Anda di halaman 1dari 30

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Mie merupakan makanan yang popular di semua kalangan

masyarakat. Dalam hal ini, mie yang beredar di parasan terdiri


dari bermacam-macam yaitu mie basah, mie kering, mie instan
dan mie goreng. Jenis mie tersebut didasarkan atas cara
pengolahan mie yang berbeda-beda. Tidak hanya itu, mie juga
dibedakan atas perbedaan bahan yang digunakan yaitu terdiri
atas mie shoun dan lain-lain.
Mie pertama dibuat dan berkembang di daratan Cina dan hingga kini
masih terkenal sebagai oriental noodle. Kemudian teknologi mie diperkenalkan
oleh Marcopolo kepada para bangsawan di Italia dan kemudian menyebar ke
Perancis, dan dari sana ke seluruh penjuru Eropa. Pada saat ini mie telah dikenal
di berbagai negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pembuatan mie juga
telah bersifat modern dan dapat dilakukan secara kontinu.
Mie basah atau disebut mie kuning merupakan jenis mie
yang mengalami proses perebusan setelah tahap pencetakan
mie. Kadar air mie basah dapat mencapai 52% sehingga daya
awetnya cukup singkat. Pada suhu kamar mie ini hanya dapat
bertahan 10-12 jam karena setelah itu mie akan berbau asam
dan berlendir atau basi. Mie dibuat menggunakan bahan dasar
tepung pada umunya terbuat dari terigu yang memiliki gluten
cukup tinggi. Mie memiliki sifat elastic sehingga tidak mudah
patah saat dikonsumsi. Dalam proses pembuatan mie dilakukan
penambahan bahan-bahan yang nantinya akan memepengaruhi
hasil akhir dari produk mie tersebut. Diantaranya terdapat
penambahan air, telur, STPP, garam Q atau garam alkali dan
penggunaan minyak goreng saat prosees perebusan.
Mie pada umumnya terbuat dari 100% tepung terigu
dengan penambahan bumbu-bumbu yang diperlukan. Namun

saat ini mie diinovasi dengan substitusi terigu dan tepung umbiumbian. Akan tetapi mie yang dihasilkan akan berbeda antara
bahan terigu 100% dengan substitusi tepung lain. Sehingga
untuk mengetahui kualitas mie yang dihasilkan dengan adanya
penggunaan tepung selain terigu, dirasa perlu dilakukannya
praktikum pembuatan mie basah dengan variasi penggunaan
terigu dan tepung jagung.
1.2

Tujuan

Tujan dari praktikum produk olahan dari bahan karbohidrat (mie)


adalah sebagai berikut:
a. Mahasiswa dapat menganalisis pengaruh jenis dan proporsi
tepung dan bahan pengenyal dalam pembuatan mie.
b. Mahasiswa dapat membuat mie dengan berbagai jenis
tepung dan bahan pengenyal.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pengertian Mie
Mie pertama dibuat dan berkembang di daratan Cina dan
hingga kini masih terkenal sebagai oriental noodle. Kemudian
teknologi

mie

diperkenalkan

oleh

Marcopolo

kepada

para

bangsawan di Italia dan kemudian menyebar ke Perancis, dan


dari sana ke seluruh penjuru Eropa. Pada saat ini mie telah
dikenal di berbagai negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Pembuatan mie juga telah bersifat modern dan dapat dilakukan
secara kontinu.
Mie merupakan produk makanan yang cukup popular dan
disukai oleh berbagai golongan masyarakat. Mie banyak disukai
karena citarasanya yang enak dan mudah dalam penyajiannya.
Menurut Royaningsih (1987). Mie adalah

produk pangan yang

terbuat dri tepung dan menyerupai tali yang berasal dari Cina,
yang telah lama dikenal masyarakat luas. Bahkan seluruh dunia
telah

mengenalnya

dengan masing

masing

nama

atau

istilahnya. Dalam bahasa Inggris disebut Noodle, bahasa Jepang


terdapat beberapa istilah yaitu: ramen, udon, kisimen.
2.2 Macam-Macam Mie
Berdasarkan segi tahap pengolahan dan kadar airnya, mie
dapat dibagi menjadi 5 golongan :
a. Mie mentah/segar, adalah mie produk langsung dari proses
pemotongan lembaran adonan dengan kadar air 35 persen.
b. Mie basah, adalah mie mentah yang sebelum dipasarkan
mengalami perebusan dalam air mendidih lebih dahulu, jenis mie
ini memiliki kadar air sekitar 52 persen.

c. Mie kering, adalah mie mentah yang langsung dikeringkan,


jenis mie ini memiliki kadar air sekitar 10 persen.
d. Mie goreng, adalah mie mentah sebelum dipasarkan lebih
dahulu digoreng.
e. Mie instan (mie siap hidang), adalah mie mentah, yang telah
mengalami pengukusan dan dikeringkan sehingga menjadi mie
instan kering atau digoreng
sehingga menjadi mie instan goreng (instant freid noodles).
Berdasarkan pengolahan mie yang dipasarkan di Indonesia
dikelompokkan menjadi empat macam yaitu mie mentah (Raw
Chinese Noodle), mie basah (Boilled Noodle), mie

kering

(Steamed Fried Noodle) dan mie instan (Instant Noodle). Bahan


baku utama dalam pembuatan mie pada umumnya adalah
tepung terigu.
Menurut

Astawan,

2006

pembuatan

mie

dalam

perkembangan produk mie dan teknologi pembuatannya tidak


lagi terbatas hanya dari bahan mentah utama terigu saja,
sehingga mie dapat dikelompokan menjadi beberapa macam
berdasarkan bahan utamanya, yaitu:
1. Mie yang terbuat dari tepung terigu
2. Bihun yang terbentuk dari tepung beras
3. Soun (fensi) yang terbuat dari pati kacang hijau
4. Shomein yang terbuat dari tepung terigu dan tepung beras
2.3 Bahan Pembuatan Mie
2.3.1 Tepung Terigu
Tepung terigu merupakan bahan dasar dalam pembuatan
mie. Tepung terigu diperoleh dari tepung gandum (Triticum
vulgare) yang digiling. Keistimewaan terigu dari serelia lain ialah

kemampuannya membentuk gluten pada saat dibasahi air. Sifat


elastis gluten pada adonan
ini menyebabkan mie yang dihasilkan tidak mudah putus pada
proses pencetakan dan pemasakan (Astawan,1999).
Tepung terigu merupakan hasil penggilingan biji gandum
berupa

endosperm

yang

terpisah

dari

lembaga.

Terigu

mengandung karotenoid yaitu xanthofil yang tidak mempunyai


aktivitas vitamin A (Meyer, 1973). Terigu mempunyai kedudukan
istimewa dibandingkan tepung-tepung lainnya. Keistimewaan
tepung

terigu

terletak

pada

protein

yang

dikandungnya.

Kandungan protein total pada tepung terigu bervariasi antara 7%


18%, tetapi pada umumnya 8% 14%. Sekitar 80% dari protein
tersebut merupakan gluten (Matz, 1972). Gluten merupakan
kompleks protein yang tidak larut dalam air, berfungsi sebagai
pembentuk struktur kerangka. Gluten terdiri atas komponen
gliadin

dan glutenin

yang

menghasilkan

sifat

viskoelastis.

Kandungan tersebut membuat adonan mampu dibuat lembaran,


digiling, ataupun dibuat mengembang (Pomeranz dan Meloan,
1971). Sunaryo (1985) dalam Ratnawati (2003), menambah
bahwa

gliadin

akan

menyebabkan

gluten

bersifat

elastis

sedangkan glutein menyebabkan adonan menjadi kuat menahan


gas dan menentukan sturuktur pada produk yang dibakar.
2.3.2 Tepung Jagung
Wahyudi (2003), menyatakan bahwa pada protein putih
telur dapat membentuk lapisan yang cukup kuat dan albumin
pada telur menyebabkan pengikatan air yang lebih baik, hal ini
dikarenakan putih telur yang menyebabkan kenyal, dan kuning
telur bisa memberi warna pada mie juga membuat mie terasa
lebih gurih.

Tepung jagung dibuat dari jagung pipil yang sudah betulbetul tua dan kering (Tarwojo, 1998). Proses pembuatan tepung
jagung melalui tahap-tahap penggilingan kasar hingga diperoleh
beras jagung, pemisahan kulit dan lembaga, penggilingan halus
dan

pengayakan

(Rukmana,

1997).

Tepung

jagung

pada

pembuatan mie basah ini sebagai pensubsitusi tepung terigu


untuk mengetahui kualitas mien yang dihasilkan.
2.3.3 Garam Alkali
Garam alkali, biasanya disebut dengan kansui, merupakan
suatu

zat tambahan pangan yang biasa digunakan dalam

pembuatan mie basah. Keberadaan sangat penting dalam


pembuatan mie basah. Garam alkali memberi flavor yang khas
dan

mempengaruhi

kualitas

mie

serta

bertanggungjawab

terhadap warna pada mie (Supriyanto, 1992). Komponen utama


dari dari kansui adalah Natrium Karbonat (Na2CO3) dan Kalium
Karbonat (K2CO3). Penggunaan senyawa ini mengakibatkan pH
lebih tinggi (7,0 7,5), warna sedikit kuning dan menghasilkan
flavor yang lebih disukai konsumen.
Natrium karbonat dan kalium karbonat telah sejak dulu
dipakai sebagai alkali pembuat mie. Komponen ini berfungsi
untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastisitas,
fleksibilitas, dan meningkatkan kehalusan tekstur mie. Natrium
karbonat

dan

kalium

karbonat

juga

dapat

meningkatkan

pengikatan air, karena reaksi senyawa tersebut dengan pati dan


air akan menghasilkan gas CO2. Dengan adanya gas CO2 berarti
terbentuk rongga antar ruang granula pati. Hasilnya ketika
perebusan mie, air yang terserap akan lebih banyak (Ratnawati,
2003).
2.3.4 Air

Air dalam proses pembuatan mie berfungsi sebagai media


reaksi antara gluten, karbohidrat dan larutan garam serta
membentuk sifat kenyal gluten. Air juga digunakan untuk
merebus mie mentah dalam pembuatan mie basah. Pada proses
perebusan akan terjadi glatinisasi pati dan koagulasi gluten
sehingga dapat meningkatkan kekenyalan mie (Sunaryo, 1985
dalam Ratnawati, 2003).
Air dalam proses pembuatan mie berfungsi sebagai media
reaksi antara gluten, karbohidrat dan larutan garam serta
membentuk sifat kenyal gluten. Air juga digunakan untuk
merebus mie mentah dalam pembuatan mie basah. Pada proses
perebusan akan terjadi glatinisasi pati dan koagulasi gluten
sehingga dapat meningkatkan kekenyalan mie (Sunaryo, 1985
dalam Ratnawati, 2003).
2.3.5 Telur
Penambahan telur dimaksudkan untuk meningkatkan mutu
protein mie dan menciptakan adonan yang lebih liat sehingga
tidak mudah putus. Putih telur berfungsi untuk mencegah
kekeruhan mie pada proses pemasakan. Kuning telur digunakan
sebagai pengemulsi, lechitin juga dapat mempercepat hidrasi air
pada tepung dan mengembangkan adonan (Astawan, 1999).
Wahyudi (2003), menyatakan bahwa pada protein putih telur
dapat membentuk lapisan yang cukup kuat dan albumin pada
telur menyebabkan pengikatan air yang lebih baik, hal ini
dikarenakan putih telur yang menyebabkan kenyal, dan kuning
telur bisa memberi warna pada mie juga membuat mie terasa
lebih gurih.
2.3.6 STPP
Fungsi STPP adalah untuk mempengaruhi tekstur mi
menjadi lebih kenyal, selain itu juga dapat mengikat aktivitas air

sehingga kerusakan mikrobiologis dapat dicegah. Penggunaan


STPP yang diizinkan adalah 3 g per kilogram berat adonan atau
0,3%.
2.3.7 Minyak Goreng
Fungsi penambahan minyak goreng saat perebusan mie
yaitu agar mie yang dihasilkan tidak lengket antar satu sama
yang lain. Minyak goreng berfungsi sebagai bahan penghantar
panas yang baik, penambah cita rasa yang gurih, penambah
kalori dan sebagai pelarut vitamin A, D, E, dan K pada makanan.
2.4 Pembuatan Mie Basah
Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mie.
Tepung terigu diperoleh dari biji gandum (Triticum vulgare) yang
digiling. Keistimewaan terigu diantara serealia lainnya adalah
kemampuannya membentuk gluten pada saat terigu dibasahi
dengan air. Sifat elastis gluten pada adonan mie menyebabkan
mie yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan
dan pemasakan. Pembuatan mie basah secara garis besar
meliputi pencampuran bahan, pengulenan adonan, pembentukan
lembaran,

pembentukan

mie,

perebusan

dan

pendinginan.

Sedangkan formulasi bahannya meliputi tepung terigu, tepung


tapioka, air, garam, soda abu dan minyak goreng (Astawan,
2004).
Selain tepung terigu, dalam pembuatan mie basah ini juga
digunakan bahan pengenyal. Bahan pengenyal yang digunakan
yaitu soda abu. Soda abu (Na2CO3) telah dikenal luas oleh
masyarakat sebagai bahan pengenyal yang sering digunakan
sebagai pengenyal dalam pembuatan mie. Soda abu harus bebas
dari kotoran atau zat yang tidak larut lainnya dan tidak
mengandung mineral yang larut atau zat organik dalam jumlah
yang dapat membahayakan konsumen.

Tahap

pencampuran

bertujuan

untuk

menghasilkan

campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air, dan


membentuk adonan dari jaringan gluten, sehingga adonan
menjadi elastis dan halus. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam
proses pencampuran adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu
adonan, dan waktu pengadukan. Air yang ditambahkan sekitar
28-38% dari bobot tepung. Jika air yang ditambahkan kurang dari
28%, adonan menjadi keras, rapuh dan sulit dibentuk menjadi
lembaran. Jika air yang ditambahkan lebih dari 38%, adonan
menjadi basah dan lengket (Badrudin, 1994) menyatakan bahwa
waktu pengadukan terbaik adalah 15 sampai 25 menit. Apabila
kurang dari 15 menit adonan menjadi lunak dan lengket,
sedangkan bila lebih dari 25 menit adonan menjadi keras, rapuh,
dan kering. Suhu adonan yang terbaik adalah 25 sampai 40 0C.
Apabila suhunya kurang dari 250C adonan menjadi keras, rapuh,
dan kasar, sedangkan bila suhunya lebih dari 40 0C adonan
menjadi lengket dan mie kurang elastis. Campuran yang
diharapkan adalah lunak, lembut, tidak lengket, halus, elastis,
dan mengembang dengan normal.
Setelah pengadukan, dilakukan pembentukan lembaran
(sheeting). Proses pembentukan lembaran bertujuan untuk
menghaluskan serat-serat gluten dan membuat adonan menjadi
lembaran. Hal ini dilakukan dengan jalan melewatkan adonan
berulang-ulang

di

antara

dua

roll

logam.

Faktor

yang

mempengaruhi proses ini adalah suhu dan jarak antara roll. Suhu
yang baik adalah sekitar 370C, jika kurang 370C maka adonan
akan menjadi kasar dan pecah-pecah, sehingga mie mudah
patah. Hasil akhir yang diharapkan adalah lembaran adonan
yang halus dengan arah jalur serat yang searah, sehingga
dihasilkan mie yang elastis, kenyal, dan halus (Badrudin, 1994).

Setelah dibentuk lembaran, dilanjutkan dengan proses


pemotongan. Proses pemotongan lembaran bertujuan untuk
membentuk pita-pita mie dengan ukuran lebar 1 sampai 3 mm,
kemudian dilakukan pemasakan mie. Pemasakan pita-pita mie
dengan cara perebusan atau pengukusan (steaming) dengan uap
air bertujuan untuk menggelatinisasi pati dan mengkoagulasi
gluten sehingga mie menjadi kenyal. Proses gelatinisasi ini
terjadi dalam beberapa tahap yaitu pembasahan, gelatinisasi,
dan solidifikasi. Mula-mula, mie mengalami pembasahan pada
permukaannya sehingga mie bersifat elastis dan tidak mudah
patah. Setelah itu, mie tergelatinisasi karena penetrasi uap
panas ke dalam mie sehingga mie menjadi lentur atau liat.
Gelatinisasi merupakan peristiwa pembengkakan granula pati
sehingga granula tersebut tidak dapat kembali pada posisi
semula (Winarno, 1991).
Tahap terakhir adalah

pemberian

minyak

goreng.

Pelumasan mie yang telah direbus dengan minyak goreng


dilakukan agar mie tidak menjadi lengket satu sama lain, untuk
memberikan

citarasa,

serta

agar

mie

tampak

(Mugiarti, 2000).
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1
Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
a. Baskom
b. Beaker glass
c. Sendok
d. Gilingan mie
e. Kompor
f. Panci
g. Timbangan
3.1.2 Bahan
a. Terigu
b. Tepung jagung
c. STTP

mengkilap

d. Garam Q
e. Aquadest
f. Telur

3.2 Skema Kerja

Telur
STTP (1(gram)
g), garam Q (2 g)
Terigu : tepung jagung P1 (200:0), P2 (150:50), P3 (100:100)
Pengocokan
Penimbangan
Pencampuran

Penimbangan
Pencampuran

Pelarutan dengan aquadest


Terigu

Penggilingan menjadi lembaran2


Penggilingan menjadi mie
Pengamatan awalan mentah
Perebusan

Minyak

Pengamatanan cooking loss, organoleptik (rasa, aroma, warna)

BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN


4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Awalan Mentah
Perlakuan (T:J)
(g)
P1 (200 : 0)
P2 (150 : 50)
P3 (100 : 100)
Keterangan :

Berat Mie

Berat

Patah (g)
50,087
28,412
30,065

Keseluruhan (g)
300
300
330

T : terigu
J : tepung jagung
3.1.2 Cooking loss
Perlakuan(T:J)

X (g)

Y (g)

(g)
P1 (200 : 0)

193,95

179,23

P2 (150 : 50)

8
184,94

2
168,64

P3 (100 : 100)

1
190,22

2
171,29

Keterangan :
X

= Berat BG + air sebelum dipanaskan

= Berat BG +air sesudah dipanaskan

4.1.3 Uji Organoleptik


Nama
Iqbal
Rizki K
Rizki N

413
++

Rasa
961 375
++ +++

++

++
++

++

+
++
+

+++
+

413
++

Aroma
961 375
+++ ++

+++

+++

+++

+++

+
+++

+
++

413
++

Warna
961 375
+++ ++

+++

+
+++

+++

++

+
+++

+++
+

Fitria
Yanti

++
++

++
++

+
+++

+
++

+++
+++

+++
+++

+
++

+++
+++

++
+++

Shelvy

++

+
++

+
+++

+++

++

+
++

+
+++

+++

+
++
+
+

+++
+++
+++
+

++
++
+
+

+
++
+
+

++
+++
++
+

+
++
+
+

+
++
++
+
+++

+++
+++
++
++

Rissa
++
Ambar
++
Hera
++
Dwi
+
Keterangan:
413

=P1 (200 T : 0 J)

961

=P3 (100 T : 100 J)

375

=P2 (150 T : 50 J)

Rasa, Aroma, dan Warna: semakin + semakin disukai


4.2 Hasil Perhitungan
4.2.1 Awalan Mentah
Perlakuan (T:J)

Awalan Mentah

(g)
P1 (200 : 0)
P2 (150 : 50)
P3 (100 : 100)

(%)
16,696
9,471
9,111

4.2.2 Cooking loss


Perlakuan (T:J)
(g)
P1 (200 : 0)
P2 (150 : 50)
P3 (100 : 100)

K= y x

Cooking loss

(g)
14,726
16,299
18,935

(%)
147,26
162,99
189,35

3.2.3 Uji Organoleptik


Nama
Iqbal

413
++

Rizki K

++

Rasa
961 375
++ +++
++
++
+

+++

Aroma
413 961 375
++ +++ ++

Warna
413 961 375
++ +++ ++

+++

+++

+++

+++

+
+++
+

+++

Rizki N

++

++

Fitria
Yanti
Shelvy
Rissa
Ambar
Hera
Dwi
Jumlah
Rata2

+++

++
++

+
++
++

+
+++

+
+
++

+++
+++

+++
+++

++

+
++

+
+++

+++

++

+
++

++
++
++
+
19
1,9

+
++
+
+
22
2,2

+++
+++
+++
+
25
2,5

++
++
+
+
21
2,1

+++

+
++
+
+
23
2,3

++

++
+++
++
+
25
2,5

++

+++

+++

+
++

+++
+++

+
++
+++

+
+++

+++

+
++
+
+
16
1,6

+
++
++
+
+++
32
3,2

+++
+++
++
++
27
2,7

BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
Dalam praktikum pembuatan mie, bahan yang diperlukan
adalah telur, terigu, tepung jagung, STTP, garam Q, dan air atau
aquades. Pertama dilakukan pada bahan terigu, tepung jagung,
STPP, dan garam Q adalah penimbangan. Pada pembuatan mie
dilakuakan penggunaan tepung jagung untuk mmengetahui
pengaruh penambahan tepung jagung erhadap kualitas mie yang
dighasilkan. Adapun formulasi terigu : tepung jagung (gram)
adalah 200:0 untuk formulasi 1 (P1), 150:50 untuk formulasi 2
(P2), dan 100:100 untuk formulasi 3 (P3), jadi pada setiap
formulasi atau perlakuan jumlah tepung yang digunkan adalah
200 gram. Penimbangan pada STPPyaitu sebanyak 1 gram dan
garam Q sebanyak 2 gram kemudian kedua bahan tersebut
dilarutkan ke dalam 60 ml Aquadest. Setelah penimbangan
bahan (terigu, tepung jagung, STPP, dan garam Q) kemudian
dilakukan pengocokan telur.
Setelah penimbangan kemudian dilakukan pencampuran
semua bahansedangkan STPP dan garam Q dilakukan pelarutan
terlebih dahulu sebelum dicampurkan ke dalam bahan lainnya.
Hal ini berfungsi untuk meratakan penyebarannya. Dalam
penambahan larutan STPP dan garam Q ke dalam terigu dan
tepung jagung dilakukan sedikit demi sedikit supaya lebih mudah
dan bahan dapat tercampur secara keseluruhan. Pencampuran
dilakukan bertujuan supaya terbentuk adonan yang kalis dan
lebih mudah untuk dicetak atau digiling. Apabila adonan telah
kalis kemudian dilakukan penggilingan yang bertujuan supaya
adonan tersebut menjadi lembaran-lembaran yang kemudian
dapat digiling lagi hingga menjadi untaian mie. Dalam proses
penggilingan ini dilakukan penambahan terigu dengan cara
penaburan supaya adonan satu dengan lainnya tidak lengket.

Pada proses pembentukan lembaran menjadi mie, patahan mie


disendirikan

dengan

mie

yang

panjang

utuh

untuk

mempermudah dalam perhitungan awalan mentah.Pengamatan


pada

parameter

awalan

mentah

dilakukan

dengan

cara

penimbangan patahan mie kemudian penimbangan keseluruhan.


Proses

selanjutnya

untukmematangkan

adalah
mie

perebusan

dan

juga

mie

yang

supaya

bertujuan

terjadi

proses

gelatinisasi. pada perebusan ini, air yang digunakana untuk


merebus ditambahkan minyak goreng supaya mie yang direbus
tidak lengket satu dengan lainnya. Perebusan dilakukan hingga
mie matang (empuk) kemudian di tiriskan dan ditambahkan
minyak

goreng

supaya

mie

tidak

lengket

satu

dengan

lainnnya.Mie yang telah matang kemudian dilakukan pengujian


cooking loss dan uji organoleptik terhadap rasa, aroma, dan
warna.
5.2 Analisa Data
5.2.1 Awalan Mentah Mie Basah
Dari hasil praktikum dan perhitungan yang telah dilakukan,
diperoleh data mengenai nilai awalan mentah dalam pembuatan
mie. Adapun data tersebut disajikan pada gambar 1.

18
16
14
12
10
Nilai awalan mentah (%) 8
6
4
2
0

P1 (200 : 0)

P2 (150 : 50) P3 (100 : 100)


Sampel

Gambar 1.Grafik awalan mentah mie basah pada berbagai


perlakuan
Pada hasil pengamatan tehadap awalan mentah diperoleh
data bahwa nilai awalan mentah tertinggi terdapat pada
perlakuakn 200 gram terigu yaitu sebesar 16, 696%. Selanjutnya
pada perlakuan penggunaan terigu 150 gram dan tepung jagung
50 gram, nilai awalan mentah sebesar 9,471% dan terendah
terdapat pada perlakuan penggunaan terigu 100 gram dan
tepung jagung 100 gram dengan nilai awalan mentah 9,111 %.
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa semakin banyak
penggunaan terigu maka nilai awalan mentah juga semakin
tinggi,

sedangkan

semakin

banyak

tepung

jagung

yang

ditambahkan

menyebabkan

nilai

awalan

mentah

semakin

rendah.
Awalan mentah diukur berdasarakan jumlah mie yang
patah saat proses penggilingan. Dimana hal ini berkaitan dengan
tingkat elastisitas mie. Semakin tinggi nilai awalan mentah, maka
mie semakin tidak elastis atau mudah patah. Dari data yang
diperoleh,

diketahui

bahwa

nilai

awalan

mentah

tertinggi

terdapat pada penggunaan terigu 200 gram. Hal ini menandakan


bahwa mie basah dengan formulasi tersebut, memiliki tingkat
elastisitas yang sangat rendah yaitu mudah patah saat dilakukan
penggilingan. Sedangkan nilai awalan mentah terendah terdapat
pada penggunaan terigu 100 gram dan tepung jagung 100 gram.
Hal ini menandakan bahwa tingkat elastisitas mie pada formulasi
ini

cukup

tinggi

yang

ditandai

dengan

sedikitnya

jumlah

lembaran mie yang patah saat penggiilingan.


Tinggi

rendahnya

nilai

awalan

mentah

pada

mie,

dipengaruhi oleh keberadaan gluten pada tepung terigu. Hal ini


diperkuat oleh pendapat Akashi, et al., (1999) yang menyatakan
bahwa kadar protein dan gluten yang semakin tinggi akan
meningkatkan tekstur terutama elastisitas dan kerenyahan mie.
Gluten dalam terigu menentukan elastisitas, stabilitas, dan
kekenyalan mie sehingga mie menjadi tahan terhadap penarikan
sewaktu proses produksinya. Besarnya protein pembentuk gluten
juga akan menentukan sifat adonan dan produk yang dihasilkan.
Selain itu, menurut Sulistyawati (2001) keistimewaan dari terigu
jika dibandingkan dengan tepung lainnya adalah kemampuannya
membentuk gluten pada saat di campur dengan air. Kandungan
protein

yang

tinggi

berhubungan

dengan

meningkatnya

elastisitas mie basah. Gluten memiliki sifat fiskositas sehingga


menyebabkan mie tidak mudah putus pada proses pencetakan,

dan pemasakan, yang terbentuk oleh glutenin yang membawa


sifat elastis dan gliadin yang menentukan sifat ekstensibel
(mudah

diulur).

Apabila

dalam

pembuatan

mie

terdapat

pencampuran menggunakan tepung selain terigu, maka adonan


yang dihasilkan tidak terlalu elastic karena penambahan tersebut
dapat menurunkan keelastisan yang dibentuk oleh gluten dari
terigu.
Dari hasil studi literatur yang telah dipaparkan diatas,
diketahui bahwa hasil praktikum yang dilakukan tidak sesuai
dengan hasil studi literaatur. Seharusnya %

awalan mentah

tertinggi terdapat pada perlakuan penggunaan terigu 100 gram


dan tepung jagung 100 gram. Hal ini dikarenakan sedikitnya
jumlah gluten pada tepung jagung cukup rendah sehingga
mengakibatkan adonan menjadi kurang atau tidak elastis. bahan
dasar selain terigu adalah tepung jagung. Tepung jagung
memiliki kandungan lemak dan kandungan amilosa yang tinggi
sehingga sulit untuk mengikat air selama proses pemasakan.
Kandungan

lemak

pada

tepung

jagung

menyebabkan

terhalangnya kontak antara air dengan protein dalam jagung.


Sedangkan kandungan amilosa pada jagung memiliki struktur
yang kompak sehingga sulit untuk ditembus oleh air. Rendahnya
tingkat kemampuan mengikat air inilah yang menyebabkan
kemampuan

granula

pati

untuk

menggelembung

pada

gelatinisasi menjadi rendah (Alam, 2010).


Sedangkan untuk % awalan mentah terendah seharusnya
terdapat pada penggunaan terigu 200 %.

Hal ini sudah

dipaparkan pada hasil studi literatur diatas bahwa keberadaan


gluten yang tinggi akan membentuk mie yang elastis sehingga
tidak mudah patah saat penggilingan.

Pembuatan mie menggunakan terigu yang lebih banyak


seharusnya memiliki nilai awalan mentah yang lebih kecil.
Namun pada praktikum ini, data yang dihasilkan berbanding
terbalik. Dimana dari hasil praktikum, nilai awalan mentah
tertinggi terdapat pada perlakuan penggunaan terigu paling
banyak. Adanya perbedaan hasil praktikum dan studi literatur,
dimungkinkan karena perlakuan pencampuran yang kurang
optimal. Dari studi literatur dijelaskan bahwa dalam pembuatan
mie menggunakan terigu protein tinggi dan membutuhkan waktu
pencampuran/pengulenan yang lebih lama. Hal ini tidak terjadi
saat praktkum karena pencampuran dilakukan oleh orang yang
berbeda dan secara manual. Selain itu, pada saat praktikum
digunakan alat penggiling yang berbeda yang juga memiliki
kualitas yang berbeda. Hal ini dapat mempengaruhi hasil akhir
mie yang dibuat.
5.2.2 Cooking loss
Dari hasil praktikum dan perhitungan yang telah dilakukan,
diperoleh data mengenai nilai cooking loss dalam pembuatan
mie. Cooking loss merupakan banyaknya bahan dari mie mentah
yang hilang selama proses perebusan. Adapun data tersebut
disajikan pada gambar 2.

200
180
160
140
120
Nilai Cooking loos (%)

100
80
60
40
20
0
P1 (200 : 0)

P2 (150 : 50) P3 (100 : 100)


Sampel

Gambar 2.Grafik cooking loss mie basah pada berbagai


perlakuan
Pada pengamatan cooking loss mie basah, diperoleh data
nilai cooking loss tertinggi terdapat pada perlakuan terigu dan
tepung jagung dengan nilai cooking loss sebesar 189,35%,
selanjutnya pada perlakuan terigu 100 gram dan tepung jagung
100 gram nilai cooking loss sebesaar 162,99%. Nilai cooking loss
terendah terdapat pada perlakuan penggunaan terigu 200 gram.
Cooking loss

merupakan banyaknya bahan dari mie

mentah yang hilang selama proses perebusan. Cooking loss


dapat menentukan kualitas mie yang dihasilkan. Nilai cooking
loss yang kecil merupakan keuntungan karakteristik bagi kualitas
mie. Semakin kecil nilai cooking loss maka semakin baik mie
yang dihasilkan (Chang dan Wu 2008). Nilai cooking loss yang
tinggi tidak diharapkan karena dapat menyebabkan kekeruhan

pada air yang digunakan untuk memasak dan terasa lengket di


mulut

(Bhattacharya

berdasarkan

berat

et

al.,

kering

1999).
mie

Cooking

mentah

loss

dihitung

yaitu

dengan

membandingkan berat residu dengan berat mie mentah lalu


dikalikan 100% (Seib, PA et al., 2000).
Dari hasil praktikum yang telah dilakukan, diketahui nilai
cooking loss tertinggi terdapat pada perlakuan menggunakan
terigu 100% dan tepung jagung100%. Hal ini menandakan bahwa
terdapat persamaan antara studi literatur dan praktikum yang
telah dilakukan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Olku & Rha
(1978) makin tinggi substitusi tepung terigu, maka cooking loss
akan makin meningkat. Hal ini disebabkan karena keberadaan
gluten

menurun

sehingga

kemampuan

untuk

membentuk

jaringan tiga dimensi yang dapat menghambat keluarnya isi


granula

berkurang.

Penurunan

kadar

protein

diduga

mengakibatkan jaringan pada mie kurang kompak karena ikatan


antarapati dan protein kurang kuat, sehingga molekul-molekul
pati linear yang pendek dan tidak terikat oleh pati akan keluar
dari granula dan masuk ke dalam air rebusan menyebabkan air
menjadi keruh. Selain itu, tingginya cooking loss juga diakibatkan
pada tepung jagung belum tergelatinisasi sempurna sehingga
ikatan pada permukaan mie kurang kuat dan mengakibatkan pati
mudah luruh ketika proses perebusan. Tepung jagung memiliki
kandungan lemak dankandungan amilosa yang tinggi sehingga
sulit untuk mengikat air selama proses pemasakan. Kandungan
lemak pada tepung jagung menyebabkan terhalangnya kontak
antara air dengan protein dalam jagung. Sedangkan kandungan
amilosa pada jagung memiliki struktur yang kompak sehingga
sulit untuk ditembus oleh air.

Rendahnya tingkat kemampuan

mengikat air inilah yang menyebabkan kemampuan granula pati

untuk menggelembung pada gelatinisasi menjadi rendah (Alam,


2010).
Sedangkan nilai cooking loss terendah terdapat pada
penggunaan

terigu

100%.

Dalam

hal

ini,

tidak

dilakukan

penambahan tepung selain terigu sehingga jumlah gluten pada


adonan masih tetap tinggi. kemampuan untuk membentuk
jaringan tiga dimensi yang dapat menghambat keluarnya isi
granula

masih

tetap

bekerja

dengan

kandungan protein, menyebabkan

maksimal.

Tingginya

jaringan pada mie tetap

kompak karena ikatan antara pati dan protein semakin kuat,


sehingga molekul-molekul pati linear yang pendek dan tidak
terikat oleh pati tidak akan keluar dari granula dan tidak masuk
ke dalam air rebusan yang menyebabkan air tidak begitu keruh.
5.2.3 Uji Organoleptik
Pengujian
mengetahi

organoleptik

tingkat

kesukaan

dilakukan
panelis

bertujuan

pada

produk

untuk
yang

dihasilkan. Parameter pengujian organoleptik adalah parameter


rasa, aroma, dan warna. Setelah dilakukan uji organoleptik maka
dapat dihasilkan grafik sepert pada gambar 3.

3.5
3
2.5
2
P1 (200 T : 0 J)
P2 (150 T : 50 J)
P3 (100 T : 100 J)

Rata-rata uji organoleptik 1.5


1
0.5
0
rasa aroma warna
Parameter

Gambar 3. Hasil Uji Organoleptik Mie Basah


Pada

praktikum

pembuatan

mie,

untuk

pengujian

organoleptik mie basah dilakukan terhadap tiga parameter


pengujian yaitu rasa, warna dan aroma. Dari ketiga pengujian
tersebut, diperoleh data pada parameter rasa yang paling disukai
oleh panelis ialah pada perlakuan penggunaan terigu 150 gram
dan tepung jagung 50 gram. Formulasi ini merupakan formulasi
penambahan

tepung

jagung

yang

paling

sedikit.

Dengan

penambahan tepung jagung yang tidak terlalu banyak, mungkin


belum terjadi oksidasi lemak dari kandungan tepung jagung.
Sehingga masih memberikan rasa yang enak terhadap mie basah
yang dihasilkan. Selain itu, pada formulasi tersebut masih
terdapat penambahan terigu yang cukup banyak. Hal ini dapat
diasumsikan bahwa penambahan tepung jagung 50 gram ke
dalam terigu 150 gram masih belum bisa menggantikan rasa mie
yang seperti pada umumnya. Sehingga adanya tepung jagung
memberikan pengaruh yang kurang signifikan terhadap rasa mie.
Panelis menyukai mie dengan formulasi tersebut, yang artinya

panelis menyukai mie dengan rasa mie terigu dan sedikit


terdapat rasa tepung jagung.
Untuk hasil rata-rata kesukaan panelis paling rendah
terdapat pada perlakuan penggunaan terigu 200 gram. Hal ini
menandakan bahwa panelis kurang menyukai mie basah dengan
penggunaan

terigu

100%.

Sebenarnya

pembuatan

mie

menggunakan terigu 100% merupakan mie yang sudah biasa


dikonsumsi oleh panelis. Namun dalam hal ini, mie basah yang
disajikan

kepada

panelis

juga

dipengaruhi

oleh

lamanya

pemasakan. Dimana semakin lama pemasakan, maka mie akan


semakin lunak yang juga nantinya akan mempengaruhi kepada
rasa yang akan ditimbulkan saat dilakukan pengujian panelis.
Sehingga panelis merasa kurang suka terhadap mie basah
dengan penggunaan 100% terigu tanpa adanya penambahan
tepung jagung.
Pada parameter aroma, nilai rata-rata kesukaan tertinggi
terdapat pada penggunaan terigu 150 gram dan tepung jagung
50 gram dan rata-rata kesukaan terendah terdapat pada mie
dengan penggunaan terigu 200 gram. Hal ini menandakan
bahwa panelis lebih menyukai mie yang masih memiliki sedikit
aroma tepung jagung. Tepung jagung memiliki aroma yang khas,
sehingga saat proses pemasakan akan memberikan pengaruh
walupun tidak signifikan. Penambahan tepung jagung yang masih
tidak terlalu banyak, masih tidak memberikan pengaruh yang
besar terhadap perubahan aroma yang ditimbulkan jika mie
terbuat dari terigu 100%. Sehingga panelis masih susah untuk
merasakan adanya perbedaan pada aroma yang ditimbulkan.
Selain itu, kondisi panelis saat melakukan pengujian juga
memiliki pengaruh yang cukup berarti.

Untuk pengujian pada parameter warna, diperoleh nilai


rata-rata

kesukaan

tertinggi

terdapat

pada

perlakuan

penggunaan terigu 100 gram dan tepung jagung 100 gram.


Sedangkan nilai kesukaan terendah terdapat pada perlakuan
penggunaan terigu 200 gram. Penambahan tepung jagung yang
tinggi mengakibatkan warna menjadi kuning cerah. Ha ini
berkaitan dengan pigmen yang terkandung di dalam tepung
jagung. Tepung jagung mengandung pigmen karotenoid dan
xantofil yang dapat memberikan warna kuning (Koswara, 2000).
Mie yang dihasilkan saat praktikum memiliki warna yang cukup
sigifikan antara mie yang dibuat dengan 200 gram terigu dan
mie yang dibuat dengan 100 gram terigu dan 100 gram tepug
jagung. Mie yang dibuat dengan 200 gram terigu memiliki warna
yang pucat sedangkan mie yang dibuat dengan 100 gram terigu
dan 100 gram tepung jagung memiliki warna kuning cerah. Dari
pemaparan diatas, diketahui bahwa panelis lebih menyukai mie
dengan warna kuning dari pada mie dengan warna yang pucat.

BAB 6. PENUTUP
6.1

Kesimpulan
Berdasarkan praktikum

disimpulkan bahwa:
a. Dalam melakukan

yang

pembuatan

telah
mie

dilakukan
dengan

dapat

substitusi

tepung yang digunakan, perlu dilakukan analisis terhadapa


parameter pengukuran % awalan mentah, cooking losss,
dan pegujian organoleptik.
b. Hasil pengukuran % awalan mentah tertinggi terdapat
pada perlakuan penggunaan terigu 200 gram yaitu sebesar
16,696% dan % awalan mentah terendah terdapat pada
perlakuan penggunaan terigu 100 gram dan tepung jagung
100 gram sebesar 9,111 %.
c. Hasil pengukuran tertinggi pada cooking loss terdapat pada
perlakuan 100 gram terigu dan 1oo gram tepung jagung
dengan nilai sebesar 189,35% dan nilai terendah terdapat
pada perlakuan terigu 200 gram sebesar 147,26%.
d. Pada uji organoleptik rasa dan aroma, panelis lebih
menyukai mie basah dengan penggunaan 150 gram terigu
dan 50 gram tepung jagung sedangkan pada parameter
warna

panelis

lebih

menyukai

mie

basah

dengan

penggunaan terigu 100 gram dan tepung jagung 100 gram.


6.1

Saran
Dalam melakukan praktikum diharapkan

persiapan dan

kelengkapan yang lebih matang terkait dengan alat dan bahan

DAFTAR PUSTAKA
Akashi, Tajashi, dan S Endo. 1999. Evaluation Of Strach
Properties Of Wheat Used fr Chinese Yellealkaline Noodes in
Japan. Cereal Chemistry. 76 (1). 50-55
Alam. 2010. Analisis Pembuatan Mie Basah. Skripsi, Universitas
Gajag Mada
Astawan, M. 1999. Membuat Mie dan Bihun, PT. Peneber
Swadaya, Jakarta.
Badrudin. 1994. Modifikasi Tepung Ubi Kayu sebagai Bahan
Pembuat Mie Kering. Skripsi. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertanian, IPB.
Chang dan Wu. 2008. Glass Trantition and enthalphy Reaxation
Of Cross-Linked Corn Starches. Carbohydrate Polymers. Vol
55.9-15
Koswara, sutrisno. 2000. Teknologi Pengolahan Jagung (Teori dan
Praktek). eBookPangan.com
Matz. 1972. Bakery Technology and Engineering. New York: The
Avi Publishing Company, Inc
Meyer. 1973. Food Chemistry. New Delhi, India: Affiliated East
West Press
Mugiarti. 2000. Pengaruh Penambahan Tepung Kedelai Terhadap
Sifat Fisikokimia dan Daya Terima Mie Basah. Skripsi. Bogor.
Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Olku & Rha. 1978. Amylose Content and Chemical Modification
Effects on The Exttruction of Thermoplastic Strach from
Maize. Carbo-hydrate Polimers 74:907-913.
Pomeranz, Y dan Meloan, C.E. 1971. Food Analysis: theory and
Practice. The AVI Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut
Ratnawati. Teknologi Produksi dan Analisis Kualitas Mi. Bogor :
Fateta IPB.
Royaningsih. 1987. Pembuatan Mie basah (Boilled Noodle),
Didalam Proceding Penelitian Pasca Panen Pertanian, Bogor.

Rukmana. 1997. Usaha Tani Jagung. Yogyakarta: Kanisius


Seib, PA, et al. 2000. Comparison of Asian Noodles from Some
Hard White and Hard Red Wheat Flours. Central Chemitry
77 (66): 816-822.
Sulistyawati, E. 2001. Skripsi: Formulasi Mi Basah dengan
Penambahan Tepung Kacang Hijau (Vigna Radlata) dan
Tepung Wortel (Daucus carota) : Evaluasi Sifat
Fisikokimiawi dan Sensori. Semarang: Universitas Katolik
Soegijapranata.
Sunaryo, E. 1985. Pengolahan produk serealia dan biji-bijian.
Fateta IPB, Bogor.
Supriyanto. 1992. Laporan Penelitian Mi Basah dari Berbagai
Jenis Pati. Yogyakarta: FTP Press UGM
Tarwotjo. 1998. Dasar-dasar Gizi Kuliner. Jakarta: PT Gramedia
Wahyudi. 2003. Analisis Kualitas Tepung Jagung.
Teknologi Pertanian. UB : Malang

Fakultas

Winarno. 1991. Teknologi Produksi dan Kualitas Mi. Makalah


disajikan dalam Seminar Sehari Serba Mi. Institut Pertanian
Bogor

Anda mungkin juga menyukai