FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
REFERAT
APRIL 2016
TERAPI NYERI
Disusun Oleh:
Devi Ratna Pratiwi
10542018410
Pembimbing:
dr. Hisbullah, SpAn, KIC
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU ANESTESI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia, rahmat,kesehatan, dan
keselamatan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan referat ini dengan judul TERAPI
NYERI
1
Tugas ini ditulis sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepanitraan Klinik di
Bagian Ilmu Anestesi. Berbagai hambatan dialami dalam penyusunan tugas referat ini. Namun
berkat bantuan, saran, kritikan, dan motivasi dari pembimbing serta teman-teman sehingga tugas
ini dapat terselesaikan.
Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam kepada
dr.Hisbullah, SpAn, KIC. selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dengan
tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan
tugas ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
menyempurnakan referat ini. Akhir kata, penulis berharap agar referat ini dapat memberi manfaat
kepada semua orang.
LEMBAR PENGESAHAN
Stambuk
: 10542 0155 10
2
Judul Lapsus
: Terapi Nyeri
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Anestesi
kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.
DAFTAR ISI
SAMPUL i
LEMBAR PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR . iii
DAFTAR ISI .. iv
BAB I PENDAHULUAN .
BAB II PEMBAHASAN ..
A. FISIOLOGI NYERI
B. PENILAIAN
NYERI ...................................................................................
2
7
21
DAFTAR PUSTAKA
22
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri adalah mekanisme penting proteksi tubuh yang muncul apabila jaringan sedang
rusak dan menyebabkan individu bereaksi untuk menghilangkan rangsang nyeri tersebut untuk
menghindari kerusakan lebih jauh.1
Berdasarkan International Association for the study of Pain (IASP) nyeri didefinisikan
sebagai sensasi yang tidak menyenangkan, mengganggu dan menimbulkan pengalaman emosi
4
akibat adanya kerusakan jaringan atau yang berpotensi terjadinya kerusakan jaringan atau
sesuatu yang berarti kerusakan.1
Nyeri dapat terjadi dalam waktu yang lama. Keadaan demikian dinamakan nyeri kronis.
Nyeri kronis tidak hanya mengganggu penderitanya dari sisi medis, namun juga psikososial.
Oleh karena itu, penanganan nyeri semacam ini melibatkan intervensi multidisiplin.1
BAB II
PEMBAHASAN
A. FISIOLOGI NYERI
1. Empat fase timbulnya nyeri
a. Transduksi
Nosiseptor adalah ujung-ujung saraf bebas tak bermielin yang
mengonversi (men-transduksi) bebagai stimulus menjadi impuls yang
dapat dihantarkan sel saraf, sehingga dapat diinterpretasikan oleh otak
untuk menghasilkan sensasi nyeri. Badan selnya berada di ganglia
5
Senyawa
Kalium
Serotonin
Bradikinin
Histamin
Prostaglandin
Leukotrien
Substansi P
Sumber
Sel yang rusak
Trombosit
Plasma
Sel Mast
Sel yang rusak
Sel yang rusak
Ujung sel saraf aferen
b. Transmisi
Setelah impuls nyeri dicetuskan oleh nosiseptor, ia disalurkan ke
ganglion radiks posterior medula spinalis yang juga terkenal sebagai
ganglion
spinale.
Melalui
serabut-serabut
radiks
posterior
yang
sisi
kontralateral.
Serabut-serabut
nukleus
propius
itu
jaras
spinotalamikus.
Pada
tingkat
servikal,
jaras
lemniskus
medialis
dan
brakium
konjungtivum
dan
di
perjalanannya
di
sepanjang
nukleus
ventro-postero-
trigeminus. Neuron
kedua
yang
menggabung
pada
traktus
mesensefalon.4
7
spinotalamikus
pada
tingkat
sekunder)
untuk
penyedaran
dan
pengenalan
disampaikan
kepada
suatu
sel
tertentu
pada
daerah
kulit
tungkai
disampaikan
sel
di
bagian
superior
daerah
yang kompleks. Persepsi ini menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu
sehingga kemudia individu ini dapat bereaksi.8
Fase ini dimulai saat sinyal dari formatio reticularis dan thalamus
dilanjutkan ke area limbik. Area ini mengandung sel-sel yang bisa mengatur
emosi ini. Area ini akan memproses reaksi emosi terhadap suatu nyeri. Proses ini
berlangsung sangat cepat sehingga suatu stimulus nyeri dapat dihindari.7,9
2. Klasifikasi nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai kategori yaitu9
a.
b.
c.
Nyeri Akut
Nyeri Somatik
9
Somatik Superfisial
Somatik Dalam
Nyeri Kronik
Nyeri Viseral
Nyeri Alih
Nyeri Neuropatik
Nyeri Psikogenik
Tabel 2. Perbedaan nyeri akut dan nyeri kronik. 11
Penyebab
Nyeri Akut
Reaksi inflamasi terhadap
Nyeri Kronik
Lesi pada saraf perifer , radiks
kerusakan jaringan
Durasi
Respon terhadap
Pengobatan
Kualitas Hidup
< 3 Bulan
> 3 Bulan
membaik
Berespon baik dengan
membaik
Respon minimal hingga tidak
pengobatan
Tidak berpengaruh terhadap
panjang
B. PENILAIAN NYERI
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri paska
pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk menilai
derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat berkomunikasi
dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan.11
Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini:
1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari senyuman
sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan gangguan
10
komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang
tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.12
11
bersama nyeri tersebut. Terapi sebelumnya, baik yang berhasil maupun yang
tidak berhasil harus tetap dievaluasi. Harus tetap diingat bahwa nyeri
merupakan keluhan yang sangat subjektif, dan tidak ada cara untuk
memeriksa nyeri secara benar-benar akurat.3 Meskipun demikian, harus
tetap dicari tahu sejauh mana nyeri tersebut mengganggu aktivitas seharihari pasien atau apakah nyeri tersebut sampai mengganggu keadaan
psikologis pasien. Identifikasi pula faktor komorbid medis maupun psikososial
(misalnya depresi, penyalahgunaan zat, alkoholisme) yang mungkin akan
memengaruhi nyeri atau terapinya di kemudian hari. Penting pula untuk
mengevaluasi potensi timbulnya penyalahgunaan zat pada pasien dengan
nyeri kronis non-malignan dengan memantau apakah ada tanda-tanda
perilaku drug-seeking.13
Pemeriksaan fisik penting dilakukan untuk mencari adanya proses
patologis yang dapat ditangani. Perlu dicatat bahwa temuan abnormal tidak
selalu berkolerasi dengan nyeri yang dikeluhkan pasien, seperti halnya
temuan normal tidak selalu mematahkan keluhan nyeri pasien. 3 Pemeriksaan
fisik harus difokuskan pada area yang dikeluhkan nyeri dan daerah-daerah
yang berhubungan dengannya. Pemeriksaan laboratorium, foto X-ray, CT dan
pemeriksaan pencitraan lainnya serta konsultasi dengan bidang keahlian lain
akan sangat penting dilakukan. Pemeriksaan khusus seperti pencitraan,
neurofisiologi, laboratorium dan lain-lain harus dipilih berdasarkan keadaan
kasus per kasus. Pemeriksaan rutin selama proses terapi akan mampu
mengungkapkan apakah regimen terapi yang diberikan berhasil atau tidak.14
D. PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGIS NYERI
13
yang menggunakan opioid peroral sebaiknya menggunakan preparat yang memiliki masa
kerja pnjang seperti levorphanol, metadon, atau morfin lepas lambat. Fentanil
transdermal juga dapat dijadikan pilihan lain. Profil farmakokinetik preparat di atas
mampu memberikan efek pereda nyeri yang lebih lama, meminimalkan efek samping
seperti sedasi, dan mengurangi risiko rebound pain akibat menurunnya konsentrasi opioid
di plasma secara mendadak. Opioid kerja panjang memang memberikan efek pereda
nyeri yang lebih baik pada pasien dengan nyeri kontinyu. Namun pada pasien dengan
nyeri episodik yang berat, lebih baik diberikan opioid kerja singkat secara periodik.16
Efek samping umum meliputi mual, muntah, konstipasi, sedasi, dan depresi
napas. Konstipasi merupakan efek samping universal dari penggunaan analgesik opioid.
Dapat diberikan methylnaltrexone, suatu antagonis opioid di reseptor mu yang
menghambat konstipasi tanpa mengganggu efek analgesia. Dosis awal dapat diberikan
0,15 mg/kg berat badan secara subkutan, tidak lebih dari sekali dalam sehari. 16
b. Golongan Non-Opioid
Yang termasuk golongan non-opioid adalah golongan anti inflamasi non
steroid , golongan acetaminophen dan golongan tramadol.15
- Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)
OAINS kerja melalui penghambatan enzim COX yang mencegah pemecahan
asam arakhidonat membentuk prostaglandin (PG). Prostaglandin akan memicu reaksi
inflamasi dan secara langsung akan mensensitisasi terminal saraf serabut C di perifer
terhadap stimulus termal, mekanis dan kimia. Karena sensitisasi ini maka mediator
kimia seperti bradikinin, histamin akan memberi efek yang lebih besar terhadap
reseptor nyeri.15
OAINS akan menyebabkan iritasi lokal pada mukosa lambung secara
langsung dan tidak langsung. Dosis tinggi akan menurunkan sintesis PGE1 dan PGI2
yang berguna menghambat sekresi asam lambung dan merangsang pembentukan sitoprotektif mukosa intestinal. Karena itu dapat menyebabkan erosi gaster dan
perdarahan gaster sekunder terutama ulkus peptikum, riwayat perdarahan lambung,
alkoholik dan usia lanhjut. Profilaksis dapat dilakukan dengan pemberian H2
antagonis dan analog prostaglandin.15
16
Acetaminophen
Acetaminophen adalah derivat parasetamol dan berbeda dengan OAINS
karena tidak mempunyai efek anti inflamasi. Obat ini baik untuk menghilangkan
nyeri sedang yang tidak memerlukan anti inflamasi. Obat ini sering dikombinasi
dengan narkotik (codein).15
Cara kerjanya masih belum jelas. Analgesia disebabkan oleh inhibisi NO
dalam medulla spinalis. NO adalah neurotransmitter yang dirilis pada kornu dorsalis
medula spinalis bila ada aktivasi dari serabut C. Dengan adanya NO pada celah
sinaptik akan terjadi aktivasi neuron traktus spinotalamikus. Selain itu asetaminophen
akan menginhibisi COX di otak, yang akan menyebabkan efek anti piretik.15
-
Tramadol
Tramadol menyebabkan analgesik melalui dua mekanisme yaitu melalui
ikatan lemah pada receptor MU karena merupakan agonis opioid yang lemah dan
memudahkan rilis dan reuptake serotonin atau norepinephrin. Tramadol lebih banyak
diserap melalui gastrointestinal dan parenteral, sehingga efek samping yang paling
sering terjadi adalah mual , muntah dan sakit kepala.15
-
kronis. Obat anti depresan akan menginhibisi reuptake amine biogenik kembali ke
17
Anti Konvulsan
Obat anti konvulsan efektif digunakan untuk penganggulangan sindroma nyeri
yang bersifat intermiten-tajam, neuropatik dan kontinu. Obat yang sering digunakan
adalah golongan carbamazepine , gabapentin dan phenytoin. Cara kerja obat ini
umumnya dengan memblok kanal natrium yang akan menekan fokus ektopik dalam
otak, karenanya dapat mencegah kejang dan mengurangi pelepasan fokus ektopik dari
18
cidera saraf perifer yang diperkirakan merupakan sebab dari nyeri intermiten yang
tajam.15
Antikonvulsan terutama digunakan untung nyeri neuropatik. Fenitoin dan
carbamazepine merupakan contoh antikonvulsan yang digunakan untuk menangani
neuralgia trigeminal. Antikonvulsan yang baru seperti gabapentin dan pregabalin
efektif untuk nyeri neuropatik yang lebih luas. Ditambah lagi dengan efek
sampingnya yang lebih bisa diterima, antikonvulsan generasi baru tersebut sering
digunakan sebagai obat lini pertama.16
-
intermiten-tajam, tetapi juga untuk nyeri yang bersifat allodinia dan dysesthetik. Obat
yang paling sering digunakan adalah golongan Bretylium, Guanetidin dan Lidokain.
Cara kerja obat ini sama seperti anti konvulsan.15
Ketorolak
Ketorolak atau ketorolak trometamin merupakan obat golongan anti inflamasi non
steroid, yang masuk kedalam golongan derivate heterocyclic acetic acid dimana secara struktur
kimia berhubungan dengan indometasin. Ketorolak menunjukkan efek analgesia yang poten
tetapi hanya memiliki aktifitas anti inflamasi yang sedang bila diberikan secara intramuskular
atau intravena.
Ketorolak dapat dipakai sebagai analgesia paska pembedahan sebagai obat tunggal
maupun kombinasi dengan opioid, dimana ketorolak mempotensiasi aksi nosiseptif dari opioid.
19
20
Dalam menentukan jenis obat yang akan digunakan perlu dilakukan evaluasi
mengenai penyebab nyeri dan juga evaluasi derajat nyeri. Berikut algoritma penggunaan
obat anti nyeri :16
22
Gambar 9 : Perbedaan penggunaan obat anti nyeri pada pasien nyeri akut dan nyeri kronik 16
E. PENATALAKSANAAN NON-FARMAKOLOGI NYERI KRONIS
1. Edukasi
Persepsi individual terhadap nyeri dapat berkurang bila yang
bersangkutan mengerti penyebab nyeri yang dialaminya. Sebagai contoh,
rasa takut bahwa nyeri yang dialami adalah akibat proses keganasan
akan menyebabkan nyeri tersebut terasa berat. Apalbila diberi penjelasan
bahwa sebenarnya penyebab nyeri itu adalah gangguan muskuloskeletal,
maka rasa nyeri yang dialami bisa sedikit berkurang.11
2. Fisioterapi
Fisioterapi mencakup beberapa modalitas yang dapat membantu
dalam upaya terapi nyeri kronis terutama pada kasus muskuloskeletal.
a. Modalitas suhu (panas atau dingin), ultrasound, peripheral nerve
stimulation/transdermal electronic nerve stimulation (TENS), dan
traksi (untuk meningkatkan ekstensibilitas jaringan dan lingkup
gerak).11
b. Terapi manual : juga dapat membantu meningkatkan ekstensibilitas
jaringan dan lingkup gerak, sehingga mengurangi nyeri. Terapi
23
24
BAB III
PENUTUP
Nyeri bukan hanya suatu modalitas sensorik akan tetapi merupakan
pengalaman. Rasa nyeri merupakan masalah yang unik, disatu pihak bersifat
melindungi dan di pihak lain merupakan suatu siksaan. Secara klinis penting
untuk membagi nyeri menjadi dua kategori : nyeri akut dan kronik.
Terdapat empat proses fisiologi nyeri yang terjadi yaitu transduksi,
transmisi, modulasi dan persepsi. Beberapa serabut aferen yang terlibat
adalah serabut A dan C.
Manajemen nyeri, khususnya nyeri kronik melibatkan semua proses
pengobatan yang ada, farmakologis , intervensi diluar farmakologis seperti
fisioterapi dan intervensi psikologis. Tujuan utama dari manajemen ini untuk
mengurangi kesakitan, meningkatkan kualitas hidup dan terapi paliatif pada
pasien dengan nyeri kronis.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan G, Mikhail M. Pain management. In : Clinical Anesthesiology. 4th ed. New
York: McGraw-Hill Companies;2006.h.359-411.
2. Patel NB. Physiology of pain. Dalam: Kopf A, Patel NB, penyunting.
Guide
to
pain
management
in
low-resource
setting.
Seattle
M,
Sidharta
P.
Neurologi
Rakyat;2012.h.71-4.
5. Dafny N. Pain modulation
and
klinis
dasar.
mechanism.
Jakarta:
Dian
Diunduh
dari
26
27