Anda di halaman 1dari 61

MAKALAH

DISKUSI KELOMPOK

(Pemicu 1- 5)
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Modul Etika dan Empati

Disusun Oleh
KELAS INTEGRASI C
KELOMPOK 1:
HANI HANDAYANI
IKHSAN BUDIARTO
INDAH PRIHANDINI
ISA NUR KHoLIFAH
MARINA ULFA
MUHAMMAD IKHWAN
NOVIA ZULFA HANUM

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan


UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun Akademik 2008/2009

2
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat-Nya
lah makalah ini selesai tepat pada waktunya.
Tak lupa ucapan terima kasih kami ucapkan kepada:
1. Seluruh dosen mata kuliah modul integrasi Etika dan Empati, yang
telah memberikan pemahaman terkait topik.
2. Orang tua kami yang telah memberikan dukungan yang bersifat
material maupun immaterial.
3. Semua teman kami yang telah turut memberikan informasi terkait
topik, yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Makalah ini disusun sebagai langkah untuk memahami etika dasar moral
sebagai seorang tenaga kesehatan di dalam kehidupan terutama ketika menghadapi
klien atau pasien. Harapan kami agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kehidupan
kita sehari-hari walaupun kami yakin, makalah ini memiliki banyak kekurangan,
oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, agar
pembuatan makalah di masa mendatang menjadi lebih baik.

Tim Penulis

3
Daftar Isi

Kata Pengantar 1

Daftar Isi 2

Pembahasan (Isi)

I. Pemicu 1 – Tolonglah aku…!! 3

II. Pemicu 2 – Satu kamar, rame-rame 17

III. Pemicu 3 – Aku tidak mau transfusi

27

IV. Pemicu 4 – Saya sarankan, Suami Ibu yang KB…!

36

V. Pemicu 5 – Let me die… 43

4
PEMICU 1
Tolonglah Aku…!

5
BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Tn. H (51 tahun) didiagnosis menderita gagal ginjal kronik dan


fungsi ginjal sudah tidak normal lagi. Pada saat ini beliau sangat tergantung
sekali kepada alat pencuci darah (hemodialisa) dimana satu kali hemodialisa
memerlukan dana sekitar Rp. 400.000,- dan harus dilakukan 2 kali dalam
seminggu. Agar beliau dapat sembuh, dokter menganjurkan untuk
melakukan cangkok ginjal. Cangkok ginjal dapat dilakukan pada ginjal yang
berasal dari saudara kandung maupun orang lain, asalkan dengan syarat
kondisi ginjal tersebut sehat. Bila harus “mencari ginjal dari orang lain”
sangat sulit dan mahal. Tn. H meminta kepada adiknya ( Tn. L ) dan
kakaknya ( Tn. M ) untuk meneyumbangkan ginjalnya untuk kesembuhan
dirinya. Kedua saudara kandung Tn. H tersebut sudah berkeluarga dan
mempunyai anak.

Bagaimana pendapatmu tentang kasus tersebut ? Berikan beberapa


alternative pemecahan dari berbagai segi / faktor.

1.2 Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas dosen serta


untuk memahami lebih lanjut tentang masalah yang telah diberikan kepada
kami yang berhubungan langsung dengan materi kuliah Empati serta Etika
moral pada modul Etika dan Empati. Serta untuk lebih mengembangkan
ilmu dasar tentang empati dan dapat mengapresiasikan dalam kasus tersebut
sehingga didapatkan solusi yang terbaik yang harus dilakukan oleh sang
pasien. Tak hanya itu, penulisan makalah ini pun bermaksud agar kelak
ketika kami calon tenaga medis terjun langsung ke lapangan dan
menghadapi kasus serupa atau lebih dari apa yang kami dapatkan saat ini,

6
maka kami sudah sedikit terlatih untuk memecahkannya dan memeberikan
solusi yang terbaik. Sehingga terciptalah rasa naluri empati yang tinggi yang
memang seharusnya dimiliki oleh para tenaga medis yang membuat kami
sebagai tenaga medis menjadi orang – orang yang dapat dihargai dan
dihormati di tengah – tengah masyarakat.

Penulisan ini pun bertujuan untuk memberikan sedikit informasi


terbaru sekaligus tukar pikiran (sharing) aplikasi teori yang telah diberikan
oleh dosen kami sebagai pengajar dan pembimbing kepada teman – teman
sekelas kami. Sehingga dengan begitu, mereka pun dapat memahami lebih
dalam tentang teori yang telah diberikan dan di kemudian hari, mereka serta
kami dapat mengapresiasikannya dalam kehidupan, yang nantinya akan
mereka tularkan pula kepada sanak famili dan anak cucu mereka.

1.3 Manfaat Penulisan

Penulisan ini bermanfaat untuk menambah wawasan kita tentang


sikap yang harus dilakukan ketika kita nantinya jikalau telah menjadi tenaga
medis kepada pasien atau mungkin orang – orang yang kita hadapi
yangpada saat itu dalam keadaan terpuruk dan membutuhkan bantuan
segera daru diri kita. Sehingga kita dapat bersikap sesuai dengan apa yang
telah dipelajari dalam modul ini, tak hanya mantap dalam teori tapi mampu
pula dalam hal tindakan langsung di lapangan.

1.2 Definisi masalah


1. Tn. H mengalami gagal ginjal kronik, dan fungsi ginjalnya
tidak normal.
2. Tn. H harus melakukan cuci darah dua kali seminggu dengan
biaya Rp 400.000,00 sekali cuci darah.
3. Tn. H dianjurkan melakukan cangkok ginjal sehat yang dapat
berasal dari keluarga atau dari orang lain.

7
1.3 Hipotesis
Tn.H akan sembuh dari penyakitnya dengan melakukan
pencangkokan ginjal yang berasal dari keluarga.

1.4 Identifikasi masalah


1. Apa yang dimaksud dengan rasa empati dan simpati ?
2. Apa perbedaan antara Simpati dan Empati?
3. Bagaimana Aplikasi Simpati dan Empati dalam Kasus Tn. H?
4. Bagaimanakah kondisi ginjal yang sehat itu ?
5. Apakah garis keturunan dapat mempengaruhi fungsi ginjal yang
dicangkok ?
6. Apa kelebihan dan kekurangan dari cangkok ginjal?
7. Apa yang terjadi jikalau seseorang telah memberikan salah satu
ginjalnya kepada orang lain ?
8. Apa kelebihan dan kekurangan dari Hemodialisa?
9. Apa dampak positif dan negatif apabila dilakukan pencangkokan ginjal
dari kakak, adik, dan orang lain?
10. Dimanakah rasa empati serta simpati tersebut dapat ditampilkan ?
11. Hak – hak apa saja yang dimiliki oleh seorang pasien pada saat dia
terdesak dengan kondisi kesehatannya ?
12. Bagaimana konsep ajaran islam menanggapi kasus seperti ini ?
13. Bagaimana solusi terbaiknya?

8
Bab II
Pembahasan

I. Pengertian Empati dan Simpati


1.1 Empati
 Keadaan jiwa yang merasa iba melihat penderitaan orang lain dan
terdorong dengan kemampuan sendiri untuk menolongnya tanpa
mempersoalkan persoalan perbedaan latar belakang agama, budaya,
bahasa, bangsa, etnik, dan lain sebagainya (Abuddin Nata)
 suatu kemampuan seseorang untuk mengerti perasaan,pikiran,dan
keinginan orang lain,tanpa mempengaruhi obyektivitas dalam
menilai orang tersebut atau kemampuan menempatkan diri ke dalam
diri orang lain untuk memahami pandangan dan perasaan orang
tersebut,sesuai dengan latar belakang
pendidikan,sosial,budaya,agama,ekonomi,etnik,dan lain-lain.

1.2 Simpati
 Simpati adalah kecenderungan untuk merasakan
perasaan,pikiran,dan keinginan orang lain namun karena
melibatkan perasaan,seringkali penilaiannya menjadi subyektif.

1.3 Penerapan Dalam Kasus

Simpati
keluarga merasakan penderitaan Tn. H dan memberikan tanggapan
namun tidak memberikan respon berupa tindakan.

Empati
keluarga merasakan penderitaan Tn. H dan memberikan ginjal salah
satu dari kakak atau adik sebagai salah satu solusi untuk Tn. H.

9
II. Perbedaan antara Simpati dan Empati

SIMPATI EMPATI

1. Memberikan perhatian 1. Memberikan perhatian yang


terhadap perasaan sedih saja sama terhadap perasaan duka
2. Larut dalam berbagai perasaan dan suka
duka 2. Tidak terlalu larut dalam
3. Cenderung memberikan perasaan dukanya
Pendapat 3. Memberikan Pendapat dan
4. Bersifat Subjektif lebih memahami keluhan
yang berduka
4. Bersifat objektif

III. Ginjal dan Pencangkokannya Dilihat dari Berbagai Segi

Ginjal adalah salah satu organ tubuh yang patut disyukuri dan
sayangi, perannya sangat penting dalam proses urinaria tubuh. Kerusakan
ginjal dapat mengganggu sistem sekresi.

Dalam tubuh, ginjal berfungsi sebagai filter untuk membersihkan darah atau
cairan lainnya. Fungsi itu bertujuan agar bahan-bahan kimia yang
terkandung dalam darah atau cairan tubuh lainnya tidak terbawa kembali
oleh darah dan beredar ke seluruh tubuh.

Sebagian kotoran hasil penyaringan itu nantinya akan dikeluarkan melalui


ginjal bersama air seni. Namun, sebagian lagi mungkin tertinggal dan
mengendap menjadi batu ginjal. Apabila endapan itu tidak dikeluarkan,
akan menetap di ginjal atau berpindah ke kandung kemih.

Pada penyakit gagal ginjal kronis yang terdapat pada kasus ini, memiliki
gejala seperti lemas, nafsu makan, mual, pucat, kencing sedikit, sesak napas.
Penyakit ginjal kronik biasanya tidak menimbulkan gejala awal yang jelas,
sehingga seringkali terlambat diketahui dan ditangani dengan tepat. Jika
penyakit ginjal menjadi kronik dan ginjal menjadi tidak berfungsi ada

10
beberapa cara yang dapart dilakukan yaitu dengan cuci darah dan
pencangkokan ginjal.

Cuci darah adalah tindakan medis yang dilakukan menggunakan mesin cuci
darah atau biasa disebut hemodialisa. Mesin cuci darah itu berfungsi
menyaring racun-racun dalam tubuh dan mengeluarkannya. Proses tersebut
biasanya dilakukan seminggu dua kali.

Sementara itu, pencangkokan ginjal pada prinsipnya adalah memindahkan


ginjal sehat ke penderita gagal ginjal. Ginjal baru akan diletakkan di rongga
ileum kemudian menyambungkan pembuluh darah ginjal baru dengan
pasien, baru kemudian dengan (saluran kencing) ureter.

Berhasilnya pencangkokan ginjal baru ditandai dengan keluarnya air seni


dari ginjal tersebut. Ginjal yang gagal biasanya tidak perlu diambil tapi bila
menyebabkan infeksi maka ginjal tersebut perlu diangkat. Untuk operasi
pengangkatan ginjal tersebut diperlukan waktu 2-3 jam. Operasi
pencangkokan ginjal sendiri membutuhkan waktu 2-3 jam.

Pencangkokan ginjal merupakan cara pengobatan gagal ginjal terbaik


dimana satu ginjal sehat dapat menggantikan 2 ginjal sakit pada pasien
gagal ginjal.

Ginjal hasil pencangkokan dapat bertahan selama 40 tahun bila dirawat


dengan baik. Satu orang penderita gagal ginjal dapat melakukan
pencangkokan ginjal maksimal 4 kali. Batas umur penerima donor ginjal
pada pencangkokan bagi adalah 70-80 tahun. Setelah pencangkokan ginjal,
penerima donor harus minum obat yang biasa disebut anti tolak untuk
jangka panjang. Obat ini berfungsi agar tubuh dapat menerima organ baru
yang dicangkokkan.

Kasus ini sedikit sulit untuk diputuskan atau memprihatinkan.


Dibutuhkan pemikiran yang matang untuk menyelesaikan kasus Tn. H.
Kasus ini harus diselesaikan secara visioner, maksudnya bahwa ajaran islam
mengharuskan agar setiap manusia dapat melihat berbagai kemungkinan
yang akan terjadi di masa yang akan datang, apakah ada dampak positif dan
negatifnya apabila Tn. L atau Tn. M menyumbangkan satu ginjalnya untuk

11
Tn. H dan dampak bagi Tn. H. Serta apabila Tn. L atau Tn. M
menyumbangkan satu ginjalnya, maka harus berdasarkan hati nurani dan
tentunya atas persetujuan dari seluruh keluarga Tn. L atau Tn. M.

Sebenarnya seseorang mampu hidup secara normal seperti biasanya


walaupun hanya dengan satu ginjalnya. Pada awalnya dua ginjal bekerja
tidak secara penuh, sehinga jika salah satu ginjal seseorang diambil dengan
maksud untuk didonorkan, maka kehidupannya pun tak akan berpengaruh.
Lagipula, ginjal yang diambil bukanlah ginjalnya yang sehat, namun
ginjalnya yang sakit. Hal ini karena tim medis tak ingin setelah proses
pencangkokan ginjal, sang pendonor jadi sakit, syok atau bermasalah
dengan kesehatannya.

Namun bagi sang pasien, setelah proses pencangkokan ginjal berhasil maka
ia harus sering di monitori perkembangan kesehatannya dan harus sering
check up ke dokter serta masih harus minum obat secara rutin. Semua
dilakukan karena tubuh sang pasien telah menerima sesuatu yang baru dan
beda serta asing, sehingga tubuh sang pasien dikhawatirkan akan
mengeluarkan zat – zat antibody yang akan menyerang benda asing
tersebut. Oleh karena itulah, selama waktu kurang lebih 2 bulan sang pasien
harus sering dimonitori agar tidak terjadi sesuatu yang buruk padanya.

Dilihat dari sudut simpati serta empati, sebaiknya para keluarga Tn. H
terutama yang menjadi sorotan yaitu Tn. L dan Tn. M tidak hanya
bersimpati dengan hanya menunjukkan rasa kasihan pada Tn. H melainkan
juga harus memiliki sara empati dengan memberikan solusi berupa
sumbangan salah satu ginjalnya atau dengan cara lain berupa pemberian
dana kepada Tn. H untuk membeli ginjal orang lain. Dilihat dari sudut
pandang HAM, Tn. H sangatlah memiliki hak untuk hidup, dengan rasa
empati yang seharusnya ditampilkan oleh Tn. L serta Tn. M, maka harapan
untuk hidup Tn. H pun akan semakin besar. Dengan begitu Tn. H
mendapatkan haknya, namun sebelumnya ia harus memberikan kewajiban
berupa rasa terima kasih yang diungkapkan dengan pemberian dana, paket
untuk hidup seperti sandang, pangan atau papan dan lainnya. Sehingga ada
check and balance di antara mereka. Hal lain berupa hak untuk menentukan

12
nasibnya sendiri yang diajukan oleh Tn. H, jadi Tn. H memiliki hak untu
melakukan tindakan ingin meneruskan hidupnya dengan meminta ginjal
adik atau kakaknya.

Sedangkan jikalau ditinjau dari segi agama, maka transplantasi ginjal


harus dilihat berdasarkan bagaimana kondisi sang pasien ataupun sang
pendonor di masa yang akan datang (aspek visioner). Dalam hukum islam
sendiri ada fatwa Nahdlatul Ulama yang mengatakan bahwa Transplantasi
Organ itu diperbolehkan, disamakan dengan diperbolehkannya menambal
dengan tulang manusia, asalkan memenuhi 4 syarat:

a. Karena dibutuhkan dan terdesak.

b. Tidak ditemukan selain dari anggota tubuh manusia.

c. Keikhlasan sang pendonor untuk memberikan ginjalnya.

d. Antara yang diambil dan yang menerima harus ada persamaan agama.

III. Hemodialisa dan Karakteristiknya


Hemodialisa adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari
tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh yang disebut
dialyzer.

Karakteristik Hemodialisa :
• Biaya mahal
• Di lakukan secara rutin, 2 - 4 kali dalam seminggu
• Sesak nafas
• Penurunan Hb
• Aktivitas penderita terbatas
• Anemia
• Demam,
• Reaksi anafilaksis yg berakibat fatal (anafilaksis),
• Tekanan darah rendah,

13
• Gangguan irama jantung,
• Emboli udara,
• Perdarahan usus, otak, mata atau perut.

IV. Dampak Positif dan Negatif Cangkok Ginjal

1. Kakak
• Dampak Positif :
-Biaya Lebih Murah
-Resiko Penolakan Imun lebih kecik
-Waktu Pencangkokan dapat dipercepat
• Dampak negatif :
-Masih Mempunyai Tanggungan
-Umur sudah Tua, fungsi organ tubuh menurun

2. Adik
• Dampak Positif :
-Biaya Lebih Murah
-Resiko Penolakan Imun lebih kecil
-Waktu Pencangkokan dapat dipercepat
-Kadaan Ginjal Lebih bagus
• Dampak Negatif :
-Masih Banyak Tanggungan

3. Orang Lain
• Dampak Positif:
-Praktis
-Dampaknya tidak meluas
• Dampak Negatif:
-Harganya mahal
-Sulit mencari donor yang sesuai

14
-Resiko Penolakan imun besar
-waktu pencangkokan susah untuk disegerakan

15
Bab III
Penutup

3.1 Kesimpulan

Empati dan Simpati sangat dibutuhkan dalam hubungan antar


manusia terutama dalam hubungan keluarga agar tercipta keharmonisan di
dalamnya
Transplantasi ginjal diperbolehkan jikalau memang dalam keadaan
terdesak, dibutuhkan dan sudah tidak ada cara lain selain melakukan hal
tersebut. Karena jika hanya hemodialisa saja, kemungkinan tubuhnya untuk
tetap bertahan pun akan semakin kecil.

3.2 Solusi

• Memberikan pemahaman dan pengarahan tentang empati


kepada pasien dan keluarga Sebaiknya Tn. H melakukan
cangkok ginjal dari keluarga terdekat.
• Jika keluarga tidak bersedia, sebaiknya keluarga bersama-
sama mengumpulkan dana untuk membeli ginjal dan
melakukan cangkok ginjal dari orang lain.

• Solusi yang tepat pun menjadi pilihan dari kelompok kami,


yaitu dengan transplantasi ginjal dari sang adik ataupun sang
kaka yang penting ada keikhlasan dari sang pendonor. Hal ini
kami pilih karena ditinjau dari factor ekonomi dan kesehatan
sang pasien juga jikalau dia harus cuci darah 2 – 3 kali dalam
seminggu yang memakan biaya yang sangat besar.

16
3.3 Saran

Kami sebagai penulis menyarankan bagi para pembaca untuk


menelaah lebih dalam lagi jikalau ingin melakukan tindakan. Serta
memikirkan aspek – aspek apa saja yang nantinya akan terjadi dan
bagaimana cara penanganannya, agar sesuatu yang didapat bukan hanya
menguntungkan satu pihak saja tetapi pihak lain yang tidak ikut terjun
langsung pun dapat merasakan kenikmatan dan ketenangan terhadap apa
yang kita lakukan. Sehingga nantinya kita sebagai Tenaga Medis atau yang
lainnya bisa menjadi seseorang yang dapat dikagumi oleh orang lain.

17
Daftar Pustaka

www.wikipedia.com

Abdul, Dr. Ebrahim. 2007. Fikih Kesehatan. Jakarta : Serambi

18
PEMICU 2
Satu kamar,rame-
rame

19
BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Seorang dokter kebidanan terkenal di Jakarta, mempunyai pasien rata-
rata 150 per hari. Beliau praktek dari jam 19.00 s.d 02.00 WIB di suatu
rumah sakit swasta tekenal, 3 kali dalam seminggu. Karena pasiennya yang
banyak, sedangkan jam praktek yang singkat, Dr. N melakukan
pemeriksaaan sekaligus untuk 5 orang ibu hamil dalam satu ruangan yang
berisi 5 tempat tidur sekaligus. Perawat yang membantu dokter tersebut
meminta kepada pasien yang ada di ruangan untuk membuka sebagian baju
untuk dilakukan pemeriksaan. Di dalam ruangan tersebut tidak ada pemisah
antara setiap pasien.

1.2 Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas dosen serta


untuk memahami lebih lanjut tentang masalah yang telah diberikan kepada
kami yang berhubungan langsung dengan materi kuliah Empati serta Etika
moral pada modul Etika dan Empati. Serta untuk lebih mengembangkan
ilmu dasar tentang empati dan dapat mengapresiasikan dalam kasus tersebut
sehingga didapatkan solusi yang terbaik yang harus dilakukan oleh sang
pasien. Tak hanya itu, penulisan makalah ini pun bermaksud agar kelak
ketika kami calon tenaga medis terjun langsung ke lapangan dan
menghadapi kasus serupa atau lebih dari apa yang kami dapatkan saat ini,
maka kami sudah sedikit terlatih untuk memecahkannya dan memeberikan
solusi yang terbaik. Sehingga terciptalah rasa naluri empati yang tinggi yang
memang seharusnya dimiliki oleh para tenaga medis yang membuat kami
sebagai tenaga medis menjadi orang – orang yang dapat dihargai dan
dihormati di tengah – tengah masyarakat.

Penulisan ini pun bertujuan untuk memberikan sedikit informasi


terbaru sekaligus tukar pikiran (sharing) aplikasi teori yang telah diberikan

20
oleh dosen kami sebagai pengajar dan pembimbing kepada teman – teman
sekelas kami. Sehingga dengan begitu, mereka pun dapat memahami lebih
dalam tentang teori yang telah diberikan dan di kemudian hari, mereka serta
kami dapat mengapresiasikannya dalam kehidupan, yang nantinya akan
mereka tularkan pula kepada sanak famili dan anak cucu mereka.

1.3 Manfaat Penulisan

Penulisan ini bermanfaat untuk menambah wawasan kita tentang


sikap yang harus dilakukan ketika kita nantinya jikalau telah menjadi tenaga
medis kepada pasien atau mungkin orang – orang yang kita hadapi
yangpada saat itu dalam keadaan terpuruk dan membutuhkan bantuan
segera daru diri kita. Sehingga kita dapat bersikap sesuai dengan apa yang
telah dipelajari dalam modul ini, tak hanya mantap dalam teori tapi mampu
pula dalam hal tindakan langsung di lapangan.

1.2 Definisi masalah


Dokter atau tenaga kesehatan memeriksa pasien berjumlah 5 orang
dalam 1 ruangan tanpa sekat.

1.4 Hipotesis
Dokter tersebut tidak professional dalam menjalankan tugasnya
sebagai dokter.

1.5 Identifikasi masalah


1.Apakah profesionalisme sebagai seorang dokter itu?
2. Apa hak dan kewajiban seorang dokter?
3. Apa hak dan kewajiban seorang pasien?
4. Apakah dokter tersebut berempati kepada pasiennya?
5. Bagaimana etika dasar moral yang terdapat dalam kasus tersebut?
6. Bagaimana solusinya?

21
BAB II
Pembahasan

2.1 Profesionalisme seorang dokter


Profesionalisme sering disebut dalam berbagai kaitan. Satu pendapat
menyatakan profesionalisme yaitu suatu status, cara, karakteristik, standar
yang terkait dengan suatu profesi. Pendapat lain menyatakan
profesionalisme sebagai ajektif yang memiliki arti kualifikasi. Namun bila
ditilik dari asal katanya, profesional berasal dari kata ”profession” dari
bahasa Latin yang berarti a public declaration with the force of a promise,
atau bila diartikan dalam bahasa Indonesia adalah sebuah deklarasi umum
dengan kekuatan sebuah janji.

Ciri- ciri seorang profesional adalah:


1. Mempunyai kompetensi dalam bidang pengetahuan dan keterampilan
tertentu.
2. Mempunyai tugas dan tanggung jawab tertentu baik terhadap individu
dan masyarakat.
3. The right to train, admit, discipline and dismiss its members for failure
to sustain competences or observe the duties and responsibilities.

Sebagai seorang dokter yang professional, maka harus:


1. Fiducity/ trust/ confident
2. Berdasarkan etik.

Berdasarkan The American Board of Internal Medicine (1995),


profesionalisme sebagai seorang dokter haruslah diajarkan dan dibentuk
oleh seorang dosen atau tutor dan telah menjadi bagian dari sikap, perilaku
dan keahlian dokter dalam menangani pasiennya yaitu:
1. Altruism: Seorang dokter wajib mendahulukan kebutuhan/urusan klien
daripada urusannya sendiri, serta senantiasa memberi yang terbaik.

22
2. Accountability : Dokter bertanggung jawab kepada pasien, kepada
masyarakat di kesehatan masyarakat dan pada profesi mereka.
3. Excellence : seorang dokter wajib berkomitmen pada pembelajaran
jangka panjang.
4. Duty : seorang dokter harus bersedia dan cepat tanggap bila ”dipanggil”
untuk melakukan pelayanan atau tindakan medis yang diperlukan.
5. Honor and integrity : Seorang dokter wajib berkomitmen untuk jujur,
berterus terang dan adil dalam interaksinya dengan pasien dan profesi
mereka.
6. Respect to others : seorang dokter harus menunjukkan rasa hormat
(respect) pada pasien dan keluarganya, anggota timya dan dokter lain,
mahasiswa kedokteran, residentnya dan pemagangnya.

Menurut aspek profesionalisme di atas, dokter itu tidaklah


profesional, karena tidak memperhatikan hak-hak pasien dan melanggar
etika dasar moral.

2.2 Hak dan kewajiban dokter

Hak-hak seorang dokter :


1. Hak bekerja menurut standar profesi medik
2. Hak menolak melaksanakan tindak medik yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara profesional
3. Hak menolak suatu tindakan medik yang menurut suara hatinya tidak
baik
4. Hak mengakhiri hubungan dengan pasien, kecuali dalam keadaan gawat
darurat
5. Hak atas privacy dokter
6. Hak atas jasa atau honorarium
7. Hak atas itikad baik dari pasien.

23
Kewajiban- kewajiban dokter :
1. Kewajiban yang berhubungan dengan standar profesi medik
2. Kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak pasien
3. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial dari pemeliharaan
kesehatan

2.3 Hak dan kewajiban pasien

Hak- hak seorang pasien:


1. Hak memilih dokter dan rumah sakit
2. Hak memperoleh informasi medis dan persetujuan
3. Hak menolak pengobatan
4. Hak atas rahasia dirinya
5. Hak untuk memutuskan hubungan antara dokter dan pasien
6. Hak menerima ganti rugi
7. Hak atas bantuan yuridis

Kewajiban-kewajiban seorang pasien:


1. Kewajiban memberi informasi yang sebenarnya kepada dokter
2. Kewajiban mematuhi nasihat dokter yang mengobati
3. Kewajiban menyimpan rahasia pribadi dokter yang mengobatinya
4. Kewajiban untuk memberikan imbalan atau honorarium yang pantas
5. Kewajiban pasien untuk menaati peraturan rumah sakit dan melunasi
biaya rumah sakit

Berdasarkan penjelasan di atas, dokter telah melanggar hak pasien,


diantaranya adalah hak atas kerahasiaan dirinya dan hak untuk mendapat
pelayanan medis yang sesuai standar.

2.4 Empati dokter


2.4.1 Pengertian empati
Keadaan jiwa yang merasa iba melihat penderitaan orang lain dan

24
terdorong dengan kemampuan sendiri untuk menolongnya tanpa
mempersoalkan persoalan perbedaan latar belakang agama, budaya, bahasa,
bangsa, etnik, dan lain sebagainya (Abuddin Nata).
Suatu kemampuan seseorang untuk mengerti perasaan,pikiran,dan
keinginan orang lain,tanpa mempengaruhi obyektivitas dalam menilai orang
tersebut atau kemampuan menempatkan diri ke dalam diri orang lain untuk
memahami pandangan dan perasaan orang tersebut,sesuai dengan latar
belakang pendidikan,sosial,budaya,agama,ekonomi,etnik,dan lain-lain.

2.4.2 Empati dokter dalam kasus ini


Pada kasus ini, dokter tidak berempati kepada pasiennya, karena dokter
menyatukan 5 orang pasien dalam satu ruang periksa tanpa sekat. Bila dokter
berempati terhadap pasiennya, beliau pasti memahami bagaimana tidak
nyamannya menceritakan hal-hal yang pribadi dalam kamar periksa bersama 4
orang lain yang mungkin bisa mendengar keluhannya mengenai hal-hal yang
sangat pribadi, apalagi bila diminta membuka baju untuk pemeriksaan lebih
lanjut.

2.5 Etika dasar moral


Etika dasar moral ada 4, yaitu:

a. Menghormati martabat manusia (respect for


person/autonomy). Menghormati martabat manusia.
Pertama, setiap individu (pasien) harus diperlakukan
sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk
menentukan nasib diri sendiri), dan kedua, setiap
manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu
mendapatkan perlindungan.

b. Berbuat baik (beneficence). Selain menghormati martabat manusia,


dokter juga harus mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga
keadaan kesehatannya (patient welfare). Pengertian ”berbuat baik”
diartikan bersikap ramah atau menolong, serta melakukan yang terbaik,
lebih dari sekedar memenuhi kewajiban.

25
c. Tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence). Praktik Kedokteran
haruslah memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling
besar manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan
harus diikuti.

d. Keadilan (justice). Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi,


pandangan politik, agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan
kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan jender tidak boleh
dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada
pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama
dokter.

Berdasarkan uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa dokter telah melanggar
etika dasar moral, karena bila dokter menempatkan 5 pasien dalam satu kamar
tanpa sekat, maka pasien akan malu atau keberatan dalam mengungkapkan
keluhannya, bila keluhan-keluhan yang seharusnya dibicarakan itu dipendam,
maka hal yang mungkin terjadi adalah kesalah diagnosis akibat kurangnya
informsi dari pasien. Kesalahan diagnosis ini tentu tidak sesuai dengan prinsip
etika dasar moral benefiecence dan non maleficience.

26
BAB III
Penutup

3.1Kesimpulan

1. Dokter/tenaga kesehatan tidak profesional, karena tidak memperhatikan


hak-hak pasien dan melanggar etika dasar moral.
2. Dokter/tenaga kesehatan telah melanggar hak pasien, diantaranya adalah
hak atas kerahasiaan dirinya dan hak untuk mendapat pelayanan medis
yang sesuai standar.
3. Dokter/tenaga kesehatan tidak berempati kepada pasiennya, karena
menyatukan 5 orang pasien dalam satu ruang periksa tanpa sekat.
4. Dokter/tenaga kesehatan telah melanggar etika dasar moral, karena
dengan menempatkan 5 pasien dalam satu kamar tanpa sekat akan
membuat pasien malu menceritakan riwayat kesehatannya, sehingga
dokter/tenaga kesehatan tidak mendapatkan informasi yang seharusnya
ia ketahui, dan hal ini memungkinkan kesalahan diagnosis. Kesalahan
diagnosis ini tentu tidak sesuai dengan prinsip etika dasar moral
benefiecence dan non maleficience.

3.2 Solusi

1. Memperbaiki fasilitas (infrastruktur) untuk kegiatan pelayanan


kesehatan seperti membuat sekat antar tempat tidur.

2. Menambah tenaga kesehatan yang profesional.

3. Membatasi jumlah pasien.

4. Membuat komitmen/ janji periksa dengan pasien.

27
Daftar Pustaka

www.yusufalamromadhon.blogspot.com diakses pada tanggal 6 Januari 2009

Tim Penyusun. Modul Etika dan Empati. 2008. Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Nata, Abuddin. Perspektif Islam tentang Pendidikan Kedokteran. 2004. Jakarta :


Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

28
PEMICU 3
Aku tidak mau
transfusi

29
BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Tn. JW adalah seorang pasien yang mengalami anemia karena
pendarahan dari anus. Dokter mendiagnosis sebagai Hemoraid Interna. Tn.
JW dibawa ke rumah sakit oleh keluarganya, karena tampak lemah dan
pucat setelah keluar darah dari anus dan tidak berhenti. Sejak satu bulan
terakhir ini Tn. JW mengalami sering mengalami pendarahan setelah buang
air besar yang berwarna merah segar dan biasanya langsung berhenti.
Pendarahan ini sering terjadi apabila buang air besar. Dan yang terakhir
adalah tiga hari sebelum masuk ke rumah sakit, pendarahan yang keluar dari
anus sanngat banyak dan tidak berhenti. Pada pemeriksaan darah,
didapatkan kadar Hb 5 g/dl (normal laki-laki = 12 g/dl). Dokter
menyarankan Tn, JW untuk dilakukan transfusi darah agar fungsi tubuh
dapa mendekati normal dan Tn. JW tidak lemas lagi, sebelum dilakukan
tindakan operasi.
Tn. JW dengan tegas menolak untuk dilakukan transfusi darah
karena tidak sesuai dengan keyakinan (kepercayaannya). Dan apabila nanti
dia meninggal, sudah memang jalan hidupnya.

1.2 Tujuan penulisan


Agar dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran mahasiswa. Agar
mahasiswa dapat menjunjung tinggi profesionalisme, moral dan etika dalam
melaksanakan praktik kedokteran nantinya. Agar mahasiswa dapat
menunjukkan perilaku ilmiah, berwawasan luas, peka terhadap perasaan dan
pemikiran orang lain. Agar mahasiswa mampu bertindak serasi dengan
budaya masyarakat dan tidak merugikan masyarakat itu sendiri

30
1.3 Manfaat penulisan
Mahasiswa mampu menunjukkan sikap budi pekerti luhur, antara
lain sopan santun, menghargai orang lain sebagai sesama manusia,
menunjukkan sikap kepedulian / empati sesuai dengan budaya dan kondisi
yang dihadapi. Mahasiswa bisa menghargai pendapat orang lain.

1.4 Definisi masalah


Tn. JW tidak mau di tranfusi walaupun Hbnya rendah (5gr/dl)
karena tidak sesuai dengan kepercayaannya.

1.5 Hipotesis
Tuan JW perlu diberikan transfusi darah agar Hbnya naik menjadi
normal (12gr/dl).

1.6 Identifikasi masalah


1. Apa tujuan transfusi darah?
2. Apa syarat untuk menjadi seorang pendonor?
3. Apa hubungannya kasus ini dengan HAM?
4. Bagaimana kasus ini jika dikaitkan dengan norma
autonomy, justice, beneficence, dan nonmaleficence?
5. Sebagai seorang yang professional, tindakan apa yang
harus dilakukan oleh dokter?
6. Apa solusi yang dapat diberikan yang sesuai dengan etika
dasar moral?

31
Bab II
Pembahasan

I. Tujuan Transfusi Darah


- Meningkatkan kemampuan darah dalam mengangkut
oksigen
- Memperbaiki volume darah tubuh
- Memperbaiki kekebalan
- Memperbaiki masalah pembekuan.

II. Syarat Menjadi Pendonor Darah


Untuk menjadi seorang pendonor darah terdapat berbagai sayarat
atau kriteria, antara lain :
 Umur 17 - 60 tahun
 Berat badan minimum 45 kg
 Temperatur tubuh : 36,6 - 37,5o C (oral)
 Tekanan darah baik ,yaitu:
 Sistole = 110 - 160 mm Hg
Diastole = 70 - 100 mm Hg
 Denyut nadi; Teratur 50 - 100 kali/ menit
 Hemoglobin
Wanita minimal = 12 gr %
Pria minimal = 12,5 gr %
 Jumlah penyumbangan pertahun paling banyak 5 kali,
dengan jarak penyumbangan sekurang-kurangnya 3 bulan.
Keadaan ini harus sesuai dengan keadaan umum donor.

32
III. Kasus Dihubungkan dengan Hak Asasi Manusia
Bicara tentang HAM, tidak hanya hak asasi saja yang dilihat, namun
juga kewajiban asasi. Pada kasus ini, dokter berkewajiban untuk
menyelamatkan jiwa si pasien, melakukan pengobatan terhadap pasien, dan
yang paling penting adalah menghormati dan menghargai hak pasien. Disini
pasien dengan tegas menolak dilakukannya transfuse darah, dan kalaupun
dia mati, maka itu memang sudah menjadi takdirnya. Yang intinya disini si
pasien pasrah terhadap nasibnya. Walaupun sebenarnya pasien mempunyai
hak untuk tetap hidup dan mendapatkan pengobatan dari dokter.
Dan di atur dalam the right of self determination, bahwa pasien berhak atas
tubuhnya sendiri , hak menolak pengobatan / perawatan / tindakan medis
tertentu. Jadi, pada kasus ini dokter tidak bias melakukan transfuse darah
tanpa persetujuan dari pihak pasien itu sendiri.

IV. Kasus Dihubungkan dengan Prinsip Autonomy, Beneficence,


Nonmaleficence, dan Justice.

A. Autonomy
Prinsip dari autonomy itu sendiri adalah menentukan yang terbaik
untuk dirinya sendiri. Jika dikaitkan dengan kasus ini yang dimana Tn. Jw
tidak mau melakukan transfuse darah sengan alasan tidak sesuai dengan
keyakinannya, maka itu adalah keputusan Tn. Jw yang harus dihargai oleh
pihak dokter. Pada prinsip ini, Tn. Jw free action ( bebas bertindak ), apakah
dia mau dilakukan transfuse darah atau tidak . hal itu mutlak menjadi hak
Tn. Jw , karena tidak bertentangan dengan undang – undang seperti
euthanasia. Yang jelas disini dokter harus melakukan informed consent
terlebih dahulu, siapa tahu Tn. Jw bias berubah fikiran.

B. Justice
Maksud dari prinsip ini adalah adil terhadap seseorang/ kelompok,
baik berupa jasa atau apapun . perlakuan adil harus didasarkan pada :

33
kebutuhan, persamaan , kegunaan kebebasan dan ganti rugi. Pada kasus ini,
dokter telah berlaku adil kepada Tn. Jw , sesuai dengan kebutuhan Tn. Jw
saat itu, yaitu transfuse darah. Berdasarkan prinsip ini, harus ada
prosedurnya, yaitu harus diketahui orang. Jadi harus ada saksi atau bukti
berupa pernyataan Tn. Jw yang tidak mau dilakukan transfuse darah
terhadap dirinya.

C. Beneficence
Prinsip ini adalah menganggap penting menolong orang lain yang
bertujuan baik. Kewajiban yang berakar pada prinsip ini:
1. melindungi dan mempertahankan hak pasien.
2. mencegah bahaya yang terjadi pada orang lain.
3. menyingkirkan hal-hal yang dapat membahayakan orang lain.
4. menolong orang yang tidak mampu
5. menyelamatkan orang yang dalam bahaya.
Jika dikaitkan dengan kaus ini, disini dokter telah melindungi dan
mempertahankan hak Tn. Jw untuk tidak dilakukan transfuse darah terhadap
dirinya, dibuktikan dengan dokter yang tidak melakukan pemaksaan
terhadap Tn. Jw .

D. Nonmaleficence
Dasar dari prinsip ini adalah kewajiban untuk tidak dengan sengaja
melakukan tindakan yang membahayakan. Kewajiban yang berakar ada
prinsip ini:
1. Tidak boleh membunuh
2. Tidak menimbulkan sakit dan penderitaan.
3. Tidak membuat orang lain tidak berdaya.
4. Tidak ikut campur urusan orang lain.
5. Tidak boleh menghambat hal-hal yang baik pada hidup orang lain.
Pada kasus ini dokter telah melakukan prinsip nonmaleficence karena tidak
melakukan tindakan operasi sebelum kadar hemoglobin Tn. Jw kembali
normal, karena malah akan membahayakan dan memperparah keadaan Tn.
Jw.

34
Bab III
Penutup

3.1 Kesimpulan
Dari uraian pada bab diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa Tn. Jw
berhak penuh terhadap dirinya, dia berhak menolak perawatan dari tim
dokter untuk melakukan transfuse darah. Namun sebelumnya, dokter harus
memberikan informed consent atau keterangan kepada Tn. Jw terlebih
dahulu agar siapa tahu Tn. Jw bisa berubah fikiran. Namun jika Tn. Jw tetap
pada keyakinannya untuk tidak melakukan transfuse darah, maka harus ada
bukti pernyataan resmi dari Tn. Jw bahwa dirinya tidak mau dilakukan
transfuse darah, agar dari pihak dokter tidak mendapat tuntutan jika nanti
kedepannya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Jadi dokter harus tetap
menghargai dan menghormati keputusan Tn. Jw tersebut.

3.2 Solusi
Berdasarkan penjelasan di atas, sikap yang seharusnya dokter
lakukan adalah inform concent yaitu memberikan penjelasan pada pasien
tentang kondisinya dan akibat dari tindakan, agar dokter tidak melanggar
non maleficience. Apabila pasien masih bersikeras untuk menolak
ditransfusi, maka ada 2 pilihan solusi:

1. Melanggar etika dasar yaitu autonomy, karena autonomy bisa dilanggar


dengan 3 alasan yaitu:
 keadaan darurat
 terjadi pada anak-anak
 kondisi pasien pikun atau gila
2. Menghormati hak otonomi pasien, tetapi agar dokter tidak terjerat
hukum karena tidak melakukan hal yang diwajibkan, maka pasien harus

35
membuat surat pernyataan yang menyatakan bahwa dokter tidak
melakukan transfusi karena dia menolak sebab dianggap tidak sesuai
dengan kepercayaannya.

Hak dan kewajiban secara etika maupun hukum dalam dunia medis menjadi
bahan pertimbangan dalam pencapaian kemaslahatan

Sebagai seorang dokter yang professional, harus bias menyikapi hal


ini dengan bijaksana. Walaupun sudah menjadi kewajibannya untuk
menolong Tn. Jw, namun adalah hak Tn. Jw untuk menolak perawatan dari
dokter karena tidak sesuai dengan kepercayaannya. Disini dokter bias
menjelaskan bagaimana transfuse darah itu sendiri dan pentingnya
dilakukan pada dirinya agar bias dilakukan operasi. Namun jika Tn. Jw teap
tidak berubah fikiran, maka lebih baik Tn. Jw diberikan obat yang dapat
merangsang pembentukan sel darah merah, agar kadar hemoglobinnya bias
normal kembali dan bias dilakukan tindakan operasi, itupun jika Tn. Jw
mengizinkannya.

36
Daftar Pustaka

www.wikipedia.com

Abdul, Dr. Ebrahim. 2007. Fikih Kesehatan. Jakarta : Serambi

37
PEMICU 4
Saya sarankan, Suami Ibu
yang KB…!

38
BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Sepasang suami istri datang ke Klinik Kandungan di Jakarta. Ny. L
datang ke klinik dengan keluhan pusing, badan lemas, dan pendarahan haid
yang lebih dari 2 minggu. Ny. L mengatakan bahwa sebelum menggunakan
pil KB, dia tidak pernah mengeluh seperti ini. Setelah dilakukan
pemeriksaan oleh petugas kesehatan, didapatkan tekanan darah yang tinggi
(170/100 mmHg).
Menurut petugas kesehatan tersebut, karena adanya hipertensi maka Ny.
L tidak dianjurkan untuk mengunakan alat kontrasepsi yang mengandung
hormon. Petugas kesehatan mengatakan, ”Saya menyarankan agar Suami
Ibu saja yang KB,.....”

1.2 Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas dosen serta


untuk memahami lebih lanjut tentang masalah yang telah diberikan kepada
kami yang berhubungan langsung dengan materi kuliah Empati serta Etika
moral pada modul Etika dan Empati. Serta untuk lebih mengembangkan
ilmu dasar tentang empati dan dapat mengapresiasikan dalam kasus tersebut
sehingga didapatkan solusi yang terbaik yang harus dilakukan oleh sang
pasien. Tak hanya itu, penulisan makalah ini pun bermaksud agar kelak
ketika kami calon tenaga medis terjun langsung ke lapangan dan
menghadapi kasus serupa atau lebih dari apa yang kami dapatkan saat ini,
maka kami sudah sedikit terlatih untuk memecahkannya dan memeberikan
solusi yang terbaik. Sehingga terciptalah rasa naluri empati yang tinggi yang
memang seharusnya dimiliki oleh para tenaga medis yang membuat kami
sebagai tenaga medis menjadi orang – orang yang dapat dihargai dan
dihormati di tengah – tengah masyarakat.

39
Penulisan ini pun bertujuan untuk memberikan sedikit informasi
terbaru sekaligus tukar pikiran (sharing) aplikasi teori yang telah diberikan
oleh dosen kami sebagai pengajar dan pembimbing kepada teman – teman
sekelas kami. Sehingga dengan begitu, mereka pun dapat memahami lebih
dalam tentang teori yang telah diberikan dan di kemudian hari, mereka serta
kami dapat mengapresiasikannya dalam kehidupan, yang nantinya akan
mereka tularkan pula kepada sanak famili dan anak cucu mereka.

1.3 Manfaat Penulisan

Penulisan ini bermanfaat untuk menambah wawasan kita tentang


sikap yang harus dilakukan ketika kita nantinya jikalau telah menjadi tenaga
medis kepada pasien atau mungkin orang – orang yang kita hadapi
yangpada saat itu dalam keadaan terpuruk dan membutuhkan bantuan
segera daru diri kita. Sehingga kita dapat bersikap sesuai dengan apa yang
telah dipelajari dalam modul ini, tak hanya mantap dalam teori tapi mampu
pula dalam hal tindakan langsung di lapangan..

1.4 Hipotesis
Keputusan yang diambil oleh tenaga kesehatan untuk menyarankan
pemakaian pil KB pada suami pasien, tidak berdasarkan prinsip-prinsip
etika

1.5 Identifikasi masalah


1. Bagaimana kasus ini jika dilihat dari segi prinsip Autonomy,
beneficence, Nonmaleficence, dan Justice ?
2. Apa sajakah alat-alat kontrasepsi baik homonal amaupun non hormonal?

40
Bab II
Pembahasan

I. Kasus dihubungkan dengan Prinsip Autonomy, Beneficence,


Nonmaleficence, dan Justice

A. Autonomy
Si Ibu dapat menentukan untuk tidak menggunakan pil KB
karena jika si Ibu menggunakannya maka dirinya akan merasakan
keluhan seperti pusing, badan lemas, dan pendarahan, yang merupakan
kondisinya ketika datang ke klinik setelah mengkonsumsi pil KB. Tak
hanya sang ibu saja yang memiliki hak autonomy, para tenaga medis
juga memilikinya yang berupa saran kepada sang ibu agar suaminya
yang menggunakan pil KB. Suamipun memiliki hak untuk
menentukan nasibnya sendiri dengan langkah menggunakan atau tidak
menggunakan alat KB.

B. Beneficence
Hal lain yang menjadi kata kunci adalah prinsip beneficence,
yaitu dengan adanya solusi yang diberikan oleh tenaga medis kepada
si ibu dengan cara menyarankan agar suaminya saja yang KB. Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah bahaya yang kemungkinan akan terjadi
bila si ibu tetap mengkonsumsi pil KB. Tindakan tenaga medis ini
juga bertujuan mencari jalan yang terbaik untuk menyelamatkan si
Ibu.

C. Nonmaleficence
Prinsip ini terlihat dari tindakan tenaga medis yang ingin
menghindari hal-hal berbahaya yang kiranya akan terjadi kembali
bahkan lebih parah pada si ibu.

41
D. Justice
Dari segi ini bahwa penggunaan pil KB harus sesuai dengan
kebutuhan. Apakah pada saat itu si Ibu membutuhkan pil KB tersebut
atau tidak? Sehingga ada keadilan atau rasa adil yang diberikan tenaga
kesehatan atau dokter kepada si ibu. Jika tenaga medis menyarankan
kepada si Ibu agar suaminya saja yang KB maka mereka harus mampu
bertanggung jawab dengan apa yang akan terjadi pada suaminya.
Disinilah prinsip justice akan terasa diterapkan atau tidak.

II. Jenis – Jenis alat Kontrasepsi


A. Bersifat hormonal :
- Suntik
- Pil
- Implan

B. Bersifat Non Hormonal :


- IUD
- Tubektomi
- Vasektomi
- Kondom

42
Bab III
Penutup

3.1 Kesimpulan
Tindakan yang diberikan dokter kepada pasien yang bersangkutan
kurang memperhatikan prinsip-prinsip etika, diantaranya : autonomy,
justice, beneficience, dan nonmaleficience.

3.2 Solusi Masalah Pada Kasus ini / Saran


• Menggunakan Alternatif terbaik setelah ada konfirmasi dengan pasien.

• Memberikan Informed Consent kepada pasien, sehingga secara seksama


bisa diputuskan apakah hal yang terbaik.
• Penggunaan alat kontrasepsi non hormonal ataupun hormonal pada
suami pasien, merupakan salah satu alternatif yang diperbincangkan
terlebih dahulu.

43
Daftar Pustaka

www.wikipedia.com

44
PEMICU 5

45
Let Me die… BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Siang itu, Tn.L menghadap dokter jaga diruang ICU suatu Rumah
Sakit pemerintah di Jakarta, dan mengatakan bahwa Tn.L ingin agar semua
peralatan yang dipasang pada istinya dicabut. Biarkan istri saya meninggal.
Sudah 5 bulan Ny.Y terbaring di ruang ICU tanpa ada prubahan sama sekali.
Kata Tn..L, “Saya sudah tidak sanggup lagi…..Dana sudah tidak ada,
saya sudah tidak bekerja lagi karena harus mengurusi istri di Rumah Sakit.
Anak-anak dititipkan ke saudara.”

1.2 Definisi masalah


Tn.L. menginginkan agar perawatan yang dipasang pada istrinya
(Ny.Y) dicabut, karena dana yang tersedia sudah tidak ada dan dia sudah tidak
bekerja lagi

1.4 Hipotesis
Dokter tidak mengabulkan permintaan Tn. L untuk melakukan
Euthanasia.

1.5 Identifikasi masalah


1. Bagaimanakah termminologi dan klasifikasi dari Eutanasia?
2. Bagaimanakah sejarah Eutanasia?
3. Euthanasia menurut hukum di beberapa negara?
4. Bagaimanakah Eutanasia menurut ajaran agama Islam?
5. Bagaimanakah kasus Eutanasia jika dihubungkan dengan etika dasar moral?
6. Adakah contoh kasus Eutanasia yang serupa dengan kasus Tn.L dan Ny. Y?

46
7. Hubungannya dengan informed consent?

47
Bab II
Pembahasan

I. Terminologi
1.1 Euthanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya

Ditinjau dari sudut maknanya maka eutanasia dapat digolongkan menjadi


tiga yaitu eutanasia pasif, eutanasia agresif dan eutanasia non agresif.

• Euthanasia agresif : atau suatu tindakan eutanasia aktif yaitu suatu


tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan
lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya
dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya
pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke
dalam tubuh pasien.

• Euthanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia


(eutanasia otomatis)yang termasuk kategori eutanasia negatif yaitu
dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk
menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya
tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan
penolakan tersebut ia membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis
tangan). Autoeutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek eutanasia
pasif atas permintaan.

• Euthanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia


negatif dimana tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif
untuk mengakhiri kehidupan si sakit. Tindakan pada eutanasia pasif ini
adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang
dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan
oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau
tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun
meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna
memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat

48
penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian
morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian.
Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh
kebanyakan rumah sakit.

Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun


pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang atau keputusasaan
keluargan karena ketidak sanggupan menanggung beban biaya
pengobatan. Ini biasanya terjadi pada keluarga pasien yang tidak mungkin
untuk membayar biaya pengobatannya, dan pihak rumah sakit akan
meminta untuk dibuat "pernyataan pulang paksa". Bila meninggal pun
pasien diharapkan mati secara alamiah. Ini sebagai upaya defensif medis.

1.2 Euthanasia ditinjau dari sudut pemberian izin


Ditinjau dari sudut pemberian izin maka euthanasia dapat digolongkan
menjadi tiga yaitu :

• Euthanasia diluar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang


bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan
eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.

• Euthanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang


seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan
yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak
berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan
misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada
kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab
beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan
bagi si pasien.

• Euthanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri,


namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.

1.3 Euthanasia ditinjau dari sudut tujuan


Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :

49
• Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)

• Eutanasia hewan

• Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada


eutanasia agresif secara sukarela

II. Sejarah euthanasia


2.1 Asal-usul kata euthanasia
Euthanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik",
dan θάνατος, thanatos yang berarti kematian) adalah merupakan praktek
pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak
menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya
dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.

Aturan hukum mengenai masalah ini sangat berbeda-beda di seluruh


dunia dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya
dan tersedianya perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, tindakan
ini dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar
hukum. Karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu
diterapkan tanpa memandang status hukumnya.

2.2 Praktek-praktek euthanasia zaman dahulu kala

Praktek-praktek Eutanasia yang dilaporkan dalam berbagai tindakan


masyarakat.

• Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-


orang tua ke dalam sungai Gangga.

• Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di
zaman purba.

• Uruguay mencantumkan kebebasan praktek Euthanasia dalam undang-


undang yang telah berlaku sejak tahun 1933.

• Di beberapa negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali


di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan

50
khusus.

• Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian mencantumkan


eutanasia sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh
adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.

• Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para


anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan
persyaratan tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada
beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktek
medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan eutanasia aktif, akan tetapi
mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat digolongkan eutanasia
pasif.

III.Euthanasia Menurut Hukum di beberapa Negara


3.1 Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang
mengizinkan eutanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak
tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di
dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami
sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri
penderitaannya.

Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda


secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan
sebagai perbuatan kriminal.

Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia"


dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November
1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda
dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan
asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut
adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang
spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.

51
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para
dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan.
Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada
tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh
undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia
pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.

3.2 Indonesia

Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu


perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan
perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ”Barang siapa menghilangkan nyawa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata
dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Juga
demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359
KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam
perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di
negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.

Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid


Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah
Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau
"pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam
nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia
hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan
melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.

3.3 Inggris

Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan


Britania Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists)
mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield
Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan
eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal
tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan

52
semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor
"kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran.

Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan


melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada
Belanda).

Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British


Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam
bentuk apapun juga.

IV.Euthanasia Menurut Ajaran Agama Islam


Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen),
Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut
merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat
menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh
karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada
teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri.
Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan
belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195),
dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu
sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling
berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh
seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya
sendiri.

Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut
(eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan
sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan
meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.

Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun


1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan

53
dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan
(mercy killing) dalam alasan apapun juga .

Pandangan Syariah Islam

Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala


persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap
euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.

Eutanasia positif/Aktif

Yang dimaksud tafsir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan


memudahkan kematian si sakit --karena kasih sayang-- yang dilakukan oleh
dokter dengan mempergunakan instrumen (alat).

Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) adalah


tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter
melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan
mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini
termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar
yang membinasakan.

Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan


meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk
meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih
pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu
serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang
memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba
ajal yang telah ditetapkan-Nya.
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam
kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu
untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas
permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang
mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun
membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :

54
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk
membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-
An’aam : 151)

“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha


Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter


melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana
(jarimah) dan dosa besar. Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya
dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan
dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam
(Khilafah), sesuai firman Allah :

“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang


dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)

Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan


qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka
mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau
memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT :

“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,


hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)

Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor
di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-
Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas)
atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250
gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai
35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).

55
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu
kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan
kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di
balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau
manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif,
pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan
Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW
bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik
kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang
menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan
musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Eutanasia Negatif/Pasif

Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada


eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk
mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi
pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada
keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan
tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum
Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.

Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah


bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut
jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati
atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya
segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-
sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya
mustahab (sunnah).

V. Eutanasia dihubungkan dengan Etika Dasar Moral

Sebagai perbuatan moral, eutanasia aktif langsung tidak pernah dapat

56
dibenarkan karena sama dengan pembunuhan, mengingat kematian menjadi
tujuan dan dengan demikian sama dengan merampas hak untuk hidup. Dalam
pada itu, eutanasia aktif tidak langsung masih dapat dibenarkan.

Sedangkan yang pasif diperbolehkan dengan syarat :

1. Dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak


dapat disembuhkan lagi.

2. Harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal.

3. Dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan


medis tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah
tidak diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat atau tindakan
medis.

VI. Beberapa Kasus Euthanasia yang Serupa dengan Kasus Tn. L


6.1 Kasus Hasan Kusuma - Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22
Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma
karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33
tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan disamping itu ketidakmampuan
untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula.
Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia
yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif
maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan
dalam pemulihan kesehatannya. [34]

6.2 Kasus Terri Schiavo


Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian
Florida, 13 hari setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin
mencabut pipa makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan
pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun

57
1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael
Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans tim medis
langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama
ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, akibat
kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu
disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh
karena itu, dokternya kemudian dituduh malapraktek dan harus membayar
ganti rugi cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi
yang membahayakan ini pada pasiennya.

Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma,


maka pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo
mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada
istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang namun
orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan
keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu
mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin
pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas
perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika akhirnya hakim memutuskan
bahwa pipa makanan boleh dilepaskan maka para pendukung keluarga
Schindler melakukan upaya-uupaya guna menggerakkan Senat Amerika
Serikat agar membuat undang-undang yang memerintahkan pengadilan
federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undang-
undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat
dan ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush. Tetapi,
berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah independen,
yang pada akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim
terdahulu.

VII. Adanya Informed Consent


Ny. Y maupun Tn L beserta sanak keluarga memiliki hak untuk
mendapatkan penjelasan dari dokter mengenai tindakan medik yang akan
dilakukan selanjutnya untuk kemudian dijadikan sebuah pertimbangan dari

58
apa yang seharusnya dilakukan selanjutnya untuk Ny. Y dengan persetujuan
semua pihak.

59
Bab III
Penutup

3.1 Kesimpulan
Dokter yang dimintai pasien bernama Tn L untuk mencabut segala
tindakan medis dan obat dari Ny. Y –sang istri- dengan dalih permasalahan
ekonomi dan melakukannya bisa dikatakan benar jika, optimalisasi jalan
keluar lain telah maksimal, adanya Informed Consent, Etika Dasar Moral telah
diberlakukan, syarat prasarana telah memenuhi, namun tidak memberikan
pilihan lain selain euthanasia pasif.

3.2 Solusi
• Etika dasar moral, informed consent, dan maksimalisasi jalan keluar lain.
• Eutanasia pasif, empati dan dukungan moril untuk pasien maupun keluarga
dari berbagai pihak.
• Pemerintah memperbaiki status ekonomi.

60
Daftar Pustaka

www.wikipedia.com/eutanasia

www.multiply.com/mengatasi masalah dengan syariah

Abdul, Dr. Ebrahim. 2007. Fikih Kesehatan. Jakarta : Serambi

61

Anda mungkin juga menyukai