Anda di halaman 1dari 29

BAB I PENDAHULUAN Salah satu aspek penting yang ikut menentukan kualitas hidup manusia ialah kehidupan seksual.

Karena itu aktivitas seksual menjadi salah satu bagian dalam penilaian kualitas hidup manusia. Kehidupan seksual yang menyenangkan memberikan pengaruh positif bagi kualitas hidup. Sebaliknya, kalau kehidupan seksual tidak menyenangkan, maka kualitas hidup terganggu. Dalam perkawinan, fungsi seksual mempunyai beberapa peran, yaitu sebagai sarana untuk reproduksi (memperoleh keturunan), sebagai saranan untuk memperoleh kesenangan atau rekreasi, serta merupakan ekspresi rasa cinta dan sebagai saranan komunikasi yang penting bagi pasangan suami-istri. Fungsi seksual merupakan bagian yang turut menentukan warna, kelekatan dan kekompakan pasangan suam i-istri. Suatu penelitian di Amerika. Pada wanita, dilaporkan 33% mengalami penurunan hasrat seksual, 19% kesulitan dalam lubrikasi, dan 24% tidak dapat mencapai orgasme. Statistik pada pria juga bermakna. Kesulitan yang umum dilaporkan pada pria meliputi ejakulasi dini (29%), kecemasan terhadap kemampuan seksual (17%), dan rendahnya hasrat seksual (16%). Selain itu 10% dari pria yang disurvei melaporkan kesulitan ereksi bermakna, angka prevalensi menurut usia-lebih dari 20% pria berusia di atas 50 tahun melaporkan masalah ereksi. Disfungsi ereksi atau kesulitan ereksi adalah ketidakmampuan yang menetap atau terus menerus untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan seksual yang memuaskan.

Selain disfungsi ereksi, makalah ini juga membahas tentang anatomi penis, fisiologi ereksi, diabetes, dan metformin.

BAB II

PEMICU

Tn. P, seorang laki laki, berusia 60 tahun, datang ke praktek Dokter Keluarga dengan istrinya, dengan keluhan utama alat kelamin sulit ereksi. Keluhan ini dialaminya sejak 1 tahun lalu, namun paling berat dalam 3 bulan terakhir ini. Dari anamnese di peroleh bahwa pasien tinggal berdua saja dengan istrinya yang baru dinikahinya. Ny.P berusia 38 tahun, seorang sekretaris di sebuah perusahaan kontraktor. Istri pertama Tn. P meninggal 2 tahun yang lalu karena karsinoma payudara. Anak anak pasien tinggal di kota lain. Apa yang terjadi pada Tn. P?

BAB III

MORE INFO

Riwayat menderita Diabetes Melitus (DM) sejak 10 tahun lalu. Riwayat pemakaian obat: metformin 3 x 850 mg/ hari, tidak teratur Pada pemeriksaan fisik diperoleh: Kesadaran: sensorium compos mentis, TD: 130/80 mmHg, denyut nadi: 64 x/menit, frekuensi nafas 24 x/menit, suhu 36,9 0C. Tidak didapati anemia, sianosis, ikterus, edema, dan turgor sedang. Pemeriksaan penunjang laboratorium diperoleh: Kadar gula darah puasa 170 mg/dl, 2 jam setelah makan 240 mg/dl, HbA1C 8,5 %.

BAB IV

PEMBAHASAN 4.1 Anatomi penis Sistem reproduksi pria terdiri atas testis, saluran kelamin, kelenjar tambahan, dan penis. Penis seperti kepala cendawan tetapi bagian ujungnya agak meruncing ke depan. Penis adalah organ seks utama yang letaknya di antara kedua pangkal paha. Penis mulai dari arcus pubis menonjol ke depan berbentuk bulat panjang (lihat gambar 1). Panjang penis orang Indonesia dalam keadaan flaksid dengan mengukur dari pangkal dan ditarik sampai ujung adalah sekitar 9 sampai 12 cm. Sebagian ada yang lebih pendek dan sebagian lagi ada yang lebih panjang. Pada saat ereksi yang penuh, penis akan memanjang dan membesar sehingga menjadi sekitar 10 cm sampai 14 cm. Pada orang barat (caucasian) atau orang Timur Tengah lebih panjang dan lebih besar yakni sekitar 12,2 cm sampai 15,4 cm. Bagian utama daripada penis adalah bagian erektil atau bagian yang dapat mengecil atau flaksid dan bisa membesar sampai keras. Bila dilihat dari penampang horizontal, penis terdiri dari 3 rongga yakni 2 batang korpus kavernosa di kiri dan kanan atas, sedangkan di tengah bawah disebut korpus spongiosa. Kedua korpus kavernosa ini diliputi oleh jaringan ikat yang disebut tunica albuginea, satu lapisan jaringan kolagen yang padat dan di luarnya ada jaringan yang kurang padat yang disebut fascia buck. Korpus kavernosa terdiri dari gelembung-gelembung yang disebut sinusoid. Dinding dalam atau endothel sangat berperan untuk bereaksi kimiawi untuk menghasilkan ereksi. Ini diperdarahi oleh arteriol yang disebut arteria helicina. Seluruh sinusoid diliputi otot polos yang disebut trabekel. Selanjutnya sinusoid berhubungan dengan venula (sistem pembuluh balik) yang mengumpulkan darah menjadi suatu pleksus vena lalu akhirnya mengalirkan darah kembali melalui vena dorsalis profunda dan kembali ke tubuh.

Penis dipersyarafi oleh 2 jenis syaraf yakni syaraf otonom (para simpatis dan simpatis) dan syaraf somatik (motoris dan sensoris). Syaraf-syaraf simpatis dan parasimpatis berasal dari hipotalamus menuju ke penis melalui medulla spinalis (sumsum tulang belakang). Khusus syaraf otonom parasimpatis ke luar dari medulla spinalis (sumsum tulang belakang) pada kolumna vertebralis di S2-4. Sebaliknya syaraf simpatis ke luar dari kolumna vertebralis melalui segmen Th 11 sampai L2 dan akhirnya parasimpatis dan simpatis menyatu menjadi nervus kavernosa. Syaraf ini memasuki penis pada pangkalnya dan mempersyarafi otot - otot polos.

Syaraf somatis terutama yang bersifat sensoris yakni yang membawa impuls (rangsang) dari penis misalnya bila mendapatkan stimulasi yaitu rabaan pada badan penis dan kepala penis (glans), membentuk nervus dorsalis penis yang menyatu dengan syaraf- syaraf lain yang membentuk nervus pudendus. Syaraf ini juga berlanjut ke kolumna vertebralis (sumsum tulang belakang) melalui kolumna vertebralis S2-4. Stimulasi dari penis atau dari otak secara sendiri atau bersama-sama melalui syaraf-syaraf di atas akan menghasilkan ereksi penis. Pendarahan untuk penis berasal dari arteri pudenda interna lalu menjadi arteri penis kommunis yang bercabang 3 yakni 2 cabang ke masing-masing yakni ke korpus kavernosa kiri dan kanan yang kemudian menjadi arteria kavernosa atau arteria penis profundus yang ketiga ialah arteria bulbourethralis untuk korpus spongiosum. Arteria memasuki korpus kavernosa lalu bercabang-cabang menjadi arteriol-arteriol helicina yang bentuknya berkelok-kelok pada saat penis lembek atau tidak ereksi. Pada keadaan ereksi, arteriol-arteriol helicina mengalami relaksasi atau pelebaran pembuluh darah sehingga aliran darah bertambah besar dan cepat kemudian berkumpul di dalam rongga-rongga lakunar atau sinusoid. Rongga sinusoid membesar sehingga terjadilah ereksi. Sebaliknya darah yang mengalir dari sinusoid ke luar melalui satu pleksus yang terletak di bawah tunica albugenia. Bila sinusoid dan trabekel tadi mengembang karena berkumpulnya darah di seluruh korpus kavernosa, maka vena-vena di sekitarnya menjadi tertekan. Vena-vena di bawah tunica albuginea ini bergabung membentuk vena dorsalis profunda lalu ke luar dari korpora kavernosa pada rongga penis ke sistem vena yang besar dan akhirnya kembali ke jantung. 5

Gambar 1. Anatomi Penis

4.2 Fisiologi ereksi Ereksi adalah keadaan menjadi kaku dan tegak; seperti jaringan erektil ketika terisi darah.( Dorland, 2002). Pada waktu ereksi, volume penis bertambah karena terkumpulnya darah dalam korpus kavernosum dan korpus spongiosum. Pada orang yang berdiri, penis yang ereksi akan membentuk sudut antara 00 dan 45 0 dari bidang horizontal. Pada keadaan demikian batang penis terasa kaku dan tekanan

intrakavernosum mendekati tekanan rata rata pembuluh darah nadi. Pada keadaan demikian, volume darah dalam penis meningkat lebih dari delapan kali dibandingkan saat lemas.

Oleh beberapa peneliti, proses ereksi dan detumesens diringkaskan menjadi beberapa fase, yaitu: 1. Fase 0, yaitu fase flaksid. Pada keadaan lemas, yang dominan adalah pengaruh sistem saraf simpatik. Otot polos arteriola ujung dan otot polos kavernosum berkontraksi. Arus darah ke korpus kavernosum minimal dan hanya untuk keperluan nutrisi saja. Kegiatan listrik otot polos kaverne dapat dicatat, menunjukkan bahwa otot polos tersebut berkontraksi. Arus darah vena terjadi secara bebas dari vena subtunika ke vena emisaria. 2. Fase 1, merupakan fase pengisian laten. Setelah terjadi perangsangan seks, sistem saraf parasimpatik mendominan, dan terjadi peningkatan aliran darah melalui arteria pudendus interna dan arteria kavernosa tanpa ada perubahan tekanan arteria sistemik. Tahanan perifer menurun oleh berdilatasinya arteri helisin dan arteri kavernosa. Penis memanjang, tetapi tekanan intrakavernosa tidak berubah. 3. Fase 2, fase tumesens ( mengembang). Pada orang dewasa muda yang normal, peningkatan yang sangat cepat arus masuk (influks) dari fase flasid dapat mencapai 25 60 kali. Tekanan intrakavernosa meningkat sangat cepat. Karena relaksasi otot polos trabekula, daya tampung kaverne meningkat sangat nyata menyebabkan pengembangan dan ereksi penis. Pada akhir fase ini, arus arteria berkurang. 4. Fase 3 merupakan fase ereksi penuh. Trabekula yang melemas akan mengembang dan bersamaan dengan meningkatnya jumlah darah akan menyebabkan tertekannya pleksus venula subtunika ke arah tunika albuginea sehingga menimbulkan venoklusi. Akibatnya tekanan intrakaverne meningkat sampai sekitar 10 20 mmHg di bawah tekanan sistol. 5. Fase 4, atau fase ereksi kaku (rigid erection) atau fase otot skelet. Tekanan intakaverne meningkat melebih tekanan sistol sebagai akibat kontrasi volunter ataupun karena refleks otot iskiokavernosus dan otot bulbokavernosus menyebabkan ereksi yang kaku. Hal demikian menyebabkan ereksi yang kaku. Pada fase ini tidak ada aliran darah melalui arteria kavernosus. 7

6. Fase 5, atau fase transisi. Terjadi peningkatan kegiatan sistem saraf simpatik, yang mengakibatkan meningkatnya tonus otot polos pembuluh helisin dan kontraksi otot polos trabekula. Arus darah arteri kembali menurun dan mekanisme venoklusi masih tetap diaktifkan. 7. Fase 6 yang merupakan fase awal detumesens. Terjadi sedikit penurunan tekanan intrakaverne yang menunjukkan pembukaan kembali saluran arus vena dan penurunan arus darah arteri. 8. Fase 7 atau fase detumesens cepat. Tekanan intrakaverne menurun dengan cepat, mekanisme venoklusi diinaktifkan, arus darah arteri menurun kembali seperti sebelum perangsangan, dan penis kembali ke keadaan flaksid.

Pembuluh darah, otot polos intrinsik penis, dan otot rangka di sekitar penis dikendalikan oleh saraf yang berasal dari tiga sistem saraf perifer yang berbeda, yaitu sistem saraf simpatik torakolumbal, sistem saraf parasimpatik lumbosakral, dan sistem saraf somatik lumbosakral. Lihat gambar 4.3 Secara molekular, mekanisme relaksasi otot polos dapat dilihat pada gambar 4.2 dibawah.

Gambar 3. Mekanisme kerja parasimpatik dan simpatik dalam fase ereksi

4.3 Disfungsi Ereksi (DE) 4.3.1 Definisi, etiologi, dan faktor risiko disfungsi ereksi Disfungsi ereksi atau kesulitan ereksi adalah ketidakmampuan yang menetap atau terus menerus untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan seksual yang memuaskan.

Fazio

dan

Brock

(sebagaimana

dikutip

oleh

Wibowo,

2007)

mengklasifikasikan penyebab disfungsi ereksi sebagai berikut: Faktor penyebab dan contohnya : 1. Ketuaan 2. Gangguan psikologis, misalnya depresi, ansietas 3. Gangguan neurologis, misalnya: penyakit serebral, trauma spinal, penyakit medulla spinalis neuropati, trauma nervus pudendosus 4. Penyakit hormonal (libido menurun), misalnya: hipogonadism,

hiperprolaktinemia, hiper atau hipotiroidisme, sindrom Cushing, penyakit addison. 5. Penyakit vaskuler, misalnya: aterosklerosis, penyakit jantung iskemik, penyakit vaskuler perifer, inkompetensi vena, penyakit kavernosus. 6. Obat obatan, misalnya: antihipertensi, antidepresan, esterogen,

antiandrogen, digoksin. 7. Kebiasaan, contohnya: pemakai marijuana, alkohol, narkotik, merokok. 8. Penyakit penyakit lain, contohnya: diabetes melitus, gagal ginjal, hiperlipidemi, hipertensi, penyakit paru obstruksi kronis.

Faktor risiko disfungsi ereksi adalah sindrom metabolisme, gejala saluran kemih bagian bawah akibat BPH (Benign Prostat Hiperplasia), penyakit kardiovaskular, merokok, kondisi sistem saraf pusat, trauma spinalis, depresi, stress, gangguan endokrin, dan diabetes. Untuk lebih jelas lihat gambar 4 di bawah.

Gambar 4. Faktor risiko disfungsi ereksi

10

4.3.2 Kalsifikasi disfungsi ereksi Menurut Wibowo (2007), menjadi lima kategori penyebab yaitu: a. Psikogenik Disfungsi ereksi yang disebabkan faktor psikogenik biasanya episodik, terjadi secara mendadak yang didahului oleh periode stress berat, cemas, depresi. Disfungsi ereksi dengan penyebab psikologis dapat dikenali dengan mencermati tanda klinisnya yaitu: usia muda dengan awitan mendadak, awitan berkaitan dengan kejadian emosi spesifik, disfungsi pada keadaan tertentu sementara dalam keadaan lain normal, ereksi malam hari tetap ada, riwayat terdahulu adanya disfungsi ereksi yang dapat membaik secara spontan, terdapat stress dalam kehidupannya, status mental terkait kelainan depresi, psikosis, atau cemas. b. Organik pembagian disfungsi ereksi dikelompokkan

11

Disfungsi ereksi yang disebabkan organik dibagi menjadi dua yaitu: neurogenik dan vaskuler. Disfungsi ereksi akibat neurogenik ditandai dengan gambaran klinis seperti riwayat cedera atau operasi sumsum tulang atau panggul, mengidap penyakit kronis (DM, alkoholisme), pemeriksaan neurologik abnormal daerah genital/ perineum. Disfungsi ereksi akibat vaskuler dapat dibagi dua yaitu kelainan pada arteri dan vena. Kelainan pada arteri memiliki tampilan klinis seperti minat terhadap seks tetap ada, pada semua kondisi terjadi penurunan fungsi seks, secara bertahap terjadi disfungsi ereksi sesuai bertambahnya umur. Kelainan pada memiliki tampilan klinis seperti tidak mampu mempertahankan ereksi yang sudah terjadi, riwayat priapism, dan kelainan lokal penis. c. Hormonal Disfungsi ereksi yang disebabkan karena hormonal mempunyai gambaran klinis yaitu hilangnya minat pada aktifitas seksual, testis atrofi dan mengecil, dan kadar testosteron rendah prolaktin naik. d. Farmakologis Hampir semua obat hipertensi dapat menyebabkan disfungsi ereksi yang bekerja di sentral, misalnya metildopa, klonidin, dan reserpin. Pengaruh utama kemungkinan melalui depresi sistem saraf pusat. e. Traumatik paska operasi Patologi penis atau proses penyakit pada panggul dapat merusak jalur serabut saraf otonom untuk ereksi penis, reseksi abdominal perineal, sistektomi radikal, prostatektomi radikal, uretroplasti membranesea, dll.

Klasifikasi disfungsi ereksi berdasarkan ISIR (International Society of Impotence Research).

12

4.3.3 Patofisiologi disfungsi ereksi Disfungsi ereksi dapat disebabkan oleh diabetes melitus. Hal ini dikarenakan diabetes melitus dapat menyebabkan terjadinya : 1. hipotestosteron yang akan menurunkan libido lalu menyebabkan terjadinya disfungsi ereksi. 2. pengaktifan poliol pathway dan menurunkan NADPH. Aktifasi jalur ini menyebabkan terjadinya akumulasi AGE ( Advance Glycation End Product) yang akan menyebabkan gangguan relaksasi otot polos dan perubahan fibroelastik, dimana kedua hal ini akan menurunkan compliance dari kavernosa sehingga terjadi disfungsi ereksi. Selain itu, Aktifasi jalur ini juga menyebabkan terjadinya akumulasi sorbitol dan fruktosa melalui enzim aldosa reduktase sehingga terjadi edema neural

13

lalu gangguan pompa Na-K ATPase lalu gangguan tranduksi sinyal serta neurotransmitter sehingga terjadi neuropati diabetik sehingga terjadi disfungsi ereksi. Jalur ini juga menurunkan kofaktor NO sintase ( L-arginin NO membutuhkan NO sintase) sehingga terjadi

penurunan NO, akibatnya terjadi disfungsi ereksi.

4.3.4 Diagnosa disfungsi ereksi Anamnese merupakan hal yang penting untuk diagnosa disfungsi ereksi. Evaluasi apakah pasien memang menderita disfungsi ereksi atau disfun seksual gsi yang lain. Tanyakan riwayat merokok, sakit jantung, stroke. Tanyakan riwayat penggunaan obat obatan. Berdasarkan indeks dari IIEF ( International Index of erectile Function- 5), jika indeks 21 maka dikatakan pasien disfungsi ereksi (lihat lampiran). Selain itu, perhatikan klasifikasi disfungsi ereksi yang telah dijabarkan di atas. Pemeriksaan fisik, dapat ditemukan tidak adanya respon terhadap sentuhan, testis kecil, pembesaran payudara, hilangnya rambut wajah, adanya pulsasi arteri di kaki, dan penis abnormal. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah complete blood count, profil lemak ( tinggi LDL arterosklerosis), glukosa darah jika DM, HbA1C untuk

kontrol kadar gula darah, urinalisis jika curiga DM dan kerusakan ginjal, serum kreatinin jika kerusakan ginjal akibat DM, enzim hati dan fungsi hati, kadar testosteron, kadar hormon lain seperti LH, prolaktin, kortisol, dan PSA ( Prostat Spesific Antigen). Pemeriksaan lain yang mungkin dapat dilakukan adalah NTP (Nocturnal Penile Tumescence), kaversonografi/ kavernosonometri, USG doppler, injeksi intrakavernosa dengan obat- obatan vasoaktif, Rigiscan, Visual Sex Stimulation, dan pemeriksaan psikososial.

4.3.5 Pengobatan disfungsi ereksi Dalam terapi disfungsi ereksi, yang menjadi sasaran terapi (bagian yang akan diterapi) adalah ereksi penis. Berdasarkan sasaran yang diterapi, maka tujuan terapi adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas ereksi penis yang nyaman saat berhubungan seksual. Kualitas yang dimaksud adalah kemampuan untuk

mendapatkan dan menjaga ereksi. Sedangkan kuantitas yang dimaksud adalah 14

seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjaga ereksi (waktu untuk tiap -tiap orang berbeda untuk mencapai kepuasan orgasme,tidak ada waktu normal dalam ereksi). Sebelum memilih terapi yang tepat, perlu diketahui penyebab atau faktor resiko pada pasien yang berperan dalam menyebabkan munculnya disfungsi ereksi. hal ini terkait dengan beberapa penyebab disfungsi ereksi yang terkait. Dengan demikian, jika diketahui penyebab disfungsi ereksi yang benar maka dapat diberikan terapi yang tepat pula. Terapi untuk disfungsi ereksi dapat dibedakan menjadi dua yaitu terapi tanpa obat (nonfarmakologis-pola hidup sehat dan menggunakan alat ereksi seperti vakum ereksi) dan terapi menggunakan obat (farmakologis). Yang pertama kali harus dilakukan oleh pasien disfungsi ereksi harus memperbaiki pola hidup menjadi sehat. Beberapa cara dalam menerapkan pola hidup sehat antara lain olah raga, menu makanan sehat(asam amino arginin, bioflavonoid, seng, vitamin C dan E dan makanan berserat), kurangi dan hindari rokok atau alkohol, menjaga kadar kolesterol dalam tubuh, mengurangi berat badan hingga normal), dan mengurangi stres. Jika dengan menerapkan pola hidup sehat, pasien sudah mengalami peningkatan kepuasan ereksi maka pasien disfungsi ereksi tidak perlu menggunakan obat atau vakum ereksi.

Obat-obatan yang digunakan untuk pengobatan disfungsi ereksi antara lain golongan phosphodiesterase inhibitor5 (sildenafil, vardenafil, dan tadalafil), alprostadil (disuntikkan di penis-intracevernosal dan dimasukkan dalam ureterintrauretral), papaverine, trazodone, dan dengan testosteron replacing hormone (penambahan homon estrogen). Obat yang digunakan sebagai obat pilihan untuk pengobatan disfungsi ereksi adalah sildenafil. Lihat gambar 5 dan 6.

Gambar 5. Farmakokinetik dari PDE- 5 inhibitors

15

Gambar 6. Algoritma penggunaan PDE- 5 inhibitors oral

16

Pengobatan disfungsi ereksi nonfarmakologis adalah Vacum Constriction Device (VCD) dapat mencapai 250 mmHg dimana menggunkan cincin untuk

mempertahankan kondisi ereksi setelah vakum dengan waktu maksimal 25 30 menit. Kelebihan VCD adalah mudah dilakukan dan tingkat kepuasan tinggi. Efek samping VCD adalah sering kebas, hematom, peteki, skrotum terhisap. Vascular resconstructive Surgery (VRS), dilakukan pada pasien DE berusia muda dengan riwayat trauma pelvis dan perianal. VRS meningkatkan suplai darah di penis. Cara kerja VRS dengan bypass arteri yang tersumbat dengan menggunakan arteri dari otot abdomen (inferior epigastric artery). Tingkat keberhasilan jangka panjang 50 60 %. Komplikasi nyeri penis, berkurangnya sensasi, dan glans hiperemis. Penile prosthesis , mengganti struktur erection chamber dengan batang silinder semi rigid, rigid, ataupun hidrolik. Merupakan terapi ketiga pada pasien DE. Penile prosthesis membutuhkan anestesi dan biayanya yang mahal. Komplikasi Penile prosthesis adalah perdarahan tidak terkontrol paska operasi, infeksi teru tama pada pasien DM dan yang mengalami trauma spinalis. Psikoterapi jika pasien mengalami masalah psikologis dan pada pasien yang gagal setelah dilakukan terapi oral dan injeksi. Pendekatan yang dilakukan adalah Cognitive Behavioral Intervention. Selain itu dilakukan koreksi kognitif maladaptif, eksplorasi masa lampau, dan terapi pasangan.

4.3.6 Prognosis disfungsi ereksi Disfungsi ereksi temporer sering terjadi dan biasanya bukan masalah yang serius. Akan tetapi, jika disfungsi ereksi menjadi persisten, efek psikologis menjadi signifikan. Disfungsi ereksi dapat menyebabkan gangguan hubungan antara suami istri dan dapat menyebabkan terjadinya depresi. Disfungsi ereksi yang persisten dapat merupakan suatu gejala dari kondisi medis yang serius seperti diabetes, penyakit jantung, hipertensi, gangguan tidur, atau masalah sirkulasi.

17

4.4 Diabetes melitus 4.4.1 Definisi, etiologi diabetes melitus Diabetes mellitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa di dalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara cukup. Menurut Mansjoer dkk.(1999), etiologi penyakit diabetes adalah sebagai berikut: a. diabetes melitus tipe 1 (IDDM) b. diabetes melitus tipe 2 (NIDDM) c. tipe lain : defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, akibat obat atau zat kimia, infeksi, diabetes gestasional. Diabetes Mellitus tipe 1 Penderita menghasilkan sedikit insulin atau sama sekali tidak menghasilkan insulin Diabetes Mellitus tipe 2 Pankreas tetap menghasilkan insulin, kadang kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga terjadi kekurangan insulin relatif Bisa terjadi pada anak-anak dan dewasa, tetapi biasanya terjadi setelah usia 30 tahun

Umumnya terjadi sebelum usia 30 tahun, yaitu anak-anak dan remaja.

Para ilmuwan percaya bahwa faktor Faktor resiko untuk diabetes tipe 2 lingkungan (berupa infeksi virus atau faktor adalah obesitas dimana sekitar 8090% penderita mengalami obesitas. gizi pada masa kanak-kanak atau dewasa awal) menyebabkan sistem kekebalan menghancurkan sel penghasil insulin di pankreas. Untuk terjadinya hal ini diperlukan kecenderungan genetik. 90% sel penghasil insulin (sel beta) mengalami kerusakan permanen. Terjadi kekurangan insulin yang berat dan penderita harus mendapatkan suntikan insulin secara teratur 4.4.2 Patofisiologi diabetes melitus Pada diabetes tipe 1, terdapat ketidak mampuan untuk menghasilkan insulin karena sel sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak disimpan di hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia post prandial. Jika konsentrasi glukosa Diabetes Mellitus tipe 2 juga cenderung diturunkan secara genetik dalam keluarga

18

dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya terjadi glukosuria. Ketika glukosa yang berlebihan ini di keluarkan melalui urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan pula (diuresis osmotik). Akibat kehilangan cairang yang berlebihan, pasien akan mengalami poliuria dan polidipsi. Defisiensi insulin juga menggangu metabolisme protein dan lemak sehingga terjadi penurunan berat badan. Pasien

mengalami polifagi akibat menurunnya simpanan kalori, gejala lainnya meliputi kelelahan dan kelemahan. Pada diabetes tipe 2, terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus di permukaan sel dan sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, pada pasien diabetes tipe 2 ini terjadi penurunan reaksi intra sel ini. Dengan demikian, insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun, untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe 2.

4.4.3 Diagnosa diabetes melitus Anamnesa, evaluasi faktor risiko diabetes yaitu usia > 45 tahun, berat badan berlebih (IMT > 23 kg/m2 ), hipertensi ( 140 mmHg), riwayat DM pada keluarga, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, makrosomia, dan kolesterol HDL 35 mg/dl atau trigliserida 250 g/dl. Pemeriksaan fisik, adanya keluhan khas seperi poliuri, polidipsi, polifagi, dan penurunan berat badan. Selain itu, keluhan tidak khas seperti lemas, kesemutan, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulva pada wanita. Pemeriksaan laboratorium, pertama dilakukan screening. Menurut

rekomendasi ADA 2007, pasien harus dilakukan screening apabila memiliki faktor risiko, bila faktor risiko tinggi dan dijumpai hasil screening negatif maka lakukan screening ulang tiap tahun, dan bila umur > 45 tahun, lakukan screening ulang tiap 3 tahun sekali.

19

spesimen

Bukan DM

Belum DM

pasti DM

KGD sewaktu

Plasma vena Darah kapiler

<110 < 90 <110 < 90

110 - 199 90 - 199 110 125 90 - 109

200 200 126 110

KGD puasa

Plasma vena Darah kapiler

Tes diagnostik, kriteria diagnosa DM menurut ADA, 2007 adalah keluhan klinis dengan adanya KGD sewaktu 200 mg/dl atau KGD puasa 126 mg/dl atau OGTT 2 jam postprandial 200 mg/dl. Indeks penentuan derajat kerusakan sel pankreas adalah HbA1C dimana menggambarkan kontrol nilai glukosa pada 4 8 minggu sebelumnya. Interpretasi HbA1C Normal Kontrol glukosa baik Kontrol glukosa sedang Kontrol glukosa buruk : 3,5 5,5 % : 3,5 6 % :78% : 8 %.

4.4.4 Pengobatan diabetes melitus . Pengobatan diabetes dapat dibagi menjadi 2 yaitu farmakologis dan non farmakologi. Pengobatan farmakologi adalah dengan insulin dan obat hipohlikemik oral. Insulin adalah suatu hormon polipeptida yang dihasilkan oleh seldari pulau

Langerhans dan merupakan kelompok sel yang terdiri dari 1% masa pankreas (Rimbawan dan Siagian, 2004). Dosis insulin dinyatakan dalam unit (U). Sediaan homogen human insulin mengandung 25-30 UI/mg. Insulin diberikan secara subkutan dengan tujuan mempertahankan kadar gula darah dalam batas normal sepanjang hari yaitu 80-160 mg% setelah makan. Untuk pasien usia di atas 60 tahun batas ini lebih tinggi yaitu puasa kurang dari 150 mg% dan kurang dari 200 mg% setelah makan. Insulin dapat segera diberikan dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stress berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria.

20

Insulin dikelompokkan berdasarkan mula dan lama kerjanya yaitu: insulin kerja singkat (short-acting), insulin kerja sedang (intermediate-acting), insulin kerja sedang dengan mula kerja singkat, insulin kerja lama (long-acting). Efek samping insulin yang paling sering terjadi adalah hipoglikemia (Anonim, 2000). 2) Obat Hipoglikemik Oral (OHO) OHO terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM tipe 2, Diantaranya: (a) Golongan sulfonilurea OHO golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan untuk penderita diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya (Anonim, 2005). Sulfonilurea bekerja dengan cara menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan, menurunkan ambang sekresi insulin, dan meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.Untuk
menghindari resiko hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang. (b) Short-acting insulin secretagogues

Short-Acting Insulin Secretagogues terdiri dari nateglinide dan repaglinide bekerja seperti sulfonilurea dengan menstimulasi sekresi insulin dari sel -pankreas. Efek samping akibat penggunaan short-acting insulin secretagogues adalah efek hipoglikemi dan peningkatan berat badan. Namun resiko hipoglikemi yang muncul lebih rendah daripada akibat penggunaan sulfonilurea (gliburid dan glipizid).

21

(c) Golongan biguanid Biguanid meningkatkan kepekaan reseptor insulin, sehingga absorbsi glukosa di jaringan perifer meningkat dan menghambat glukoneogenesis dalam hati dan meningkatan penyerapan glukosa di jaringan perifer. Metformin tidak meningkatkan berat badan seperti insulin sehingga biasa digunakan, khususnya pada pasien dengan obesitas.Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia, misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung.
(d) Thiazolidindione

Thiazolidindione bekerja dengan mengikat pada peroxisome proliferator activator receptor(PPAR- ), yang terutama ada pada sel lemak dan sel vaskular.

Thiazolidindione secara tidak langsung meningkatkan sensitivitas insulin pada otot, liver, dan jaringan lemak. Thiazolidindione adalah obat golongan baru yang mempunyai efek meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga bisa mengatasi masalah resistensi insulin dan berbagai masalah akibat resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemi. (e) Golongan -glukosidase-inhibitors Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim -glukosidase di dalam saluran cerna. Sehingga reaksi penguraian di-/polisakarida menjadi monosakarida dihambat. Dengan demikian glukosa dilepaskan lebih lambat dan absorpsinya ke dalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata, sehingga memuncaknya kadar glukosa darah dihindarkan. Obat ini bekerja di lumen usus, tidak menyebabkan hipoglikemia dan tidak berpengaruh pada kadar insulin. Pengobatan non farmakologi pada pasien diabetes adalah dengan edukasi, nutri dan olahraga. Edukasi, keberhasilan pengelolaan diabetes membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien menuju perubahan perilaku untuk itu diperlukan edukasi yang komprehensif, pengembangan keterampilan dan motivasi. Edukasi tersebut meliputi pennyakit DM, makna perlunya pengendalian dan pemantauan DM, intervensi farmakologi dan non farmakologi, hipoglikemia, dll.

22

Nutrisi, anjuran makanan untuk pasien DM sama den gan anjuran makanan sehat pada umumnya yaitu menu seimbang dan sesuai dengan kalori masing masing agar dapat mencapai dan mempertahankan berat badan normal.

Perencanaan asupan makanan pada lansia adalah makanan harus mengandung zat gizi dari makanan yang beranekaragam terdiri dari karbohidrat, protein, dan lemak. Perlu diperhatikan porsi makanan, jangan terlalu kenyang dan kurangi konsumsi garam. Bagi pasien yang proses penuaannya sudah lanjut, makan makanan

23

yang mudah dicerna, bila kesulitan mengunyah karena gigi rusak/ gigi palsu kurang baik maka makan makanan lunak/ lembek, konsumsi makanan yang berserat tinggi setiap hari ( sayuran, buah buahan, roti, sereal), serta dianjurkan untuk mengolah makanan dengan cara direbus, dikukus, atau dipanggang, kurangi makanan yang digoreng. Pantau status nutrisi dengan berat badan ideal = 0,9 x ( TB(cm) 100), untuk wanita dengan TB< 150 cm dan pria < 160 cm maka berat badan ideal = TB(cm) 100. Jika < 10 % dari berat badan ideal maka pasien termasuk gizi kurang. Jika > 10 % dari berat badan ideal maka pasien termasuk gizi berlebih. Olaharaga, dianjurkan untuk berolahraga 3-4 x/ seminggu selama 30 menit. Olahraga yang disarankan adalah jalan jogging, bersepeda santai, dan berenang. Adapun mamfaat olahraga adalah membakar kalori sehingga berat badan turun, menurunkan resiko kardiovaskular, meningkatkan sensitivitas insulin, dan

menghilangkan kecemasan, stress, ketegangan

4.5 Metformin Metformin adalah obat hipoglikemik orak golongan biguanid dengan cara kerja meningkatkan kepekaan reseptor insulin, sehingga absorbsi glukosa di jaringan perifer meningkat dan menghambat glukoneogenesis dalam hati dan meningkatan penyerapan glukosa di jaringan perifer. Farmakokinetik dari metformin masih banyak yang belum lengkap, metformin mempunyai t = 1,5 3 jam dan tidak terikat pada protein plasma, tidak dimetabolisme dan dieksresikan melalui ginjal sebagai senyawa aktif. Efek samping yang sering terjadi adalah nausea, muntah, kadang-kadang diare dan dapat menyebabkan asidosis laktat. Pemakaian pada lansia harus berhati hati karena dapat menyebabkan anoreksia dan penurunan berat badan Metformin tidak . meningkatkan berat badan seperti insulin sehingga biasa digunakan, khususnya pada pasien dengan obesitas. Metformin juga dapat menurunkan kadar trigliserida hingga 16%, LDL kolesterol hingga 8% dan total kolesterol hingga 5%, dan juga dapat meningkatkan HDL kolesterol hingga 2%. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasienpasien dengan kecenderungan hipoksemia, misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung. Kombinasi sulfonilurea dan metformin merupakan kombinasi yang rasional karena cara kerja berbeda yang saling aditif

24

BAB V

ULASAN

Ada beberapa hal masih belum jelas dalam hal, pada kasus ini, bagaimana kompetensi dokter umum? Apakah ada indikasi rujuk? Setelah mendapat penjelasan dari pakar diketahui bahwa kompetensi dokter umum adalah 3 A yaitu yaitu dapat mendiagnosa, memberikan penatalaksanaan dan merujuk. Pada penyakit diabetes melitus, kompetensi dokter umum adalah area kompetensi 4.

Bagaimana mekanisme terjadinya mimpi basah (nocturnal erection)? Ereksi dapat terjadi tanpa adanya stimulasi ketika tidur dalam REM sleep, dimana pada REM sleep saraf kolinergik di lateral pontin tegmentum diaktivasi ketika saraf adrenergik di lokus cereleus dan saraf serotonin di otak tengah dalam keadaan silent. Oleh karena teraktivasinya saraf kolinergik (parasimpatis) maka dapat terjadi mimpi basah.

Ada beberapa hal masih belum jelas dalam hal apakah masturbasi termasuk disfungsi ereksi ? Setelah mendapat penjelasan dari pakar diketahui bahwa masturbasi termasuk disfungsi ereksi?

Apa solusi pada pasien yang tinggal sendiri agar pengobatan teratur? Gunakan obat yang simpel dan tidak multidrug, selain itu gunakan t1/2 yang pendek.

Apa penyebab disfungsi ereksi yang paling sering? Penyebab disfungsi ereksi yang paling sering adalah gangguan vaskular, gangguan neurologik, dan akibat pemakaian obat obatan (farmakologis).

25

BAB VI KESIMPULAN

Tn. P mengalami disfungsi ereksi yang disebabkan oleh diabetes melitus yang tidak dikontrol dengan baik.

26

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.

Anatomi

Penis

dan

Fisiologi

Ereksi

Penis.

Available

from:

http://www.konseling.net/artikel_seks/anatomi_penis.htm.[Accessed 21 September 2010].

Anonim.

Prognosis

Disfungsi

Ereksi.

Available

from:

http://www.healthcentral.com/erectile-dysfunction/risks-000015_5-145.html. [Accessed 21 September 2010].

Anurogo, Dito. Referensi Lengkap Disfungsi Ereksi (Bagian II). Available from: http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&jd=Referensi+Lengkap+Disfungsi +Ereksi+(Bagian+II)&dn=20080223174715. [Accessed 21 September 2010].

Bella, Anthony J. dan Tom F. Lue. Male Sexual Dysfunction. Emil A. Tanagho dan Jack W. Aninch. Smiths General Urology. United Stated of America : Lange. 589608. Clapauch, Ruth, Daniel Jorje De Castro Barga,dkk. Risk of late-onset hypogonadism (andropause) in Brazilian men over 50 years of age with osteoporosis: usefulness of screening questionnaires. Available from:

http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0004-27302008000900006 . [Accessed 21 September 2010]. Dorland,W.A.Newman.Erection.Lia Astika Sari,A.Md dan Sonta

F.Manalu,A.Md.Kamus Kedokteran Dorland edisi 29.Jakarta:EGC.758.

Fanani,

M.

Stress

dan

Disfungsi

Seksual.

Available

from:

http://psks.lppm.uns.ac.id/2010/02/25/makalah-3/. [Accessed 21 September 2010].

Fazio, Luke dan Gerald Brock. Erectile dysfunction: management update. Available from: JAMC 27 AVR. 2004; 170 (9).

27

Hamid,

Khairul.

Konsep

Dasar

Penyakit

Diabetes.

Available

from:

http://www.slideshare.net/khairulhamidhamd/konsep-dasar-penyakit-diabetesmellitus. [Accessed 21 September 2010].

Mac Vary, Kevin T. Erectile Dysfunction. Available from: n engl j med 357;24 www.nejm.org 2472 december 13, 2007. [Accessed 22 Oktober 2010].

Meneilly, Graydon. Pathophysiology of Diabetes in the Elderly. Available from: http://www.clinicalgeriatrics.com/articles/Pathophysiology-Diabetes-Elderly. [Accessed 22 Oktober 2010]. Powers, Alvin C. Diabetes Melitus.. Dennis L. Kasper, Anthony S. Fauci, dkk. Harrisons Principles of Internal Medicine. United Stated of America : Mc Graw Hill. 2171. Rachmawati, Dinar Pramilih. Pola Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) pada Pasien Geriatri Diabetes Melitus Tipe 2 di Instalasi Rawat Jalan RSUD DR Moerwadi Surakarta Periode Januari Juli 2008. Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadyah. Surakarta.

Setiadji, V. Sutarmo.Hemodinamika Ereksi, Neuroanatomi dan Neurofisiologi Ereksi. Neurofisiologi Ereksi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.13-15.16.

Siwi, Yuli Ratika. Penggunaan Sildenafil pada Pasien Disfungsi Ereksi (Impotensi). Available from: http://yosefw.files.wordpress.com/2007/12/silde1.pdf. [Accessed 21 September 2010].

Watts, Gerald F., Kew Kim Chew, Bronwyn GA Stuckey. The erectileendothelial dysfunction nexus: new opportunities for cardiovascular risk prevention. Available from: www.nature.com/clinicalpractice/cardio. [Accessed 21 September 2010].

28

LAMPIRAN

IIEF ( International Index of erectile Function- 5)

29

Anda mungkin juga menyukai