat dan puji-pujian atas


beliau, membaca sejarah , menghormati sahabat dan keturunan beliau serta
menziarahi makam beliau di Masjid Nabawi adalah wujud cinta kepada beliau
Sejak masa permulaan Rasulullah SAW mengajarkan agama Islam, banyak
mendapat tantangan dari kaum Quraisy penduduk Mekkah. Hanya belasan orang
saja yang mau menerima Islam. Karena itu penduduk Mekkah yang menolak
ajaran dalam Islam mengadakan tekanan, ancaman, dan siksaan kepada orangorang yang mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Sebab mereka dianggap telah
melanggar atau merusak agama nenek moyang mereka.
Ancaman , tekanan dan siksaan penduduk Mekkah yang tidak menyukai
agana Islam tersebut (kemudian kita sebut sebagai kaum kafir Quraisy) dirasakan
sangat berat bagi belasan orang yang telah masuk Islam ke tempat lain. Karena itu
mereka memohon ijin kepada Rasulullah SAW untuk hijrah ke tempat lain.
Rasulullah SAW mengijinkan dan atas saran Abu Thalib lalu Rasulullah SAW
menyuruh mereka pergi ke Habsyi (Abessinia, Ethiopia) di Afrika di mana rajanya
adalah seorang Nasharani yang saleh bernama Negus (Najasyi).
Peristiwa ini terjadi pada masa permulaan Islam diajarkan Rasulullah SAW
pada bulan Rajab tahun 12 sebelum Hijriah (615 M) atau pada tahun kelima setelah
kerasulan Nabi Muhammad SAW. Rombongan yang berhijrah terdiri dari 12 orang
pria dan 4 orang wanita. Mereka ini termasuk orang-orang yang mula-mula
menerima ajaran Islam dan disebut sebagai muslim awal / pemula (assabiqunal
awwalin)
Kebetulan saat itu di pelabuhan Syuaibah di Teluk Syuaibah sebelah
selatan Jeddah berlabuh dua buah perahu dagang yang segera akan berangkat
menuju ke pantai Afrika. Maka rombongan ikut menumpang perahu tersebut
sampai ke Massawa, sebuah pelabuhan di pantai Afrika wilayah Habsyi (Ethiopia).
Setelah mendarat di Massawa rombongan menuju ke kota Adulis (sekarang Zule)
di negeri Habsyi (Abesinia atau Ethiopia), kira kira 50 km sebelah tenggara kota
Massawa.
Negeri ini diperintah oleh seorang Raja Nashrani, Negus (Najasyi), tetapi
karena mengetahui bahwa ajaran Muhammad (Islam) tidak jauh berbeda dengan
ajaran Isa Al Masih , maka beliau memberikan perlindungan kepada kaum
muslimin yang hijrah dari Mekkah tersebut. Kaum kafirt Quraisy mendengar
keberangkatan rombongan 16 orang tersebut mengejar ke pelabuhan Syuaibah ,
namun rombongan kaum muslimin telah berangkat, sehingga tidak bertemu.
Beberapa orang di antara mereka yang mengungsi ini , ada yang pulang
kembali ke Mekkah setelah bermukim beberapa bulan tetapi ada yang setahun
lebih. Sebagian dari mereka ini kelak juga ada yang kembali ikut mengungsi dalam
peristiwa hijrah kedua. Tiga tahun kemudian, setelah rombongan kaum muhajirin
tiba di Adulis (zule) di Habsyi dan ternyata mereka kerasan karena memperoleh

perlindungan yang adil, menyusulah rombongan kedua pada tahun 617 M atau 9
tahun sebelum Hijriah atau tahun ke 8 sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW.
Rombongan hijrah kedua ini jumlahnya terdiri 83 orang pria dan 18 orang wanita.
Rombongan ini mencerminkan telah menyebarnya ajaran Islam di berbagai
kalangan marga di lingkungan suku Quraisy.
Perpindahan hijrah kedua ini rupa-rupanya terdengar oleh kaum Quraisy,
sehingga mereka khawatir kalau-kalau umat Islam di tempat barunya nanti akan
menjadi lebih kuat dan ajaran islam akan semakin menyebar. Maka untuk
mencegah jangan terjadi peningkatan kekuatan kaum muslimin dan penyebaran
Islam, kaum kafir Qurais mengutus dua orang pejabatnya yaitu Amr bin Ash dan
Abdullah bin Abu Rabiah dan dikawal Ammarah bin Walid untuk menghadap
Raja Najasyi dengan berbagai macam hadiah yang sangat berharga.
Hijrah yang ketiga kaum muslimin adalah yang paling besar dan paling
penting karena dikuti oleh seluruh kaum muslimin Mekkah beserta Rasulullah
SAW dan para sahabatnya. Hijrah ketiga ini membawa perubahan besar bagi
kehidupan kaum muslimin dan Islam sendiri. Sebab setelah hijrah dari Mekkah ke
Yatasrib, kaum muslimin dapat hidup bebas daari tekanan dan ancaman kaum kafir
Quraisy dan dapat mempraktikan kehidupan yang Islami, damai dan tentram secara
leluasa di Madinah. Di samping itu Rasulullah SAW bersama para sahabat
mempunyai kesempatan untuk menyusun strategi dakwah yang lebih canggih rapi
dan lengkap dan dakwah Islam memang memancar dari Madinah dan gencar ke
seluruh penjuru dunia dari tepi Timur sampai Barat.
Hijrah ketiga ini kemudian dijadikan permulaan perhitungan tahun dalam
kalender Islam karenya tahun itu dalam Islam disebut Tahun Hijriah. Sebab tidak
serta merta penggunaan hijrah itu sebagai awal perhitungan kalender Islam, karena
setelah 17 tahun hijrah terjadi kaum muslimin baru menggunakannya sebagai
permulaan kalender Islam. Itu pun setelah melalui perdebatan yang panjang , sebab
sebagian kaum muslimin menghendaki agar perhitungan tahun kalender Islam
dimulai dari lahirnya Rasulullah SAW atau saat kenabian Nabi Muhammad SAW
bahkan ada yang menginginkan agar dihitung sejak kewafatan Rasulullah SAW.
Periode Madinah ini mengedepankan ukhuwwah wathaniyyah,
persaudaraan lintas agama, periode ini berlangsung sekitar 10 tahun lamanya
dimulai sejak hijrah (perpindahan) Muhammad SAW beserta seluruh umat Islam
dari Mekkah ke kota Yatsrib (Madinah). Periode Madinah ini memberikan
kesempatan kepada Nabi Muhammad SAW untuk membangun tatanan masyarakat
sipil di bawah naungan Piagam Madinah. Dalam piagam yang memuat 47 pasal
itu, sungguh pun dibuat oleh mayoritas umat Islam, sama sekali tidak menyebut
asas Islam atau pun dasar al-Quran serta al-Hadist.
Substansi piagam Madinah merupakan refleksi atas rekonsiliasi antar etnis
dan agama guna membangun pranata sosial-masyarakat yang damai, aman dan

sentausa, bebas dari intimidasi, anti penindasan, anti sekterianisme, anti


diskriminasi dan anti proteksianisme. Karena itu, wajah Islam semakin fungsional
tidak sekedar normatif dan formalitas.
Sosok Islam yang fungsional inilah yang dirindukan oleh masyarakat Yatsrib
(golongan Ansor) yang dilanda konflik internal antar warga dan etnis. Kedatangan
Muhammad SAW yang berkepribadian luhur dan humanis dan pengikutnya
(Muhajirin) sudah barang tentu disambut baik oleh masyarakat Yatsrib (Madinah)
yang saat itu masyarakatnya terbilang majemuk (golongan Islam, Yahudi, Nasrani,
Paganis serta golongan kafir atau kaum musyrikin). Penghargaan masyarakat
Yatsrib kepada Nabi Muhammad SAW tidak hanya sambutan hangat semata,
namun juga kepercayaan masyarakat Yatsrib kepada Muhammad SAW untuk
memimpin masyarakat yang pluralistik tersebut.
Peristiwa hijrah Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah tersebar dengan
cepat. Para sahabat yang telah terlebih dahulu di Madinah tak kuasa menahan
rindu kepada pemimpin mereka yang tercinta, Nabi Muhammad SAW.Setiap hari
mereka menanti kedatangan Nabi SAW di tapal batas kota Madinah. Akhirnya saat
yang dinanti-nanti telah tiba. Rasulullah bersama Abu Bakar As-Shiddiq memasuki
kota Madinah dengan selamat.
Seketika wajah kota Madinah berubah total, menjadi bermandikan cahaya
lantaran hadirnya sosok yang mulia dan agung, sang pembawa budi pekerti yang
luhur yakni Rasulullah SAW.
Kegembiraan warga Madinah tak dapat dilukiskan dengan kata-kata .
Mereka menangis bahagia menyaksikan sang Kekasih yang selama ini dirindukan,
telah nampak di depan mata. Gejolak rindu yang telah lama terpendam dalam dada
tak kuasa lagi terbendung.Mata menangis bahagia, haru penuh rasa cinta
menembus sukma.
Anak-anak dan para perempuan yang sudah menjadi penduduk Madinah
(kaum Anshor) tampil menabuh rebana sembari melantunkan syair Shalawat Badar
sebagai sambutan atas kehadiran sang pembawa risalah Islam pari purna yakni
Nabi SAW:
Thalaal badru alaina
Min tsaniyatil wada
Wajabsy syukru alaina
Madaa lillahi da.
(Telah terbit purnama bersinar dari Bukit Wada . Wajiblah kita bersyukur tibanya
penyeru ke jalan Allah.)
Banyak gubahan syair saat menyambut kedatangan Rasulullah SAW di
hadapan para sahabat banyak dikarang oleh para ulama. Upacara ceremonial

maulid Nabi SAW ini banyak dinyanyikan saat Mahalul Qiyam (Shalawat Berdiri)
mulai dari Maulid Simthud Durar, Burdah, Barjanji, Ad Dibai, Azhabi, sampai Ad
Dhiaul Lami semua mengugah dan mengundang kita untuk menghadirkan sosok
sang manusia teragung dan mulia Habibuna murrobuna al Musthofa wal wafa
Nabiyuna alhady Muhammad SAW.Marhaban Ahlan wa sahlan.
Yaa Nabiy salaam alaika
Yaa rosuul salaam alaika
Wahai Nabi, salam sejahtera bagimu, wahai Rasul salam sejahtera bagimu
Yaa habiib salaam alaika
Sholawaatullaah alaika
Wahai kekasih salam sejahtera bagimu, Sholawat Allah bagi~mu.
Abrozallaahul musyaffa
Shoohibul qodril muroffa
Telah tiba dengan kehendak Allah Sang Pemberi Syafaat, Pemilik derajat yang
dimuliakan
Famalaan~nuurun~nawaahii
Amma kullal kauni ajma
Maka limpahan cahaya memenuhi segala penjuru, meliputi seluruh alam semesta
Nukkisat ashnaamu syirkin
Wa binaas-syirki tashodda
Maka berjatuhanlah patung patung berhala di kabah, dan bangunan kemusyrikan
pun roboh
Wa danaa waqtul hidaayah
Wa himaal kufri tazaza
Dan telah dekatlah waktu hidayah maka benteng kekufuran berguncang, saat saat
petunjuk,
Marhaban ahlan wa sahlan
Bika y dzal qodril arfa
Salam sjahteralah dan selamat datang padamu, wahai
Sang pemilik derajat yg mulia.
Ya imaamahlir risaalah
Man bihil aafaatu tudfa
Wahai imam para rosul, yang dengannya (saw) bencana bencana tertolakkan,
MARHABAN YA MARHABAN YA NUURO AINIY
MARHABAN JADDAL HUSAINI
MARHABAN MARHABAN
Anta fiil hasyri malaadzun
Laka kullul kholqi tafza
Engkaulah satu satunya tmpat brlindung dihari Qiyamat,

padamulah sluruh ciptaan ketakutan (sangat merisaukan tak mencepatkan Syafaat


dari beliau saw)
Wa yunaaduuna taroo maa
Qod dahaa min hawlin afdho
Kemudian mereka datang memanggil manggilmu, ketika menyaksikan dahsyatnya
kesulitan dan rintangan,
THOLAAL BADRU ALAINAA
MIN TSANIYYATIL WADAA
WAJABASY SYUKRU ALAINAA
MAA DAAA LILLAAHI DAA
Falahaa anta Fatasjud
Wa tunaadasyfa tusyaffa
Maka mereka itulah engkau (saw) bersujud,(kehadirat Tuhanmu), maka diserukan
padamu (oleh tuhanmu) berilah Syafaat, engkau telah diizinkan memberi
Syafaat
Faalaikalloohu shollaa
Maa badaannuuru wa syasya
Maka pada~mu limpahan sholawat dari Alloh, selama keabadian Yang Maha
Bercahaya dan masih bersinar terang benderang
Wa bika~rrohmaanu nas-al
Wa ilaahul arsyi yasma
Dan denganmu (menjadikanmu sebagai perantara) kami memohon pada Alloh
Arrohman, maka pencipta Arsy mendengar doa kami,
Ya adhiimal manni yaa Robb
Syamlanaa bil musthofaa~jma
Wahai Maha Pemberi Anugerah wahai Robb,
kumpulkanlah kepribadian kami dgn AlMusthofa (saw)
SHOLLALLAAHU ALAA MUHAMMAD (MARHABAN)
SHOLLALLAAHU ALAIHI WASALLAM (MARHABAN)
Wa bihi Fandhur ilainaa
Wathinaa bih kulla mathma
Dan dengan nya (saw) maka pandangilah kami dgn kasih sayang Mu, dan berilah
kami dengannya (kami menjadikan perantara saw) segala yg kami inginkan,
wakfinaa kullal balaayaa
Wadfail aafaati warfa
Dan hindarkanlah kami dari segala bencana, dan musnahkanlah segala kesulitan,
dan angkatlah sejauh jauhnya
Wasqinaa yaa Robb aghitsnaa (ya Alloh)
Bihayaan hatthooli yahma (ya Alloh)

dan siramilah kami (dengan Rahmat~Mu) wahai ROBB


tolonglah kami dgn kehidupan yg dicurahi Lebatnya Hujan Rahmat Mu
ROBBI FAGHFIRLIY DZUNUUBIY (Ya Alloh)
BI BARKATIL HAADIY MUSYAFFA (Ya Alloh)
Wakhtimil umro bihusnaa (Ya Alloh)
Wahsiniluqbaa wa marja (Ya Alloh)
dan akhirilah usia kami dgn Husnul Khotimah, dan. perbaikilah keadaan yang akan
datang dan saat kami kembali kepada Mu..
SHOLLALLAH ALA MUHAMMAD
SHOLLALLAH ALAIHI WASALLAM
Wa shollatullohi Taghsyaa
Man lahul husnu tajamma
dan terlimpah sholawat Alloh bagi yg terkumpul Padanya (saw) segala kebaikan,
Ahmadat thohro wa Aalih
Wash shohaabah massanaasya
Ahmad (saw) yg suci dan keluarganya, serta Para shohabatnya dengan Sholawat
yang selalu bercahaya terang benderang.
Kehadiran Rasulullah SAW serasa ada di depan mata. Rasulullah SAW pun
menyambutnya dengan penuh haru dan gembira sebagaimana wujud kegembiraan
warga Anshor. Sepanjang hidupnya beliau tidak pernah melarang tetabuhan dan
senandung syair yang dipersembahkan warga Madinah dalam menyambut beliau
tersebut.
Bahkan beberapa waktu kemudian, ketika beliau tiba dari perang Tabuk,
warga Madinah (kaum Anshor) kembali menyambut beliau dengan tetabuhan
rebana dan syair shalawat Badr tersebut di atas.
Rasa senang dan gembira warga Madinah akhirnya menjadi kebiasaan yang
dilakukan oleh Madinah dalam menyambut kehadiran Rasulullah SAW, mereka
wujudkan dengan senandung syair dan iringan tetabuhan rebana. Dan itu menjadi
sunnahlantaran Rasulullah SAW tidak melarangnya dengan cara
mendiamkannya, artinya Rasulullah SAW menyetujui perbuatan yang dilakukan
para sahabat dalam menyambutnya.
Dalam sebuah hadist riwayat Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad
diceritakan , ketika Rasulullah SAW tiba dari sebuah peperangan, seorang budak
wanita berkulit hitam legam datang menemui beliau membawa rebana sambil
berkata,Duhai Rasulullah SAW, aku telah bernazar, jika Allah mengembalikan
dirimu dalam keadaan selamat, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi di
hadapanmu.
Rasulullah SAW kemudian menjawab,Jika engkau telah bernazar,
tunaikanlah nazarmu. Jika tidak, jangan.

Wanita itupun kemudian menunaikan nazarnya. Ia kemudian menabuh


rebana sambil bernyanyi gembira penuh kerinduan di hadapan Rasulullah SAW
cukup lama.
Satu demi satu , sahabat utama Rasuullah SAW seperti Abu Bakar AsShiddiq, Utsman bin Afan dan Ali bin Abu Thalib datang menemui Nabi
Muhammad SAW. Tapi, perempuan Anshor itu tetap menabuh rebana dan
bernyanyi, sementara sang Nabi SAW tetap mendengarkan dan menikmati
lantunan senandung syair dan iringan rebana.
Ketika Umar bin Khattab tiba, perempuan tersebut berhenti dan
menyembunyikan rebana dengan mendudukinya. Rupa-rupanya perempuan itu
takut dengan sahabat Umar bin Khattab yang dikenal keras dan tegas.
Setelah keempat Khulafaur Rasyidin itu berkumpul di hadapan Rasulullah
SAW lu, beliau pun berkata , Hai Umar, sesungguhnya setan saja takut kepadamu.
Ketika aku duduk, perempuan itu menabuh rebana. Ketika Abu Bakar masuk, ia
tetap menabuh rebana. Ketika Ali masuk, ia tetap bernyanyi dan menabuh rebana
demikian pun ketika Ustman masuk. Akan tetapi, ketika engkau masuk, hai Umar,
wanita itu segera menghentikan dan menyembunyikan rebananya. (HR Tirmidzi).
Dengan demikian, peristiwa di atas menandakan bahwa Rasulullah SAW
tidak melarang kesenian rebana tersebut.Melantunkan syair semasa Rasulullah
SAW masih hidup juga pernah dilakukan oleh sayiddina Abbas bin Abdul Muthalib
seusai perang Tabuk dan Rasulullah SAW mendiamkannya, artinya beliau tidak
melarangnya.
Masyarakat baru tersebut (state) kemudian dideklarasikan dengan nama
Madinah al Munawwarah (kota yang disinari/dicerahkan) dengan mengambil
ibukota Madinah. Sungguhpun jumlah penduduk dan wilayah yang sedikit namun
kokohnya bangunan masyarakat warga Madinah, akhirnya mampu mewarnai
konstalasi politik global bangsa-bangsa dunia. Kekokohan masyarakat tersebut
dikuatkan dengan kesadaran persaudaraan dan persatuan antar warga yang sangat
tinggi sehingga terajut ukhuwwah imaniyah atau persaudaraan antar- iman yang
meliputi lintas agama dan kepercayaan; di samping juga ukhuwwah wathaniyyah,
persaudaraan antar etnis.
Kedamaian dan kemakmuran masyarakat Madinah akhirnya menjadi daya
tarik tersendiri bagai kawasan lain di Arab. Tidak berapa lama, masyarakat kota
Mekkah yang dulu anti-Muhammad SAW dan pengikutnya takluk kepada Madinah
tanpa pertumpahan darah. Setelah itu itu satu persatu semenanjung Arabia tertarik
dan bergabung di bawah payung pemerintah Madinah. Sampai akhirnya , tatkala
Nabi Muhammad SAW wafat, seluruh Semenanjung Arabia sudah menyatu dalam
satu pemerintahan. Bahkan di akhir masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW,
beberapa kawasan di Syam (Syiria), Persia dan Mesir tertarik untuk bergabung
bersama pemerintahan Madinah, karena ketiga negara tersebut sudah jenuh

ditindas oleh Kaisar Romawi dan Kisro Persia.


Masyarakat mutamaddin sebagai konotasi masyarakat sipil (warga) term
bentuk tarib (pengaraban) dari masyarakat warga (civil society) merupakan proses
tansformasi sosial budaya, sosial politik dan sosial ekonomi pada masyarakat
Madinah. Ini merupakan proses transformasi masyarakat sebagai mana yang terjadi
di bangsa bangsa Eropa modern (Civil Society).
Misi Islam, kemudian ditutup pada peristiwa Haji Wada satu-satunya ibadah
haji yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Tepatnya pada tahun 10 Hijriah,
Rasulullah SAW niatnya untuk melaksanakan haji pada tahun itu. Begitu
terdengar, berbondong-bondong ummat Islam datang ke Madinah hendak
mengikuti beliau. Empat hari menjelang habisnya bulan Dzulqodah selepas shalat
Dzuhur, beliau mulai berangkat dan mulai menunaikan ibadah haji sampai
memasuki bulan Dzulhijjah (Haji Qiran).
Tanggal 8 Dzulhijjah, tepatnya hari tarwiyah Rasulullah SAW dalam
perjalanan Haji Wada pergi ke Mina. Beliau shalat Dzuhur, Ashar , Magrib dan
Isya di sana. Setelah beberapa saat hingga matahari terbit, beliau melaksanakan
perjalanan hingga Arofah, dimana tenda-tenda sudah di sana. Setelah matahari
tergelincir, beliau menunggang unta Al Qashwa hingga tiba di tengah Padang
Arafah. Di sana telah berkumpul sekitar 140.000 jamaah haji , dan beliau
menyampaikan pidato yang berisi wasiat penting kepada ummat.
Wahai sekalian manusia, dengarlah perkataanku! Aku tidak tahu pasti,
boleh jadi aku tidak akan ketemu kalian lagi setelah tahun ini dalam keadaan
seperti ini. Sesungguhnya darah dan harta kalian suci atas kalian, seperti kesucian
hari ini, bulan ini dan di negeri kalian ini. Bertaqwalah kepada Allah dan hati-hati
terhadap masalah wanita, karena kalian memperistri mereka yang menjadikan
mereka halal bagi kalian juga karena amanat dan dengan kalimah Allah.
Wahai manusia, sesungguhnya istri kalian mempunyai hak atas kalian ,
sebagaimana kalian memiliki hak atas mereka. Hak kalian adalah istri kalian tidak
boleh mengizinkan orang yang tidak disenangi masuk ke rumah kalian kecuali
seizin kalian. Terlarang bagi mereka melakukan kekejian. Jika mereka berbuat keji,
bolehlah kalian menahan mereka dan menjauhi tempat tidur mereka serta memukul
mereka dengan pukulan yang tidak melukai mereka. Jika mereka taat, maka
kewajiban kalian adalah menjamin makanan dan pakaian mereka sebaik-baiknya.
Aku telah meninggalkan di tengah mereka sesuatu yang sesuatu yang sekalikali kalian tidak akan tersesat sesudahnya selagi kalian tetap berpegang teguh
kepadanya, yaitu kitab Allah.
Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku. Sembahlah
Allah, dirikanlah shalat lima waktu, laksanakan puasa Ramadhan, bayarlah zakat
dengan sukarela, tunaikanlah haji dan taatilah ulil amri kalian, niscaya kalian
masuk sorga.

Tentu kalian bertanya-tanya tentang diriku. Lalu apa yang kalian


pertanyakan?
Mereka menjawab,Kami bersaksi bahwa engkau telah bertabligh
melaksanakan kewajiban dan nasehat.
Lalu
bersabda sambil mengacungkan telunjuknya ke langit dan
mengarahkannya kepada hadirin,Ya Allah, persaksikanlah! (Sirah Nabawiyah
Ibnu Hisyam, 2/265).Orang yang menirukan sabda beliau Rabiah bin Umayyah
bin Khalaaf.
Setelah Rasulullah SAW menyampaikan pidato, turunlah QS Al Maidah ayat
3, yang menyatakan bahwa pada hari itu telah sempurnalah nubuwwah (misi
kenabian) Muhammad SAW yang merupakan satu rahmat kenikmatan yang tiada
tara bagi kaum muslimin berupa agama Islam, yang nyata-nyata telah mendapat
Ridha dari Allah SWT Yang Maha Pengasih.
Pidato khutbah selesai. Bilal kemudian mengumandangkan adzan, disusul
dengan iqomah dan shalat Dzuhur qashar dan jama secara berjamaah diimami
Rasulullah SAW dan diikuti oleh para jamaah. Begitu selesai shalat Dzuhur, Bilal
iqamah lagi untuk melaksanakan jamaah shalat Ashar. Selesai shalat, dengan
menunggang Al Qashwa, beliau menuju tempat wukuf. Di situ beliau
menghabiskan wukuf sampai matahari terbenam.
Keremangan senja lambat laun menghilang. Dengan mengendong Usamah,
beliau melanjutkan perjalanan menuju Mina. Di sana shalat Maghrib dan Isya
dengan satu adzan dan dua iqamah tanpa ada shalat apa pun di antara keduanya,
kemudian beliau berbaring sampai fajar menyingsing.
Setelah adzan dan iqamah , beliau lalu menunaikan shralat Subuh dan
kemudian beliau naik Al Qashwa menuju Masyaril Haram. Dengan menghadap
qiblat beliau berdoa, bertahlil dan bertakbir meng-Esa kan Allah SWT.
Dari Muzdalifah beliau pergi menuju Mina sebelum matahari terbit dengan
membonceng Al Fadhl bin Abbas hingga tiba di Mahsyar. Kemudian jumrah
Aqabah, dan beliau melempar jumlah jumrah tersebut dengan 7 butir kerikil,
sambil bertakbir pada setiap kali melempar.
Selanjutnya, beliau menuju ke tempat penyembelihan Kurban dan
menyembelih 63 ekor unta, selanjutnya memerintahkan kepada Ali bin Abi Thalib
untuk melanjutkan penyembelihan sebanyak 37 ekor unta sehingga genap 100
ekor.
Di situ beliau memerintahkan untuk mengambil sebagian daging masingmasing unta, kemudian dimasak dan beliau ikut menikmati masakan itu berikut
kuahnya.
Pada waktu Dhuha, di atas punggung bighal, beliau menyampaikan pidato
yang ditirukan Sayidinna Ali bin Abi Thalib dengan suara nyaring, yang isinya

banyak mengulang isi pidato yang disampaikan sebelumnya. Namun demikian,


banyak hal penting yang beliau tambahkan, antara lain:
Kalian pada waktunya akan menghadap Allah SWT. Dia akan menanyakan
amal kalian.Ingatlah jangan kalian kembali sesaat sepeninggalku hingga sebagian
kalian memenggal leher sebagian lainnya. Ketahuilah, janganlah seseorang
menganiaya diri sendiri (dengan berbuat dosa) , menganiaya anak dan anak
menganiaya orang tuanya.Ketahuilah, sesungguhnya syetan sudah putus asa untuk
dapat disembah di negeri kalian selamanya. Akan tetapi dia akan ditaati dengan
amal-amal yang kaitannya dengan amal-amal kalian remehkan dan dia pun ridha
kepadanya.
Pada hari Tasyriq, beliau di Mina untuk melaksanakan ibadah haji lainnya
sembari mengajarkan syariat perihal dzikir kepada Allah, menegakan sunnahsunnah, mengenyahkan tanda-tanda syirik, amalan syirik dan pengaruhnya. Pada
hari tasyriq, beliau menyampaikan pidato yang isinya sama dengan hari-hari
sebelumnya.
Anas bin Malik meriwayatkan, pada Hari Senin, ketika
kaum muslimin sedang melaksanakan shalat Subuh sementara
sahabat Abu Bakar RA sedang mengimami merekaNabi SAW
tidak menemui mereka, tetapi hanya menyingkap tabir kamar
Aisyah dan memperhatikan mereka yang berada di shaf-shaf
shalat. Kemudian beliau tersenyum.
Abu Bakar mundur hendak berdiri di shaf, karena dia
mengira Rasululah SAW hendak keluar untuk shalat. Selanjutnya
Anas menuturkan bahwa kaum muslimin hampir terganggu di
dalam shalat mereka, karena bergembira dengan keadaan
Rasulullah SAW.
Namun, beliau memberikan isyarat dengan tangan beliau
agar mereka menyelesaikan shalat. Kemudian, beliau masuk
kamar dan menurunkan tabir. Setelah itu, Rasulullah SAW tidak
mendapatkan waktu shalat lagi.Ketika waktu Dhuha hampir
habis, Nabi SAW memanggil Fatimah, lalu membisikan sesuatu
kepadanya, dan Fatimah pun menangis. Kemudian memanggilnya
lagi dan membisikan sesuatu, lalu Fatimah tersenyum.
Aisyah berkata, setelah itu, kami bertanya kepada Fatimah
tentang hal tersebut.
Fatmah Ra menjawab, Nabi SAW membisikiku bahwa
beliau akan wafat, lalu aku menangis. Kemudian, beliau
membisiku lagi dan mengabarkan aku adalah orang pertama di

antara keluarga beliau yang akan menyusul beliau. (Shahihul


Bukhari, II: 638).
Nabi SAW juga mengabarkan kepada Fatimah bahwa dia
adalah kaum wanita semesta alam.Fatimah melihat penderitaan
berat yang dirasakan oleh Rasulullah SAW sehingga dia
berkata,Alangkah berat penderitaan ayah! tetapi beliau
menjawab,Sesudah hari ini, ayahmu tidak akan menderita lagi.
Beliau memanggil Hasan dan Husain, lalu mencium
keduanya, dan berpesan agar bersikap baik kepada keduanya.
Beliau juga memanggil istri-istri beliau, lalu beliau memberi
nasehat dan peringatan kepada mereka.
Sakit beliau semakin parah, dan pengaruh racun yang
pernah beliau makan (dari daging yang disuguhkan oleh wanita
Yahudi) ketika di Khaibar muncul, sampai-sampai beliau
berkata,Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakit karena
makanan yang kumakan ketika di Khaibar. Sekarang saatnya aku
merasakan terputusnya urat nadiku karena racun tersebut.
Beliau
juga
memberi
nasehat
kepada
orangorang ,(perhatikanlah) shalat; dan budak-budak yang kalian
miliki! Beliau menyampaikan wasiat ini hingga beberapa kali.
Tanda-tanda datangnya ajal mulai tampak. Aisyah
menyandarkan tubuh Rasulullah ke pangkuannya.Aisyah lalu
berkata, Sesunguhnya di antara nikmat Allah yang dikaruniakan
kepadaku adalah bahwa Rasulullah SAW wafat di rumahku, pada
hari giliranku, dan di pangkuanku, serta Allah menyatukan
antara ludahku dan ludah beliau saat beliau wafat. Ketika aku
sedang memangku Rasulullah SAW, Abdurahman dan Abu Bakar
masuk dan di tangannya ada siwak. Aku melihat Rasulullah SAW
memandanginya, sehingga aku mengerti bahwa beliau
menginginkan siwak. Aku bertanya ,Kuambilkan siwak itu
untukmu?
Beliau memberi isyarat ya dengan kepala, lalu kuambilkan
siwak itu untuk beliau. Rupanya siwak itu terasa keras bagi
beliau, lalu kukatakan,kulunakkan siwak itu untukmu? Beliau
memberi isyaratya lalu kulunakan siwak itu. Setelah itu aku
menyikat gigi beliau dengan sebaik-baiknya siwak itu. Sementara
itu, di hadapan beliau ada bejana berisi air. Beliau memasukan
kedua tangannya ke dalam air itu, lalu mengusapkannya ke

wajah seraya berkata,La ilaha illallah, sesungguhnya kematian


itu ada sekarat nya. (Shahih Bukhari II, 640).
Seusai bersiwak, beliau mengangkat kedua tangan beliau
yang mulia, atau jari-jarinya mengarahkan pandangannya ke
langit-langit, dan kedua bibirnya bergerak-gerak. Aisyah
mendengarkan apa yang beliau katakan itu, beliau berkata,Ya
Allah ampunilah aku; Rahmatillah aku; dan pertemukan aku
dengan Kekasih yang Maha Tinggi. Ya Allah, Kekasih Yang Maha
Tinggi. (Ad Darimi, Misykatul Mashabih, II: 547)
Beliau mengulang kalimat terakhir tersebut sampai tiga
kali, lalu tangan beliau lunglai dan beliau kembali kepada
Kekasih Yang Maha Tinggi. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Peristiwa ini terjadi ketika waktu Dhuha sedang memanas, yaitu
pada hari Senin 12 Dzulhijjah 10 H (16 Februari 631 M). Ketika
itu beliau berusia 63 lebih empat hari.
Apa makna yang paling mendalam dari peristiwa Haji Wada
tersebut? Dalam peristiwa akbar tersebut, Nabi menyampaikan Khutbah Wada
(perpisahan) pada puncak ibadah haji, saat wukuf di padang Arafah tanggal 9
Dzulhijjah 10 H (16 Februari 631 M). Sementara beliau wafat dan dimakamkan di
Madinah 3 hari setelah khutbah haji Wada. Diantara isi khutbah itu adalah
Ayyuhan-naas, inna dimaakum wa amwalakum wa aradlakum haramun alaikum,
ka-hurmati yaumikum hadza, fi syahrikum hadza, fi badikum hadza, wahai
manusia, sungguh darah, harta dan kehormatan kalian sangat dimuliakan,
sebagaimana mulianya hari ini (Arafah), bulan ini (Dzulhijjah) dan negeri ini
(Mekkah).
Dari teks khutbah haji wada di atas, mengindikasikan bahwa kesempurnaan
keislaman seseorang haruslah disertai upaya penghormatan atas jiwa dan
menghindarkan segala bentuk kekerasan dan intimidasi, penghormatan atas hak
milik (property) serta profesi seseorang. Ringkasnya dalam konteks saat ini adalah
penghormatan atas nilai-nilai hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan bagian
integral dalam ajaran Islam, dimana nilai-nilai pluralisme dan HAM tersebut
menjadi pilar sangat penting bagi masyarakat sipil dalam konteks mengisi
kehidupan bangsa dan negara.
Dengan demikian, pekerjaan menuju dan sekaligus membangun masyarakat
mutamaddin bukanlah sesuatu yang mudah, sebab sekitar 14 abad yang lampau
Nabi Muhammad SAW juga mengalami masa tantangan dan hambatan. Bahkan
prosesi abad pencerahan di benua Eropa sebagai proses pemberdayaan masyarakat
sipil (warga) atau civil society juga mengalami jalan panjang yang berliku. Dalam
konteks di Indonesia sejak sekitar 70 tahun kemerdekaan RI, proses transformasi
sosial budaya mengalami tiga masa kemandekan sistem pendidikan politik, sosial

dan budaya yang berlarut-larut.


Bangunan kosmotalisme masyarakat mutamaddin akan terwujud bila
pertama, proses transformasi budaya, masyarakatnya harus sudah memiliki
komitmen yang tinggi atas pembersatuan yang hakiki. Langkah kedua, untuk
menuju transformasi sosial politik haruslah semakin diberdayakan pendidikan
politik dan demokrasi kepada masyarakat.Ketiga harus disadarinya bahwa
kemajemukan adalah keharusan sejarah, 4 pilar demokrasi Indonesia mulai dari
Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika adalah sesuatu yang final
meningkat seluruh komponen Bangsa Indonesia
Ini sesuai dengan firman Tuhan, fa-bima rahmatin minallahi linta la-hum,
walau kunta fadh-dhan ghalidlal qalbi lan fadl-dluu min-haulik, fafu an-hum
wastaghfir la-hum wa syaawir-hum fil amri, fa-idza azamta fa-tawakal alallah,
innallaha yuhibbul mutawakkilin (QS Ali Imran 159), artinya maka disebabkan
rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya, kamu
bersikap arogan lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonlah ampun bagi mereka dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.
Cinta Rasul SAW
Salah satu hadits yang terkenal mengungkapkan betapa penting kecintaan
kaum muslimin pada Rasulullah SAW. Sabda beliau, Tidak sempurna iman
seorang di antara kamu sebelum ia lebih mencintai aku daripada mencintai ibubapaknya, anaknya, dan semua manusia (HR Bukhari).
Memang, mencintai Rasulullah SAW merupakan salah satu bukti keimanan
seorang muslim. Sebaliknya, iman pulalah yang membuat para sahabat sangat setia
mendampingi beliau, baik dalam susah maupun senang, dalam damai maupun
perang. Kecintaan itu bukan hanya di lidah, melainkan terwujud dengan perbuatan
nyata.
Betapa cinta sahabat kepada Rasulullah SAW, tergambar ketika Rasulullah
SAW bersama Abu Bakar ash-Shiddiq beristirahat di Gua Tsur dalam perjalanan
hijrah dari Makkah ke Madinah secara sembunyi-sembunyi. Kala itu Rasulullah
SAW tertidur berbantalkan paha Abu Bakar. Tiba-tiba Abu Bakar merasa kesakitan
karena kakinya digigit kalajengking. Tapi, dia berusaha sekiat tenaga menahan
sakit, hingga mencucurkan air mata, jangan sampai pahanya bergerakkhawatir
Rasulullah SAW terbangun.
Salah seorang sahabat, Zaid bin Datsima, tak gentar menghadapi ancaman
kaum kafir karena begitu luar biasa kecintaannya kepada Rasulullah SAW. Ketika
itu, ia sempat disandera oleh kaum musyrik Makkah dan akan dibunuh. Hari ini,

tidakkah engkau berharap Muhammad akan bersama dengan kita sehingga kami
dapat memotong kepalanya, dan engkau dapat kembali kepada keluargamu? kata
Abu Sufyan kepadanya.
Demi Allah, aku tidak berharap sekarang ini Muhammad berada di sini, di
mana satu duri pun dapat menyakitinya jika hal itu menjadi syarat agar aku dapat
kembali ke keluargaku, jawab Zaid tegas. Wah, aku belum pernah melihat
seorang pun yang begitu sayang kepada orang lain seperti para sahabat Muhammad
menyayangi Muhammad, sahut Abu Sofyan.
Kisah kecintaan sahabat kepada Rasulullah SAW banyak diungkapkan
dalam sejarah. Salah satunya ditunjukan oleh Umar bin Khatthab. Ya, Rasulullah.
Aku mencintaimu lebih dari segalanya, kecuali jiwaku, kata Umar. Mendengar
itu, Rasulullah SAW menjawab, Tak seorang pun di antara kalian beriman, sampai
aku lebih mereka cintai daripada jiwamu.
Demi Dzat yang menurunkan kitab suci Al-Quran kepadamu, aku
mencintaimu melebihi kecintaanku kepada jiwaku sendiri, sahut Umar spontan.
Maka Rasulullah SAW pun menukas, Wahai Umar, kini kamu telah mendapatkan
iman itu (HR Bukhari).
Hari Kiamat
Penghormatan dan pemuliaan terhadap Rasulullah SAW memang
merupakan perintah Allah SWT. Firman Allah, Sesungguhnya Kami mengutus
engkau sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya
kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan-Nya,
membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang (QS Al
Fath : 8-9).
Sebuah ayat menekankan pentingnya kecintaan terhadap Allah SWT dan
Rasulullah SAW, Katakanlah (wahai Muhammad), jika ayah-ayahmu, anakanakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, keluargamu, harta kekayaanmu,
perdagangan yang kamu kekhawatirkan kerugiannya, dan rumah yang kamu
senangi, lebih kalian cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya, dan dari berjihad di
jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah
tidak akan memberi hidayah kepada orang-orang fasik (QS At-Taubah: 24).
Kecintaan kaum muslimin kepada Rasulullah SAW juga merupakan faktor
penting bagi keselamatannya di hari kiamat kelak. Hal itu terungkap ketika suatu
hari seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, Kapankah datangnya hari
kiamat? Maka jawab Rasulullah SAW, Apa yang sudah engkau persiapkan untuk
menghadapinya? Jawab sahabat itu, Saya tidak mempersiapkannya dengan
banyak shalat, puasa, dan sedekah, tapi dengan mencintaimu dalam hati. Lalu,
sabda Rasulullah SAW, Insya Allah, engkau akan bersama orang yang engkau
cintai itu.

Menurut Ibnu Masud, Abu Musa al-Asyari, Shafwan, dan Abu Dzar,
Rasulullah SAW telah bersabda mengenai seseorang yang dengan tulus
mencintainya, Seseorang akan berada di Yaumil Mahsyar bersama orang yang
dicintainya. Mendengar itu, para sahabat sangat berbahagia karena mereka sangat
mencintai beliau.
Suatu hari seorang sahabat hadir dalam suatu majelis bersama Rasulullah
SAW, lalu berkata, Wahai Rasulullah, aku saya mencintaimu lebih dari mencintai
nyawa, harta dan keluargaku. Jika berada di rumah, aku selalu memikirkanmu. Aku
selalu tak bersabar untuk dapat berjumpa denganmu. Bagaimana jadinya jika aku
tidak menjumpaimu lagi, karena engkau pasti akan wafat, demikian juga aku.
Kemudian engkau akan mencapai derajat Anbiya, sedangkan aku tidak?
Mendengar itu Rasulullah terdiam. Tak lama kemudian datanglah Malaikat
Jibril menyampaikan wahyu, Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya,
mereka akan bersama orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi,
shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Mereka adalah sebaik-baik sahabat, dan itulah
karunia Allah Yang Maha Mengetahui (QS An-Nisa : 69-70).
Kecintaan para sahabat kepada Rasulullah SAW inilah pula yang
menggerakkan mereka menyebarkan berdakwah ke seluruh penjuru dunia.
Kecintaan luar biasa kepada Rasulullah SAW itu tergambar pada diri
seorang perempuanbeberapa saat usai Perang Uhud. Dia baru saja kehilangan
ayah, kakak laki-laki dan suaminya yang gugur sebagai syuhada. Ia bukannya
meratapi mereka, tapi menanyakan nasib Rasulullah SAW, Apa yang terjadi pada
diri Rasulullah, semoga Allah memberkati dan melimpahkan kedamaian
kepadanya.
Nabi baik-baik saja sebagaimana engkau mengharapkannya, jawab para
sahabat. Lalu kata perempuan itu lagi, Tunjukanlah dia kepadaku hingga aku
dapat memandangnya. Kemudian para sahabat menunjukan posisi Rasulullah
SAW. Sungguh, kini semua deritaku tak ada artinya. Sebab, engkau selamat, kata
perempuan itu kepada Rasulullah SAW.
Mereka yang mencintaiku dengan sangat mendalam adalah orang-orang
yang menjemputku. Sebagian dari mereka bersedia mengorbankan keluarga dan
kekayaannya untuk berjumpa denganku, sabda Rasulullah SAW sebagaimana
diceritakan oleh Abu Hurairah (HR Muslim, Bukhari, Abu Dzar).
Betapa kecintaan sahabat Bilal kepada Rasulullah SAW, terungkap
menjelang ia meninggal. Bilal melarang isterinya bersedih hati, sebab, katanya,
Justru ini adalah kesempatan yang menyenangkan, karena besok aku akan
berjumpa dengan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Wafatnya Rasulullah
SAW merupakan kesedihan luar biasa bagi para sahabat dan pencintanya.
Dikisahkan, ada seorang perempuan yang menangis di makam Rasulullah SAW
sampai ia meninggal.

Demikianlah gambaran betapa luar biasa kecintaan para sahabat kepada


Rasulullah SAW. Untuk mengungkapkan rasa cinta itu, sewajarnyalah jika kaum
muslimin meneladani akhlaq beliau, menerapkan sunnahnya, mengikuti kata-kata
dan seluruh perbuatannya, menaati perintah dan menjauhi larangannya.
Itulah cinta sejati, sebagaimana perintah Allah SWT dalam surah Ali Imran
ayat 31: Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, maka
ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan
Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. (*****)

Menegakan Indoensia Sebagai Negara Maritim


Indonesia merupakan negara maritim atau kepulauan terbesar didunia, antara
pulau satu dengan pulau lainnya dipisahkan oleh laut, tapi bukanlah menjadi
penghalang bagi setiap suku bangsa di Indonesia untuk saling berhubungan dengan
suku-suku di pulau lainnya. Sejak zaman bahari, pelayaran dan perdagangan antar
pulau telah berkembang dengan menggunakan berbagai macam tipe perahu
tradisional, nenek moyang kita menjadi pelaut-pelaut handal yang menjelajahi

untuk mengadakan kontak dan interaksi dengan pihak luar. Bahkan, yang lebih
mengejutkan lagi, pelayaran yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia
(Nusantara) pada zaman bahari telah sampai ke Mandagaskar.
Bukti dari berita itu sendiri adalah berdasarkan penelitian yang dilakukan yaitu tipe
jukung yang sama yang digunakan oleh orang-orang Kalimantan untuk berlayar
Fantastis. Pada zaman bahari telah menjadi Trade Mark bahwa Indonesia
merupakan negara maritim. Indonesia merupakan negara maritim yang mempunyai
banyak pulau, luasnya laut menjadi modal utama untuk membangun bangsa ini.
Indonesia adalah Negara kepulauan, Indonesia adalah Nusantara, Indonesia
adalah Negara Maritim dan Indonesia adalah Bangsa Bahari,Berjiwa Bahari
serta Nenek Moyangku Orang Pelaut bukan hanya merupakan slogan belaka.
Laut dijadikan ladang mata pencaharian, laut juga dijadikan sebagai tempat
menggalang kekuatan, mempunyai armada laut yang kuat berarti bisa
mempertahankan kerajaan dari serangan luar. Memang, laut dalam hal ini menjadi
suatu yang sangat penting sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang. Dengan
mengoptimalkan potensi laut menjadikan bangsa Indonesia maju karena Indonesia
mempunyai potensi yang sangat besar untuk mengembangkan laut. Laut akan
memberikan manfaat yang sangat vital bagi pertumbuham dan perkembangan
perekonomian Indonesia atau perdaganagan pada khususnya.
Melihat bagaimana kejayaan masa lampau diperoleh karena mengoptimalkan
potensi laut sebagai sarana dalam suksesnya perekonomian dan ketahanan politik
suatu negara, maka menjadi suatu hal yang wajar bila sekarang ini Indonesia harus
lebih mengembangkan laut demi tercapianya tujuan nasional. Indonesia
menyandang predikat Negara Maritim atau negara kepulauan.
Konsekwensi sifat maritim itu sendiri lebih mengarah pada terwujudnya aktifitas
pelayaran di wilayah Indonesia. Dalam kalimat ini bahwa Indonesia sebagai negara
kepulauan dalam membangun perekonomian akan senantiasa dilandasi oleh
aktivitas pelayaran. Pentingnya pelayaran bagi Indonesia tentunya disebabkan oleh
keadaan geografisnya, posisi Indonesia yang strategis berada dalam jalur
persilangan dunia, membuat Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar
untuk mengembangkan laut. Laut akan memberikan manfaat yang sangat vital bagi

pertumbuham dan perkembangan perekonomian Indonesia atau perdaganagan pada


khususnya.
Bangsa Indonesia seharusnya dapat menghargai dan mensyukuri suatu anugerah
yang sangat besar, yaitu hidup dalam suatu Negara Kepulauan yang merupakan
wilayah sepanjang 3.000 mil laut berupa hamparan laut luas dari Merauke sampai
Sabang. Dengan jumlah pulau lebih dari 17.500 meliputi wilayah laut yurisdiksi
nasional lebih kurang 5,8 juta km2, Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di
dunia. Indonesia terletak pada posisi yang sangat strategis, yaitu pada persilangan
dua benua dan dua samudera, serta memiliki wilayah laut yang memiliki kekayaan
laut yang besar, sekaligus sebagai urat nadi perdagangan dunia. Posisi Indonesia
yang sangat strategis tersebut memberikan konsekuensi bagi bangsa Indonesia
yaitu untuk menjalankan aturan sebagaimana yang termaktub dalam United Nation
Convention on the Law of the Sea 1982.
Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 dengan mengukuhkannya ke dalam
UU RI No 17 tahun 1985, sehingga telah resmi mempunyai hak dan kewajiban
mengatur, mengelola, dan memanfaatkan kekayaan laut nasional untuk sebesarbesarnya kepentingan rakyat. Geografi Indonesia yang sangat bersifat kelautan,
seharusnya membuat Bangsa Indonesia terus mengembangkan tradisi, budaya dan
kesadaran bahari serta menjadikan laut sebagai tali kehidupannya. Namun,
Indonesia juga wajib memperhatikan kepentingan dunia internasional terutama
dalam menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran internasional dalam
wilayah kedaulatan dan wilayah berdaulatnya. Kewajiban ini tersurat dalam pasalpasal UNCLOS 1982, serta tidak kalah pentingnya, merupakan salah satu tujuan
nasional seperti termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang
antara lain berbunyi: ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ..
Dengan latar belakang demikian, cukup jelas terlihat bahwa aspek alamiah
geografi Indonesia (bentuk dan posisinya), kekayaan alamnya dan demografinya
sangat menentukan kebijakan pembangunan nasional Indonesia.
Sejarah menunjukkan bahwa pada masa lalu, Indonesia memiliki pengaruh yang
sangat dominan di wilayah Asia Tenggara, terutama melalui kekuatan maritim

besar di bawah Kerajaan Sriwijaya dan kemudian Majapahit. Wilayah laut


Indonesia yang merupakan dua pertiga wilayah Nusantara mengakibatkan sejak
masa lampau, Nusantara diwarnai dengan berbagai pergumulan kehidupan di laut.
Dalam catatan sejarah terekam bukti-bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia
menguasai lautan Nusantara, bahkan mampu mengarungi samudera luas hingga ke
pesisir Madagaskar, Afrika Selatan. Penguasaan lautan oleh nenek moyang kita,
baik di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit maupun kerajaan-kerajaan
Bugis-Makassar, lebih merupakan penguasaan
de facto daripada penguasaan atas suatu konsepsi kewilayahan dan hukum.
Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia yang mencintai laut
sejak dahulu merupakan masyarakat bahari. Akan tetapi, oleh penjajah kolonial,
bangsa Indonesia didesak ke darat, yang mengakibatkan menurunnya jiwa bahari.
Nenek moyang bangsa Indonesia telah memahami dan menghayati arti dan
kegunaan laut sebagai sarana untuk menjamin berbagai kepentingan antarbangsa,
seperti perdagangan dan komunikasi. Pada sekitar abad ke-14 dan permulaan abad
ke-15 terdapat lima jaringan perdagangan
(commercial zones).
Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel
di India Selatan, Sri Lanka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat
Sumatera. Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan
perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan
Vietnam Selatan. Jaringan ini juga dikenal sebagai jaringan perdagangan Laut
Cina Selatan. Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir
barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunei
Darussalam). Kelima, jaringan Laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa
Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan
Sumatera. Jaringan perdagangan ini berada di bawah hegemoni Kerajaan
Majapahit. Selain itu, banyak bukti prasejarah di pulau Muna, Seram dan Arguni
yang diperkirakan merupakan hasil budaya manusia sekitar tahun 10.000 sebelum
masehi!
Bukti sejarah tersebut berupa gua yang dipenuhi lukisan perahu layar. Ada pula

peninggalan sejarah sebelum masehi berupa bekas kerajaan Marina yang didirikan
perantau dari Nusantara yang ditemukan di wilayah Madagaskar. Tentu pengaruh
dan kekuasaan tersebut dapat diperoleh bangsa Indonesia waktu itu karena
kemampuan membangun kapal dan armada yang layak laut, bahkan mampu
berlayar sampai lebih dari 4.000 mil.
Selain Sriwijaya dan bahkan sebelum Majapahit, Kerajaan Singosari juga memiliki
armada laut yang kuat dan mengadakan hubungan dagang secara intensif dengan
wilayah sekitarnya. Kita mengetahui strategi besar Majapahit mempersatukan
wilayah Indonesia melalui Sumpah Amukti Palapa dari Mahapatih Gajah Mada.
Kerajaan Majapahit telah banyak mengilhami pengembangan dan perkembangan
nilai-nilai luhur kebudayaan Bangsa Indonesia sebagai manifestasi sebuah bangsa
bahari yang besar. Sayangnya, setelah mencapai kejayaan budaya bahari, Indonesia
terus mengalami kemunduran, terutama setelah masuknya VOC dan kekuasaan
kolonial Belanda ke Indonesia. Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 antara Belanda
dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta mengakibatkan kedua raja tersebut harus
menyerahkan perdagangan hasil wilayahnya kepada Belanda.
Sejak itu, terjadi penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa Indonesia, dan
pergeseran nilai budaya, dari budaya bahari ke budaya daratan. Namun demikian,
budaya bahari Indonesia tidak boleh hilang karena alamiah Indonesia sebagai
negara kepulauan terus menginduksi, membentuk budaya bahari bangsa Indonesia.
Catatan penting sejarah maritim ini menunjukkan bahwa dibandingkan dengan
negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki keunggulan
aspek budaya bahari bentukan secara alamiah oleh aspek-aspek alamiah Indonesia.
Berkurangnya budaya bahari lebih disebabkan berkurangnya perhatian Pemerintah
terhadap pembangunan maritim.
Sesungguhnya, secara pemikiran dan konsepsi, Bangsa Indonesia sudah lama ingin
kembali ke laut. Pada tahun 1957, Bangsa Indonesia mendeklarasikan Wawasan
Nusantara, yang memandang bahwa wilayah laut di antara pulau-pulau Indonesia
sebagai satu-kesatuan wilayah nusantara, sehingga wilayah laut tersebut
merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang
ada di bawahnya serta seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya sebagai
kekayaan nasional yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Bung Karno saat pembukaan

Lemhanas tahun 1965 mengatakan bahwa "Geopolitical Destiny" dari Indonesia


adalah maritim.
Melalui suatu perjuangan panjang dan bersejarah di forum internasional, pada
tahun 1982, gagasan Negara Nusantara yang dipelopori Indonesia berhasil
mendapat pengakuan Internasional dalam kovensi PBB tentang hukum laut. Pada
18 Desember 1996 di Makassar, Sulawesi Selatan, BJ Habibie sebagai Menristek
membacakan pidato Presiden RI yang dikenal dengan pembangunan Benua
Maritim Indonesia. Selanjutnya pada tahun 1998 Presiden BJ Habibie
mendeklarasikan visi pembangunan kelautan Indonesia dalam Deklarasi
Bunaken. Inti dari deklarasi tersebut adalah laut merupakan peluang, tantangan
dan harapan untuk masa depan persatuan, kesatuan dan pembangunan bangsa
Indonesia. Sejak tahun 1999 Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan
komitmennya terhadap pembangunan kelautan. Komitmen pembangunan
pemerintah di bidang kelautan, diwujudkan dengan dibentuknya Departemen
Eksplorasi Laut pada tanggal 26 Oktober 1999 dan menempatkan Sarwono
Kusumaatmadja sebagai menteri pertama.
Pada bulan Desember nama departemen ini berubah menjadi Departemen
Eksplorasi Laut dan Perikanan, dan sejak awal tahun 2001 berubah lagi menjadi
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) hingga sekarang. Demi menggemakan
semangat pembangunan nasional yang berdasarkan kelautan, Presiden KH
Abdurrahman Wahid mencanangkan 13 Desember sebagai Hari Nusantara dan
memperingatinya untuk pertama kali di Istana Negara, Jakarta tahun 1999. Visi
pembangunan kelautan Gus Dur kemudian diteruskan oleh Presiden Megawati
Soekarnoputri, dengan menetapkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara
berdasarkan Keppres No. 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara, dan menjadikan
tanggal tersebut sebagai hari resmi perayaan nasional. Kebijakan yang sangat
penting di bidang maritim yang dibuat oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada
tahun 2001 yaitu dalam Seruan Sunda Kelapa menyatakan penerapan asas
cabotage sebagai suatu keharusan.
Penerapan asas cabotage adalah kebijakan fundamental bagi pembangunan industri
maritim nasional. Dengan pencetusan kebijakan penerapan asas cabotage dengan
Seruan Sunda Kelapa tersebut, Pemerintah kemudian segera memulai penyusunan

aturan pelaksanaannya. Aturan pelaksanaannya berupa Inpres tentang


Pengembangan Industri Pelayaran Nasional yang akhirnya ditandatangani oleh
oleh Presiden berikutnya yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupa Inpres
No. 5 tahun 2005. Namun penerapan Inpres ini berjalan sangat lamban, terutama
karena dukungan Kementerian Keuangan dalam hal kebijakan keuangan dan
perpajakan untuk pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan kapal.
Dalam tataran strategik operasional, budaya bahari bangsa Indonesia masih
memprihatinkan, apalagi bila kita sependapat bahwa budaya adalah semua hasil
olah pikir, sikap dan perilaku masyarakat yang diyakini dan dikembangkan
bersama untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi, mengembangkan
kehidupan yang lebih layak, dan beradaptasi terhadap situasi lingkungan hidup.
Budaya bahari bangsa Indonesia belum tumbuh kembali, bukan saja di tengah
masyarakat, tetapi juga pada tataran pembuat kebijaksanaan sehingga Indonesia
belum mampu memanfaatkan kelautan sebagai sumber kesejahteraannnya. Kita
perlu mengembangkan kesadaran bahari Bangsa Indonesia, terutama dengan
menerapkan kebijakan pembangunan maritim nasional berdasarkan konsepsi yang
jelas sesuai aspek-aspek alamiah (Tri Gatra) Indonesia
Indonesia membutuhkan segera adanya kebijakan pembangunan maritim nasional
yang dimulai dengan perumusan persepsi bangsa Indonesia dalam melihat
pengaruh laut terhadap kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan sistem
pertahanan dan keamanan nasional.
Estimasi yang dikeluarkan oleh Dewan Kelautan Indonesia (Dekin) ketika masih
bernama Dewan Maritim Indonesia (DMI), melalui majalah internal Maritim
Indonesia edisi Juli 2007 menyebutkan bahwa laut Indonesia menyimpan potensi
kekayaan yang dapat dieksploitasi senilai 156.578.651. 400 US dollar per tahun.
Jika dirupiahkan dengan kurs Rp 9.300 per 1 dollar AS, angka itu setara dengan Rp
1.456 triliun. Walaupun demikian, kontribusi sektor kelautan terhadap PDB
nasional dinilai masih rendah. Pada tahun 1998 sektor kelautan hanya
menyumbang 20,06 persen terhadap PDB, itupun sebagian besarnya atau 49,78
persen disumbangkan oleh subsektor pertambangan minyak dan gas bumi di laut.
Ini menunjukkan bahwa kekayaan laut Indonesia yang sangat besar itu masih disia-

siakan. Berbeda dengan negara maritim lain seperti RRC, AS, dan Norwegia, yang
sudah memanfaatkan laut sedemikian rupa hingga memberikan kontribusi di atas
30 persen terhadap PDRB nasional mereka. Dengan melihat kenyataan seperti ini,
sudah saatnya Bangsa Indonesia membangkitkan kembali kesadaran bahwa laut
harus dipandang sebagai kesatuan wilayah dan sumber kehidupan, media
perhubungan utama, wahana untuk merebut pengaruh politik dan wilayah
pertahanan penyanggah utama.
Kedudukan Indonesia pada posisi silang perdagangan dan memiliki 4 dari 9 Sea
Lines of Communication dunia mengakibatkan Indonesia mempunyai kewajiban
yang sangat besar untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran
internasional di Selat Malaka/ Singapura dan 3 Alur Laut Kepulauan Indonesia
(ALKI). Indonesia belum mempunyai kemampuan pertahanan dan keamanan laut
yang memadai untuk hal tersebut, apalagi untuk menjaga kedaulatan di seluruh
wilayah laut yurisdiksinya. Sepanjang berkaitan dengan kebijakan pertahanan
nasional, pada dasarnya Indonesia adalah negara yang cinta damai dan tidak
memiliki ambisi untuk menguasai negara atau wilayah bangsa lain.
Akan tetapi, Indonesia memiliki pulau-pulau yang jauh terutama di Laut Natuna
dan Sulawesi, dan masih ada wilayah perbatasan yang belum ditetapkan serta
wilayah dengan potensi sengketa. Oleh karena itu, Indonesia harus tetap
mewaspadai adanya kemungkinan kontingensi. Indonesia harus memiliki
kesiagaan dan kemampuan untuk dapat mengendalikan lautnya dan
memproyeksikan kekuatannya melalui laut dalam rangka memelihara stabilitas dan
integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagi suatu Negara dengan
kekuatan ekonomi yang terus berkembang, kelanjutan kemajuan Indonesia akan
makin bergantung pada perdagangan dan angkutan laut dan ketersediaan energi,
serta pada ekploitasi sumber daya laut dan bawah laut serta membangun industri
maritim yang tangguh.
Oleh karena itu, sangat jelas bahwa Indonesia memiliki kepentingan nasional yang
sangat besar di laut. Sebagai hal yang mendasari kepentingan Indonesia di laut,
Indonesia harus memiliki kemerdekaan atau kebebasan menggunakan laut
wilayahnya untuk memperjuangkan tujuan nasionalnya, serta mempunyai strategi
untuk menjaga kepentingan maritimnya dalam segala situasi. Pertanyaannya

sekarang adalah, apakah Indonesia sudah memiliki kemampuan untuk


memanfaatkan lautnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan kepentingan
masyarakat internasional? Rasanya masih jauh panggang dari api. Jangankan
memiliki kemampuan maritim yang memadai, usaha-usaha ke arah itupun belum
tampak jelas. Bahkan Indonesia belum secara tegas menyatakan kepentingan
nasionalnya di laut dan belum menetapkan National Ocean Policy.
Martabat bangsa memerlukan kekuatan ekonomi dan pertahanan. Industri maritim
mempunyai potensi yang sangat besar. Oleh karenanya apabila dikelola dengan
baik dan benar, potensi maritim dapat menjadi salah satu pilar ekonomi nasional
yang kompetitif, sedangkan pengelolaan yang baik dan benar sangat ditentukan
oleh konsepsi pembangunan maritim, mulai dari persepsi, misi, kebijakan dan
strategi yang tepat.Agenda pembangunan nasional berfokus pada pembangunan
kemaritiman, yang menurutnya terdiri dari lima pilar. Pertama, pembangunan
kembali budaya maritim. Kedua, komitmen menjaga dan mengelola sumber daya
laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut. Ketiga, pengembangan
infrastruktur dan konektivitas maritim. Keempat, diplomasi maritim yang
mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerjasama pada bidang kedaulatan dan
penguatan kekuatan pertahanan maritim.(***)
Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:
http://www.muslimedianews.com/2015/01/menegakan-martabat-bangsaindonesia.html?
fb_comment_id=918161211549605_1040320992666959#f1eb8fdb71bc454#ixzz3
zHDMOVT1

Mencari Sosok Pemimpin Dalam Pandangan Islam

Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah


sudah disahkan DPR RI. Artinya, perdebatan soal revisi sudah tidak ada lagi.
Padahal, sebelumnya, beberapa fraksi ngotot pelaksanaan Pilkada dilakukan 2016.
Namun, dalam UU Pilkada yang disahkan Selasa, 17 Februari 2015, maka Pilkada
sudah dapat ddilaksanakan mulai Desember 2015.
Dalam UU sudah disepakati pelaksanaan pilkada Desember 2015. Ini berarti waktu
persiapan untuk pelaksanaan pilkada semakin sempit. Sehingga pemerintah, KPU
dan Partai Politik dapat melakukan persiapan dengan cermat agar pelaksanaan
pilkada di tahap awal tidak berdampak pada pilkada serentak. Sehingga pilkada di
tahap pertama ini tidak membuat ekses (berlebihan) di tahapan serentak. Dengan
Pilihan langsung, masyarakat atau pemilih akan memilih secara langsung Bupati
dan Gubernur sesuai hati nurani masing-masing secara langsung.
Bagi pemilih yang cerdas, memilih pemimpin tentu harus berdasar pertimbanganpertimbangan tertentu. Tidak asal pilih.Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan
yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, pemimpin haruslah orang yang
paling tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam atau khalifah tiada,
kepemimpinan harus dipegang oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat
syariat. Bila tak seorang pun faqih yang memenuhi syarat, harus dibentuk majelis
fukaha.
Sesungguhnya, dalam Islam, figur pemimpin ideal yang menjadi contoh dan
suritauladan yang baik, bahkan menjadi rahmat bagi manusia (rahmatan linnas)
dan rahmat bagi alam (rahmatan lilalamin) adalah Muhammad Rasulullah Saw.,
sebagaimana dalam firman-Nya :
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.(QS.al-Ahzab [33]: 21).

Sebenarnya, setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin terhadap seluruh


metafisik dirinya. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas
segala kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah
Saw., yang maknanya sebagai berikut : Ingatlah! Setiap kamu adalah pemimpin
dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, seorang
suami adalah pemimpin keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban
tentang kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin bagi kehidupan rumah tangga
suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang
kepemimpinannya. Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin dan akan
dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, (Al-Hadits).
Rasulullah SAW sendiri menekankan pentingnya kepemimpinan Islam dalam
Shahih Bukhari. Setiap diri kamu adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggunggjawaban atas kepemimpinannya.Kemudian, dalam Islam seorang
pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki sekurang-kurangnya 4
(empat) sifat dalam menjalankan kepemimpinannya, yakni : Siddiq, Tabligh,
Amanah dan Fathanah (STAF):(1) Siddiq (jujur) sehingga ia dapat dipercaya;(2)
Tabligh (penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi; (3)
Amanah (bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya; (4) Fathanah (cerdas)
dalam membuat perencanaan, visi, misi, strategi dan mengimplementasikannya.
Selain itu, juga dikenal ciri pemimpin Islam dimana Nabi Saw pernah bersabda:
Pemimpin suatu kelompok adalah pelayan kelompok tersebut. Oleh sebab itu,
pemimpin hendaklah ia melayani dan bukan dilayani, serta menolong orang lain
untuk maju.
Dalam mitos jawa, seorang pemimpin diidentikan dengan mitologi satrio piningit.
Seorang yang digambarkan bisa membawa perubahan atas gonjang-ganjing
kepemimpinan rakyat, pembawa kedaiaman, keamanan dan kesejahteraan mereka.
Dalam sejarah Walisongo, seorang pemimpin digambarkan dalam tembang Ilir-ilir
yang dikarang sunan Giri.
Lil ilir /Tandure wus sumilir /Kang ijo royo-royo/Tak sengguh temanten anyar//
Bocah angon/ bocah angon/ penekno blimbing kuwi/
Lunyo-lunyo penekno kanggo mbasuh dodot iro/
Dodot-iro dodot iro lumintir bedah ing pinggir/

Dondomono jlumetono kanggo sebo mengko sore/


Mumpung jember kalangane/
Mumpung padhang rembulane/
Yo surako/
Surak hayoo//
Cobalah simak syair Cah Angon yang digambarkan dalam tembang ilir-ilir ini:
Bocah angon, cah angon penekno blimbing kuwi. Tafsirnya,
Sunan Giri tidak menuliskan,Pak Politikus,Pak Jendral,Pak Intelektual ulamaulama, kiyai atau apapun lainnya, melainkan Bocah angon-bocah angon (Anak
muda-anak muda).
SunanGiri juga tidak menuturkan Penekno sawo kuwi atau penekno Palem
kuwi atau buah apapun lainnya, melainkan penekno blimbing kuwi Karena
blimbing yang asam itulah yang dapat mencuci kain yang kotor.
Dalam era kepemimpinan modern menurut Scumpeter, demokrasi bermakna
adanya kesempatan bagi rakyat untuk menerima atau menolak seseorang yang
akan memerintah mereka. Itulah Sebabnya maka dalam konteks demokrasi ,
kepemimpinan dibedakan dari otoritas. Seseorang yang perintah-perintahnya
ditaati karena posisi dan jabatan formal yang dipangku, tidak otomatis dapat
dianggap sebagai pemimpin. Memang melalui pengalamannya memegang suatu
jabatan dan mengelola tugas-tugas tertentu, ia akan berkesempatan membangun
kemampuan kepemimpinannya. Tetapi ini hanya merupakan peluang yang terbuka
untuk dimanfaatkan atau dilalaikan.(Ryas Rasyid: Etika Pemerintahan; hal 94-95).
Banyak orang yang gagal memanfaatkan ini , karenanya tidak mengherankan jika
kita menyaksikan seorang yang sudah cukup lama duduk dalam suatu jabatan
formal/kekuasaan formal, namun tidak berhasil mengembangkan potensi
kepemimpinannya. Orang semacam ini otomatis akan kehiangan wibawa dan
respek terhadap orang lain, sekali ia meninggalkan atau ditinggalkan oleh jabatan
dan kekuasaannya.
Karena itu pengembangan bagi seorang calon pemimpin dalam demokrasi yang
berkualitas paling tidak mensyaratkan empat kapasitas ; yakni pertama, kepekaan

terhadap situasi lingkungan. Yakni kemampuan untuk membaca perkembangan


yangn terjadi di sekitarnya dengan pengetahuan dan kepedulian . Kedua , adanya
penjagaan atas moral masyarakat. Yaitu kemampuan untuk menahan diri agar tidak
terjebak melakukan sesuatu yang dapat menciptakan atau meningkatkan keresahan
dalam masyarakat. Ketiga, Keterbukaan pikiran. Yaitu kemampuan untuk
memahami bahwa dalam interaksi politik , khususnya dalam pertarungan
kepentingan, tidak ada kebenaran yang bersifat tunggal, dan tidak ada sesuatu
kelompok yang memiliki hak monopoli atas kebenaran.
Keempat, kemampuan untuk mendengar, memperlajari dan menterjemahkan suara
orang banyak.Yakni kemampuan untuk dekat dan mau repot untuk mengurus
kepentingan orang banyak. Galibnya, dalam demokrasi dukungan orang banyak
merupakan salah satu kunci pokok bagi keberhasilan seorang pemimpin, tetapi
dukungan hanya mungkin diperoleh jika ada kemauan dari pemimpin untuk
mendengar suara mereka, mempelajari harapan dan aspirasi mereka, serta
menterjemahkannya ke dalam serangkaian tindakan dan langkah perjuangan untuk
memenuhi harapan itu.
Dalam pandangan Islam yang perlu diperhatikan adalah adanya prinsip-prinsip
dasar dalam kepemimpinan Islam yakni : Musyawarah; Keadilan; dan Kebebasan
berfikir.
Secara ringkas penulis ingin mengemukakan bahwasanya pemimpin Islam
bukanlah kepemimpinan tirani dan tanpa koordinasi. Tetapi ia mendasari dirinya
dengan prinsip-prinsip Islam. Bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya secara
obyektif dan dengan penuh rasa hormat, membuat keputusan seadil-adilnya, dan
berjuang menciptakan kebebasan berfikir, pertukaran gagasan yang sehat dan
bebas, saling kritik dan saling menasihati satu sama lain sedemikian rupa, sehingga
para pengikut atau bawahan merasa senang mendiskusikan persoalan yang menjadi
kepentingan dan tujuan bersama. Pemimpin Islam bertanggung jawab bukan hanya
kepada pengikut atau bawahannya semata, tetapi yang jauh lebih penting adalah
tanggung jawabnya kepada Allah Swt. selaku pengemban amanah kepemimpinan.
Kemudian perlu dipahami bahwa seorang muslim diminta memberikan nasihat bila
diperlukan.

Ada kisah yang sukup menyentuh, sekelumit tentang pengambilan keputusan atau
hukum, mari kita simak kisah sepenggal tanya jawab antara Rasulullah SAW dan
Sahabat Muadz bin Jabbal. Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya
mengemukakan pendapat, Muadz hampir sama dengan Umar bin Khathab. Ketika
Rasulullah SAW hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya, Apa
yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Muadz?"
Kitabullah, jawab Mu'adz.
Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?, tanya Rasulullah pula.
Saya putuskan dengan Sunnah Rasul."
Jika tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?"
Saya pergunakan pikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia,
jawab Muadz.
Maka berseri-serilah wajah Rasulullah SAW. Segala puji bagi Allah yang telah
memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh Rasulullah,
sabda beliau.
Dan mungkin kemampuan untuk berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan
kecerdasan inilah yang menyebabkan Muadz berhasil mencapai kekayaan dalam
ilmu fiqih, mengatasi teman dan saudara-saudaranya hingga dinyatakan oleh
Rasulullah sebagai orang yang paling tahu tentang yang halal dan yang haram.
Karena itulah, dalam memilih pemimpin mulai dari skala yang lebih kecil, sampai
pada tingkat nasional, penulis hanya ingin mengingatkan, semoga bisa dijadikan
nasihat dan sekaligus dapat dilaksanakan dalam memilih calon pemimpin baik
BUpati maupun Gubernur secara langsung sehingga bisa memilih pemimpin yang
baik dan berkualitas. Insya Allah. Amiin. (***)
Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:
http://www.muslimedianews.com/2015/03/mencari-sosok-pemimpin-dalampandangan.html#ixzz3zHE7NjF2

Mitos Pers Indonesia


Setiap tanggal 9 Februari masyarakat Indonesia, khususnya insan pers,
memperingati Hari Pers Nasional. Peringatan Hari Pers Nasional dimaknai sebagai
sebuah pesta rakyat yang memiliki pers yang merdeka sebagai salah satu pilar
demokrasi. Perayaan Hari Pers Nasional dilaksanakan setiap tahun secara
bergantian di ibukota provinsi yang berbeda di Indonesia. Untuk tahun ini,
peringatan Hari Pers Nasional dilaksanakan di Bengkulu. Namun, mungkin tidak
banyak yang mengetahui kapan tepatnya Hari Pers Nasional ditetapkan.
Semuanya berawal pada 9 Februari, 69 tahun yang lalu, ketika diadakan pertemuan
untuk membentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Gedung Museum Pers
Solo, Jawa Tengah. Gedung ini dulu difungsikan sebagai Kantor Palang Merah
Indonesia (PMI).
Namun, bukan pada tanggal tersebut Hari Pers Nasional ditetapkan. Gagasan untuk
menjadikan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional muncul pada Kongres ke-16
PWI di Padang, Sumatera Barat. Tidak saat itu pula, rencana peringatan Hari Pers
Nasional langsung disetujui, karena baru sebatas gagasan.
Salah satu butir keputusan Kongres PWI di Padang pada 4 Desember 1978 itu
adalah cetusan untuk menetapkan suatu hari yang bersejarah guna memperingati
peran dan keberadaan pers secara nasional. Kehendak itu diusulkan kepada
pemerintah melalui Dewan Pers untuk menetapkan Hari Pers Nasional.
Dalam sidang Dewan Pers ke-21 di Bandung pada tanggal 19 Februari 1981,
keinginan itu disetujui Dewan Pers untuk disampaikan kepada pemerintah dan
menetapkan penyelenggaraan Hari Pers Nasional.
Hari Pers Nasional akhirnya diselenggarakan setiap tahun pada tanggal 9 Februari
yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1985 yang
ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985.

Tanggal 9 Februari sendiri memiliki nilai historis bagi perkembangan pers di


Indonesia karena bertepatan dengan HUT PWI. Pada tanggal 9 Februari 1946 itu
diselenggarakan pertemuan wartawan nasional yang melahirkan PWI sebagai
organisasi wartawan pertama pascakemerdekaan Indonesia. Soemanang yang juga
merupakan pendiri Kantor Berita Antara ditetapkan sebagai Ketua PWI pertama
pada pertemuan itu.
PWI bukanlah organisasi wartawan pertama yang didirikan di Indonesia. Jauh
sebelum itu, sejumlah organisasi wartawan telah berdiri dan menjadi wadah
organisasi para wartawan di zaman Belanda. Organisasi wartawan yang paling
menonjol adalah Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Organisasi ini berdiri pada
tahun 1914 di Surakarta. Pendiri IJB antara lain Mas Marco Kartodikromo, Dr.
Tjipto Mangunkusumo, Sosro Kartono dan Ki Hadjar Dewantara. IJB merupakan
organisasi wartawan pelopor yang radikal. Anggota-anggota dari IJB sering diadili
bahkan ada yang diasingkan ke Digul oleh penguasa kolonial Belanda. Selain IJB,
organisasi wartawan lainnya adalah Sarekat Journalists Asia (berdiri 1925),
Perkumpulan Kaoem Journalists (1931), serta Persatoean Djurnalis Indonesia
(1940). Berbagai organisasi wartawan tersebut tidak berumur panjang akibat
tekanan dari pemerintahan kolonial. Pada tahun 1984, melalui Peraturan Menteri
Penerangan Harmoko (Permenpen) No. 2/1984, PWI dinyatakan sebagai satusatunya organisasi wartawan yang boleh hidup di Indonesia.
Namun sebelum itu semua, kehadiran Tirto Adhi Soerjo dengan Medan Prijaji
adalah permulaan pertama menjadikan pers sebagai alat pergerakan. Medan
Prijaji yang mempunyai jargon kebangsaan ini kemudian berfungsi sebagai pers,
baik tugasnya sebagai jurnalistik yang memberi kabar, sekaligus mengadvokasi
publik dari kesewenang-wenangan kekuasaan maupun kemauan untuk membangun
perusahaan pers yang mandiri dan otonom.
Dalam sejarah mencapai Indonesia merdeka, wartawan Indonesia tercatat sebagai
patriot bangsa bersama para perintis pergerakan di berbagai pelosok tanah air. Di
masa pergerakan, wartawan bahkan menyandang dua peran sekaligus. Wartawan
berperan sebagai aktivis pers yang melaksanakan tugas-tugas pemberitaan dan
penerangan guna membangkitkan kesadaran nasional. Selain itu wartawan juga
berperan sebagai aktivis politik yang melibatkan diri secara langsung dalam
kegiatan membangun perlawanan rakyat terhadap penjajahan. Kedua peran
tersebut mempunyai tujuan tunggal, yaitu mewujudkan kemerdekaan bangsa dan
negara Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945, wartawan Indonesia masih melakukan peran ganda sebagai aktivis
pers dan aktivis politik. Dalam Indonesia merdeka, kedudukan dan peranan

wartawan khususnya, pers pada umumnya, mempunyai arti strategi sendiri dalam
upaya untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Setelah mengetahui sejarah awal pers di Indonesia, kita dapat melihat bahwa pers
di Indonesia memiliki arti yang sangat penting. Pers Indonesia turut memberikan
kesaksian, mencatat dan sekaligus menjadi pendorong perjuangan bangsa untuk
mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Saat ini diharapkan pers Indonesia dapat
memberikan kontribusi positif untuk mengembangkan Indonesia ke arah yang
lebih baik.
Reformasi telah bergulir, kebebasan pers saat ini bisa dinikmati oleh siapa saja dan
berdampak besar bagi kemajuan hak berdemokrasi dan penegakan HAM. Tapi di
balik cerita manis prosesi demokrasi dengan adanya kebebasan pers sendiri masih
tersisa wajah buruk pers.
Kekerasan demi kekerasan terhadap wartawan terus terjadi. Simak saja laporan
Tahunan AJI (Aliansi Jurnalis Independen). Pada periode Agustus 2011 hingga Juli
2012 saja, AJI mencatat terdapat 45 kasus kekerasan yang dialami jurnalis. Setiap
tahun angkanya selalu tinggi, yaitu di atas 40 kasus, kata Kepala Divisi Advokasi
AJI, Aryo Wisanggeni pada malam resepsi ulang tahun ke-18 organisasi pers itu,
di Galeri Nasional, Jakarta, Selasa (7/8).
Tapi dari sekian kasus yang menimpa wartawan itu, barangkali sampai sekarang
yang tidak ada yang mampu menandingi tragisnya kematian Fuad Muhammad
Safrudin, akrab dipanggil Udin, yang bekerja sebagai wartawan Bernas. Sejak
penganiayaan yang terjadi pada 13 Agustus 1996 yang berbuntut tewasnya Udin,
kasus tersebut belum terungkap jelas. Memang ada tersangka tunggal, Dwi Sumaji
alias Iwik, namun Iwik didudukan di kursi terdakwa karena penyidik yakin ada
latar love affair yang melibatkan Iwik dalam kasus pembunuhan tersebut. Sehingga
latar belakang rekayasa dalam penanganan kasus semakin jelas. Padahal kasusnya
sudah kadaluarsa pada 16 Agustus 2014.
Masalahnya, sejak awal, masyarakat dan kalangan Pers yakin bahwa terbunuhnya
Udin lebih banyak berkaitan dengan masalah pemberitaan. Keyakinan ini pula
yang dipegang Tim Pencari Fakta PWI Yogyakarta yang dibentuk khusus untuk
menelusuri latar belakang peristiwa penganiyaan tersebut. Tak pelak, kontroversi
yang menyelimuti kasus yang terjadi di daerah Bantul pada kurun dekade 1996
dengan cepat masuk ke agenda Internasional. Sebab, ternyata, tak cuma kalangan
pers dalam negeri yang menyorot kasus tersebut. Lembaga lembaga internasional
semacam : Internasional Federation of Journalists (Brussels), Commite to Protec

Journalists (New York), Article 19 (London) dan Reportour Sans Frontier (Paris)
pun menaruh harapan besar agar pelaku sebenarnya terungkap.
Tekanan terhadap pers dan jatuhnya korban di kalangan wartawan, sebagaimana
sedikit diceritakan dalam kasus-kasus di atas, sebenarnya ironis dengan nasib
sejarahyang dialami dunia pers saat ini. Di tengah gencarnya gelombang
kompetisi antar pers yang semata-mata ditujukan untuk meningkatkan jumlah
oplah, pers ternyata masih dipandang , setidaknya oleh sebagian pejabat
pemerintah , sebagai sumber gangguan. Mitos pers sebagai pilar demokrasi
keempat (sesudah lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif) yang sudah terlanjur
melekat agaknya sulit dieliminasi begitu saja.
Tekanan terhadap pers dan jatuhnya korban di kalangan wartawan, sebagaimana
sedikit diceritakan dalam kasus-kasus di atas, sebenarnya ironis dengan nasib
sejarahyang dialami dunia pers saat ini. Di tengah gencarnya gelombang
kompetisi antar pers yang semata-mata ditujukan untuk meningkatkan jumlah
oplah, pers ternyata masih dipandang , setidaknya oleh sebagian pejabat
pemerintah , sebagai sumber gangguan. Mitos pers sebagai pilar demokrasi
keempat (sesudah lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif) yang sudah terlanjur
melekat agaknya sulit dieliminasi begitu saja.
Ini sebenarnya paradoks: di satu sisi pers dihadapkan pada kenyataan historis
sebagai sebuah industri yang harus memperhitungkan segala bentuk perhitungan
untung rugi, tapi di sisi lain, tak seperti lembaga lembaga bisnis lainnya, ia juga
tak mungkin menepis fitrahnya sebagai pencari dan penyebar informasi yang
acapkali menghasilkan benturan-benturan kepentingan.
Justru di titik inilah letak kekuatan sekaligus kelemahan pers. Ia menjadi kekuatan
informasi yang disebarkan sanggup menjadi penggalang opini publik, tapi di saat
lain juga menjadi titik lemah yang dengan mudah menjadi alasan untuk
membunuhnyaterutama yang datang dari kekuasaan.
Dari segi profesi, peran wartawan pun cap dianggap berbeda dengan jenis-jenis
profesi lainnya. Padahal, kalau melihat output, yang dihasilkan: pekerjaan ini sama
sekali tidak ada istimewanya. Yang diperlukan seseorang untuk menjadi seorang
wartawan hanyalah ketrampilan menulis. Tapi karena profesi ini berhubungan
dengan pemaparan fakta (yang sering identik dengan kebenaran) yang terjadi di
tengah masyarakat, persoalan pun lantas menjadi lebih rumit. Sebab tidak semua
pemaparan fakta disukai setiap orang. Di sinilah letak resiko itu: ketika kebenaran
itu menjadi musuh bagi mereka yang merasa dirugikan dengan adanya aliran

informasi yang bebas. Tak heran, bahkan seorang Arief Budiman pun tak segan
menggolongkan wartawan sebagai bagian dari barisan intelegensia.
Paradigma kritis adalah sebuah pilihan dari Jurnalisme kritis yang sebenarnya telah
lahir sejak munculnya jurnalisme pada abad 15-an. Rentangan sejarah panjang
jurnalis merupakan sebuah tugas mulia dimana pers adalah sebuah institusi sosial
yang pasti di dalamnya adalah fungsi komunikasi. Dan lebih spesifik lagi sebagai
bagian pers nasional, pers menurut UU no 40 tahun 1999 mempunyai fungsi
sebagai media informasi, pendidikan , hiburan dan kontrol sosial.
Kekerasan terhadap wartawan adalah perbuatan melanggar Undang Undang UU
No 40 Pasal 2, dimana Kemerdekaan Pers adalah salah satu wujud kedaulatan
rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi , keadilan dan supermasi hukum.
Dan Pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Kematian Udin sungguh misteri
sampai kini. Kekerasan yang diterimanya jelas menciderai kemerdekaan setiap
warga negara untuk melakukan kontrol sosial. Maka untuk melaksanakan dan
menegakan hukum rule of law diperlukan lembaga-lembaga tertentu yang
mempunyai kekuasaan yang diakui. Karena itu maka kekuasaan dan hukum
menjadi jaminan bagi yang berlaku atau demi tegaknya hukum.
Melalui sistem hukum , hak hak dan kewajiban-kewajiban ditetapkan bagi para
warga masyarakat yang menduduki posisi tertentu. Termasuk kalangan pemerintah
(eksekutif) dan DPR (legislatif). Sejalan dengan itu, kebebasan yang diberikan
kepada golongan lain disertai tanggungjawab. Walaupun demikian, pada
hakekatnya hukum merupakan suatu alat dari elite yang berkuasa yang sedikit
jumlahnya digunakan untuk mempertahankan atau telah menambah kekuasaan.
Dalam negara demokrasi kekuasaan itu diperoleh dari rakyat, jadi
mempertahankan amanat rakyat.
Kesimpulan dan Saran
Episode Lengsernya Soeharto dan berlanjut dengan Pemerintahan Reformasi
secara berturut-turut Habibie, Gus Dur, Mega ternyata membawa dampak luarbiasa
dalam perkembangan pers nasional. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia
langsung masuk ke dalam barisan tiga negara yang dikategorikan memiliki
kebebasan Pers, sesudah Filiphina dan Thailand. Beberapa organisasi pers,
semacam AJI malah membentuk South East Asia Press Alliance (SEAPA), yang
bertugas mengekspor kebebasan pers ke negara-negara tetangga.
Indikasi pers bebas di Indonesia kini memang tidak ada yang menyangkal. Media
Massa, baik cetak maupun elektronik, sekarang nyaris tidak punya hambatan lagi

dalam meliput dan menyiarkan berita. Semua tampil berani. Hampir tidak ada lagi
tabu-tabu politik yang semasa Orba berkuasa begitu membelenggu ruang gerak
pers. Apapun bisa ditulis: Keluarga Cendana, Cikeas, Century, Wisma Atlet,
Proyek Hambalang sampai masalah HAM dan SARA. Semua bisa ditulis dan
disebarkan. Begitupula dalam organisasi wartawan, semua bebas membentuk
organisasi.
Kasus Udin dapat dismissalkan demi tegaknya hukum. Sehingga peran dan fungsi
pers dapat dikuatkan dan masa depan pers nasional dijamin oleh banyak pihak,
baik pemerintah, DPR, Kepolisian, dan rakyat. Apalagi kasus Udin akan
kadaluarsa secara hukum pada bulan Agustus tahun 2014.
Toh keragu-raguan terhadap masa depan pers nasional masih ada. Pertama, dengan
persoalan kualitas jurnalisme itu sendiri. Pers bebas yang berjalan sekarang
ternyata tidak diikuti oleh peningkatan kualitas jurnalisme. Yang ada hanya
keberaniansering tanpa disertai pertanggungjawaban moral terhadap dampak
yang mungkin merugikan kehidupan masyarakat.
Kedua, adanya UU Pers yang menjamin kebebasan pers ternyata masih
menyisakan kekerasan terhadap wartawan. Ini membuktikan masyarakat dan
pemerintah belum sepenuhnya menjamin kekebasan pers dan berpendapat.
Ketiga, terkait kesejahteraan jurnalis. Kebebasan pers tanpa independensi dari
wartawan tentu sulit ditegakan. Wartawan agar tetap independen, maka harus
sejahtera. Tugas mulia jurnalis ini harus dihargai dengan nilai-nilai kepantasan agar
kehidupan jurnalis menjadi lebih baik.
Bagaimanapun, salah satu penikmat terbesar era reformasi ini adalah pers. Justru
karena itu menjadi tanggung jawab bersama agar perjuangan ke arah kekebasan
pers yang di idealkan bisa menjadi kenyataan. Semoga pers Indonesia menjadi
lebih baik dan mampu mengemban amanah-amanah publik, dan tidak sekedar
menjadi mitos penyangga pilar keempat dari demokrasi di republik tercinta ini.
(***)
*Alumnus Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta

Implementasi Aswaja
Bentuk pemahaman keagamaan Ahlussunnah Waljamaah yang dikembangkan NU
disebutkan secara tegas dalam AD NU Bab II tentang Aqidah/Asas Pasal 3 (Setjen
PBNU, 2000: 10), yakni Nahdlatul Ulama sebagai Jamiyyah Diniyah Islamiyyah
beraqidah/berasas Islam menurut faham Ahlussunnah Waljamaah dan menganut
salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali. Untuk bidang
tasawuf yang merupakan dasar pengembangan akhlak atau perilaku kehidupan
individu dan masyarakat, NU menganut paham yang dikembangkan oleh Abul
Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi dan Muhammad ibnu Muhammad Al-Ghazali serta
Imam-Imam yang lain (Setjen PBNU: tt., 9).
Dari penjelasan itu dapat dipahami bahwa NU mengembangkan faham
Ahlussunnah Waljamaah yang mencakup tiga hal pokok yang secara garis besar
juga merupakan aspek-aspek ajaran Islam, yaitu: (1) akidah; (2); syariah atau
fikih; dan (3) akhlak.
Akidah merupakan aspek terpenting sekaligus yang melatarbelakangi lahirnya
paham Ahlussunnah Waljamaah dalam dunia Islam. Di lingkungan NU,
pemahaman terhadap aspek akidah menggunakan metode Asyariah dan
Maturidiah. Paham Ahlussunnah Waljamaah menempatkan nash Al-Quran dan
Sunnah Nabi sebagai otoritas utama yang berfungsi sebagai petunjuk bagi umat
manusia dalam memahami ajaran Islam. Dalam kaitan ini, akal yang mempunyai

potensi untuk membuat penalaran logika, filsafat, dan mengembangkan ilmu


pengetahuan merupakan alat bantu untuk memahami nash tersebut.
Syariah atau fikih merupakan aspek keagamaan yang berhubungan dengan
kegiatan ibadah (ibdah) dan muamalah (mumalah). Ibadah merupakan tuntutan
formal yang berhubungan dengan tata cara seorang hamba dalam berhadapan
dengan Tuhannya, seperti yang tergabung dalam rukun Islam. Hubungan secara
langsung antara hamba dengan Tuhannya ini dalam bahasa Al-Quran disebut habl
min Allh. Adapun muamalah merupakan bentuk kegiatan ibadah (penghambaan
kepada Allah atau pengamalan ajaran agama) yang bersifat sosial, menyangkut
hubungan manusia dengan sesamanya secara horizontal, misalnya jual beli,
perilaku pidana-perdata, pembuatan kesepakatan-kesepakatan tertentu, perilaku
sosial-politik, dan lain sebagainya. Dalam bahasa Al-Quran aspek ini disebut
dengan habl min an-ns.
Semua dasar dari syariah atau fikih ini ada di dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Akan tetapi, menurut paham Ahlussunnah Waljamaah tidak semua orang akan
dapat menerjemahkan dan memahaminya secara langsung. Sebagaimana diketahui,
kebanyakan nash Al-Quran maupun Sunnah berbicara tentang pokok dan prinsipprinsip (ashl, j: ushl) masalah. Hal ini membutuhkan penjabaran dengan metode
pengambilan hukum tertentu, sehingga dapat diperjelas apa saja yang menjadi
cabang-cabangnya (far j: fur). Untuk melakukan hal ini diperlukan ijtihad yang
tidak semua mampu melakukannya. Itulah sebabnya mengapa dalam paham
Ahlussunnah Waljamaah, mengikuti mazhab tertentu dalam memahami ajaran
agama menjadi demikian penting.
Implementasi Paham Ahlussunnah Waljamaah di NU, koridor bagi pemahaman
keagamaan di lingkungan NU adalah taqdm an-nashsh al al-aql (mendahulukan
nash atas akal). Itulah sebabnya mengapa dalam mengimplementasikan paham
Ahlussunnah Waljamaah, NU mengenal hirarki sumber ajaran Islam sebagaimana
dilakukan oleh mayoritas umat Islam, yaitu mulai dari Al-Quran, sunnah, ijm
(kesepakatan jumhur ulama), dan qiys (pengambilan hukum melalui metode
analogi tertentu), diletakkan dalam konteks yang hierarkis, di mana sumber suatu
hukum baru akan digunakan jika dalam sumber di atasnya tidak ditemukan
keketapannya.

Hierarki sumber ini berlaku untuk semua aspek keagamaan, baik akidah, syariah
atau fikih, maupun akhlak. Hierarki seperti ini, secara implisit juga tergambar
dalam pernyataan Asyari pada saat memproklamirkan pahamnya di depan publik,
bahwa sandaran otoritas pendapat dan keyakinan yang dianutnya adalah berpegang
teguh Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, atsar sahabat, perkataan tabiin, pembela
hadis, dan apa yang dikatakan oleh Ahmad ibn Hanbal. (lihat: Nasir Yusuf dan
Karsidi Ningrat, 1998: 46-47).
Watak atau ciri NU dalam mengembangkan paham Ahlussunnah Waljamaah
adalah pengambilan jalan tengah yang berada di antara dua ektrim. Kalau kita
melihat ke belakang, sejarah teologi Islam memang banyak diwarnai oleh berbagai
macam ektrem, seperti Khawarij dengan teori pengkafirannya terhadap pelaku
dosa besar, Qadariyah dengan teori kebebasan kehendak manusianya, Jabariyah
dengan teori keterpaksaan kehendak dan berbuat manusianya, dan Muktazilah
dengan pendewaannya terhadap kemampuan akal dalam mencari sumber ajaran
Islam. Di sinilah Asyariah dan Maturidiah dengan mengambil inspirasi berbagai
pendapat yang sebelumnya dikembangkan terutama oleh Ahmad ibn Hanbal-merumuskan formulasi pemahaman kalamnya tersendiri dan banyak mendapatkan
banyak pengikut di seluruh dunia.
Dalam Risalah Khittah Nahdliyyah, K.H. Achmad Shiddiq (1979: 38-40),
menjelaskan bahwa paham Ahlussunnah Waljamaah memiliki tiga karakter.
Pertama, tawsuth atau sikap moderat dalam seluruh aspek kehidupan; kedua, alitidl atau bersikap tegak lurus dan selalu condong pada keberanaran keadilan;
dan ketiga, at-tawzun atau sikap keseimbangan dan penuh pertimbangan.
Tiga karakter tersebut berfungsi untuk menghindari tatharruf atau sikap ekstrim
dalam segala aspek kehidupan. Dengan kata lain, (Muhith Muzadi, tt: 33-34) harus
ada pertengahan dan keseimbangan dalam berbagai hal. Dalam akidah, misalnya,
harus ada keseimbangan atau (pertengahan) antara penggunaan dalil naqliy dan
aqliy, antara ekstrim Jabariyah dan Qadariyah. Dalam bidang syariah dan fikih,
ada pertengahan antara ijtihad sembrono dengan taklid buta dengan jalan
bermazhab. Tegas dalam hal-hal qathiyyt dan toleran pada hal-hal dzanniyyt.
Dalam akhlak, ada keseimbangan dan pertengahan antara sikap berani (syajah)

dan sikap penakut serta ngawur. Sikap tawdlu (rendah hati) merupakan
pertengahan antara takabbur (sombong) dan tadzallul (rendah diri).
Secara keseluruhan, bisa juga dikatakan bahwa paham keagamaan Ahlussunah
Waljamaah yang ditampilkan oleh NU merupakan manhaj yang mengambil jalan
tengah antara kaum ekstrem aqliy (rasionalis) dengan kaum ekstem naqliy
(skripturalis). Akan tetapi, dalil-dalil berdasarkan nash Al-Quran dan sunnah
(naqliy) secara hierarkis berada di atas dalil berdasarkan akal atau logika (aqliy).
Dengan kata lain bahwa di dalam lingkungan NU diterapkan metode berpikir untuk
mendahulukan nash dari pada akal (taqdm an-nashsh al al-aql).
Perpaduan antara tawassuth, itidl, dan tawzun ini juga mencerminkan tradisi NU
yang dalam secara kultural bersikap mempertahankan tradisi lama yang baik,
menerima hal-hal baru baru yang lebih baik, tidak bersikap apriori dalam
menerima salah satu di antara keduanya, dan lain sebagainya. Inilah maksud dari
adagium al-muhfazhah al al-qadm ash-shlih wa al-akhdz bi al-jadd alashlah. Dengan demikian, secara konseptual NU memilih jalan moderat dan
terbuka (inklusif) dalam mengamalkan ajaran agama (baca: Islam).
Dalam tataran implementasi, memang selalu ditemukan kendala antara sisi almuhfazhah al al-qadm ash-shlih dan al-akhdz bi al-jadd al-ashlah,. Yaitu,
adanya kesimpulan bahwa kaum nahdliyyin merupakan masyarakat Islam
tradisional, pada satu sisi barangkali meskipun bisa dipahami dalam pengertian
lain, antusiasme mereka dalam melestarikan budaya dan tradisi lokal dalam
mengamalkan ajaran agama disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam
mengimplementasikan paham Ahlussunnah Waljamaah itu mereka lebih
menitikberatkan pada aspek prinsip tadi.
Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siraj, seorang tokoh NU yang pada tahun 1990-an sempat
menggemparkan wacana Ahlussunnah Waljamaah di lingkungan NU, berpendapat
bahwa adagium itu sebaiknya dipertajam lagi dengan istilah al-jd atau alibd bi al-jadd al-ashlah yang mengandung pengertian aktif dan kreatif
daripada al-akhdz yang mengandung pengertian pasif (lihat: Endang Turmudzi,
dkk, 2004: 2).

Apa yang dijelaskan oleh Said Aqil Siraj itu pada dasarnya merupakan otokritik
atas apa yang selama ini berkembang di lingkungan nahdliyyin. Terlepas dari
perdebatan mengenai hal ini, yang harus dipahami adalah bahwa prinsip almuhfazhah al al-qadm ash-shlih al-akhdz b al-jadd al-ashlah merupakan
sebuah kesatuan, dan harus diimplementasikan secara seimbang.
Dengan demikian selalu ada celah di mana paham Ahlussunnah Waljamaah harus
selalu dikaji dan dikritisi, di samping menjaga keutuhan metode pemikirannya.
Pemahaman seperti ini (Said Aqil Siradj, 1999: 197), bukan dimaksudkan sebagai
upaya vis a vis Imam Asyari dan Imam Maturidi. Namun, justru diproyeksikan
sebagai upaya untuk meneruskan dasar-dasar yang pernah mereka paparkan secara
kritis, metodologis, dan analisis.
Aktualisasi sebuah ajaran tentu mensyaratkan adanya upaya untuk selalu
menjadikan ajaran itu relevan dengan situasi kongkret dan kekinian, serta mampu
memberikan solusi atas persoalan-persoalan yang terus berkembang. Hal ini
mengandaikan adanya proses pencermatan secara kritis terhadap apa yang telah
dihasilkan oleh para pendiri paham Ahlussunah Waljamaah. Sikap yang cermat
dan kritis inilah yang akan mengantarkan seseorang bersikap moderat dan terbuka
dalam beragama.
Ahussunnah Waljamaah sebagaimana dirumuskan oleh Kiai Hasyim Asyari
dalam Rislah Ahl as-Sunnah wa al-Jamah merupakan cara pandang, berpikir,
dan pada dasarnya bersifat holistik (menyeluruh) yang mengasumsikan bahwa
segala persoalan hidup kemanusiaan baik lahir maupun batin bisa terjawab dengan
paham keagamaan itu. Akan tetapi, memang sulit dijumpai karya-karya ulama di
lingkungan NU yang secara panjang lebar menjelaskan persoalan filsafat dan
politik, meskipun soal politik ini juga dibahas dalam lain kesempatan, misalnya
dalam Resolusi Jihad, dan bisa dimasukkan sebagai bagian dari sistem
Ahlussunnah Waljamaah yang dianut NU. Selain itu, kalangan NU pada umumnya
melihat bahwa filsafat NU adalah Ghazalian, sedangkan politiknya Mawardian,
yangmengacu pada Imam Mawardi. Namun semuanya itu agaknya lebih banyak
dipraktekkan ketimbang dirumuskan menjadi pola pemahaman Ahlussunnah
Waljamaah secara lebih sistematis dan terinci. (Abdul Munim Dz, 2004: ws.).
Akan tetapi pada dasarnya NU senantiasa memberikan respons terhadap persoalan-

persoalan kehidupan masyarakat. Disepakatinya konsep Mabadi Khayra Ummah


(prinsip-prinsip dasar pembangunan masyarakat) dalam Kongres NU XIII tahun
1935, merupakan upaya para ulama dalam memberikan jawaban atas persoalanpersoalan yang berkembang di masyarakat. Konsep itu disempurnakan lagi pada
Munas Alim Ulama di Bandar Lampung Pada 21-25 Januari 1992. Wawasan NU
tentang plularitas masyarakat juga tergambar dalam upaya-upaya perumusan dasar
negara pada masa kemerdekaan, penerimaannya asas Pancasila bagi organisasi
sosial dan kemasyarakatan yang ada di Indonesia.
Sikap dan jawaban-jawaban NU atas berbagai persoalan kemasyarakatan maupun
politik itu berkembang dari waktu ke waktu. Untuk melakukan hal ini NU
mempunyai wadah bahtsul masail. Forum inilah yang menjadikan NU mempunyai
dinamika dan kompleksitas masalah tersendiri dalam hal fatwa, yang sejak
kelahirannya hingga saat ini, NU telah memproduksi ratusan fatwa.
Dalam fatwa NU No. 2/1926 masalah hierarki dibahas sedemikian rupa dalam
rangka memberi batasan-batasan yang hati-hati (ikhtiyth) dalam mengeluarkan
fatwa. Pada awalnya, metode perumusan fatwa diambil dari konsensus (ijm)
Imam Nawawi dan Imam Rafii. Jika masih gagal juga, maka yang dijadikan
rujukan adalah para ulama mazhab Syafii yang bisa dirujuk dari Kanz ar-Rghibn
(karya Imam Mahalli), Tuhfah al-Muhtj (karya Imam Ibnu Hajar), Mughni alMuhtj (karya Imam Syarbini), dan Nihyah al-Muhtj (karya Imam Ramli). Yang
perlu dicatat adalah, pada akhirnya semua pandangan para ulama boleh dirujuk.
Apa yang terjadi di tingkat ulama NU ini sering dipandang sebagai bentuk taqld,
bukan ijtihd. Regulasi pengambilan sumber semacam itulah yang kemudian
memberikan ulama NU reputasi atas konservatisme tradisional, yang oleh
kebanyakan pemikir modern semata-mata diartikan sebagai taqld. Menurut
Hooker pemberian atribut ini pada dasarnya terlalu berlebihan dan patut
dipertanyakan bahkan bisa menjadi kekeliruan serius. (2003:87).
Di lingkungan NU sendiri, agaknya tidak terlalu menjadi persoalan apakah sistem
perujukan sumber-sumber itu disebut ijtihad ataukah taklid. Keharusan bertaklid
bagi orang yang tidak memiliki kemampuan cukup untuk berijtihad yang amat
ditekankan oleh Kiai Hasyim Asyari dalam Rislah Ahl as-Sunnah wal alJamahnya itu agaknya cukup memberikan pengaruh terhadap realitas yang

berkembang dalam metode pengambilan hukum dan keputusan-keputusan ulama di


lingkungan NU. Akan tetapi sesungguhnya yang dimaksud Kiai Hasyim Asyari itu
adalah agar setiap orang menumbuhkan sikap kehati-hatian dalam menjalankan
ajaran dan hukum-hukum agama. Sehingga, perujukan terhadap keputusankeputusan yang dihasilkan oleh as-salaf ash-ashlih perlu dilakukan dan menjadi
dasar pegangan dalam proses-proses penarikan kesimpulan yang berkaitan dengan
hukum agama. Inilah yang melandasi NU untuk menentukan pilihan mazhab dalam
kehidupan agama. (***)
Penulis : Aji Setiawan
Mantan Ketua Penelitian dan Pengembangan Rayon Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) KH Wakhid Hasyim Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:
http://www.muslimedianews.com/2015/03/implementasi-aswaja-ala-warganu.html#ixzz3zHHeUNjd

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Prof. A. Hasymi


http://www.muslimedianews.com/2015/03/sejarah-masuknya-islam-ke-indonesia.html
Ajid Thohir. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam Melacak Akar-Akar
Sejarah, Politik, dan Budaya Umat Islam, Jakarta: Raja Grafindon Persada
Ahmad Mansyur Suryanegara. 2010. Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta.
Azyumardi Azra. 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Islam di Indonesia, Bandung: Mizan.
Dedi Supriyadi, M.Ag. 2008. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Moh. Nurhakim. 2004. Sejarah dan Peradaban Islam, Malang: UMM Press.
Zakaria, Rafiq. 1989. The Struggle Within Islam, Australia: Penguins Books.
Arsip Ag. 13240, No. 18/8 24363/03 (ANRI, Jakarta)
Arsip Ag 13240 No. 6/3-6679/05 (ANRI, Jakarta).
Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta), Lampiran besluit No. 31, Tanggal 24 Oktober 1906.
Arsip Ag 26409106 (ANRI, Jakarta), keputusan Gubernur Jenderal Hindia belanda, Bogor,
Tanggal 24 Oktober 1906.
Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta), No. 10371/80 , Surat Residen Batavia 21 Juni 1906, No.
6767/5.
Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta) No. 266.15771/08.

15. Arsip Ag 15771/08 (ANRI, Jakarta), Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bogor,

29 Juni 1908.
16. Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta), Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bogor, 3
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.

Oktober 1910 (No. 36).


Ali Ahmad al-Seqqaf, Lintasan Sejarah Berdirinya Jamiat Kheir, hal. 2.
Oetoesan Hindia, 1-37 (16-12-1917)
Anshari, Endang Syaifuddin. 1988. Pak Natsir 80 Tahun. Jakarta: Media Dakwah
Arikunto, Suharsimi. 1991. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Gita
Pustaka 2005.
Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Benda, J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari. Jakarta: Pustaka Jaya
Busyairi, Badruzzaman. 1995. Catatan Perjuangan H.M. Yunan Nasution. Jakarta: Pustaka
Panji Mas
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Pedoman Petunjuk Penilaian. Jakarta:
Depdikbud
Gulo,W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo
Hadi, Sutrisno. 1998. Metode Research. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada
Karim, Rusli. 1985. Perjalanan Partai Politik di Indonesia Politik Sebuah Potret Pasang
Surut. Jakarta: CV Rajawali
Maarif, Ahmad Syafii. 1985. Islam dan Kenegaraan. Jakarta: LP3ES
Mudjiono dan Dimyati, 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:Depdikbud
Majalah. Ishlah. No. / 64 tahun / IV 1996
Nasir, Muhammad. 2003. Metode Diktatik. Jakarta: Bina Aksara
Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: LP3ES
Poerwadarmita. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Riclefs. 1995. Sejarah Indonesia Modern Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
Srawiji, Bambang. 2006. Kamus Pelajar Bahasa Indonesia. Jakarta: Ganeca exact
Suryabrata, Sumadi. 1983. Metode Penelitian. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
Widyosismoyo, Supartono. 1991. Sejarah Nasional Indonesia dan Dunia. Jakarta. Intan
Majalah alKisah, No 4/IV/2006, rubrik Sejarah; Harlah NU: Menghadang Langkah Wahabi,
hal 68-72.
Buku Berangkat Dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri, PT Gunung Agung, 1987)
KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Pernah dimuat
Suara Merdeka, 19 Juni 1992.
Amelz, H.O.S Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
Brackman, Arnold. Indonesian Communism, (New York: Preager, 1963.
Dengel, Holk. Darul Islam dan Kartosuwiryo: Sebuah Angan-Angan yang Gagal, Jakarta:
Sinar Harapan, 1997.
Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, Yogyakarta: LkiS, 1998.
Legge, J.D. Sukarno, Biografi Politik, Jakarta: Sinar Harapan, 2000.
Geertz, Clifford. Santri, Abangan dan Priyayi, Jakarta: PT Gramedia, 1982.
Ingleson, John. Jalan Ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia 1927-1934,
Jakarta: LP3ES, 1988
Mc.Vey, Ruth. The Rise of Indonesian Communism, Ithaca.NY: Cornell University Press,
1965.

49. Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta:

Grafiti Press, 1997.


50. Komunisme (editor: Herdi Sahrasad), Jakarta: Madani Press, 2000.
51. Deliar Noer, 1996, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES
52. Sartono Kartodirjo, dkk, 1975, Sejarah Nasional Indonesia, jilid V, Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan


53. M.C.Richlefs, 2001, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi
54. Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatiri, Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin
55. Syarah Ainiyah, Lentera
56. S. Umar Muhdor Syahab, Tuntutan Tanggung Jawab Ahlul Bait dan Kafaahnya, Jakarta:

Yayasan Nusantara, 1999


57. Dr. Said Ramadhan Bouti dalam al Ruhaniyat al ijtimaiyah, al Markaz al Islami
58. M. Hermawan Eriadi 2006, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik UI dalam Artikelnya

yang berjudul Kiprah dan Jejak Politik Masyumi


59. Majalah alKisah, No 4/IV/2006, rubrik Sejarah; Harlah NU: Menghadang Langkah Wahabi,
hal 68-72

BIOGRAFI PENULIS

Aji Setiawan,ST lahir pada Hari Minggu Wage, 1 Oktober 1978. Di


lahirkan, tepatnya di Desa Cipawon, Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah,
Indonesia.

Menempuh pendidikan formal diawali dari Sekolah di Madrasah Ibtidaiyah


II Cipawon di desa Cipawon, kemudian sesudah itu dilanjutkan ke SMP I Bukateja.
Pendidikannya berlanjut ke kota kripik, tepatnya sejak 1993-1996, di SMA 3
Purwokerto.
Selepas dari Purwokerto, tahun 1996, ia pergi ke Yogyakarta dan mengambil
pendidikan di Jurusan Teknik Manajemen Industri, Fakultas Teknologi Industri,
Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.
Sejak tahun 1997 ia mulai malang melintang di berbagai lembaga kampus,
mulai dari Himpunan Mahasiswa TMI-FTI UII, Lembaga Pers Mahasiswa
Profesi FTI, LPM Himmah UII, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) Rayon Fakultas Teknologi Industri _UII Jogjakarta, Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII) Komisariat KH Wahid Hasyim UII Jogjakarta, Ketua
Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi Korda Jogjakarta (1999-2002).
Lulus kuliah tahun Oktober 2002, kemudian bekerja di Majalah alKisah,
Anekayess group! tahun 2004-2007. Staff Ahli Fraksi Persatuan Pembaharuan
Bangsa Kab Purbalingga 2012-2014.
Memutuskan diri menjadi kontributor banyak media dari tahun 2009. Mulai
dari Majalah alKisah, Majalah Risalah NU, Tabloid Media Ummat
(www.mediaummat.co.id), Majalah Sufi (www.sufinews.co.id), NU Online
http://www.nu.or.id , Berita9Online www.berita9online.com, mediasantri
(www.santrinews.com),
islampos
(www.islampos.com),
Suraupos
(www.suraupos.com), muslimmedia (www.muslimmedia.or.id), Islam Garis Lurus
(www.garislurusnu.com), majalah tabloid online Islam, dan lain-lain.
Tel NO: 081229667400
E-mail: ajisetiawanst@gmail.com
aji_setiawan2000@yahoo.com
Honor ditransfer ke Account: BANK MANDIRI: 1390010915175

Anda mungkin juga menyukai