Anda di halaman 1dari 20

A.

PENDAHULUAN Masyarakat madani (civil society) sudah sejak awal tahun 1990an menjadi perbincangan dikalangan para ilmuwan politik di Indonesia. Di tengah situasi pemerintah otoriter yang didukung oleh suatu birokrasi yang intervinsionis, maka pengembangan suatu masyarakat yang mandiri dan bebas dari intervensi pemerintah dilihat suatu keniscayaan. Di samping kemandirian, konsep masyarakat madani, sebagaimana dijelaskan dalam banyak literatur yang ada, juga mencirikan dirinya dengan pluralisme, di mana berbagai kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda bisa bekerja sama dan hidup bersama secara damai. Masyarakat madani juga tunduk pada hukum dan menempatkan anggotanya dalam kedudukan sama di muka hukum. Dengan melihat ciri-ciri masyarakat madani itu maka banyak pihak melihat masyarakat madani bisa menjadi wahana yang potensial untuk mengembangkan masyarakat yang demokratis. Keberhasilan masyarakat madani dalam menumbangkan rezim otoriter di Eropa Timur, ikut memperkuat keinginan menjadikan masyarakat madani sebagai pilihan jalan keluar untuk menuju masyarakat yang demokratis1. Meskipun konsep masyarakat madani telah lama dikenal, namun baru pertengahan 1990, ketika pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Tenggara sedang maju dengan pesatnya, perbincangan tentang masyarakat madani (civil society) mulai muncul dalam berbagai kalangan masyarakat. Perbincangan ini tumbuh ke permukaan antara lain, karena negara-negara yang sedang mengalami kemajuan ekonomi itu, relatif tidak tercipta peluang yang berarti bagi tumbuhnya peranan publik dalam masyarakat. Dalam praktik kehidupan, cengkeraman kekuasaan negara begitu kuatnya mewarnai dinamika kehidupan publik. Negara dengan kekuasaan yang hampir tidak terbatas itu mempunyai kekuatan untuk memperlakukan masyarakat menurut kemauannya. Karena itu, ada semacam keinginan yang kuat di tengah masyarakat, terutama kaum cendekiawan dan akademis, untuk mewujudkan semacam suatu masyarakat di mana kedudukan negara dan masyarakat berada dalam status berimbang. Konsep tentang masyarakat seperti yang diiimpikan itu disebut dengan istilah civil society atau masyarakat madani. Anwar Ibrahim mengatakan bahwa dalam masyarakat madani itu hadir prinsip-prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individual dan kestabilan masyarakat. Hadir pula dorongan, upaya dan inisiatif individu dalam bidang pemikiran, seni, ekonomi, dan teknologi, dan pelaksanaan pemerintah yang mengikuti undang-undang dan hukum yang berlaku dengan baik. Selain itu, kemandirian individu, keluarga, lembaga-lembaga sosial lainnya seperti media masa, betul-betul dihargai tanpa ada pengaruh langsung dari negara atau pemerintah. Masyarakat dapat mengembangkan sumberdayanya tanpa harus dikontrol oleh negara secara ketat, dan keadilan sosial berjalan sebagaimana semestinya. Alasan dari pengambilan topik ini tidak lepas dari suatu demokrasi yang menjadi harapan
1 Taufik Abdullah, Indra Samago Membangun Masyarakat Madani (progam pasca sarjana Universitas Muhammadiyah Malang) Yogyakarta hal 10

seluruh bangsa dan masyarakat yang ada di dalamnya. Gagasan perlunya civil society, adalah mengandaikan semua elemen masyarakat memiliki kekuasaan sendiri yang otonom, namun secara akumulatif bisa meredam terjadinya proleferasi kekuasaana alamiah (natural society) di satu pihak dan mengimbangi kekuasaan negara yang cenderung menguat di pihak lain. Dari pendahuluan dan alasan di atas timbul suatu rumusan masalah fundamental yang terkait dengan topik MASYARAKAT MADANI 1. Bagaimana masyarakat madani itu tercipta dan seperti apa karakter masyarakat madani itu, yang mana telah menjadi cita-cita dari kalangan masyarakat belahan dunia? 2. Lalu sejak kapan awal sejarah konsep masyarakat madani itu sendiri tercipta? Adapun alasan mengambil alasan mengambil topik MASYARAKAT MADANI karena topik ini mampu membangun masyarakat yang demokratis serta beradab dalam mengarungi kehidupan yang terkadang tidak seimbang. Gagasan perlunya masyarakat madani, adalah mengandaikan semua elemen masyarakat memiliki kekuasaan sendiri yang otonom, namun secara akumulatif bisa meredam terjadinya proleferasi kekuasaan alamiah (natural society) di satu pihak dan mengimbangi kekuasaan negara yang cenderung menguat di pihak lain. Cita-cita membangun masyarakat madani sebenarnya sudah tercetus dalam sejarah yang sudah berumur ribuan tahun lamanya, oleh karena itu kita sebagai umat muslim wajib menjunjung tinggi idealogi dalam bersosialisasi baik di bidang politik, hukum, maupun ekonomi dengan begitu suatu negara akan menjadi sebuah taman surga buat masyarakatnya. B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Masyarakat Madani Terlebih dahulu kita mengenal istilah masyarakat madani itu sendiri. Istilah masyarakat madani sebenarnya hanya salah satu di antara beberapa istilah lain yang seringkali digunakan orang dalam penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia, padanan kata civil society. Disamping masyarakat madani, padanan kata lainnya yang sering digunakan adalah masyarakat warga atau masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat beradab, atau masyrakat berbudaya. Istilah civil society yang identik dengan masyarakat berbudaya (civilized society). Lawannya, adalah masyarakat liar (savage society). Pemahaman yang melatari ini sekedar mudahnya, agar orang menarik perbandingan di mana kata yang pertama merujuk pada masyarakat yang saling menghargai nilai-nilai-sosial-kemanusiaan (termasuk dalam kehidupan politik), sedangkan kata yang kedua jika dapat diberikan penjelasan menurut pemikiran Thomas Hobbes, bermakna identik dengan gambaran masyarakat tahap keadaan alami (state of nature) yang tanpa hukum sebelum lahirnya negara di mana setiap manusia merupakan serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Eksistensi civil society sebagai sebuah abstraksi sosial diperhadapkan secara kontradiktif dengan masyarakat alami ( natural society)2.
2 Adi Suryadi Culla Masyarakat Madani pemikiran, teori, dan relevansinya dengan cita-cita reformasi (PT Raja Grafindo Persada) Jakarta hal 3

Mendekati pengertian masyarakat madani, terjemahan lain yang juga sering digunakan adalah masyarakat madani. Dibanding istilah lainnya ini yang paling populer dan banyak digandrungi di Indonesia. Tak pelak bahwa kata madani merujuk pada Madinah, sebuah kota yang sebelumnya bernama Yastrib di wilayah Arab, di mana masyarakat Islam di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di masa lalu pernah membangun peradaban tinggi. Menurut Nurcholish Madjid, kata madinah berasal dari bahasa Arab madaniyah, yang berarti peradaban. Karena itu, masyarakat madani berasosiasi masyarakat peradaban. Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba ayat 15: Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun. Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-maruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi khairu ummah karena mereka menjalankan amar maruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar maruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh Al Quran. Adapun cara pelaksanaan amar maruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang tercermin dalam Al Quran. Dalam rangka membangun masyarakat madani modern, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.

Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja. Konsep masyarakat madani adalah sebuah gagasan yang menggambarkan masyarakat beradab yang mengacu pada nila-inilai kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif bagi peneiptaan tatanan demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Konsep masyarakat madani merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep civil society. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern. Makna Civil Society Masyarakat sipil adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata societies civilis dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja3. Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi Islami. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya. Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah. Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara
3 Google, Madani dan Kesejahteraan Umat 15-01-2010 jam 15.00

historis kita lebih mudah secara langsung me-refer kepada masyarakatnya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung muatanmuatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku. Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan syariat agama di bawah suatu perlindungan hukum. Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market. Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. 2. Sejarah Awal Konsep Masyarakat Madani Seperti diketahui bahwa sejarah konsep masyarakat madani adalah bersumber dari tradisi pemikiran barat, di mana konsep ini pertama kali lahir dapat dilacak akarnya sejak zaman Yunani kuno. Cohen dan Arato mengungkapkan bahwa versi awal konsep ini sebenarnya dari Aristoteles, ketika sang filosofi Yunani ini mengungkap istilah politike koinonia, dalam bahasa Latin sociates civilis, yang berarti masyarakat politik/komunitas politik (political society/community), yang merujuk pada polis, dan dipahami sebagai tujuan atau kodrat manusia sebagai makhluk politik atau

zoom politikon4. Istilah politike koinonia dari Aristoteles itu digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politik dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dianggap sebagai etos, yaitu seperangkat norma dan nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan prosedur politik tetapi juga sebagai substansi dasar kebijakan (virtue) dari berbagai bentuk interaksi di antara warga komunitas. Melalui konsep Aristoteles tersebut, belum ada perbuatan antara apa yang dikenal di dalam pemikiran politik modern sebagai state dan society. Meskipun Aristoteles juga menyadari adanya dualitas polis-oiskos, tetapi oikos yang merujuk pada keluarga atau rumah tangga (bousebold) itu hanya dianggap sebagai background atau kategori residual dan polis. Semenatara koinonia yang tegak di atas oikos tidak hanya mencakup keluarga, tapi juga bentuk-bentuk asosiasi secara umum seperti pengelempokan kekerabatan, pekerjaan, status, jabatan, yang dapat dianggap sebagai representasi sistem sosial atau sistem politik keseluruhan. Oikos tidak dianggap sebagai bagian sistem resmi atau lembaga polis, tetapi hanya merupakan wadah komunitas dan interaksi masyarakat yang secara teoritis melalui pemimpin masing-masing dalam berhubungan dengan polis. Demikian pula hubungan ekonomi yang berlangsung di arena iokus pun hanya dianggap pelengkap, bukan sebagai kunci utama perkemabangan polis maupun oikos sendiri. Meskipun demikian, Cohen dan Arato melihat bahwa dari gambaran konsep politike koinonia itu, pemikir Yunani klasik tersebut sebenarnya sudah menunjukkan adanya dua entitas yang berbeda, yaitu(1) community of societies yang bersifat homogen dalam arti kesatuan kolektif yang terorganisasi sebagai warga negara (polis) dengan tujuan tunggal sebagai derivasi dari oikos di satu pihak, dan (2) society di lain pihak yang meliputi bentuk-bentuk interaksi yang besifat pluralistik berupa kelompok atau asosiasi tidak resmi lainnya. Dalam perkembangannya, konsep Aristotelian itu mempengaruhi tradisi pemikira Romawi kuno, meskipun tidak mengalami pembaharuan penting, tetapi sempat dikembangkan secara kuat terutama oleh Cicero yang melalui pemikirannya pertama kali memunculkan istilah societas civilis. Berlanjut ke abad pertengahan konsep tersebut dikembangkan antara lain oleh Thomas Aquinas, di mana Aquinas terutama memahaminya dalam makna yang merujuk pada konsep negara-kota (citystate). Berikutnya, konsep ini terus berkembang dan dipadukan dengan masalah kekuasaan (sovereign) untuk menggambarkan kerajaan, kota, dan betuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi, dan di antaranya melahirkan konsep Aquinas yang terkenal mengenai societas civilis res republica. Selanjutnya melalui pemikiran Otto Brunner, konsep ini digambarkan sebagai sesuatu yang merujuk pada dualisme, bukan antara state dan society, tetapi antara raja di satu pihak dan rakyat atau bangsa di lain pihak di mana yang terakhir identik dengan wilayah privat. Sebagiamana
4 Jean L. Cohen and Andrew Arato, Civil Society and Political Theory (Massachusets: MIT Press, 1992) hal 1

disinyalir oleh Marx ratusan tahun kemudian, dalam sejarah perkemabangan foedalisme apa yang disebut wilayah privat itu bermakna tanah atau tuan tanah. Demikianlah, konsep ini kemudian digunakan pada tahap berikutnya setelah lahirnya pemikiran awal mengenai negara modern (commonwealth) yang diidentikkan sebagai masyarakat madani atau civil society, dimulai dari Thomas Hobbes (1588-1679). dalam karyanya Leviatban (1651), lebih kurang Hobbes memahami civil/political society sebagai ide normatif mengenai kebebasan dan persamaan warga negara sebagi kesatuan politik. Tetapi, bukan masyarakat yang menciptakan negara, tetapi melalui kontrak sosial kehadiran masyarakat disatukan dibawah kesatuan negara5. Ide serupa berlanjut ke John Locke dengan suatu perbedaan mendasar di mana oleh Locke mulai dibuat perbedaan antara pemerintah (geverment) dan masyarakat (society), meskipun kedua hal tersebut masih tetap dipersepsikan sebagai wujud (body) politik negara yang lahir dari kontrak sosial. Dekat dari konsep ini juga adalah pemikiran Montesquieu memandang masyarakat dan pemerintah sebagai dua entitas yang berbeda, dengan mengacu pada adanya dua bentuk hukum (1) civil law yang mengatur hubungan antara memerintah dengan yang diperintah dan (2) public/political law yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat. Pada titik ini, melalui Locke dan Montesquieu, konsep masyarakat madani mulai menjadi bagian diskursus pemikiran politik modern. Di samping negara, eksistensi masyarakat sebagai entitas tersendiri pun mulai dipandang sebagai locus penting, lewat pemikir Amerika, Thomas Paine (1737-1809) dalam karyanya Common sense (akal sehat), yang terbit pada tahun 1776, masyarakat yang dianggap sebagai kumpulan individu dianggap memiliki hak-hak alami yang tidak dapat dicabut siapapun termasuk oleh negara, sementara negara sendiri dianggap ada karena legitimasi masyarakat. Meskipun demikian, apa yang diistilahkan sebagai masyarakat politik (political society) dan emasyarakat madani (civil society) masih cenderung diindentikkan dengan negara (state) an sich. Tetapi, oleh pemikir-pemikir pencerahan Scotlandia seperti Ferguson, Hume dan Adam Smith, suatu perkembangan penting perlu dicatat sebab dari pemikiran mereka konsep masyarakat madani yang diidentikkan dengan masyarakat beradab (civilized society) tidak lagi berasosiasi sebagai body politik (political society) melainkan organisasi material (economic society), yang mengingatkan kembali pada pemikiran Aristoteles di mana ekonomi dianggap faktor ekskluisiner dan politike koinonia. Sedangkan di Jerman melalui Kant, Fichte, dan Hegel, konsep ini mulai mendapatkan pemaknaan yang lebih jelas sebagai suatu kesatuan yang terpisah dari negara. Kant memandang masyarakat madani sebagai tujuan (telos) umat manusia yang hidup berdasarkan hukum, dan menolak menyatukannya sebagai bagian dari negara kekuasaan lembaga absolut. Juga Fichte sudah melihat terpisah hubungan antara negara dan masyarakat di satu pihak, dan hubungan antara individu berdasarkan universalitas di lain pihak. Tetapi, berbeda dengan Kant dan Fichte, melalui
5 Ibid Adi Suryadi Culla, hal 48

pemikiran Hegel secara tegas mulai dirumuskan konsep masyarakat madani dan negara tidak hanya sebagai dua entitas berlawanan. Hegel dengan jelas melihat negara (masyarakat politik) dan masyarakat madani sebagai dua entitas berbeda, tetapi dia memadukan kedua entitas tersebut dalam sebuah formulasi pemikiran politik baru (sintesa), di mana masyarakat madani diintegrasikan ke dalam negara sebagai domain yang harus menyesuaikan perilakunya dengan kepentingan negara. Dari pemikiran Hegel itulah, konsep masyarakat madani modern mencapai perkembangannya yang sangat penting, dan dari Hegel ini pula konsep masyarakat madani terutama banyak mengambil inspirasi bagi pemikirannya yang muncul kemudian hingga abad ini. Colen dan Arato mengemukakan bahwa melalui Hegel berbagai pemikiran yang pernah lahir sebelumnya, memperoleh sintesa baru. Pertama, eksistensi masyarakat madani dan masyarakat politik secara jelas sudah dirumuskan sebagai entitas yang berbeda-namun yang terakhir oleh Hegel diletakkan pada posisi superior. Kedua, dalam konsep Hegel mengenai sejarah mencakup pula keluarga sebagai salah satu entitas yang disebutkan sebagai awal sejarah, lalu masyarakat madani sebagai tahap kedua, dan negara sebagai momentum sejarah yang terakhir. Ketiga, apa yang disebut sebagai masyarakat madani bagi Hegel merupakan entitas yang merujuk pada masyarakat ekonomi (economic society), yaitu bourgeouis geselschaft, semenatara negara dipandang sebagai masyarakat politik (political society)6. Dengan menggunakan sumber Hegel, konsep masyarakat madani diangkat kembali oleh Marx dalam pengertian yang sama sebagai bourgeouis geselschaft atau masyarakat borjuasi, yang berarti sebagai domain ekonomi. Tetapi berbeda dengan Hegel, oleh Marx, eksistensi negara dan masyarakat politik (political society) kehilangan makna positifnya karena Marx melihat kedudukan dan peran negara tidak lebih hanya sebagai alat kepentingan bourgeouis geselschaft. Akhirnya melalui Gramsci, konsep ini mencapai perkembangannya kembali yang cukup penting. Berbeda dengan Marx dan Hegel, Gramsci melihat masyarakat madani tidak dalam domain ekonomi namun dalam domain politik dan kultural. Hal ini dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan konsep kunci Gramsci yang lain, yakni tentang hegemoni negara untuk mendominasi dan mempengaruhi kesadaran masyarakat. Demikianlah, konsep Gramsci ini kemudian berkembang khususnya di kalangan pemikir sosialis generasi berikutnya terutama di Italia seperti Louis Althuser, Perry Anderson, dan Norberto Babio, dan bahkan berpengaruh secara umum sebagai salah satu teori kritis yang memberi inspirasi gerakan demokrasi tidak terkecuali di Barat. 3. Perwujudan Masyarakat Madani Nur Cholish Madjid menjelaskan, bahwa istilah masyarakat madani sebenarnya merujuk pada masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi di negeri Madinah. Perkataan Madani,
6 Jean L. Cohen and Andrew Arato, civil society and plitical society (Massachusets: MIT Press, 1992) hal 3

menurutnya, dalam bahasa Arab dapat dipahami dari dua sudut pengertian: pertama, secara konvensioanal kata Madinah dapat bermakna sebagai kota, dan kedua, secara kebahasaan dapat berarti peradaban, meskipun di luar kata madaniyah tersebut, apa yang disebut peradaban juga berpadan dengan katatamaddan dan badlarab7. Sebelumnya, apa yang dikenal sebagai kota Madinah itu adalah daerah bernama Yastrib. Nabi-lah yang kemudian mengubah namanya menjadi Madinah, setelah hijrah ke kota itu. Perubahan nama dari Yastrib menjadi Madinah, menurut Madjid, pada hakekatnya adalah sebuah pernyataan niat atau proklamasi untuk mendirikan dan membangun masyarakat berberadaban di kota itu. Dasar-dasar masyarakat madani inilah, yang tertuang dalam sebuah dokumen Piagam Madinah yang didalamnya menyangkut antara lain wawasan kebebasan, terutama dibidang agama dan ekonomi, tanggung jawab sosial dan politik, serta pertahanan, secara bersama. Di kota Madina-lah, Nabi membangun masyarakat berperadaban berlandaskan ajaran Islam, masyarakat yang bertaqwa kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Semangat ketaqwaan yang dalam dimensi vertikal untuk menjamin hidup manusia, agar tidak jatuh hina dan nista, bersemangat rabbaniyah (Al-Imran:79) dan ribbiyah (Al-Imran:146), menurut hablum-minallah, menguatkan tali hubungan dengan Allah. Sehingga, padanya terpancar pula semangat perikemanusiaan dalam dimensi horizontal, hablum-mia al-nas, yang memancarkan hubungan antar-manusia yang penuh budi luhur. Madjid mengungkapkan beberapa ciri mendasar dari masyarakat madani yang dibangun nabi, antara lain: 1. Egalitarisme 2. Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuaan, keturunan, ras, dan sebagainya). 3. Keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif. 4. Penegakan hukum dan keadilan 5. toleransi dan pluralisme. 6. Musyawarah Mengutip Robert N. Bellah, seorang sosiolog agama terkemuka, Madjid mengemukakan bahwa masyarakat madani yang dibangun Nabi itu merupakan masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, sehingga setelah Nabi wafat tidak bertahan lama. Padahal, Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern yang dirintis Nabi. Masyarakat madani warisan Nabi itu, hanya mampu
7 Nurcholish Madjid, Menuju Masyarakat Madani dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradaban (Jakarta: LSAF-PPM, 1996), hlm. 51

bertahan hingga masa Khulafaur Rhasidin, sesudah itu dikukuhkan dengan sistem yang disemangati kesukuan, yakni tribalisme Arab pra-Islam, dan selanjutnya dikukuhkan dengan sistem geneologis atau dinasti. Dalam mewujudkan masyarakat madani, menurut Madjid, dibutuhkan manusia-manusia yang secara pribadi berpandangan hidup dengan semangat Ketuhanan, dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia. Untuk itu, Nabi telah memberikan keteladanan dalam mewujudkan ciri-ciri masyarakat madani seperti disinggung di atas. Dalam rangka penegakan hukum dan keadilan misalnya, Nabi tidak membedakan antara orang atas dan orang bawah. Nabi menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah jika orang atas melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi kalau orang bawah melakukan pastti dihukum. Karena itu, Nabi juga misalnya menegaskan contoh, bahkan seandainya Fatimah, putri kesayangannya pun melakukan kejahatan, maka akan dihukumnya sesuai ketentuan yang berlaku. Masyarakat madani membutuhkan adanya pribadi-pribadi yang tulus yang mengikatkan jiwa pada kebaikan bersama. Tetapi, meskipun demikian, komitmen pribadi saja sebenarnya tidak cukup. Mengingat iktikad baik bukan perkara yang mudah diawasi dari luar diri, sangat subyektif. Maka, harus diiringi dengan tindakan nyata yang mewujud dalam bentuk amal sholeh. Tindakan ini harus diterapkan dalam kehidupan kemasyarakatan, dalam tatana kehidupan sosial adalah konsekuensi lanhsung iktikad baik yang diwujudkan dalam tindakan kebaiakan. Dalam mewujudkan pengawasan itulah, menurut Madjid, dibutuhkan keterbukaan dalam masyarakat. Mengingat setiap manusia sebagai makhluk yang lemah mungkin saja mengalami kekeliruan dan kekhilafan (AlNisa:28), maka dengan keterbukaan itu, setiap orang mempunyai potensi untuk menyatakan pendapat dan untuk didengar, sementara dari pihak yang mendengar ada kesediaan untuk mendengar dengan rendah hati untuk merasa tidak selalu benar, bersedia mendengar pendapat orang lain untuk diikuti mana yang terbaik. Demikianlah, kata Madjid, masyarakat madani antara lain dilihat merupakan masyarakat demokratis yang terbangun dengan menegakkan musyawarah. Musyawarah pada hakekatnya adalah interpretasi positif berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberi hak untuk menyatakan pendapat, dan mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat itu. Dalam bahasa lain, musyawarah adalah hubungan interaktif untuk saling mengingatkan tentang kebaikan dan kebenaran serta ketabahan dalam mencari penyelesaian bersama, dalam suasana persamaan hak dan kewajiban warga masyarakat. Dalam proses musyawarah itu muncul hubungan sosial yanh luhur dilandasi toleransi dan pluralisme. Toleransi dan pluralisme ini tak lain adalah wujud civility, yaitu sikap kejiwaan pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selalu benar, meskipun sesuatu yang tidak selalu benar atas suatu masalah, mungkin berbeda antara pribadi dan kelompok. Pluralisme dan toleransi ini tak lain pula merupakan wujud dari ikatan keadaban (bond of civility), dalam arti masing-masing pribadi dan kelompok dalam lingkungan yang lebih luas, memandang yang lain dengan penghargaan, betapapu perbedaa ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri.

Pemikiran Noercholish Madjid di sini tampaknya berpijak pada argumentasi normatif. Apa yang oleh Madjid hendak dikemukakan adalah penegasan mengenai pentingnya nilai-nilai kemanusiaan yang berlandaskan agama sebagai syarat mutlak yang infebent dengan kehadiran dan pertumbuhan masyarakat madani. Sebagai entitas sosial, masyarakat madani merupakan kumpulan manusia yang secara individual mengejawantahkan perilakunya berdasarkan moralitas keagamaan, baik dalam proses interaksi antar individu maupun secara kolektif. Berdasarkan urgensi moralitas agama itulah, Madjid tampaknya melihat demokrasi bukanlah syarat yang mencukupi untuk membangun masyarakat madani. Jika masyarakat madani dipahami sebagai syarat demokrasi, maka terbentuknya institusi-institusi sosial yang otonom pada gilirannya akan hanya akan menjadi malapetaka berupa konflik-konflik sosial dam politik yang berbahaya, apabila setiap individu di dalamnya tidak bersedia saling menunjukkan saling toleransi, termasuk dalam hubungan antar agama, suku, dan asosiasi-asosiasi masyarakat lainnya. Di sinilah eksistensi masyarakat madani, karena itu, perilakunya harus mencerminkan keberadaban (civility). Setiap individu dan kelomok dituntut saling menghargai perbedaan, tanpa merusak integrasi kehidupan bernegara. 4. Karakteristik Masyarakat Madani Cukup menarik bahwa penghargaan pada eksistensi individu dalam masyarakat madani sudah digambarkan secara simbolik pada berbagai ajaran budaya bangsa. Ajaran falsafah Minangkabau misalnya, menyebutkan bahwa yang pandai tempat bertanya, yang bodoh untuk disuruh-suruh, yang tuli untuk pelepas meriam, yang buta untuk penghembus (dedak) lesung, yang lumpuh untuk menjaga rumah. Secara simbolis falsafah adat ini memberikan petunjuk akan perlunya memberikan penghargaan dan tempat-tempat yang wajar kepada setiap individu dalam kehidupan sosial. Jika diteliti lebih jauh tentu hal senada dengan itu dapat pula ditemukan pada budaya-budaya suku lainnya di Indonesia. Sebagai sebuah gagasan tentang sistem kehidupan masyarakat madani, tentu tidak mudah untuk dicapai. Dibutuhkan beberapa persyaratan agar gagasan tentang masyarakat madani itu dapat diimplementasikan dengan baik. Persyaratan itu dapat disebutkan sebagai berikut: 1. Pemahaman yang sama (one standart) Pada tingkat awal sangat perlu adanya pemahaman bersama di kalangan masyarakat, tentang apa dan bagaimana karakteristik dari masyarakat yang disebut masyarakat madani itu. Paling tidak secara konsepsional prinsip-prinsip dasar masyarakat madani itu harus dipahami secara bersama, sehingga relatif tidak ada lagi yang tidak memahami apa yang digariskan dalam prinsip-prinsip dasar masyarakat madani tersebut. Masyarakat harus memahami lebih dahulu bagaimana mekanisme sistem yang terdapat dalam masyarakat madani itu dalam dinamika kehidupan masyarakat. Dengan pemahaman seperti itu relatif akan menjadi lebih muda bagi masyarakat untuk melangkahkan kaki selanjutnya untuk menuju persyaratan berikutnya. Karena itu sosialisasi tentang

sistem masyarakat itu perlu dilaksanakan dengan memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada. 2. Keyakinan (confidence) dan saling percaya (social trust) Menumbuhkan keyakinan di kalangan masyarakat bahwa masyarakat madani adalah masyarakat pilihan yang terbaik dalam mewujudkan suatu sistem sosial yang dicita-citakan, perlu dikondisikan. Hanya dengan keyakinan itu proses untuk menuju masyarakat madani dapat dilakukan. Seiring dengan itu harus pula ditumbuhkembangkan rasa percaya di kalangan masyrakat. Memang akan sulit sekali bagi terwujudnya cita-cita bersama jika saling percaya di antara komponen terdapat dalam masyarakat tidak terbentuk dengan baik. Rasa saling percaya anatara lain, dapat ditumbuhkan dengan meningkatkan rasa keadilan dan kejujuran dalam berbagai dimensi kehidupan. 3. Satu hati dan saling tergantung Dengan terbentuknya saling percaya di kalangan masyarakat, pada tahap berikutnya diperlukan juga kondisi satu hati dalam menentukan arah kehidupan. Sebagai refleksi dari satu hati akan tergambar dari semakin menguatnya rasa saling tergantung (interdependency) antara individu dan kelompok dalam masyarakat. Dengan keadaan seperti itu, tingkat saling membutuhkan antar berbagai segmen masyarakat akan menjadi bagian terpenting dari moral kehidupan masyarakat. 4. Kesamaan pandangan tentang tujuan dan missi Jika kondisi satu hati dalam masyarakat sudah menunjukkan benih-benih yang menggembirakan, kesamaan pandangan baik mengenai tujuan dan misi menjadi lebih muda untuk diwujudkan. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam kehdupan masyarakat tentu tidak dapat dinafikan begitu saja, tetapi perbedaan itu bukan untuk diarahkan menjadi suatu yang bersifat uniformity atau sameness, tetapi dalam wujud unity atau onenees Jika keempat persyaratan di atas telah dapat dipenuhi, maka akan relatif lebih muda untuk merumuskan berbagai kebijakan dan strategi untuk mewujudkan masyarakat madani itu. Kunci utama dari keberhasilan untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan itu secara kultural memang terletak pada persyaratan-persyaratan yang telah disebutkan di atas. Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya: 1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial. 2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif. 3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat. 4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan

organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah. 5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter. 6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri. 7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif. 8. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial. 9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil. 10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya. 11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut. 12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial. 13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia. 14. Berakhlak mulia. Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa

secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience). Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sebagai berikut: 1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat. 2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok. 3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial. 4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan. 5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan. 6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial. 7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya. Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat sipilisme yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani. Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa8: 1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitosmitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.
8 Google, Madani dan Kesejahteraan Umat 15-01-2010 jam 15.00

2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden, penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia. Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya. 1Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat. 5. Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani (Indonesia) Secara ideal, hukum diharapkan mampu berfungsi sebagai pengendali perilaku manusia dan mengarahkannya pada berbagai kreasi dan aksi yang positif. Idealis itu telah mengendap sejak manusia meniti zaman primitif. Pada masa kini, hukum berfungsi untuk: (1) memelihara kedamaian masyarakat, (2) menekan tindak kejahatan dan kekerasan, (3) menjaga kekayaan, dan (4) mensosialisasikan ukuran-ukuran moral dalam berbagai bentuk hubungan manusia atas dasar persaudaraan dan persahabatan. Sayang, idealis itu lebih bersering berbenturan dengan realitas kehidupan yang sebaliknya. Sejarah Nabi Adam a.s telah menunjukkan bukti, betapa manusia tidak selalu tunduk pada hukum. Putera pertamanya, Qabil, bukan saja tidak mematuhi hukum atau auran yang telah ditetapkan nabi pertama itu. Ia bahkan tega membunuh adik kandungnya sendiri , Habil. Sejarah peradaban modern juga tidak terhindar dari serangkaian tindakan kriminal yang seolah tidak terputus, bahkan berkesinambungan dan berkelanjutan. Kejahatan rupanya memang diakdirkan sebagai kawan karib kebajikan yang termuat dalam perjalanan manusia. Ibarat dua sisi

mata uang, keduanya berjalan seiring, berpacu dan berlomba saling mengalahkan. Kejahatan dan kebajikan adalah realitas sejarah yang terpola dalam pradigma dialetik. Karena itu, rumusan filsafat manusia terbelah menjadi dua ragam. Sekelompok filsuf memandang manusia sebagai makhluk baik, namun ada juga sekelompok filsuf yang memandang manusia dari sisi negatif. Filsuf rasionalis mewakili kelompok pertama dan Thomas Hobbes dianggap sebagai ahli filsafat yang menganggap manusia ibarat serigala yang saling mencakar. Perbincangan tentang hukum dan perubahan sosial bermuara pada masalah jarak antara perilaku sosial aktual dan perilaku yang dituntut oleh dan sejalan dengan norma hukum. Kelsen, dalam Law and Social Change, mengatakan, adanya ketegangan antara perilaku aktual dan perilaku yang sejalan dengan hukum maupun perilaku yang dikehendaki hukum dan perilaku yang dituntut oleh dan sejalan dengan moral merupakan karakteristik hukum yang terdapat di semua masyarakat. Ketegangan tertentu itu kemudian melahirkan jarak antara hukum dan perubahan sosial, terutama jika hukum dinilai tidak mampu menjawab berbagai kebutuhan yang muncul akibat dari perubahanperubahan sosial penting atau manakala perilaku sosial dan rasa obligasi mendapatkan normanorma hukum yang secara signifikan berbeda dengan perilaku yang dikehendaki hukum. Dengan kata lain, jika tertentu antara perilaku aktual dan perilaku yang dikehendaki hukum ditemukan dalam suatu masyarakat, konsep jarak antara hukum dan perubahan sosial itu terjadi dalam berbagai situasi dinamis, setelah perubahan sosial lain dalam hukum terjadi dan tak ada perubahan paralel dan proses penyesuaian dalam hukum atau masyarakat secara beruntun. Dari sudut teori, suatu produk hukum yang ideal dan baik adalah jika memnuhi unsur (a) filosofis yakni mencerminkan pandangan hidup masyarakat, (b) sosiologis, yakni sesuai dengan konteks sosial budaya dan (c) yuridis, yakni memilih uatan nilai-nilai asasi hukum seperti yang terdapat dalam asas keadilan, kesetaraa (equality). Friedman mengedepankan unsur lain yakni refleksi kemanusiaan sebagai individu dalam komunitas masyarakat dan sebagai insan politik. Perumusan hukum melalui pembentukan undang-undang (skala publik, berlaku umum) maupun melalui yurisprudensi (skala privat putusan hakim) haruslah memperhatikan fungsi dan tujuan hukum. Pada dasarnya fungsi hukum adalah memberikan proteksi terhadap individu dan masyarakat dalam berbagai aspek kepentingannya. Untuk menjalankan fungsi ini, Algra mengemukakan bahwa hukum harus mampu mendristibusikan hak dan kewajiban diantara anggota masyarakat. Fungsi lain dari hukum adalah sebagai patokan normatif bagi penyelesaian konflik. Pembukaan UUD 1945 sebagai dokumen historis filosofis, memuat arah perjalanan bangsa yang pada alenia keempat terdapat kata-kata kunci mengenai tujuan negara, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa di atas nilai-nilai kemerekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam kerangka demikian secara teologis, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan sosial. Maka untuk merealisir tujuan hukum, reformasi hukum merupakan kebutuhan mendasar. Reformasi bukan sekedar mengganti sebagian atau keseluruhan prodk hukum yang dianggap konservatif dan anti demokrasi, namun yang terpenting ialah perumusan kembali

(redefinisi, tajdid) dimensi filosofi hukum dasar kita. Pada tahap kemudian diikuti dengan tahapan mengintervantarisir seluruh produk hukum publik yang tidak senafas dengan perumusan tadi. Jika melihat melihat praktik pembentukan hukum publik selama era orba, sebagaimana sebagian kecil digambarkan diatas, nampak sekali dominasi pengaruh elit politik dalam proses pembentukannya. Hukum yang bermuatan nilai keadilan yang bersifat abstrak yang menuntut perumusan operasional oleh ahli hukum yang memiliki tingkat penguasaan yang mendalam, sudah sejak dahulu kala di awal orba seharusnya dapat dirumuskan ke dalam berbagai produk prerundangan yang antara lain berfungsi mendistribusikan hak dan kewajiban. Namun, karena tidak dilakukan akibat pengaruh kekuasaan yang sentralistik, akhirnya justru sebaliknya yang terjadi. Reformasi hukum perlu dibaca sebagai upaya strategis, konseptual dan komprehensip, untuk men-tajdid pengertian-pengertian dasar mengenai hukum, dari aspek asas-asas (aspek filsafati), fungsi dan tujuannya. Konseptualisasi aspek-aspek ini, perlu diletakkan dalam kerangka konsep masyarakat madani. Elemen-elemen fundamental pranata hukum positif yang perlu segera direformai mencakup: pertama: Penyempurnaan rumusan Pembukaan UUD1945, dengan penambahan/penegasan mengenai HAM di dalamnya. Kedua: Perubahan terhadap bagian batang tubuh UUD1945 yang dianggap tidak demokratis dan usang, dengan mengintegrasikan secara eksplisit ruh demokrasi, kemerekaan berserikat, keadilan sosial, pembatasan kekuasaan presiden, hak otonomi proposional pemerintah daerah, hak otonomi dan kemandirian ormas dan orsospol, kekuasaan kehakiman yang bebas, mandiri dan terlepas dari unsur maupun pengaruh eksekutif, serta kedudukan dan peran ABRI sebagai abdi rakyat yang perlu dihindarkan dari penyalahgunaan perannya oleh eksekutif. Ketiga: Perlu segera penyusunan RUU yang bermuatan semangat demokrasi ekonomi, untuk mencegah bangkitnya neo-partrimonialism dan menutup pintu praktik kartel-kartel kekuatan ekonomi oleh elit politik, elit bisnis, dan elit militer melalui praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. 6. Membangun Masyarakat Madani Melalui Pengembangan Ekonomi Kerakyatan (Indonesia). Pengembangan masyarakat madani (civil society) menjadi perhatian tidak saja di kalangan cendekiawan tetapi pemerintah dan masyarakat (terdidik) yang lebih luas, yang semakin menyadari pentingnya masyarakat madani dalam rangka mewujudkan sistem politik dan ekonomi yang lebih demokratis. Semangat reformasi menjadi pendorong utama pada saat ini bagi upaya pengembangan masyarakat madani di Indonesia. Dilihat dari aspek ekonomi, penciptaan dan pengembangan masyarakat madani berarti menciptakan dan mengembangkan sistem perekonomian yang memberikan kesempatan yang sama kepada pelaku ekonomi. Namun, pada saat terjadi ketimpangan baik dalam pendapatan, penguasaan asset, maupun kesempatan berusaha, campur tangan (intervensi) pemerintah sangat penting untuk menciptakan sistem yang fair sehingga tercipta pemerataan dan keadilan di dalam masyarakat.

Sistem ekonomi yang diwarisi rezim orde baru adalah sistem ekonomi yang dicirikan oleh ketimpangan penguasaan asset yang tinggi, ketimpangan pendapatan, dan kesempatan usaha yang hanya menguntungkan kelompok pengusaha yang dekat dengan penguasa. Tentu saja dalam usaha menciptakan masyarakat madani, sistem ekonomi yang demikian harus diubah untuk memberikan kesempatan keterlibatan masyarakat yang lebih luas. Secara struktural, munculnya barier to entry bagi kalangan masyarakat luas untuk ikut berkecimpung dalam bidang usaha yang selama Orde Baru dimonopoli elit tertentu. Kesempatan yang lebih luas bagi unit-unit usaha berskala kecil, menengah dan koperasi dalam kegiatan usaha, dan peningkatan kesejahteraan bagi rumah tangga miskin menjadi keharusan dalam usaha menciptakan masyarakat madani. Dalam pengertian ini maka ekonomi kerakyatan memegang peranan utama, karena dengan begitu maka pemerataan yang lebih luas demokrasi ekonomi dapat berkembang dengan baik. Tentu saja usaha mengembangkan ekonomi kerakyatan pada saat ini tidak terlepas dari usaha kita keluar dari krisis ekonomi, dan di masa yang akan datant berkaitan erat dengan upaya melakukan penyembuhan ekonomi (ekonomic recovery) dan transformasi ekonomi9. Pengembangan ekonomi kerakyatan dalam rangka membangun masyarakat madani membutuhkan kerangka campuran antara campur tangan pemerintah untuk membangun basis ekonomi rakyat dan diimplementasikan di dalam sistem persaingan pasar yang memberikan kesempatan unit-unit usaha bersaing dengan fair dan effisien. Demokratisasi politik sebagai pilar lain dari masyarakat madani juga membuka peluang bagi demokratisasi ekonomi. Tantangannya adalah bagaimana mentransformasi konstituensi dan mandat politik mendukung upaya-upaya mengembangkan ekonomi rakyat. Dengan sistem politik yang lebih demokratis, maka lembaga perwakilan rakyat dapat mengeluarkan UU persaingan sehat dan perlindungan usaha kecil yang dilaksanakan secara praktis. Selain itu lembaga perwakilan juga dapat mendesak pemerintah untuk mendukung perkembangan unit-unit ekonomi rakyat. Usaha mengembangkan masyarakat madani mengahadapi tantangan kuat terutama dari pihak-pihak yang selama ini diuntungkan oleh ketimpangan penguasaan asset dan sistem politik yang otoriter. Hambatan juga datang dari bagian masyarakat sendiri yang beranggapan bahwa pengembangan masyarakat madani dikhawatirkan memberikan kesempatan terlalu besar kepada umat Islam sebagai mayoritas mendominasi politik dan mungkin selanjutnya perekonomian. Tantangan ini harus kita hadapi baik secara persuasif dengan semakin giat memberikan argumentasi kuat dan rasional pentingnya masyarakat madani yang tidak hanya menguntungkan bagian masyarakat tertentu, tetapi juga seluruh bangsa Indonesia. Kesempatan untuk mengembangkan masyarakat madani sekarang terbuka luas. Tinggal bagaimana kita mengembangkan konsepsi yang jelas dan tepat dengan keadaan dan menerapkannya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. C. PENUTUP
9 Ibid Taufik Abdullah hal 228

Membangun masyarakat madani memerlukan perubahan-perubahan yang mendasar pada pemerintah dan birokrasinya. Masyarakat madani akan bisa dikembangkan dengan baik kalau kita bisa mengubah format pemerintah dan birokrasi menjadi kondusif bagi munculya institusi-institusi yang mandiri dan bebas dari intervensi pemerintah. Untuk itu redefinisi peran pemerintah perlu dilakukan. Pemerintah yang besar dan didukung oleh birokrasi dan intervensionis cenderung mempersempit ruang publik yang diperlukan bagi berkembangnya institusi-institusi itu. Keterlibatan pemerintah dalam kehidupan politik dan ekonomi masyarakat perlu dikurangi sampai pada suatu titik di mana keterlibatannya itu memang diperlukan oleh masy dan bisa memperbaiki efisiensi dan efektivitas masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Masyarakat madani juga menuntut pamerintah sedapat mungkin bersifat all-inclusive, yang mengakomodasikan keragaman yang ada dalam masyarakat dan mampu menfasilitasi kelompok yang berbeda itu untuk berperan serta secara optimal dalam kegiatan ekonomi dan politik. Untuk itu praktik-praktik kebijakan yang selama ini tidak sensitif terhadap problema dan kendala yang dihadapi kelompok minoritas dan terbelakang perlu dihindari. Dalam kasusu tertentu pemerintah perlu lebih proaktif dalam mendorong partsisipasi mereka sehingga konflik antar kelompok dan etnis bisa dihindari. Akhirnya, masyarakat madani juga memerlukan reorientasi dan demokratisasi dalam kehidupan pemerintah dan birokrasi publik. Demokratisasi ini bisa dilakukana melalui pelibatan warga negara secara langsung dalam kegiatan pemerintah dan pelayanan publik, melalui pembentukan governance bodies, refrendum, dan mekanisme lainnya yang memungkinkan mereka secara langsung terlibat dalam pengambilan keputusan. Ia bisa juga dilakukan melalui redistribusi kekuasaan kepada satuaan dan institusi lainnya sehingga check and balance bisa diwujudkan. Kalau semua ini dapat dilakukan maka kita bisa berharap masyarakat madani bisa tumbuh dan berkembang di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Taufik, Indra Samago Membangun Masyarakat Madani (progam pasca sarjana Universitas Muhammadiyah Malang) Yogyakarta Adi Suryadi Culla Masyarakat Madani pemikiran, teori, dan relevansinya dengan citacita reformasi (PT Raja Grafindo Persada) Jakarta Arfani, Riza Noer. Demokrasi Indonesia Kontemporer (Jakarta: CV. Rajawali, 1997) Budiman, Arief. State and Civil Society in Indonesia (Australia: Monash University, 1990) Google, Madani dan Kesejahteraan Umat 15-01-2010 jam 15.00 Gellner, Ernest. Membangun Masyarakat Sipil-Prasyarat Menuju Kebebasan (Bandung: Mizan, 1995 ) Hikam, Muhammad A.S. Demokrasi dan Civil Society (Jakarta : LP3ES, 1997) Huwaydi, Fahmi. Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani (Bandung: Tiara Wacana, 1993) Jean L. Cohen and Andrew Arato, Civil Society and Political Theory (Massachusets: MIT Press, 1992) Mas'oed, Mokhtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru (Jakarta: LP3S, 1989) Moh. Machfud MD. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1993) Moertopo, Ali. Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun (Jakarta: CSIS, 1972) Nurcholish Madjid, Menuju Masyarakat Madani dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradaban (Jakarta: LSAF-PPM, 1996) Rahardjo, M Dawam. Agama dan Masyarakat Madani (Jakarta: LSAF Kerjasama dan Kompas dan Paramadina, 1996) Sudarsono, Juwono. Pembangunan Politik dan Perubahan politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1991) Thaha, Abdul Aziz. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) Tobroni dan Syamsul Arifin. Islam Pluralisme Budaya dan Politik (Yogyakarta SI Press, 1994)

Anda mungkin juga menyukai