3 Suryana PDF
3 Suryana PDF
ABSTRAK
Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) merupakan salah satu plasma nutfah unggas lokal di
Kalimantan Selatan, yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur produktif. Tingkah
laku adalah tindak tanduk hewan yang terlihat, baik secara individual maupun bersama-sama
(kolektif). Tingkah laku hewan merupakan suatu kondisi penyesuaian terhadap lingkungannya.
Pada tingkat adaptasi, tingkah laku hewan ditentukan oleh kemampuan belajar untuk
menyesuaikan terhadap lingkungan yang baru. Kegiatan penelitian dilaksanakan di Kecamatan
Daha Utara dan Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Kecamatan Labuan Amas
Selatan dan Labuan Amas Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kecamatan Amuntai
Selatan dan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan.
Pengamatan dilakukan pada kegiatan tingkah laku menetas, memilih pakan dan kawin terhadap
600 ekor itik Alabio, yang terdiri atas 525 ekor itik betina dan 75 ekor itik pejantan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada tingkah laku memilih pakan yang berbentuk pellet
merupakan pakan ideal untuk itik dewasa, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu
pedoman dalam penentuan bentuk pakan yang efisien. Waktu perkawinan itik Alabio yang
tepat dilakukan pagi hari pada kandang terkurung, untuk memperoleh fertilitas telur yang
optimal, sedangkan tingkah laku menetas itik Alabio meliputi enam tahapan yaitu telur yang
sudah berumur 26 hari mulai retak karena adanya gigi untuk memotong kerabang, dorongan
paruh kerabang mulai retak dan membesar, dengan menggunakan leher bagian belakang dan
paruh bagian atas mendorong hingga kerabang pecah, telur mulai pecah dan terjadi hentakan
menjelang anak itik keluar dari kerabang telur, anak itik dengan kondisi bulu masih basah
berusaha mulai berdiri dan berjalan dan mematuk-matuk bekas sisa kerabang telur yang pecah.
Kata kunci: tingkah laku, memilih pakan, menetas, kawin, itik Alabio
PENDAHULUAN
Itik lokal Indonesia yang ada sekarang dikenal sebagai itik Indian Runner
(Hetzel, 1985). Meskipun merupakan satu rumpun, tetapi ada beberapa itik lokal yang
tersebar di seluruh wilayah nusantara, dengan berbagai nama menurut daerah atau
lokasinya masing-masing (Solihat et al. 2003). Beberapa bangsa lokal yang cukup
dikenal antara lain itik Tegal, itik Bali, itik Mojosari, itik Magelang (Hetzel 1985;
Suwindra 1998), dan itik Alabio (Rohaeni dan Tarmudji
22
Tingkah laku adalah tindak tanduk hewan yang terlihat, baik secara individual
maupun bersama-sama (kolektif). Hewan liar yang telah didomestikasi masih
memperlihatkan adanya perbedaan dalam tingkah lakunya. Hal ini disebabkan oleh
kebutuhan hidup yang berbeda, walaupun tetap ada naluri (instinct) yang identik untuk
hidup bersama. Tingkah laku hewan merupakan suatu kondisi penyesuaian terhadap
lingkungannya. Pada tingkat adaptasi, tingkah laku hewan ditentukan oleh kemampuan
belajar untuk menyesuaikan terhadap lingkungan yang baru (Warsono 2009). Perilaku
hewan merupakan campuran dari komponen-komponen yang diturunkan/diwariskan
atau dibawa dari lahir (naluri) dan yang diperoleh semasa hidupnya. Komponenkomponen yang dibawa dari lahir terdiri atas refleks-refleks sederhana, responsrespons dari berbagai unsur dan pola-pola perilaku kompleks yang dipelajari sehingga
menjadi kebiasaan (Craig 1981). Penampilan tingkah laku individu selain dipengaruhi
oleh faktor genetik tetuanya (Craig 1981), juga faktor lingkungan internal atau status
fisiologis (umur, jenis kelamin, rasa lapar dan kesehatan) (Kilgour & Dalton 1989),
serta faktor eksternal lingkungan fisik (nutrisi, temperatur, kelompok seksual dan
kontak parental) (Applegate et al. 1998).
Perilaku sosial dalam kelompok misalnya pada ternak ayam dapat saja berbeda
dan pembentukannya terjadi baik secara lambat maupun cepat, bergantung kepada
kondisi kelompok, sifat individu dan banyaknya kelompok (Dukas
2004). Macam-
macam tingkah laku pada hewan antara lain: bergerak, bernafas, makan, minum,
berkelahi, tingkah laku sosial, tingkah reproduksi dan kawin (Mignon-Grasteau, 2005),
tingkah laku menyusui anak (Kilgour & Dalton 1989), mandi debu (Buitenhuis et al.
2005), berinteraksi sosial (Farland 1986; Tomaszewska & Putu 1989). Ewing et al.
(1995) dan Appleby et al. (2004), membagi tingkah laku berdasarkan kebutuhan pokok
yang bersifat naluri yaitu: makan, bereaksi, bergerak, mencari tempat hidup,
berkelompok, berintorial, mempertahankan diri, bertelur, tidur dan istirahat. Sistem
tingkah laku hewan (misalnya tingkah laku makan, minum, tidur dan kawin) terdiri atas
tiga fase aktivitas yang terjadi dalam satu rangkaian yaitu fase hasrat (appetite
behavior), fase kebiasaan yang konsisten atau naluri (consummatory behavior) dan
fase respon kelanjutan yang menguntungkan (refractory behavior) (Craig
1981).
Rangsangan atau respons dalam tubuh berupa perasaan lapar, sifat bermusuhan dan
nafsu untuk kawin dipengaruhi oleh sistem syaraf dan reaksi hormonal dalam tubuh
dan rangsangan dari luar tubuh berupa suara, pandangan mekanis dan kimia. Kriteria
tingkah laku pada ternak menurut Dukas (2004), yaitu tingkah laku merumput, memilih
habitat, variasi membedakan benda, mendengar, membau, merasa, memilih warna,
makan, minum dan kawin. Setioko (2001) menguraikan tingkah laku kawin alami pada
23
itik ada lima tahapan, yaitu tahap perayuan (courtship), tahap naik diatas punggung dan
mengatur posisi (mounting and positioning), perangsangan betina (stimulating), ereksi dan
ejakulasi (erection and ejaculation), dan gerakan setelah kawin (post coital display).
Saerang (2010) menyatakan bahwa tingkah laku yang teridentifikasi pada burung
maleo, dapat dikelompokkan dalam tiga macam yaitu: tingkah laku berpindah tempat
(jalan, lari dan terbang), tingkah laku makan (mencari makan, mengais pakan, makan
dan minum), dan tingkah laku istirahat. Tingkah laku makan dan minum merupakan
bagian dari seluruh proses energi (baik lingkungan luar maupun dalam). Pada unggas
yang termasuk karakteristik tingkah laku makan yaitu mengkonsumsi pakan, berapa
rataan banyaknya konsumsi/ekor, rataan makan harian, rataan
jumlah makan
berdasarkan ukuran dan bentuk pakan (Schulze et al. 2003), lama membau, lama
makan dan distribusi aktivitas mengkonsumsi pakan secara simultan (Barnard 2004;
Cook et al. 2005; Fraser & Broom 2005).
Faktor yang mempengaruhi tingkah laku makan ada dua, yaitu faktor internal dan
eksternal. Faktor internal terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi tingkah laku
makan, yaitu perbedaan kadar glukosa dalam sistem pembuluh darah arterial dan
venous, serta peran hormonal. Pusat lapar berada pada hipotalamus bagian lateral,
sedangkan pusat kenyang terdapat di hypotalamus bagian ventro-medial. Pusat lapar
dan kenyang dipengaruhi oleh perubahan kadar glukosa dalam darah. Jumlah gerakan
hewan meningkat, maka jumlah konsumsi pakan juga meningkat, hal ini dapat terjadi
karena hewan/ternak berusaha untuk menyesuaikan kebutuhan energi yang keluar
dan masuk (Wahju 1997). Tingkah laku makan salah satunya dipengaruhi oleh
lingkungan (temperatur, pakan dan manajemen). Temperatur tinggi akan terjadi
pengurangan keinginan untuk pengambilan pakan, tetapi sebaliknya konsumsi air
minum meningkat (Larbier & Leclercq 1994), sedangkan pada suhu rendah hewan
cenderung untuk mengkonsumsi pakan yang terus menerus (Wahju 1997). Faktor
eksternal dalam tingkah laku makan adalah seluruh rangsangan dari luar
seperti
suara, gerakan dan tanda-tanda lainnya. Mekanisme tingkah laku makan terjadi karena
adanya proses rangsangan pada saat melihat pakan yang diteruskan melalui nervous
opticus ke otak. Rangsangan ini setelah diproses dalam otak kemudian akan
merangsang lambung untuk mengeluarkan cairan asam, sehingga timbul rasa lapar
(Kilgour & Dalton 1989). Prosesnya antara lain, pertama-tama hewan melihat objek
pakan yang menarik, kemudian terjadi proses pengambilan pakan sebagai akibat
reaksi penurunan kadar glukosa di dalam darah dan akibat pembentukan cairan
hormonal yang terjadi setelah ada rangsangan neural dari elemen-elemen syaraf di
daerah hipotalamus bagian lateral. Tingkah laku yang diamati pada unggas umumnya
24
dapat disusun dengan menggunakan katalog Ethogram (Orzech 2005; Riber & Mench
2008). Ethogram merupakan sebuah daftar amatan yang dikategorikan ke dalam jenis
perilaku yang ditimbulkan oleh ternak selama dalam pengamatan (Tabel 1).
Tabel 1. Ethogram tingkah laku makan dan kawin pada unggas
Jenis Perilaku
Berpindah tempat
Mencari makan
dan minum
Kawin
Aktivitas
Jalan
Lari
Loncat
Makan
Minum
Aktivitas
kawin
Keterangan aktivitas
Aktivitas unggas pada saat melangkahkan kaki
secara perlahan dan berjalan.
Aktivitas pada saat unggas berlari.
Aktivitas pada saat unggas mencari tempat lain
atau berteduh
Aktivitas mulai saat makan, sampai habis makan
dan mencari minum.
Aktivitas pada saat unggas mencelupkan
paruhnya ke tempat air minum sampai selesai
minum.
Aktivitas mulai pejantan dan betina melakukan
persiapan saat dan setelah selesai kawin.
Riber & Mench (2008) menyatakan bahwa ethogram dapat digunakan sebagai
panduan dalam pengamatan perilaku unggas. Ethogram memuat definisi adalah
sebagai daftar acuan yang menjelaskan berbagai aktivitas unggas, seperti tingkah
laku minum, makan, merumput, pergerakan, bertelur, aktivitas kawin, kanibalisme dan
lain-lain. Seperti halnya unggas lain, itik Alabio memiliki kebiasaan dan tingkah laku
makan, minum dan kawin serta aktivitas tingkah laku lainnya. Proses tingkah laku
makan perlu diamati, mengingat jenis itik umumnya mempunyai kecenderungan tidak
efisiennya dalam mengkonsumsi pakan, karena banyak yang terbuang/tercecer pada
saat makan yang diikuti minum. Aktivitas tingkah laku kawin terutama pada
kemampuan itik Alabio jantan mengawini beberapa betina pada kondisi temperatur
lingkungan berbeda, diduga menunjukkan hasil yang berbeda. Perbedaan tingkah laku
pada berbagai aktivitas itik Alabio (makan, minum dan kawin), berguna untuk
penentuan cara pemberian pakan dan minum yang baik, sedangkan tingkah laku kawin
dapat dimanfaatkan sebagai informasi dalam menerapkan sistem perkawinan dengan
perbandingan jantan dan betina yang efisien, sehingga diperoleh fertilitas telur
optimal.
25
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kecamatan Labuan Amas Selatan dan Labuan Amas
Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kecamatan Amuntai Selatan dan Amuntai
Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Ternak Itik
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah itik Alabio dewasa dengan
umur berkisar antara 5 5,5 bulan (masak kelamin) sebanyak 600 ekor (75 ekor jantan
dan 525 betina), milik peternak itik Alabio di Desa Paharangan, Daha Utara, Taniran
dan Taniran Kubah (HSS), Desa Sungai Jaranih, Murung Taal, Mantaas dan Tabat
(HST), Desa Teluk Baru, Simpang Empat, Cangkering dan Mamar (HSU), masingmasing desa diwakili sebanyak 50 ekor, terdiri atas 5 ekor jantan dan 45 ekor betina.
Telur Tetas dan Alat Penetasan
Telur itik yang digunakan dalam kegiatan ini sebanyak 5250 butir diperoleh dari
peternak itik Alabio di Desa Teluk Baru Kecamatan Amuntai Selatan, HSU. Sebelum
telur-telur tetas dimasukkan ke dalam alat penetasan, terlebih dahulu diseleksi yang
memenuhi persyaratan, baik dari bobot, warna kerabang dan kebersihan telur. Alat
penetasan yang digunakan sebanyak empat unit, terdiri atas satu unit milik
Laboratorium Unggas, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor kapasitas 200
butir (A) dilengkapi dengan thermometer, thermoregulator dan hygrometer, dan tiga
unit alat penetasan sistem gabah dengan kombinasi listrik sebagai sumber panasnya,
milik peternak penetas di Desa Mamar Kecamatan Amuntai Selatan, HSU dengan
kapasitas masing-masing 1000 butir (B), 1500 butir (C) dan 2500 butir (D).
Tingkah Laku Menetas
Kegiatan penelitian tingkah laku menetas terlebih dahulu diawali dengan
melakukan penetasan telur itik Alabio. Tujuan utama selain untuk memperoleh
informasi tentang tingkah laku menetas, juga mengetahui keragaan penetasan.
Pengamatan terhadap tingkah laku menetas, dilakukan pada telur-telur yang
dieramkan dan telah mendekati tahap akhir proses penetasan (umur telur 26-28 hari).
Satu unit alat penetasan digunakan untuk mengamati tingkah laku menetas dengan
kapasitas 200 butir (A) dan dilaksanakan di laboratorium, sedangkan untuk
memperoleh data keragaan penetasan di tingkat lapang, digunakan tiga unit alat
26
adanya
desakan tumpuan kedua lutut kaki pada bagian ujung runcing telur, sedangkan pada
lubang kerabang telur yang sudah melebar persendian lutut menjadi bebas bergerak,
sehingga kaki dan cakar leluasa membantu mendorong untuk lebih memperluas
lubang kerabang telur, sehingga terbuka lebar.
28
II
III
IV
VI
Aktivitas
Telur yang sudah berumur 26 hari dalam alat penetasan mulai
mengalami keretakan kerabang, karena adanya gigi (tooth
beak) yang terletak di bagian atas untuk memotong kerabang
bagian ujung runcing telur, kurang lebih pada sepertiga bagian
bawah telur yang ditandai retaknya kulit luar (shell). Dorongan
ujung runcing paruh berulang-ulang sampai lubang kerabang
telur mulai membesar.
Dengan kekuatan dorongan paruh, kerabang mulai retak
membesar dan paruh mulai keluar
Pada saat lubang permukaan kulit telur membesar pada
bagian bawah, dengan menggunakan leher bagian belakang
mendorong kepala dan paruh bagian atas mendorong
kerabang hingga pecah
Interval istirahat pada setiap hentakan sama, tetapi pada saat
telur mulai pecah interval sentakan semakin kuat sampai
menjelang anak itik keluar dari kerabang telur.
Anak itik yang sudah terlepas bebas keluar dari kerabang,
dengan kondisi bulu masih basah berusaha mulai berdiri
perlahan-lahan. Setelah bulu tubuhnya mulai mengering,
mereka mengumpulkan tenaga untuk berdiri dan berjalan,
serta mematuk-matuk sisa kerabang telur.
Anak itik yang sudah mulai berjalan dan berusaha mematukmatuk bekas sisa kerabang yang pecah, dan siap untuk
dipisahkan ke dalam brooder
29
Gambar
1a
1b
1c
1d
1e
1f
Gambar 1 b
Gambar 1 a.
Gambar 1 d
Gambar 1 c
Gambar 1 e
Gambar 1 f
30
Ulangan
II
III
Jumlah
awal
(g)
500
500
500
500
500
500
500
500
500
500
500
500
500
500
500
500
500
500
Jumlah
dikonsumsi
(g)
365.46
316.06
285.28
339.13
347.46
461.43
134.54
183.94
214.72
160.87
152.54
38.57
366.72
314.84
295.21
337.18
351.90
470.25
805.18
147.53
133.28
185.16
204.79
162.82
148.10
29.75
370.81
315.51
387.70
340.29
340.24
472.10
863.90
143.99
129.19
184.49
123.30
159.71
159.60
27.90
Sisa
(g)
773.19
128.87
Dedak
halus1)
13.18
10.08
13.50
0.20
0.22
2980
Keong
rawa 1)
64.52
3.43
0.80
7.50
3.80
3200
Bahan pakan
Ikan
Sagu
kering 1)
parut 1)
56.86
1.45
7.43
0.28
2.20
10.96
8.10
0.037
3.60
4675
2618
Pakan
komersial 2)
18.0
3.0
6.0
4.2
1.0
2950
Gabah 1)
8.90
2.05
10.10
1.20
0.50
4250
Keterangan : 1) Hasil analisis laboratorium; 2) berdasarkan Tabel komposisi pakan ayam petelur
Rataan lama makan, frekuensi makan, lama minum, frekuensi minum dan
pergerakan dari tempat makan ke tempat minum itik Alabio selama
pengamatan,
Leclercq
(1994)
menyatakan
bahwa
tingkat
kesukaan
unggas
dalam
mengkonsumsi pakan ditentukan oleh faktor fisiologis unggas, bentuk dan jenis pakan
yang diberikan. Schulze et al. (2003) mengemukakan bahwa rataan konsumsi pakan,
lama konsumsi pakan/hari, lama pergerakan menuju tempat air minum pada ayam
bervariasi, tergantung pada kondisi lingkungan, kandang dan bentuk tempat pakan
yang digunakan.
32
Tabel 4.
Ulangan
I
II
III
Rataan
Rataan lama makan, lama minum, frekuensi makan dan pergerakan dari
tempat makan ke tempat air minum
Lama
makan
(menit/jam)
15,330,25
14,660,23
15,000,24
14,990,24
Lama
minum
(menit/jam)
5,620,49
6,800,51
5,710,50
6,040,50
Frekuensi
makan
(kali/jam)
3,000,37
2,330,35
3,330,38
2,880,36
Frekuensi
minum
(kali/jam)
2,500,25
2,000,24
2,700,26
2,330,25
menyebabkan
kehilangan pakan karena tercecer sebesar 8,7%. Laporan lain dikemukakan Pingel
(2005) bahwa perubahan bentuk tempat pakan dan air minum, pada itik Pekin dan
entok menyebabkan kehilangan pakan karena tercecer masing-masing sebesar 5%
dan 7%, sementara air minum yang terbuang 14,5% dan 6,8%. Hardjosworo (2005)
menyatakan bahwa penempatan tempat air minum di bagian tengah dari tempat pakan
dapat memperbaiki efisiensi penggunaan pakan. Ketaren et al. (1999) menduga
buruknya efisiensi penggunaan pakan pada itik disebabkan oleh tabiat makan itik
termasuk kebiasaannya yang segera mencari air minum setelah makan, dan umumnya
pakan tercecer pada saat itik pindah dari tempat pakan ke tempat minum. Iskandar et
al. (2000) menyatakan bahwa penyebab perbedaan tingkah laku makan pada itik
jantan lokal adalah bentuk dan tempat pakan yang digunakan, sementara frekuensi
pergerakan dipengaruhi oleh faktor umur dan kebiasaan itik untuk selalu mencari air.
Hal ini menunjukkan bahwa unggas air sangat tergantung pada ketersediaan
(kemudahan pencapaian) air, terutama untuk masuknya pakan kering ke dalam
saluran pencernaannya (Rasyaf 1994). Menurut Prasetyo et al. (2005), itik sangat
memerlukan bantuan air walaupun hanya sedikit untuk menelan pakan yang akan di
mulutnya. Oleh karena itu, itik mempunyai kebiasaan langsung lari ke tempat air
minum begitu ada pakan di dalam mulutnya. Larbier dan Leclercq (1994) menyatakan
bahwa konsumsi air minum dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur unggas
dan pakan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa pakan yang banyak mengandung sodium
atau potasium, serta temperatur lingkungan berpengaruh terhadap konsumsi pakan.
Pakan yang mengandung 0.25% sodium akan meningkatkan konsumsi air minum
sebesar 10%.
Bley dan Bessei (2008) mengemukakan bahwa peningkatan konsumsi pakan
pada itik dipengaruhi oleh umur dan betuk pakan, sedangkan lama dan kecepatan
33
konsumsi
pakan
seiring
dengan
peningkatan
umur
itik.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi tingkah laku makan adalah tipe ternak, lingkungan sosial, sensor
fisiologi dan hormon neural, kecermatan makan, laju pencernaan pakan di dalam usus,
kandungan nutrien dan palatabilitas pakan (Ewing et al. 1995), stimulasi konsumsi
pakan, pola konsumsi dan kebiasaan ternak mengkonsumsi pakan (Pingel 2005).
Tingkah Laku Kawin
Pengamatan yang dilakukan pada aktivitas tingkah laku kawin, adalah difokuskan
pada kemampuan itik Alabio jantan mengawini betina selama pengamatan pagi, siang
dan sore hari. Rataan kemampuan itik Alabio jantan mengawini betina, tertera pada
Tabel 5
Sore (pukul17.00)
Ulangan
I
II
III
Rataan
I
II
III
Rataan
I
II
III
Rataan
Berdasarkan Tabel 5 dapat dijelaskan bahwa kemampuan itik Alabio jantan untuk
mengawini betina pada waktu pengamatan pagi lebih tinggi dibanding siang dan sore
hari. Rataan kemampuan itik Alabio jantan mengawini betina
ekor), siang hari (6,28 0,19 ekor) dan sore hari sebanyak 7,130,26 ekor. Perbedaan
kemampuan itik jantan mengawini sejumlah itik betina, diduga disebabkan oleh
perbedaan temperatur lingkungan dan aktivitas pergerakan di dalam kandang.
Temperatur lingkungan kandang pada pagi hari relatif dingin bila dibandingkan siang
dan sore hari. Selain itu, itik belum banyak melakukan aktivitasnya, sehingga libido
seksualnya lebih meningkat dibanding siang atau sore hari. Hal ini dibuktikan bahwa
34
selama pengamatan, terutama pada siang hari rataan temperatur lingkungan kandang
relatif lebih panas tercatat sebesar 38,52 . Appleby et al. (2004) menyatakan bahwa
aktivitas frekuensi kawin pada unggas akan berkurang seiring meningkatnya umur,
tetapi dampaknya tidak secara langsung mempengaruhi fertilitas telur (Applegate et al.
1998).
KESIMPULAN
1. Pakan berbentuk pellet merupakan pakan ideal untuk itik dewasa, sehingga dapat
dijadikan sebagai salah satu pedoman dalam penentuan bentuk pakan yang efisien.
2. Cara perkawinan itik Alabio yang tepat dapat dilakukan pagi hari pada kandang
terkurung, untuk memperoleh fertilitas telur yang optimal.
3. Perkembangan telur selama proses penetasan hingga DOD keluar dari kerabang
telur melalui enam tahapan.
DAFTAR PUSTAKA
Appleby MC, Mench JA, Hughes BO. 2004. Poultry Behaviour and Welfare. Center of
Agriculture Bioscientific (CAB) Publishing. London.
Applegate TJ, Harper D, Lilburn L. 1998. Effects of hen age on egg composition and
embryo development in commercial Pekin ducks. Poult Sci 77:1608-1612.
Barnard C. 2004. Animal Behaviour, Mechanism, Development, Function and
Evaluation. Pearson Education Limited. Prentice Hall England. British Library
Cataloguing Publication Data. London.
Biyatmoko D. 2005. Petunjuk teknis dan saran pengembangan itik Alabio. Dinas
Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru. 9 hlm.
Bley TAG, Bessei W. 2008. Recording of individual feed intake and feeding behavior of
Pekin duck kept in groups. Poult Sci 87:215-221.
35
Buitenhuis AJ, et al. 2005. Quantitative trait loci for behavioural traits in chicken. J
Livestock Prod Sci 93:95-103.
Cook RN, Xin H, Nettleton D. 2005. Effects of cage stocking density of feeding
behaviours of groups housed laying hens. J Am Agric Biol Eng 49 (1):187-192.
Craig VJ. 1981. Domestic Animal Behaviour: Causes and Implication for Animal Care
and Management. Prentice Hall-Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.
Dukas R. 2004. Evolutionary biology of animal cognition. Ann Rev Ecol Syst 35: 347374.
Ewing SA, Lay DC, Von-Borell E. 1995. Farm Animal Well Being: Stress Physiology,
Animal Behaviour and Environmental Design. Practice Hall New Jersey.
Farland D.1986. Animal Behaviour; Psychobiology, Ethology and Evolution. ELBSEnglish Language Book Society Longman.
Fraser AF, Broom DM. 2005. Farm Animal Behaviour and Welfare. CABI Publishing
Oxon, United Kingdom. London.
Hamdan A, Zuraida R. 2007. Profil usaha ternak itik Alabio petelur pada lahan rawa
lebak Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan (Kasus Desa Sungai
Durait Tengah Kecamatan Babirik). Di dalam: Revitalisasi Kawasan PLG dan
Lahan Rawa Lainnya untuk Membangun Lumbung Pangan Nasional. Prosiding
Seminar Nasional Pertanian Lahan Rawa. Kuala Kapuas, 3-4 Agustus 2007.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Pemerintah Kabupaten
Kapuas Kalimantan Tengah. Palangka Raya. hlm. 127-134.
Hardjosubroto W. 2001. Genetika Hewan. Jogjakarta; Fakultas Peternakan Universitas
Gadjah Mada Jogjakarta.
Hardjosworo PS. 2005. Pengaruh penempatan air minum pada efisiensi penggunaan
pakan. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Hetzel DJS. 1985. Duck breeding strategies the Indonesian example. Di dalam: Farrel
DJ and Stapleton P (ed). Duck Production Science and World Practice.
University of New England. p.1-5
Iskandar S, Susanti T, Juarini E. 2000. Respons tingkah laku anak itik jantan lokal
terhadap bentuk tempat dan jenis pemberian pakan. Prosiding Seminar
Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 September 2000. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Bogor. hlm. 310-318.
Ketaren PP, Prasetyo LH, Murtisari T. 1999. Karakter produksi telur itik silang Mojosari
x Alabio. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat
Penelitian Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
36
Kilgour RD., Dalton. 1989. Livestock Behaviour a Practical Guide. Granada London,
Sydney, New York Press.
Larbier M, Leclercq B. 1994. Nutrition and Feeding of Poultry. Nottingham University
Press. INRA. Perancis
Mignon-Grateau et al. 2005. Genetic of adaptation and domestication in livestock.
Livestock Prod Sci 93:3-14.
Orzech K. 2005. Sample ethogram. http://tolweb.org/online contributors [25 Februari
2009].
Pingel H. 2005. Development of small scale duck farming as a commercial operation.
Di dalam: Merebut peluang agribisnis melalui pengembangan usaha kecil dan
menengah unggas air. Prosiding Lokakarya Unggas Air Sebagai Peluang
Usaha Baru; Bogor, 6-7 Agustus 2005. Balai Penelitian Ternak, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian bekerjasama dengan Masyarakat Ilmu Perunggasan
Indonesia dan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. hlm.317-349.
Prasetyo LH, Ketaren PP, Hardjosworo PS. 2005. Perkembangan teknologi budidaya
itik di Indonesia. Di dalam: Merebut Peluang Agribisnis melalui Pengembangan
Usaha Kecil dan Menengah Unggas Air. Prosiding Lokakarya Unggas Air
Sebagai Peluang Usaha Baru; Bogor, 6-7 Agustus 2005. Balai Penelitian
Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian bekerjasama dengan Masyarakat Ilmu
Perunggasan Indonesia dan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
hlm.145-161.
Rasyaf M. 1994. Beternak Itik Komersial. Edisi kedua. Jogjakarta: Penerbit PT Kanisius
Ribber AB, Mench JA. 2008. Effect of feed and water based enrichmen on activity and
cannibalism in muscovy ducklings. Appl Anim Behav. Sci 114: 429-440
Rohaeni ES, Tarmudji. 1994. Potensi dan kendala dalam pengembangan peternakan
itik Alabio di Kalimantan Selatan. Warta Penel dan Pengemb Pert 26 (1):4-6.
Saerang JLP. 2010. Kajian biologis maleo (Marcocephalon maleo) yang dipelihara
secara ex-situ. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Schulze V et al. 2003. The influences of feeding behaviour on feed intake curve
parameters and performance traits of station tested board. J Livestock Prod Sci
82:105-116.
Setioko AR. 1998. Penetasan telur itik di Indonesia. Wartazoa 7 (2) 40-46.
37
Setioko AR. 2001. Inseminasi buatan pada itik. Disampaikan pada Acara Pelatihan
Inseminasi Buatan pada Itik di BPT HMT Pelaihari Kalimantan Selatan.
Tambang Ulang, 30-31 Agustus 2001. 8 hlm.
Solihat S, Suswoyo I, Ismoyowati. 2003. Kemampuan performan produksi telur dari
berbagai itik lokal. J Peter Trop 3 (1):27-32.
Suparyanto A. 2005. Peningkatan produktivitas daging itik mandalung melalui
pembentukan galur induk.[disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Suryana. 2007. Prospek dan peluang pengembangan itik Alabio di Kalimantan
Selatan. J Penel Pengemb. Pert 26 (3):109-114.
Tanari M. 2007. Karakterisasi habitat, morfologi dan genetik serta pengembangan
teknologi penetasan ex-situ burung maleo (Macrocephalon maleo Sal. Muller
1846) sebagai upaya meningkatkan efektivitas konservasi. [disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tomaszewska MW, Putu IG. 1989. Behaviour in relation to animal production in
Indonesia. Bogor:Institut Pertanian Bogor-Australia Project and Balai Penelitian
Ternak Bogor.
Wahju J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Jogjakarta:Gadjah Mada University Press.
Warsono IU. 2009. Sifat biologis dan karakteristik karkas dan daging bandikut
(Echymipera kalubu). [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
38