Anda di halaman 1dari 35

REFERAT KELAHIRAN PRETERM PRETERM

BIRTH

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
BANDUNG
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut perkiraan World Health Organization (WHO),
di antara 130 juta bayi yang lahir setiap tahun di seluruh dunia,
8 juta meninggal sebelum mencapai tahun pertama kehidupan
mereka. Di Amerika Serikat, 17-34% dari kematian bayi ini
dikaitkan dengan prematuritas, dan hanya sekitar setengah kasus
prematur dihasilkan dari penyebab yang dapat diidentifikasi.(12)
Di Amerika Serikat pada tahun 2005, hampir 28.384 bayi
meninggal pada tahun pertama mereka hidup (Tabel 1.1).
Kelahiran prematur, yang didefinisikan sebagai persalinan yang
terjadi sebelum usia 37 minggu, terlibat dalam sekitar dua
pertiga dari kematian ini. Seperti yang ditunjukkan tabel 1.1,
kelahiran preterm lanjut, yang didefinisikan pelahiran usia 34-36
kehamilan, terjadi pada 70% kasus pelahiran preterm. Dengan
demikian, pelahiran preterm tetap menjadi suatu masalah
kesehatan yang utama. (8)

Total Bayi
Usia kehamilan saat
lahir
<>

Jumlah Bayi Hidup


(%)

Jumlah Bayi Mati


(%)

4,138,573 (100)

28,384 (100)

83,428 (2)
65,853 (1.6)

15,287 (54)
1099 (4)

32-33 minggu
373,663 (9)
1727 (10)
34-36 minggu
3,346,237 (81)
8116 (29)
37-41 minggu
239,850 (6)
637 (2)
> 42 minggu
29,542 (0.7)
516 (2)
Tidak tahu
Tabel 1.1 Jumlah mortalitas bayi baru lahir di Amerika Serikat
pada tahun 2005 (8)
Angka kematian bayi premature, yang merupakan
penyumbang angka kematian bayi baru lahir terbanyak, mulai
meningkat di Amerika Serikat sejak tahun 1996. Seperti yang
ditunjukkan pada gambar 1.1, indikasi medis untuk kelahiran
prematur bertanggung jawab pada kenaikan ini. Dan pada orang
kulit hitam kematian bayi pada tahun pertama kehidupannya dua
kali lebih banyak ras yang lainnya, dan dua per tiganya
disebabkan oleh kelahiran prematur. (8)
Gambar 1.1 Kematian bayi pada ras-ras di Amerika Serikat,
1989-2001. (8)
Kejadian pelahiran preterm masih tinggi dan merupakan
penyebab kematian neonatal utama. Di Amerika Serikat,
kejadiannya 8-10% dan di Indonesia 16-18% dari semua
kelahiran hidup.(17)
Sedangkan angka kematian bayi pada tahun 2003 di
Indonesia ialah 35 per 1000 kelahiran hidup, angka ini terusmenerus menurun dari tahun 1990 yaitu 66 bayi tiap 1.000
kelahiran. (1), (2)
Tujuan pembuatan makalah ini adalah menjelaskan
bagaimana mendiagnosis persalinan preterm sedini mungkin,
faktor yang mempengaruhi terjadinya persalinan preterm dan
pelaksanaan yang sebaik mungkin untuk persalinan preterm.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kelahiran prematur didefinisikan sebagai kelahiran bayi
pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Secara legal, di
Inggris, the 1992 Amendment to the Infant Life Preservation
Act,menetapkan batas viabilitas sebagai 24 minggu.(15)
Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1961
menambahkan usia gestasi sebagai satu kriteria bayi prematur,
yaitu bayi yang lahir pada usia gestasi 37 minggu atau kurang.
Dibuat pembedaan antara berat badan lahir rendah (2500 g atau
kurang) dan prematuritas (37 minggu atau kurang). (7)
2.2 Endokrinologi dan Biokimia Persalinan
2.2.1 Pengaruh Proses Inflamasi Pada Persalinan
Sepanjang kehamilan cervix uterus membutuhkan untuk
tetap kokoh dan tertutup ketika tubuh dari uterus tumbuh secara
hipertrofi dan hiperplasia tetapi tanpa disertai adanya kontraksi.
Untuk persalinan yang berhasil cervix diubah menjadi struktur
yang lembut dan lentur yang dapat berdilatasi membesar dan
uterus menjadi organ yang dapat berkontraksi dengan kuat.
Beberapa minggu sebelum melahirkan terjadi perubahan bagian
bawah uterus yang menjadi masak dan terjadi penipisan dari
cervix. Perubahan pada segmen bawah uterus ini berhubungan
dengan peningkatan produksi sitokin yang merupakan suatu
produk inflamasi, terutama interleukin-1, -6 dan -8 dan
prostaglandin dari membran yang melapisi janin dan desidua
dan dari leher uterus itu sendiri. Pematangan cervix dikaitkan
dengan masuknya sel-sel inflamasi ke dalam cervix yang
melepaskan matriks metalloprotein yang berkontribusi anatomis
dengan perubahan yang terkait dengan pematangan cervix.
Kemudian peningkatan kontraktilitas dominan terjadi di segmen
atas uterus dikaitkan dengan peningkatan ekspresi reseptor dari
oksitosin dan prostaglandin, pada protein gap-junction yang
menengahi konektivitas elektris antara miosite-miosit, dan
perubahan yang lebih kompleks lagi pada jalur sinyal
intraselular yang bisa meningkatkan kontraktilitas dari miosit-

miosit.(15)
2.2.2 Pengaruh Hormonal Pada Persalinan
Dalam banyak spesies progesteron diduga memainkan
peran penting dalam menekan onset persalinan. Progesteron
memiliki sifat anti-inflamasi umumnya pada uterus. Peristiwa
biokimia yang berhubungan dengan pematangan cervix dan
telah dimulainya proses persalinan seperti yang dijelaskan
sebelumnya merupakan suatu proses peradangan. Pada beberapa
spesies dimulainya proses persalianan didahului dengan
menurunnya kadar progesteron. Pada domba, menurunnya kadar
progesteron mengarah ke peningkatan pembentukan gapjunction miometrium, peningkatan pembentukan prostaglandin,
dan meningkatkan respon dari bagian uterus yang mampu
menghasilkan kontraksi. (15),(16)
Menurunnya kadar progesteron tampaknya disebabkan
oleh meningkatnya respon sel adrenal janin adrenocorticotropic
hormon (ACTH), mengakibatkan peningkatan produksi kortisol.
Melalui beberapa langkah, kortisol menyebabkan biosintesis
steroid plasenta dan penurunan sekresi progesteron. Penurunan
progesteron beredar mengarah ke peningkatan pembentukan gap
junction miometrium, peningkatan pembentukan prostaglandin,
dan meningkatkan respon dari uterus dan mampu menghasilkan
kontraksi. (16)
Namun, ada perbedaan besar, antara status hormonal
domba dan primata, termasuk manusia. Pada manusia, tidak ada
peningkatan yang besar kortisol dari kelenjar adrenal janin
sebelum persalinan, dan tidak terjadi penurunan dramatis dari
hormon progesteron secara konsisten. Namun, progesteron
penting dalam kehamilan manusia, dan sejumlah studi telah
meneliti peran rasio progesteron-ke-estrogen sebelum timbulnya
persalinan. Pada 1974, para peneliti menunjukkan penurunan
yang signifikan kadar serum progesteron dan peningkatan
tingkat estrogen dalam banyak perempuan sebelum persalinan.
Temuan ini belum direproduksi secara konsisten. Peningkatan
estriol mungkin merupakan sinyal dari janin yang menunjukkan
bahwa itu matang dan siap untuk persalinan. Produksi estriol

meningkat selama bulan terakhir kehamilan. Dalam jumlah


besar yang dihasilkan, fungsi estriol sama dengan estradiol
dalam merangsang pertumbuhan uterus. Terdapat laporan dari
meningginya rasio estradiol / progesteron pada akhir kehamilan.
(16)

Kadar sirkulasi corticotrophin releasing hormone (CRH),


yang disintesis oleh plasenta, meningkat secara progresif selama
kehamilan dan terutama selama minggu-minggu sebelum onset
persalinan. Konsentrasi CRH binding protein menurun dengan
bertambahnya usia kehamilan, kira-kira 3 minggu sebelum onset
persalinan dimana konsentrasi CRH melebihi protein
pengikatnya. Tidak seperti CRH pada hipothalamus, CRH di
plasenta diatur oleh kortisol. Beberapa studi telah
menghubungkan antara produksi CRH plasenta dengan waktu
persalinan dan telah menunjukkan bahwa kenaikan prematur
CRH dikaitkan dengan kelahiran prematur. (15)
Hipotesis lain adalah bahwa peristiwa peradangan yang
terjadi pada uterus pada saat persalinan berkaitan dengan
peningkatan faktor nuclear faktor-kappa B (NF-kappa B) (yang
merupakan faktor transkripsi sangat berhubungan dengan
peradangan dalam konteks lain seperti asma, radang penyakit
usus atau arthritis). NF-kappa B diketahui juga mampu menekan
fungsi reseptor progesteron dan sehingga bisa menengahi
penarikan progesteron fungsional. (15)
Tidak ada peningkatan produksi oksitosin terkait dengan
permulaan atau perkembangan baik persalinan prematur atau
aterm. Namun, terdapat peningkatan reseptor ekspresi oksitosin
dalam uterus dan terdapat produksi oksitosin lokal dalam uterus,
desidua dan membran janin. Walaupun mungkin oksitosin tidak
berperan penting dalam waktu yang tepat dari kelahiranpada
manusia, peningkatan dari kepadatan reseptor oksitosin
menunjukkan bahwa oksitosin tidak memainkan peran dalam
menengahi kontraktilitas. (15)
2.3 Etiologi
Suatu spectrum luas penyebab dan faktor demographic telah
dikaitkan dengan kelahiran bayi preterm. (7)
Persalinan prematur bukanlah wujud satu penyakit,

tetapi merupakan gejala atau sindrome yang mungkin


mempunyai 1 (satu) atau lebih sejumlah penyebab (Gambar
2.1). Persalinan prematur telah dikaitkan dengan inkompetensi
cervix, kelainan haemostasis, infeksi dalam uterus, plasenta
abruption atau perdarahan desidua, janin atau stres ibu dan
beberapa kehamilan. Dalam beberapa kasus, beberapa dari
faktor-faktor tersebut dapat bertindak bersama-sama untuk
meningkatkan kemungkinan kelahiran prematur atau untuk
mempengaruhi usia kehamilan di mana kelahiran prematur
terjadi. Contohnya pada kehamilan ganda yang dilahirkan pada
minggu 36 kehamilan. (15)

Gambar 2.1 Penyebab dari terjadinya pelahiran premature (15)


2.3.1Faktor Ibu
2.3.1.1 Infeksi Cairan Amnion dan Korioamnion
Terdapat korelasi yang kuat antara infeksi dalam uterus
dan mulainya permulaan persalinan preterm spontan. Infeksi
pada selaput dan cairan amnionin disebabkan oleh berbagai
mikroorganisme dapat menyebabakan beberapa kasus seperti
ketuban pecah, persalinan prematur, atau keduanya. Infeksi
dalam uterus memiliki potensi untuk mengaktivasi semua jalur
biokimia yang mengarah pada pematangan cervix dan kontraksi
uterus. Infeksi dari darah dari tempat lain jarang terjadi. (7),(15,(16)
Patogenesis
Telah diketahui bahwa kelemahan atau pendeknya cervix
merupakan faktor utama terjadinya risiko infeksi ascendens

bakteri. Namun, terdapat kemungkinan juga bahwa dengan


jumlah patogen mematikan yang tinggi dalam vagina, bakteri
dapat memperoleh akses menuju daerah uterus yang lebih
rendah melalui leher uterus yang berfungsi normal, di mana
bakteri tersebut mengaktifkan mediator inflamasi yang membuat
cervix menjadi matang dan memendek. Bakteri mungkin juga
mendapatkan akses menuju rongga ketuban melalui penyebaran
secara hematogen atau melalui bersamaan dengan dilakukannya
prosedur yang invasif. (15)
Produk-produk bakteri seperti endotoksin merangsang
monosit desidua untuk memproduksi sitokin, termasuk
interleukin-1, faktor nekrosis tumor, dan interleukin-6, yang
pada gilirannya merangsang asam arakidonat dan kemudian
memproduksi prostaglandin. Prostaglandin E2 dan F2 bertindak
sebagai parakrin untuk merangsang kontraksi miometrium. (7)
Faktor pengaktif trombosit juga ikut berperan dalam
aktivasi jaringan sitokin, yang ditemukan di dalam cairan
amnion. Faktor pengaktif trombosit diperkirakan diproduksi di
dalam paru dan ginjal janin. Oleh karenanya, janin tampaknya
memainkan suatu peran sinergistik untuk inisiasi kelahiran
preterm yang disebabkan oleh infeksi bakterial. Secara
teleologis, hal ini kemungkinan menguntungkan bagi janin yang
ingin melepaskan dirinya dari lingungan yang terinfeksi. (7)
Gambar 2.2 Patogenesis bakteri menghasilkan persalinan
preterm
2.3.1.2 Vaginosis Bacterialis
Pada vaginosis bakterialis, produksi hydrogen peroksida,
lactobacillus yang merupakan flora normal vagina diganti
dengan bakteri anaerob, termasuk Gardnella vaginalis,
Mobiluncus species, dan Mycoplasma hominis. Vaginosis
bakterialis dihubungkan dengan aborsi spontan, persalinan
preterm, rupture ketuban premature, korioamnionitis, dan
infeksi cairan amnion. (8)
Dari banyak penelitian, tidak ada keraguan bahwa
vaginosis bacterialis berpengaruh pada persalinan preterm.

Sayangnya, samai saat ini, skrining dan pengobatan yang ada


belum dapat mencegah terjadinya pelahiran preterm. Malahan,
resistensi antibiotik atau perubahan flora vagina yang diinduksi
antibiotik telah dilaporkan dari rejimen-rejimen pengobatan
untuk mengeliminasi veginosis bacterialis.(8)
Penatalaksanaan
Meskipun ada bukti bahwa vaginosis bacterialis
merupakan faktor risiko kelahiran prematur, namun kurang jelas
bahwa mengobati bakteri vaginosis dengan antibiotik itu
bermanfaat. Namun, mungkin juga mencerminkan suatu
kenyataan bahwa antibiotik mungkin tidak selalu menghasilkan
pembentukan kembali flora normal bakteri. Dua antibiotik yang
umum digunakan dalam pengobatan vaginosis bacterialis ialah
metronidazol diberikan per oral atau klindamisin yang dapat
diberikan baik per oral atau per vaginam. Klindamisin mungkin
memiliki keuntungan lebih daripada metronidazol karena
memiliki kegiatan yang lebih baik terhadap bakteri anaerob,
Mycoplasma hominis dan Urea yang urealyticum yang sering
dikaitkan dengan vaginosis bakteri. Bukti terbaru adalah bahwa
skrining ibu hamil dengan resiko tinggi persalinan prematur
didasarkan pada masa lalu mereka yaitu riwayat obstetrinya atau
faktor-faktor lain dan pengobatan bakteri vaginosis (BV) dapat
dibenarkan, namun saat ini tidak ada bukti kuat untuk
merekomendasikan skrining rutin dan perawatan populasi
kebidanan umum. (15)
2.3.1.3 Faktor Gaya Hidup
Faktor-faktor yang menyebabkan kelahiran prematur
(terutama kelahiran prematur spontan) masih belum diketahui
dan diapahami dengan baik. Walaupun jalur yang tepat antara
merokok selama kehamilan dan kelahiran prematur tidak
diketahui, para peneliti berteori bahwa salah satu mekanisme
yang dapat diperkirakan ialah gangguan aliran darah plasenta
akibat nikotin dan karbon monoksida, yang merupakan
vasokonstriktor yang poten pada pembuluh plasenta. (13)
Plasenta dari ibu yang perokok telah terbukti menjadi

lebih besar, dengan meningkatnya luas permukaan plasenta, dan


memiliki karakteristik lesi-lesi sebagai akibat kurangnya perfusi
dari uterus. Suzuki et al berspekulasi bahwa merokok dapat
menyebabkan perubahan sel endotel yang kemudian
menyebabkan vasokonstriksi dan kekakuan dinding arteriol,
dengan perfusi yang kurang dari plasenta. Hal ini, dapat
mengakibatkan iskemia dari desidua basalis, yang kemudian
menjadi nekrosis dan terjadi perdarahan. (3)
Karbon monoksida dalam asap rokok dapat mengganggu
oksigenasi janin dengan membentuk carboxyhemoglobin, dan
nikotin dapat meningkatkan tekanan darah ibu dan detak
jantung, juga menghambat aliran darah ke janin, sehingga pada
ibu perokok sering dapat membuat pertumbuhan janin terganggu
dan melahirkan dengan berat badan bayi yang rendah. (13)
Komplikasi plasenta dapat berupa perdarahan, terutama
plasenta abruption (solutio plasenta) dan, yang lebih sedikit,
ialah plasenta previa, merupakan faktor yang penting dalam
predisposisi kelahiran prematur dan bayi lahir mati pada ibu
yang merokok selama kehamilan. (13)
Faktor-faktor ibu lain yaitu ibu terlalu muda atau lanjut
usia; kemiskinan; penggunaan alcohol, dan faktor-faktor seperti
pekerjaan lama berjalan atau berdiri, kondisi kerja berat dan
panjang. Santiago dan rekan (2005) menemukan tidak ada
peningkatan insidensi kelahiran prematur berulang pada wanita
dengan riwayat lahir prematur dan yang bekerja berada di luar
rumah atau memerlukan tenaga fisik selama kehamilan mereka
saat ini. (7)
Pada ibu yang terlalu tua terjadi lesi sklerotik (proses
ateriosklerosis) pada arteri miometrium sehingga dapat
menyebabkan perfusi yang kurang dari plasenta mengarah pada
risiko yang lebih tinggi pada hasil mortalitas dan morbiditas
perinatal. Perfusi yang kurang dapat mengakibatkan iskemia
dari desidua basalis, yang kemudian menjadi nekrosis dan
terjadi perdarahan. (3),(10)
Hipotesis bahwa adanya hubungan yang buruk antara
usia ibu yang terlalu muda dan pendarahan vagina pada awal
kehamilan disebabkan adanya bagian ke ketidakdewasaan dari

sumbu hipothalamus-hipofisis-gonad saat menarche dan adanya


hubungan ginekologis yang terbalik antara usia dan kadar
progesteron selama fase luteal dari ovulasi siklus menstruasi.
Dan terjadinya pendarahan vagina dikaitkan dengan peningkatan
insiden kelahiran premature. (4)

2.3.1.4 Perdarahan
2.3.1.4.1 Abruptio Plasenta
Abruptio plasenta atau solutio plasenta dapat
mengakibatkan terjadinya prematur pelahiran. Ini terjadi melalui
pengeluaran trombin yang merangsang kontraksi miometrium
oleh reseptor yang diaktivasi protease tetapi secara independen
juga disebabkan sintesis dari prostaglandin. Ini menjelaskan
kesan klinis bahwa persalinan preterm berkaitan dengan
chorionamnionitis sering cepat sedangkan yang berhubungan
dengan plasenta abruptio ialah kurang begitu karena pada
abruptio plasenta tidak ada proses kematangan (preripening)
cervix uterus. Pembentukan trombin mungkin juga mempunyai
peran dalam persalinan prematur yang disebabkan karena
chorionamnionitis ketika dilepaskannya trombin sebagai akibat
dari perdarahan desidua.(Gambar 2.2) (15)
Penatalaksanaan
Menunda persalinan mungkin akan bermanfaat ketika
janin belum matang. Bond dan rekan (1989) meneliti 43 wanita
dengan abruptio plasenta sebelum usia kehamilan 35 minggu,
dan 31 minggu dan mereka diberi terapi tokolitik. Rata-rata
waktu untuk persalnan di semua 43 wanita adalah sekitar 12 hari
dan tidak ada lahir mati. Kelahiran sectio sesaria dilakukan pada
75 persen dari semua kasus. (8)
Wanita dengan bukti-bukti abrupto plasenta yang sangat
dini sering menjadi Oligohidramnion, baik dengan atau tanpa
terjadi ketuban pecah prematur. Elliott dan rekan (1998)
menggambarkan empat perempuan dengan rata-rata abruption
pada usia kehamilan 20 minggu dan yang juga mengembang
menjadi Oligohidramnion. Mereka yang bersalin pada rata-rata

usia 28 minggu. (8)


Kurangnya mengancam perlambatan tidak menjamin
keselamatan lingkungan intrauterine untuk jangka waktu.
Plasenta mungkin lebih jauh terpisah pada setiap saat dan dapat
membunuh janin kecuali persalinan dilakukan dengan segera.
Beberapa penyebab langsung fetal distress diperlihatkan pada
bagan 2.1. Hal ini penting bagi kesejahteraan fetal distress
dimulai dengan langkah-langkah segera untuk mengoreksi
hipovolemia ibu, anemia dan hipoksia sehingga untuk
memulihkan dan mempertahankan fungsi dari setiap plasenta
yang masih tertanam. Sedikit yang dapat dilakukan untuk
memodifikasi penyebab lain yang menyebabkan fetal distress
kecuali dengan mengeluarkan janin dengan persalinan. (8)

Bagan 2.1 Macam-macam penyebab fetal distress karena


abruptio plasenta dan penatalaksanaannya (8)
2.3.1.4.2 Plasenta Previae
Gejala yang merupakan ciri khas ialah perdarahan yang
tidak nyeri, yang tidak muncul sampai trimester II akhir atau
setelahnya. Mekanismenya adalah sebagai berikut setelah bulan
ke-4 terjadi regangan pada dinding uterus karena isi uterus lebih
cepat tumbuhnya dari uterus sendiri, akibatnya ialah bahwa
isthmus uteri tertarik menjadi dinding cavum uteri (Segemn
Bawah Uterus). Pada plasenta previa, ini tidak mungkin tanpa
pergeseran antara plasenta dan dinding uterus, saat perdarahan
tergantung pada kekuatan insersi plasenta dan kekuatan tarikan

pada isthmus uteri. Jadi dalam kehamilan tidak perlu ada his
untuk menimbulkan perdarahan tapi sudah jelas dalam prsalinan
his pembukaan menyebabkan perdarahan karena bagian plasenta
di atas akan terlepas pada dasarnya. Perdarahan pada plasenta
previa bersifat terlepas pada dasarnya. (8),(18)
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dengan janin preterm membutuhkan
observasi yang ketat, namun dengan syarat tidak adanya
perdarahan yang terus-menerus. Bagi beberapa wanita, mungkin
dirawat di rumah sakit lama menjadi ideal, bagaimanapun,
wanita biasanya lemas setelah pendarahan telah berhenti dan
janinnya dinilai tidak sehat. Wanita dan keluarganya harus
sepenuhnya memperhatikan dengan serius masalah plasenta
previa dan harus siap sewaktu-waktu untuk membawa ibu hamil
ke rumah sakit dengan segera. Jika perdarahan banyak,
pembukaan kecil, nullipara dan tingkat pasenta previa yang
berat mendorong kita melakukan SC, sebaliknya perdarahan
yang sedang, pembukaan yang sudah besar, multiparitas, dan
tingkat plasenta previa ringan dan anak yang mati mengarahkan
pada usaha pemecahan ketuban. (8),(18)
2.3.2 Faktor Janin
2.3.2.1 Kehamilan Multipel
Di Amerika Serikat, jumlah dan frekuensi kehamilan
kembar serta kehamilan multijanin lainnya telah meningkat
secara tidak terduga selama 25 tahun terakhir. Dari tahun 1980
sampai tahun 2005, jumlah kehamilan kembar meningkat dari
18,9% menjadi 32,1 per 1000 kelahiran. Pada waktu yang sama,
jumlah kelahiran kembar meningkat sebanyak 50% dan jumlah
kehamilan multijanin meningkat sampai 400 %.(9)
Pelahiran sebelum aterm merupakan penyebab utama
meningkatnya resiko kematian dan morbiditas neonates pada
kehamilan kembar. Gardner dkk (1995) mendapatkan bahwa
kausa pelahiran preterm berbeda antara janin kembar dan janin
tunggal. Persalinan spontan lebih sering terjadi pada kelahiran
kembar sebelum 37 minggu daripada janin tunggal, sdangkan

kebalikannya berlaku pada ketuban pecah dini. Pada janin


tunggal dan kembar yang lahir premature, pelahiran atas
indikasi terjadi sama banyaknya. Hipertensi ibu dan,
pertumbuhan janin terhambat, dan solusio plasenta merupakan
indikasi utama pelahiran preterm pada janin kembar. (9)
Patogenesis
Beberapa kehamilan mungkin mengarah pada kelahiran
prematur melalui setidaknya dua mekanisme. Over-distensi
uterus mengarah ke regulasi prematur terkait dengan kontraksi
yang disebabkan oleh protein-protein dan faktor yang
memediasi kematangan cervix, yang seluruhnya menunjukkan
adanya kepekaan terhadap regangan mekanis. Kehamilan
kembar yang berhubungan dengan jumlah beberapa plasenta
sehingga terjadi peningkatan CRH yang lebih awal dalam
sirkulasi dibandingkan dengan janin yang tunggal. (15)
2.3.2.2 Stress Pada Ibu dan Janin
Ada bukti bahwa janin dan ibu yang stres mungkin
menjadi faktor risiko persalinan prematur. Janin stres mungkin
timbul
dalam
hubungannya
dengan
terhambatanya
pertumbuhann. Ibu stres dapat disebabkan oleh faktor-faktor
lingkungan. Pada kedua kasus tersebut dipostulasikan bahwa
sekresi berlebih dari kortisol menyebabkan meningkatnya
regulasi dari produksi CRH dalam plasenta. (15)
2.3.3 Faktor Lainnya
2.3.3.1 Genetik
Sifat keluarga, riwayat prematur dan sifat rasial
kelahiran prematur telah diketahui bahwa genetika mungkin
memainkan peran dalam menyebabkan persalinan preterm. Gen
untuk relaksin desidua merupakan salah satu kandidat. Defek
pada protein trifunctional mitokondria defek janin atau
polimorfisme dalam kompleks gen interleukin-1, reseptor 2adrenergik, atau faktor nekrosis tumor (TNF) mungkin juga
terlibat dalam ruptur membran yang prematur.(7)
Untuk saat ini, hubungan antara polimorfisme dalam

calon gen dan risiko kelahiran prematur adalah moderat.


Misalnya, variasi dalam reseptor progesteron telah terlibat
sebagai faktor risiko ibu dalam sebuah penelitian, tetapi tidak
dalam penelitian lainnya. Demikian juga, meskipun
polimorfisme dalam gen yang mengkode sel inflamasi sitokin
pada awalnya diidentifikasi sebagai faktor risiko yang mungkin
dapat terjadi, namun hubungan yang konsisten dengan kelahiran
prematur belum dapat ditentukan. studi asosiasi Genomewide
sekarang sedang berlangsung terus dan berjanji untuk membuat
wawasan baru dalam waktu dekat. Untuk menjelaskan interaksi
antara gen-gen dan gen-lingkungan yang meningkatkan risiko
kelahiran prematur, kohort besar (> 10.000 objek penelitian)
akan diperlukan, terutama jika tujuannya adalah untuk
menemukan varian dengan ukuran efek kecil yang bisa
menjelaskan wawasan fisiologis yang baru. (12)
2.4 Diagnosis
2.4.1 Gejala Pada Pasien
Diagnosis persalinan prematur yang akurat sulit
diketahui sampai persalinan telah jelas maju walaupun sudah
menggunakan tokolitik. Dengan peringatan ini, persalinan
prematur dapat diklasifikasikan sebagai ancaman atau memang
aktual. Dasar klasifikasi seperti ini mempunyai perbedaan dalam
prognosis. Sekitar 85% pasien dengan ancaman persalinan
prematur melahirkan setelah aterm, padahal hanya 40-50%
pasien dengan persalinan preterm yang aktual melahirkan aterm.
(5)

The American Academy of Pediatrics and the American


College of Obstetricians and Gynecologists (1997) merumuskan
criteria untuk membuktikan adanya persalinan preterm, yaitu: (5)
1. Kontraksi 4 kali dalam 20 menit atau 8 kali dalam 60
menit ditambah perubahan progresif pada cervix,
2. Dilatasi cervix > 1 cm
3. Pendataran cervix 80% atau lebih.
Adapun kriteria lainnya dari Ingemarsson's untuk
mendiagnosis persalinan prematur: (5)
1. Kehamilan 28-36 minggu
2. Kontraksi uterus yang menyakitkan, teratur, yang terjadi

pada interval kurang dari 10 menit, selama paling sedikit


30 menit, menggunakan tocography eksternal
3. Selaput utuh
4. Uterus mendatar atau hampir mendatar dan berdilatasi
antara 1 dan 4 cm.
Sejumlah keluhan mungkin terdapat pada persalinan
prematur (Tabel 2.1) tapi banyak dari gejala-gejala ini sering
terjadi pada kehamilan normal dan sering diabaikan oleh dokter
atau bidan yang melakukan perawatan prenatalSebuah studi
yang membandingkan gejala ibu hamil pada persalinan prematur
dengan gejala normal ibu hamil menunjukkan bahwa gejalanya
saling melengkapi. Kontraksi seperti kram menstruasi sering
kali menjadi keluhan yang paling mencolok, dengan hanya 13%
dari pasien persalinan prematur tidak terjadi gejala ini. Sekitar
10% dari wanita hamil normal mengeluh adanya kontraksi yang
menyakitkan. (5)
Biasanya, pasien dengan persalinan prematur
mengancam mempunyai respon yang baik terhadap terapi
konservatif sederhana (bedrest, hidrasi, obat penenang, atau
dosis subkutan terbatas terbutaline atau nifedipine). Jarang,
infus kontinu dari obat tokolitik diperlukan untuk aktivitas dan
kontraksi uterus terus-menerus ada dan signifikan. Prognosis
dari persalinan saat aterm tampaknya meningkat jika persalinan
prematur dimulai pada trimester ketiga bukan di trimester
kedua. (5)
Tabel 2.1 Gejala utama persalinan prematur. (5)
Sakit perut
Sakit punggung
Nyeri panggul
Kram menstruasi
Perdarahan vagina
Leukorea dengan pewarnaan merah muda
Tekanan pada panggul
Sering berkemih

2.4.2 Perubahan Cervix


2.4.2.1 Dilatasi Cervix
Dilatasi cervix setelah tengah usia kehamilan diduga sebagai
faktor resiko untuk persalinan preterm,meskipun beberapa
klinisi mempertimbangkan adanya beberapa varian anatomi
yang normal, terutama pada wanita mulipara. Cook dan Ellwood
(1996) mengevaluasi cervix pada wanita nulipara dan multipara
dengan usia kehamilan 18 dan 30 minggu menggunakan USG
transvaginal, menemukan bahwa panjang dan dilatasi uterus
tetap identik pada keduanya selama usia kehamilannya. (8)
Meskipun dilatasi dan penonjolan cervix pada trimester III
meningkatkan resiko pelahiran premature, namun deteksi dini
tersebut tidak memberikan dampak dalam hasil kehamilannya.
(8)

2.4.2.2 Panjang Cervix


lams dkk. (1996) menggunakan sonografi transvaginal
untuk mengukur panjang cervix 2915 wanita pada usia gestasi
sekitar 24 minggu dan sekali lagi pada 28 minggu yang tidak
mempunyai resiko dalamp persalinan preterm. Rata-rata panjang
cervix pada minggu ke-24 adalah sekitar 35 mm, dan wanita
yang mempunyai cervix yang memendek progresif mengalami
peningkatan angka kelahiran preterm. (8)
Pada wanita hamil dengan persalinan sebelumnya kurang
dari 32 minggu, Owen dkk. (2001) melaporkan hubungan yang
signifikan dari panjang cervix pada usia gestasi 16 sampai 24
minggu dengan kelahiran preterm selanjutnya sebelum minggu
ke-35. Dalam studi selanjutnya, Owen dkk (2003)
mengyimpulkan bahwa nilai panjang cervix untuk memprediksi
persalinan sebelum usia kehamilan 35 minggu hanya jelas pada
ibu hamil resiko tinggi terhadap persalinan preterm. (8)
2.4.3 Fibronectin Janin
Fibronektin adalah suatu glikoprotein yang diproduksi
dalam 20 bentuk molekul yang berbeda oleh berbagai jenis sel,
termasuk hepatosit, sel ganas, fibroblas, sel endotel, dan amnion
janin. Glikoprotein ini terdapat dalam konsentrasi tinggi di
darah ibu dan di cairan amnion, serta dianggap memainkan

peran pada adhesi antarsel dalam kaitannya terhadap implantasi


serta dalam mempertahankan adhesi plasenta ke desidua. Leeson
dkk., (1996). Fibronektin janin dapat dideteksi di dalam sekret
servikovagina pada kehamilan normal dengan selaput ketuban
utuh aterm, dan tampaknya memperlihatkan remodeling stroma
cervix sebelum persalinan. (8)
Lockwood dkk. (1991) melaporkan bahwa penemuan
fibronektin janin pada sekret servikovagina sebelum selaput
ketuban pecah dapat menjadi suatu petanda adanya ancaman
persalinan preterm. Laporan ini telah merangsang minat yang
cukup besar terhadap penggunaan pemeriksaan fibronektin
untuk meramalkan kelahiran preterm. Fibronektin janin diukur
dengan menggunakan enzyme linked immunosorbent assay dan
nilai di atas 50 ng/mL dianggap sebagai hasil positif.
Kontaminasi sampel dengan cairan amnion dan darah ibu harus
dihindari. (8)
2.5 Pencegahan Kelahiran Preterm
Pada wanita dengan primigravid yang tidak mempunyai
faktor-faktor risiko yang signifikan untuk kelahiran prematur,
tidak terdapat metode efektif untuk memprediksi persalinan
prematur oleh karena itu penatalaksanaan hanya dapat
ditetapkan pada saat muncul keluhan akut seperti adanya
kontraksi. Pada saat ini tidak ada terapi profilaksis yang telah
terbukti bermanfaat dalam mencegah timbulnya persalinan
prematur pada populasi ibu hamil berisiko tinggi. Tidak ada
bukti bahwa obat beta-sympathomimetic oral mengurangi risiko
persalianan prematur dan penggunaannya secara umum telah
ditinggalkan di praktek kebidanan Inggris. Terapi yang umum
digunakan ialah cervix cerclage, obat antiinflamasi non steroid
dan baru-baru ini penggunaan progesteron. (15)
2.5.1 Progesteron
Progesteron dianggap menghambat produksi sel
proinflamasi sitokin dan prostaglandin dalam uterus dan
menghambat kontraktilitas miometrium. Pada tahun 2003, Da

Fonseca et al. melaporkan bahwa perempuan dengan risiko


tinggi kelahiran prematur dan secara acak menerima 100-mg
progesteron supositoria vagina sehari antara 24 dan 33 minggu
memiliki jumlah persalinan prematur yang lebih rendah (13,8%
pada 37 minggu, 2,8% sebelum 34 minggu) versus kelompok
plasebo (28% sebelum 37 minggu, 18,6% sebelum 34 minggu).
Dalam studi serupa Mies et al. menggunakan suntikan mingguan
dari 17 hydroxyprogesterone capruate (250 mg) pada ibu
dengan usia kehamilan antara 16 dan 36 minggu, hasilnya
ternyata dapat mengurangi rata-rata persalinan prematur
sebanyak 55-36% sebelum usia kehamilan 37 minggu dan 1911% sebelum usia kehamilan 32 minggu. (8),(15)
2.5.2 Ligasi Cervix Cerclage
Kelainan fungsi cervix dapat menjadi faktor utama atau
kontributor minor terhadap kejadian biokimia dan mekanis yang
dapat menyebabkan kelahiran prematur. Sudah jelas bahwa pada
wanita dengan riwayat cervix yang lemah, misalnya, pada
wanita dengan dengan riwayat operasi cervix atau mereka
dengan episode berulang dari kehilangan janin trimester kedua
tanpa rasa sakit relatif cepat, cerclage cervix akan memperbaiki
prospek dalam suksesnya kehamilan berikutnya secara
signifikan. (15)

Gambar 2.3 Cerclage cervix


Terdapat 3 kondisi diamana penggunaan cerclage cervix
bermanfaat pada pencegahan kelahiran preterm. Kesatu,
cerclage dapat digunakan pada wanita dengan riwayat kelahiran
prematur pada tengah trimester ketiga yang berulang dan wanita
yang didiagnosis memiliki cervix yang inkompeten. Kondisi
kedua, wanita yang memiliki cervix yang pendek saat dilakukan
USG. Ketiga, melakukan cerclage penyelamatan/rescue, pada
saat cervix yang inkompeten baru dikenali pada ibu dengan
kelahiran preterm yang mengancam. Rescue cerclage cervix
dilakukan pada wanita dengan dilatasi cervix yang diam/silent
dan menonjol dari membran ke dalam vagina tetapi tidak
disertai kontraksi uterus sebelumnya (gambar 2.3). (8)
2.5.3 Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
Peran penting dari sel inflamasi prostaglandin dan
sitokin dalam etiologi persalinan prematur menunjukkan bahwa
non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAID) dapat bermanfaat
dalam mencegah kelahiran prematur. NSAID bekerja terutama
dengan
menginhibisi
enzim
cyclo-oxygenase
yang
mengkatalisasi sintesis prostaglandin. Akan tetapi, berbagai
OAINS juga memiliki aksi mekanisme lain meliputi efek pada
jalur sinyal intraselular dan pada faktor transkripsi termasuk NFkappa B. Ada dua isoform utama pada enzim cyclo-oxygenase
disebut COX-1 dan COX-2. COX-1 adalah secara konstitutif
diekspresikan dalam sel mayoritas, sedangkan COX-2 ialah
bagian yang menginduksi dan mengkatalisis sintesis
prostaglandin pada tempat peradangan. COX-2 merupakan
cyclo-oxyge nase utama yang terkait dengan meningkatnya
sintesis prostaglandin yang muncul saat terjadinya persalinan. (15)
Terdapat beberapa penelitian penggunaan OAINS dalam
pengelolaan akut kelahiran prematur, terdapat beberapa studi
acak penggunaan OAINS sebagai profilaksis. OAINS
berhubungan dengan efek samping pada janin secara signifikan,

khususnya oligohidramnios dan penyempitan ductus arteriosus.


(15)

Oligohidramnios terjadi pada 30% dari janin yang


terkena indometasin. Efek ini tergantung dosis dan mungkin
terjadi baik dengan penggunaan jangka pendek maupun jangka
panjang. Penghentian terapi biasanya menghasilkan pergantian
cepat janin normal urin output dan resolusi dari
oligohydramnion. (15)
Penyempitan terjadi ductus arteriosus hingga 50% janin
terkena indometasin pada usia kehamilan lebih besar dari 32
minggu. Ada hubungan antara dosis, durasi terapi dan usia
kehamilan. Duktus penyempitan terlihat jarang di bawah usia
kehamilan 32 minggu dan lebih jarang di bawah usia kehamilan
28 minggu. Terapi indometasin jangka panjang, terutama setelah
usia kehamilan 32 minggu berhubungan dengan risiko hipertensi
paru bayi secara signifikan. (15)
Jika NSAID seperti indometasin harus digunakan,
misalnya, sebagai terapi jangka pendek dalam penggunaan
cervix cerclage, maka penting bahwa harus ada USG untuk
melihat produksi urin janin atau indeks cairan ketuban dan dari
ductus arteriosus dan terapi harus dihentikan ketika muncul efek
samping. (15)
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini Dan Persalinan
Preterm
Wanita yang diidentifikasi mempunyai resiko kelahiran
prematur dan wanita dengan gejala dan tanda persalinan preterm
memiliki banyak inertevensi dengan tujuan untuk mendapatkan
hasil yang baik. Meskipun banyak intervensi yang dapat
dilakukan namun tidak semua dianjurkan. Beberapa intervensi
memberikan perbaikan yang cukup baik, namun beberapa
lainnya masih belum terbukti. (8)

2.6.1.1 Riwayat Pecah Ketuban Preterm


Cox dkk. (1988b) melaporkan hasil kehamilan pada 298

wanita berturut-turut yang melahirkan setelah pecah ketuban


spontan pada usia gestasi antara 24 sampai 34 minggu.
Meskipun komplikasi ini hanya ditemukan pada 1,7 persen
kehamilan, kondisi ini merupakan penyebab 20 persen kematian
perinatal selama periode waktu ini. Pada saat masuk, 75 persen
wanita sudah in partu, 5 persen melahirkan karena penyulit lain,
dan 10 persen lainnya melahirkan setelah persalinan spontan
dalam 48 jam. Hanya terdapat 7 persen wanita yang
pelahirannya tertunda 48 jam atau lebih setelah pecah-nya
ketuban. Namun, kelompok wanita yang mengalami penundaan
pelahiran ini tampaknya diuntungkan akibat lambatnya
pelahiran karena tidak terjadi kematian neonatal. Hal ini
berlawanan dengan angka kematian neonatal 80 per 1000 pada
bayi yang dilahirkan dalam 48 jam setelah pecah ketuban.
Nelson dkk. (1994) melaporkan hasil serupa. (8)
Periode waktu dari ketuban pecah preterm sampai
pelahiran berbanding terbalik dengan usia gestasi saat ketuban
pecah (Carroll dkk., 1995a). Seperti diperlihatkan pada Gambar
2.4, jika ketuban pecah pada trimester ketiga, hanya diperlukan
beberapa hari saja hingga pelahiran terjadi disbanding dengan
trimester kedua. (8)

Gambar 2.4 Hubungan interval waktu antara ketuban pecah


dini dan pelahiran pada 172 kehamilan tunggal. (Kotak = yang
bertahan; lingkaran = kematian karena prematuritas; segitiga =
kematian akibat hipoplasia paru) (8)

2.6.1.2 Rawat Inap


Sebagian besar ahli kebidanan merawat inap wanita
dengan kehamilan yang mengalami penyulit pecah ketuban
preterm. Keprihatinan tentang biaya perawatan rumah sakit yang
lama biasanya masih dapat diperdebatkan karena kebanyakan
wanita memasuki persalinan dalam 1 minggu atau kurang
setelah ketuban pecah. Carlan dkk. (1993) mengacak 67
kehamilan dengan pecah ketuban yang dipilih secara cermat
untuk menjalani penatalaksanaan di rumah versus di rumah
sakit. Tidak ada keuntungan yang ditemukan pada perawatan
inap dan masa tinggal ibu di rumah sakit berkurang 50 persen
pada ibu yang dikirim pulang 14 menjadi 7 (hari). Yang penting,
para peneliti ini menekankan bahwa penelitian ini terlalu kecil
untuk nenyimpulkan bahwa penatalaksanaan di rumah amanaman saja. (8)
2.6.1.3 Penatalaksanaan Menunggu
Meskipun ada banyak sekali literatur mengenai
penatalaksanaan menunggu pada ketuban pecah preterm, baru
sedikit penelitian acak yang telah dilakukan. Dalam penelitian
acak wanita yang menerima tokolitik dan terapi menunggu.
Peneliti menyimpulkan intervensi aktif tidak memperbaiki hasil
perinatal. (Garite dkk, 1981, 1987; Nelson dkk, 1985). (8)
2.6.1.4 Pelahiran Disengaja
Pelahiran secara sengaja banyak dipraktikkan sebelum
tahun 1970-an karena ketakutan akan terjadi sepsis. Telah
dilakukan dua percobaan acak tentang pelahiran disengaja pada
kehamilan dengan penyulit pecah ketuban preterm. Mercer dkk.
(1993) mengacak 93 kehamilan dengan pecah ketuban pada usia
gestasi antara 32 dan 36 minggu untuk melahirkan dibandingkan
dengan penatalaksanaan menunggu. Semua mencatat adanya
pematangan paru janin. Pelahiran secara sengaja mengurangi
lama perawatan ibu di rumah sakit dan juga menurunkan angka
infeksi baik pada ibu maupun neonatus. Cox dan Leveno (1995)
juga mengacak 129 wanita dengan pecah ketuban pada usia
gestasi antara 30 dan 34 minggu. Terdapat satu kematian janin

(akibat sepsis) pada kehamilan yang ditangani secara menunggu


dan tiga kematian neonatal (dua diantaranya karena sepsis dan
satu karena hipoplasia paru). Pada bayi yang dilahirkan dengan
sengaja. Kedua pendekatan penatalaksanaan tersebut dirasa
tidak memuaskan.(8)
2.6.1.5 Korioamnionitis Nyata
Banyak peneliti yang beranggapan bahwa pecah ketuban
yang lama berhubungan dengan peningkatan mortalitas fetal dan
maternal (Ho dkk, 2003). Jika terdiagnosis korioamnionitis,
perlu segera dimulai upaya untuk melahirkan janin-sebaiknya
pervaginam. Sayangnya satu-satunya indikator yang andal untuk
menegakkan diagnosis ini hanyalah demam; suhu tubuh 38OC
(100,4F) atau lebih yang menyertai pecah ketuban menandakan
infeksi. Leukositosis ibu saja dinyatakan tidak dapat diandalkan.
Selama penatalaksanaan menunggu, observasi ibu dan takikardi
janin, lunaknya uterus, dan keluarnya cairan dari vaginam yang
bau perlu dilakukan. (8)
Pada korioamnionitis, morbiditas janin dan neonatus
meningkat secara nyata. Alexander dkk. (1998) meneliti
pengaruh korioamnionitis klinis pada 1367 bayi dengan berat
lahir sangat rendah yang dilahirkan di Parkland Hospital. Sekitar
7 persen bayi terpajan terhadap korioamnionitis dan hasil akhir
pada bayi-bayi ini dibandingkan dengan me.reka yang tidak
mengalami infeksi nyata. Disimpulkan bahwa bayi dengan berat
lahir sangat rendah rentan terhadap cedera neurologis yang
menyertai korioamnionitis. (8)
2.6.1.6 Percepatan Pematangan Fungsi Paru
Glack (1979) menekankan bahwa produksi surfaktan
kemungkinan dipercepat jauh sebelum aterm pada kehamilan
yang dipersulit oleh sejumlah kondisi dan stres pada ibu atau
janin. Contohnya antara lain penyakit ginjal atau kardiovaskular
kronis, gangguan hipertensi lama yang disebabkan oleh
kehamilan, kecanduan heroin, pertumbuhan janin terhambat,
infark plasenta, korioamnionitis, atau ketuban pecah preterm.
Pandangan ini dianut secara luas meskipun data yang lebih baru
menyangkal adanya hubungan ini. (8)

2.6.1.7 Terapi Antimikroba


Patogenesis mikrobiologis ketuban pecah preterm telah
memacu penelitian-penelitian mengenai berbagai macam
antimikroba untuk mencegah pelahiran. Mercer dan Arheart
(1995) mengulas 13 penelitian acak tentang efektivitas terapi
antimikroba dibandingkan dengan plasebo untuk pecah ketuban
pada usia gestasi di bawah 35 minggu. Total 10 hasil akhir
kehamilan menjalani metaanalisis dan hanya tiga yang
menunjukkan kemungkinan efek menguntungkan dari obat
antimikroba: (1) lebih sedikit wanita yang mengalami
korioamnionitis; (2) lebih sedikit bayi yang mengalami sepsis,
dan (3) kehamilan lebih sering memanjang 7 hari pada ibu yang
diberi antimikroba. Angka harapan hidup tidak dipengaruhi,
demikian pula insiden enterokolitis nekrofikans, gawat napas,
atau perdarahan intracranial. (8)
Untuk meninjau masalah ini lebih jauh, the NICHD
Maternal-Fetal Medicine Units Network melaksanakan sebuah
uji coba prospektif acak-terhadap penatalaksanaan menunggu
dikombinasikan dengan ampisilin atau amoksisilin plus
eritromisin, atau placebo. Pada wanita dengan ketuban pecah
preterm pada usia gestasi antara 24 dan 32 minggu. Tokolisis,
terapi kortikosteroid, atau keduanya tidak diberikan pada uji
coba ini. Lebih sedikit neonatus yang mengalami sindrom gawat
napas, enterokolitis nekrotikans, atau gabungan hasil simpang
pada kehamilan yang mendapatkan obat antimikroba. (Mercer
dkk, 1997). (8)
Beberapa memprediksi terapi antimikroba lama pada
kehamilan ini menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Carroll dkk. (1996) serta Mercer dkk. telah menyatakan
keprihatinan bahwa terapi seperti ini potensial meningkatkan
risiko seleksi pathogen yang resisten.(8)
2.6.1.8 Kortikosteroid
The National Institus of Health Consensus Development
Confrence
(2000)
menganjurkan
pemberian
tunggal
kortikosteroid antenatal pada ibu dengan pecah ketuban preterm

sebelum usia kehamilan 32 minggu dan yang tidak ditemukan


adanya korioamnionitis. Sejak saat itu, banyak penelitian
metanalisis yang dilakukan, dan berdasarkan the American
College Obstetrics and Gynecologist (2007), terapi
kortikosteroid dosis tunggal dianjurkan pada usia kehamilan 2432 minggu. Tidak ada consensus yang menyatakan terapi
tersebut. Pemberian tidak dianjurkan pada usia kehamilan
sebelum 24 minggu. (8)
2.6.2 Persalinan Preterm Dengan Selaput Janin Utuh
Penatalaksanaan antepartum pada wanita dengan tandatanda dan gejala persalinan preterm serta selaput ketuban intak
kurang lebih sama dengan yang telah diuraikan untuk kehamilan
dengan pecah ketuban preterm. Yaitu, patokan terapi adalah
menghindari pelahiran sebelum usia gestasi 34 minggu bila
mungkin. Obat-obat yang ditujukan untuk menghentikan atau
menekan kontraksi uterus sering diberikan, dan hal ini akan
dibahas kemudian. (8)
2.6.2.1 Amniosentesis untuk Mendeteksi Infeksi
Romero dan rekannya (1993) mencoba mengevaluasi nilai
diagnostic dari cairan amnion dengan leukositosis, kadar gula
yang rendah, konsentrasi interleukin-6 yang tinggi, atau adanya
bakteri gram positif pada 120 wanita dengan kelahiran prematur
dan membrane yang utuh. Hasil investigasi ini menemukan
bahwa tidak ditemukan bakteri pada cairan amnion pada 99%
wanita. Konsentrasi interleukin-6 sebanyak 82% spesifik untuk
mendeteksi cairan amnion yang mengandung bakteri. The
American College Obstetrics and Ginecology (2003)
menyimpulkan bahwa tidak ada bukti melakukan amniocentesis
rutin untuk mengidentifikasi suatu infeksi. (8)
2.6.2.2 Terapi Kortikosteroid Kematangan Paru Janin
Glukokortikoid dapat mempercepat maturasi paru-paru
pada domba yang preterm namun kemudian Liggins dan Howie
(1972) mencobanya pada wanita. Terapi kortikosteroid efektif
dalam menurunkan insidensi dari respiratory distress dan angka

kematian neonatal jika kelahiran dapat ditunda setelah


pemberian awal betametason. Bayi baru lahir yang terekspose
terapi ini tidak mendapatkan penyakit sampai usia 31 tahun.
Penelitian Liggins dan Howie (1972) merangsang lebih dari 35
tahun penelitian paru-paru janin lainnya. Dan pada tahun 1995,
National Institute of Health Consensus Development
merekomendasikan
penggunaan
kortikosteoid
untuk
pematangan paru-paru janin yang terancam kelahiran preterm. (8)
2.6.2.3 Metode-Metode Untuk Menghambat Persalinan
Preterm
Banyak sekali obat dan intervensi lain yang telah
digunakan untuk menghambat persalinan preterm, tetapi
sayangnya, tidak ada yang benar-benar efektif. The American
College Obstetrics and Gynecologist (2007) menyimpulkan
bahwa obat tokolitik tidak secara jelas memperlama gestasi,
namun dapat menunda persalinan pada wanita selama 48 jam.
Fungsi ini dapat memfasilitasi transportasi pengiriman ibu ke
RS pusat atau memberikan waktu untuk pemasukan
kortikosteroid. (8)
2.6.2.3.1Tirah Baring
Regimen terapi yang paling sering digunakan adalah
tirah baring selama kehamilan. Pada tahun 1994, Goldenberg
dkk. telah mengulas tirah baring yang digunakan untuk merawat
berbagai macam komplikasi kehamilan dan tidak menemukan
bukti konklusif bahwa tirah baring dapat membantu mencegah
kelahiran preterm. Baru-baru ini, Sosa dkk. (2004) meneliti
secara acak manfaat tirah baring di rumah dan di rumah sakit.
Mereka menyimpulkan tidak adanya bukti bahwa tirah baring
dapat mencegah kelahiran prematur, begitu pula dengan hasil
yang diteliti oleh Goulet dkk (2001) dan Yost dan kolegakoleganya. (8)
2.6.2.3.2 Hidrasi Dan Sedasi
Helfgott dkk. (1994) melakukan percobaan hidrasi dan
sedasi pertama secara acak yang dibandingkan dengan tirah
baring saja dalam perawatan 119 wanita yang sedang dalam

persalinan preterm. Wanita yang diacak untuk mendapatkan


terapi menerima 500 mL larutan Ringer Laktat secara intravena
dalam 30 menit dan 8 sampai 12 mg morfin sulfat
intramuskular. Terapi seperti ini ternyata tidak lebih
menguntungkan daripada tirah baring saja. (8)
2.6.2.3.3 Agonis Reseptor Beta Adrenegik
Banyak senyawa bereaksi dengan reseptor -adrenergik
untuk mengurangi kadar ion kalsium intraseluler dan mencegah
protein yang mengaktivasi kontraksi miometrium. Dalam
kondisi yang akut, obat-obatan dapat diberikan secara intravena
(ritodrine dan terbutaline) atau secara subkutan (terbutaline).
Dosis ditingkatkan sampai uterus ibu menjadi tenang atau
terjadinya efek samping yang mencegah dari meningkatkan
dosis lebih lanjut. Terjadinya tachyphylaxis terjadi dengan cepat.
Di Amerika Serikat, ritodrine dan terbutaline telah digunakan
dalam obstetri, namun hanya ritodrin hidroklorida yang telah
diakui oleh Food and Drug Administration untuk mengobati
persalinan preterm. (8),(16)
Ritodrine
Dalam sebuah studi multisentra di Amerika Serikat,
bayi-bayi yang ibunya diterapi dengan ritodrin atas dugaan
persalinan preterm mempunyai angka kematian yang lebih
rendah, lebih jarang mengalami gawat napas, dan lebih sering
mencapai usia gestasi 36 minggu atau berat lahir 2500 g
daripada bayi-bayi yang ibunya tidak diberi terapi (Merkatz
dkk., 1980). (8)
Infus ritodrin, juga agonis (3-adrenergik lainnya sering
kali mengakibatkan efek samping dan kadang- kadang efek
samping tersebut serius, seperti edema paru. Tokolitik
merupakan penyebab ketiga dari acute respiratory distress dan
kematian pada ibu hamil selama 14 tahun terakhir di Mississippi
(Perry dkk, 1996). Penyebab edema paru adalah multifaktorial,
dan faktor resiko meliputi terapi tokolitik dengan -agonis,
kehamilan multijanin, terapi kortikosteroid yang berbarengan,
tokolitik > 24 jam, dan infuse kristoloid dalam jumlah besar.

Disebabkan -agonis dapat menyebabkan retensi natrium dan


air, pemberian selama waktu 24-48 jam dapat membuat volume
overload (Hankins dkk, 1988).(8)
Kini hanya ritodrin parenteral yang tersedia di Amerika
Serikat sejak pabriknya menghentikan distribusi tablet pada
tahun 1995. Berdasarkan Federa Register, ritodrin ditarik dari
peredaran pada tahun 2003 oleh pabriknya sendiri dan sudah
tidak tersedia lagi di Amerika Serikat. (8)
Terbutaline
Agonis- ini umumnya digunakan untuk mencegah
persalinan preterm, namun, seperti ritodrin, toksisitasnya
khususnya edema paru (Angel dkk., 1988). Lam dkk. (1988)
melaporkan pemberian terbutalin dosis rendah secara subkutan
jangka panjang dengan menggunakan pompa portabel pada
sembilan kehamilan. Tokos Corporation segera memasarkan
pendekatan ini, dan antara tahun 1987 sampai 1993 telah
menggunakan pompa ini pada hamper 25.000 wanita dengan
persalinan preterm (Perry dkk., 1995). Laporan lain yang ada
mengenai pompa terbutalin antara lain kematian ibu mendadak
dan laporan nekrosis miokardium neonatus setelah ibu
menggunakan pompa tersebut selama 12 minggu (Fletcher dkk.,
1991; Hudgens dan Conradi, 1993). (8)
Dua percobaan acak prospektif belum menemukan
manfaat apapun dari terapi pompa terbutalin. Wenstrom dkk.
(1997) mengacak 42 wanita untuk mendapatkan terapi dengan
pompa terbutalin pompa salin, atau terbutalin oral. Guinn dkk.
(1998). Dalam sebuah percobaan tersamar ganda, mengacak 52
wanita untuk mendapatkan terapi pompa terbutalin atau pompa
salin. Terapi pompa terbutalin tidak secara signifikan
memperpanjang kehamilan, mencegah pelahiran preterm, atau
memperbaiki hasil akhir neonates pada kedua studi ini. (8)
Terapi terbutalin oral pernah dilaporkan tidak efektif
oleh beberapa kelompok (How dkk., 1995; Parilla dkk., 1993):
Pada sebuah percobaan tersamar ganda, Lewis dkk. (1996)
mengacak 203 wanita yang mengalami persalinan preterm
setelah tokolisis intravena yang berhasil pada usia gestasi 24

sampai 34 minggu, untuk mendapatkan 5 mg terbutalin oral


setiap 4 jam atau plasebo. Pelahiran dalam waktu satu minggu
setara pada kedua kelompok demikian juga median masa laten,
rerata usia gestasi saat pelahiran, dan insiden persalinan preterm
berulang. (8)
Ikhtisar Tentang Obat -Adrenergik Untuk Menghambat
Persalinan Preterm
Sejumlah meta-analisis mengenai agonis- parenteral
yang diberikan untuk mencegah kelahiran preterm secara
konsisten mengkonfirmasi bahwa agen-agen ini menunda
pelahiran selama tidak lebih dari 48 jam (Canadian Preterm
Labor Group, 1992). Lebih lanjut, penundaan ini belum terbukti
menguntungkan. Macones dkk. (1995) menggunakan studi
meta-analisis untuk menilai data tentang kemanjuran terapi agonis oral yang tersedia dan tidak menemukan adanya manfaat.
Keirse (1995b) menyatakan bahwa penundaan pelahiran singkat
yang dihasilkannya bermanfaat untuk mempermudah
transportasi ibu ke pusat perawatan tersier, dan juga cukup
menunda pelahiran hingga menghasilkan pematangan janin
dengan glukokortikoid. Sayangnya, tidak ada data yang
menyokong dari sudut pandang ini. (8)
2.6.2.3.4 Magnesium Sulfat
Magnesium ionik dalam konsentrasi yang cukup tinggi
dapat mengubah kontraktilitas miometrium in vivo dan in vitro.
Perannya diperkirakan sebagai antagonis kalsium. Steer dan
Petrie (1977) menyimpulkan bahwa magnesium sulfat yang
diberikan secara intravena, 4 g diberikan sebagai dosis awal
diikuti dengan infuse kontinu 2 g/jam, biasanya akan
menghentikan persalinan. Ibu yang diberikan magnesium sulfat
harus diobservasi karena adanya bahaya hipermagnesemia. (8)
Hanya ada dua studi berkontrol acak tentang khasiat
tokolitik magnesium sulfat pada manusia. Cotton dkk. (1984)
membandingkan magnesium sulfat dengan ritodrin serta dengan
plasebo, dan mereka hanya menemukan perbedaan kecil pada
hasil akhirnya. Cox dkk. (1990) mengacak 156 wanita dalam

persalinan preterm dengan selaput ketuban utuh untuk


mendapatkan infus magnesium 5ulfat atau saline normal.
Wanita-wanita ini menjadi berisiko dan hanya sedikit yang
mencapai usia kehailan 33 minggu. Tidak ditemukan
keuntungan dan terapi seperti ini dan metode tokolisis ini
ditolak di Parkland Hospital. Grimes dan Nanda (2006)
mengkaji ulang penggunaan magnesium sulfat sebagai tokolitik
dan menyimpulkan saatnya berhenti menggunakan terapi ini
disebabkan tidak efektif dan timbulnya bahaya yang potensial
pada janin. (8)
Magnesium sulfat juga memberikan efek janin dan bayi
baru lahir secara signifikan. Magnesium sulfat melintasi
plasenta dan berakumulasi dalam janin. Akibatnya, dapat
mempengaruhi parameter biofisik janin (terutama aktivitas
pernapasan janin) dan penurunan variabilitas detak jantung
janin. Neonatus yang lahir dengan konsentrasi magnesium sulfat
tali lebih dari 4 mg per 100 mL mungkin menunjukkan tandatanda depresi, termasuk penurunan otot, mengantuk, usaha
pernapasan yang buruk, dan skor Apgar yang rendah. Kasus
bayi osteoporosis dengan patah tulang terkait telah dilaporkan
pada seorang wanita diterapi dengan tokolitik jangka panjang
dengan magnesium sulfat. (16)
2.6.2.3.5 Inhibitor Prostaglandin
Senyawa-senyawa yang menghambat prostaglandin telah
menjadi subjek perhatian yang cukup besar karena prostaglandin
dianggap terlibat erat dalam kontraksi miometrium pada
persalinan normal. Obat antiprostaglandin mungkin bekerja
dengan menghambat sintesis prostaglandin atau menghalangi
kerja prostaglandin pada organ target. Sekelompok enzim yang
disebut prostaglandin sintase bertanggung jawab atas konversi
asam arakhidonat bebas menjadi prostaglandin. Beberapa obat
diketahui menyekat sistem ini, antara lain aspirin dan salisilat
lain dan indometasin. (8)
Indometasin adalah obat yang digunakan pertama kali
oleh Zuckerman dan rekannya pada tahun 1974, dengan hasil
indometasin menghentikan kontraksi dan menunda kelahiran.

Indometasin dapat digunaka secara per oral atau per rectal. (8)
Indometasin merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan gangguan hematologi, penyakit ulkus peptikum, dan
diketahui alergi dan tampaknya dapat meningkatkan waktu
pendarahan. Kontraindikasi relatif pada penyakit ginjal ibu.
Indometasin tidak secara signifikan mempengaruhi perfusi
uteroplacental atau nilai Apgar. (5)
Komplikasi pada janin paling signifikan berhubungan
dengan penutupan ductus arteriosus yang prematur, gagal
jantung kanan, dan kematian janin. Jenis prostaglandin E
memungkinkan ductus arteriosus tetap paten, sedangkan
indometasin cenderung membuat ductus menutup, lebih
cenderung menutup duktus reversibel setelah beberapa minggu.
Penutupan duktus yang ireversibel dapat terjadi pada usia
kehamilan lebih tua, lebih dekat dengan waktu penutupan
fisiologis, namun ada laporan kasus terjadinya kematian janin
diakibatkan penutupan duktus yang lengkap. (5)
2.6.2.3.6 Obat Penyekat Saluran Kalsium
Aktivitas otot polos, termasuk miometrium, secara
langsung berhubungan dengan kalsium bebas di dalam
sitoplasma, dan penurunan konsentrasi kalsium akan
menghambat kontraksi. Obat penyekat kalsium beraksi dengan
menghambat, dengan berbagai mekanisme, pintu masuk saluran
kalsium pada membran sel. Meskipun obat ini digunakan
sebagai terapi penyakit hipertensi, namun obat penyekat saluran
kalsium dapat diaplikasikan dalam terapi persalinan preterm
sebagai subjek sejak akhir tahun 1970-an. (8)
Nifedipine telah digunakan sebagai obat tokolitik.
Banyak protokol untuk nifedipine. Umumnya, 10 mg nifedipine
diberikan peroral. Jika kontraksi tetap ada, dosis dapat diulang
setiap 20 menit untuk total 30 mg dalam 1 jam. Hipotensi
maternal dapat terjadi secara relatif umum. Jika terjadi hipotensi
berkembang, nifedipine dosis tambahan harus diberikan. Sekali
kontraksi menurun, pasien dapat menerima 10 mg setiap 6 jam
nifedipine per oral atau menerima 30-60 mg nifedipine sustainde
release per hari. Nicardipine, yaitu relaksan uterus yang kuat,

dapat diberikan sebanyak 40-mg dalam 2 jam dengan dosis


maksimum 80 mg jika kontraksi rahim tidak mereda. Dapat
dilanjutkan dengan pemberian nicardipine 45 mg sustainedrelease setiap 12 jam. (16)
Kombinasi nifedipin dan magnesium sebagai tokolisis
kemungkinan berbahaya. Ben-Ami dkk. (1994) serta Kurtzman
dkk. (1993) melaporkan bahwa nifedipin meningkatkan
toksisitas
magnesium
untuk
menimbulkan
blokade
neuromuskular yang dapat mengganggu fungsi paru maupun
jantung. How dan rekannya (2006) mengacak 54 wanita dengan
usia kehamilan 32 dan 34 minggu dengan memberikan
magnesium sulfat ditambah nifedipine atau tanpa tokolitik
menemukan tidak terdapat adanya manfaat maupun bahayanya.
(8)

2.6.2.3.7 Ikhtisar Penggunaan Tokolitik Untuk Kelahiran


Preterm
Pada banyak wanita, tokolitik dapat menghentikan
kontraksi sementara, namun jarang mencegah dari persalinan
preterm. Dalam metaanalisis terapi tokolitik, Gyetvai dan
koleganya (1999) menyimpulkan meskipun persalinan dapat
ditunda untuk pemberian kortikosteroid, pengobatan tidak
memperbaiki hasil perinatal. Berkman dan rekannya (2003)
meninjau ulang 60 laporan dan menyimpulkan bahwa tokolitik
dapat memperlama gestasi, tetapi Agonis- tidak lebih baik dari
obat-obat lainnya, malahan dapat berbahaya buat ibunya.
Mereka juga menyimpulkan bahwa tidak terdapat manfaat dari
terapi tokolitik pemeliharaan. (8)
Merujuk kepada aturan secara umum jika diberikan
tokolitik, maka kortikosteroid harus juga seiring diberikan.
Rentang usia kehamilan untuk diberikannya obat ini masih
diperdebatkan, namun karena kortikosteroid tidak umum
digunakan setelah usia kehamilan 33 minggu dan karena hasil
perinatal pada umumnya baik setelah usia kehamilan 33
minggu, maka kebanyakan dokter tidak menggunakan tokolitik
dan kortikosteroid pada usia kehamilan 33 minggu atau lebih. (8)
2.6.3 Penatalaksanaan Intrapartum

Secara umum, semakin imatur janinnya, semakin besar


risiko akibat persalinan dan pelahiran.
2.6.3.1 Persalinan
Apakah persalinan diinduksi atau spontan, kelainan
frekuensi denyut jantung janin dan kontraksi uterus harus dicari,
lebih baik dengan pemantau elektronik .kontinu. Takikardia
janin terutama bila terjadi pecah ketuban,menandakan adanya
sepsis. Terdapat beberapa bukti terbaru bahwa asidemia
intrapartum dapat memperberat beberapa komplikasi neonatal
yang biasanya hanya ditimbulkan oleh prematuritas. Misalnya,
Low dkk. (1995) mengamati bahwa asidosis intrapartum pH
darah arteri umbilikalis kurang dari 7,0 memainkan peran
penting pada komplikasi neonatal. Demikian pula, Kimberlin
dkk. (1996b) menemukan bahwa peningkatan asidemia darah
arteri umbilikalis berhubungan dengan penyakit pernapasan
yang lebih berat pada neonatus preterm meski tidak ditemukan
efek pada hasil neurologis jangka pendek yang meliputi
perdarahan intrakranial. (8)
Infeksi streptokokus grup B sering terjadi dan berbahaya
pada neonatus preterm, sehingga terapi profilaksis sebaiknya
diberikan. (8)
2.6.3.2 Pelahiran
Bila mulut vagina tidak relaks, episiotomi untuk
pelahiran mungkin dapat bermanfaat begitu kepala janin
mencapai perineum. Hasil perinatal tidak menganjurkan
penggunaan forceps untuk melindungi kepala janin preterm
yang fragile (mudah pecah). Seorang dokter dan staf yang
terampil dalam teknik resusitasi serta berorientasi penuh pada
masalah spesifik kasus ini harus hadir pada saat pelahiran.
Pentingnya ketersediaan personel dan fasilitas khusus pada
kasus bayi preterm ditekankan oleh membaiknya angka
ketahanan hidup bayi-bayi ini jika mereka dilahirkan di pusat
perawatan tersier. (8)
2.6.3.3 Pencegahan Perdarahan Intrakranial Neonatal

Bayi-bayi preterm sering mengalami perdarahan matriks


germinal yang dapat meluas menjadi perdarahan intraventrikel
yang lebih serius. Dihipotesiskan bahwa seksio sesarea untuk
meniadakan trauma persalinan dan pelahiran pervaginam
mungkin dapat mencegah komplikasi ini. Observasi-obsevasi
awal ini belum disahkan oleh sebagian besar studi yang
dilakukan setelahnya. Dalam studi terbesar, Malloy dkk. (1991)
menganalisis 1765 bayi dengan berat lahir kurang dari 1500 g
dan menemukan bahwa seksio sesarea tidak menurunkan risiko
kematian serta perdarahan intrakranial. Perdarahan ini
berhubungan dengan apakah janinnya telah mengalami fase
aktif persalinan atau belum. Menghindari fase aktif persalinan
sudah tidak mungkin pada kebanyakan kelahiran preterm karena
jalur pelahiran tidak ditetapkan sampai persalinan
benar-benar telah pasti berlangsung. (8)
BAB III

KESIMPULAN
Jumlah kelahiran prematur terus meningkat setiap
tahunnya, baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, dimana
jumlah kelahiran prematur di Indonesia 16-18% dari seluruh
kelahiran hidup.
Pada wanita dengan persalinan prematur episode akut,
tokolitik dapat diberikan dengan kortikosteroid antenatal.
Namun obat-obatan tokolitik mempunyai potensi yang
berbahaya dan harus digunakan dengan hati-hati dan harus
terawasi. Saat ini, tidak ada data yang mendukung bahwa
penggunaan tokolitik sebagai terapi pemeliharaan pada wanita
dengan persalinan prematur berhasil dicegah total. Pencegahan
kelahiran prematur belum memberikan hasil yang diharapkan,
walaupun data saat ini mendukung menggunakan progesteron
sebagai upaya pencegahan. Wanita yang dalam persalinan
prematur sebaiknya diberikan kortikosteoid antenatal
berdasarkan guideline ACOG (American College Obstetrics and
Gynecology) tahun 2002.

Dengan adanya upaya penelitian-penelitian lebih lanjut


diharapkan dapat lebih menjelaskan biologi kelahiran dan
kelahiran yang tidak normal untuk dapat lebih mengembangkan
terapi yang lebih efektif.

Anda mungkin juga menyukai