Anda di halaman 1dari 38

Peter Kasenda

Pendidikan Yang Membebaskan

Tak ada pemikiran yang berbahaya ,


sebab berpikir sendiri sudah merupakan
sesuatu yang berbahaya

(Hannah Arendt)

Pendidikan merupakan topik yang menarik dan senantiasa aktual untuk dibicarakan .
Akan tetapi pendidikan sekaligus persoalan yang rumit dan terkesan tak pernah dapat
diselesaikan secara tuntas Hal itu dapat dimaklumi . Sebab terdapat begitu banyak
aspek dan unsur yang kompleks dalam pendidikan , untuk dapat dirangkai dan
dirangkum dalam satu gambaran utuh , untuk memberikan jawaban yang memuaskan
bagi berbagai pihak . Rasanya tidak ada satu teori pun mengenai pendidikan yang bisa
memuaskan .

Sementara itu masyarakat Indonesia , di mana kita hidup senantiasa berubah dan
berubah pula kondisi-kondisi yang menentukan dan mempengaruhi kepentingan
pendidikan sekarang . Perubahan sosial yang pesat ini semakin membuat sulitnya
persoalan pendidikan . Akan tetapi bagaimana pun juga , tampaknya kita tak mungkin
tinggal diam . Kita tetap perlu membicarakan pendidikan , bukan demi kesejahteraan
hidup kita sendiri saat ini, terutama demi masa depan generasi anak cucu kita dan
bangsa manusia .

Seringkali pendidikan menjadi rebutan banyak kepentingan . Negara memaksakan


ideologinya melalui pelaksanaan peraturan-peraturan secara ketat , keseragaman
laporan administratif yang tidak jarang menyesakkan sekolah dengan ancaman-
ancaman sanksi yang membuat iklim pendidikan begitu gerah Kelompok-kelompok
agama dan elit pendidikan juga menawarkan ide-ide pendidikan yang unggul Sejauh
tawar-menawar ini berlangsung dalam persaingan yang sehat , bebas , dan fair , jual-
beli , idealisme dalam pendidikan bukanlah hal yang buruk . Akan tetapi ide-ide
keunggulan ini pun perlu disesuaikan dengan kemampuan anak. Kepentingan orang-tua
perlu disebut . Mereka mau membayar mahal untuk sekolah anak-anaknya bukan untuk
kesia-sian . Mereka menginginkan anak-anaknya menjadi pandai , mengembangkan
seluruh potensinya dan kelak akan dapat pekerjaan yang baik Dalam kebijakan praktis ,
harapan-harapan dari berbagai pihak ini kadang-kadang berubah menjadi kewajiban
yang harus ditanggung oleh anak , sehingga pembelajaran di sekolah bukannya menjadi
proses yang menyenangkan , sebaliknya menjadi beban yang menyesakkan . Semua
tuntutan dan dakuan (claim ) itu bermaksud baik , tetapi sering justru tidak
memperhitungkan kepentingan anak didik sendiri .Mereka menganggap bahwa
kepentingan anak didik adalah sebagaimana yang mereka angankan atau bayangkan .
Dalam hal inilah muncul kesulitan yang tidak kecil. ( Sudiardja, 2002 : 5 – 9 )

1
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Seharusnya sekolah adalah tempat di mana anak-anak menemukan kegembiraan dan


kebahagiannya Di sana anak-anak belajar , berteman, bermain , menjadi dirinya , dan
mengembangkan bakatnya . Di sana anak-anak memperoleh perlindungan dari
ancaman-ancaman , yang disengaja atau tidak disengaja dari masyarakatnya . Di sana
anak-anak aman mempersiapkan masa depannya . Akan tetapi, kebanyakan yang terjadi
justru sebaliknya . Di sekolah anak-anak muram karena tertimpa beban pelajaran yang
berlebihan . Di sekolah anak-anak takut dan gelisah menghadapi guru . Di sekolah
anak-anak kehilangan kegembiraan , dan terasing dari sesama teman . Tuntutan
masyarakatnya memaksa dan mengancam mereka untuk segera menjadi dewasa.
Mereka kehilangan kesempatan untuk menjadi anak-anak yang hidupnya diwarnai
dengan bermain . Di sekolah juga anak-anak sudah mulai resah , tak tahu nasib apa
yang bakal menimpanya di masa depan . Celakanya , sepulang dari sekolah , semua
beban itu tetap terbawa , dan penderitaan sekolah pun bersambung di rumah mereka
Nasib demikian tak hanya terjadi pada anak-anak sekolah Indonesia . Seorang ahli
pedagogi dan psikologi anak sekolah dari Universitas Munchen menulis buku Wenn
Schule krank macht (2000 ).Menurut Singer m sekolah bukan lagi tempat yang nyaman
bagi anak-anak .Sistem pendidikan sekolah mau tak mau menjadikan guru sebagai agen
yang mengawasi, menindas dan merendahkan martabat para siswa . Sekolah menjadi
lingkungan penuh sensor yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar .
Pekerjaan dan kewajiban sekolah menjadi diktaktor yang memusnahkan kemampuan
anak untuk belajar menjadi dirinya . Sekolah bukan lagi tempat untuk belajar menjadi
dirinya . Sekolah bukan lagi tempat untuk belajar melainkan tempat untuk mengadili
dan merasa diadili . Singer menyebut pendidikan sekolah , yang mengakibatkan
kegelisahan dan ketakutan itu, sebagai pedagogi hitam .

Pendapat Singer di atas bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan . banyak pengeritik
pendidikan menyebutkan hal tersebut . Dan kritikus yang paling terkenal dalam hal
tersebut adalah Paulo Freire Bagi Freire , apa yang terjadi dalam dunia pendidikan
adalah yang terjadi dalam masyarakat riil yang dikendalikan oleh kekuatan kapital ,
yakni penindasan mereka yang kuat terhadap mereka yang lemah dan tak berdaya .

Daya penindasan ini terjadi seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya . Bahkan dalam hal
yang kelihatannya paling netral dalam pendidikan , yakni dalam belajar membaca dan
menulis , penindasan itu terjadi. Di sana peserta didik sudah ditekan dan diperalat
sedemikian rupa seperti seorang budak yang diperalat oleh kekuasan tuannya untuk
menggarap apa yang dimaukannya . Jadi yang terjadi bukanlah hubungan belajar dan
mengajar , tapi pemaksaan dunia mereka yang berkuasa terhadap mereka yang tak
berkuasa . Jelas proses belajar mengajar macam ini mau tak mau memblokir manusia
untuk menjadi manusia .

Karena itu Freire berpikir , bagaimanakah mencari model pendidikan yang dapat
membebaskan manusia dan penindasan yang tak disadarinya itu . Untuk itu, pendidikan
pertama-tama haruslah membuat anak didik sadar , siapa dirinya , dan bagaimana
hubungan dirinya dengan dunia di luarnya Kesadaran macam ini akan menggugah
bahwa dirinya tak sebebas seperti yang dibayangkannya. Bahkan pengertiannya yang
paling dasar tentang hal-hal di luar dirinya, seperti tanaman , binantang lingkungan

2
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

hidup harian dan pekerjannnya pun tidak berasal secara spontan dan bebas dari dirinya ,
melainkan ditentukan dari luar dirinya , dan hanya harus dianutnya begitu saja .

Pendidikan seharusnya juga harus mampu menyadarkan bahwa pemaksaan dan


penindasan itu tidak hanya mengenai hal fisik dan luaran , tapi merasuk dan
membatinkan sampai ke dalam psyche dan kesadaran manusia . Justru di kedalaman
itulah diri manusia paling disetir dan diperalat oleh kekuasaan para penindas yang
sebelumnya tak disadarinya . Maka tak ada tugas dasariah lain bagi pendidikan kecuali
membantu manuisa untuk membebaskan diri penindasan yang tak disadarinya .
( Sindhunata , 2001 : 3 )

Neo-liberalisme dan Pendidikan

Pada paruh dasawarsa 1970-an , sebuah tata ekonomi baru mulai muncul . Namanya
globalisasi Filsafat ekonomi-politiknya disebut neo-liberalisme. Jantung neo-
liberalisme adalah gagasan yang bisa dipadatkan begini : manusia adalah pertama-tama
dan terutama homo economicus . Cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi
bukanlah satu dari berbagai model hubungan antarmanusia , melainkan satu-satunya
model yang mendasari semua tindakan dan relasi antarmanusia , entah itu persahabatan,
keluarga, maupun pendidikan . Dengan kata lain , tindakan dan hubungan antarpribadi
maupun tindakan dan hubungan lain hanyalah ungkapan dari model hubungan menurut
kalkulasi untung rugi individual yang berlaku dalam transaksi ekonomi. Proyek
liberalisme mau mencapai dua hal .

Pertama , hubungan sosial dan antar pribadi , serta sukses –tidaknya suatu kebijakan
mesti dipahami dengan memakai konsep ekonomi . Maka kemacetan yang terjadi atau
pun perubahan yang ingin dilakukan dalam bidang-bidang itu juga hanya bisa didekati
dengan solusi ekonomi sistem pasar Misalnya , kalau terjadi gejala luas bahwa para
murid tidak meminati pelajaran seperti sejarah atau sastra ( juga dengan mengandaikan
daya-tarik pengajaran ) , tengoklah pertama-tama apa bidang pelajaran itu punya
prospek keuntungan material .

Kedua, prinsip ekonomi juga merupakan tolak-ukur mengevaluasi sukses-gagalnya


suatu kebijakan , termasuk bidang pendidikan . Guna ekonomis dan kinerja pasar bebas
adalah meja pengadilan bagi setiap kebijakan . Sudah berapa kali kita diberondong
dengan gagasan bahwa kriteria sukses sistem pendidikan adalah sejauh mana para
lulusan siap pakai dalam kantung-kantung lapangan kerja yang ada . Gagasan link and
match yang laris pada awal dasawarsa 1990-an hanyalah salah satu contohnya .

Dua pokok di atas bukan sekedar prinsip abstrak , melainkan agenda yang sedang
menyusup ke hampir semua aspek hidup kita . Dan karena sudah menjadi semacam
hawa yang melingkupi kita , kita kesulitan menunjuk asal-muasalnya, tidak juga
mudah menetapkan salah-benarnya. Kriteria material-ekonomis itu menyebar dalam
perkawinan dengan proyek privatisasi pada hampir semua aspek hidup bersama .

3
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Contohnya adalah gagasan neo-liberal tentang modal manusia . Ekonomi –politik klasik
beranggapan bahwa produksi barang/jasa bergantung pada tiga faktor : tanah , modal,
tenaga kerja Ekonomi neo—liberal tidak melihat modal dan tenaga kerja dalam arti
obyektif seperti itu , melainkan dalam arti subyektif . Jadi titik berangkatnya adalah
sudut pandang subyektif orang yang melakukan kerja .Dalam gagasan neo-liberal ,
misalnya , upah seorang bukanlah harga bagi tenaga kerja yang dijual , melainkan laba
dari “modal” yang dipunyainya. Tubuh, ketrampilan , dan pengetahuan bukanlah modal
seperti tanah atau gedung , karena “modal” seperti itu tidak bisa dipisahkan dari orang
sebagai pemiliknya , di mana pun mereka berada . “Modal manusia “ terdiri dari dua
unsur : ciri genetis bawaan dan keseluruhan ketrampilan yang dipelajari atau dicapai
melalui berbagai proses , seperti gizi , pendidikan sekolah . latihan , cinta , afeksi dsb.

Justru karena itu , dalam gagasan neo-liberal , orang-orang yang diupah itu bukanlah
buruh atau pegawai yang tergantung pada perusahaan (atau badan usaha lain ) ,
melainkan wiraswasta bebas yang bertanggung jawab atas hidupnya sendiri , dan yang (
sama seperti para kapitalis ) berusaha memproduksi nilai surplus bagi dirinya sendiri .
Mereka (entah buruh , manajer , direktur atau pun guru ) adalah para wiraswasta yang
bebas . Singkatnya , semua warga adalah “orang swasta “ . Untuk menyitir ucapan salah
satu pelopor neo-liberalisme , Margaret Thachter, pada tahun 1987 : “ kepentingan
bersama itu tidak ada, yang ada hanya kepentingan indvidu .”

Dalam bingkai itu, lalu setiap aspek diri (wajah , tubuh , penampilan , pengetahuan ,
ketrampilan , pergaulan dsb ) terutama dipahami sebagai asset dan komoditas dalam
kompetisi sebagai “pengusaha “ Beberapa orangtua siswa SMU Kanisius , Jakarta
secara spontan menuturkan prinsip ini dalam pertemuan dengan sekolah pada media
Mei 2002 ,” Anak adalah asset ( maka soalnya adalah ) bagaimana dapat bersaing
dalam tantangan global . Karena itu semestinya sekolah memikirkan program dengan
bahasaa Inggris . (Kami) ingin anak punya ketrampilan menghadapi hari depan , untuk
pasaran luar negeri .”

Melalui proses itu ,terciptalah “permintaan “, yang dalam kinerja ekonomi pasar segera
melahirkan “penawaran “ . Itulah mengapa pendidikan –sekolah juga segera menjadi
lahan bisnis . Inilah yang rupanya ada di balik gejala menjamurnya sekolah-sekolah
baru yang terkait dengan kelompok bisnis . Misalnya, jaringan sekolah Pelita Harapan
dengan kelompok bisnis Lippo , Global Jaya dengan kelompok bisnis Ciputra , dan
Laurentia dengan kelompok bisnis Argo Pantes . Dalam proses selanjutnya , kaitan
antara permintaan dan penawaran laksana sirkularitas ayam dan telor . Dengan cepat
sekolah-sekolah tersebut menjadi sekolah favorit , bukan karena mempunyai tradisi
andal dalam edukasi , melainkan karena apa yang ditawarkan mempunyai kesama-
sebangunan dengan tuntutan revolusi material dan ekonomi-politik privatisasi .

Karena dalam gagasan neo-liberal , masyarakat adalah kerumuman wirausahawan yang


bebas, masalah seperti buta huruf , drop-out , atau pengangguran , juga bukan lagi
dianggap sebagai urusan bersama . Masalah –masalah ini menjadi tanggung jawab
masing-masing individu . Bukanklah ini merupakan konsekuensi logis dari gagasan
bahwa setiap warga adalah wirausahawan yang bebas ? Maka apa yang semula

4
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dianggap sebagai masalah sosial ( buta huruf atau pun pengangguran ) lalu juga
dianggap sebagai masalah individual . Solusinya bukan program sosial ( seperti dalam
sistem welfare ) , tetapi individual sel-care ( perawatan pribadi ).

Gabungan revolusi material dan privatisasi itu merupakan arus besar yang menyusup
jauh ke dalam tata pendidikan –sekolah . Kita suka bilang bahwa lewat sekolah , kita
akan membentuk arah masyarakat . Dalam banyak hal, yang terjadi adalah sebaliknya :
revolusi material dan privatisasi yang berlangsung secara global dewasa ini membentuk
masalah , solusi , dan arah pendidikan –sekolah Seperti kaitan langsung antara
pendidikan sekolah dan garis-ekonomi-politik neo-liberal ?

Kunci untuk menjawab pertanyaan itu adalah “produktivitas “. Produktif untuk apa ?
Untuk homo economicus .Agar menjadi produktif , pendidikan sekolah mesti
mempunyai kaitan langsung antara , di satu pihak , apa yang dipelajari dan , di lain
pihak , apa yang akan dikerjakan serta bagaimana mengerjakan ketika anak-anak masuk
lapangan kerja . Kaitan itu mau menunjuk pola bahwa kelangsungan kinerja tata bisnis
dewasa ini menutut suatu jenis pendidikan-sekolah dengan ciri sebagai berikut :
Pertama, kesedian tunduk pada kekuasaan majikan . Kedua , kesediaan tunduk
menuruti putusan majikan tentang bagaimana kerja mesti dilakukan ,. Ketiga, kesedian
tunduk menerima apa yang akan diproduksi dan bagaimana produk serta labanya akan
dipakai . Di sini tampak jelas perpisahan tajam antara pendidikan dan persekolahan .

Ketiga persyaratan itu seolah bertentangan dengan tuntutan psikologis bahkan setiap
orang adalah wiraswataan bebas yang tidak tergantung pada siapa pun . Paradoks itu
dapat dimengerti hanya dengan melihat bahwa ketiga hal tersebut merupakan kondisi
sosiologis , sedangkan tuntutan psikologis independensi kewirausahaan merupakan
agenda tentang bagaimana setiap orang harus merasakan , mengalami, dan menghidupi
kondisi itu. Targetnya satu, yakni agar dalam ketergantungan sekalipun , kita tidak
merasa dipaksa , apalagi diperas . Maka larislah buku-buku manual psikologis yang
menyebarkan gagasan bahwa kerja yang kita lakukan bagi akumulasi laba bisnis
merupakan pengungkapan jati-diri dan perwujudan talenta kita .

Perubahan dan inovasi yang terjadi dalam dunia bisnis dan industri secara mendalam
menentukan isi dan arah pendidkan-sekolah . Dalam waktu dekat , misalnya,
ketidakmampuan mengoperasikan komputer akan didefinsikan sebagai buta huruf .
Demikian pula kemampuan berbahasa Inggris dewasa ini telah menjadi syarat mutlak
penerimaan kerja . Daftar ini bisa diperpanjang lagi .

Semua itu menjadi pola massal bukan karena pendidikan menuntutnya , tetapi karena
individualisme mensyaratkan apa yang disebut manusia modular ; kita bisa digantikan
dan menggantikan satu sama lain . Istilah modular mungkin terdengar kejam . Kata
cantiknya adalah fleksibitas , tetapi keduanya mempunyai substansi yang sama .

Apa implikasi semua gejala itu bagi arah dan isi pendidikan sekolah kita ? Pertama ,
apa yang disebut pembentukan watak dan kepribadian sebagai cita-cita pendidikan kita
tak mungkin mengelak dari kondisi historis revolusi material dan ekonomi-politik

5
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

privatisasi . Definisi” watak “dan” kepribadian” tidak lagi terutama terkait drengan
gagasan keutamaan seperti kedalaman , altruisme , solidaritas , melainkan dengan
perkara kesiapan diri masuk ke dalam pertarungan meraih sukses di pasar kerja yang
paling memberi kepuasan dan imbalan material tinggi . Tentu , dalam setiap gejala
sosiologis terdapat kecualian . Namun bersiap-siaplah menerima semakin sedikitnya
kekecualian .

Kedua, makin sentralnya tuntutan bagi perhatian terhadap individu dalam proses
pendidikan sekolah Pada akhirnya kapasitas kognitif dan ketrampilan tidak bisa dikejar
di ruang kosong , karena manusia tanpa emosi adalah ilusi . Proses emosional yang
terlibat dalam pacuan menjadi homo economicus itu niscaya akan membuat sekolah
menjadi instansi yang akan semakin disibukkan oleh tugas memunguti retakan-retakan
gejala psikologis yang bermunculan dan berguguran ( seperti stress, depressi , tajamnya
kompetisi , dan sebagainya ).

Ketiga, akan terjadi kesenjangan yang lebih tajam antara sekolah-sekolah “favorit “ dan
sekolah-sekolah “rutin “ yang ada karena mereka sudah ada di sana . Tentu ,
kesenjangan itu terjadi karena berbagai faktor . Namun kekuatan finansial sekolah akan
menjadi faktor yang semakin menentukan Karena inovasi prasarana sekolah dalam
rangka menyesuaikan dengan kondisi ekonomi-politik di luar sekolah membutuhkan
sumberdaya finansial , kelompok sekolah yang tergantung pada budget pemerintah
akan semakin jauh tertinggal .

Keempat , selain untuk urusan retorik , kita semakin tidak bisa lagi mengandalkan
pemerintah untuk memberi prioritas pada pendidikan-sekolah . tentu ada banyak faktor,
tetapi tidak tersedianya budget merupakan faktor sentral. Kalau dalam rangka kompetisi
global, pajak terus dipotong , hampir seluruh sistem persekolahan yang mengandalkan
keuangan pemerintah akan semakin pingsan ( Priyono,2002 :48 – 51 )

Industrialisasi Pendidikan

Selama bertahun-tahun pendidikan di Indonesia bertumbuh dengan modal piranti keras


serba pas-pasan , tetapi semua ini diimbangi oleh modal non-material Semua ini mulai
mengalami perubahan besar-besaran selama lebih dari 30 tahun masa pemerintahan
Orde Baru yang menempatkan pertumbuhan ekonomi dan industri sebagai prioritas
terpenting Pertumbuhan pranata pendidikan pada segi “ badaniah “ menjadi penting –
bersamaan dengan mekarnya militerisme yang memuliakan otot kekar dan kejantanan –
dan ditunjang oleh berbagai bantuan dari negari-negeri Blok Barat yang menjadi sekutu
Orde Baru dalam Perang Dingin .

Berbagai gedung perkuliahan , perpustakaan , atau laboratorium dibangun gencar pada


masa ini.Sebagaimana halnya rumah sakit , jalan raya , pusat pertokoan , dan bank di
kota-kota di Indonesia Jumlah pendaftaran mahasiswa menjadi mekar . Lama
pendidikan semakin diperpendek , proses kelulusan dipermudah, dan jumlah lulusan
diusahakan maksimal serta meningkatkan secara berkesinambungan . Kantor keuangan

6
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

semua lembaga pendidikan itu menjadi semakin sibuk oleh laju dan besarnya lalu –
lintas dana yang masuk dan keluar . Semakin lama semakin sulit bagi kantor keuangan
universitas untuk mengelola sendiri aktivitasnya ; mereka harus mengundang kerjasama
dengan lembaga perbankan ..

Proses pendidikan semakin peka dan berkiblat pada pasaran kerja dalam masyarakat
yang mendadak sibuk berindustrialisasi . Tempat parkir di kampus – selain ruang
kantin, laboratorium dan perpustakaan – selalu terasa sesak . Semua ini bukan hasil
upaya atau keputusan satu orang atau sekelompok yang berkuasa . Ia merupakan
gelombang perubahan sosial mendunia yang melibatkan partisipasi jutaan orang dan
lembaga , dengan campuran sikap menolak , menerima , dan menghindar .

Salah satu kelanjutan yang tidak dapat dihindari dari proses semacam itu adalah
semakin terkaitnya proses pendidikan di berbagai pelosok tanah air dengan apa yang
terjadi di mancanegara. Industrialisasi Indonesia sendiri - seperti halnya legitimasi dan
militerisme Orde Baru – terkait erat dan mendapatkan banyak dukungan dari kerja
sama dengan berbagai kekuatan asing . Ini dapat diamati bukan saja dalam bentuk
besarnya banjir beasiswa yang tersedia bagi akademikus Indonesia untuk melanjutkan
studi ke negeri-negeri Blok Barat .

Juga sebaliknya kunjungan berbagai akademikus dari negara-negara itu untuk


membantu pendidikan di Indonesia . Ada juga berbagai “ bantuan “ dalam bentuk
kurikulum , piranti pendidikan , struktur administrasi , kiriman buku, teori , dana ,
hingga sejumlah asumsi pendidikan . Sebagian dari banjir bantuan ini diberikan sebagai
tawaran yang disodorkan pihak donor dan diterima dengan penuh terima kasih oleh
lembaga pendidikan di Indonesia . Sebagian juga merupakan hasil usaha meminta-
minta dari pihak Indonesia .

Jadi tidak dapat dikatakan bahwa yang terjadi adalah imperialisme atau neo-
kolonialisme Barat dalam pengertian pemaksaan sepihak di bidang pendidikan . Yang
jelas pendidikan tinggi Indonesia perlahan-lahan meninggalkan model pendidikan
Belanda dan berkiblat pada pendidikan tinggi model Amerika Serikat ( misalnya
sistem kredit dan masa pendidikan 4 tahun untuk S-1 ) .

Zaman ini pendidikan merupakan salah satu industri terbesar dan terpenting di dunia .
Jadi pendidikan dapat dideret berdampingan dengan industri komputer telpon genggam,
tekstil , minyak , kalau bukan bursa saham . Gejala makro itu menjelmakan diri secara
keseharian dalam suasana perkuliahan di kelas-kelas di berbagai tempat di dunia .
Hukum pasar yang berlaku di antara para pesaing industri pendidikan pada tingkat
global juga merebak pada tingkal lokal di kampus dan bahkan di ruang kelas dan
bermuara pada interaksi dosen-mahasiswa . Sesuai dengan hukum penawaran-
permintaan ,fakultas atau jurusan yang laris dianakemaskan , misalnya ekonomi, bisnis,
manajemen,. kedokteran , teknik , atau komputer . Sedangkan bidang pendidikan
seperti filsafat , bahasa , sejarah , pendidikan , atau etika diancam tutup karena
kurangnya peminat .

7
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Para mahasiswa sendiri berbondong-bondong memilih bidang studi yang laris bukan
berdasarkan minat dan bakat , tetapi prospek pasar kerja yang tersedia sesuai lulus
pendidikan . Pada tiap-tiap jurusan yang kering dan kurus , terjadi persaingan dan
ancaman serius terhadap status kepegawaian dosen yang kuliahnya kurang diminati
mahasiswa. Kalau kecil sama dengan toko yang sepi . Ia harus ditutup karena
membebani ongkos lembaga yang bersangkutan , dan dosennya diberhentikan atau
dminta mengajar bidang lain yang bukan minatnya tetapi punya nilai pasar

Pada hampir semua kampus di negara-negara industrial , setiap fakultas dihargai dan
hanya bisa bertahan hidup apabila berhasil mendatangkan sejumlah mahasiswa peminat
dan pembayaran uang kuliah . Akibatnya , setiap dosen yang bekerja di fakultas itu juga
dihargai menurut kemampuannya menjual perkuliahan dan dihitung menurut jumlah
mahasiswa . Semua ini bisa berakibat buruk apabila tidak ada mekanisme kontrol
kualitas secara kelembagaan . Untuk menarik mahasiswa sebanyak-banyaknya, para
dosen bisa saja berlomba membuat pelajaran seringan mungkin , ujian sesudah
mungkin , nilai semurah mungkin , pekerjaan rumah sesedikit mungkin , dan supaya
mahasiswa senang membuat perkuliahan sesantai mungkin dengan lelucon dan bukan
analisis kritis.

Promosi pangkat , status , bonus tahunan , cuti dan sejumlah hak kerja sang dosen
ditentukan antara lain oleh perhitungan semacam itu menurut sebuah rumusan
matematika yang sudah dibakukan secara resmi . Akibatnya di sejumlah fakultas atau
jurusan ilmu-ilmu sosial dan humaniora , jumlah dosen teramat kecil , gaji mereka
ditekan seminim mungkin , dan beban tugas mereka berlimpah . Semua ini demi
menekan ongkos produksi pendidikan . Akibat berikutnya , para dosen ini terlalu sibuk
mempertahankan status kepegawaiannya , tak pernah punya waktu untuk berinteraksi
dengan Akibat berikutnya , para dosen ini terlalu sibuk mempertahankan status
kepegawaiannya, tak pernah punya waktu cukup untuk berinteraksi dengan mahasiswa
di luar jam kuliah , atau bahkan untuk mengembangkan diri secara intelektual .

Industrialisasi pendidikan bukan sebuah pilihan yang bisa dipeluk atau ditolak secara
bebas. Ia sudah dan masih sedang menjadi bagian dari tulang sunsum pratik pendidikan
di Indonesia. Karena proses ini baru belakangan berlangsung secara gencar, tidak
sedikit yang kaget-kagetan. Misalnya semakin lumrahnya sekolah dan pendidikan
tinggi dijajakan di iklan dan pusat-pusat perbelanjaan , di antara iklan dan toko yang
berjualan shampoo , parfum , celana jeans, dan kaset . Ini sama barunya dengan gejala
pengiklankan industri warta-berita baik cetak maupun televisi . Orang membuat berita
bukan karena ada peristiwa penting , dan orang mengikuti berita bukan karena butuh
informasi tentang dunia. Yang terjadi adalah orang berjualan berita dan publik membeli
hiburan atau gossip .

Jauh-jauh hari dalam dunia pendidikan di Indonesia sendiri sudah ditanamkan semangat
kapitalisme dan hukum pasar , walau pada saat itu patrimonialisme dan feodalisme
politik masih menjadi payung besarnya . Bentuknya yang paling konkret adalah sistem
kredit . Proses pendidikan dipecah-pecah menjadi satuan unit perkuliahan ( atau
penelitian , atau kerja laboratorium , atau juga praktik lapangan ) dan diperjual-belikan

8
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

secara eceran . Setaip mahasiswa bekerja dan dinilai secara individual dan dihargai
secara kumulatif dalam sebuah medan kegiatan yang bersifat kompetitif . Hal yang
sama berlaku untuk sistem penghargaan terhadap kinerja dosen . Juga kinerja fakultas
dan jurusan . Proses ini akan dikembangkan secara lebih terbuka dan menyeluruh dalam
bentuk “otonomi “ kampus bersamaan dengan melenyapmya otonomi kerja intelektual .

Bila proyek otonomi kampus di Indonesia dilancarkan secara sungguh-sungguh dan


berlangsung sukses , maka sulit dibendung . apalagi dilawan , melebarnya sebuah
kesenjangan sosial dan intelektual yang mencolok . Akan ada sejumlah universitas
mahakuat dan kaya, ada yang mahalemah dan miskin . Ada bidang studi yang super
giat , gemilang , bergengsi selain kaya-raya . Ada sejumlah bidang studi yang sangat
merana , merayap-rayap , atau punah . Para ilmuwan , dosen , dan peneliti akan juga
menempati status , gaji , dan kekuasaan birokrasi kampus dalam sebuah jenjang yang
tajam Sebuah kontradiksi dan konflik kelas seperti yang tajam . Sebuah kontradiksi dan
konflik kelas (seperti yang dikemukakan berbagai kritikus terhadap kapitalisme ) akan
menjadi lebih gamblang .

Sebenarnya lembaga pendidikan bukan saja sebagai “barang dagangan “ sebagaimana


yang disebut diatas , tetapi sebagai semacam basis atau benteng baru bagi kelas borjuasi
dan kelas menengah untuk melanggengkan kekuasaannya. Modal dan kekuasaan tidak
lagi berputar hanya atau terutama di sekeliling penguasaan atau pemilikan perusahan ,
tanah , atau properti lain, tetapi juga dalam bentuk pengetahuan , informasi , dan yang
terpenting sertifikasi resmi atas pengetahuan dan informasi itu.

Kelas sosial tidak hanya ditentukan oleh pemilikan modal keuangan , tetapi juga
pengetahuan , ijazah , serta selera budaya . Seperti Ivan Illich pada masa sebelumnya ,
Wallerstein mengingatkan di mana pun di dunia , tidak ada sekolah yang sepenuhnya
terbuka dan menampung semua anak usia sekolah di masyarakatnya . Dengan berbagai
dalih (misalnya ujian saringan ) , sekolah akan mempertahankan sebuah pintu yang
tertutup sebuah pintu yang tertutup bagi kelas tertindas. Yang kita saksikan sekarang ,
dan tidak termasuk pemisahan kelas sosial ini berlangsung global, melintasi batas-batas
negara , jenis kelamin , usia, warna kulit , atau agama .

Proses transformasi sosial besar-besaran tidak sepenuhnya negatif atau positif bagi
semua orang secara seragam . Seperti halnya dalam berbagai bidang lain , sebagian
pihak yang sudah kuat dan sudah diuntungkan oleh kondisi sosial alan menjadi lebih
kuat dan berjaya . Sebagian besar yang lain dirugikan , bukannya karena tidak
mendapat bangku kuliah ( kesempatan itu secara formal makin terbuka pada banyak
orang ), tetapi karena kualitas dan kategori pendidikan yang merreka peroleh berada di
jenjang terbawah dari sebuah diskriminasi kelas yang baru .(Heryanto, 2000: 94 – 100 )

McDonaldisasi Pendidikan Tinggi

Ketika perguruan-perguruan tinggi , baik negeri maupun swasta terseret atus besar
industrialisasi yang menjelma dalam komodifikasi pendidikan , maka mereka juga tidak

9
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

luput masuk ke dalam perangkap dilemma industrial. Supaya pendidikan tinggi bisa
cepat dipasarkan , maka mereka harus merumuskan pendidikan yang cepat saji , cepat
disantap oleh konsumen , cepat berproduksi lagi, cepat menciptakan kesejahteraan bagi
komunitas kampus . Maka terjadilah apa yang yang dinamakan McDonaldisasi
Pendidikan Tinggi . Restauran cepat saji model Mc Donald”s yang bekerja dengan
empat prinsip kuantifikasi , effiensi , keterprediksian dan teknologisasi ternyata terjadi
pada perguruan tinggi .

Pertama, kuantifikasi yang terjadi dalam pendidikan tinggi kita muncul ketika cara
evaluasi hasil dan produk hanya dilihat dari kuantitas saja . Semakin banyak kita
menghasilkan lulusan baik pada jenjang diploma, sarjana , master dan doktor , semakin
kita dianggap sukses dalam mengelola pendidikan .. Bahkan tinggi rendahnya prestasi
mahasiswa diukur hanya dengan indeks prestasi (IP) yang memiliki skala dari 1 sampai
4 . Dalam praktek , tingginya IP seorang mahasiswa tidak selalu berkorelasi positif
dengan kemampuan akademiknya . Di era otonomi kampus ini, kuantifikasi menjelma
pada terjadinya perubahan lembaga pendidikan menjadi semacam pabrik atau bahkan
mirip kapal pukat harimau yang siap menangkap cacing hingga paus , suap
mengantongi mahasiswa jenjang diploma hingga doktor dengan orientasi kuantitas dan
bukannya kualitas tingkat pertumbuhan .

Kedua, efisiensi dilakukan dalam rangka meningkatkan produk-produk perguruan


tinggi , entah itu produk dalam arti mutu lulusannya maupun produk dalam pengertian
hasil penelitian Program studi yang didorong dan difasilitasi adalah menghasilkan uang
seperti program studi aplikatif teknik, kedokteran, ekonomi , dan sebagainya ,
sedangkan program studi yang tidak menghasilkan uang seperti filsafat, sastra , budaya,
dan ilmu-ilmu sosial kritik, yang jelas-jelas memberikan sumbangan pada masalah
kemanusian , terancam ditutup Efisisnesi artinya pengetat ikat pinggang dan
penghematan anggaran yang akibatnya tidak segan-segan meniadakan program-
program humaniora demi keuntungan yang bersifat material . Efisiensi ini turun dari
logika ekonomi analisis cost-venefit, yakni apabila suatu tindakan tidak ada manfaat
ekonominya maka tindakan tersebut ditiadakan saja . Hal ini jelas merupakan kebijakan
kacamata kuda yang diarahkan semata-mata kepada ekonomisasi pendidikan tinggi
yang berdampak penurunan daya kritis komunitas kampus .

Ketiga, prinsip keterprediksian dalam berproduksi dilakukan dengan mengaitkan antara


kurikulum dan manfat lulusan dalam pasaran kerja . Pada masa Orde Baru dahulu,
menteri pendidikan nasional Wardiman Dojonegoro pernah mencanangkan kebijakan
link and match dalam penataan kurikulum yang justru meciptakan pendidikan ala
robot. Kurikulum didesain sedemikian rupa sehingga diperkirakan akan dapat
menempatkan para lulusannya cepat bekerja sesuai dengan kebutuhan pasar Artinya,
kurikulum yang didesain itu harus mampu mengantisipasi kebutuhan pasar tenaga
kerja. Kurikulum yang baik adalah yang mampu memberikan bekal teknis bagi
mahasiswa untuk dapat bekerja di kelak kemudian hari . Akibat dari semangat
keterprediksian ini, pendidikan lebih diarahkan pada kemampuan menyongsong pasar
kerja,. Irosnisnya , kerja dalam hal ini adalah kerja teknis , tidak termasuk kerja
intelektual atau bahkan jauh dari kerja filosofis . Padahal, dalam masyarakat modern

10
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

banyak muncul fenomena patologi sosial sehingga dibutuhkan kerja filosofis untuk
mengatasinya .

Keempat , prinsip teknologisasi yang menjelma dalam kebijakan pendidikan , yaitui


suatu upaya penyelenggaraan pendidikan dengan harus menggunakan teknologi modern
atau bahkan hi-tech Pendidikan harus selalu mengikuti kemajuan teknologi agar
lulusannya nanti tidak gagap teknologi , namun sangat ironis jadinya karena lembaga
pendidikan tidak berdaya mengendalikan, mengontrol , dan mengkritisi penerapan
teknologi dalam masyarakat . Kebijakan teknologisasi di bidang pendidikan hanya
menghasilkan sistem pendidikan yang menjadi budak teknologi .karena civitas
academica cenderung menjadi cheerful robots ( meminjam istilah sosiolog C Wright
Mills ) yang pintar menjalankan instruksi teknis ( berkaitan dengan pertanyaan how )
dan bukannya terpikat kritis dan reflektif ( berurusan dengan pertanyaan why ) , maka
pendidikan kita mengalami dehumanisasi Teknologi tidak dilihat secara kritis oleh
pendidikan , tetapi justru teknologi sebagai keharusan dan bagaimana kurikulum
pendidikan mengantisipasi kebutuhan teknologi masa depan tanpa sikap kritis .

Perguruan tinggi telah memperoleh kelimpahruahan material dari ledakan mahasiswa


yang masuk dari berbagai jenjang , apalagi dengan diselenggarakannya kuliah
ekstensif, jarak jauh , dan sebagainya yang menarik uang kuliah cukup tinggi Hal ini
seperti yang dilakukan oleh restaurant McDonald”s yang memiliki outlet di mana-
mana, perguruan tinggi juga membuka cabang di daerah-daerah dalam upaya
menangkap mahasiswa. Kalau bisnis McDonald”s memiliki divisi jemput bola dengan
mengantarkan produk –produknya ke rumah-rumah pelanggan sesuai dengan pesanan ,
maka perguruan tinggi juga mendatangi daerah-daerah untuk menyelenggarakan
pendidikan . Kebijakan seperti ini banyak terjadi terutama pada jenjang pendidikan
magister-magisteran . Dosen disibukkan dengan jumlah jam mengajar yang panjang
sehingga tidak sempat melakukan refleksi apalagi kontemplasi . Jadilah mereka pekerja
pekerja pabrik dengan keahlian mengajar

McDonaldisasi pendidikan tinggi telah menciptakan sangkar besinya sendiri , yaitu


pertumbuhan , kuantifikasi , dan keharusan memproduksi sebanyak-banyaknya
McDonaldisasi pendidikan pada awalnya bermula dari sesuatu yang rasional , namun
berakhir dengan irrasionalitas , seperti dehumanisasi dan penurunan kualitas pendidikan
tinggi . Barangkali fenomena seperti ini dapat dinamakan sebagai tragedi kebudayaan
di era reformasi yang menimpa pendidikan tinggi kita. ( Nugroho, 2002 : 13 – 17 )

Asal Usul Sekolah

Plato dan Aristophanes adalah orang pertama yang meninggalkan catatan tertulis
mengenai ruang kelas dan sekolah . Sekolah pertama orang Athena tempo dulu
memang sederhana . Sekolah itu hanya berupa komplementer dari suatu program
pendidikan yang dititikberatkan pada latihan kemiliteran. atletik, musik dan puisi
Pengajaran membaca , menulis dan berhitung boleh dikatakan hanya sebagai
pertimbangan komplementer Dahulunya pendidikan di Athena berisfat tutorial , suatu

11
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

aspek hubungan perorangan Ketika Athena menjadi demokrasi , maka secara


berangsur-angsur hubungan tutorial digantikan dengan pengajaran klasikal.yang kita
kenal sekarang .

Di zaman keemasan Yunani maka berkembanglah sistem-sistem sekolah di negara-


negara jajahan Yunani yang dikembangkan oleh sang penakluk Alexander Agung di
seluruh dunia . Sistem sekolah inilah yang merupakan model dari sistem sekolah kita
dalam hal organisasi , kurikulum dan bebas batas umur murid-murid . Mula-mula anak
belajar membaca , menulis dan berhitung . Kemudian mereka diajarkan senam , musik
klasik , kesusastraan , ilmu ukur dan ilmu pengetahuan alam Museum-museum
Alexanderia dan kota-kota lain mengkhususkan dalam mengajar ilmu kedokteran ,
retorika dan filsafat . Di antara pusat-pusat ini terutama dilindungi oleh beberapa
keluarga Yunani kebanyakan dibiayai oleh swasta. Namun ada beberapa kota kecil
yang mempunyai sekolah negeri, sedang sekolah di kota-kota lain diperkuat oleh
yayasan yang didirikan oleh orang –orang kaya . Salah satu tujuan utama sekolah-
sekolah ini ialah tetap menghidupkan tradisi Yunani dalam dunia yang biadab . Hanya
sebagian kecil penduduk Yunani di Alexanderia sajalah yang pernah mengambil
manfaat penuh sekolah-sekolah itu .

Orang-orang Romawi menganut aliran Yunani dan dengan perubahan kecil


menggunakannya untuk pendidikan kaum elite mereka sendiri . Karenanya , sejak
jatuhnya Athena sampai jatuhnya Binzantum, sebagian kecil penduduk duania telah
bersekolah dengan cara yang menyerupai zaman sekarang Tetapi sekolah bukanlah
lembaga yang penting pada zaman Yunani Romawi dan Bizantium, kecuali peranannya
dalam memelihara warisan dan beberapa kebudayaan Yunani kuno sampai Renaissance
di Eropa Barat .

Kecuali di Bizantium , jatuhnya Romawi mengakibatkan perpaduan antara pendidikan


dan agama , yang bertahan selama ribuan tahun . Lembaga pendidikan abad
pertengahan adalah sekolah-sekolah gereja dan biara-biara . Berbeda dengan tujuan
kuil-kuil kuno , maka lembaga-lembaga pendidikan itu juga mempunyai peranan
pendidikan yang lebih terbatas . Namun lembaga-lembaga ini memang menampilkan
sejumlah pemikiran penting dalam pendidikan Barat . Di biara-biara Benedictine yang
paling tua , ruang dan waktu menjadi parameter bagi pengajaran dan kehidupan . Setiap
jam kehidupan Benedictine mempunyai tempat dan tugas tertentu . Ketaatan terhadap
peraturan ini membentuk kehidupan yang baik . Tak ada produk luar yang
memberanikan diri untuk mencari bukti tentang keberhasilan kehidupan yang
berlangsung sampai saat itu .

Ordo-ordo Dominico dan Franscisco didasarkan atas prinsip-prinsip yang berlainan


Ketergantungan pada belas kasihan orang lain dan identifikasi dengan orang miskin
menggantikan ikatan waktu dan ruang . Seperti pada ritual Benedictine maka
permohonan derma dan perawatan orang sakit dan orang miskin tidak dimaksudkan
sebagai latihan bagi kehidupan selanjutnya melainkan sebagai cara hidup itu sendiri .

12
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Prinsip pendidikan yang bersifat itu dihidupkan kembali oleh kaum Jesuist yang dalam
abad XIV memperluas dan merasionalisasi persekolahan sampai melampui batas-batas
zaman Yunani-Romawi . Sekolah-sekolah kuno tidak pernah lebih dari sebagian kecil
program pendidikan yang merupakan hasil tradisi dan bukan hasil pemikiran
sebelumnya rasional . Kaum Jesuit menyusun kurikulum dan metode pendidikan yang
sengaja dimaksudkan untuk mempersiapkan orang-orang tidak saja untuk kehidupan
biasa , melainkan untuk kehidupan yang ruang lingkup dan tantangannya belum ada
tandingannya . Setidak-tidaknya sebagian dari pertumbuhan persekolahan sesudahnya ,
tentulah disebabkan oleh sukses permulaan yang hebat itu .

Sekolah-sekolah Jesuit yang pada mulanya diperuntukan bagi komunitas tertentu yang
terpilih dan dunia abad pertengahan Eropa . Kecepatan dan keadaan berlangsungnya
perluasan ini mengingatkan orang pada pertumbuhan pesat sekolah-sekolah Yunani
setelah penaklukan Alaxander Ketidakpastianlah yang menyebabkan orang-orang
Yunani membangun dan menggantungkan diri kepada sekolah , dan bukan karena
dominasi koloni-koloni Yunani Zaman Alexander . Ketidakpastian gereja Katolik
Roma di zaman Agustinuslah yang menyebabkan berdirinya dan tumbuh pesatnya
sistem sekolah Jesuit. Dalam kedua kejadian ini sekolah dipandang sebagai jalan untuk
mempertahankan nilai-nilai yang sedang kehilangan dengan dominasinya .

Kronologi sekte-sekte Kristen ini telah mendahului sekurang-kurangnya satu peristiwa


besar dalam sejarah persekolahan yaitu awal pembentukan universitas-universitas itu
telah menjadi lembaga yang berdiri sendiri sesuatu yang dimungkinkan dalam sejarah
Eropah di Abad Pertengahan . Bersama-sama dengan saingan-saingannya di dunia
Islam, maka universitas-universitas Bologna, Saterno dan Paris menjadi lembaga
pertama yang terutama mencurahkan tenaganya untuk mengembangkan dan
menyebarkan pengetahuan . Universitas-universitas modern , termasuk lapisan atas dari
sistem sekolah masa kini .

Martin Luther dan para pengikutnya memberikan rangsangan yang kuat bagi
pertumbuhan sekolah-sekolah yang lebih rendah di Eropa Utara . Pencetakan Injil
secara besar-besaran dan doktrin yang mengatakan bahwa keselamatan itu berlangsung
berasal dari Kitab Injil , menyebabkan pengajaran membaca menjadi kewajiban moral
bagi kaum Protestan yang mampu melakukannya . Revolusi Industri yang begitu cepat
menyusul reformasi memberikan fasilitas yang perlu bagi pengembangan sekolah
secara cepat dengan menyediakan bukan saja sarana-sarananya tetapi juga alasan
perlunya penyebaran peradaban dan kecakapan baca-tulis.

Pertumbuhan jumlah sekolah saja tidaklah menghasilkan sistem sekolah . Wajah


persekolahan ini muncul seiring dengan pertumbuhan negara . Demikianlah , meskipun
sekolah negeri mula-mula tumbuh di Amerika Serikat , namun sistem persekolahan
yang terintegrasi pertama-tama tumbuh di Perancis dan Prusia . Perkembangan
persekolahan di Prusia , meskipun lebih belakangan , justru lebih jelas dan menjadi
contoh yang penting . Di Prusia dan di Jerman , perkembangan sistem sekolah berjalan
seiring dengan perkembangan negara dan sengaja dimaksudkan untuk menjadi salah
satu tiang utama negara .

13
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Salah satu aspek dari sistem sekolah Jerman ialah mengajarkan bahasa Jerman tinggi,
bahasa sekolah dan bahasa persatuan negeri itu . Aspek lainnya ialah kurikulum , utuh
dan bertingkat yang dimaksud untuk memenuhi kebutuhan militer , politik dan tenaga
manusia trampil yang diperlukan oleh negara Aspek selanjutnya ialah jabatan mengajar
yang dioganisasi bertingkat . Yang terpenting di antara semuanya ialah suatu filsafat
pendidikan yang dipikirkan dengan seksama , tercemin dalam organisasi sekolah ,
logistik , kurikulum , penempatan tenaga guru , metode mengajar dan tatacara sekolah
dan ditujukan untuk menghasilkan warga negara yang sesuai dengan ketentuan-
ketentuan para pendiri negara Jerman . Tak ada sistem nasional lain yang direncanakan
sedemikian sistematis . Tetapi semua bangsa , dalam mencontoh ciri-ciri utama sistem
Jerman . , pada hekakatnya telah meniru tujuan dan metode pendidikan sistem Jerman .
Mungkin Inggrislah , yang paling sedikit mencontohnya , tetapi jajahan-jajahan Inggris
yang dahulu pun telah lebih banyak mengikuti Jerman daripada Inggris .

Di Perancis pokok pikiran tentang sistem sekolah nasional pertama kali timbul sebagai
bagian dari usaha menentang Serikat Jesuit dalam abad ke XVI di kalangan para
pendidik utama kaum elite Meskipun ada penindasan terhadap ordo itu pada tahun 1963
dan ada usaha para pembuat Undang-Undang Revolusi Perancis , namun sekolah-
sekolah negeri tidak begitu pesat perkembangannya Setelah pemulihan kembali sistem
Kerajaan . Setelah pemulihan kembali sistim Kerajaan , maka Serikat Jesuit dan
sebagian kecil Bruder Kristen sekali lagi memegang peranan penting dalam pendidikan
Perancis. Undang-undang reformasi pendidikan tahun 1834 menghendaki hubungan
erat antara negara dengan gereja . Namun kerja sama itu tidak dapat bertahan terhadap
krisis yang ditimbulkan oleh kekalahan Perancis pada tahun 1870 .

Kekuatan angkatan bersenjata Prusia , oleh banyak orang dipandang disebabkan oleh
efisiensi sistem sekolah nasional mereka. Di Perancis , dikerahkanlah tenaga untuk
memulai sistem sekolah itu. Sekolah –sekolah negeri di Amerika Serikat juga telah
mengalami sejarah yang panjang dan rumit Meskipun telah berdiri sekolah-sekolah
negeri di New England, Pennyslvania dan Virgina , tetapi sekolah-sekolah tersebut
sampai lama tetap berada di bawah pengawasan pemerintahan lokal. Semua sekolah itu,
di New England tetap menjadi hal istimewa suatu golongan minoritas yang relatif kecil.

Sekolah-sekolah New England asli adalah setengah semesta tanpa bersifat memaksa,
karena pendiri-pendirinya mempunyai pendirian yang sama mengenai manusia,
dunia.dan Tuhan Di New England itu juga , persekolahan menjadi kurang bersifat
semesta dengan masuknya para imigran non puritan yang dimulai pada awal abad ke 19
Pada hakikatnya adanya jarak waktu dari tradisi singkat persekolahan ialah yang
mendorong Horace Maun untuk merumuskan konsep modern di Amerika mengenai
sekolah negeri .

Sekolah-sekolah negeri model Maun mengharuskan adanya kehadiran karena orang-


orang yang asalnya berbeda-beda dengan nilai dan kepercayaan yang berbeda-beda,
harus diusahakan agar mempunyai pendapat yang sama, yang telah diakui oleh para
pemimpin agama. Kedua pendekatan terhadap persekolahan negeri universal ini

14
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

melukiskan kontradiksi-kontradiksi yang telah mengubah harapan yang agung menjadi


akhir yang suram. Thomas Jefferson , Orestes Brow dan John Dewey melihat
pendidikan universal sebagai jalan untuk membekali orang agar mereka dapat
menemukan kepercayaan mereka dan menciptakan pranata-pranata mereka sendiri . St
Ignatius de Loyola , Johan Gottlieb Fichte dan Horace Maun melihat proses tersebut
sebagai jalan untuk membentuk manusia sesuai dengan persyaratan-persyaratan
kepentingan sosial dan lembaga-lembaga yang dianggap telah sah sebelumnya .

Usaha-usaha ideologis tersebut bersatu untuk membuat sekolah negeri menjadi populer,
baik pada orang-orang yang memiliki hak-hak istimewa maupun orang-orang yang
tidak memiliki hak-hak itu Bagi orang yang disebut terakhir , ideologi-ideologi itu
menjanjikan kesempatan yang sama . Bagi orang yang memiliki hak-hak istimewa ,
ideologi itu menjanjikan kemajuan yang tertib di bawah kekuasaan kaum elite . Sampai
batas-batas tertentu , kedua janji itu dapat terlaksana . Tetapi kontradiksi –kontradiksi
yang menyertainya semakin lama semakin ke negara . Ketika Lock dan Jefferson lebih
berperanan , usaha John Dewey untuk mengembalikan manusia kepada kedudukannya
hanya disambut dengan basa-basi belaka .

Langkah-langkah di bidang organisasi dan legalisasi yang merupakan prosedur untuk


memadukan berpuluh ribu sekolah lokal dan beribu-ribu college dan universitas yang
mempunyai nama sendiri-sendiri Sistem sekolah dipandang sebagai usaha untuk
memenuhi tujuan nasional . Populernya filsafat semacam itu tidaklah mengherankan
dalam suatu abad yang menghadapi pergaulan bangsa-bangsa di dunia yang makin luas.
Munculnya negara-negara , jelas merupakan salah satu faktor pokok dalam
pertumbuhan sistem sekolah internasional . Tetapi apa pun alasannya perkembangan
sebenarnya dari sistem tersebut merupakan salah satu fakta yang menakjubkan dalam
sejarah umat maniusia . Tentu saja , sekolah hanyalah satu lembaga teknologi yang
telah tersebar dari Eropa dan Amerika Utara sampai ke seluruh pesolok dunia . Tetapi
semua lembaga yang lain lebih mudah dijelaskan, meskipun tak satu pun di antaranya
yang terbesar seperti persekolahan . Persekolahan universal telah menjadi bagian dari
program resmi hampir setiap bangsa . Setiap negara harus mempunyai universitas
Setiap kota harus mempunyai sekolah menengah . Setiap desa harus mempunyai
sekolah dasar . Semua bangsa mencontoh bangsa yang terkemuka di bidang kurikulum ,
organisasi sekolah dan standar sekolah . Negara-negara kapitalis dan komunis bersaing
dalam menyekolahkan penduduknya . Dan perdebatan mengenai standar persaingan itu
sendiri adalah sama sedikitnya dengan perdebatan mengenai standard pertandingan
dalam olimpiade .

Dominasi dunia Eropa selama abad XVIII dan XIX dapat membantu menjelaskan
adanya sistem sekolah di daerah-daerah jajahan zaman dahulu .Sekolah-sekolah Jepang
juga dapat dipandang sebagai suatu fenomena kolonial yang terbentuk sebagai bagian
dari suatu pola barat umumnya dan dipakai untuk menghindari kolonisasi . Jelas bahwa
sekolah-sekolah paling terbelakanglah yang paling sedikit dipengaruhi oleh
industrialisasi Eropa dan Amerika .

15
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Sekolah telah melakukan tugas utama dalam konsolidasi negara-negara baru yang
tumbuh dan reruntuhan kerajaan . Sekolah juga melayani kaum elite dari bangsa-bangsa
baru ini dengan memungkinkan mereka mendekati politik, ekonomi dan kebudayaan
internasional. . Tetapi hal ini tidak menjelaskan kepopuleran pendidikan massa pada
tingkat internasional Penjelasan yang sebenarnya dapat diketemukan kembali pada dua
sejarah kejadian sekolah , yaitu di kalangan orang-orang Alexanderia dan Jesuit
Sebagaimana diketahui keduanya pada saat sistem nilai tradisional sedang terancam
bahaya . Kali ini demikianlah pulalah halnya . Tetapi nilai-nilai yang terdapat di
dalamnya lebih pokok dan lebih universal daripada nilai-nilai Hellas atau Eropa Abad
Pertengahan Yang dipersoalkan kini adalah asumsi tentang suatu masyarakat yang
didasarkan atas tingkat-tingkat hak istimewa . Teknologi yang menggugurkan asumsi-
asumsi ini telah menciptakan penawar bagi efek-efeknya sendiri : suatu sistem sekolah
yang menjanjikan pendekatan kepada kebaikan teknologi , tetapi kenyataannya tidak
memberikannya. ( Reimer , 2000 : 43 – 49 )

Pendidikan bagi yang tertinggal

Mendidik kelompok tertinggal tidaklah mudah . Hal ini terjadi karena tidak jarang
kelompok tertinggal memang sistem nilai dan sistem budaya yang memang sulit untuk
diubah kearah memberdayakan diri mereka sendiri . Oleh karena itu , pendidikan
untuk kelompok tertinggal harus memiliki semangat dan filosofi yang benar-benar
memberdayakan Kalau hal itu harus terjadi , maka model-model pendidikan yang
mengandalkan pada penyadaran dan pembebasan perlu menjadi program yang utama.
Dengan demikian , kita harus menghindari model pendidikan yang hanya bersifat satu
arah , tanpa adanya dialog , yang kemudian dikenal dengan model banking concept of
education , jika kita memakai istilah Paulo Freire .

Dilihat dari aspek materi pembelajaran , pendidikan bagi kelompok tertinggal harus
memiliki relevansi yang tinggi bagi pengembangan kecakapan hidup (life skill )
mereka. Oleh karena itu , materi pembelajaran harus memiliki makna dan relevansi
yang tinggi terhadap pemberdayaan hidup mereka secara nyata . Konsekuensinya ,
harus disediakan kurikulum yang terdifferensiasi sesuai dengan kondisi lingkungan
hidup, minat, dan kecepatan belajar peserta didik . Di samping itu , kurikulum
pembelajaran bagi kelompok anak-anak yang tertinggal juga harus memperhatikan
kendala-kendala sosiologis, historis , dan kultural yang dihadapi mereka . Dengan
demikian , kurikulum pendidikan yang hanya satu jenis saja , ibarat ukuran kaos kaki :
all size atau fit for all , akan menghukum anak-anak yang tidak sesuai dengan desain
kurikulum itu dilihat dari aspek motivasi , minat , bakat , dan kecerdasan mereka. Kalau
hal ini terjadi, proses pendidikan akan menghasilkan semakin besarnya populasi anak-
anak yang tertinggal.

Akibatnya proses pendidikan tidak mampu membebaskan anak dari kondisi yang
mencerminkan terjadinya, kebodohan , kemalasan , ketidaktahuan , keterbelakangan ,
kekumuhan berpikir dan berperilaku , serta ketidakberdayaan dalam menghadapi
realitas kehidupan yang semakin global dan semakin kejam ini . Anak-anak yang

16
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

masuk dalam kelompok tertinggal berasal dari latar belakang status sosial ekonomi
yang kurang , dan bahkan tidak menguntungkan . Ketika memasuki proses belajar .Oleh
karena itu entry characteristic mereka sangatlah bervariasi . Begitu pula aspirasi dan
motivasi mereka . Dalam keadaan yang demikian ini perlu ada kurikulum yang sungguh
bermakna bagi kehidupan mereka . Dalam keadaan yang demikian ini perlu ada
kurikulum yang sungguh bermakna bagi kehidupan mereka .Dalam keadaan yang
demikian ini perlu ada kurikulum yang sungguh bermakna bagi kehidupan mereka
Untuk itulah maka kurikulum yang berdifferensiasi merupakan prerequisite yang harus
dipenuhi dalam program pendidikan bagi anak-anak yang tertinggal .

Dilihat dari aspek manajemen , program pendidikan yang ditujukan bagi kelompok
tertinggal harius mampu menawarkan model manajemen yang fleksibel yang pada
hakikatnya harus membuka peluang yang seluas-luasnya untuk terjadinya prinsip multi
exit-multi entry . Cara ini akan sangat menolong anak-anak dari driop out dan juga
akan sangat membantu anak-anak yang karena kendala-kendala sosial, ekonomi , dan
kultural tidak bisa masuk ke dalam mainstream sistem yang ada. Konsekuensinya
pemerintah harus bisa menjamin adanya kesetaraan antara pendidikan sekolah dan luar
sekolah , antara pendidikan formal dan non formal , multi exit-multi entry , di berbagai
tingkatan dan satiuan pendidikan , kita memerlukan standard nasional pendidikan
Dengan model manajemen pendidikan yang fleksibel , anak-anak yang tertinggal akan
memiliki kesempatan yang luas untuk mengikuti program-program pendidikan sesuai
dengan kondisi mereka masing-masing . Dalam konteks manajemen pendidikan , untuk
menjamin keberlanjutan program , masyarakat perlu ikut melibatkan diri secara proaktif
Para pemuka agama dan tokoh pemimpin informal perlu ikut menggerakkan program
pendidikan bagi anak-anak yang tertinggal sebagai suatu gerakan sosial dan cultural
Tanpa peran serta masyarakat secara proaktif , program pendidikan untuk
mengentaskan kelompok tertinggal tidak akan berdaya menghadapi kendala sosiologis
dan kultiral yang sedikit kehidupan anak-anak yang tertinggal.

Ketertinggalan anak-anak tidak jarang juga disebabkan oleh para orang tua mereka
sendiri . Tidak jarang orang tua melakukan pola asuh yang sebenarnya sudah memasuki
tataran child abused terhadap mereka , dan dengan demikian jelas-jelas tidak mendidik
sama sekali . Pada kelompok anak-anak tertinggal , tidak jarang mereka justru
dieksploitasi oleh orang tua mereka atau anggota masyarakat yang memiliki tujuan
ekonomis tertentu . Oleh karena itu, orang tua yang melakukan hal ini secara sadar ,
walaupun ia tidak tahu bahwa yang dilakukan itu keliru , akan selalu memikirkan
opportunity cost atau forgone earning bagi anak-anaknya jika mereka harus mengikuti
proses pendidikan dari hari ke hari untuk kurun waktu yang cukup lama . Terlebih-
lebih, bukti empiris yang secara ekonomis dapat mengutungkan bagi kehidupan
mereka, yang dapat membedakan antara kompetisi mereka yang tamat SD dan mereka
yang tidak sekolah sama sekali , dan perbedaan antara kompetisi mereka yang tamat SD
dan tamat SMP , tidak dapat dirasakan oleh anak-anak maupun para orang tua secara
langsung . Artinya , tamat SD atau SMP sama saja , tidak bisa membuat hidup menjadi
semakin sejahtera , dan semakin kaya . Pikiran semacam ini justru membelenggu
kelompok tertinggal yang sudah termarginalkan . Oleh karena itu , pikiran-pikiran

17
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

bahwa pendidikan merupakan investasi bagi masa depan dan peradaban harus
disosialisasikan kepada siapa saja di mana saja dan kapan saja.

Mengubah paradigma berpikir seperti ini tentu tidak mudah , tetapi harus dilakukan
Kalau tidak, baik masyarakat , orang tua , maupun pemerintah sekalipun hanya berpikir
pendidikan dalam konteks sesaat . Lebih parah lagi jika pendidikan di benak para
pengambil kebijakan hanya dimaknai sebagai program dalam arti proyek yang tidak
dimiliki sustainabilitas . Pikiran proyek ini tentu tidak mampu memberdayakan
kelompok yang tertinggal walaupun memang mampu memberdayakan kelompok kecil
elite pelaksananya . Tujuan pendidikan sexara universal tidaklah begitu . Sebaliknya ,
pendidikan sexara universal tidaklah begitu . Sebaliknya , pendidikan harus mampu
memberdayakan semua anak bangsa ini tanpa kecuali , sehingga mereka pada akhirnya
memiliki kemandirian baik sebagai maupun sebagai anggota masyarakat dan warga
negara . Dengan bermodalkan pendidikan yang baik , seseorang akan memiliki peluang
untuk berpartisipasi dalam program-program pembangunan .

Pengentasan kelompok yang tertinggal dalam dunia pendidikan juga dilakukan dari
aspek evaluasi pendidikan itu sendiri . Evaluasi tidak boleh dilakukan untuk
menghukum peserta didik . Sebaliknya , evaluasi harus mampu memberikan feedback
bagi proses pembelajaran yang lebih baik dan lebih bermakna . Dengan demikian ,
evaluasi harus mampu memperkuat motivasi untuk belajar , untuk maju kearah yang
lebih baik meskipun mungkin belum mampu mencapai taraf hasil belajar yang ideal
Pendek kata , evaluasi yang baik , yang mampu memberdayakan peserta didik yang
termasuk dalam kelompok tertinggal , perlu mengikuti pikiran pikiran filosofis :
evaluation is not not to prove but to improve .

Satu aspek yang lebih penting lagi untuk memikirkan pendidikan bagi kelompok
tertinggal ialah faktor pendanaan . Saat ini Indonesia menempati urutan negara yang
paling rendah anggaran pendidikannya dilihat dari persentase terhadap APBN. Hal ini
terjadi karena semenjak merdeka sampai era reformasi saat ini , pemerintah memang
tidak memiliki political will yang baik dalam dunia pendidikan Pendidikan belum
pernah menjadi panglima bagi pembangunan bangsa . Padahal negara-negara industri
yang kaya dan makmur yang ada saat ini , secara historis dalam perkembangannya
selalu memiliki political will yang kuat dalam membangun bidang pendidikan .

Dampak ikutannya, kemampuan pemerintah untuk memberikan subsidi pada dunia


pendidikan amat sangat rendah . Akibatnya pendidikan semakin tidak bisa terjangkau
oleh kelompok ekonomi lemah di negeri ini . Dalam dunia praksis , pendidikan di
semua tingkatan kemudian dijalankan ala kadarnya , tidak berorientasi profesionalisasi
dan ekselensi , unggulan , dan tolak ukur kualitas lainnya yang sejenis itu . Dalam
kondisi seperti ini kelompok tertinggal baik secara akademik maupun ekonomik tidak
pernah bisa mengenyam program-program pemberdayaan bagi masa depan mereka
Oleh karena itu, jika pendidikan masih dicita-citakan agar mampu mengentaskan
kelompok tertinggal ,amanat UUD 1945 yang mewajibkan pemerintah untuk
mengalokasikan dana pendidikan minimal 20 % dari APBN perlu direalisasikan . Jika
tidak, kita sebagai bangsa memang sudah tidak peduli pada arti pentingnya pendidikan

18
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

bagi investasi masa depan dan peradaban , di samping kita juga tidak patuh pada
konsitusi itu sendiri . ( Suyanto , 2004 : 56 – 58 )

Keterbatasan pendidikan dan berbahasa

Dalam lingkungan sosial yang miskin , kebanyakan orang memiliki taraf pendidikan
yang sangat rendah . Mereka sering belum melek huruf atau putus sekolah . Di daerah
pedesaan di Indonesia , misalnya , 70 % penduduk tergolong buta huruf dan putus
sekolah . Demikian pula, 60 % dari seluruh angkatan kerja . Dengan lain kata , mereka
paling banter tamat pendidikan dasar , Kesempatan untuk pendidikan lanjutan hampir
tidak ada.

Hal itu tidak buruk pada dirinya sendiri . Dan mungkin di masa yang lampau tidak
mengapa. Namun, pada masa sekarang ini yang cepat dan terus-menerus berubah , tidak
lagi demikian halnya . Taraf pendidikan yang sangat rendah pada umumnya
bergandengan dengan informasi dan pengertian yang serba terbatas. Dengan demikian,
segala kesempatan pun serba terbatas . Memang, orang melarat yang kurang
berpendidikan tidak bodoh . Namun, kecerdikan dan kepandaian mereka mau tak mau
terbatas pada lingkungan sosial mereka yang sangat sempit dan lebih diwarnai oleh
tradisi . Itulah salah satu sebab mengapa mereka sering kurang berdaya menghadapi
dunia modern dengan segala ancamannya, sehingga mereka gampang dipermainkan
dan ditipu dan kerapkali menjadi korban pemerasan orang yang lebih “pintar “ . Mereka
tidak tahu-menahu tentang bentuk kredit , hukum tanah , atau cara pemasaran yang
“modern “ . Itulah ialah satu akar terdalam dari ketidakadilan dalam aneka ragam
bentuk yang mencengkam mereka.

Akan tetapi , itulah pula pada lingkungan dan suasana sosial di mana anak-anak orang
miskin dibesarkan dan didik .Perkembangan kognitif, intelektual , dan mental mereka
dengan demikian juga ditentukan oleh segala keterbatasan itu . Dalam hal ini pun,
sangat kurang ada “rangsangan mental “ yang diperlukan . Apa yang dibahas di
lingkungan keluarga , luasnya tema yang disinggung , informasi yang diteruskan secara
spontan , jenis yang mainan yang dikenal , cara bagaimana hidup sehari-hari diatur ,
semua itu seakan-akan terbelenggu dalam kungkungan kemelaratan . Berlainan sekali
dari anak-anak orang terdidik yang dari kecil secara sadar atau tak sadar mengambil
bagian dalam dunia yang jauh lebih luas. Misalkan saja kesempatan untuk
berlangganan dan membaca surat kabar yang dengan sendirinya juga menjadi bahan
pembicaraan dalam keluarga . Justru banyak hal semacam itu jauh lebih mendalam
pengaruhnya daripada biasanya diinsyafi .

Dengan demikian , anak orang makin kalau masuk sekolah sudah jauh ketinggalan
ketimbang anak orang yang terdidik . Tambah lagi bahwa mereka hampir pasti tidak
berkesempatan untuk mengikuti pendidikan pra-sekolah di taman kanak-kanak , yang
biasanya hanya dalam jangkauan orang yang lebih berada . Padahal justru merekalah
yang sebenarnya yang paling membutuhkannya. Ketinggalan ini tentu saja sangat
mempengaruhi keberhasilan dalam sekolah . Begitu pula sehubungan dengan

19
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pendidikan di sekolah selanjutnya. Orangtua yang kurang terdidik hampir tidak


sanggup mendampingi anak-anak mereka dalam segala kesulitan yang mereka hadapi
di sekolah . Sedangkan anak-anak orang terdidik bisa lari kepada orang tua mereka ,
bertanya , dan minta tolong . Tidak mengherankan bahwa anak-anak orang miskin pada
umumnya kurang berhasil di sekolah . Sebabnya yang utama bukan kurang adanya
bakat atau ketekunan belajar , tetapi lingkungan sosial kemelaratan yang kurang
menunjang .

Selain itu , keterbatasan pendidikan orang mskin juga ada pengaruh lebih langsung atas
prestasi anak mereka. di sekolah. Mereka sering mempunyai kurang penghargaan
terhadap kemungkinan belajar di sekolah. Hal ini bisa dipahami , mengingat mereka
biasanya tidak bisa menikmati manfaat langsung dari pendidikan itu, yang dirasakan
sangat kurang relevan . Mereka beranggapan lebih baik bekerja secepat mungkin untuk
menambah pendapatan keluarga yang serba minim . Paling tidak dipandang dari sudut
penglihatan mereka , anggapan itu bahkan sangat masuk akal dan tepat karena bahan
pendidikan sekolah memang sering kurang relevan dan sesuai dengan keadaan setempat
mereka dan hasilnya yang nyata tidak seberapa banyak . Tentu saja, sikap negatif orang
tua terhadap sekolah mempunyai pengaruh besar atas prestasi anak mereka di sana.
Masalah berantai , yaitu membolos sekolah , tidak naik kelas, dan akhirnya putus
sekolah , antara lain disebabkan oleh sikap negatif itu Kalaupun mereka bersikap agak
positif terhadap pendidikan sekolah , maka biasanya berdasarkan harapan yang sama
sekali tidak realistis . Misalkan saja harapan bahwa anak mereka lewat sekolah bisa
lolos dari jerih payah kasar dan mencapai kedudukan yang terjamin .

Faktor yang mempunyai pengaruh amat besar atas segala prestasi di sekolah adalah
kemampuan berbahasa . Suatu kenyataan yang pada umumnya sangat kurang diinsyafi
kemampuan berbahasa tentu saja meliputi penguasaan tata bahasa dan kekayaan
perbendaharaan kata. Namun, yang lebih menentukan lagi ialah kesanggupan untuk
mengungkapkan diri, untuk merumuskan dengan jelas dan tepat apa yang dirasakan dan
dimaksudkan , untuk berbicara dengan bebas dan tanpa tegang dio hadapan sejumlah
orang lain , misalnya di depan teman-teman sekelas, untuk mengerti dan
mempergunakan peristilahan yang lazim dipakai , dan sebagainya .

Kemampuan berbahasa ini sangat menentukan keberhasilan pelajaran di sekolah .


Sebagaimana diketahui dari banyak penyelidikan , seorang murid hampir mustahil bisa
menunjukkan prestasinya yang sebenarnya kalau kemampuan berbahasa itu kurang
diperkembangkan . Kalau harus menyusun karangan , menempuh ujian lisan , atau
berbicara di depan kelas , murid itu selalu terbelenggu oleh hambatan bahasa itu .Maka
dari itu, hasil usaha belajarnya kurang bisa dibuktikan , nilai-nilainya pun akan lebih
rendah daripada sesungguhnya , dan kemajuan serta naik kelasnya bisa terancam Faktor
khusus yang perlu disbut di sini adalah logat atau dialek kedaerahan . Kalau seorang
anak yang berasal dari daerah terpencil dan sekarang bersekolah dikota , misalnya,
memakai bahasa Indonesia sesuai dengan logat daerah asalnya, maka hal itu
mengundang tawa dan ejekan teman-temannya. Kejadian semacam itu , yang bahkan
bisa diamati di kalangan mahasiswa , bisa mempunyai pengaruh cukup negatif atas

20
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

prestasi anak itu . Malah bisa terjadi bahwa ia dinilai kurang fasih berbahasa Indonesia
oleh gurunya .

Seluruh fenomena ini ( yang dalam sosiologi disebut social language barriers )
mempunyai pengaruh psikologis yang tak kecil. Anak yang sebenarnya hanya kurang
mampu mengungkapkan diri atau berlogat kedaerahan , mudah bisa merasa kurang
berbakat , bodoh , dan minder, sehingga menjadi kecil hati dan kurang berani berbicara
dan berpartisipasi aktif dalam pelajaran , sampai akhirnya kewalahan tidak melanjutkan
sekolah . Tentu saja , selalu akan diketemukan sejumlah anak yang bisa mengatasi
kesulitan semacam itu dan dengan demikian justru menjadi lebih kuat dan tabah Namun
, mereka ini merupakan kekecualian . Yang sepantasnya mendapat perhatian istimewa
adalah mayoritas mereka yang lemah dan kurang berdaya .

Kemampuan berbahasa itu hanya untuk sebagian kecil tergantung dari bakat alamiah
dan ketekunan belajar , lebih-lebih di tingkat sekolah dasar. Faktor yang paling
menentukan dalam hal ini adalah sekali lagi lingkungan sosial keluarga , Bentuk dan
mutu komunikasi verbal terutama para orangtua dengan anak-anak mereka menentukan
sejauh mana mereka mendapat rangsangan untuk mengembangkan kemampuan
berbahasa mereka. Sehubungan dengan itu , dalam masyarakat seperti di Indonesia juga
amat penting sejauh mana si anak sejak di rumah sudah diperkenalkan dengan bahasa
nasional yang lazim dipakai di sekolah , tetapi pada umumnya dikuasai orang kecil di
desa. Pendek kata , tingkat kemampuan berbahasa dari orangtua, yang berkaitan erat
dengan taraf pendidikan mereka , sedikit banyak diwariskan atau seolah-olah menular
pada anak-anak mereka. Di sini sekali lagi kentaralah kutukan kemelaratan yang
mendiskriminasikan anak orang miskin dibandingkan anak orang kaya dan terdidik
.Peluang mereka untuk berhasil di sekolah dari awal mula sama sekali tidak sama rata .
( Muller , 1980 : 45 – 47 )

Kebudayan Bisu Masyarakat Pinggiran

Dalam Pedagogy of the Oppressed , Freire banyak mengeritik pendidikan yang tidak
kritis , yakni pendidikan yang diarahkan untuk domestifikasi , penjinakan ,
penyesuaian sosial dengan penindasan Inilah pendidikan yang lazim dilakukan selama
ini oleh pemerintah-pemerintah negara . Pendidikan dianggap investasi material untuk
meneruskan tradisi dan kekayaan bangsa kepada generasi penerus Maka Freire
menyebut model pendidikan semacam itu sebagai banking education . Dalam pola
pendidikan ini, hubungan guru-murid bersifat kontras dan vertikal. Murid adalah obyek
yang dianggap guru , bodoh , pasif, tak berpengetahuan . Sementara guru adalah subyek
aktif , yang menjadi panutan Di seluruh kekayaan pengetahuan dan nilai-nilai ada pada
guru . Karena ini identitas yang ditanamkan pada murid harus meniru identitas guru .

Dalam perspektif dan konteks sosio-politis , relasi ini sejajar dengan relasi antara
penguasa kolonial , atau pun penguasa bangsa sendiri yang otoriter dan masyarakat
miskin . Mengapa kedua hal itu dihubungkan ? Karena bagi Freire pendidikan selalu
berkaitan dengan masalah sosial-politik . Dalam kerangka hubungan sosio-politis ini,

21
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

masyarakat miskin adalah kelompok pinggiran yang tidak memiliki apa-apa, bodoh ,
dan tak berpengetahuan . Mereka dipinggirkan tidak saja secara ekonomis , melainkan
secara fisik , histories , sosial , kultural . Setiap kegiatan mereka dianggap merusak
tatanan dan kebudayaan . Sebaliknya , penguasa adalah subyek yang menentukan yang
memiliki pengetahuan dan menjadi panutan .

Untuk menjelaskan pendidikan yang membebaskan , Freire lebih dulu menjelaskan


situasi sosial yang secara struktural memang menindas kaum miskin . Dalam struktur
ini manusia terasing karena dihambat dari partisipasinya untuk mengubah keadaan . Dia
hanya menjadi “ spectator “ atau penonton yang pasif , bukan “ creator “ yang
mencipta dan berpartisipasi . Kebebasan tidak ada padanya , sebaliknya , yang ada
dominasi penguasa atas masyarakat . Otoritas penguasa yang ingin mempertahankan
status quo mematahkan segala usaha pembaruan dari kaum miskin yang bodoh ini
Karena pola pendidikan mengarahkan masyarakat sedemikian , maka mereka dibuat
tunduk dan taat Inilah keadaan yang oleh Freire disebut “ kebudayaan bisu “.

Dalam Pedagogy of Hope , Freire memberikan contoh yang menarik mengenai


kenyataan pahit seperti ini , di mana orang atau kelompok miskin tidak berani
mengemukakan pendapatnya karena mereka takut dan tergantung pada penguasa yang
mempunyai segala kekayaan .Cerita ini dia peroleh dari seorang pastor di Jerman , yang
menerima keluhan tiga orang pekerja imigran asal Portugis , yang merasa diperas
karena sewa tanah yang tinggi dan pengabaian tuan tanah atas hak-hak penyewa dan
kewajiban mereka yang sudah diatur oleh negara . Pastor itu berusaha membantu
menyelenggarakan pertemuan dan diskusi dengan jemaat yang lain dan sampai pada
keputusan untuk mengadakan gerakan bersama, yaikni menuliskan keluhan mereka di
surat kabar dan mengadakan protes dengan jalan kaki keliling desa.

Namun belum berapa lama, ketika rencana akan segera dimulai , datanglah para pekerja
imigran , penyewa tanah , termasuk salah seorang dari ketiga juru bicara yang datang
pertama kepadanya. Mereka memohon pastor untuk membatalkan rencana itu dan
menerima keadaan sebagaimana adanya karena mereka diancam akan diusir bila
tuduhan itu diteruskan . Sang pastor terperangah atas perubahan keputusan yang tak
diduga ini dan mengungkapkan perasaannya kepada Freire .” Saya merasakan
ketegangan yang luar biasa , ketegangan etis antara mau meneruskan menghadapi
perjuangan melawan si pemeras , yang telah melangkah begitu jauh dengan
menyalahgunakan ketergantungan emosional dari para pekerjanya ini, dan mau
menghormati ketakutan para pekerja yang meminta aksi perjuangannya untuk
dihentikan , sehingga dengan demikian melestarikan rasa aman relatif – rasa aman yang
keliru , yang tidak dapat dilepaskan itu . Sebab itulah kondisi hidup mereka.”

Dalam situasi ini Freire tidak melihat keadaan lain selain yang ia sebut :” kebudayaan
bisu “ itu, yang mengkondisikan masyarakat tertindas tidak berkutik, tidak berani ,
merasa tergantung , dan lebih baik memilih diam daripada berinisiatif untuk
memperbaharui keadaan dengan resiko mereka akan terusir Rasa takut ini tak bisa lain
selain diakibatkan oleh pendidikan yang bersifat menjinakkan domestifikasi .

22
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Sementara itu untuk mempertahankan posisinya , para penguasa , para penindas , sering
melemparkan berbagai ideologi yang disebut mitos. Banyak sekali mitos yang
ditanamkan penguasa untuk diterima dan dipercayai begitu saja , misalnya bahwa
rakyat miskin itu bodoh , malas, tidak bisa diandalkan Bahwa ketaatan itu baik , tunduk
pada penguasa itu wajib . Tragedi besar zaman ini menurut Freire dalam Education ,
The Practice of Freedom (1976 ) , manusia ditipu oleh slogan-slogan dan ideologi
semacam itu . Mereka tidak menentukan apa-apa dalam perkembangan zamannya ,
tetapi menjalankan saja yang sudah ditentukan oleh para elit penguasa .

Keadaan seperti itu nyata dalam situasi Brazil pada waktu itu . Para penguasa
mendatangkan alat-alat teknologi tinggi dari Amerika Serikat yang di atas jangkauan
masyarakat biasa . Mereka mengimpor kebudayaan asing , yang harus ditelan oleh
rakyat . Jelas di sini ungkapan yang mengatakan bahwa kebudayaan mereka “disuapi “
dari luar . Akibatnya, mereka tergantung pada ahli-ahli Amerika untuk melestarikan
dan menggunakan sarana-sarana tersebut . Ketergantungan budaya ini mencegah
masyarakat untuk maju ddan berinisiatif sendiri . Ketergantungan pada budaya asing ini
barangkali mengingatkan kita pada Revolusi Iran yang menjatuhkan Shah Iran karena
kuatnya orientasi pemerintah waktu itu pada (kebudayaan) Amerika , yang
menyebabkan masyarakat terasing dari kebudayaan Islam yang dihayatinya sendiri
Tidak heran gerakan massa rakyat untuk menentang pemaksaaan budaya ini dengan
cepat mendapat dukungan masyarakat luas yang mengakibatkan kejatuhan Shah Iran .

Dalam arti ini tampaklah bahwa tidak hanya masyarakat, tetap para elit Brazil itu
sendiri sebenarnya tidak ikut menentukan “tema zaman “nya , tetapi ditentukan oleh
pihak-pihak asing (Amerika ) . Dalam kerangka penjelasan ini tampak bahwa
penindasan yang terjadi berlapis-lapis , dari kebudayaan asing ( Amerika ) terhadap
kebudayaan lokal ( Brazil ) , dari penguasa elit ( pemerintah ) terhadap masyarakat ,
terutama yang miskin , dan dalam konteks sekolah dari guru terhadap murid.

Dalam masyarakat seperti ini , meskipun murid-murid belajar “membaca” , namun


mereka tetap terasing dari kenyataan sosial , sebab membaca hanya diartikan sebagai
kemampuan teknis belaka , dalam mengartikan huruf-huruf mati. Dalam pemahaman
yang lazim mengenai pendidikan ini, murid–murid “ disuapi “ dengan pengetahuan
yang sudah jadi yang membawa mereka untuk tetap bertahan dalam keadaan
masyarakat yang ada . Dalam arti ini pula pendidikan kaum miskin dan marginal oleh
para penguasa elit diartikan sebagai mengembalikan mereka ke dalam struktur yang
normal . Akan tetapi siapakah yang menentukan normalitas itu ?

Dalam Cultural Action for Fredom (1974 ) , Freire mempertanyakan arti “normal “ dan
“ mengembalikan “ kedalam struktur masyarakat yang normal itu . Struktur manakah
yang dimaksudkan ? Sebab de facto masyarakat tak pernah melemparkan dirinya
keluar. Mereka tetap bagian dari ( inside of ) masyarakat . Pengertian seolah mereka
ada di luar garis batas ( outside of ) masyarakat dan menjadi orang pinggiran adalah
interprestasi yang keliru dan ciptaan mitis yang semena-mena .Karena ini soalnya
bukan memasukan mereka kembali , ke lingkungan yang normal atau yang sehat ,

23
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

melainkan membebaskan mereka dari situasi keterasingan dan menyadari situasi otentik
mereka sebagai beings for others.

Dalam Pedagogy of Hope , Freire mengulang kembali pengamatannya mengenai situasi


penindasan ini dengan isitilah lain yang disebut di sana-sini, yakni ketidaksadaran
historis ( historical anesthesia ) . Dengan ketidaksadaran historis , rupanya
dimaksudkan keadaan masyarakat yang tidak mau tahu apa yang terjadi dalam
masyarakatnya , tidak ikut mempertimbangkan kegiatan dan partisipasinya dalam
kancah perubahan sosial . Dalam keadaan seperti itu masyarakat mati , tidak
berkembang , tidak berubah . Anestesi adalah istilah dalam ilmu kedokteran untuk
melukiskan “pati-rasa “ dari orang yang dibius untuk menjalani operasi . Dalam
keadaan seperti itu , dia hanya berlaku sebagai obyek , pasien , pasif , tidak sadar ,
membiarkan diri diperlakukan oleh pihak-pihak lain , nasibnya tergantung pada
penanganan orang lain .( Sudiardja, 2001 : 8 – 9 )

Struktur yang menindas

Kenyataan kebudayaan bisu itu memang merupakan suatu dunia tersendiri , tetapi
justru tidak boleh dipandang sebagai fenomena yang berdiri sendiri , kalau adanya
kenyataan itu hendaknya dimengerti Dilihat dari sudut asal-usul dan sebab-sebabnya “
kebudayaan kemiskinan “ hanya bisa diterangkan sebagai bagian dari kerangka
struktural-institusional masyarakat seluruhnya .

Kebudayaan bisu dalam arti di atas tadi hanya bisa timbul dan melestarikan diri dalam
suatu struktur atau tata susunan masyarakat yang sangat tidak merata. Kemiskinan
sebagai fenomena yang menghalangi orang-orang miskin mengambil bagian dalam
kesempatan-kesempatan yang sebenarnya ada, disebabkan oleh ketimpangan ekonomis,
politis , dan sosial . Milik, pendapatan , kuasa, kedudukan , semua itu terpusatkan
dengan tangan golongan atas masyarakat saja. Tata susunan masyarakat itu mempunyai
akar-akar baik feodal maupun kolonial dan ditopang sekarang ini oleh apa yang bisa
disebut neofeodalisme dan kapitalisme. Struktur inegaliter tersebut mewujudkan diri
dalam dan sekaligus ditunjang dan dengan demikian dilestarikan oleh bentuk-bentuk
insititutional atau lembaga-lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat , seperti
umpamanya sistim milik tanah , struktur milik alat-alat produksi industri,
ketatanegaraan , sistem hukum, mekanisme pemasaran , kesempatan memperoleh
informasi , dan sebagainya . Dalam tata susunan masyarakat yang tidak merata , semua
bentuk kelembagaan itu dikuasai oleh golongan atas , sedangkan rakyat kecil hanya
secara kebetulan dan marginal bisa mengambil bagian . Dengan demikian , perwujudan
insitusional tersebut tidak hanya melestarikan , tetapi bahkan memperkuat dan
memperbesar kesenjangan struktur masyarakat

Adapun ciri khas kerangka struktural insitusional masyarakat tersebut berfungsi


bagaikan sebuah prisma yang menentukan dan dengan demikian juga bisa
membelokkan arah dari setiap usaha dan kebijaksanaan politik pembangunan . Tak
jarang dialami bahwa tujuan dari suatu program cukup bagus , tetapi hasilnya justru

24
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

sebaliknya . Misalkan saja suatu politik pertanian yang bertujuan meningkat baik
produksi maupun pendapatan para petani , tetapi dalam kenyataannya malah berakibat
bahwa jurang antara golongan kaya ( petani bertanah luas , lurah , pedagang ) dan
rakyat biasa di desa ( petani gurem , buruhtani ) semakin melebar . Si petani kecil ,
apalagi buruhtani, kurang bisa mempergunakan bantuan yang disediakan pemerintah,
hanya karena memiliki sekeping tanah, pusing menghadapi sistem kredit bank , tidak
bisa memberi jaminan , tidak mempunyai cadangan kalau panen gagal , tidak tahu
tentang cara pertanian modern , tidak mempunyai informasi mengenai kemungkinan
pemasaran , dan seterusnya . Yang beruntung malah “ mereka yang sudah punya “ .
Itulah kenyataan yang secara tepat disebut kemiskinan struktural atau kemiskinan
insitusional. Struktur institusional masyarakat ternyata membuat fungsi yang sangat
strategis . Dan di sini belum diperhitungkan bahwa kebijaksanaan politik sering tidak
beritikad baik, melainkan ditentukan oleh kepentingan-kepentingan pribadi, mengingat
orang yang mengambil kebijaksanaan tersebut biasanya termasuk golongan atas
masyarakat .

Sistem pendidikan moden merupakan salah satu faktor insitusional terpenting . Maka
dari itu , sistem pendidikan pun mencerminkan ketimpangan struktur masyarakat itu
sekaligus melestarikan dan memperkuatnya . Jadi lapisan atas dan menengah
masyarakat , yakni paling-paling duapuluh persen dari rakyat di negara berkembang
memiliki suatu monopoli pendidikan . Monopoli tersebut terutama dipertahankan
melalui mekanisme seleksi yang tersirat dalam sistem pendidikan sekolah dan dengan
sendirinya ( secara inheren ) cenderung untuk mendiskriminasikan dan membuang
mereka yang berasal dari lapisan bawah masyarakat . Dengan kata lain, insitusi sekolah
disusun sedemikian rupa hingga anak-anak dari lingkungan miskin hanya mempunyai
peluang sangat terbatas untuk berhasil di dalamnya . Bagaimana mekanisme tersebut
berfungsi , telah digambarkan tadi berkenan dengan proses sosiolisasi dan pendidikan
dalam kebudayaan kemiskinan .

Mekanisme institusional sistem pendidikan disoroti dengan lebih tajam lagi oleh Paulo
Freire . Menurut dia ,” kebudayaan bisu “ disebabkan dan dilestarikan oleh suatu
struktur penindasan . Penindasan itu tidak hanya dilakukan dari luar , melainkan
merangkum dan telah meresapi keseluruhan hidup rakyat kecil sampai pada akar-
akarnya . Kesadaran dan mental mereka pun telah diperbudak dan dipalsukan oleh
semboyan-semboyan dan ideologi kaum penindas . Dengan demikian , juga proses
sosialisasi dan internalisasi mereka dikuasai dan diperalatkan . Rakyat kecil seolah-olah
melihat diri sendiri dengan kaca mata kaum penindas , artinya sesuai dengan cara
penglihatan serta kepentingan-kepentingan golongan elite , yang tentu saja condong
membenarkan situasi apa adanya (status-quo ) . Sebagai legitimasi , misalnya, orang
kecil dicap sebagai tradisional, terbelakang , dan bodoh , sebagaimana tadi sudah
disinggung , sedangkan kekayaan orang gede didalihkan sebagai imbalan prestasi
mereka. Dengan demikian, rakyat tertindas tidak sanggup lagi untuk menyadari
keadaan yang sebenarnya dan oleh karena itu juga tidak dapat mengubahnya
Sehubungan dengan mekanisme sosial-psikologis yang cukup pelik itu , Freire
menyoroti secara khusus peranan sistem pendidikan . Struktur insitusional pendidikan,
menurut analisa Freire , merupakan sarana dan alat sangat strategis untuk

25
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mempertahankan dan menyebarluaskan penindasan kognitif tersebut . Hal ini nampak ,


antara lain , dalam hubungan guru-murid yang searah dan otoriter , cara mengajar yang
monologis , bahan pelajaran yang tidak menanggapi situasi rakyat tertindas , melainkan
disampaikan seperti barang –barang yang sudah jadi , dan sebagainya . Berdasarkan
analisa itu , Freire mengembangkan dan mengajukan konsepnya mengenai
konsientisasi, terutama lewat alfabetisasi . ( Muller , 1980 : 48 – 50 )

Alfabetisasi : awal penyadaran

Istilah penting yang diajukan Freire dalam Pedagogy of the Oppressed untuk
mengajukan teorinya adalah penyadaran atau yang sering kita sebut konsientisasi .
Konsistensi adalah pemahaman mengenai keadaan nyata yang sedang dialamai siswa .
Dari keadaan nyata itu dimunculkan kritik untuk mengubah . Dengan demikian ,
konsientisasi berorientasi pada perubahan sosial . Keadaan sosial yang menindas
merupakan kungkungan yang membelenggu dan mengasingkan manusia dari
kehidupan .Akan tetapi konsientisasi tidak terjadi dengan sendirinya . Disinilah
diperlukan Pendidikan Kaum Tertindas .

Sewaktu menjabat sebagai Direktur Pusat Pelayanan Budaya dari Universitas Recife ,
Freire banyak melakukan kursus pemberantasan buta huruf untuk para petani di
wilayah Brazil Utara . Namun bagi Freire , pendidikan baca tulis bukanlah sekedar
pelatihan teknis bagaimana mengartikan bunyi dari huruf-huruf mati, melainkan
sebagai penyadaran akan situasi ketertindasannya. Dengan demikian pembelajaran
baca-tulis , alafabetisasi merupakan langkah awal yang penting dalam konsientisasi
terutama bagi orang dewasa. Tindakan untuk mengerti dalam proses alfabetisasi orang
dewasa ini melibatkan mereka sebagai siswa dalam problematisasi (problem posing )
terus-menerus akan situasi eksistensi mereka. Maka dalam rangka pemberatasan buta
huruf , problematisasi ini dimasukkan dalam kursus-kursus alfabetisasi .

Secara kongkret dalam alfabetisasi , kata-kata yang dipilih untuk dipelajari pertama-
tama haruslah yang sesuai dengan penggunannya dalam lingkup mereka, yang
menyentuh kenyataan . Baru kemudian secara fonetik dipilih yang sesuai untuk
pelajaran membaca untuk baca-tulis. Dan akhirnya untuk kepentingan metodis , perlu
dipilih yang bersuku kata tiga . Jika suku-suku kata ini dipisah-pisahkan , kemudian
dikombinasikan , maka bisa diperoleh kelompok-kelompok yang bisa dipakai untuk
menyusun kata-kata baru . Para murid dapat aktif mengkombinasikan sendiri suku-suku
kata itu, menciptakan kata-kata baru dan menjelaskan sendiri artinya , seturut
pengalaman yang dmiliki dalam hidupnya . Itulah kata-kata awal yang menjadi kata-
kata kunci ( generative word ) yang dipilih oleh pendidik sebagai “ dunia kecil dari
kemampuan bahasa “ ( minimal linguistic universe ) mereka yang akan
diperkembangkan selanjutnya .

Dari sini tampak betata bahasa merupakan sarana pemberdayaan yang efektif untuk
tujuan dominasi dengan menipu dan mengelabui artinya , maupun untuk pembebasan
dengan membongkar kenyataan Kemampuan untuk membaca dan menulis tidak lain

26
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

adalah kemampuan untuk menyadari dan mengapresiasi keadaan zamannya , keadaan


lingkungannya , situasi sosio-kultural yang dihidupinya Kalau kita menggunakan istilah
yang lazim zaman sekarang dan dalam konteks baru dari Pedagogy of Hope ,
alfabetisasi menjadi usaha pemberdayaan untuk membaca , tidak saja kata-kata tetapi
juga dunia . “It is reading the world and the word ,” kata Freire berulang kali , suatu
topik yang sekarang banyak dikembangkan juga , misalnya dalam teologi Asia oleh
Aloysius Pieris.

Orang yang sudah sadar mengenai keadaan nyata dari ketertindasannya lalu bisa
bermimpi . Dengan mimpinya , ia mengidealisasikan keadaan yang baru . Ada yang
mencemoh , seolah-olah mimpi itu defektif , tidak berguna , merusak. Akan tetapi
dengan nada optimis Freire meyakini , mimpi, imajinasi, rekaan, merupakan keinginan
yang mendorong untuk perubahan tidak hanya tidak merusak , melainkan diperlukan .
Dalam ungkapan Freire .” Imajinasi dan rekaan mengenai suatu dunia yang lain dari
dunia penindasan ini, begitu perlu seperti halnya praksis dari subyek-subyek historis
( para pelaku ) dalam proses perubahan realitas . Seperti halnya rancangan dan rekaan
yang menjadi bagian tak terelakkan dari usaha manusia , itulah yang pertama-tama
dimiliki oleh para pekerja dan tukang-tukang dalam kepala mereka sebelum mereka
bekerja .”

Memang dalam hal ini harus diingat dua hal. Pertama, mimpi itu masih mungkin dalam
jangkauan pemenuhan ( the possible dream ) dan kedua , meskipun mimpi itu memang
perlu tetapi belum cukup Masih diperlukan juga perencanaan . Mimpi merupakan awal
penolakan terhadap situasi sekarang yang menindas dan tak tertanggungkan . Mimpi
merupakan penerimaan bahwa sejarah merupakan peluang yang bisa diubah dan bukan
belenggu yang membatasi . Sebab jikalau masa depan sudah ditentukan , kehidupan
hanya mengulang , tak lagi ada utopia , pendidikan tak ada gunanya . Yang ada hanya
pelatihan . Jadi diperlukan langkah-langkah perwujudan selanjutnya dari mimpi .
( Sudiardja, 2001 : 9 – 11 )

Aksi dan Refleksi

Konsientisasi harus dimengerti sebagai kesadaran diri sehingga tidak sekadar berhenti
pada refleksi saja , melainkan merembes sampai pada aksi nyata . Dari refleksi menuju
tindakan konkret inilah yang menjadi dasar gerakan pembebasan . Praktik pembebasan
dalam pengertian Paulo Freire adalah proses dialektis yang tak ada habis-habisnya ,
yaitu berputar antara aksi dan refleksi . Pembebasan kaum tertindas merupakan
panggilan dan tugas manusia pembebas yang sejati . Namun tugas ini seringkali
diputarbalikkan sehingga yang terjadi adalah ketidakadilan , eksploitasi dan kekerasan
yang dilakukan kaum penindas . Dalam situasi itu tampak dengan jelas kerinduan kaum
tertindas akan kebebasan dan keinginannya untuk merengut kembali kemanusiannya
yang telah hilang .

Pembebasan kaum tertindas tidak hanya mewarnai mereka yang kemanusiannya


dirampas , tetapi juga mereka yang merampasnya . Dalam perjuangan pembebasan

27
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kaum tertindas tidak boleh berbalik menjadi penindas . Maka perjuangan pembebasan
yang dilaksanakan oleh kaum tertindas harus merupakan perjuangan untuk
membebaskan diri dari penindasan . Inisiatif untuk pembebasan diri harus muncul dari
pihak yang tertindas . Sebab itu dari pihak penindas tidak ada kekuatan untuk
membebaskan dirinya dari tindakan menindas itu sendiri . Kalau pun penindas
bermaksud menghormati hak tertindas paling-paling hanya semacam sikap murah hati
yang palsu .

Sikap murah hati itu sebenarnya mencul dari sikap yang tidak adil . Kemurahan
semacam itu hanya akan membuat kaum tertindas mengacungkan tangan untuk
mengemis . Pembebasan sejati terjadi kalau tangan-tangan yang terangkat untuk
mengemis itu diubah menjadi tangan-tangan manusiawi yang mampu mengubah dunia.
Dan pembebasan semacam itu membutuhkan proses pendidikan bagi kaum tertindas .
Kaum tertindaslah yang mampu memahami makna penindasan yang sesungguhnya
karena merekalah yang menanggung dan mengalami beban penindasan itu . Merekalah
yang bisa lebih memahami keharusan pembebasan . Perjuangan pembebasan itu akan
menjadi suatu tindakan cinta kasih melawan kebencian dan kemurahan hati palsu yang
mewarnai kehidupan penindas .

Usaha pembebasan oleh kaum tertindas bukannya tanpa resiko . Pada tahap-tahap
pertama kaum tertindas melihat pembebasan sebagai pergantian peranan orang yang
tertindas menjadi orang yang menindas . Ini disebabkan karena kaum tertindas yang
menginternalisasi dalam dirinya gambaran kaum penindas . Persepsi mereka terbatas
pada dua gambaran saja, yaitu menindas atau tertindas . Oleh karena itu , dalam tahap
ini kaum tertindas tidak melihat adanya kemungkinan munculmya manusia baru atau
tertindas . Mereka belum melihat bahwa pembebasan ini bukanlah pembalikan peranan.

Pendidikan kaum tertindas ini harus diciptakan dalam perjuangan untuk memulihkan
kembali kemanusiannya yang telah dirampas . Lebih dari itu , harus merupakan
perjuangan bersama melawan penindasan dalam situasi di mana dunia dan manusia
berada dalam interaksi . Oleh karena perjuangan ini memerlukan praksis berupa proses
interaksi aksi-refleksi . Sebab , salah satu faktor penting dalam gerakan pembebasan
semacam ini adalah perkembangan kesadaran

Freire menyebut pendidikan tradisional sebagai model pendidikan sistem bank . Dalam
model ini guru merupakan subyek yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada
obyek (murid ) . Murid adalah wadah atau tempat deposito belaka. Dalam proses
belajar seperti ini , murid semata-mata menjadi sasaran . Jelaslah bahwa dalam sistem
bank tidak terjadi komunikasi yang sebenarnya antara guru dan murid . Praktik
pendidikan demikian ini mencerminkan masyarakat yang tertindas dan sekaligus
memperkuat stuktur –struktur yang menindas . Pendidikan akhirnya menjadi alat
dominasi yang dimanfaatkan untuk penjinakan .

Freire ingin mendobrak sistem bank itu. Sebagai alternatif menciptakan sistem baru
yang dinamakan Problem Posing Education yang memungkinkan adanya konsientisasi
Dalam sistem ini guru dan murid bersama menjadi menjadi subyek sekaligus obyek

28
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Tidak ada lagi yang memikirkan dan dpikirkan tetapi berpikir bersama-sama. Guru dan
murid harus secara serentak menjadi murid dan guru Di sini dialog merupakan unsur
penting sekali dalam proses belajar-mengajar . Unsur keterlibatan merangsang murid
untuk kritis terhadapo dirinya dan hidup ini bukan merupakan realitas yang statis ,
melainkan suatu proses “menjadi “ menuju kearah kesempurnaan . Selain itu , metode
ini juga membuka rahasia realitas yang menantang manusia untuk mencari jawaban atas
tantangan . Problem Posing Education senantiasa membuka rahasia realitas yang
menantang manusia dan kemudian menuntut jawaban terhadap tantangan itu . Jawaban
terhadap tantangan membawa manusia kepada dedikasi yang utuh . Dalam Problem
Posing Education , pengetahuan dicapai karena keterlibatan bersama.

Freire juga menekankan pentingnya unsur dialog dalam pendidikan kaum tertindas .
Inti dialog adalah ungkapan kata . Ungkatan kata harus mengandung refleksi dan aksi .
Tanpa refleksi dialog hanya akan menjadi aktivisme, sedangkan tanpa aksi hanya
terjadi verbalisme . Maka , hanya melalui praksis , yang merupakan perpaduan antara
aksi dan refkelsi , kata menjadi benar-benar hidup dan menggerakkan hati . Dialog
adalah pertemuan manusia melaui kata dengan tujuan memberi nama kepada dunia
Dialog tidak mungkin timbul di antara manusia yang menyangkal hak untuk berbicara
Dan dialog tidak mungkin terjadi di antara manusia yang dirampas haknya untuk
berkata .

Dalam menerapkan model dialog ini manusia harus mendasarkan pada kepekaan untuk
menemukan dirinya sendiri . Untuk itu dialog mengandalkan kerendahan hati , yaitu
kemauan untuk belajar dari orang lain meskipun kebudayaannya lebih rendah ,
memperlakukan orang lain sederajat , dan juga berkeyakinan bahwa orang lain dapat
memberikan sesuatu . Dialog juga menuntut kepercayaan yang besar bahwa manusia
pada hakekatnya dipanggil untuk menjadi semakin baru ( baik secara individual dan
kolektif ) . Dialog harus bersandarkan pula pada kecintaan yang mendalam terhadap
dunia dan manusia . Ini berarti keberanian terlibat bersama untuk menghasilkan
tindakan yang membebaskan .

Dialog harus berasaskan penghargaan yang berakar pada kesadaran bahwa manusia itu
makhlu k yang bertumbuh . Oleh karena itu harus mendorong manusia untuk
mencapai kepenuhan dalam kesatuan dengan orang lain . Dapat dikatakan bahwa dialog
menuntut sikap mau mendengarkan , memahami dirinya sendiri , dan memiliki sense of
humor .

Di samping itu , Freire juga menunjukkan bahwa teori pendidikan dialogis bertentangan
dengan teori pendidikan antidialogis . Tindakan dialogis selalu bersifat kooperatif . Ini
berarti ada relasi kesatuan antara guru dan murid dalam usaha memacu proses
pembebasan . Sedangkan tindakan antidialogis ditandai dengan usaha untuk menguasai
orang lain dan membuatnya menjadi tunduk , pasif, menyesuaikan diri dengan keadaan
sehingga tetap tinggal tertindas .

Lebih jauh Freire menekankan bahwa tindakan dialogis lebih membangun kesatuan
bagi pembebasan melalui perombakan struktur sosial-budaya yang menindas . Ini

29
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

hanya mungkin dengan pemahaman akan situasi total masyarakat . Tindakan


antidialogis memecah-belah dan menguasainya dengan tujuan melestarikan status quo
Tindakan dialogis mencakup pula organisasi yang otentik , sedangkan tindakan
antidialogis memanipulasi dengan menghambat masyarakat untuk berkembang dan
berpikir secara kritis . Maka tindakan dialogis mengarah pada sintesis budaya yang
dicapai dengan dialog secara terus-menerus antara pemimpin dan masyarakat , antara
guru dan murid sehingga mereka mampu menciptakan pegangan bagi tindakannya .
( Hartono, 2001 : 42 – 45 )

Paulo Freire menyebutkan bahwa tindakan antidialogis tidak boleh itdak merupakan
tindakan penindas yang mau mempertahankan statusquonya . Dengan berbagai cara ,
orang-orang tertindas dibius kesadarannya , misalnya dengan apa yang disebut sebagai
mitos ; mitos tentang masyarakat yang bebas, bahwa semua orang bebas mencari kerja
dan boleh melepaskan diri dari majikannya jika tidak berkesuaian ; mitos bahwa
pemberontakan adalah dosa melawan Tuhan , mitos bahwa kaum penindas adalah rajin,
sedang kaum tertindas adalah pemalas; mitos tentang kemurahan hati kaum elite yang
melakukan perbuatan amal dan sebagainya . Mitos-mitos ini sudah sedemikian
terinternalisir sehingga hanya dengan susah payah dapat dilihat kembali secara kritis
Untuk mencapai pembebasan , maka tidak cukuplah bahwa tiap orang secara sendiri-
sendiri bekerja melainkan bersama-sama .

Dalam aksi dialogis maka hubungan pemimpin dan anggota dalam suatu tindakan
revolusioner menurut Freire haruslah terorganisir secara teratur. Pertama-tama harus
ada kerja sama antara mereka.,kemudian persatuan dalam tindakan . Hal ini perlu untuk
melawan usaha kaum penindas yang mau memecah belah serta mengisolasikan
kesadaran orang dalam lingkupnya masing-asing dan bukannya dalam konteks yang
menyeluruh ( Sudiardja,1977 :118 )

Realita dan Emansipatoris

Pendidikan selain mengembangkan intelektualitas , ia juga harus mengembangkan


komitmen akan nilai-nilai sosial-kemanusian . Penyadaran tidak berhenti pada tataran
teoritis . Penyadaran mesti memiliki intensionalitas , yakni mengarahkan murid kepada
komitmen perubahan sosial . Dengan kata lain , ditumbuhkan dalam diri mereka suatu
kesadaran untuk berpartisipasi dalam perjuangan bersama dan bagi mereka yang
tertindas. Inilah wujud nyata dari tindakan emansipatoris . Ada pedagogi yang
mengajak murid murid untuk mengalami sentuhan dengan realitas sekitarnya , dan
mereka juga dilatih untuk melihat secara kritis realitas tersebut . Mereka mengerti
secara sungguh dan keberadaan orang lain dengan martabatnya, sekaligus mereka
menyadari martabat mereka sendiri sebagai manusia .

Ada sejumlah Sekolah Katolik yang mengadakan kegiatan Live- in . Kegiatan ini bisa
menjadi ajang belajar yang baik bagi murid untuk mengembangkan komitmen pada
transformasi sosial . Kegiatan ini merupakan konkretisasi dan aktualisasi nilai-nilai
kompetensi ( competence ), hati nurani ( conscience ) , dan kepedulian sosial

30
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

( compassion ) . Kegiatan live ini dapat juga menjadi laboratorium untuk merancang
suatu pedagogi pendidikan yang membebaskan . Siswa mengalami secara langsung
kehidupan rakyat miskin . Lalu mereka merefleksikan pengalamannya dan memikirkan
secara kritis apa makna pengalamannya itu baik untuk dirinya sendiri maupun untuk
sesamanya . Kegiatan ini sangat relevan karena dapat membantu murid semakin peduli
pada lingkungan sosialnya .

Metode yang dipakai adalah aksi-refleksi-aksi . Dengan aksi , mereka melibatkan diri di
dalam kehidupan masyarakat desa , mengikuti dinamika hidup keluarga-keluarga yang
mereka tinggali. Sedangkan dengan refleksi , mereka mencatat apa yang mengesan dan
menyentuh perasaan , apa yang mereka pikirkan , apa artinya itu semua bagi hidupnya
dan hidup sesamanya di bawah terang iman mereka.

Proses live-ini dapat dilanjutkan dengan program analisis sosial . Dengan demikian.
Sejak dini anak-anak diajak untuk memikirkan secara kritis mengapa mereka hidup
seperti itu , dan apa yang dapat mereka sumbangkan bagi kemanusian . Maka kata
solidaritas dan emansipasi tidak lagi menjadi suatu yang idealis-teoritis , tetapi singguh
konkret dan menemukan basisnya pada pengalaman .

Dengan tepat kita dapat melukiskan lembaga pendidikan yang mengembangkan nilai-
nilai kemanusian karena berpijak pada realitas konkret , bukan teori belaka . Dengan
mengagendakan dan melaksanakan live-in dalam proses pendidikan , nyatalah bahwa
sekolah dapat menyumbangkan sesuatu yang sangat berarti bagi trnsformasi sosial
Sekolah menyadarkan semuanya saja, bahwa perjuangan menegakkan keadilan sosial
adalah komitmen bersama . Entah dia kaya atau miskin , pandai atau bodoh , anak
pejabat maupun anak buruh-tani .

Pendidikan harus mengarah kepada transformasi dan pembebasan . Melalui pelajaran ,


anak didik d isadarkan tentang aspek moral kemanusian bahwa setiap orang memiliki
kewajiban untuk memperjuangkan martabat manusia , terutama yang miskin dan
menderita . Sebagaimana Paulo Freire terlibat dalam kehidupan sesamanya yang
menderita dan tertindas , anak didik harus belajar melibatkan diri dalam penderitaan
dunianya , menganalisis dan merefleksinya . Dengan itu mereka dilatih untuk berpikir
kritis setiap kali berhadapan dengan struktur-struktur penindasan .

Live-in menyebarkan benih-benih solidaritas , sistu ketergerakan hati mereka oleh belas
kasihan dan berusaha membebaskan mereka dari belenggu tersebut . Pengalaman live-
in dapat menjadi fundamen sekaligus bagian integral dari proses tranformasi dunia.
Hanya dengan aganeda pendidikan seperti itu , orang-orang muda kita dapat diharapkan
memiliki kualifikasi sebagai agen-agen transformasi sosial. Maka di satu pihak ,
pendidikan mesti memiliki basis pijakan pada realitas konkret , dan di lain pihak,
menerangi setiap tindakan anak didik untuk mengarahkan diri kepada pembebasan
Pendidikan menjadi sarana pembebasan , baik bagi anak didik maupun masyarakat
karena mengangkat martabat kemanusian dan menjadikan manusia semakin manusiwi .

31
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Secara nasional, lembaga-lembaga pendidikan ditantang untuk memikirkan lebih serius


masa depan anak bangsa supaya semakin peka terhadap suara hati nurani , peka
terhadap tanda-tanda zaman, serta peduli dan memiliki komitmen kepada masalah-
masalah sosial. Ia pendidikan harus berani melakukan reorientasi dengan cara shifting
paradigm , memasukkan nilai-nilai humanisme –sosial dan metode refleksi kritis , baik
di dalam mata pelajaran dan agenda sekolah , ko-kulikuler maupun ekstra-
kulikuler.Secara struktural , itu berarti juga melakukan reorientasi pada kurikulum serta
sikap pengajaran Konkretnya , kita dapat membentuk laboratorium penelitian maupun
action-research .

Kegiatan live-in adalah wujud konkret dari metode aksi-refleksi-aksi . Siswa belajar
tidak hanya berkutat di dalam tembok sekolah , tetapi terjun langsung ke lapangan
Pengalaman mereka menjadi bukti oentik , bahwa kehidupan bersama orang miskin
telah membuka pikiran dan hatu mereka, bahkan merombak paradigma lama mereka
tentang orang miskin dan realitas dunia sekitarnya , Mereka mengalami pembebasan
dari keterasingan terhadap dunianya , pembebasan dari ketidaktahuan, pembebasan dari
ketakutan , untuk bersentuhan dengan orang miskin , juga pembebasan dari masa depan
egoistis ( yang penting aku senang , sukses , tanpa peduli penderitaan sesamanya )

Mereka mulai kritis terhadap diri sendiri dan dunianya . Mereka pun terbebas dari
penjara hidup yang membelenggu dan meniadakan makna . Jikalau hati mereka
sungguh terpaut pada orang miskin dan menderita , apalagi nanti mereka menjadi
penentu kebijakan dan pengambil keputusan politis-strukltural , mereka menjadi kritis
dan menolak segala bentuk sistem yang menindas kaum miskin , meskipun sistem itu
menguntungkan dirinya secara individual . Pendidikan yang ideal adalah pendidikan
yang membebaskan . Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan seperti itu tentu
tidak akan menjadi penjara bagi anak-anak muda kita . ( Mintara, 2001 :34 – 39 )

Terperangkap pada masa lampau

Sampai hari ini perdebatan mengenai arti dan tempat pendidikan buat bangsa ini belum
selesai dan mungkin tidak akan selesai dan mungkin tidak selesai . Kita dihadapkan
kepada perubahan kebijaksanaan dari satu menteri ke menteri lain seolah kita sedang
dijadikan kelinci percobaan sepanjang masa. Di satu pihak ada yang berpendapat
pendidikan harus diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan pembangunan , di pihak lain
ada pula yang berpendapat harus menghasilkan manusia yang berwawasan jauh ke
depan yang bukan tukang . Ada juga yang berpendapat bahwa pendidkan itu harus
mampu memberantas buta huruf , tapi tidak dijelaskan setelah itu apa. Lalu apa juga
yang mengatakan pendidikan itu harus dikaitkan dengan pemerataan keadilan .

Semua perdebatan ini berhenti sampai di situ tanpa menjawab persoalan yang lebih
fundamental yaitu pendidikan itu berurusan dengan manusia , dengan subyek . Tidak
banyak yang secara jelas menyatakan bahwa pendidikan itu adalah salah satu hak asasi
manusia yang paling dasar , salah satu kebutuhan dasar . Kalaupun ada pernyataan
seperti itu , namun pernyataan itu tidak begitu mantap untuk meyakinkan kita bahwa

32
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kita tengah bicara mengenai hak-hak asasi manusia . Kita seperti terperangkap dalam
polemik teknis mengenai bentuk dan output pendidikan itu dalam jangka pendek .

Terperangkapnya kita sebetulnya adalah karena kita belum berhasil melepaskan diri
kita dari sejarah pendidikan kita masa lalu . Perdebatan kita sekarang adalah
pengulangan perdebatan yang terjadi di akhir tahun 1800-an dan awal tahun 1900-an
Pada waktu itu pendidikan diadakan sebagai upaya melestarikan status quo ,
menjadikan pendidikan sebagai tempat latihan bagi anak orang ningrat untuk kemudian
menjadi kepanjangan tangan dari kekuasaan kolonial Belanda . Kita waktu itu begitu
senang karena pemerintah kolonial merasa bersalah setelah mengeruk kekayaan alam
kita tanpa memberi imbalan , lalu memberikan pendidikan sebagai balas budi . Ini yang
kita kenal dalam sejarah sebagai Politik Etis . Akan tetapi tidak banyak di antara kita
yang sadar bahwa Politik Etis itu hanyalah bentuk lain dari upaya pemerintah kolonial
untuk melestarikan posisinya sebagai penguasa . Karena itu pula kalau pemerintah
kolonial bicara tentang pendidikan sebetulnya dia bicara tentang the upper class yang
akan jadi partner pribumi dari pemerintah kolonial . Pendidikan untuk the middle class
hanya terbtas sekali , sementara pendidikan untuk the lower class hampir tidak ada .

Pikiran orang Belanda itu pada dasarnya adalah pikiran yang anti pendidikan karena
sebetulnya mereka telah menumbuhkan penjara yaitu penjara untuk menjadi pelayan
politik kolonial Belanda yang jelas repressive dan ingin tetap pada staus quo . Ada dua
alasan pokok untuk membenarkan pendapat ini. Pertama, yang mengenyam pendidikan
terbatas pada the upper class yang memang secara lahiriah bersifa repressive terhadap
mereka yang berasal dari lapisan menengah dan lapisan bawah . Kedua, karena mata
pelajaran yang diberikan memang mata pelajaran yang pada dasarnya diciptakan untuk
menjadi pelayan pemerintah kolonial ( ambtenaar ) .

Kenyatan diatas menggiring kita kepada kesimpulan bahwa pendidikan itu pada
dasarnya repressive , dan juga discriminative . Dan itu pun masih membekas cukup
dalam di dunia pendidikan kita hari ini . Kalau kita menyaksikan berapa banyak orang
yang bisa menikmati pendidikan sekarang maka kesimpulan bahwa pendidikan itu
discriminative adalah kesimpulan yang wajar . Juga kalau kita lihat kurikulum yang
terdapat pada sekolah-sekolah kita terutama pada pendidikan tinggi kita maka sukar
buat kita untuk menghindar bahwa kita memang tengah dipaksa untuk berpihak
menjadi bagian dari the upper class yang cinta pada status quo .

Pendidikan kita kiranya bukanlah pendidikan yang (seharusnya ) liberal , tetapi justriu
suatu pendidikan yang anti liberal . Pendidikan kita justru cenderung memperkuat
sistem yang ada yang notabene tidak memihak kepada mayoritas rakyat miskin yang
berada di struktur bawah . Kenyataan seperti inilah yang membuat Ivan Illich menulis
kritik tajam atas dunia pendidikan di negara-negara berkembang yang menurutnya tidak
akan membawa perubahan apa-apa , keadaan akan tetap seperti sekarang , malah
mungkin lebih parah .

Kritik Ivan Illich adalah kritik terhadap kita bahwa kita harus mempertanyakan kembali
pendidikan itu untuk siapa . Suatu perumusan yang tegas dengan sikap berpihak yang

33
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pasti adalah mutlak , sebab tanpa out maka sulit buat kita untuk berdebat panjang
tentang pendidikan . Pendidikan itu bukan saja harus fungsional membuka mata telinga
kita akan kemiskinan dan ketidakadilan tetapi justru harus mampu mengurangi
kemiskinan dan memperkecil ketidakadilan . Sikap seperti ini harus kita miliki , sebab
jika kita tetap menganggap pendidikan sebagai paspor yang melekatkan kita ke struktur
atas maka kita secara amat sadar tengah melestarikan adanya jurang ketidakadilan
antara the upperclass dengan the middle class and the lower class. Dalam situasi seperti
ini sesungguhnya kita tengah meletakkan bom-bom waktu yang cepat atau lambat akan
meledak dan memakan banyak korban . ( Lubis, 1980 : 16 – 18 )

Penutup

Tidak dapat disangkal bahwa pendidikan memuat pesan politik . . Pendidikan sejati
tidak bisa bersikap netral . Bahkan pendidikan dapat digolongan dalam tindakan
subversive , dalam arti akan selalu memberikan alternatif-alternatif yang belum lazim
melalui kritik-kritiknya. Seperti dikatakan Neil Postman dalam Teaching as a
Subversive Activity , dewasa ini banyak orang yang suka mengeritik persekolahan.
Yang satu menganggap kurikulumnya kurang relevan , yang lain merasa sekolah
mengasingkan anak didik dari kenyataan , yang lain lagi mengajarkan hal-hal yang
sudah ketinggalan zaman , kurang memperkembangkan intelgensi , terlalu didasarkan
pada rasa takut , menghambat kreatifitas anak, dan sebagainya . Akan tetapi dalam
segalanya ini , persoalan sebetulnya sederhana saja. Sekolah menjadi seperti ini itu
karena kita menghendakinya demikian . Jikalau hal; itu tidak berjalan dengan baik , tak
ada cara lain kecuali mengubahnya . Sekolah harus diubah . Beranikah kita
mengubahnya ? Tidakkah orang lebih suka mempertahankannya begitu ? Dalam hal ini
tampaklah relevansi Pedagogy of the Oppresed yang mempertanyakan status quo , juga
dalam soal pendidikan sendiri dan mengajarkan pembebasan. Akan tetapi mengubah
masyarakat merupakan problem tersendiri . Dalam Pedagogy of Oppressed
dikemukakan bahwa perubahan itu haruslah dilakukan bersama secara dialogal,
melibatkan semua pihak yang berkepentingan . ( Sudiardja, 2002 : 11 )

Sehubungan dengan sistem pendidikan sendiri , mau tak mau timbul pertanyaan apakah
tidak lebih baik menghapus saja seluruh bentuk kelembagaan sekolah, Ivan Illich dan
Everret Raimer, misalnya mengemukakan usul yang radikal itu . Meskipun analisa dan
gagasan-gagasan mereka sangat bermanfaat untuk membuka mata bagi berbagai
keganjilan dalam sistem sekolah , namun usul tersebut kiranya kurang realistis
Lagipula , sebenarnya hanya menggeserkan masalahnya, yang menganjurkan suatu “
jaringan belajar “ (learning webs ) . Sebab sistem itu pun , kalau sudah mulai meluas
untuk umum , akan merupakan suatu bentuk institusional dan dengan demikian sama
saja mengandung bahaya diskriminasi . Kiranya lebih tepat dan realistis jalan yang
ditempuh Freire . Ia pun mempunyai keberatan besar terhadap sistem sekolah dan
menuntut perubahan fundamental di bidang pendidikan . Namun , alternatif yang ia
kembangkan yaitu konsep “konsientisasi “, sungguhpun pertama-tama ditujukan pada
usaha pemberantasan buta huruf , juga bisa diterapkan pada pendidikan sekolah , paling
tidak menurut banyak seginya . Dengan demikian , lembaga sekolah boleh diharapkan

34
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

berubah sehingga betul-betul mulai melayani kebutuhan dan kepentingan rakyat yang
tertindas .

Lepas dari kritik yang barangkali bisa diajukan terhadap pendekatan Freire , paling
tidak satu hal menjadi jelas dalam hubungan ini. Tidak ada pilihan lain daripada
menjalankan pendidikan dalam salah satu bentuk institusional . Kiranya bahkan tidak
ada alternatif terhadap insitusi sekolah dalam salah satu bentuk . Masalah yang
sebenarnya ialah membentuk suatu sistem pendidikan yang secara insitusional
menunjang pemberantasan kemiskinan dan pemerataan masyarakat . Sudah barang
tentu , tuntutan dan ukuran ini mengandaikan reform mendalam dari sistem pendidikan
sekarang ini . Namun, kalau reform tersebut berhasil , maka akan mempunyai dampak
sangat positif atas semua bidang hidup dan kerja Sebab pembaharuan masyarakat
akhirnya hanya bisa diadakan lewat banyak reform struktural-insitusional semacam itu
(Muller, 1980 : 50 – 51 )

Konsitusi NKRI menegaskan bahwa pendidikan nasional harus diselenggarakan demi


mencerdaskan kehidupan bangsa serta rakyat memperoleh kesempatan belajar yang
merata , namun kondisi membuktikan bahwa apa yang terjadi masih jauh dari amanat
tersebut Sekarang pendidikan telah merosot menjadi komoditi . Dan akibatnya , berlaku
elitisasi pendidikan di mana jumlah rakyat yang mampu menikmati pendidikan tinggi
semakin kecil . Sebagian rakyat Indonesia yang miskin hanya menikmati pendidikan
dasar dan sebagian lainnya halnya hanya sampai pendidikan menengah . Bagi mereka
ini, pendidikan adalah jalan untuk menerobos lingkaran kemiskinan , dan kebanyakan
ditempuh untuk mencari pekerjaan . Sejumlah besar dari mereka yang berpendidikan
rendah menjadi buruh pabrik di kota-kota dan tinggal dalam lingkungan kumuh dan
miskin.

Di lain pihak , pendidikan dibuat mengabdi pada kepentingan pragmatis Sangat sering
pembangunan mengabaikan aspek pendidikan sebagai human capital investment . Di
sekolah-sekolah kita , diajarkan paket-paket pengetahuan yang serba praktis dan
berguna bagi dunia kapitalisme industrial . Paket-paket ini dikemas ulang,
direproduksi , dan dijual di mana-mana ..Situasi ini menjadi lebih rumit ketika secara
ekonomi Indonesia semakin terintegrasi ke dalam sistem ekonomi dunia . . Ciri
ekonomi kapitalistik muncul semakin kuat dalam struktur sosial politik kita .
( Murtiningsih, 004 : 118 – 119 )

Pendidikan menghadapi tugas ganda .Pertama, tugas langsung pendidikan ialah


mengatasi penderitaan yang timbul dari keterbatasan pengetahuan , pengertian,
ketrampilan , kesadaran , kesanggupan mengungkapkan diri dan lain sebagainya, yang
menghalangi perwujudan diri dan partisipasi aktif manusia dan dengan demikian
memungkinkan manipulasi dan pembudakkannya . Kedua , tugas struktural pendidikan
ialah melibatkan dan meliputi sebanyak mungkin orang . Dengan demikian secara tidak
langsung diletakkan dasar kuat bagi pembangunan di segala bidang , yang sangat
tergantung dari sikap dan kemampuan mereka itu yang akhirnya harus mengemban
berban pembangunan .

35
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Perlu disadari bahwa ada kaitan yang sangat erat antara sistem pendidikan di satu pihak
dan struktur sosio-ekonomi politik di pihak lain . Sistem pendidikan selalu
memantulkan dan sekaligus melestarikan dan memperkuat struktur masyarakat yang
ada . Dalam masyarakat yang tidak merata , segelintir orang lapisan atas yang
memegang hampir segala kuasa politis dan sosio-ekonomis , mempunyai semacam
monopoli pendidikan pula. Lewat proses dan mekanisme seleksi di persekolahan
hampir melulu anak merekalah yang bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi
Dengan demikian kedudukan dan kuasa mereka lebih dominan lagi. Jadi semacam
lingkaran setan yang pemecahannya sangat penting dan mendesak .

Jelas bahwa sangat banyak warganegara republik ini yang belum terjangkau oleh
tangan-tangan pendidikian yang membuka mata mereka atas ketidakadilan yang terjadi
di sekitar mereka. Ketidakadilan dalam pendidikan adalah suatu problema sosial yang
sungguh-sungguh yang menuntut pemecahan yang padu dan jangka panjang , bukan
sekedar penyelesaian tambal sulam . Akan tetapi dibalik soal perluasan kesempatan
pendidikan maka pertanyaan pokok yang mesti diajukan adalah “ untuk apa pendidikan
kita ?.” Jawabannya pendidikan seharusnya membuat agar manusia itu bisa mengenal
dirinya , bahwa dia adalah manusia (subyek) , bukan obyek . Pendidikan harus
membuat orang sadar bahwa dia ada, exist , dan dia turut menentukan masa depannya
bersama orang lain Pendidikan itu harus membuat kehidupan kita lebih manusiawi ,
lebih adil dan lebih padu Keberpihakan pendidikan pada the upper class seperti yang
terjadi sekarang jelas tidak manusiwi dan lebih dari itu suatu kejahatan . Kita harus
keluar dari kejahatan itu .

36
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Bibliografi

Collins, Denis.1999 Paulo Freire Kehidupan , Karya & Pemikirannya .Yogyakarta


:Pustaka Pelajar

Driyarkara . 1980 . Driyarkara tentang Pendidikan .Yogyakarta :Kanisius .

Freire, Paulo. 1984 . Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan .Jakarta : PT Gramedia.

Freire ,Paulo. 1985 . Pendidikan Kaum Tertindas .Jakarta : LP3ES .

Freire ,Paulo dan Antonio Faundez .1995 Belajar Bertanya Pendidikan Yang
Membebaskan .Jakarta PT BPK Gunung Mulia.

Hartono, TB Gandhi ,” Alternatif Pemerdekaan Masyarakat Papua ,” Basis , No. 01 –


02, Tahun ke-50, Januari – Februari 2001, Hlm. 40 – 49 .

Henriot ,Joe Holland Peter .1986 . Analisis Sosial & Refleksi Teologis . Kaitan Iman
dan Keadilan .

Heryanto, Ariel .” Industrialisasi Pendidikan ,” Basis No. 07 – 09 , Tahun ke-49, Juli–


Agustus 2000 Hlm. 88 – 100 .

Mardiatmadja, BS .1986 Tantangan Dunia Pendidikan . Yogyakarta : Kanisius

Nugroho, Heru (ed) 2002 . Mc Donalidisasi Pendidikan Tinggi . Yogyakarta :


Kanisius .
Ilich, Ivan .1982 . Bebas dari Sekolah . Jakarta : Sinar Harapan .

Kuroyanagi , Tetsuko. 1985 . Totto-Chan . Si Gadis di Tepi Jendela . Jakarta : PT


Pantja Siompati.

Lubis, T Mulya ,” Pendidikan Untuk Apa,” Prisma, No. 7 , Tahun VIII , Juli VIII, Hlm.
16 – 22 . .

Medawar , PB..1980 Nasihat Untuk Ilmuwan Muda . Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
.
Mintara , Agustinus ,” Sekolah atau Penjara ’ Basis , No 01 – 02 . Tahun ke-50,
Januari-Februari 2001, Hlm. 30 – 39

Muller , Johanes .” Pendidikan untuk Apa dan Siapa ? Pengintegrasian Pendidikan dan
Pembangunan Masyarakat di Indonesia,” Prisma, Tahun VIII, No.11, 1979,
Hlm. 70 – 80.

37
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Muller,Johannes .”Pendidikan Sebagai Jalan Pembebasan Manusia dari Cengkramanan


Kemelaratan ? Prisma , Tahun VII, No 7 , Juli 1980, Hlm. 42 – 52 .

Murtiningsih , Siti .2004 . Pendidikan Alat Perlawanan . Teori Pendidikan Radikal


Paulo Freire . Yogyakarta : Resist Book .

O’Neil , William F. 2001 . Idelogi-Ideologi Pendidikan . Yogyakarta : Pustaka Pelajar .

Priyono, B Herry .” Antara Uang dan Pendidikan ,” Basis , No 07 – 08 , Tahun ke-51,


Juli-Agustus , Hlm/ 46 – 51 .

Reimer , Everett . 2000. Matinya Sekolah . Yogyakarta : Hadininta .

Shils , Edward . 1993 . Etika Akademis . Jakarta : Yayasan Obor Indonesia .

Sindhunata , “ Awas Pedagogi Hitam “ , Basis , No 01–02 Tahun 50, Januari–Februari


2001,Hlm. 2

Steenbrink, Karel A. 1986 .Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam


Kurun Modern. Jakarta : LP3ES .

Sudiardja, Anton. “ Filsafat Pendidikan Paulo Freire ,” dalam Redaksi Seri Diyarkara 4
Sebuah Bunga Rampai. Dari Sudut-Sudut Filsafat . Yogyakarta : Kanisius ,
1977 Hlm. 106 – 118.

Sudiardja, A.” Pendidikan Paulo Freire . Pendidikan Radikal tapi Dialogal ,” Basis ,
No.01-02 Tahun 50 , Januari-Februari 2001, Hlm. 4-13 .

Sudiardja,A “ Pendidikan untuk Siapa “, Basis , No. 07-08 , Tahun ke -51, Juli-Agustus
2002, Hlm. 5 – 9 .

Suseno, Franz Magnis .1999 . Berfilsafat Dari Konteks. Jakarta ; PT Gramedia Pustaka
Utama

Suyanto ,” Pendidikan untuk Kelompok Tertinggal ,” Basis , No. 05 – 06 , Tahun ke-53


, Mei-Juni 2004. Hlm. 54 – 59 .

Tjaya , Thomas Hidya .2004 . Humanisme dan Skolastisisme . Sebuah Debat .


Yogyakarta : Kanissius

Van Niel, Robert . 1984 . Munculnya Elit Modern Indonesia . Jakarta : Pustaka Jaya .

Wlodkowski, Eaymond J dan Judith H Jaynes .2004 . Motivasi Belajar . Depok :


Cerdas Pustaka
38
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai