Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya,
penulis dapat merampungkan Laporan Praktek Pengelolaan Pasca Panen dengan judul
Analisis Kimia Ikan” dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Orang Tua penulis yang selalu memberikan dukungan baik dalam bentuk moral
maupun moril, demi mencapai cita cita yang penulis harapkan.
2. Dosen Mata Kuliah Pengelolaan Pasca Panen yang telah banyak memberikan materi
baik secara teoritik maupun Praktik.
3. Teman teman yang telah banyak membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam penyelesaian makalah ini tepat pada waktunya.
Penulis sadari bahwa dalam laporan ini masih banyak terdapat kejanggalan dan
kekurangan baik dalam segi penulisan maupun penempatan kata-kata, untuk itu penulis
mohon masukan yang sifatnya membangun agar bisa memperbaiki penulisan
penulisan makalah maupun laporan yang akan datang.
Penulis
DAFTAR ISI
PRAKATA ............................................................................................................i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN .........................................................................................1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................1
1.2 Tujuan...................................................................................................................3
BAB V. PENUTUP....................................................................................................25
REFERENSI .............................................................................................................26
BAB I. PENDAHUULUAN
2.2.1 Pernapasan
Ketika cumi-cumi membutuhkan banyak energi untuk bergerak secepat yang
mereka lakukan, mereka mempunyai tiga jantung. Cumi-cumi berdarah biru. Dua dari
jantung mereka berlokasi dekat dengan masing-masing insangnya. Hal ini, mereka dapat
memompa oksigen ke bagian tubuh yang beristirahat dengan mudah. Cumi-cumi
memiliki pokok sistem pernafasan senyawa tembaga. Hal ini berbeda dengan manusia
dimana manusia mempunyai pokok sistem pernafasan senyawa besi. Jika terlalu
tertutup pada permukaan dimana terdapat air panas, cumi-cumi dapat mati dengan
mudah karena mati lemas.
2.2.2 Habitat
Kemungkinan hidup di air dalam selama musim dingin, tetapi sekitar bulan Mei
dia memasuki air dangkal untuk menetaskan telurnya.
2.2.3 Pencernaan
Cumi-cumi adalah carnivora. Ini berarti pemakan daging. Tentacel yang lebih
panjang menangkap mangsa. Cumi-cumi menarik makanan itu dengan tentacel yang
lebih pendek ketika makanan itu terenggut dengan kekuatan seperti paruh bebek.
Kemudian radula membenturkan makanan turun ke kerongkongan sehingga akan turun
ke perut untuk di cerna. Radula adalah pita tanduk pada lidah.
2.2.4 Reproduksi
Cumi-cumi berproduksi secara sexual. Cumi-cumi betina mengeluarkan banyak
benang telur ke dalam air. Cumi-cumi jantan mengeluarkan sperma. Beberapa spesies
telah dikembangkan untuk menaruh perma di atau dalam cumi-cumi betina. Ini selalu
menjadi misteri ilmu pengetahuan bagaimana telur-telur cumi-cumi didapat terbuahi.
Di bawah kulit cumi-cumi tersusun sebuah lapisan padat kantung-kantung
pewarna lentur yang disebut kromatofora. Dengan menggunakan lapisan ini, cumi-cumi
dapat mengubah penampakan warna kulitnya, yang tidak hanya membantu dalam
penyamaran akan tetapi juga sebagai sarana komunikasi. Misalnya, seekor cumi-cumi
jantan menunjukkan warna yang berbeda ketika kawin dengan warna yang digunakan
ketika berkelahi dengan seekor penantang.
Saat cumi-cumi jantan bercumbu dengan cumi-cumi betina, kulitnya berwarna
kebiruan. Jika jantan lain datang mendekat pada waktu ini, ia menampakkan warna
kemerahan pada separuh tubuhnya yang terlihat oleh jantan yang datang itu. Merah
adalah warna peringatan yang digunakan saat menantang atau melakukan serangan.
Terdapat pula rancangan sempurna pada sistem perkembangbiakan cumi-cumi.
Telurnya memiliki permukaan lengket yang memungkinkannya menempel pada rongga-
rongga di kedalaman lautan. Janin ini memakan sari makanan yang telah tersedia dalam
telur hingga siap menetas. Janin ini memecah selubung telur dengan cabang kecil mirip
sikat pada bagian ekornya. Alat ini segera hilang setelah telur menetas. Setiap seluk
beluknya telah dirancang dan bekerja sebagaimana direncanakan.
2.2.5 Peranan
Cumi-cumi adalah kebutuhan ekonomi, karena mereka digunakan sebagai
makanan, dan sebagai umpan pada jaring ikan. Mereka menjadi makanan ikan kecil,
Crustacea dan cumi-cumi yang lain dan dalam perlengkapan lingkaran makanan ikan
lain yang besar.
2.3.2 Anatomi
Secara umum tubuh udang vannamei terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu
chepalotorax yang terdiri kepala dan abdomen yang terdiri dari perut hingga ekor.
Udang vannamei dapat dibedakan dengan jenis lainnya dari bentuk dan jumlah gigi
pada restrumnya. Udang vannamei memiliki 2 gigi pada tepi rostrum bagian ventral dan
8-9 gigi pada tepi rotrum bagian dorsal (Dahuri, R. 2004).
2.3.3 Habitat
Udang vannamei hidup di laut. Udang ini memiliki toleransi salinitas yang lebar
yaitu dari 2-40 ppt, tapi akan tumbuh cepat pada salinitas yang lebih rendah. Rasa udang
dapat dipengaruhi oleh tingkat asam amino bebas yang tinggi dalam ototnya sehingga
menghasilkan rasa yang lebih manis. Selama proses post-panen hanya air dengan
salinitas tinggi yang dipakai untuk mempertahankan rasa manis udang tersebut (Wyban
et al, 1991).
Temperatur juga memiliki pengaruh yang besar pada pertumbuhan udang. Pada
udang vannamei akan mati jika terpapar pada air dengan suhu 15º C atau diatas 33 º C
selama 24 jam atau lebih. Stress sub letal dapat terjadi pada 15-20 º C dan 30-33º C.
Temperatur yang cocok bagi pertumbuhan udang vannamei adalah 23-30º C. Pengaruh
temperatur pada pertumbuhan udang vannamei adalah pada spesifitas tahap dan ukuran.
Udang muda dapat tumbuh dengan baik dalam air dengan temperatur hangat, tapi
semakin besar udang tersebut temperatur optimum air akan menurun (Wyban et al,
1991).
2.6 pH
Nilai pH adalah log negatif dari konsentrasi ion H. Jika suatu zat melepaskan ion
H+ ke dalam cairan akan meningkatkan konsentrasi ion H+ cairan tersebut maka disebut
sebagai asam, serta memiliki nilai pH di bawah 7,0. Sebaliknya, jika menarik ion H+
maka disebut basa, yang memiliki nilai pH di atas 7,0. Nilai pH 7,0 dikatakan sebagai
pH netral. Skala nilai pH antara 0 dan 14.
Kata pH berasal dari singkatan pondus Hydrogenii atau potentia
Hydrogenii (bahasa Latin), pondus artinya berat; potentia artinya kekuatan atau potensi,
sedangkan hydrogenium artinya hidrogen.
Nilai pH merupakan salah satu criteria dalam penentuan kualitas daging, setelah
hewan mati hewan, maka terjadilah proses biokimiawi yang sangat kompleks di dalam
jaringan otot dan jaringan lainnya sebagai konsekuen tidak adanya aliran darah ke
jaringan tersebut, karena terhentinya pompa jantung. Salah satu proses yang terjadi dan
merupakan proses yang dominan dalam jaringan otot setelah kematian (36 jam pertama
setelah kematian atau postmortem) adalah proses glikolisis anaerob atau glikolisis
postmortem. Dalam glikolisis anaerob ini, selain dihasilkan energi (ATP) maka
dihasilkan juga asam laktat. Asam laktat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan
dan mengakibatkan penurunan nilai pH jaringan otot.
Nilai pH otot (otot bergaris melintang atau otot skeletal atau yang disebut daging)
saat hewan hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral). Setelah hewan disembelih (mati), nilai pH
dalam otot (pH daging) akan menurun akibat adanya akumulasi asam laktat. Penurunan
nilai pH pada otot hewan yang sehat dan ditangani dengan baik sebelum hewan mati
akan berjalan secara bertahap, yaitu dari nilai pH sekitar 7,0-7,2 akan mencapai nilai
pH menurun secara bertahap dari 7,0 sampai 5,6 5,7 dalam waktu 6-8 jam postmortem
dan akan mencapai nilai pH akhir sekitar 5,5-5,6. Nilai pH akhir (ultimate pH value)
adalah nilai pH terendah yang dicapai pada otot setelah hewan mati (kematian). Nilai
pH daging tidak akan pernah mencapai nilai di bawah 5,3. Hal ini disebabkan karena
pada nilai pH di bawah 5,3 enzim-enzim yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak
aktif berkerja.
Penurunan nilai pH yang bertahap dalam daging dan relatif konstan disebabkan
adanyan zat-zat buffer di dalam daging yang berperan dalam melepas dan menangkap
ion H+ dalam daging. Zat buffer dalam daging antara lain garam-garam dari senyawa
asam laktat dan protein daging.
Secara umum, pola penurunan nilai pH otot ada 3 (tiga), yaitu pola penurunan
nilai pH normal seperti yang dijelaskan di atas. Pola penurunan pH yang lain adalah
pola dark firm and dry (DFD) dan pola pale soft and exudative (PSE). Pola penurunan
nilai pH normal dapat dikatakan sebagai penurunan nilai pH yang lambat, nilai pH PSE
dikatakan sebagai pola penuruan pH yang cepat, sedangkan nilai pH DFD dikatakan
sebagai pola penurunan yang lambat dan tidak lengkap.
Pada pola nilai pH DFD, nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama
setelah hewan mati dan tetap relatif tinggi; mencapai pH akhir sekitar 6,5-6,8 atau nilai
pH akhir dicapai di atas 6,2. Sedangkan pola nilai pH PSE, nilai pH menurun relatif
cepat sampai sekitar 5,4-5,5 pada jam-jam pertama setelah hewan mati dan mencapai
nilai pH akhir 5,3 5,6.
Berdasarkan bahasan di atas, nilai pH umumnya diukur dua kali di RPH, yaitu 1
jam setelah hewan mati (kematian) atau disebut nilai pH1 dan 24 atau 36 jam setelah
hewan mati atau disebut nilai pH akhir (nilai pHultimate). Sebagai pedoman dapat
dikatakan bahwa jika pada pengukuran nilai pH1 sudah di bawah 6,5 maka dapat
dinyatakan sebagai daging PSE, namun jika di atas 6,5 maka belum dapat dipastikan
apakah penurunan nilai pH yang normal atau DFD. Nilai pH DFD baru dapat
dipastikan pada pengukuran nilai pH akhir, yaitu jika nilai pH akhir tetap di atas 6,2
maka dikategorikan daging DFD.
Kualitas daging dengan penurunan nilai pH PSE (daging PSE) dan DFD (daging
DFD) dikategorikan buruk, bahkan di beberapa negara dinyatakan sebagai tidak layak
dikonsumsi manusia atau unsuitable for human consumption, sehingga diolah menjadi
pakan hewan (feed). Daging PSE ditandai dengan warna daging yang pucat (pale),
lembek (soft) dan basah pada permukaan (exudative), sedangkan daging DFD ditandai
dengan daging yang berwarna gelap (dark), kompak (firm) dan kering (dry). Kejadian
daging PSE sering terdapat pada karkas babi (5-20%) dan daging ayam, sedangkan
daging DFD sering terjadi pada karkas sapi, khususnya sapi jantan yang tidak dikastrasi
(bull). Penyebab terjadinya kedua pola penurunan nilai pH daging tersebut adalah
hewan mati hewan yang stress, sakit, kurang istirahat, atau banyaknya gerakan/ rontaan
sesaat hewan disembelih.
Pengukuran nilai pH setelah 36 jam tidak lagi bermanfaat untuk menilai kualitas
daging dan tidak dapat dipakai untuk menentukan daging busuk (apalagi tidak diketahui
waktu setelah kematian)atau daging bangkai.
Salah satu pengukuran yang sangat penting dalam berbagai cairan proses (industri,
farmasi, manufaktur, produksi makanan dan sebagainya) adalah pH, yaitu pengukuran
ion hidrogen dalam suatu larutan. Larutan dengan harga pH rendah dinamakan asam
sedangkan yang harga pH-nya tinggi dinamakan basa . Skala pH terentang dari 0
(asam kuat) sampai 14 (basa kuat) dengan 7 adalah harga tengah mewakili air murni
(Netral)
3.2.2 Bahan
Alat Analisis Kadar Alat Analisis Kadar Alat Analisis pH
Air Protein
a.Daging ikan nila a.Daging ikan nila gerus a. Daging ikan nila
cincang b.Daging cumi-cumi gerus gerus
b.Daging cumi-cumi c.Daging udang gerus b.Daging cumi-cumi
cincang d.Aquades gerus
c.Daging udang cincang e.Asam oksalat (H2C2O4) c. Daging udang gerus
f. Penolpthalen/PP d.Aquades
g.NaOH dan Formaldehid
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Pengukuran Kadar Protein
a. Ikan Nila
1. Geruslah bahan yang akan ditimbang
2. Timbanglah bahan dengan menggunakan timbangan digital sebanyak + 5 gram.
3. Buatlah larutan untuk masing-masing bahan untuk melakukan pengukuran kadar
protein
4. Bahan yang telah digerus dan ditimbang, dimasukkan ke dalam tabung
enlemeyer ukuran 250 ml, masukkan akudes sebanyak 100 ml ke dalam tabung
tersebut.
5. Aduk hingga larutan menjadi homogen.
6. Setelah homogen, tambahkan larutan NaOH sebanyak 17 ml. Aduk kembali
larutan hingga menjadi homogen.
7. Kemudian titrasi larutan tersebut hingga warnanya menjadi merah jambu. Bahan
yang digunakan untuk titrasi adalah oxalat jenuh (H2C2O4) sebanyak 0,4 ml,
tambahkan kembali Phenolphthalein Solution (1%) sebanyak 1 ml, tambahkan
formalin 2 ml. (warna larutan akan berubah menjadi putih).
8. Kemudian titrasi kembali. Tambahkan NaOH 2,1 ml. Warna larutan akan
berubah menjadi merah muda.
b. Udang
1. Geruslah bahan yang akan ditimbang
2. Timbanglah bahan dengan menggunakan timbangan digital sebanyak + 5 gram.
3. Buatlah larutan untuk masing-masing bahan untuk melakukan pengukuran kadar
protein
4. Bahan yang telah digerus dan ditimbang, dimasukkan ke dalam tabung
enlemeyer ukuran 250 ml, masukkan akudes sebanyak 100 ml ke dalam tabung
tersebut.
5. Aduk hingga larutan menjadi homogen.
6. Setelah homogen, tambahkan larutan NaOH sebanyak 0,3 ml. Aduk kembali
larutan hingga menjadi homogen.
7. Kemudian titrasi larutan tersebut hingga warnanya menjadi merah jambu. Bahan
yang digunakan untuk titrasi adalah oxalat jenuh (H2C2O4) sebanyak 0,4 ml,
tambahkan kembali Phenolphthalein Solution (1%) sebanyak 1 ml, tambahkan
formalin 2 ml. (warna larutan akan berubah menjadi putih).
8. Kemudian titrasi kembali. Tambahkan NaOH 2,6 ml. Warna larutan akan
berubah menjadi merah muda.
c. Cumi-Cumi
1. Geruslah bahan yang akan ditimbang
2. Timbanglah bahan dengan menggunakan timbangan digital sebanyak + 5 gram.
3. Buatlah larutan untuk masing-masing bahan untuk melakukan pengukuran kadar
protein
4. Bahan yang telah digerus dan ditimbang, dimasukkan ke dalam tabung
enlemeyer ukuran 250 ml, masukkan akudes sebanyak 100 ml ke dalam tabung
tersebut.
5. Aduk hingga larutan menjadi homogen.
6. Setelah homogen, tambahkan larutan NaOH sebanyak 0,2 ml. Aduk kembali
larutan hingga menjadi homogen.
7. Kemudian titrasi larutan tersebut hingga warnanya menjadi merah jambu. Bahan
yang digunakan untuk titrasi adalah oxalat jenuh (H2C2O4) sebanyak 0,4 ml,
tambahkan kembali Phenolphthalein Solution (1%) sebanyak 1 ml, tambahkan
formalin 2 ml. (warna larutan akan berubah menjadi putih).
8. Kemudian titrasi kembali. Tambahkan NaOH 2,0 ml. Warna larutan akan
berubah menjadi merah muda.
4.1 Hasil
Tabel 4.1 Hasil peritungan berat bahan untuk analisis kimia ikan.
Nama Bahan Penghitungan Berat Bahan
Kadar Protein pH Kadar Air
Ikan Nila 5,2192 gram 25,9736 gram 11,440 gram
Udang 5,6550 gram 25,3864 gram 9,5985 gram
Cumi 5,3236 gram 25,3171 gram 10,04 gram
= 1176
5219,2 mg
= 0,225%
% Protein = % N x 5,75
= 0,225% x 5,75
= 1,294 %
b. Udang
%N = FP x ml liter x 0,1 N x 14,008 x 100 %
Berat Bahan
= 1457
5323,6 mg
= 0,274 %
% Protein = % N x 5,75
= 0,274% x 5,75
= 1,576 %
c. Cumi-Cumi
%N = FP x ml liter x 0,1 N x 14,008 x 100 %
Berat Bahan
= 1120,64
5,6550mg
= 0,198 %
Analisis kimia ikan telah banyak memberikan penjelasan kepada penulis sehingga
penulis dapat mengetahui kandungan kimia ikan secara langsung dari ikan-ikan yang
penulis amati seperti kandungan Protein, nilai pH dan kandungan air dalam tubuh ikan.
Namun, disamping itu masih banyak kekuranngan yang penulis rasakan di dalam
melakukan pengamatan analisis kimia ikan yang telah dilakukan diantaranya kurangnya
alat-alat untuk pengamatan seperti pipet ukur. Sehingga cenderung satu pipet digunakan
untuk beberapa bahan kimia untuk pengamatan, hal ini sangat mengganggu proses
pengamatan bail alokasi waktu dan hasil pengatam itu sendiri.
Untuk kedepannya penulis harapkan kepada team teknisi praktek agar para
mahasiswa selanjutnya yang melakukan praktek yang sama akan bisa mendapatkan
hasil praktek yang lebih kongkrit lagi dengan mementingkan pemakaian alat-alat yang
benar-benar steril dan spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
Gaman, P.M. 1998. Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Penterjemah:
Mudijati gardjito, dkk. Gadjah Mada University press. Yogyakarta.
Perry, Harriet M., 2008, Marine Resources and History of the Gulf Coast. Diperoleh
dari : http://www.dmr.state.ms.us/dmr.css [28 OKtober 2008]
Sajogyo,dkk. 2000. Menuju Gizi Baik Uang Merata di Pedesaan dan Perkotaan. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Sinar Tani. 2010. Isolat Protein Ikan Lebih Praktis. Di dapat dari
http://www.sinartani.com/agriprosesing/isolat-protein-ikan-lebih-praktis-
ekonomis-1226893273.htm. [06 Mei 2010]
Tim Karya Tani Mandiri. 2009. Pedoman Budidaya Tambak Udang. Bandung. Nuansa
Aulia.
Ulfa Nazmi. 2009. Analisis Protein, Kalsium dan Lemak pada Ikan Pora-pora. Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatra Utara. Medan.
Wyban, James A., Sweeney, James N., 1991. Intensive Shrimp ProductionTechnology.
The Oceanic Institute. Hawaii