Anda di halaman 1dari 25

Referat

HUMAN
IMMUNODEFICIENCY
VIRUS/ACQUIRED
IMMUNODEFICIENCY
SYNDROME
(HIV/AIDS) PADA ANAK

Disusun oleh:

Kindy Agustin Wati


1420.2211.70
UPN Veteran Jakarta

Pembimbing:

Dr.Tundjungsari Putri Utami, M.Sc, SpA

Departemen Kesehatan Anak


1

Rumah Sakit Umum Daerah


Ambarawa Tahun 2015

LEMBAR PENGESAHAN REFERAT

JUDUL REFERAT

HUMAN
IMMUNODEFICIENCY
VIRUS/ACQUIRED
IMMUNODEFICIENCY
SYNDROME (HIV/AIDS)
PADA ANAK
Disusun Oleh:

Kindy Agustin Wati


1420.2211.170
UPN Veteran Jakarta

Telah disetujui pada tanggal

: ..

Telah dipresentasikan pada tanggal


..

Pembimbing:

Dr.Tundjungsari Putri Utami, M.Sc, SpA

Daftar Isi
Kata Pengantar

BAB I Pendahuluan
I.1. Latar Belakang
I.2. Tujuan

1
1

BAB II Epidemiologi dan Etiologi


II.1. Epidemiologi

II.2. Etiologi

BAB III Patofisiologi/Patogenesis


III.1. Siklus Sel HIV

III.2. Patofisiologi/Patogenesis

III.3. Penularan HIV

BAB IV Manifestasi Klinis


IV.1. Gejala Klinis

IV.2. Pemeriksaan Fisik

BAB V Diagnosis dan Penatalaksanaan


V.1. Diagnosis

V.2. Penatalaksanaan
10
V.3. Prognosis

16

BAB VI Kesimpulan

17

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa saya ucapkan
atas rahmat dan karuniaNya sehingga referat dengan judul
Human

Immunodeficiency

Virus/Acquired

Immunodeficiency Syndrome ini. Pada kesempatan yang


sama saya juga ingin berterimakasih kepada dr. Tundjungsari
P.U, M.Ss, SpA. atas saran dan bimbingannya dalam menulis
referat

ini.

Referat

Human

Immunodeficiency

Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome pada Anak


berisi pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai infeksi
HIV/AIDS

pada

anak

seperti

epidemiologi,

etiologi,

patofisiologi, patogenesis, manifestasi klinis, tatalaksana dan


prognosisnya.
Referat ini memang masih jauh dari sempurna, namun
diharapkan dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Ambarawa, 20 Agustus
2015
Penulis,

Kindy Agustin W

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG


Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency
Syndrome
masalah

(HIV/AIDS)
besar

bagi

adalah

infeksi

negara-negara

yang
di

membawa

seluruh

dunia

termasuk Indonesia. Laporan mengenai infeksi HIV/AIDS


telah datang dari seluruh negara di dunia, sehingga tidak
ada satu negarapun yang bebas dari masalah HIV/AIDS ini.
Pada tahun 2005 diperkirakan hampir 40 juta orang hidup
dengan HIV dan lebih dari 25 juta orang meninggal akibat
AIDS.
Dengan perkembangan penyakit yang sedemikian pesatnya
AIDS telah menjadi salah satu infeksi menular pembunuh
terbesar di dunia. Pada saat penyakit ini pertama kali
ditemukan,

HIV/AIDS merupakan suatu vonis mati bagi

mereka yang terinfeksi, namun sejak itu telah banyak


perrkembangan di bidang medis yang memberikan harapan
hidup yang lebih baik bagi penderitanya.
I.2. TUJUAN
I.2.1. TUJUAN UMUM
Mengetahui mengenai infeksi HIV/AIDS secara definisi,
epidemiologi, etiologi, gejala dan tanda klinis yang
terkait, pemeriksaan yang dilakukan, dasar penegakkan
diagnosis, tatalaksana, serta prognosis

pasien anak

dengan infeksi HIV/AIDS

I.2.2.

TUJUAN KHUSUS

1. Memenuhi salah satu tugas Kepaniteraan Klinis Ilmu


Kesehatan Anak di RSUD Ambarawa
2. Sebagai Prasyarat mengikuti Ujian Kepaniteraan
Klinis

Klinis

Ilmu

Kesehatan

Anak

di

RSUD

Ambarawa
BAB II
EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI

II.1. EPIDEMIOLOGI
AIDS pertama kali dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun
1981 ketika dilaporkannya kasus pneumonia Pneumocystis
carinii pada lima pria homoseksual yang sebelumnya sehat
dan kasus Sarkoma Kaposi pada 26 pria homoseksual
lainnya yang juga sebelumnya sehat di New York dan Los
Angeles, Amerika Serikat. Tidak lama kemudian penyakit ini
juga ditemukan pada pria dan wanita pengguna jarum suntik
dan penerima transfusi darah
Di Indonesia, kasus-kasus AIDS baru mulai ditemukan pada
tahun 1985, namun jumlahnya tidak banyak, kasus HIV/AIDS
di Indonesia pertama kali dilaporkan secara resmi oleh
Departemen Kesehatan pada tahun 1987 pada seorang
warga negara Belanda di Bali2. Tetapi baru sejak tahun 1999
kasus HIV mulai meningkat dan peningkatan tajam jumlah
kasus ini terlihat pada para pengguna jarum suntik.
Menurut

catatan

hasil

temuan

kasus

oleh

Komisi

Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), sejak 1997 sampai


2007 kasus HIV/AIDS terus meningkat. Pada tahun 1997,
jumlah

pasien

positif

HIV/AIDS

yang

ditemukan

dan
7

ditangani baru sebanyak 44 orang. Namun pada 2004


temuan

kasus

bertambah

1.195

kasus.

Pada

2005

bertambah 2.638 kasus, pada 2006 bertambah 2.873 kasus,


dan catatan sampai Maret 2007 sudah bertambah 794
kasus.

Sehingga

secara

kumulatif,

temuan

kasus

di

Indonesia sudah sebanyak 8.988 orang3


Seiring dengan penemuan kasus-kasus ini, ditemukan pula
bahwa sekitar 46,3 persen merupakan penderita HIV/AIDS
yang tertular karena memakai jarum suntik dan sekitar 7
persen

merupakan

penderita

yang

tertular

oleh

pasangannya yang seorang pemakai jarum suntik. Jumlah itu


diperkirakan

masih

lebih

tinggi

lagi

karena

penderita

HIV/AIDS biasanya tertutup sehingga sulit dideteksi.


II.2. ETIOLOGI
Virus penyebab infeksi AIDS pertama kali diisolasi dari
seorang pasien dengan limfadenopati pada tahun 1983.
Tetapi virus ini baru dipastikan sebagai agen penyebab AIDS
pada tahun 1984. Virus ini, yang merupakan suatu virus RNA
dari famili retroviridae dan subfamili lentivirus ini kemudian
dikenal sebagai Human Immunodeficiency Virus (HIV)

1,2

Ada dua jenis dari HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2, dimana HIV-1
adalah penyebab infeksi HIV/AIDS paling banyak di seluruh
dunia. Kedua jenis virus ini ditularkan secara zoonosis. HIV-1
diduga berasal dari spesies simpanse Pan troglodytes
troglodytes dimana virus itu telah berevolusi selama ratusan
tahun, sedangkan HIV-2 secara genetik lebih mirip simian
immunodeficiency virus (SIV) yang ditemukan pada kera
spesies Cercocebus atys

Penelitian dengan mikroskop elektron menunjukkan bahwa


virion HIV berstruktur ikosahedral dikelilingi oleh ujung-ujung
lancip yang terbentuk dari dua envelope protein utama,
8

gp120

yang

terletak

eksternal

dan

gp41

terletak

transmembran.
Dalam pembungkus terdapat kapsid yang terbentuk dari
protein virus p24. Kapsid ini berisi dua untai RNA HIV dimana
terdapat gen-gen yang berisi informasi yang diperlukan
untuk membuat protein struktur virus baru, mengatur
kemampuan virus untuk menginfeksi sel, memproduksi virus
baru dan menyebabkan penyakit.

Gambar 1 Ilustrasi Struktur HIV

HIV, seperti retrovirus lainnya, menggunakan enzim reverse


transcriptase

untuk

mensintesis

DNA

melalui

RNA-nya

sehingga dapat melakukan replikasi.

BAB III
PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS

III.1. SIKLUS SEL HIV


Siklus Replikasi HIV bermula dari penggabungan protein
gp120 pada reseptornya di permukaan sel pejamu, yaitu
molekul

CD4.

Setelah

penggabungan

terjadi,

gp120

mengalami perubahan konformasi yang membuatnya dapat


bergabung dengan salah satu ko-reseptornya. Ko-reseptor
utama untuk HIV-1 adalah CCR5 dan CXCR4.

Penggunaan salah satu atau kedua ko-reseptor ini sangat


penting dalam menentukan tropisme sel dari virus. Virus
yang menggunakan ko-reseptor CCR5 disebut HIV R5
sedangkan virus yang menggunakan ko-reseptor CXCR4
disebut HIV X4.

10

Gambar 2. Siklus Replikasi HIV

Setelah terjadi penggabungan, RNA genom HIV terbuka


bungkusnya dan masuk ke dalam sel target. Enzim reverse
transcriptase

yang

terkandung

dalam

virus

kemudian

mengkatalisasi transkripsi balik dari RNA menjadi DNA untai


ganda. Kemudian DNA bertranslokasi ke nukleus dimana dia
beintegrasi. Setelah itu

terjadilah

aktivasi

sel

pejamu

sehingga DNA yang terintegrasi itu mentranskripsikan RNA


genom dan mRNA. mRNA kemudian ditranslasikan menjadi
protein-protein HIV, yang kemudian bersama enzim dan RNA
genom membentuk partikel virus HIV baru di membrane
plasma sel. Partikel ini kemudian berkembang keluar dari sel
melalui bagian lipid bilayer dari sel pejamu, dimana partikel
virus ini mendapatkan pembungkus baru.

III.2. PATOFISIOLOGI/PATOGENESIS
Karakteristik infeksi HIV adalah menurunnya kekebalan
tubuh

yang

sangat

signifikan

yang

disebabkan

oleh

menurunnya helper T cell secara progresif kuantitatif dan


11

kualitatif. Helper T cell ini dapat ditemukan pada permukaan


molekul CD4, yang merupakan reseptor utama HIV. Bila
jumlah CD4 berkurang, maka penderita HIV beresiko tinggi
terkena penyakit-penyakit infeksi oportunistik, terutama
infeksi dan neoplasma.

Walaupun penderita yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan


gejala klinis, terjadi replikasi HIV sebanyak 10 partikel setiap
harinya. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi dan
seleksi, sehingga muncul HIV yang resisten. Sebagian besar
replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di darah
tepi.

Dengan

meningkatnya

partikel

HIV

terjadi

juga

kehancuran limfosit CD4 yang tinggi. Dengan demikian,


manifestasi

awal

infeksi

HIV

adalah

kerusakan

mikro

arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang


luas di jaringan limfoid.

12

III.3. PENULARAN HIV


HIV ditularkan melalui kontak seksual baik homoseksual
maupun heteroseksual, melalui darah dan produk darah
serta dari ibu ke bayinya. HIV tidak menular melalui kontak
kulit maupun gigitan serangga.

13

BAB IV
MANIFESTASI KLINIS
IV.1. GEJALA KLINIS
Infeksi HIV tidak akan langsung memberikan tanda atau
gejala tertentu, pada sebagian penderita dapat timbul
infeksi HIV akut dengan tanda atau gejala tidak khas seperti
demam, nyeri telan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, dan batuk. Infeksi akut ini terjadi 3-6 minggu
setelah infeksi. Setelah itu, sebagian besar penderita dengan
infeksi HIV yang belum berkembang menjadi AIDS dapat
hidup tanpa memperlihatkan gejala selama 8-10 tahun.
Setelah kekebalan tubuh memburuk, gejala-gejala yang
tampak pada penderita AIDS biasanya seperti penurunan
berat badan, demam tinggi berkepanjangan, rasa lemah,
pembesaran kelenjar getah bening, diare kronik, keringat
malam,

sakit

kepala,

batuk

kering

dan

gangguan

penglihatan. Selain itu timbul juga keluhan-keluhan yang


disebabkan oleh infeksi sekunder seperti tuberkulosis, infeksi
jamur, herpes, bahkan kanker seperti sarkoma kaposi,
kanker serviks dan limfoma1,2.
Pada anak-anak yang positif mengidap HIV seringkali tidak
dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana seharusnya.
Mereka tidak dapat mencapai berat badan normal, dan
seringkali

tidak

mengalami

hambatan

perkembangan

mental. Selain itu mereka juga rentan terhadap infeksi


oportunistik sebagaimana pengidap HIV dewasa.
IV.2. PEMERIKSAAN FISIK

14

Penderita AIDS biasanya datang dengan keluhan pada


infeksi sekundernya sehingga pemeriksaan fisik yang dapat
dilakukan

tergantung

daripada

infeksi

sekunder

yang

dikeluhkan dan infeksi sekunder yang terjadi biasanya


berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh.
BAB V
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
V.1 DIAGNOSIS
Diagnosis pasti infeksi HIV adalah dengan pemeriksaan
laboratorium. Ada beberapa jenis pemeriksaan laboratorium
yang dipakai untuk memastikan diagnosis infeksi HIV. Yang
pertama adalah pemeriksaan serologik yang mendeteksi
apakah terdapat antibodi tubuh terhadap HIV dan yang lain
adalah pemeriksaan yang mendeteksi adanya virus dalam
tubuh.
Ada beberapa teknik dari pemeriksaan serologi seperti ELISA
(enzyme-linked immunosorbent assay), aglutinasi atau dotblot immunobinding assay

. pemeriksaan ini biasanya

digunakan sebagai penyaring. Sedangkan deteksi virus


dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi
antigen dan deteksi materi genetik dalam darah.
WHO2 menganjurkan tiga strategi pemeriksaan antibodi
terhadap HIV yang bertujuan menyaring keadaan populasi
dan keadaan pasien.
1. Pada Strategi I hanya dilakukan satu kali pemeriksaan.
Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka dianggap sebagai
kasus yang terinfeksi HIV dan bila tidak reaktif
dianggap tidak terinfeksi HIV. Untuk pemeriksaan ini
harus dipakai reagensia dengan sensitivitas tinggi
(>99%)
15

2. Pada Strategi II dilakukan dua pemeriksaan bila jika


serum pada pemeriksaan pertama memberikan hasil
reaktif. Jika pada pemeriksaan pertama hasilnya nonreaktif, maka hasilnya dilaporkan negatif. Bila hasil
pemeriksaan kedua juga reaktif maka dilaporkan
sebagai positif HIV. Namun jika pemeriksaan kedua
non-reaktif, maka pemeriksaan harus diulang dengan
kedua

metode,

bila

hasilnya

tidak

sama

akan

dilaporkan sebagai indeterminate. Pada pemeriksaan


strategi II ini digunakan dua reagensia yang berbeda,
pada pemeriksaan pertama dipakai reagensia dengan
sensitivitas tertinggi sedangkan pada pemeriksaan
kedua dipakai reagensia yang lebih spesifik, selain itu
pemeriksaan kedua juga memakai jenis antigen dan
teknik yang berbeda dari pemeriksaan pertama.
3. Strategi III menggunakan tiga pemeriksaan dan akan
dilaporkan HIV positif bila ketiga pemeriksaan tersebut
reaktif. Bila hasil pemeriksaan tidak sama, maka akan
dilaporkan sebagai equivocal atau indeterminate pada
pasien yang beresiko tinggi atau memiliki riwayat
pemaparan terhadap HIV atau non-reaktif pada pasien
yang

tidak

beresiko

tertular

HIV.

Pada

ketiga

pemeriksaan ini juga digunakan reagensia, antigen


dan teknik yang berbeda.
Jika pemeriksaan penyaring dinyatakan reaktif maka perlu
dilakukan pemeriksaan untuk mengkonfirmasi adanya infeksi
HIV, untuk pemeriksaan ini yang paling sering dipakai adalah
pemeriksaan Western Blot.

V.2. PENATALAKSANAAN

16

V.2.1 PENGGUNAAN OBAT ANTIRETROVIRAL SEBAGAI TERAPI


HIV
Infeksi HIV/AIDS sampai saat ini belum bisa disembuhkan.
Namun sudah dikembangkan suatu terapi menggunakan
beberapa obat antivirus yang telah terbukti efektif menunda
morbiditas dan mortalitas akibat infeksi HIV.
Penatalaksanaan
sekarang

ini

terapi

terdiri

infeksi

atas

HIV/AIDS

pengobatan

yang
untuk

tersedia
menekan

replikasi virus HIV dengan kombinasi obat-obatan yang lebih


dikenal sebagai obat antiretroviral (ARV), pengobatan untuk
mengatasi penyakit infeksi dan kanker yang menyertai
infeksi

HIV/AIDS,

sejerti

jamur,

tuberkulosis,

hepatitis,

toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks, serta


pengobatan suportif, yaitu pemberian makanan yang bergizi
serta dukungan psikososial.
Terapi ARV terdiri dari beberapa golongan obat yaitu
nucleoside reverse transcriptase inhibitor, nucleotide reverse
transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor, dan inhibitor protease
ARV

dianjurkan

kepada

1,2

semua

pasien

yang

telah

menunjukkan gejala yang termasuk dalam kriteria diagnosis,


AIDS atau menunjukkan gejala yang sangat berat, tanpa
melihat jumlah limfosit CD4+. Obat ini juga dianjurkan pada
pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ kurang dari 200
sel/mm3. Pasien asimpotmatik dengan limfosit CD4+ antara
200-350 sel/mm3 dapat juga ditawarkan terapi, sedangkan
pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari
350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml terapi
ARV dapat dimulai atau ditunda. Tetapi terapi ARV ini tidak
dianjurkan pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari 350
sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml 2.
17

ARV juga diberikan untuk mencegah penularan HIV dari ibu


ke bayinya, karena efektivitas penularan HIV dari ibu ke bayi
adalah sebesar 10-30%. Penularan tersebut terutama terjadi
sewaktu proses kelahiran, namun dapat juga terjadi melalui
plasenta sewaktu kehamilan dan melalui air susu ibu.
Untuk saat ini WHO menganjurkan pemakaian kombinasi
dari tiga obat ARV. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan
adalah

kombinasi

zidovudin

(ZDV)/lamivudin(3TC)

dan

nevirapin (NVP).

18

V.2.2 OBAT ANTIRETROVIRAL YANG BEREDAR DI INDONESIA


Berikut adalah nama obat ARV yang beredar di Indonesia:
Nama
Dagang
Duviral

Nama

Golong

Generik

an

Sediaan

Dosis (per hari)

Tablet,

2 x 1 tablet

kandungan:
zidovudin 300
mg, lamivudin
Stavir

Stavudin

NsRTI

(d4T)

150 mg
Kapsul: 30 mg,
40 mg

Zerit
Hiviral

>60 kg: 2 x 40 mg
<60 kg: 2 x 30 mg

Lamivudin

NsRTI

(3TC)

Tablet 150 mg

2 x 150 mg

Lar. Oral 10

<50 kg: 2 mg/kg,

mg/ml

2x/hari

Tablet 200 mg

1 x 200 mg selama

3TC
Viramune

Nevirapin

NNRTI

(NVP)

14 hari,
dilanjutkan 2 x 200
mg

Neviral
Retrovir

Zidovudin

NsRTI

Kapsul 100 mg

(ZDV, AZT)

2 x 300 mg atau 2
x 250 mg ( dosis
alternatif)

Adovi
Avirzid
Videx

Didanosin

NsRTI

(ddI)

Tablet kunyah:
100 mg

>60 kg: 2 x 200 mg


atau 1 x 400 mg
<60 kg: 2 x 125 mg
atau 1 x 250 mg

Stocrin

Efavirenz

NNRTI

Kapsul 200 mg

1 x 600 mg, malam

PI

Tablet 250 mg

2 x 1250 mg

(EFV, EFZ)
Nelvex

Nelfinavir
(NFV)

Viracept

Tabel 1 Daftar ARV yang beredar di Indonesia


Zidovudin adalah obat ARV pertama yang memperlihatkan
perbaikan klinis pada penggunaannya. Zidovudin yang
dikenal juga sebagai AZT adalah timidin analog sintetik yang
aktif melawan HIV-1, HIV-2 serta HTLV I dan II. Sejak
19

diedarkannya obat ini pada tahun 1987, zidovudin telah


melalui berbagai percobaan klinis. Pada penggunaannya
sebagai

monoterapi

pada

penderita

stadium

lanjut,

zidovudin terbukti memperbaiki harapan hidup selama lebih


dari 24 minggu. Penggunaannya bersama dalam multiterapi
bersama NsRTI, analog nukleosida atau PI juga telah
dibuktikan lebih efektif daripada monoterapinya 4.
Lamivudine,

dikenal

juga

sebagai

3TC,

pertamakali

dicobakan sebagai monoterapi pada tahun 1995, dan dari


percobaan tersebut ditemukan bahwa resistensi terhadap
obat ini sangat cepat terjadi. Namun penggunaannya dalam
regimen tiga obat bersama dengan analog nukleosida lain, PI
dan/atau NNRTI menunjukkan aktivitas antiretroviral yang
berarti 4.
Didanosin bekerja melalui metabolit aktifnya yaitu ddATP
yang bersaing dengan dATP sel pada penggabungannya
dengan DNA virus. Dalam percobaannya telah terbukti
bahwa penggunaannya bersamaan dengan zidovudin lebih
efektif

dalam

mengurangi

perkembangan

klinis

dan

kematian dibandingkan dengan terapi dengan zidovudin


sebagai monoterapi 4.
Stavudin adalah reverse transcriptase analog timidin yang
aktif secara in vitro melawan HIV-1 dan HIV-2. Diakui oleh
Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat untuk
pengobatan HIV dengan kombinasi bersama ARV lain.

20

Kombinasi Obat ARV untuk Terapi


Inisial
Kolom A
Lamivudin + Zidovudin
Lamivudin + Didanosin
Lamivudin + Stavudin

Kolom B
Evafirenz

Lamivudin + Zidovudin
Lamivudin + Didanosin
Lamivudin + Stavudin

Nevirapin

Lamivudin + Zidovudin
Lamivudin + Didanosin
Lamivudin + Stavudin

Nelvinafir

Tabel 2 Kombinasi ARV untuk terapi inisial


Selain melihat gambaran klinis penderita, efektifnya terapi
HIV/AIDS dapat dipantau dengan mengukur dua indikator
yaitu jumlah sel CD4 dalam darah dan hitung virus HIV
dalam darah (viral load). Pemeriksaan viral load telah
terbukti efektif dalam memantau perkembangan terapi ARV,
sehingga risiko kecepatan perjalanan penyakit dan kematian
akibat HIV dapat diperkirakan secara lebih tepat.

V.2.3 TERAPI HIV PADA PENDERITA TUBERKULOSIS


Penanganan Koinfeksi HIV dengan tuberkulosis sangat perlu
untuk dibahas karena prevalensinya yang cukup tinggi di
Indonesia, terutama mengingat bahwa jumlah penderita
tuberkulosis di Indonesia adalah nomor tiga terbanyak di
dunia. Pada umumnya penatalaksanaan pada penderita
koinfeksi

HIV

dan

tuberkulosis

tidak

berbeda

dengan

penanganan kedua penyakit tersebut secara terpisah namun


perlu diperhatikan interaksi antara ARV dan OAT (Obat Anti
Tuberkulosis), terutama hepatotoksisitasnya. Interaksi ARV

21

dan

OAT

antara

lain

pemakaian

zidovudin

dapat

meningkatkan efek toksik OAT dan pemakaian Didanosin


(ddI) yang merupakan golongan nukleosida bersamaan
dengan OAT harus diberi selisih waktu 1 jam karena bersifat
buffer antasida. Interaksi OAT terutama terjadi dengan ARV
golongan nonnukleotida dan inhibitor protease dimana
Rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir dan nevirapin
secara signifikan 5.

V.2.4 PERKEMBANGAN TERAPI ARV


Selain terapi ARV yang telah disebut diatas, para peneliti
sudah mengembangkan dua golongan baru yang dapat
digunakan untuk terapi infeksi HIV/AIDS yaitu enfuvirtide dan
maraviroc

6,7

Enfuvirtide6 mulai dikembangkan tahun 1996 dan diakui oleh


FDA Amerika Serikat pada bulan Maret 2003. Obat ini
termasuk dalam ARV kelas baru yang disebut sebagai fusion
inhibitor. Enfuvirtide bekerja pada tahap akhir fusi HIV
terhadap sel target, mencegah penggabungan glikoprotein
transmembran (gp41) virus dengan reseptor CD4 pada sel.
Obat ini diberikan dua kali sehari dengan injeksi subkutan
dan diindikasikan untuk penderita yang telah resisten
terhadap terapi ARV. Namun pemberiannya yang tidak
praktis

dan

harganya

yang

sangat

mahal

membuat

Enfuvirtide kurang mendapat perhatian dalam terapi HIV,


terutama di negara-negara berkembang seperti di Indonesia.
Maraviroc 7 adalah hasil dari perkembangan terbaru ARV dan
sampai saat ini telah dilakukan dua percobaan fase III.
Maraviroc dibuat untuk menghambat HIV untuk menempati
tempat pada sel-T. Obat ini dinamakan sebagai inhibitor

22

CCR5 karena reseptor pada sel T tersebut adalah protein


CCR5.
Percobaan pertama Maraviroc dilakukan pada 601 pasien
dimana 60.4% mereka yang mengkonsumsi maraviroc dua
kali sehari bersama dengan terapi ARV inisialnya mencapai
tingkatan

viral

dibawah

400

kopi/milimeter

darah,

dibandingkan 54.7% mereka yang mengkonsumsinya satu


kali sehari dan 31.4% dari mereka yang tidak mengkonsumsi
maraviroc.
Pada percobaan kedua, yang dilakukan pada 475 pasien,
ditemukan bahwa 61.3% dari mereka yang mengkonsumsi
maraviroc dua kali sehari mencapai tingkatan viral target
mereka, dibandingkan dengan 55.5% dari mereka yang
hanya mengkonsumsi dosis satu kali per hari dan mereka
yang hanya diterapi dengan ARV lain.
Jika diakui oleh badan pengawasan obat, maka maraviroc
akan menjadi kelas ARV oral yang pertama setelah diakuinya
inhibitor protease 10 tahun yang lalu.
V.2.5. PROGNOSIS
Pada waktu HIV/AIDS pertama kali dikenal infeksi adalah
suatu vonis mati bagi penderitanya dan sampai saat ini
belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan total
infeksi

HIV/AIDS,

namun

sejak

ditemukannya

terapi

kombinasi ARV, angka kematian telah dapat ditekan dan


harapan

hidup

penderita

infeksi

HIV/AIDS

membaik.

Prognosis infeksi AIDS sendiri sangat tergantung lama


infeksi, akses terhadap pengobatan dan kapan pengobatan
dimulai.

23

BAB VI
KESIMPULAN
Infeksi HIV/AIDS telah dikenal selama lebih dari dari 25 tahun
dan dalam kurun waktu ini telah menjadi sebuah masalah
yang besar bagi negara-negara di dunia. Telah banyak yang
kita ketahui mengenai epidemiologi dan manifestasi klinis
penyakit ini dan walaupun infeksi HIV/AIDS ini belum dapat
disembuhkan secara tuntas perkembangan terapi HIV/AIDS
juga telah banyak mengalami kemajuan. Terapi-terapi yang
ada

telah

dapat

mengurangi

angka

kematian

dan

memperpanjang harapan hidup penderita HIV/AIDS dan


untuk di masa yang akan datang diharapkan akan ada
kemajuan perkembangan lagi dalam terapi dan pencegahan
infeksi HIV/AIDS ini.

24

REFERENSI
1. Fauci AS, Lane HC.Human immunodeficiency virus disease:
AIDS and related disorders. Dalam: Harrisons principle of
internal medicine, Volume I, ed. 16. New York: McGraw-Hill
h. 1076,2005
2. Sudoyo AW, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata
M, Setiati S, editor, Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid III,
ed. IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Universitas Indonesia. h. 1803;2007
3. Fransiska H. Penderita HIV/AIDS Meningkat. Kompas [surat
kabar internet].[dikutip 20 Oktober 2007] Diunduh dari:
http://www.kompas.com/ver1/Kesehatan/0706/05/174731.ht
m
4. Hardman, Limbird, Gilman. Goodman & gilmans the
pharmacological basis of therapeutics. ed. 10. New York:
McGraw-Hill.
5. Aditama TY, Soedarsono, Thabrani Z, Wiryokusumo HS,
Sembiring H, Rai IBN, et al. Tuberkulosis: pedoman
diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. h. 50; 2006
6. Carr A. Enfuvirtide: an HIV-1 fusion inhibitor. N Engl J Med.
2003 Okt 30;349(18):1770.
7. Beasley D. Pfizer says Maraviroc suppresses AIDS virus.
Reuters [dokumen dalam internet].[dikutip 1 November
2007] Diunduh dari:
http://www.natap.org/2007/CROI/croi_17.htm

25

Anda mungkin juga menyukai