Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

TEKNOLOGI FORMULASI SEDIAAN SOLID


UJI DISOLUSI TABLET CTM

Disusun oleh: Kelompok 1


Shift A1
Kamis, 07.00 10.00
Nama
Hasna Nur Syahidah
Marita Isti Wulandari
Intan Merita
Nujaimah R. Sholeh
Oryza Sativa Sinuhaji
Iis Karllida
Neng Rika Nurhayati
Ugi Rahman K.
Silvia Permata Sari
Amalia Octa
Linda Apriyanti
Uly Aulia Ulfah

NPM
Tugas
260110130001Teori Dasar
260110130002Editor
260110130004Pembahasan
260110130005Prosedur
260110130006Perhitungan
260110130007Perhitungan
260110130008Prosedur
260110130020Pembahasan
260110130029Perhitungan
260110130032Pembahasan
260110130036Teori Dasar
260110130080Pembahasan

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2016

UJI DISOLUSI TABLET CTM


I.

II.

Tujuan
1. Dapat mengetahui dan melaksanakan prosedur pengerjaan uji disolusi.
2. Dapat mengetahui nilai absorbansi, konsentrasi, dan persen disolusi
tablet CTM pada menit ke-5, 10, 15, 30, 45, dan menit ke-60.
Prinsip
1. Disolusi
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat
penting artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari
kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum
diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya
adalah bentuk padat atau semi padat, seperti kapsul, tablet atau salep
(Ansel, 1985).
2. Spektrofotometri
Spektrofotometri merupakan suatu metode analisa yang didasarkan
pada pengukuran serapan sinar monokromatis oleh suatu lajur larutan
berwarna pada panjang gelombang spesifik dengan mengguankan
monokromator prisma atau kisi difraksi dengan detector Fototube.
Dalam analisis cara spektrofotometri terdapat tiga daerah panjang
gelombang elektromagnetik yang digunakan, yaitu daerah UV (200380 nm), daerah Visible (380-700 nm), daerah Inframerah (700-3000

III.

nm).
Teori Dasar
Tablet CTM digunakan sebagai antihistaminikum. Antihistaminikum
adalah obat yang menentang kerja histamin pada H- 1 reseptor histamin
sehingga berguna dalam menekan alergi yang disebabkan oleh timbulnya
simptom karena histamin (Ansel,1989). Antihistamin bekerja dengan
menempati tempat pada sel yang biasanya ditempati oleh histamin,dengan
demikian akan menghilangkan kemampuan histamin untuk menimbulkan
reaksi alergi (Harkness, 1989). Untuk interaksi obatnya antihistamin akan

menekan sistem syaraf pusat. Obat ini menekan atau mengurangi sejumlah
fungsi tubuh seperti koordinasi dan kewaspadaan, depresi berlebihan dan
hilangnya fungsi tubuh dapat terjadi jika antihistamin digunakan bersama
dengan sistem syaraf pusat lainnya (Harkness, 1989).
Pembuatan tablet CTM yang paling menguntungkan adalah dengan
metode kempa langsung. Metode ini dinilai sangat memuaskan karena
hemat waktu, peralatan, energi yang digunakan dan sangat sesuai untuk
zat aktif yang tidak tahan panas dan kelembaban tinggi sehingga dapat
menghindari kemungkinan terjadi perubahan zat aktif akibat pengkristalan
kembali yang tidak terkendali selama proses pengeringan pada metode
granulasi basah. Selain itu dapat menghindari zat aktif dari tumbukan
mekanik yang berlebihan jika digunakan metode granulasi kering (Voigt,
1984).
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat
penting artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari
kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap
ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk
padat atau semi padat, seperti kapsul, tablet atau salep (Ansel, 1985).
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan
dalam cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang
diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat
diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan pada suatu
tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan suatu
obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat
tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus
halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1985).
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran
cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya.
Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami

disintegrasi menjadi granul-granul, dan granul-granul ini mengalami


pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan
disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat
dari bentuk dimana obat tersebut diberikan (Martin, 1993).
Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya
suatu zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Persamaan
kecepatan menurut Noyes dan Whitney sebagai berikut (Ansel, 1993):

dM.dt-1

: Kecepatan disolusi

D
Cs
C
h
Faktor-faktor

: Koefisien difusi
: Kelarutan zat padat
: Konsentrasi zat dalam larutan pada waktu
: Tebal lapisan difusi
yang mempengaruhi kecepatan disolusi yaitu (Martin,

1993):
1. Suhu
Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat
yang bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat.
Menurut Einstein,koefisien difusi dapat dinyatakan melalui persamaan
berikut (Martin, 1993):
D
: koefisien difusi
r
: jari-jari molekul
k
: konstanta Boltzman

: viskositas pelarut
T
: suhu
2. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi
suatu zat sesuai dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga
menurunkan viskositas dan memperbesar kecepatan disolusi.
3. pH pelarut

pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat


asam atau basa lemah.
Untuk asam lemah:
Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat.
Dengan demikian, kecepatan disolusi zat juga meningkat.
Untuk basa lemah:
Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat.
Dengan demikian, kecepatan disolusi juga meningkat.
4. Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h).
jika pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan
cepat berkurang.
5. Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi
besar sehingga kecepatan disolusi meningkat.
6. Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme.
Struktur internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat
kelarutan yang berbeda juga. Kristal meta stabil umumnya lebih
mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga kecepatan disolusinya
besar.
7. Sifat Permukaan Zat
Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat
hidrofob. Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan
permukaan antar partikel zat dengan pelarut akan menurun sehingga
zat mudah terbasahi dan kecepatan disolusinya bertambah.
Ada 2 metode penentuan kecepatan disolusi yaitu (Martin, 1993):
1. Metode Suspensi
Serbuk zat padat ditambahkan ke dalam pelarut tanpa pengontrolan
terhadap luas permukaan partikelnya. Sampel diambil pada waktuwaktu tertentu dan jumlah zat yang larut ditentukan dengan cara
yang sesuai.
2. Metode Permukaan Konstan

Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya


sehingga variable perbedaan luas permukaan efektif dapat
diabaikan. Umumnya zat diubah menjadi tablet terlebih dahulu,
kemudian ditentukan seperti pada metode suspensi.
Prinsip kerja alat disolusi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu
(Dirjen POM, 1995) :
Alat terdiri dari sebuah wadah tertutup yang terbuat dari kaca
atau bahan transparan yang inert, suatu batang logam yang
digerakkan oleh motor dan keranjang yang berbentuk silinder dan
dipanaskan dengan tangas air pada suhu 370C.
Alat yang digunakan adalah dayung yang terdiri dari daun dan
batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian
sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari
sumbu vertikel wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan
IV.

yang berarti.
Prosedur
1. Media disolusinya menggunakan air sebanyak 500 ml dengan alat tipe
2 (dayung) 50 rpm, selama 45 menit.
2. Membuat pengenceran CTM untuk kurva baku.
3. Menimbang CTM 0.05 mg larutkan dengan 100 ml aquadest pada labu
ukur. Ukur absorbansinya pada spektrofotometri dengan 262 nm
pada pengenceran beberapa kali sampai menemukan absorbansi pada
rentang 0.2 0.8 minimal enam titik absorbansi pada hasil
pengenceran yang di dapat untuk membuat kurva baku.
4. Uji disolusi tablet CTM
1 tablet CTM yang kandungan zat aktifnya (CTM) 4 mg masukan
kedalam alat disolusi yang telah diisi larutan aquadest 500 ml dan satu
tabung lagi juga diisi dengan larutan aquadest 500 ml, atur suhunya
37oC. Setelah alat dinyalakan selang 1 menit larutan buffer asetat yang
berisi tablet CTM diambil 5 ml dengan pipet volume lakukan sampai
menit kelima, kemudian untuk selanjutnya diambil 5 ml sengan selang
waktu 5 menit ke 45 dan setiap pengambilan 5 ml larutan aquadest

yang berisi CTM harus ada penambahan 5 ml aquadest juga dari


tabung satunya yang telah berisi larutan aquadest agar larutan tersebut
tetap 500 ml.
5. Dari larutan disolusi yang telah diambil 5 ml tersebut semuanya masuk
ke vial dan diberi tanda untuk selang waktu menitnya dan ada 12
cuplikan dengan selang waktu yang berbeda,yaitu : 1, 2, 3, 4, 5,
10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45.
6. Diamkan beberapa menit agar pengotor lainnya mengendap.
7. Setelah di diamkan masukan kedalam kuvet dengan mengambil bagian
atasnya supaya pengotor tidak ikut kedalamnya, kemudian ukur
absorbansinya pada spektrofotometri dengan 262 nm.

Media disolusinya menggunakan air sebanyak 500 ml dengan alat tipe 2

2
3

(dayung) 50 rpm, selama 45 menit.


Membuat pengenceran CTM untuk kurva baku.
Menimbang CTM 0.05 mg larutkan dengan 100 ml aquadest pada labu ukur.
Ukur absorbansinya pada spektrofotometri dengan 262 nm pada pengenceran
beberapa kali sampai menemukan absorbansi pada rentang 0.2 0.8 minimal
enam titik absorbansi pada hasil pengenceran yang di dapat untuk membuat

kurva baku.
Uji disolusi tablet CTM
1 tablet CTM yang kandungan zat aktifnya (CTM) 4 mg masukan kedalam alat
disolusi yang telah diisi larutan aquadest 500 ml dan satu tabung lagi juga diisi
dengan larutan aquadest 500 ml, atur suhunya 37oC. Setelah alat dinyalakan
selang 1 menit larutan buffer asetat yang berisi tablet CTM diambil 5 ml
dengan pipet volume lakukan sampai menit kelima, kemudian untuk
selanjutnya diambil 5 ml sengan selang waktu 5 menit ke 45 dan setiap
pengambilan 5 ml larutan aquadest yang berisi CTM harus ada penambahan 5
ml aquadest juga dari tabung satunya yang telah berisi larutan aquadest agar
larutan tersebut tetap 500 ml.

Dari larutan disolusi yang telah diambil 5 ml tersebut semuanya masuk ke vial
dan diberi tanda untuk selang waktu menitnya dan ada 12 cuplikan dengan
selang waktu yang berbeda,yaitu : 1, 2, 3, 4, 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35,

6
7

40, 45.
Diamkan beberapa menit agar pengotor lainnya mengendap.
Setelah di diamkan masukan kedalam kuvet dengan mengambil bagian atasnya
supaya pengotor tidak ikut kedalamnya, kemudian ukur absorbansinya pada
spektrofotometri dengan 262 nm.
V.
Data Pengamatan
8.1.
Hasil Absorbansi Kurva Baku

8.2.

Larutan
baku
20 ppm

1
0.3195

Absorbansi
2
3
0.3189 0.3193

40 ppm

0.5939

0.5921

0.5919

60 ppm

0.8201

0.8197

0.8239

80 ppm

1.057

1.0581

1.0608

100 ppm

1.3128

1.3125

1.3162

Kurva baku

Rata-rata
0.31923
3
0.59263
3
0.82123
3
1.05863
3
1.31383
3

Kurva baku CTM


1.4
1.2 f(x) = 0.25x + 0.08
1 R = 1
CTM

0.8
Absorbansi 0.6

Linear (CTM)

0.4
0.2
0
20

40

60

80

Konsentrasi (ppm)

VI.

Perhitungan
1. Pembuatan larutan stok CTM
100
dalam 1 L = 100 ppm
2. Pembuatan kurva baku CTM
a. 20 ppm
V1 x N1 = V2 x N2
V1 x 100 ppm = 25 mL x 20 ppm
25 mL x 20 ppm
V 1=
100 ppm
V1
= 5 mL
V2
= 25 mL
b. 40 ppm
V1 x N1
= V2 x N2
V1 x 100 ppm = 25 mL x 40 ppm
V 1=

25 mL x 40 ppm
100 ppm

V1

= 10 mL

V2

= 25 mL

c. 60 ppm
V1 x N1

= V2 x N2

100

V1 x 100 ppm = 25 mL x 60 ppm


V 1=

25 mL x 60 ppm
100 ppm

V1

= 15 mL

V2

= 25 mL

d. 80 ppm
V1 x N1
= V2 x N2
V1 x 100 ppm = 25 mL x 80 ppm
V 1=

25 mL x 80 ppm
100 ppm

V1

= 20 mL

V2

= 25 mL

e. 100 ppm
V1 x N1
= V2 x N2
V1 x 100 ppm = 25 mL x 100 ppm
25 mL x 100 ppm
V 1=
100 ppm
V1
= 25 mL
V2
= 25 mL
3. Perhitungan Disolusi
1. Menit ke 5
A = 0,3377
Konsentrasi (X) =

0,33770,0846
0,2455

= 1,0308 g/ 500 mL

Konsentrasi x volume media = 1,0308 g x 500 mL = 515,4107 g


5 mL
FK5 = 500 mL x 515,4107 g = 5,154 g
% disolusi =

515,4107
8000

x 100% = 6,443%

2. Menit ke 10
A = 0,3490
Konsentrasi (X) =

0,34900,0846
0,2455

= 1,0771 g/ 500 mL

Konsentrasi x volume media = 1,0771 g x 500 mL = 538,5268 g


Total = kadar + FK5 = 538,5268 g + 5,154 g = 543,6809 g
5 mL
FK10 = 500 mL x 543,6809 g = 5,4368 g
% disolusi =

543,6809
8000

3. Menit ke 15
A = 0,3530
Konsentrasi (X) =

x 100% = 6,796%

0,35300,0846
0,2455

= 1,0933 g/ 500 mL

Konsentrasi x volume media = 1,0933 g x 500 mL = 546,6395 g


Total = kadar + FK10 = 546,6395 g + 5,4368 g = 552,0763 g
5 mL
FK10 = 500 mL x 552,0763 g = 5,5208 g
% disolusi =

552,0763
8000

4. Menit ke-30
A = 0,3809
0,38090,0846
X=
0,2455

x 100% = 6,901%

= 1,2076 g/500 mL

Konsentrasi dalam media = 1,2076 g/mL x 500 mL = 603,3605


g
Konsentrasi total = Konsentrasi dalam media x FKs
603,3605 g x 5,5208 =608,8813 g
608,8813 g
% Disolusi =
x 100% = 7,611%
8000 g
FKs =

5 mL
500 mL

5. Menit ke-45

x 608,8813 g = 6,0888 g

A = 0,4248
0,42480,0846
X=
0,2455

= 1,3859 g/500 mL

Konsentrasi dalam media = 1,3859 g/mL x 500 mL = 692,9396


g
Konsentrasi total = Konsentrasi dalam media x FKs
692,9396 g x 6,0888 g =699,0084 g
699,0084 g
% Disolusi =
x 100% = 8,738%
8000 g
FKs =

5 mL
500 mL

x 699,0084 g = 6,9903 g

6. Menit ke-60
A = 0,4945
0,49450,0846
X=
0,2455

= 1,6697 g/500 mL

Konsentrasi dalam media = 1,6697 g/mL x 500 mL = 834,8269


g
Konsentrasi total = Konsentrasi dalam media x FKs
834,8269 g x 6,9903 g =841,8172 g
841,8172 g
% Disolusi =
x 100% = 10,523%
8000 g
FKs =
VII.

5 mL
500 mL

x 841,8172 g = 8,4182 g

Pembahasan
Salah satu syarat dalam evaluasi tablet yang harus dilakukan adalah uji
disolusi tablet. Obat yang telah memenuhi persyaratan kekerasan, waktu
hancur, keregasan, keseragaman bobot, dan penetapan kadar, belum dapat
menjamin bahwa suatu obat memenuhi efek terapi, karena itu uji disolusi
harus dilakukan pada setiap produksi tablet atau kapsul. Disolusi adalah
proses pemindahan molekul obat dari bentuk padat kedalam larutan pada
suatu medium. Disolusi menunjukkan jumlah bahan obat yang terlarut
dalam waktu tertentu. Disolusi menggambarkan efek obat secara invitro,

jika disolusi memenuhi syarat maka diharapkan obat akan memberikan


khasiat secara invitro (Syukri, 2002)
Faktor yang diperhatikan dalam uji disolusi adalah ukuran dan bentuk
yang akan mempengaruhi laju dan tingkat kelarutan, selain itu sifat
medium pelarutan juga akan mempengaruhi uji kelarutan. Uji disolusi ini
memiliki beberapa manfaat yaitu menjamin keseragaman 1 batch,
menjamin bahwa obat akan memberikan efek terapi yang diinginkan yang
diperlukan dalam rangka pengembangan suatu obat baru (Ditjen POM,
1995).
Obat yang dilakukan uji disolusi dalam praktikum ini adalah tablet
CTM. Ada beberapa cara penetapan kadar CTM yaitu penetapan kadar
secara

KLT,

KCKT,

Kromatografi

Gas,

Spektroforometri

UV,

Spektrofotometri Infra-Red (Clarkes, 1986). Pada praktikum kali ini


dilakukan uji disolusi tablet CTM yang kemudian ditentukan kadaranya
dengan spektrofotometri ultraviolet untuk melihat apakah kadarnya sesuai
dengan persyaratan yang ditetapkan. Dalam uji disolusi ini dilakukan
dengan Alat tipe 2 atau pengaduk dayung.
Langkah pertama dalam uji disolusi ini adalah membuat larutan baku
untuk menentukan kurva baku dari zat yang akan dianalisis yaitu ctm.
Pada pembuatan larutan baku digunakan ctm murni 100 mg yang
dilarutkan dalam aquades sebanyak 1 L didapatkan konsentrasi dari
larutan ctm baku sebesar 100 ppm setelah itu di encerkan menggunakan
aquades menjadi konsentrasi 20, 40, 60, 80, 100 ppm. Untuk
pengencerannya digunakan labu ukur 10 mL sehingga untuk konsentrasi
20, 40, 60, 80 ppm di pipet masing masing sebanyak 2, 4, 6, 8 mL pada
larutan stok lalu di ad menggunakan aquades hingga tanda batas 10 mL
pada labu ukur. Labu ukur dan pipet volum digunakan dalam pengenceran
ini agar konsentrasi yang diinginkan tepat sehingga tidak terjadi kesalahan
dalam pengukuran. Setelah proses pengenceran larutan baku, dilanjutkan
dengan membuat kurva baku dengan spektrofotometer UV double beam

dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 261 nm. Dipilih


panjang gelombang 261 ini dikarenakan pada panjang gelombang ini ctm
memiliki absorbansi maksimum sehingga digunakan pada panjang
gelombang ini dalam analisis. Pertama dikalibrasi terlebih dahulu
menggunakan kuvet yang telah diberi aquades hal ini dikarenakan
mungkin aquades yang digunakan menyerap sinar uv sehingga dapat
membuat hasil menjadi bias. Setelah itu larutan baku dengan variasi
konsentrasi dimasukkan kedalam kuvet dan diukur absorbansinya dan
dibuat kurva bakunya. Persamaan garis yang terbentuk harus memiliki
nilai regresi mendekati 1.
Setelah membuat kurva baku dilakukan uji disolusi dari sampel.
Sampel yang digunakan yaitu tablet Ceteme. Tablet Ceteme ini memiliki
kandungan zat aktif 4 mg/ tablet. Prosedur pertama disiapkan media untuk
disolusi sebanyak 500 mL aquades dan alat yang digunakan tipe 2
(dayung) 50 rpm. Media yang digunakan dalam pengujian tercantum
dalam farmakope indonesia edisi 4. Aquades sebanyak 500 mL
dimasukkan masing-masing kedalam 2 tabung setelah itu di set suhunya
37C suhu yang digunakan ini merupakan suhu normal tubuh manusia dan
kedalam tabung tersebut di masukkan masing-masing 2 tablet Ceteme
digunakan 2 tablet pada 1 tabung dikarenakan konsentrasi ctm untuk 1
tablet sangat kecil sehingga ditakutkan dalam pengukuran tidak terbaca.
Setelah alat dinyalakan larutan yang berisi tablet CTM diambil 5 ml
dengan pipet volume pada menit ke 5, 10, 15, 30, 45, 60 setiap
pengambilan 5 ml larutan aquadest yang berisi CTM harus ada
penambahan 5 ml aquadest juga dari tabung satunya yang telah berisi
larutan aquadest agar larutan tersebut tetap 500 ml. Jika tidak dilakukan
penambahan kembali aquades konsentrasi pada larutan akan terlalu pekat
sehingga tablet akan skuar larut dalam media.

Dari larutan disolusi yang telah diambil 5 ml tersebut semuanya masuk


ke vial dan diberi tanda untuk selang waktu menitnya dan ada 6 cuplikan
dengan selang waktu yang berbeda,yaitu : 5, 10, 15, 30, 45, 60 menit.
Didiamkan beberapa menit agar pengotor lainnya mengendap. Setelah di
diamkan masukan kedalam kuvet dengan mengambil bagian atasnya
supaya pengotor tidak ikut kedalamnya, kemudian ukur absorbansinya
pada spektrofotometri dengan 261 nm.
Pada saat penentuan absorbansi baku CTM pada panjang gelombang
261 nm, di berbagai konsentrasi 20 ppm; 40 ppm; 60 ppm; 80 ppm; dan
100 ppm diperoleh absorbansi rata-rata secara berturut-turut adalah 0,3192
; 0,5926 ; 0,8212 ; 1,0586 ; dan 1,3138. Dari data konsentrasi dan
absorbansi yang diperoleh kemudian dicari persamaan garis sehingga
diperoleh persamaan y = 0,2455x 0,0846 dengan nilai r = 0.9992 .
selanjutnya dilakukan penentuan persen disolusi diberbagai variasi menit
yaitu menit ke 5, 10, 15, 30, 45 dan 60.
Pada menit ke 5 diperoleh absorbansi rata-rata yaitu 0,3377. Kemudian
ditentukan konsentrasi dengan memasukan hasil absorbansi ke dalam
persamaan yang diperoleh diatas sehingga diperoleh konsentrasi 1,0308
g/mL. Karena digunakan media dalam air 500ml maka diperoleh kadar
sebesar 515,4107 g. Selanjutnya dihitung faktor koreksi yang akan
ditambahkan di menit ke 10, dimana 5ml sampel yang diambil
dibandingkan terhadap 500ml media dikali kadar 515,4107 g sehingga
diperoleh faktor koreksi sebesar 5,154 g. kemudian ditentukan persen
disolusi pada menit ke 5 dimana kosentrasi yang diperoleh 515,4107 g
dibagi dengan konsentrasi tablet yaitu 8000g dikali 100% sehingga
diperoleh persen disolusinya 6,443%.
Pada menit ke 10 diperoleh absorbansi rata-rata yaitu 0,3490.
Kemudian ditentukan konsentrasi dengan memasukan hasil absorbansi ke
dalam persamaan garis yang diperoleh sehingga diketahui konsentrasi

1,0771 g/mL. Karena digunakan media dalam air 500ml maka diperoleh
kadar sebesar 538,568 g, kemudian ditambahkan faktor koreksi sebesar
5,154 g sehingga diperoleh kadar total sebesar 543,6809 g. Selanjutnya
dihitung faktor koreksi yang akan ditambahkan di menit ke 15, dimana
5ml sampel yang diambil dibandingkan terhadap 500ml media dikali
kadar 543,6809 g sehingga diperoleh faktor koreksi sebesar 5,437 g.
kemudian ditentukan persen disolusi pada menit ke 10 dimana kosentrasi
yang diperoleh 543,6809 g dibagi dengan konsentrasi tablet yaitu
8000g dikali 100% sehingga diperoleh persen disolusinya 6,796%.
Pada menit ke 15 diperoleh absorbansi rata-rata yaitu 0,3530.
Kemudian ditentukan konsentrasi dengan memasukan hasil absorbansi ke
dalam persamaan garis yang diperoleh sehingga diketahui konsentrasi
1,0933 g/mL. Karena digunakan media dalam air 500ml maka diperoleh
kadar sebesar 546,6395 g, kemudian ditambahkan faktor koreksi sebesar
5,437 g sehingga diperoleh kadar total sebesar 552,0763 g. Selanjutnya
dihitung faktor koreksi yang akan ditambahkan di menit ke 30, dimana
5ml sampel yang diambil dibandingkan terhadap 500ml media dikali
kadar 552,0763 g sehingga diperoleh faktor koreksi sebesar 5,52 g.
kemudian ditentukan persen disolusi pada menit ke 15 dimana kosentrasi
yang diperoleh 552,0763 g dibagi dengan konsentrasi tablet yaitu
8000g dikali 100% sehingga diperoleh persen disolusinya 6,901%.
Pada menit ke 30 diperoleh absorbansi rata-rata yaitu 0.3809.
Kemudian ditentukan konsentrasi dengan memasukan hasil absorbansi ke
dalam persamaan garis yang diperoleh sehingga diketahui konsentrasi
1,2067 g/mL. Karena digunakan media dalam air 500ml maka diperoleh
kadar sebesar 603,3605 g, kemudian ditambahkan faktor koreksi sebesar
5,52 g sehingga diperoleh kadar total sebesar 608,8813 g. Selanjutnya
dihitung faktor koreksi yang akan ditambahkan di menit ke 45, dimana
5ml sampel yang diambil dibandingkan terhadap 500ml media dikali

kadar 608,8813 g sehingga diperoleh faktor koreksi sebesar 6,089 g.


kemudian ditentukan persen disolusi pada menit ke 30 dimana kosentrasi
yang diperoleh 608,8813 g dibagi dengan konsentrasi tablet yaitu
8000g dikali 100% sehingga diperoleh persen disolusinya 7,611%.
Pada menit ke 45 diperoleh absorbansi rata-rata yaitu 0.4248.
Kemudian ditentukan konsentrasi dengan memasukan hasil absorbansi ke
dalam persamaan garis yang diperoleh sehingga diketahui konsentrasi
1,3859 g/mL. Karena digunakan media dalam air 500ml maka diperoleh
kadar sebesar 692,9396 g, kemudian ditambahkan faktor koreksi sebesar
6,089 g sehingga diperoleh kadar total sebesar 699,0284 g. Selanjutnya
dihitung faktor koreksi yang akan ditambahkan di menit ke 60, dimana
5ml sampel yang diambil dibandingkan terhadap 500ml media dikali
kadar 699,0284 g sehingga diperoleh faktor koreksi sebesar 6,99 g.
kemudian ditentukan persen disolusi pada menit ke 45 dimana kosentrasi
yang diperoleh 699,0284 g dibagi dengan konsentrasi tablet yaitu
8000g dikali 100% sehingga diperoleh persen disolusinya 8,738%.
Pada menit ke 60 diperoleh absorbansi rata-rata yaitu 0.4945.
Kemudian ditentukan konsentrasi dengan memasukan hasil absorbansi ke
dalam persamaan garis yang diperoleh sehingga diketahui konsentrasi
1,6697 g/mL. Karena digunakan media dalam air 500ml maka diperoleh
kadar sebesar 834,8269 g, kemudian ditambahkan faktor koreksi sebesar
6,99 g sehingga diperoleh kadar total sebesar 841,8172 g. Kemudian
ditentukan persen disolusi pada menit ke 60 dimana kosentrasi yang
diperoleh 841,8172 g dibagi dengan konsentrasi tablet yaitu 8000g
dikali 100% sehingga diperoleh persen disolusinya 10,523%.
Setelah semua sampel dari tiap variasi menit diambil dan diukur
absorbansinya, maka hasil absorbansinta diplotkan kedalam persamaan
regresi linier kurva baku yang telah dibuat y = 0.2455x + 0.0846, untuk
menentukan konsentrasi pada tiap variasi menit ke-5, 10, 15, 30, 45, dan
60. Hasil konsentrasi yang didapat pada tiap menitnya yaitu 515,4107 g,

543,6809 g, 552,0763 g, 608,8813 g, 699,0084 g, dan 841,8172 g.


Setelah itu dihitung % disolusinya untuk tiap variasi menit, didapatkan
hasil 6,443%, 6,796%, 6,901%, 7,611%, 8,738%, dan 10,523%. Dari hasil
perhitungan % disolusi terjadi meningkat seiring bertambahnya waktu.
Menurut literatur dari Farmakope IV syarat uji disolusi bahwa pada saat
menit ke-45 mencapai 75%, hasil pada praktikum kali ini tidak memenuhi
sayarat. Hal ini dapat terjadi karena kadar dari tablet yang tidak seragam,
suhu larutan disolusi yang tidak konstan, ketidaktepatan jumlah dari
medium disolusi, setelah dipipet beberapa ml, terjadi kesalahan
pengukuran pada waktu pengambilan sampel menggunakan pipet volume,
terdapat kontaminasi pada larutan sampel, dan suhu yang dipakai tidak
tepat.
VIII. Kesimpulan
Hasil konsentrasi yang didapat pada tiap menitnya yaitu 515,4107 g,
543,6809 g, 552,0763 g, 608,8813 g, 699,0084 g, dan 841,8172 g.
Setelah itu dihitung % disolusinya untuk tiap variasi menit, didapatkan
hasil 6,443%, 6,796%, 6,901%, 7,611%, 8,738%, dan 10,523%. Dari hasil
perhitungan % disolusi terjadi meningkat seiring bertambahnya waktu.

DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H.C. 1985. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi diterjemahkan oleh Farida
Ibrahim Edisi Keempat. Jakarta : UI Press.
Dirjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope
Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Harkness, R. 1989. Interaksi Obat, diterjemahkan oleh Goeswin Agoes dan mathilda
S. Widianto. Bandung : Institut Teknologi Bandung.
Martin, Alfred. 1993. Farmasi Fisik jilid I Edisi III. Jakarta: UI-Press.
Syukri, Y. 2002. Biofarmasetika. Yogyakarta : UII Press.
Voigt. 1984. Buku Ajar Teknologi Farmasi. Diterjemahkan oleh Soendani Noeroto S.
Yogyakarta : UGM Press.

Anda mungkin juga menyukai