ketiga (kelas ekonomi baru), yaitu buruh industri para kapitalis. Visi Marx selanjutnya adalah tesis
yang berupa kapitalisme melawan antitesis berupa kaum pekerja atau proletar yang akan menghasilkan
sintesis sosialisme.[9] Menurut Marx, sejarah manusia bisa dilihat sebagai rangkaian perjuangan kelas.
Konflik kelas paling signifikan pada abad pertengahan adalah konflik antara kelas pedagang dan kelas
aristrokrasi feodal kuno. Pemecahan masalah ini adalah melalui sistem sosial yang baru, yaitu
kapitalisme. Namun, kapitalimse ternyata juga dikendalikan oleh kelas tertentu. Marx meyakini bahwa
mesin sejarah modern di bawah kapitalisme adalah perjuangan politik antar para borjuis dan para
proletar.[10]
Pemahaman mengenai filsafat Karl Mark bisa dilihat pada karya-karya tulisannya seperti The
Economics and Philosophical Manuscripts, ditulis Marx tahun 1844, ketika Marx berusia 26 tahun.
Dalam manuskrip, Marx mengatakan bahwa kapitalisme manusia di alienasikan dari pekerjaan, barang
yang dihasilkan, majikan, rekan sekerja dan diri mereka.[11] Maksudnya yaitu melalui kerja manusia
mewujudkan bakat-bakat dirinya, mengenal dirinya. Lewat kerjanya juga manusia menyatakan
kebebasannya sebagai tuan atas alam dengan mengubah alam sesuai keinginannya.
Selain itu Marx juga berpendapat bahwa kerja juga menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial,
sebab hasil kerjanya adalah hasil objektifitas dirinya yang bisa diakui atau dimanfaatkan oleh orang
lain. Semua ciri kerja ini sudah lenyap dalam masyarakat industri. Dalam kerja upahan (Lohnarbeit),
pekerja manjual tenaganya. Hasil kerjanya lalu menjadi milik perusahaan sehingga dia teraliensi dari
produknya sendiri. Selain itu, dalam kerja upahan, pekerja juga teraliensi dari aktivitas kerjanya
sendiri, sebab jenis kerjanya ditentukan majikan. Lalu, karena dia mau tetap hidup, dia terpaksa
memperalat dirinya untuk mendapat nafkah; artinya dia pun teraliensi dari dirinya sendiri dengan
lenyapnya kebebasan. Akibatnya, terjadi persaingan di antara para pekerja dan permusuhan antara
pekerja dan majikan, sehingga kerja upahan juga mengasingkan manusia dari sesamanya. Marx lalu
menganggap alienasi akan diakhiri melalui penghapusan institusi hak milik itu, sehingga masyarakat
tidak terbagi menjadi kelas-kelas yang saling bertentangan. Ini tidak dilakukan lewat refleksi seperti
yang dikatakan Hegel, tetapi lewat praktis yaitu revolusi.[12]
Karya selanjutnya The Manifesto of the Communist Party, atau Manifesto Partai Komunis dicetak pada
bulan Februari, 1845 merupakan karya Karl Marx dan Engels. Dalam buku ini dikemukakan mengenai
hakikat perjuangan kelas, yang dijelaskan:
sejarah dari semua masyarakat yang ada sampai saat ini merupakan cerita dari perjuangan kelas.
Kebebasan dan perbudakan, bangsawan dan kampungan, tuan dan pelayan, kepala serikat kerja dan
yang ditentukan, berada pada posisi yang selalu bertentangan satu sama lainnya, dan berlangsung tanpa
terputus[13]
Kemudian menurut Marx Komunisme adalah sebuah kekuatan dan tiba saatnya kekuatan itu bersuara,
hal ini yang menjadi bagian dari cita-cita Marx ketika menulis Manifesto. Cita-cita yang lain adalah
mengubah dunia dengan membawa dunia pada fase historis yang terakhir, yaitu komunisme dan tujuan
politiknya untuk lebih memfokuskan sebuah revolusi.[14] Ia menuliskan,
masa transformasi revolusioner akan mengubah masyarakat kapitalis menjadi masyarakat komunis.
Revolusi ini juga menyangkut masa peralihan kekuasaan dari negara kepada diktator proletar[15]
Manifesto juga berisi sebuah filsafat sejarah, yang kemudian dikenal sebagai materialisme historis.
Teori sejarah Marx tidak mencoba untuk menjelaskan sedikit mengenai sejarah manusia, tetapi
menerangkan evolusi sebagai bagian dari teori sejarah, yang bernama sejarah sosial dan ekonomi. Marx
berpendapat bahwa setiap produksi yang dihasilkan tidak berdasar pada kesanggupan, tetapi
berdasarkan adanya kelas penguasa dan kelas pekerja. Kelas pekerja memproduksi bahan-bahan yang
dibutuhkan untuk bertahan hidup, dan kelas penguasa berdiri di atas mereka, mengambil untuk dirinya
sendiri kelebihan dari pekerja-pekerja mereka. Para pekerja, kemudian dieksploitasi oleh kelas
penguasa untuk memenuhi kebutuhan mereka dan pada akhirnya juga kelebihan-kelebihan mereka.
Ada beberapa model produksi menurut Karl Marx yaitu model produksi kuno dimana kelas penguasa
memiliki budak pekerja sesuai dengan pembagiannya. Budak memproduksi apa yang mereka sendiri
sungguh butuhkan, kebutuhan akan makanan, pakaian, dan tempat tinggal.[16]Selanjutnya adalah
model produksi yang feodal. Di sini, para budak yang mengolah tanah lebih daripada budak yang
memproduksi kebutuhan material di masyarakat. Buruh tanah menikmati sebagian kecil dari kebebasan
yang lebih besar daripada apa yang dialami dalam perbudakan para penduhulnya. Para budak tanah
memiliki beberapa hak kepemilikan tanah dan juga tingkat kekuatan untuk mengambil keputusan kapan
dan bagaiman mereka menyebarkan pekerja mereka. Marx tetap mencatat bahwa tanah di mana para
buruh tanah itu bekerja bukan milik mereka sungguh-sungguh; tanah dimiliki oleh tuan tanah dan
akhirnya monarki.[17]
Marx berargumen bahwa model feodal ini secara bertahap memberikan jalan untuk model kapitalis. Di
sini, pekerja upahan, atau kaum proletar, menjadi pekerja utama dalam masyarakat. Kelas kapital, tidak
seperti penguasa budak atau tuan feodal, berdiri di atas kelas pekerja, sebagai kelas yang menentukan
aturan. Kelas kapital mengeksploitasi kaum proletariat dan mengambil keuntungan dari pekerja
mereka, sekarang lewat sarana-sarana untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungan memberikan
kepada kapitalis uang untuk konsumsi mereka sendiri.[18]
Karya lain Karl Marx yaitu Das Kapitalyang berisi ajaran mengenai nilai lebih dan kehancuran
otomatis sistem kapitalisme. Kedua pokok ini tidak lagi merupakan analisis filosofis, melainkan
sebuah analisis ekonomis ketat. Nilai lebih diperoleh karena pekerja bekerja melampau waktu yang
wajar. Kelebihan waktu itu adalah kerja tanpa upah. Jadi, keuntungan diraih dari waktu kerja yang lebih
itu. Di sini, Marx menemukan sifat eksploitatif dari kapitalisme, karena, menurutnya, proses akumulasi
modal adalah proses perampasan dari kaum buruh sendiri, yaitu tansaga labihnya tak dibayar dan
menjadi keuntungan kapitalis.[19] Keuntungan kapitalis selanjutnya diinvestasikan untuk alat produksi,
seperti teknologi, peralatan, dan lain-lain. Jadi kelas kapitalis ini secara cepat memperbaharui alat
produksi. Kapitalis akan semakin agresif menginvetasikan uangnya pada teknologi dan semakin sedikit
menginvestasikan uangnya pada faktor pekerja atau buruh. Karena pada dasarnya keuntungan produksi
diperoleh dari faktor pekerja.[20]
Ajaran kedua, tentang kehancuran kapitalisme,adalah sebuah analisis yang sangat deterministis.
Menurut analisis Marx, proses eksploitasi kaum buruh melalui nilai lebih akan menghasilkan krisiskrisis yang niscaya. Krisis disebabkan oleh kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan besar menelan
perusahaan-perusahaan kecil, sampai akhirnya jumlah kaum kapitalis semakin mengecil dan
pemiskinan massa semakin meningkat. Cepat atau lambat, namun niscaya, pertumbuhan kapitalisme itu
secara otomatis akan menumbuhkan kesadaran revolusioner dari pihak massa yang dipermiskin dan
dieksplotasi, dan sistem kapitalis akan menemui jalan buntunya untuk mengatasi krisis itu.
Pengangguran bertambah, inflasi membumbung, produksi tak terjual, dst., dan sistem kapitalis akan
menghancurkan dirinya sendiri. Itulah saat munculnya masyarakat tanpa kelas. Dengan demikian,
munculnya sosialisme dibayangkan oleh Marx.[21]
Konsep Sosialisme Marx
Konsep sosialisme Marx berasal dari konsepnya tentang manusia. Menurut konsep tentang manusia
ini, sosialisme bukan sebuah masyarakat yang tersusun atas individu-individu yang diatur dan otomatis
yang mengabaikan apakah mereka memiliki pendapatan yang cukup atau tidak, dan yang mengabaikan
apakah pangan dan sandang mereka tercukupi dengan baik atau tidak. Sosialisme bukanlah sebuah
masyarakat di mana individu tersubordinasikan oleh negara, mesin dan birokrasi. Tujuan sosialisme
adalah manusia. Sosialisme harus menciptakan sebuah bentuk produksi dan organisasi masyarakat di
mana manusia dapat mengatasi alienasi dari produknya, dari kerjanya, dari sesamanya, dari dirinya
sendiri dan dari alam; di mana dia dapat kembali menjadi dirinya sendiri dan menguasai dunia.
Dalam konsep sosialisme Marx, individu berpartisipasi secara aktif dalam perencanaan dan
pelaksanaannya, pendeknya, merupakan pewujudan demokrasi politik dan industrial. Sosialisme, bagi
Marx, adalah sebuah masyarakat yang memberi ruang bagi aktualsasi esensi manusia, dengan cara
mengatasi alienasinya. Sosialisme tidak kurang dari menciptakan kondisi-kondisi untuk mencapai
manusia yang benar-benar bebas, rasional, katif dan independen. Bagi Marx, tujuan sosialisme adalah
kebebasan, tetapi kebebasan yang maknanya jauh lebih radikal daripada yang dipahami oleh demokrasi
yang hidup pada saat itu, yakni dalam pengertian independen yang didasarkan pada kedirian manusia
yang berpijak pada kakinya sendiri, yang menggunakan kekuasaannnsya sendiri dan menghubungkan
dirinya dengan dunia secara produktif.[22]
Politik Marx
Masyarakat dan Negara. Negara menurut Marx sebagai alat belaka dari kelas penguasa (berpunya)
untuk menindas kelas yang dikuasai (yang tidak berpunya). Negara dan pemerintahan identik dengan
kelas penguasa, artinya dengan kelas berpunya dalam sejarah berturut dikenal kelas pemilik budak,
kelas bangsawan (tuan tanah), kelas borjuis. Ini berkaitan dengan dialektika bahwa perkembangan
masyarakat feodalisme kemasyarakatan borjuis atau kapitalisme dan se-lanjutnya menuju masyarakat
sosialisme yang perubahan itu merupakan kelanjutan yang tidak dapat dielakkan. Untuk menuju
masyarakat komunis, tidak dengan berdiam diri, melainkan harus berjuang bukan menanti dialektika
sejarah itu.[23]
Agama adalah Candu
Bagi Marx religion is the opium of people, adalah ungkapannya yang terkenal bagaimana umumnya
orang memiliki penilaian terhadap sikap kalangan komunis terhadap keberadaan agama ditengah
masyarakat dan Negara. Marx memandang agama tidak menjadikan manusia menjadi dirinya sendiri,
melainkan menjadi sesuatu yang berada diluar dirinya yang menyebabkan manusia dengan agama
menjadi makhluk yang terasing dari dirinya sendiri. Agama adalah sumber keterasingan manusia.
Agama harus dilenyapkan karena agama sebagai alat kaum borjuis kapitalis untuk mengeksploitasi
kelas pekerja. Agama dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaannya, selain
dijadikan alat agar rakyat tidak melakukan perlawanan, pemberontakan, dibiarkan terlena dan patuh
atas penguasa, dan semua ini sebagai fungsi eksploitasi agama. Agama adalah produk dari perbedaan
kelas, selama perbedaan kelas ada maka agama tetap ada. Marx percaya bahwa agama adalah
perangkap yang diapasang kelas penguasa untuk mejerat kelas pekerja, bila perbedaan kelas itu hilang,
agama dengan sendirinya akan lenyap.[24] Marx secara terang-terangan bermusuhan dengan lembagalembaga keagamaan.
Marx beranggapan bahwa sifat khayalan dari agama di ukur dengan latar belakang historis dari
keterasingan. Manusia primitif terasing dari alam dan pengasingannya diungkapkan dengan bentuk
agama alamiah. Dengan meluasnya pembagian kerja yang menghasilkan peningkatan penguasaan
alam, kepercayaan keagamaan diuraikan menjadi sistem gagasan yang dirasionalisasikan lebih jelas
(dalam makna weber) yang mengungkapkan keterasingan-diri dari manusia. Kapitalisme menunjukkan
kemampuan manusia menguasai alam; alam semakin dimanusiawikan oleh adanya upaya manusia
dalam bidang teknik dan sains akan tetapi hal ini dicapai dengan sangat meningkatnya keterasingandiri, yang menjadi pokok kemajuan pembagian kerja yang dirangsang oleh produksi kapitalis. Sifat
khayalan dari agama, disini didapatkan dalam fakta bahwa agama itu berfungsi sebagai pengabsahan
dari orde sosial yang ada (yang terasingkan) dengan cara peralihan kemampuan-kemampuan manusia
yang potensial, akan tetapi tidak direalisasikan kedalam kapitalisme, kesatuan alam semseta mistik.
[25]
Menurut Marx, agama itu senantiasa merupakan bentuk dari keterasingan, oleh sebab itu kepercayaan
keagamaan melibatkan perkaitan dengan hal-hal yang sungguh-sungguh mistis serta serta mempunyai
kemampuan-kemampuan yang dalam kenyataannya dimiliki oleh manusia. Aspek transedensi agama
adalah mungkin, oleh karena kepastian dikotomi dan oposisi antara pribadi dan masyarakat juga
mungkin. Marx juga berpandangan bahwa suatu bentuk masyarakat bisa bereksistensi, di dalam mana
tidak terdapat dikotomi antar pribadi orang dengan masyarakat dalam kasus solidaritas mekanis.[26]
Perkembangan Marxisme
Marxisme merupakan sebuah paham yang mulai berkembang pada pertengahan abad ke-19. Paham ini
adalah kelanjutan dari perkembangan paham sosialisme yang telah berkembang sebelumnya. Seorang
pemikir sosialis yang berpengaruh saat itu adalah Karl Marx, ia mengembangkan sebuah gagasan baru
sosialisme yang kemudian tumbuh menjadi doktrin sosialisme paling berpengaruh. Doktrin sosialisme
Karl Marx kemudian dipopulerkan dengan istilah Marxisme.[27] Istilah marxisme sendiri adalah
sebutan bagi pembakuan ajaran resmi Karl Marx dan terutama dilakukan oleh temannya Friedrich
Engels.[28]
Dalam menjelaskan doktrin Marxisme tersebut, Engels mengajukan thesis bahwa alam menghasilkan
sejarah panjang pengalaman dan masyarakat ditentukan oleh hubungan-hubungan ekonomi, produksi,
dan pertukaran. Untuk mensistematisasikan gagasan Engels mengenai Marxisme setidaknya dapat
ditilik ke dalam tiga pokok pikiran, yaitu pokok pikiran dalam filsafat, sejarah, dan politik.[29]
Bersamaan dengan upaya Engels untuk membakukan ajaran Marx, lahir pula kelompok sosialis
moderat yang menentang ide-ide Marxisme, yaitu Fabian Society di Inggris (1883-1884). Kelompok ini
lebih tertarik dengan cara perjuangan lewat parlemen dan menarik kelompok kelas menengah dalam
mencapai tujuan sosialisme. Menurut kaum Fabian, sosialisme perlu diperkaya oleh ilmu-ilmu sosial
baru, khususnya ekonomi dan sosiologi dengan mengembangkannya dalam diskursus ilmiah, riset, dan
seminar.
Beberapa tahun setelah kematian Marx pada 1883, lahirlah International II sebagai langkah lanjut dari
International I.[30] International II menuntut solidaritas seluruh pekerja secara internasional. Upaya ini
gagal karena seiring dengan merebaknya ideologi Nasionalisme pada Perang Dunia I (1914) dan
pertikaian-pertikaian emosional oleh kalangan sosialis sendiri. Hal tersebut ditandai dengan perdebata
di kalangan Marxis seperti Karl Kautsky, Bernstein, Rosa Luxemburg, dan Vladimir Lenin. Perdebatan
tersebut berkisar mengenai strategi bagaimana cara mewujudkan cita-cita Karl Marx untuk
menciptakan sebuah masyarakat sosialis komunis.
Karl Kautsky sebagai Marxis radikal lebih mendukung perjuangan kelas dengan cara revolusi, namun
ia menyadari bahwa peluang tersebut semakin kecil. Kautsky kemudian lebih tertarik kepada
analisisnya Engels dan cenderung menggabungakan teori sejarah Marx dengan teori evolusinya
Darwin. Dengan demikian berarti sintesis antara determinisme ekonomi dan aktivitas politik
revolusioner sebagai ciri khas sejarah Marv berubah menjadi perkembangan kontinu. Interpretasi ini
kemudian berpengaruh pada pemikiran baru untuk mengkritisi gagasan orisinil Karl Marx, bahwa
dalam perkembangannya ternyata ide-ide Karl Marx sudah tidak relevan dengan kecenderungan yang
terjadi dalam masyarakat.
Seiring dengan dinamika baru, sistem Kapitalisme dinilai oleh sebagian kalangan Marxis mampu
membenahi diri dan menyesuaikan dengan keadaan-keadaan baru. Dengan pertimbangan demikian
maka mulailah muncul inisiatif untuk mengadakan penyesuaian bagi Marxisme terhadap kondisi baru
agar sesuai dengan kenyataan yang berkembang. Salah satu tokoh Marxis yang mengusulkan ide ini
adalah Eduard Bernstein. Bernstein kemudian menemukan titik lemah basis teori Marx yang
meniscayakan cita-cita manusia semata-mata merupakan ungkapan materi atau ekonomi. Bernstein
berpendapat bahwa ada satu hal lagi yang dinilai penting yaitu etika. Keberadaan etika ini menurutnya
mencirikan sebentuk sosialisme yang bukan sekedar keniscayaan sejarah yang buta melalui
perkembangan ekonomi, melainkan hasil dari ciri-ciri moral manusia yang tinggi. Hal tersebut dinilai
golongan Marxis Ortodoks sudah keluar dari garis dasar cita-cita Karl Marx.
Pertentangan tersebut dapat tercairkan setelah muncul interpretasi baru tentang Marxisme yang
dibawakan oleh Lenin.[31] Menurut Lenin cara-cara yang dilakukan oleh para tokoh Marxis
sebelumnya tidak efektif, kemudian ia memilih perjuanan revolusioner melalui sebuah partai yang
revolusioner juga. Hal ini berbeda dengan ajaran Karl Marx yang mengandalkan revolusi oleh massa
proletar secara spontan. Menurut Lenin revolusi harus diciptakan melalui para ahli intelijen dan kaum
intelektual untuk memasukkan kesadaran revolusioner kepada kaum proletar. Wacana baru yang
dibawa oleh Lenin tersebut melahirkan aliran baru yang disebut Marxisme-Leninisme. Berdirinya Uni
Soviet oleh kaum buruh Bolshevik menyebabkan terpecahnya gerakan buruh internasional.[32]
Setelah kepemimpinan Lenin berakhir, Soviet dipimpin oleh Stalin. Stalin membekukan pemikiranpemikiran Marx dan Lenin menjadi ideologi resmi Soviet ke dalam Stalinisme. Dalam kondisi tersebut
dilakukan stalinisasi di berbagai bidang kehidupan, bahkan sampai bidang akademik. Dalam situasi
yang tidak menguntungkan ini menyebabkan diskursus terbuka tentang Marxisme jelas tidak mendapat
tempat. Meskipun demikian, upaya penyegaran terhadap Marxisme masih dapat dilakukan di wilayah
pinggiran. Para Marxis masih berusaha menghidupkan kembali dan mengkritisi karya-karya.
Penggalian ide-ide Marx dalam wacana kritis melahirkan aliran baru Marxisme yaitu neo
Marxisme[33] atau Marxisme Kritis. Karena gerakan ini cukup progresif, Moscow mencium
keberadaannya. Sebagai akibatnya gerakan ini dilumpuhkan oleh kubu Marxisme ortodoks sehingga
Marxisme kritis mengalami stagnasi dan pemudaran.
Dengan peristiwa tersebut aliran kritis gelombang kedua justru muncul ke permukaan. Aliran baru ini
berasal dari Frankfurt sehingga populer dengan sebutan Mazhab Frankfurt.[34] Pemikiran kritis
Mazhan Frankfurt biasa disebut sebagai teori kritis. Para penganut teori kritis terus melanarkan kritik
kepada Stalinisme Soviet dan Fasisme Nazi yang dinilai sebagai rezim totaliter, mengabsahkan
penindasan atas masyarakat dengan selubung ideologi sosialisme. Gagasan mazhab ini antara tahun 60an hingga 70-an memperngaruhi gerakan-gerakan mahasiswa yang tekenal dengan nama The New Left
Movement, atau gerakan kiri baru.[35] Dalam perkembangannya gerakan ini berselisih paham
mengenai strategi untuk mencapai tujuannya. Gerakan kiri baru ini juga akhirnya terpecah menjadi
gerakan yang tidak relevan dengan tujuan semula.
Sumber :
Anthony Giddens. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial modern(Suatu analisis karya tulis Marx,
Durkheim, dan Max Weber). Jakarta: UI Press.
Eko Supriyadi. 2003. Sosialisme Islam Pemikiran Ali Syariati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
F. Budi Hardiman. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. 2007.