Anda di halaman 1dari 56

STATUS PASIEN BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL

Nama Mahasiswa NIM : Dini Rachmi F. : 030.07.071 Dokter Pembimbing: Dr.H.R.Setyadi, Sp.A Tanda tangan :

I. IDENTITAS PASIEN Data Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Agama Suku Bangsa Pendidikan Pekerjaan Penghasilan Keterangan Asuransi No. RM II. DATA DASAR 1. Anamnesis Alloanamnesis dilakukan dengan orang tua dan nenek pasien serta perawat ruang Perinatologi pada tanggal 27 April 2013 pukul 10.30 WIB di Ruang Dahlia serta didukung catatan medis. Keluhan utama : Pasien Ayah Ibu An. X Tn.J Ny.S 7hari 25tahun 36 tahun Perempuan Laki-laki Perempuan Pekauman Kulon RT 01 RW 03 Dukuh Turi Islam Islam Islam Jawa Jawa Jawa SMA SMA Buruh Ibu Rumah Tangga 880.000 Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung Jampersal 660221

Riwayat Penyakit Sekarang Ibu G1P1A0 24 tahun, hamil 39 minggu dengan KPD. Selalu kontrol kehamilannya di posyandu dan bidan secara teratur. Tanggal 20 April 2013 pukul 22.00 ibu dibawa ke rumah sakit karena terasa mules, perut terasa kencang, dan keluar banyak air dari kemaluan. Menurut ibu, persalinan berlangsung lama dan sulit. Pada tanggal 21 April 2013, lahir bayi perempuan secara spontan, bayi menangis kuat, tidak biru, dengan AS 6, BBL 3000 gram, PB 49 cm. Air ketuban jernih. Placenta dikeluarkan (ekspulsi) dengan kotiledon lengkap, tidak terdapat infark dan hematom.

Pasien kemudian langsung dibawa ke ruang mawar, tidak tampak sesak nafas dan merintih. Keesokan harinya pasien dirawat gabung bersama ibunya di ruang mawar, asi ibu keluar banyak, pasien menyusu kuat, tangisan kuat, gerak aktif, sudah BAK maupun BAB, tidak terdapat muntah, kejang, kuning, serta demam, tidak ada keluhan yang timbul. Pada perawatan hari kedua (22 April 2013) pasien kejang, durasi kejang jurang lebih 1 menit, kejang kaku, setelah kejang pasien sadar, mulut tidak berbusa, menurut ibu pasien, pasien saat itu tidak sedang demam. Kejang sebanyak 3 kali yaitu pukul 15.15, 15.30, dan 20.00. Selama kehamilan baik trimester 1,2,3 tidak pernah keluar darah dari jalan lahir, ibu juga tidak mengkonsumsi obat-obatan.Tekanan darah ibu tidak tinggi. Ibu tidak menderita kencing manis. Ibu mendapatkan suntikan TT 2x Tidak pernah menderita penyakit selama kehamilan, riwayat trauma selama kehamilan disangkal, riwayat minum obat tanpa resep dokter dan jamu disangkal. Ibu mengkonsumsi vitamin penambah darah dari Puskesmas. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita sakit seperti ini. Tidak ada yang memiliki riwayat tekanan darah tinggi, sesak nafas, alergi, asma, penyakit jantung Riwayat Sosial Ekonomi Ayah pasien bekerja sebagai buruh bangunan. Ibu pasien adalah sorang ibu rumah tangga. Menurut ibu pasien penghasilan sekitar Rp 800.000,00 sebulan kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. Kesan : riwayat ekonomi kurang Riwayat Lingkungan Pasien tinggal bersama kedua orangtuanya, neneknya, dan ke empat orang saudara ibunya di kawasan yang cukup padat penduduknya. Tempat tinggal pasien berukuran 36 m2, beratap genteng, berdinding kayu, lantai tanah dengan 2 kamar tidur. Cahaya matahari masuk melalui genteng kaca.Kamar mandi ada 1 dan terdapat di luar rumah. Terdapat penerangan dengan listrik. Air berasal dari sumur. Air limbah rumah tangga disalurkan melalui selokan di depan rumah. Aliran air di dalamnya lancar. Kesan : rumah dan sanitasi lingkungan kurang baik 2

III. RIWAYAT PASIEN Pasien adalah anak tunggal. 1. Riwayat Kehamilan dan Persalinan - Kehamilan Perawatan Antenatal Penyakit Kehamilan Penyakit yang diderita - Persalinan Tempat kelahiran Penolong persalinan Cara persalinan Masa gestasi HPHT Taksiran partus Tanggal kelahiran Keadaan bayi 1. 2. 3. 4. 5. 6. Berat badan lahir Panjang badan lahir Lingkar kepala Langsung menangis Nilai APGAR Kelainan bawaan : 3000 gram :49 cm ::+ :6 :: Rumah Sakit Umum Kardinah : Bidan : Lahir Spontan : 39 minggu : 22 juli 2012 : 28 April 2013 : 21 April 2013 : Rutin periksa ke bidan dan posyandu : Tidak ada :-

Kesan : riwayat kehamilan dan persalinan baik 7. Riwayat Keluarga Berencana Ibu pasien belum mengikuti program Keluarga Berencana 8. Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak - Pertumbuhan 1. 2. 3. Berat badan lahir Panjang badan Lingkar kepala :3000 gram :49 cm :3

4.

Lingkar dada

:-

- Perkembangan Perkembangan anak belum dapat dinilai dan dievaluasi 9. Riwayat Makanan Sejak lahir sampai sekarang ibu pasien mengaku anaknya sudah minum Asi secara langsung melalui payudara Ibu. Selama di RSUD Kardinah bayi mendapatkan ASI. 10. Riwayat Imunisasi VAKSIN DASAR (umur) BCG DPT/ DT POLIO CAMPAK HEPATITIS B 21/04/2013 Kesan : Imunisasi Hepatitis B pertama sudah diberikan 11. 1. No Riwayat Keluarga Corak Reproduksi Tanggal Lahir 1 21 April 2013 (usia 7 hari) Jenis Kelamin Hidup Hidup Lahir Mati Sakit Abortus Mati Keterangan ULANGAN (umur) -

Susunan keluarga

Keterangan :

: Laki-laki

: Perempuan

: Pasien

IV.PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 27 April 2013, pukul 11.00 WIB di ruang perina. Bayi perempuan, usia 7 hari, berat badan sekarang 3000 gram, panjang badan 49 cm, lingkar kepala 35 cm, lingkar dada 34 cm. Kesan umum : Menangis kuat, gerak aktif, tampak sesak (-), retraksi subcostal (-), ikterik (-), sianosis (-) Tanda vital 1. 2. 3. 4. Tekanan darah: tidak dilakukan pemeriksaan Laju jantung : 116 x/menit, reguler Pernapasan Suhu : 46 x/menit : 36.9C (Axilla)

Status Generalis 1. Kepala Mesocephal, ukuran lingkar kepala 35 cm, ubun-ubun besar masih terbuka, teraba datar, tidak tegang, caput succadaneum (-), cephal hematom (-), rambut hitam terdistribusi merata, tidak mudah dicabut, kulit kepala tidak ada kelainan. 2. Mata Mata cekung (-/-), palpebra oedem (-/-), sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-), katarak kongenital (-/-), glaukoma kongenital (-/-) 3. 4. 5. Hidung Nafas cuping hidung (-/-), bentuk normal, sekret (-/-), septum deviasi (-) Telinga Bentuk normal, tulang rawan sempurna, discharge (-/-) Mulut Sianosis (-), trismus (-), stomatitis (-), bercak-bercak putih pada lidah dan mukosa (+), bibir kering (-), labioschizis (-), palatoschizis (-) 6. 7. Leher Pendek, pergerakan baik, tumor(-), tanda trauma (-) Thorax Paru Inspeksi :simetris dalam keadaan statis maupun dinamis, retraksi suprasternal (-), intercostalis (-), subcostal (-) kelenjar mammae membesar -/Palpasi : stem fremitus tidak dilakukan, aerola mammae teraba, papilla mammae (+/+). Perkusi Auskultasi Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi 8. Abdomen Inspeksi :agak buncit 6 : pulsasi ictus cordis tidak tampak : ictus cordis tidak teraba : batas jantung sulit dinilai : bunyi jantung I-II regular, bising (-), gallop (-) : pemeriksaan tidak dilakukan : suara nafas dasar bronkovesikuler, suara nafas tambahan (-/-),

ronkhi (-/-), wheezing (-/-).

Auskultasi Perkusi 9. 10. 11.

:bising usus (+) :timpani

Palpasi :supel, hepar tidak teraba, lien tidak teraba. Tulang Belakang Tidak ada spina bifida, tidak ada meningocele Genitalia Labia Mayor besar menutupi Labia Minor Anorektal Anus (+), diaper rash (-) Anggota gerak tangan dan kaki sempurna Ekstremitas Deformitas Akral dingin Akral sianosis Ikterik CRT Tonus Kulit Ikterik (-), sianosis (-), anemis (-), turgor kulit baik. Refleks Primitif 1. Refleks Oral : - Refleks Hisap - Refleks Rooting 2. 3. 4. Refleks Moro Refleks Palmar Grasp Refleks Plantar Grasp : ( +) :(+) :(+) :(+) :(+) : Superior - /- /- /- /<2 detik Normotoni Inferior - /- /- /- /<2 detik Normotoni

Pemeriksaan Khusus : KURVA LUBCHENKO

BBL : 3000 gr 7

Usia Kehamilan : 39 minggu Hasil : Sesuai Masa Kehamilan

VI. PERJALANAN PENYAKIT 22 April 2013 S: Sesak (-), Ikterik (-), menangis kuat, sianosis (-), BAK (+), BAB (+), demam (-) O: KU: gerak aktif, menangis kuat, tampak sesak (-), retraksi subcostal (-), ikterik (-), sianosis (-) S : 36,80C HR: 148 x/menit reguler RR : 42x/ menit Mata : Ca-/-, SI-/Hidung : nafas cuping hidung (-/-) Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-) 8

Pulmo/ SN bronkovesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/Abdomen : agak buncit, BU (+) meningkat, supel, timpani, turgor baik Ekstremitas superior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik, tonus normotoni Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik, tonus normotoni A P : : neonatus aterm sesuai masa kehamilan Asi BLPL 22 April 2013 (12.25) S: Kejang (+), Demam (+) O: KU: gerak cukup aktif, menangis kurang kuat, tampak sesak (+), sianosis (-) S : 38.10C HR: 164 x/menit reguler RR : 70x/ menit SpO2 : 96% Mata : Ca-/-, SI-/Hidung : nafas cuping hidung (-/-) Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo/ SN bronkovesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/-, hantaran -/Abdomen : agak buncit, BU (+) meningkat, supel, timpani, turgor baik Ekstremitas superior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik, tonus normotoni Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik, tonus normotoni A P : : neonatal infeksi Observasi kejang o2 sungkup Midazolam 0,6mg im Infuse D10% Ca Gluconas 20cc Inj. Ceftazidim 2x 500/3 mg 9

Gentamisin 2x 8 mg Cek GDS, cek darah, cek elektrolit 23 April 2013 S: Demam (-), Kejang (+), Sesak (-), Kulit kuning (-), Kulit kebiruan (-), BAB-BAK normal O: KU: gerak cukup aktif, menangis cukup kuat, tampak sesak (-), sianosis (-) Terpasang O2 sungkup dan OGT S : 37.00C HR: 183 x/menit reguler RR : 60x/ menit Mata : sukar dinilai Hidung : nafas cuping hidung (-) Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo/ SN bronkovesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/Abdomen : datar, BU (+), supel, timpani, turgor kulit baik Ekstremitas superior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik GDS jam 13.40: 292 Hematologi Lekosit Eritrosit Hemoglobin Hematokrit MCV MCH MCHC Trombosit GDS Natrium Kalium Klorida Hasil 22.900/ul 3.7 juta/Ul L 12.5 g/dL L 35,0 % 94,6 U H 33,8 Pcg 35,7 g/dl 386.000/ul L 52 mg/dl 136,7 mmol/L 4,20 mmol/L 104,4 mmol/L Rujukan 6.0-21.0/ul 3.9-5.9/ul 13.0-20.0 g/dL 42-66 % 76-96 U 27-31 Pcg 33,0-37,0 150-400/ul 70-160 mg/dl 135-148 mmol/L 3,6-5,5 mmol/L 95-108 mmol/L

10

A P

: :

neonatal infeksi Observasi kejang o2 sungkup Midazolam 0,1 mg/kgbb/jam Infuse D10% Ca Gluconas 20cc Kcl 9,9 cc Nacl 3% 12cc Inj. Ceftazidim 2x 500/3 mg Gentamisin 2x 8 mg

24 April 2013 S: Demam (-), Kejang (-), Sesak (-), Ikterik (-), Sianosis (-), BAB-BAK normal O: KU: gerak kurang aktif, menangis cukup kuat, tampak sesak (-), sianosis (-) Terpasang OGT, O2 sungkup S : 36.90C HR: 146 x/menit reguler RR : 44x/ menit SpO2 : 100% Mata : Ca-/-, SI-/Hidung : nafas cuping hidung (-) Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo/ SN bronkovesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/Abdomen : datar, BU (+), supel, timpani, turgor kulit baik Ekstremitas superior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik A P : : neonatal infeksi Observasi kejang o2 sungkup Infuse D10% Midazolam 0,1mg/kgbb/jam Vitamin B6 Dilantin 5 mg/kgbb/hari 11

Ca Gluconas 20cc Inj. Ceftazidim 2x 500/3 mg Gentamisin 2x 8 mg Ctscan Kepala 25 April 2013 S: Demam (-), Kejang (-), Sesak (-), Ikterik (-), Sianosis (-), BAB-BAK normal O: KU: gerak kurang aktif, menangis cukup kuat, tampak sesak (-), sianosis (-) Terpasang O2 sungkup, OGT S : 36.70C HR: 116 x/menit reguler RR : 50x/ menit SpO2 : 100% Mata : Sulit dinilai Hidung : nafas cuping hidung (-) Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo/ SN bronkovesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/Abdomen : datar, BU (+) meningkat, supel, timpani, turgor kulit baik Ekstremitas superior : akral hangat +/+, eodem -/-, CRT <2detik Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, eodem -/-, CRT <2detik

12

Head ctscan tanggal 25-04-2013: Lesi hiperden giry dan sulcy region fronto temporo parietalis dextra dan sinistra serta fissure intrahemisfere. Giry samar sulcy dangkal Sistema ventrikel sempit Struktur mediana tidak deviasi Kesan: menyokong sub arachnoid hematoma A P : : neonatal infeksi SAH o2 Headbox Infus D10% Kcl 9,9 cc 13

Inj. Ceftazidim 2x 500/3 mg Gentamisin 2x 8 mg Vitamin B6 OGT 8x 3,5-5cc

26 April 2013 S: Demam (-), Kejang (-), Sesak (-), Ikterik (-), Sianosis (-), BAB-BAK normal O: KU: gerak kurang aktif, menangis cukup kuat, tampak sesak (-), sianosis (-) Terpasang O2 headbox, Terpang OGT S : 36.70C HR: 137 x/menit reguler RR : 48 x/ menit SpO2 : 87% Mata : Ca-/-, SI-/Hidung : nafas cuping hidung (-) Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo/ SN bronkovesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/Retraksi Subcostal (+), Retraksi Suprasternal (+) Abdomen : datar, BU (+) meningkat, supel, timpani, turgor kulit baik Ekstremitas superior : akral hangat +/+, eodem -/-, CRT <2detik Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, eodem -/-, CRT <2detik A P : : neonatal infeksi SAH o2 Headbox Infus D10% Kcl 9,9 cc Inj. Ceftazidim 2x 500/3 mg Gentamisin 2x 8 mg Vitamin B6 OGT 8x 3,5-5cc 27 April 2013 14

S: Demam (-), Kejang (-), Sesak (-), Ikterik (-), Sianosis (-), BAB-BAK normal O: KU: gerak kurang aktif, menangis cukup kuat, tampak sesak (+), sianosis (-) S : 36.9 0C HR: 146 x/menit reguler RR : 46 x/ menit Mata : Ca-/-, SI-/Hidung : nafas cuping hidung (-) Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo/ SN bronkovesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/Abdomen : datar, BU (+) meningkat, supel, timpani, turgor kulit baik Ekstremitas superior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik A P : : neonatal infeksi SAH Infus D10% Kcl 9,9 cc Inj. Ceftazidim 2x 500/3 mg Gentamisin 2x 8 mg Vitamin B6 28 April 2013 S: Demam (-), Kejang (-), Sesak (-), Ikterik (-), Sianosis (-), BAB-BAK normal O: KU: gerak kurang aktif, menangis cukup kuat, tampak sesak (-), sianosis (-) S : 36.10C HR: 138 x/menit reguler RR : 36x/ menit Mata : Ca-/-, SI-/Hidung : nafas cuping hidung (-) Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo/ SN bronkovesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/Abdomen : datar, BU (+) meningkat, supel, timpani, turgor kulit baik Ekstremitas superior : akral hangat +/+, eodem -/-, CRT <2detik Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, eodem -/-, CRT <2detik 15

A P

: :

neonatal infeksi SAH Kcl 9,9 cc Inj. Ceftazidim 2x 500/3 mg Gentamisin 2x 8 mg Vitamin B6

29 April 2013 S: Demam (-), Kejang (-), Sesak (-), Ikterik (-), Sianosis (-), BAB-BAK normal O: KU: gerak cukup aktif, menangis cukup kuat, tampak sesak (-), sianosis (-) S : 36.2 0C HR: 126 x/menit reguler RR : 28 x/ menit Mata : Ca-/-, SI-/Hidung : nafas cuping hidung (-) Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo/ SN bronkovesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/Abdomen : datar, BU (+) meningkat, supel, timpani, turgor kulit baik Ekstremitas superior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik A P : : neonatal infeksi SAH Dilantin %mg/kgbb/hari Vitamin b6 San b plex 1x 0,3ml Cefat 2x 62,5

30 April 2013 S: Demam (-), Kejang (-), Sesak (-), Ikterik (-), Sianosis (-), BAB-BAK normal O: KU: gerak cukup aktif, menangis cukup kuat, tampak sesak (-), sianosis (-) S : 36.60C 16

HR: 184 x/menit reguler RR : 32x/ menit Mata : Ca-/-, SI-/Hidung : nafas cuping hidung (-) Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo/ SN bronkovesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/Abdomen : datar, BU (+) meningkat, supel, timpani, turgor kulit baik Ekstremitas superior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT <2detik A P : : neonatal infeksi SAH Dilantin %mg/kgbb/hari Vitamin b6 San b plex 1x 0,3ml Cefat 2x 62,5

VII. RINGKASAN DATA DASAR 1. ANAMNESIS Pasien bayi perempuan umur 7 hari, didapatkan bahwa pasien lahir pada usia kehamilan 39 minggu menurut HPHT. Lahir secara normal dengan presentasi kepala pada tanggal 21 April 2013 pukul 09.05, ketuban jernih. Berat badan lahir 3000 gram, panjang badan 49 cm. Lahir dengan apgar score 6. Suhu badan 36,2OC, nadi 126 x/menit dan kecepatan pernafasan 42 x/menit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bayi tampak aktif,menangis kurang kuat. 2. PEMERIKSAAN FISIK Kesan umum : Menangis kuat, gerak aktif, tampak sesak (-). Tanda vital 1. 2. 3. 4. Tekanan darah: tidak dilakukan pemeriksaan Laju jantung : 116x/menit, reguler Pernapasan Suhu : 46x/menit : 36,6C (Axilla) 17

Status Generalis 3. Kepala Mesocephal, ukuran lingkar kepala 35 cm, ubun-ubun besar masih terbuka, teraba cekung, tidak tegang. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Mata Mata cekung (-/-),sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-), Hidung Terpasang NGT, Bentuk normal, nafas cuping hidung (-/-), Telinga Bentuk normal, tulang rawan sempurna, Mulut Bercak-bercak putih pada lidah dan mukosa (+) Leher Pendek, pergerakan baik Paru dan Jantung Dalam batas normal Abdomen Dalam batas normal Tulang Belakang Tidak ada spina bifida, tidak ada meningocele Genitalia Perempuan, Labia Mayor besar menutupi Labia Minor Anorektal Anus (+), diaper rash (-) Ekstremitas Dalam batas normal Kulit sianotik (-), ikterik (-), anemis (-), turgor kulit baik. VIII. DAFTAR PERMASALAHAN Kejang Demam

18

IX. DIAGNOSIS BANDING 1. Kejang DD : 1. 2. 3. 4. 2. DD: 1. 2. 3. SMK (Sesuai Masa Kehamilan) BMK (Besar Masa Kehamilan) KMK (Kecil Masa Kehamilan) Hipoglikemia Perdarahan Subarachnoid Neonatal Infeksi Asfiksia neonatorum

Neonatus aterm

X. DIAGNOSIS KERJA 1. Neonatal Infeksi 2. Subarachnoid hematom 3. Neonatus aterm sesuai masa kehamilan XI. TERAPI TERAPI AWAL Medikamentosa 1. o2 sungkup 2. Midazolam 0,6mg im 3. Infuse D10% 4. Ca Gluconas 20cc 5. Inj. Ceftazidim 2x 500/3 mg 6. Gentamisin 2x 8 mg PROGRAM Evaluasi keadaan umum dan tanda vital Jaga kehangatan Awasi tanda-tanda gangguan pernapasan Pertahankan Status Gizi Rawat tali pusat 19

XII. USULAN PEMERIKSAAN 1. Pemeriksaan darah rutin dan GDS ulang (atas indikasi)

XIII. PROGNOSIS Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanationam : Dubia ad bonam : Dubia ad bonam : Dubia ad bonam

20

TINJAUAN PUSTAKA Kejang Pada Neonatus A. Definisi Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia di bawah 28 hari. Kejang (konvulsi) merupakan gangguan fungsi otak tanpa sengaja paroksismal yang dapat nampak sebagai gangguan atau kehilangan kesadaran, aktivitas motorik abnormal, kelainan perilaku, gangguan sensoris, atau disfungsi autonom. Kejang pada neonatus adalah perubahan paroksismal fungsi neurologis (tingkah laku dan atau fungsi motorik) akibat aktifitas yang terus menerus dari neuron diotak dan terjadi dalam 28 hari pertama kehidupan pada bayi cukup bulan atau sampai usia konsepsi 44 minggu pada bayi kurang bulan.2,6 B. Etiologi Etiologi kejang pada neonatus adalah sebagai berikut : a. Ensefalopati iskemik hipoksik Merupakan penyebab tersering (60-65%) kejang pada BBL, biasanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama, dapat terjadi pada BCB maupun BKB terutama bayi dengan asfiksia. Bentuk kejang subtle atau multifokal klonik serta fokal klonik. Kasus iskemik hipoksik disertai kejang, 20 % akan mengalami infark serebral. Manifestasi klinis ensefalopati hipoksik iskemik dapat dibagi dalam 3 stadium,yaitu : ringan, sedang dan berat. Manifestasi kejang terjadi pada stadium sedang dan berat.2 b.Perdarahan Intrakranial Perdarahan matriks germinal atau intraventrikel adalah penyebab kejang tersering pada bayi preterm. Scher menentukan 45 % bayi preterm dengan kejang mengalami perdarahan matriks germinal atau intraventrikel (GMH-IVH). Perdarahan intrakranial sering sulit disebut sebagai penyebab tunggal kejang, biasanya berhubungan dengan penyebab lain, yaitu :

-Perdarahan sub arachnoid

21

Perdarahan yang sering dijumpai pada BBL, kemungkinan karena robekan vena superfisial akibat partus lama. Pada mulanya bayi tampak baik, tiba-tiba dapat terjadi kejang pada hari pertama atau hari kedua. Pungsi lumbal harus dikerjakan untuk mengetahui apakah terdapat darah di dalam cairan serebrospinal. Pemeriksaan CT-Scan sangat berguna untuk menentukan letak dan luasnya perdarahan. Pemeriksaan perdarahan perlu dikerjakan untuk menyingkirkan kemungkinan koagulopati. 7 -perdarahan subdural Perdarahan ini umumnya terjadi akibat robekan tentorium di dekat falks serebri. Keadaan ini akibat molase kepala yang berlebihan pada letak verteks , letak muka dan partus lama. Darah terkumpul di fosa posterior dan dapat menekan batang otak. Manifestasi klinis hamper sama dengan ensefalopati hipoksik-iskemik ringan sampai sedang. Bila terjadi penekanan pada batang otak terdapat pernapasan yang tidak teratur, kesadaran menurun, tangus melengking, ubun-ubun besar menonjol dan kejang. Perdarahan pada parenkim otak kadang-kadang dapat menyertai perdarahan subdural. Deteksi kelainan ini dengan pemeriksaan USG atau CT-Scan. Perdarahan yang kecil tidak membutuhkan pengobatan, tetapi pada perdarahan yang besar dan menekan batang otak perlu dilakukan tindakan bedah untuk mengeluarkan darah. Mortilitas tinggi, dan pada bayi yang hidup biasanya terdapat gejala sisa neurologis. 2,7 -Perdarahan periventrikuler/ intraventrikuler Gambaran klinis perdarahan intraventrikuler tergantung kepada beratnya penyakit dan saat terjadinya perdarahan. Pada bayi yang mengalami trauma atau asfiksia biasanya kelainan timbul pada hari pertama atau kedua setelah lahir. Pada BKB dapat mengalami perdarahan hebat, gejala timbul dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam berupa gangguan napas, kejang tonik umum, pupil terfiksasi, kuadriparesis flaksid, deserebrasi dan stupor atau koma yang dalam. Pada perdarahan sedikit, gejala timbul dalam beberapa jam sampai beberapa hari sampai penurunan kesadaran, kurang aktif, hipotonia, kelainan posisi dan pergerakan bola mata seperti deviasi, fiksasi vertical dan horizontal disertai dengan gangguan respirasi. Bila keadaan memburuk akan timbul kejang. BCB biasanya disertai riwayat intrapartum misalnya trauma, pasca-pemberian cairan hipertonik secara cepat terutama 22

natrium bikarbonat dan asfiksia. Manifesasi klinis yang timbul bervariasi mulai dari asimtomatik sampai gejala yang hebat. Gejala neurologis yang paling umum dijumpai adalah kejang yang dapat bersifat fokal, multifokal atau umum. Di samping itu terdapat manifestasi berupa apnu, sianosis, letargi, jitteriness, muntah, ubun-ubun besar menonjol, tangis melengking dan perubahan tonus otot.3 c. Metabolik Penyebab paling sering kejang metabolik adalah : Hipoglikemia

Bayi dengan kadar glukosa darah < 45 mg/dL disebut hipoglikemia. Kadang asimtomatis. Hipoglikemia yang berkepanjangan dan berulang dapat mengakibatkan dampak yang menetap pada SSP. BBL yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya hipoglikemia adalah : Bayi Kecil untuk masa kehamilan, Bayi Besar untuk masa kehamilan dan bayi dari Ibu dengan Diabetes Mellitus. Hipoglikemi dapat menjadi penyebab dasar pada kejang BBL dan gejala neurologis lainnya seperti apnu, letargi dan jiterness. Kejang seperti hipoglikemia ini sering dihibungkan dengan penyebab kejang yang lain. Hanya sekitar 3% yang benar disebabkan Karena hipoglikemia. Tidak ada keraguan pemberian terapi dextrose intravena jika ditemukan kadar glukosa rendah pada bayi kejang, untuk mengembalikan kadar gula darah kembali secepatrnya. Hipokalsemia/ hipomagnesemia

Kejadian awal kejang akibat hipokalsemia pada hari pertama dan kedua. Lebih sering didapatkan pada BBLR dan sering dihubungkan dengan keadaan asfiksia serta bayi dari ibu dengan diabetes mellitus. Hipokalsemia didefinisikan kadar kalsium < 7,5 mg/dL (<1,87 mmol/L), biasanya disertai kadar fosfat > 3 mg/dL (> 0,95mmol/L), seperti hipoglikemia kadang asimtomatis. Sering berhubungan dengan prematuritas atau kesulitan persalinan dan asfiksia. Kadar magnesium yang rendah sering terjadi bersama dengan hipokalsemi dan perlu diterapi agar memberikan respon yang baik untuk menghentikan kejang. Mekanisme terjadinya hipokalsemia bersamaan dengan hipomagnesemia belum jelas. Bila kejang pada bayi berat lahir rendah

23

yang disebabkan oleh hipokalsemia diberikan kalsium glukonat kejang masih belum berhenti harus dipikirkan adanya hipomagnesemia. 2,7 Hiponatremia dan hipernatremia

Kadar natrium serum yang sangat tinggi, sangat rendah atau yang mengalami perubahan dengan sangat cepat, sering terjadi pada kondisi tertentu seperti Syndrome of Inappropreiate Anti-Diuretic Hormone (SIADH), sindroma Bartter atau dehidrasi berat dapat menyebabkan kejang. SIADH berhubungan dengan keadaan sekunder dari meningitis atau perdarahan intracranial, terapi diuretika, kehilangan garam yang berlebihan atau asupan cairan yang mengandung kadar natrium yang rendah, hiponatremia dapat terjadi akibat minum air, pemberian infus intravena yang berlebihan atau akibat pengeluaran natrium yang berlebihan lewat kencing dan feses. Hipernatremia terjadi akibat dehidrasi berat atau iatrogenik atau sekunder akibat asupan natrium yang berlebihan. Dapat juga terjadi akibat pemberian natrium yang berlebihan secara oral maupun parenteral.3,6 d. Infeksi Infeksi terjadi sekitar 5-10% dari seluruh penyebab kejang BBL, bakteri, nonbakteri maupun kongenital dapat menyebabkan kejang BBL, biasanya terjadi setelah minggu pertama kehidupan. Infeksi digolongkan menjadi 1. Infeksi akut Infeksi bakteri atau virus pada SSP dengan atau tanpa keadaan sepsis dapat mengakibatkan kejang, biasanya sering berhubungan dengan meningitis. Kuman gram negative sering mengakibatkan infeksi intrakranial dan sistemik pada BBL. Bakteri yang sering ditemukan adalah group B streptococcus, Eschericia coli, Listeria sp, Staphylococcus dan Pseudomonas species. 2. Infeksi kronik Infeksi intrauterin yang berlangsung lama : toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus, herpes (TORCH), treponema pallidum .7 e. Kernikterus/ensefalopati bilirubin Suatu keadaan ensefalopati akut dengan sekuele neurologis yang disertai meningkatkan kadar serum bilirubin dalam darah. Bilirubin indirek 24

menyebabkan kerusakan otak pada BCB apabila melebihi 20mg/dl. Pada bayi prematur yang sakit, kadar 10mg/dl sudah berbahaya. Kemungkinan kerusakan otak yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh kadar bilirubin yang tinggi tetapi tergantung kepada lamanya hiperbilirubinemia. BKB yang sakit dengan sindrom distress pernapasan, asidosis mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya kernikterus. Manifestasi klinis kernikterus terdiri dari hipotonia, letargi dan refleks menghisap lemah. Pada hari kedua terdapat gejala demam, regiditas dan posisi dalam opistotonus. Selanjutnya gambaran klinis bulan pertama menunjukkan tonus otot meningkatkan progresif. Sindrom klinis yang tampak sesudah tahun pertama meliputi : 1) disfungsi ekstra piramidal biasanya berbentuk atetosis dan kora; 2)gangguan gerak bola mata vertikal, ke atas lebih dari pada ke bawah, terdapat 90% kasus; 3) kehilangan pendengaran frekuensi tinggi terdapat pada 60% kasus; 4) retardasi mental terdapat pada 25% kasus. f. Kejang yang berhubungan dengan obat 1.Pengaruh pemberhentian obat (Drug withdrawl) Kecanduan metadon pada ibu hamil sering dikaitkan dengan kejang BBL karena efek putus obat dari kecanduan heroin. Ibu yang ketagihan dengan obat narkotik selama hamil, bayi yang dilahirkan dalam 24 jam pertama terdapat gejala gelisah, jitteriness dan kadang-kadang terdapat kejang. Kejang akibat putus obat (withdrawl) terjadi pertama kali pada usia 3 hari pertama dengan onset rata-rata 10 hari. Kejang tersebut dapat menetap untuk beberapa bulan. Tremor dialami oleh bayi yang mendapatkan infus narkotik jangka panjang untuk mengurangi rasa sakit dan telah diperhatikan pula efek serupa dari midazolam untuk sedasi pada BKB.

2.Intoksikasi anestesi local Kejang akibat intoksikasi anestesi lokal/anestesi blok pada ibu yang masuk ke dalam sirkulasi janin. Ini dapat terjadi akibat anestesi blok paraservikal, pudendal atau epidural serta anestesi local pada episiotomi yang tidak tepat. 25

Curiga intoksikasi bila didapatkan pupil tetap dilatasi pada pemeriksaan reflek pupil dan gerakan mata terfiksasi pada reflek okulosefalik (refle dolls eye menghilang). Bayi lahir menunjukkan Apgar skor yang rendah, hipotonia dan hipoventilasi. Kejang terjadi dalam waktu 6 jam pertama kelahiran.Prognosisnya baik, bila diberikan pengobatan suportif yang memadai akan membaik setelah 24-48 jam.6,8 Penyebab kejang lainnya yang jarang terjadi g. Gangguan Perkembangan Otak Kelainan disebabkan karena terganggunya perkebangan otak. Beberapa kelainan susunan saraf pusat dapat menimbulkan kejang pada hari pertama kehidupan. Penyebab yang sering ditemukan adalah disgenesis korteks serebri, dapat disertai keadaan : dismorfi, hidrosefalus, mikrosefalus. Kelainan migrasi sel saraf seperti lisensefali atau schizensefali dapat terjadi pada kejang BBL. h. Kelainan yang diturunkan 1. Gangguan metabolisme asam amino Kejang biasanya terjadi antara 5-14 hari setelah bayi lahir. Termasuk kelainan ini adalah: maple syrup urine disease, isovaleric academia, glycine encephalopathy, arginosuccsinic aciduria dan phenyketonuria 2. Ketergantungan dan kekurangan piridoksin Kasus pertama kejang tak terkontrol yang berespon pada piridoksin dilaporkan oleh Hunt dkk pada tahun 1954. Ketergantungan piridoksin terjadi akibat gangguan metabolisme piridoksin. Dasar dari kelainan ini kemungkinan karena kekurangan dalam pengikatan koenzim piridoksal fosfat pada glutamik dekarboksilase, yaitu enzim yang terlibat dalam pembentukan gamaaminobutyric acid (GABA). Kekurangan atau menghilangnya GABA, yaitu suatu zat transmitter inhibisi yang dapat menimbulkan kejang . Kejang sering terjadi pada jam pertama kehidupan, bahkan sejak dalam kandungan. Kejang ini bersifat resisten terhadap antikonvulsan. Pada BBL dengan kejang yang diduga karena gangguan metabolik, tidak membaik dengan pemberian glucose, kalsium, antikonvulsan dan sebagainya dapat diberikan piridoksin intravena sebaiknya dengan monitoring EEG. Sebelum pengobatan EEG 26

menjadi normal. Bila gambaran EEG normal dan serangan kejang berhenti, diagnosis ketergantungan piridoksin dapat ditegakkan. i. Idiopatik Kejang pada BBL yang tidak diketahui penyebabnya, secara relatif sering menunjukkan hasil yang baik. Tetapi pada kejang beulang yang lama, resisten terhadap pengobatan atau kejang terulang sesudah pengobatan dihentikan menunjukkan kemungkinan adanya kerusakan di otak. Pada golongan idiopatik terdapat 2 hal yang perlu mendapat perhatian yaitu, kejang BBL familial jinak dan kejang hari kelima 1.Kejang BBL familial jinak (Benign familial Neonatal seizures) Kejang ini diturunkan secara autosomal dominan, pertama diketahui tahun 1964. Penanda genetik menunjukkan adanya mutasi pada kromosom 29q13.3 dan 8q.24. Kejang terjadi antara hari kedua dan hari kelima belas sesudah lahir, dan kebanyakan (80%) dimulai pada hari kedua dan ketiga setelah lahir. Jenis kejang biasanya klonik, sering berulang sampai beberapa puluh kali per hari tetapi berhenti secara spontan setelah beberapa lama, biasanya serangan kejang berhenti pada usia 6 bulan. Pada keadaan antara kejang bayi tampak normal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat keluarga ada yang pernah mengalami kejang. Kelainan elektrografis yang spesifik berupa gelombang datar diikuti gelombang bilateral spike dan slow. Kejang dapat dihentikan dengan obat-obatan biasa dan prognosis untuk perkembangan anak baik.

2. Kejang hari kelima (The Fifth day fits) Kejang ini adalah kejang berulang antara hari ketiga dan ketujuh kehidupan, paling sering terjadi pada hari ke 4 dan 5 (80-90%) berlangsung hingga 2 minggu pada BCB dengan riwayat kelahiran normal dan tidak terdapat kelainan neurologis pada beberapa hari pertama kehidupan. Serangan kejang yang terjadi dapat berbentuk klonik fokal atau multifokal dan serangan apneu. Penyebabnya masih merupakan misteri, meskipun kadar zinc pada cairan serebrospinal yang rendah ditemukan pada beberapa kasus. 27

3. Bangkitan klonus pada BBL tidur (Benign Neonatal Sleep Mioklonus) Kejang mioklonik hanya terjadi saat BBL tidur, dan EEG nya normal. Mioklonus terjadi pada semua fase tidur meskipun frekuensinya tergantung fase tidurnya dan paling sering saat BBL tidur tenang. Kejang menghilang saat usia 6 bulan. Tidak diperlukan terapi, dan orang tua harus diyakinkan jika kejang ini pada akhirnya akan berhenti sendiri.

Awitan Kejang Kebanyakan dimulai antara 12 hingga 48 jam setelah lahir. Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa kejang muncul 3-13 jam setelah terjadi keadaan hipoksik iskemik dan sesuai dengan yang kita ketahui tentang pelepasan dan penghancuran glutamate selama fase reperfusi sekunder. Keadaan yang sama dapat terjadi pada bayi. Kejang onset lanjut member kesan meningitis, kejang familial benigna atau hipokalsemia. Awitan kejang pada setiap etiologi dapat berbeda, perbedaan tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan penyebab kejang. Etiologi Ensefalopati Iskemik hipoksik Perdarahan intracranial J.Infeksi Gangguan perkembangan otak Hipoglikemia Hipokalsemi Sindrom epileptic Keterangan : +++ sering terjadi; ++jarang terjadi; + sangat jarang terjadi 28 + + + + + + + + + + + + + + ++ ++ ++ + ++ ++ Onset (hari) 0-3 +

>3

Kurang bulan +++

Cukup bulan +++

+ +

Tabel 1. Awitan kejang berdasarkan etiologi11 C. Epidemiologi Angka kejadian kejang pada neonatus umumnya berkisar antara 1,5-14 per 100 kelahiran hidup. Kejadiannya lebih tinggi pada bayi kurang bulan (3,9%) yaitu pada bayi dengan usia kehamilan < 30 minggu. Di Amerika Serikat, angka kejadian kejang pada neonatus belum jelas terdeteksi, diperkirakan sekitar 80-120 per 100.000 neonatus per tahun. Perbandingannya antara 15:1000 angka kelahiran. Menurut menurut SDKI 2002-2003 angka kematian pada neonatus di Indonesia menduduki angka 57% dari angka kematian bayi (AKB) sedangkan kematian neonatus yang diakibatkan oleh kejang sekitar 10%. 3,7 Di India angka insiden 5 per 1000 kelahiran hidup antara 1959 dan 1962. Nasional Neonatal Perinatal Database (NNPD) dari India yang dikumpulkan informasi dari 18 pusat dari di seluruh negeri pada tahun 2002-03 telah melaporkan insiden 1.0%. 9 D. Klasifikasi Klasifikasi kejang pada neonatal dibagi menjadi 2 yaitu clinical seizure dan electroenchepalographic seizure. 9 -Clinical seizure : -subtle -tonik -klonik -myoklonik -Electroenchephalographic seizure : -Epileptic -Non Epileptic 9

E. Patogenesis Kejang pada neonatus berbeda dengan kejang pada bayi atau anak yang lebih besar. Karena perkembangan otak neonatus yang belum sempurna. Korteks pada neonatus belum matur dibandingkan batang otaknya. Myelinisasi dan sinaps aksodendrit (sinaptogenesis) yang belum sempurna pada daerah korteka menyebabkan penyebaran rangsang ke seluruh korteks 29

(sinkronisasi bilateral suatu rangsang) tidak terjadi. Rangsang dapat menyebar perlahan-lahan ke hemisfer kontralateral dan tidak berlangsung sekaligus bersama-sama. Inilah yang menyebabkan kejang pada neonatus tidak pernah bersifat kejang tonik klonik umum. 11 Mekanisme dasar terjadinya kejang akibat loncatan muatan listrik yang berlebihan dan sinkron pada otak atau depolarisasi otak yang mengakibatkan gerakan yang berulang. Terjadinya depolarisasi pada syaraf akibat masuknya Natrium dan repolarisasi terjadi karena keluarnya Kalium melalui membrane sel. Untuk mempertahankan potensial membrane memerlukan energi yang berasal dari ATP dan tergantung pada mekanisme pompa yaitu keluarnya Natrium dan masuknya Kalium. Depolarisasi yang berlebihan dapat terjadi paling tidak akibat beberapa hal : 1. Gangguan produksi energi dapat mengakibatkan gangguan mekanisme pompa 2. Natrium dan Klaium. Hipoksemia inhibisi dan Hipoglikemia dapt dapat mengakibatkan penurunan yang tajam produksi energi Peningkatan eksitasi dibanding neurotransmiter mengakibatkan kecepatan depolarisasi yang berlebihan 3. Penurunan relatif inhibisi dibanding eksitasi neurotransmitter dapat mengakibatkan kecepatan depolarisasi yang berlebihan. Perubahan fisiologis selama kejang berupa penurunan yang tajam kadar glukosa otak dibanding kadar glukosa darah yang tetap normal atau meningkat disertai peningkatan laktat. Keadaan ini menunjukkan mekanisme transportasi pada otak tidak dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan yang ada. Kebutuhan oksigen dan aliran darah otak juga meningkat untuk mencukupi kebutuhan oksigen dan glukosa. Laktat terakumulasi selama terjadi kejang, dan pH arteri sangat menurun. Tekanan darah sistemik meningkat dan aliran darah otak naik. Efek dramatis jangka pendek ini diikuti oleh perubahan struktur sel dan hubungan sinaptik. 4 Fenomena kejang pada BBL dijelaskan oleh Volpe karena keadaan anatomi dan fisiologi pada masa perinatal yang sebagai berikut 12: Keadaan Anatomi susunan syaraf pusat perinatal : Susunan dendrit dan remifikasi axonal yang masih dalam proses pertumbuhan Sinaptogenesis belum 30

Mielinisasi pada system efferent di cortical belum lengkap Keadaan fisiologis perinatal

Sinaps exsitatori berkembang mendahului inhibisi Neuron kortikal dan hipocampal masih imatur Inhibisi kejang oleh system substansia nigra belum berkembang

Mekanisme penyebab kejang pada BBL Kemungkinan penyebab Kegagalan mekanisme Natrium dan Kalium penurunan ATP Eksitasi neurotransmitter yang Hipoksemi-iskemik, Hipoglikemia Kelainan pompa Hipoksemi-iskemik, Hipoglikemia akibat

berlebihan Penurunan inhibisi neurotransmitter Ketergantungan piridoksin Kelainan membrane sel yang Hipokalsemia dan hipomagnesemia mengakibatkan permiabilitas Natrium Tabel 2. Mekanisme Penyebab kejang pada BBL 10 F. Gejala klinis Gejala dan tanda kejang yang sering ditemui pada neonatus adalah: Kejang Tonik (Kejang tonik dapat berbentuk umum atau fokal) 2,9 -Kejang tonik umum: Terutama bermanifestasi pada neonatus kurang bulan (< 2500 gram). Fleksi atau ekstensi tonik pada ekstremitas bagian atas, leher atau batang tubuh dan berkaitan dengan ekstensi tonus pada ekstremitas bagian bawah. Pada 85% kasus kejang tonik tidak berkaitan dengan perubahan otonomis apapun seperti meningkatnya detak jantung atau tekanan darah, atau kulit memerah. kenaikan

31

-Kejang tonik fokal: Terlihat dari postur asimetris dari salah satu ekstremitas atau batang tubuh atau deviasi tonik kepala atau mata kepala atau mata. Sebagian besar kejang tonik terjadi bersamaan dengan penyakit sistem syaraf pusat yang difus dan perdarahan intraventrikular. Kejang Klonik Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang perlahan & berirama (1-3 /menit), penyebabnya mungkin fokal/multi-fokal. 2 Setiap gerakan terdiri dari satu fase gerakan yang cepat dan diikuti oleh fase yang lambat diikuti oleh fase yang lambat. Perubahan posisi atau memegang ekstremitas yang bergerak tidak akan menghambat gerakan tersebut. Biasanya terjadi pada neonatus cukup bulan. Tidak terjadi hilang kesadaran. Berkaitan dengan trauma fokal,infarks atau gangguan metabolik. Dikenal 2 bentuk : a. Fokal : terdiri dari gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas pada sisi unilateral dengan atau tanpa adanya gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan ritmik dengan atau tanpa gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan ritmik dengan frekuensi 1-4 kali perdetik. b. Multifokal : Kejang klonik pada BBL dapat mempunyai lebih dari satu focus atau migrasi terdiri dari gerakan dari satu ekstremitas yang kemudian secara acak pindah ke ekstremitas lainnya. Bentuk kejang merupakan gerakan klonik salah satu atau lebih anggota gerak yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misalnya kejang klonik lengan kiri diikuti dengan kejang klonik tungkai bawah kanan. Kadang-kadang karena kejang yang satu dengan kejang yang lain sering bersinambungan, seolah-olah member kesan sebagai kejang umum. Bentuk kejang ini biasanya terdapat pada gangguan metabolik. Kejang ini lebih sering dijumpai pada BCB dengan berat lebih 2500 gram. 2,9 Kejang Mioklonik Terdiri dari : Kejang mioklonik fokal, multi-fokal atau umum. -Kejang mioklonik fokal biasanya melibatkan otot fleksor pada ekstremitas. Kejang mioklonik multi-fokal terlihat sebagai gerakan. -Kejang mioklonik multi-fokal terlihat sebagai gerakan kejutan yg tidak sinkron pd beberapa bagian tubuh.

32

-Kejang mioklonik umum terlihat sangat jelas berupa fleksi masif pada kepala dan batang tubuh dengan ekstensi atau fleksi pada ekstremitas. Kejang ini berkaitan dengan patologi SSP yang difus 1 Kejang subtle Bentuk kejang ini lebih sering terjadi disbanding tipe kejang yang lain, hampir 50% dari kejang BBL baik pada BKB maupun cukup bulan. Manifestasi klinis berupa orofasial, termasuk deviasi mata, kedipan mata, gerakan alis (lebih sering pada BKB) yang bergetar berulang-ulang, mata yang tiba-tiba terbuka dengan bola mata terfiksasi ke satu arah (lebih sering pada BKB) gerakan seperti menghisap, mengunyah, mengeluarkan air liur, menjulurkan lidah, mendayung, bertinju, atau bersepeda. Episode apneu dapat disebabkan oleh kejang, diagnosis ini dipertimbangkan jika terdapat respon yang lambat terhadap ventilasi dengan balon dan sungkup khususnya pada neonates preterm dengan lesi intrakranial. 2 Gerakan yang menyerupai kejang pada BBL 1. Apneu Pada BBLR biasanya pernapasan tidak teratur, diselingi dengan berhentinya pernapasan 3-6 detik dan sering diikuti hiperpnea selam 10-50 detik. Bentuk pernapasan ini disebabkan belum sempurnanya pernapasan di batang otak dan berhubungan denagn derajat prematuritas. Serangan apneu yang termasuk gejala kejang apabila disertai dengan bentuk serangan kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia. Serangan apne tibatiba disertai kesadaran menurun pada bayi berat lahir rendah perlu dicurigai adanya perdarahan intrakranial dengan penekanan pada batang otak. Pada keadaan ini USG perlu segera dikerjakan.2 2. Jitterness Jitterness adalah fenomena yang sering terjadi pada BBL normal dan harus dibedakan dengan kejang. Jitterness lebih sering pada bayi yang lahir dari ibu yang menggunakan mariyuana, dapat menjadi tanda dari sindroma abstinensia BBL. Bentuk gerakan adalah tremor simetris dengan frekuensi yang cepat 5-6 kali per detik. Jitterness tidak termasuk wajah (tidak seperti

33

kejang subtle) merupakan akibat dari sensitifitas terhadap stimulus dan akan mereda jika anggota gerak ditahan. Manifestasi klinis Jitterness a. Gerakan abnormal mata b. Peka rangsang c. Bentuk dominan d. Gerakan pasif e. Perubahan terhadap + gerakan Tremor dapat + Kejang + Klonik _

dihentikan dengan fleksi fungsi + _

autonom f. Perubahan pada tanda + vital dan penurunan saturasi oksigen

Tabel 3. Perbedaan jitterness dan kejang2 3.Hiperekpleksia Merupakan kelainan yang ditandai dengan hioertoni. Respon kejut ini dapat terlihat seperti kejang mioklonik dan keluarnya suara dengan nada tinggi. Hiperekpleksia kemungkinan sama dengan kondisi yang sebelumnya disebut dengan sindroma stiff baby herediter. Meslkipun gambaran EEG normal, spasme tonik dapat berbahaya dan terapi sangat diperlukan 7 4. Spasme Spasme pada tetanus neonatorum hampir mirip dengan kejang, tetapi kedua hal tersebut harus dibedakan karena manajemen keduanya yang berbeda. G. Diagnosis Diagnosis kejang pada BBL didasarkan pada anamnesis yang lengkap, riwayat yang berhubungan dengan penyebab penyakitnya, manifestasi klinis kejang, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. 34

1. Anamnesis Faktor resiko : Riwayat kejang dalam keluarga Riwayat yang menyatakan adanya kejang pada masa BBL pada anak terdahulu atau bayi meninggal pada masa BBL tanpa diketahui penyebabnya. Riwayat kehamilan/ prenatal Infeksi TORCH atau infeksi lain saat ibu hamil Preeklamsia, gawat janin Pemakaian obat golongan narkotika, metadon Imunisasi anti tetanus, Rubela

Riwayat persalinan Asfiksia, episode hipoksik Trauma persalinan KPD (Ketuban Pecah Dini) Anestesi lokal/ blok

Riwayat pascanatal Infeksi BBL, keadaan bayi yang tiba-tiba memburuk Bayi dengan pewarnaan kuning dan timbulnya dini Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, infeksi tali pusat Kejang oleh suara bising atau karena prosedur perawatan Waktu atau awitan kejang mungkin berhubungan dengan etiologi Bentuk gerakan abnormal yang terjadi 1,2,13

35

2.

Pemeriksaan fisik Inspeksi dan palpasi kepala : depresi, fraktur, moulase yang terlalu hebat Transluminasi membantu diagnosis penimbunan cairan di subdural setempat, atau adanya kelainan kongenital seperti porensefali atau hidransefali. Bila ubun-ubun menonjol tanpa tanda-tanda infeksi selaput otak dilakukan tap subdural secara hati-hati.11

Funduskopi sangat penting : perdarahan retina menunjukan kemungkinan perdarahn intrakranial, koriorenitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi cytomegalo virus atau rubella. Adanya stasis vaskuler dengan pelebaran vena dengan bentuk berkelok-kelok ditemukan pada sindrom hiperviskositas. 9

Pemeriksaan jantung dan paru Pemeriksaan kulit : petekie, sianosis, ikterus, dsb Pemeriksaan abdomen : hepatosplenomegali Pemeriksaan neurologis : bentuk kejang, hemysnydrome, hilangnya reflex moro, dsb

3.

Pemeriksaan Laborat: Glukosa darah, Kalsium dan magnesium darah,

Pemeriksaan darah lengkap, diferensiasi leukosit dan trombosit, Elektrolit, Analisis Gas Darah, Analisis dan kultur cairan serebrospinalis, Kultur darah. 4. Pemeriksaan lainnya

Titer TORCH kadar amonia USG kepala dan asam amino dalam urine. EEG: Normal pada sekitar 1/3 kasus USG kepala: Untuk perdarahan dan luka parut CT Scan: Untuk mendiagnosis malformasi dan perdarahan otak 11 H. Diagnosis Banding 36

I. J.

Hipoglikemia Tetanus neonatorum Meningitis Asfiksia neonatorum Perdarahan intraventrikuler 2 Komplikasi Malformasi otak (15-20%) Retardasi mental Serebral palsy Penatalaksanaan Langkah pertama dalam manajemen kejang adalah Pertahankan homeostasis sistemik (pertahankan jalan nafas, usaha nafas dan sirkulasi). O2 harus mulai, IV akses harus diamankan, dan darah harus dikumpulkan untuk gula dan penyelidikan lain. Sejarah relevan harus diperoleh dan cepat klinis pemeriksaan harus dilakukan. Semua ini seharusnya tidak membutuhkan lebih dari 2-5 menit. Terapi etiologi spesifik :

Dekstrose 10% 2 ml/kg BB intravena bolus pelan dalam 5 menit Kalsium glukonas 10 % 200 mg/kg BB intravena (2 ml/kg BB) diencerkan akuades sama banyak diberikan secara intra vena dalam 5 menit (bila diduga hipokalsemia)

Antibiotika bila dicurigai sepsis atau meningitis Piridoksin 50 mg IV sebagai terapeutik trial pada defisiensi piridoksin, kejang akan berhenti dalam beberapa menit 10,12

Terapi anti kejang : Fenobarbital : Loading dose 10-20 mg/kg BB intramuskuler dalam 5 menit, jika tidak berhenti dapat diulang dengan dosis 10 mg/kgBB sebanyak 2 kali dengan selang waktu 30 menit.

37

Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin: loading dose 15-20 mg/kg BB intra vena dalam 30 menit.

Rumatan fenobarbital dosis 3-5 mg/kgBB/hari dapat diberikan secara intramuskuler atau peroral dalam dosis terbagi tiap 12 jam, dimulai 12 jam setelah loading dose.

Rumatan fenitoin dosis 4-8 mg/kgBB/hari intravena atau peroral dalam dosis terbagi tiap 12 jam. Penghentian obat anti kejang dapat dilakukan 2 minggu setelah bebas kejang dan penghentian obat anti kejang sebaiknya dilakukan sebelum pulang kecuali didapatkan lesi otak bermakna pada USG atau CT Scan kepala atau adanya tanda neurologi abnormal saat akan pulang. 1,3,5 Obat lain : Golongan Benzodiazepin

Kelompok ini obat mungkin diperlukan dalam 15% dari neonatal kejang. Benzodiazepines umum digunakan adalah diazepam, lorazepam, midazolam, dan clonazepam. Diazepam umumnya dihindari karena untuk durasi pendek tindakan, indeks terapeutik yang sempit, dan karena kehadiran natrium benzoate sebagai pengawet. Lorazepam pilihan di atas diazepam karena memiliki durasi yang lebih lama dari tindakan dan hasil dalam kurang efek (sedation dan efek kardiovaskular). Midazolam adalah bertindak lebih cepat daripada lorazepam dan dapat dikelola sebagai sebuah infusi. Hal ini membutuhkan ketat pemantauan untuk depresi pernapasan, apnea dan bradycardia. Dosis obat ini diberikan di bawah ini:

Diazepam: bolus 0,25 mg/kg IV (0.5 mg/kg dubur); mungkin diulang 1 - 2 kali.

Lorazepam: 0,05 mg/kg IV bolus lebih dari 2-5 menit; mungkin diulang Midazolam: 0,15 mg/kg IV bolus diikuti oleh infus 0.1 s.d. 0,4 mg/kg/jam. Clonazepam: 0.1%u20130.2 mg/kg IV bolus diikuti oleh infusi 10-30 mg/kg/hr. 2,13

38

K. Prognosis Ini terutama tergantung pada penyebab primer gangguan ini atau beratnya serangan. Pada kasus bayi hipoglikemia dari ibu diabetes atau hipokalsemia akubat makan fosfat berlebihan, prognosisnya sangat baik. Sebaliknya, anak dengan kejang yang bandel karena ensefalopati hipoksikiskemik atau kelainan sitoarkitektural otak biasanya tidak akan berespon dengan anti konvulsan dan rentan terhadap status epileptikus dan kematian awal. Tantangan pada dokter adalah untuk mengenali penderita yang akan sembuh dengan pengpbatan segera dan mengjindari penundaan diagnosis yang dapat menyebabkan cidera neurologis berat irreversibel. 8 a. b. c. Prognosisnya tergantung penyebab primer dan beratnya serangan. Akhir-akhir ini prognosis bayi kejang lebih baik. Prognosisnya buruk bila : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. d. subarachnoid e. Worse prognosis : hipoglikemia, anoxia, brain malformation. 8,11 Nilai apgar menit ke 5 dibawah 6 Resusitasi yang tidak berhasil baik Kejang yang berkepanjangan (prolonged seizures) Kejang yang timbul <12 jam setelah lahir Bayi berat badan lahir rendah Adanya kelainan neurologik sampai bayi berumur 10 hari Adanya problematika minum yang terus berlanjut

Best prognosis : hipocalcemia, defisiensi piridoksin, dan perdarahan

39

I.

KESIMPULAN

1. Kejang merupakan gangguan neurologis yang lazim pada kelompok umur pediatri dan terjadi dengan frekuensi 4-6 kasus/1000 anak. 2. Kejang ini merupakan penyebab yang paling lazim untuk rujukan pada praktek neurologi anak. 3. Neonatus menghadapi risiko khusus terserang kejang karena penyakit metabolik, toksik, struktural, dan infeksi lebih mungkin menjadi nampak selama waktu selama waktu ini daripada pada periode kehidupan lain kapanpun. 4. Kejang neonatus tidak sama dengan kejang pada anak atau orang dewasa karena konvulsi tonik klonik cenderung tidak terjadi selama umur bulan pertama. Proses pertumbuhan akson dan tonjolan dendrit juga mielinisasi tidak sempurna pada otak neonatus. Discharge kejang karenanya tidak dapat dengan mudah dijalarkan ke seluruh otak neonatus untuk menimbulkan kejang menyeluruh. Dengan perawatan yang baik dan benar diharapkan akan memperkecil angka kejadian kejang pada neonatus.

40

Neonatal Infeksi 2.1 Definisi Sepsis neonatal adalah merupakan sindroma klinis dari penyakit sistemik akibat infeksi selama satu bulan pertama kehidupan. Bakteri, virus, jamur, dan protozoa dapat menyebabkan sepsis bayi baru lahir. Sepsis neonatal awitan dini adalah kejadian sepsis pada neonates yang terjadi pada 72 jam setelah persalinan atau 5 7 hari pertama kehidupan. Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan jarang karena protozoa. Sepsis awitan dini lebih sering didapatkan pada bayi kurang bulan. Sepsis berat ialah sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskuler atau disertai gangguan napas akut atau adanya gangguan dua organ lain (seperti gangguan neurologis, hematologi, urogenital, dan hepatologi ) 2.2 Klasifikasi a. Sindrom Awitan Dini (Early Onset) Sindrom awitan dini biasanya disebabkan oleh streptokokus B dan L.monocytogenes. Sindrom awitan dini biasanya terjadi dalam 96 jam kelahiran, biasanya dalam beberapa jam pertama kehidupan. Bayi premature merupakan sekitar 30-50% jumlah pasien yang dilaporkan. Awitan biasanya mendadak dan diikuti oleh perjalanan fulminan, dengan focus primer peradangan pada paru, walaupun kadang-kadang ada meningitis. Apnea,

41

hipotensi, dan koagulasi intravascular diseminata menyebabkan perburukan cepat dan sering menimbulkan kematian dalam 24 jam. Pada pasien dengan gawat nafas, 60% menunjukkan roentgen dada dengan pola retikuloglandular, dengan bronkogram udara yang tidak dapat dibedakan dengan penyakit membrane hialin. b. Sindrom Awitan Lanjut (Late Onset) Biasanya terjadi dalan 2-4 minggu setelah kelahiran. Awitan berlangsung tersembunyi. Kesulitan minum dan demam merupakan gejala yang paling sering. Bayi dengan meningitis streptokokus B awitan lanjut jarang muncul dengan hidrosefalus tanpa danya bukti akibat infeksi bakteri lain. Di antara beonatus yang bertahan hidup melewati meningitis streptokokus grup B, 50% akan menderita sejumlah kelainan neurologi, seperti keterbelakangan mental yang berat, buta kortikalis, gangguan kejang, hidrosefalus, mikrosefalus, dan kuadriparesis. Dapat pula timbul gejala sisa yang ringan, seperti tuli sensorineural, monoparesis. c. Sindrom Lain Kebanyakan infeksi neonatus tidak dapat dikategorikan dalam awitan lanjut atau dini, tetapi meluas menjadi spectrum klinis yang lebar dan melibatkan sejumlah organ. Berbagai manifestasi berikut telah dijumpai: selulitis, adenitis, abses kulit kepala, impetigo, abses payudara, konjungtivitis, dan sebagainya. Pada bakteremia transien asimtomatik, bayi secara klinis terlihat sehat, tetapi biakan darah biasanya dilakukan karena ada riwayat komplikasi obstetrik pada ibu. Biakan ulang sebelum terapi antimikroba diberikan biasanya steril. 2.3 Epidemiologi Angka kejadian/insiden sepsis di negara yang sedang berkembang masih cukup tinggi (18 pasien/1000 kelahiran) dibanding dengan negara maju (1-5 paien / 1000 kelahiran). Kejadian sepsis juga meningkat pada bayi kurang bulan (BKB) dan berat badan lahir rendah (BBLR). Pada bayi berat lahir amat rendah (<1000 g) kejadian sepsis terjadi pada 26 perseribu kelahiran dan keadaan ini berbeda bermakna dengan bayi berat lahir antara 1000 2000 g yang angka kejadiannya antara 8-9 perseribu kelahiran. Demikian pula resiko kematian BBLR penderita sepsis lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi cukup bulan.3 Secara Nasional kejadian/insiden sepsis neonatorum belum ada. 42 hidrosefalus yang terhenti, kelambatan bahasa, dan

Walaupun infeksi bakterial berperan penting dalam sepsis neonatal, tetapi infeksi virus perlu dipertimbangkan. Dari pengumpulan data selama 5 tahun terakhir, Shattuck (1992) melaporkan bahwa selain infeksi bakteri, infeksi virus khususnya enterovirus berperan pula sebagai penyebab sepsis/meningitis neonatal. Dari tahun ke tahun insiden sepsis tidak banyak mengalami perbaikan, sebaliknya angka kematian memperlihatkan perbaikan yang bermakna. Di Inggris, angka kematian sepsis neonatal pada tahun 1985 1987 (25 30%) menunjukkan penurunan yang bermakna dibandingkan dengan tahun 1996 1997 (menjadi 10%). 2.4 Etiologi Bakteri penyebab SNAD (sepsis neonatorum awitan dini) umumnya berasal dari traktus genitalia maternal yang tidak menyebabkan penyakit pada ibu. Sementara SNAL (sepsis neonatroum awitan lambat) umumnya disebabkan oleh infeksi nosokomial seperti Staphylococcus coagulase-negatif, Enterococcus, dan Staphylococcus aureus. Perjalanan penyakit SNAD biasanya lebih berat dan cenderung menjadi fulminan, yang dapat berakhir dengan kematian. Meningoensefalitis dan sepsis neonatorum diketahu dapat juga disebabkan oleh infeksi dari adenovirus, enterovirus, atau coxsakievirus. Sebagai tambahan, penyakit menular seksual (seperti gonorrhea, sifilis, virus herpes, sitomegalovirus, hepatitis, HIV, rubella, toxoplasmosis, Trichomonas vaginalis, dan spesies Candida) ditemukan juga dapat mengakibatkan sepsis neonatorum. 2.5 Patofisiologi Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus melalui beberapa cara yaitu: a. Pada masa antenatal atau sebelum lahir Pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilikus masuk ke dalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Penyebab infeksi adalah virus yang dapat menembus plasenta antara lain:virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, influenza, parotitis. Bakteri yang melalui jalur ini antara lain: malaria, sipilis, dan toksoplasma. b. Pada masa intranatal atau saat persalinan Infeksi saat persalinan terjadi karena kuman yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai korion dan amnion. Akibatnya terjadi amnionitis dan korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilikus masuk ketubuh bayi. Cara lain yaitu pada saat persalinan, kemudian menyebabkan infeksi pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi atau port de 43

entre, saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman ( misalnya: herpes genetalia, candida albicans, gonorrhea). c. Infeksi pascanatal atau sesudah melahirkan Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi sesudah kelahiran, terjadi akibat infeksi nasokomial dari lingkungan di luar rahim (misalnya melalui alat-alat penghisap lendir, selang endotrakea, infus, selang nasogastrik, botol minuman atau dot). Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi, dapat menyebabkan terjadinya infeksi nasokomial. Infeksi juga dapat melalui luka umbilikus. Sepsis biasanya akan dimulai dengan adanya respon sistemik tubuh dengan gambaran proses inflamasi, koagulopati, gangguan fibrinolisis yang selanjutnya menimbulkan gangguan sirkulasi dan perfusi yang berakhir dengan gangguan fungsi organ. Berlainan dengan pasien dewasa, pada bayi baru lahir terdapat berbagai tingkat defisiensi sistem pertahanan tubuh, sehingga respons sistemik pada janin dan bayi baru lahir akan berlainan dengan pasien dewasa. Sebagai contoh, pada infeksi awitan dini respon sistemik pada bayi baru lahir mungkin terjadi saat bayi masih dalam kandungan. Keadaan ini dikenal dengan fetal inflammatory response syndrome (FIRS), yaitu infeksi janin atau bayi baru lahir terjadi karena perjalanan infeksi kuman vagina (ascanding infaction) atau infeksi yang menjalar secara hematogen dari ibu yang menderita infeksi. Dengan demikian konsep infeksi pada bayi baru lahir, khususnya pada infeksi awitan dini, perjalanan penyakit bermula dengan FIRS kemudian sepsis, sepsis berat, syok septik/renjatan septik, disfungsi multi organ dan akhirnya kematian. Pada infeksi awitan lambat perjalanan penyakit infeksi tidak berbeda dengan definisi pada anak. Dengan demikian, definisi sepsis neonatal ditegakkan apabila terdapat keadaan SIRS/FIRS yang dipicu infeksi baik berbentuk tersangka (suspected) infeksi ataupun terbukti (proven) infeksi. Selanjutnya dikemukakan, sepsis bayi baru lahir ditegakkan bila ditemukan satu atau lebih kriteria FIRS/SIRS yang disertai gambaran klinis sepsis. Gambaran klinis sepsis bayi baru lahir tersebut bervariasi, karena itu kriteria diagnostik harus pula mencakup pemeriksaan penunjuang baik pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya. Kriteria tersebut terkait dengan perubahan yang terjadi dalam perjalanan penyakit infeksi. Perubahan tersebut dapat 44

dikelompokkan dalam berbagai variabel, antara lain variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan variable inflamasi. Berbagai variable inflamasi tersebut di atas merupakan respons sistemik yang ditemukan pada keadaan FIRS/SIRS. Sistem Imun Janin dan Bayi Baru Lahir Imunitas seluler (sel T) berawal di dalam rahim. Respons imun primer (IgM) terhadap berbagai mikroorganisme dapat dirangsang di dalam janin pada trimester ketiga kehamilan. Respons-respons imun lain terhadap suatu antigen (IgG dan IgA), fagositosis neutrofil dan makrofag, dan pembentukan zat-zat antara peradangan belum terdapat secara signifikan sampai 6-8 bulan setelah lahir. Hal ini membuat janin dan bayi baru lahir rentan terhadap infeksi dan penyakit. Dalam uterus, antibody IgG ibu secara aktif dipindahkan melintasi selsel plasenta dan dapat dideteksi di dalam tubuh bayi selama paling sedikit 6 bulan setelah lahir. Antibodi-antibodi ini menghasilkan imunitas pasif terhadap berbagai mikroorganisme bagi janin dan bayi. IgA dan immunoglobulin lain dapat sampai ke bayi melalui air susu. Dalam sistem imun, salah satu respon sistemik yang penting pada pasien FIRS/SIRS adalah pembentukan sitokin. Sitokin yang terbentuk dalam proses infeksi berfungsi sebagai regulator reaksi tubuh terhadap infeksi, inflamasi atau trauma. Jumlah sitokin yang terkait dengan SIRS terus bertambah dan mencakup faktor nekrosis tumor (TNF), interleukin (IL)-1,-6, dan -8, factor pengaktif trombosit (platelet activating factor [PAF]) dan interferon. Sebagian sitokin (pro-inflammatory cytokine seperti IL-1, IL-2 dan TNF-) dapat memperburuk keadaan penyakit tetapi sebagian lainnya (anti-inflammatory cytokine seperti IL-4 dan IL-10) bertindak meredam infeksi dan mempertahankan homeostasis organ vital tubuh. Baik sendirian ataupun kombinasi, produk-produk bakteri dan sitokin proradang memicu respons fisiologis untuk menghentikan penyerbu (invader) mikroba. Respons ini adalah: (1) Aktivasi sistem komplemen (2) Aktivasi faktor Hagenam (faktor XII), yang kemudian mencetuskan tingkatantingkatan koagulasi (3) Pelepasan hormon adrenokortikotropin dan beta-endorfin (4) Rangsangan neutrofil polimorfonuklear (5) Rangsangan sistem kalikrein kinin.TNF dan mediator radang lain meningkatkan permeabilitas vascular, menimbulkan kebocoran kapiler difus, mengurangi 45

tonus vaskuler, dan terjadi ketidakseimbangan antara perfusi dan kenaikan kebutuhan metabolik jaringan. Pembentukan Tissue Factor (TF) yang bersamaan dengan faktor VII darah akan berperan pada proses koagulasi. Kedua faktor tersebut menimbulkan aktivasi faktor IX dan X sehingga terjadi proses hiperkoagulasi yang menyebabkan pembentukan trombin yang berlebihan dan selanjutnya meningkatkan produksi fibrin dari fibrinogen. Pada pasien sepsis, respon fibrinolisis yang biasa terlihat pada bayi normal juga terganggu. Supresi fibrinolisis terjadi karena pembentukan plasminogenactivator inhibitor-1 (PAI-1) yang dirangsang oleh mediator proinflamasi (TNF-).2 Demikian pula pembentukan trombin yang berlebihan berperan dalam aktivasi thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI) yaitu faktor yang menimbulkan sepresi fibrinolisis. Kedua faktor yang berperan dalam supresi ini mengakibatkan akumulasi fibrin darah yang dapat menimbulkan mikrotrombin pada pembuluh darah kecil sehingga terjadi gangguan sirkulasi. Gangguan tersebut mangakibatkan hipoksemia jaringan dan hipo tensi sehingga terjadi disfungsi berbagai organ tubuh. Manifestasi disfungsi multiorgan ini secara klinis dapat memperlihatkan gejala-gejala sindrom distres pernapasan, hipotensi, gagal ginjal dan bila tidak teratasi akan diakhiri dengan kematian pasien.

2.6

Faktor Resiko Factor resiko terjadinya sepsis neonatorum dibagi atas faktor ibu, neonates dan

faktor lain-lain. a. Faktor maternal terdiri dari: 1. Ruptur selaput ketuban yang lama 2. Persalinan prematur 3. Amnionitis klinis 4. Demam maternal 5. Manipulasi berlebihan selama proses persalinan 6. Persalinan yang lama b. Pengaruh lingkungan yang dapat menjadi predisposisi bayi yang terkena sepsis, tetapi tidak terbatas pada buruknya praktek cuci tangan dan teknik perawatan,

46

kateter umbilikus arteri dan vena, selang sentral, berbagai pemasangan kateter selang trakeaeknologi invasive, dan pemberian susu formula. c. d. Faktor penjamu meliputi jenis kelamin laki-laki, bayi prematur, berat badan lahir rendah, dan kerusakan mekanisme pertahanan dari penjamu. Faktor Predisposisi Terdapat berbagai faktor predisposisi terjadinya sepsis, baik dari ibu maupun bayi sehingga dapat dilakukan tindakan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya sepsis. Faktor predisposisi itu adalah: Penyakit yang di derita ibu selama kehamilan, perawatan antenatal yang tidak memadai; Ibu menderita eklamsia, diabetes mellitus; Pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama, partus dengan tindakan; Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat bawaan. Adanya trauma lahir, asfiksia neonatus, tindakan invasif pada neonatus; Tidak menerapkan rawat gabung. Sarana perawatan yang tidak baik, bangsal yang penuh sesak. Ketuban pecah dini, amnion kental dan berbau; Pemberian minum melalui botol, dan pemberian minum buatan. 1. Faktor resiko mayor a. b. c. d. e. a. b. c. d. e. f. g. h. Ketuban pecah > 2 jam Ibu demam saat intrapartum, suhu > 380C Korioamnionitis Denyut jantung janin menetap > 160 x/menit Ketuban berbau Ketuban pecah > 12 jam Ibu demam saat intrapartum, suhu > 37,50C Nilai Apgar rendah (menit ke-1 < 5 , menit ke-5 < 7). Bayi berat lahir sangat rendah < 1.500 gram. Usia gestasi < 37 minggu. Kehamilan ganda Keputihan yang tidak diobati Infeksi saluran kemih (ISK)/ tersangka ISK yang tidak diobati

2. Faktor resiko minor

Umumnya, metode persalinan dilakukan dengan persalinan normal dan bedah caesar. Metode yang dipilih akan terkait dengan angka kematian dan kesakitan, baik bagi ibu maupun bayinya. Persalinan lewat bedah caesar terkait dengan kematian ibu

47

3 kali lebih besar dibandingkan persalinan normal. Angka kematian langsung akibat persalinan caesar adalah sekitar 5.8 per 100.000 persalinan. Di Amerika Serikat angka kelahiran caesar meningkat lebih dari 40 %, di Eropa 30 %, Amerika Latin dan sebagian negara Asia mencapai 50% sejak 1996. Penelitian juga menunjukkan, bayi yang dilahirkan dengan metoda caesar, membutuhkan waktu kira-kira enam bulan untuk mencapai mikrobiota usus yang serupa dengan bayi lahir normal, sehingga bayi Caesar memiliki resiko lebih tinggi terhadap berbagai jenis penyakit. Saluran cerna penting artinya bagi kesehatan tubuh manusia. Fungsi utama saluran cerna adalah mencerna dan menyerap zat gizi agar kebutuhan tubuh dapat terpenuhi. Pada saluran cerna yang sehat mukosa usus mampu menyerap mikronutrien penting dan menolak toksin serta patogen, dan dua pertiga sistem kekebalan tubuh berada dalam saluran cerna. Saluran cerna memiliki populasi mikroba yang beragam dan kompleks. Mikrobiota saluran cerna ini mempengaruhi kesehatan dengan cara melindungi tubuh dari serangan mikroorganisma patogen, merangsang sistem daya tahan tubuh, membantu kinerja saluran cerna serta memproduksi vitamin-vitamin esensial. Mikrobiota tersebut diperoleh sejak lahir dari mikrobiota ibu dan lingkungan. Pada persalinan normal, bakteri dari ibu dan lingkungan sekitar membentuk kolonisasi pada saluran cerna. Saat itu, bayi berpindah dari rahim ke lingkungan luar melalui proses yang melibatkan kontraksi berjam-jam. Efeknya, bayi kontak secara alami dengan mikrobiota ibu dan berkoloni diususnya. Mikrobiota, seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli, memegang peran utama mengaktifkan sistem kekebalan. Namun, bayi yang lahir secara caesar kurang terpapar mikroba pada saat dilahirkan. Apalagi bayi yang dilahirkan caesar juga sering kali terpapar antibiotika di masa awal kehidupannya. Akibatnya kolonisasi bakteri menguntungkan (probiotik) di saluran cerna terhambat. Padahal inisiasi koloni bakteri yang diperoleh bayi saat persalinan normal berpengaruh kuat pada perkembangan dan pematangan sistem kekebalannya, yang pada akhirnya mempengaruhi kesehatan bayi. Pada saat lahir, sistem daya tahan tubuh masih belum dapat berfungsi dengan baik atau belum sempurna. Mikrobiota memiliki peranan yang penting dalam pematangan sistem daya tahan tubuh, khususnya dalam membentuk toleransi oral (mulut) dan mengurangi resiko alergi.

48

Terdapat dua cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan dominasi bakteri baik di saluran cerna bayi. Pertama, memberikan suplemen bakteri baik secara langsung. Kedua dengan mendukung pertumbuhan bakteri baik yang sudah ada diusus dengan pemberian makanan yang tepat. Diketahui, air susu ibu (ASI) mengandung gizi terbaik untuk bayi. ASI mengandung bakteri-bakteri yang menguntungkan (probiotik), disamping karbohidrat tertentu yang mendukung pertumbuhan Bifidobacteria. Bayi yang lahir mengonsumsi probiotik akan memiliki mikrobiota menguntungkan dalam jumlah banyak disaluran cernanya. Banyak bukti yang tersedia untuk mendukung penggunaan probiotik bagi bayi dengan tujuan untuk membentuk kolonisasi mikrobiota saluran cerna yang sehat dan menyeimbangkan sistem daya tahan tubuh, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesehatan dan mengurangi resiko alergi. 2.7 Diagnosis Diagnosis sepsis neonatal sulit karena gambaran klinis pasien tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang ditemukan pada anak lebih besar jarang ditemukan pada bayi baru lahir. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak berbeda dengan gejala penyakit non infeksi berat lain pada bayi baru lahir. Diagnosa Gejala klinik neonates sehat adalah tampak bugar, menangis keras, minum kuat, napas spontan dan teratur, aktif dan gerakan simetris, dengan umur kehamilan 37 42 minggu, berat lahir 2500 4000 gram dan tidak terdapat kelainan bawaan/ mayor. Menegakkan diagnosa sepsis pada neonates tidak mudah karena gejala kelainannya tidak spesifik, dapat menyerupai keadaan lain yang disebabkan oleh non infeksi. Diagnosis sepsis pada neonates ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan laboratorium darah, pemeriksaan penunjang dan kultur darah sebagai gold standard. Manifestasi klinis sepsis neonatorum Letargi atau lunglai, mengantuk,

Susunan syaraf pusat Kardiovaskuler Respiratorik Saluran Pencernaan Hematologik Kulit

aktivitas berkurang Iritabel atau rewel Pucat, sianosis, dingin, chummy skin Takipnu, apneu, merintih, retraksi Muntah, diare, distensi abdomen Perdarahan, jaundice Ruam, purpura, pustula

49

Gupte (2003) membuat skor neonatal sepsis berdasarkan factor resiko. Skor ini menilai apakah bayi memerlukan skrining sepsis atau pemberuian terapi medikamentosa. Aplikasi : bila skor 3 5 lakukan skrining sepsis; skor > 5 pertimbangkan terapi. Faktor Prematuritas Cairan amnion yang berbau busuk Ibu demam Asfiksia (nilai apgar menit 1 < 6) Partus lama Pemeriksaan vagina yang tidak bersih Ketuban pecah dini Skor 3 2 2 2 1 2 1

Sumber : Suraj Gupte, Neonatal Septicemia, 2003 1. 2. 3. Laboratorium Hitung leukosit (N 5.000/ul-30.000/ul) Hitung trombosit (N> 15.000/ul) IT tasio (rasio neutrofil imatur dengan neutrofil total): (N < 0,2) Usia 1 hari 3 hari 7 hari 14 hari 1 bulan IT rasio 0,16 0,12 0,12 0,12 0,12 4. CRP (N 1,0 mg/dl atau 10 mg/l) Beberapa uji laboratorium dapat membuktikan secara tidak langsung adanya infeksi bakteri. Selain itu dapat pula dipertimbangkan pemeriksaan kultur darah, cairan spinal, dan pemeriksaan urin. Jika terdapat focus infeksi yang lain, dapat juga diperiksa pada lokasi tersebut. 4. Rontgen dada harus dilakukan sebagai bagian dari evaluasi diagnostik bayi yang diduga sepsis. Pemeriksaan radiologi lain dapat diindikasikan bergantung dari kondisi klinis tertentu. Ultrasonografi (USG), CT-Scan, dan MRI merupakan teknik pencitraan paling berguna bila keadaan pasien mengizinkan. FIRS/SIRS (Fetal inflammatory response syndrome) ditegakkan bila ditemukan dua atau lebih keadaan : laju napas > 60 x/menit atau < 30 x/menit atau apnea dengan atau tanpa retraksi dan desaturasi oksigen, suhu tubuh tidak stabil (< 360C atau > 37,50C), waktu pengisian kapiler > 3 detik, hitung leukosit < 4.000 x 109/L atau > 34.000 x 109/L. 50

Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan (Septic Marker)

Dalam kurun waktu kurang lebih 2 dasawarsa terakhir beberapa pakar telah menyusun kriteria diagnosis infeksi dan sepsis pada neonates berdasarkan sistim scoring.

Sales Santos M, Bunye MO (1995) mengemukakan system scoring hematologis untuk predoksi sepsis neonatorum, sebagai berikut : Kriteria Peningkatan I/T rasio Penurunan / peningkatan jumlah PMN total I: M 0,3 Peningkatan jumlah PMN imatur Peningkatan/penurunan jumlah lekosit total sesuai umur Bayi baru lahir 25.000/ mm3 atau 5000 / mm3 Umur 12-24 jam 30.000/ mm3 Umur > 2 hr 21.000/ mm3 Perubahan PMN 3 vakuolisasi, toksik granular, Dohle bodies Trombosit < 150.000/mm3 1 1 1 1 1 1 1 Skor

Sumber : the complete blood count and hematologic finding as screending criteria for neonatal sepsis, 1995 Bila jumlah skor lebih atau sama dengan 3 maka kemungkinan besar sepsis. Penggunaan skor ini harus disesuaikan dengan klinis. 2.8 Pencegahan a. Pada masa antenatal 51

Perawatan antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara berkala, imunisasi, pengobatan terhadap penyakit infeksi yang di derita ibu, asupan gizi yang memadai, penanganan segera terhadap keadaan yang dapat menurunkan kesehatan ibu dan janin, rujukan segera ketempat pelayanan yang memadai bila diperlukan. b. Pada saat persalinan Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik, yang artinya dalam melakukan pertolongan persalinan harus dilakukan tindakan aseptik. Tindakan intervensi pada ibu dan bayi seminimal mungkin dilakukan (bila benar-benar diperlukan). Mengawasi keadaan ibu dan janin yang baik selama proses persalinan, melakukan rujukan secepatnya bila diperlukan dan menghindari perlukaan kulit dan selaput lendir. c. Sesudah persalinan Perawatan sesudah lahir meliputi menerapkan rawat gabung bila bayi normal, pemberian ASI secepatnya, mengupayakan lingkungan dan peralatan tetap bersih, setiap bayi menggunakan peralatan tersendiri, perawatan luka umbilikus secara steril. Tindakan invasif harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip aseptik. Menghindari perlukaan selaput lendir dan kulit, mencuci tangan dengan menggunakan larutan desinfektan sebelum dan sesudah memegang setiap bayi. Pemantauan bayi secara teliti disertai pendokumentasian data-data yang benar dan baik. Semua personel yang menangani atau bertugas di kamar bayi harus sehat. Bayi yang berpenyakit menular di isolasi, pemberian antibiotik secara rasional, sedapat mungkin melalui pemantauan mikrobiologi dan tes resistensi. 2.9 Penatalaksanaan Prinsip pengobatan sepsis neonatorum adalah mempertahankan metabolisme tubuh dan memperbaiki keadaan umum dengan pemberian cairan intravena termasuk kebutuhan nutrisi. Menurut Yu Victor Y.H dan Hans E. Monintja pemberian antibiotik hendaknya memenuhi kriteria efektif berdasarkan hasil pemantauan mikrobiologi, murah, dan mudah diperoleh, tidak toksik, dapat menembus sawar darah otak atau dinding kapiler dalam otak yang memisahkan darah dari jaringan otak dan dapat diberi secara parenteral. Pilihan obat yang diberikan ialah ampisilin dan

52

gentamisin atau ampisilin dan kloramfenikol, eritromisin atau sefalasporin atau obat lain sesuai hasil tes resistensi. Pemilihan antibiotik untuk terapi inisial mengacu pada jenis kuman penyebab tersering dan pola resistensi kuman di masing-masing pusat kesehatan. Segera stelah didapatkan hasil kultur darah, pemberian antibiotik disesuaikan dengan kuman penyebab dan pola resistensinya. Walaupun pemberian antibiotik masih merupakan tatalaksana utama pengobatan sepsis neonatal, berbagai upaya pengobatan tambahan (adjunctive, adjuvant therapy) bayak dilaporkan dalam upaya memperbaiki mortilitas bayi.pengobatan tambahan atau terapi inkonvensional semacam ini selain mengatasi berbagai defisiensi dan belum matangnya fungsi pertumbuhan tubuh bayi baru lahir,juga dalam rangka mengatasi perubahan yang terjadi dalam perjalanan penyakit dan cascade inflamasi pasien sepsis neonatal.

Antibiotik Amoxicillin Azithromycin

Pemilihan Antibiotik Dosis Interval 15 mg/kg 8 jam 510 mg/kg 24 jam

Keterangan Terapi dan profilaksis pada Pertussis Infeksi Klamidial pada neonates usia lebih dari 1 bulan Infeksi candida Etiologi gastroenteritis Untuk TB

Clindamycin Erythromycin

5 mg/kg 10 mg/kg

6-8 jam 6-12 jam

Fluconazole Flucytosine Neomycin sulfate Rifampisin

3-6 mg/kg 12,5-37,5 mg/kg 33 mg/kg 10 mg/kg 5 mg/kg

24-72 jam 8 jam 8 jam 24 jam 12 jam

53

Untuk profilaksis meningokokus

Terapi Tambahan 1. Pemberian immunoglobulin Pemberian immunoglobulin secara intravena (Intravenous Immunoglobulin IVIG). Pemberian immunoglobulin dilakukan dengan harapan dapatmeningkatkan antibodi tubuh serta memperbaiki fagositosis dan kemotaksis sel darah putih. 2. Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP)/ Tindakan transfusi tukar Pemberian FFP diharapkan dapat mengatasi gangguan koagulasi yang diderita pasien. Tindakan ini bertujuan untuk: Mengeluarkan/mengurangi toksin atau produk bakteri serta mediatormediator penyebab sepsis Memperbaiki perfusi perifer dan pulmonal dengan meningkatkan kapasitas oksigen dalam darah Memperbaiki sistem imun dengan adanya tambahan neutrofil dan berbagai antibodi yang mungkin terkandung dalam darah donor. 3. Pemberian transfusi granulosit dikemukakan dapat memperbaiki pengobatan pada penderita sepsis neonatorum. Hal ini terlihat dengan membaiknya sistem imun yang menurun pada keadaan sepsis neonatal. Demikian pula pemberian transfusi packed red blood cells bertujuan mengatasi keadaan anemia dan menjamin oksigenisasi jaringan yang optimal pada pasien sepsis.

DAFTAR PUSTAKA 1. Haslam R. Kejang Neonatus. Editor: Waldo E. Dalam: Buku Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC. 2000; (vol: 3 ed: 15) 2064-2066 54

2. Irawan G. Kejang dan spasme. Editor: Kosim M. Dalam: Buku Ajar Neonatologi. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008; (edisi 1) 226-249 3. Adre J. Neonatal seizures. Dalam : Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-5. Boston : Lippincott Williams & Wilkins, 2004; 50723. 4. Depkes RI. Buku bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode tepat guna untuk paramedis, bidan dan dokter. Depkes RI, 2001. 5. Sankar J, Agarwal R. Seizures in the newborn. Department of Pediatrics. All India Institute of Medical Sciences. Dimuat pada tahun 2010. Diunduh dari http://www.newbornwhocc.org diakses tanggal 14 januari 2012 6. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri Neonatal Emergensi Dasar. Jakarta : Depkes RI, 2006; 8492 7. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call problems disease and drugs; edisi ke-5. New York : Lange Books/Mc Graw-Hill, 2004; 310-3. 8. Mizrahi EM, Kellaway P. Characterization and classification. In Diagnosis and management of neonatal seizures. Lippincott-Raven, 1998; 15-35 9. Young TE, Mangum B. Neofax, edisi ke-7, 2004 : 154-155 10. Etika R. Kejang pada Neonatus. Dimuat pada tahun 2010. Diunduh dari http://www.pediatrik.com/ Diakses tanggal 8 januari 2012. 11. Barbara J. Stoll. Infections of the Neonatal Infant. In Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed. USA: WB Saunders. 2004. p: 623-639.. 12. L. S. Prod'hom, J.-M. Choffat, N. Frenck, M. Mazoumi, J.-P. Relier and A. Torrado. Care of the Seriously Ill Neonate With Hyaline Membrane Disease and With Sepsis (Sclerema Neonatorum). Pediatrics 1974;53;170-181. 13. Ann L Anderson-Berry, Ted Rosenkrantz. Neonatal Sepsis. 2011. Available at http://emedicine.medscape.com/article/964312 accessed at Oktober 10th, 2011. 14. Agus Harianto. Sepsis Neonatorum. 2010. Tersedia di: http://www.pediatrik.com/isi03 Diakses tgl 10 Oktober 2011.

55

15. Ian R Friedland and George H McCracken. Sepsis dan Meningitis pada Neonatus. Dalam: Buku Ajar Pediatri Rudolph. Vol. 1. Edisi 20. Jakart: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. Hlm 601-610. 16. M. William, Louis, M. Bell, Peter M. Bingham. (2003). The 5-Minute Pediatric Consult. Lippincott Williams and Witkins. 17. Merck Online Manual. Introduction to Neonatal Infection. Available at http://www.merckmanuals.com/professional/sec19 Accessed at Oktober 10th, 2011. 18. Aminullah A. Masalah Terkini sepsis neonatorum. Dalam : Update in neonatal infection. Pendidikan berkelanjutan IKA XL VIII. Jakarta 2005 : 1-13 19. Gerdes JS. Diagnosis and Management of Bacterial Infection in the Neonate. Pediat Clin N Am 2004 : 939-59 20. Depkes RI. 2007. Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum. Jakarta : Depkes 21. World Health Organization. 2005. Report Perinatal Mortality. 22. Sepsis Neonatorum. Dalam Standard Pelayanan Medik RSUP DR. SARDJITO. Edisi 2. Jogjakarta: Medika FK UGM; 2000; h. 35-6

56

Anda mungkin juga menyukai