Anda di halaman 1dari 43

ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB TERHADAP KARYAWAN

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Etika Bisnis dan Profesi
Yang dibina oleh Bapak Afwan Hariri, SE, M. Si
Oleh
Baref Bhaktias Banar

130412604576

Eni Wahyu Siti Rahmah

140412605529

Firnas Sadidah

130412616353

Gagah Priyo Wicaksono

140412604482

Iis Andriyani

140412605219

Intan Eka Yudianasari

140412601130

Ismi Windayanti

140412603562

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat dan karuniaNya, kami dapat menyelesaikan Makalah dengan judul Etika dan Tanggung
Jawab Terhadap Karyawan ini dengan baik dan tepat waktu.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak di bawah ini yang
telah berperan serta dalam pembuatan makalah ini, yakni :
1. Bapak Afwan Hariri, SE, M. Si selaku pembina dalam mata kuliah Etika
Bisnis dan Profesi di Universitas Negeri Malang.
2. Orang tua yang senantiasa mendukung kami dalam proses pembuatan
makalah ini.
3. Pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan seluruhnya.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan di dalam
isinya dikarenakan kurangnya referensi yang digunakan. Oleh karena itu, Kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

Malang, 07 Oktober 2016

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1

Latar Belakang..........................................................................................1

1.2

Rumusan Masalah.....................................................................................2

1.3

Tujuan........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................4
2.1

Perilaku Karyawan Didalam Suatu Perusahaan........................................4

2.2

Permasalahan Dalam Kerja Dan Perilaku Etis Dalam Berkerja................5

2.3

Membentuk Perilaku Etis Dalam Berkerja................................................5

2.4

Peran Manajemen dalam Etika Di Tempat Kerja......................................6

2.5

Penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Di Indonesia...................14

2.6

Penilaian Kinerja Karyawan....................................................................15

BAB III STUDI KASUS DAN ANALISIS.......................................................18


BAB IV PENUTUP............................................................................................38
3.1

SIMPULAN.............................................................................................38

3.2

SARAN...................................................................................................39

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................40

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Negara-negara yang mengatur sistem kapitalis/liberalisme, maka
keberadaan perusahaan dipahami adalah untuk mendapat keuntungan ekonomis.
Namun demikian, selain mempunyai tujuan untuk memperoleh keuntungan,
perusahaan-perusahaan ini juga dituntut untuk memenuhi tanggung jawab sosial
tertentu. Berbagai pendapat tentang kepentingan relatif antara profitabilitas dan
tanggung jawab sosial ini. Ada pihak yang mendukung pendapat bahwa
profitabilitas adalah tujuan utama dari perusahaan dan tanggung jawab sosial yang
harus ditanggung adalah hanya yang masuk dalam kerangka hukum yang terkait
dengan keberadaan perusahaan tersebut. Sedangkan pihak lainnya berpendapat
bahwa perusahaan tidaklah sekadar sebuah etentitas ekonomi, tetapi juga
merupakan suatu institusi sosial yang berada salam suatu ingkungan sosial, dan
membawa serta tanggung jawab sosial yang tinggi. Dalam pendapat ini, bahwa
perusahaan secara moral mempunyai tanggung jawab terhadap semua pihak
terutama pada karyawannya dan profitabilitas hanyalah sarana untuk melakukan
tanggung jawab tersebut.
Karyawan atau pegawai dalam suatu organisasi sangat menentukan untuk
berhasilnya tujuan dan sasaran organisasi. Dengan karyawan yang handal,
perusahaan dapat dengan tepat waktu menyelesaikan semua program kerja yang
telah ditentukan karena peran strategis karyawan didalam perusahaan sebagai
asset yang nyata maupun tidak nyata didalam suatu perusahaan. Selanjutnya
karyawan yang handal dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
suatu perusahaan.
Untuk itu pengelolaan karyawan sangat perlu dilakukan oleh suatu
perusahaan agar dalam menjalankan perkerjaan karyawan dapat bertanggung
jawab baik aspek sosial maupun aspek moral. Dalam aspek moral karyawan
didalam suatu perusahaan perlu mengedepankan nilai-nilai etika dalam tata laku
sesama karyawan sehingga terbina human relation didalam perusahaan tersebut.
Selain tata laku didalam perusahaan, karyawan juga dapat menerapkan etikanya

terhadap konsumen atau masyarakat dalam melayani kebutuhan-kebutuhan


konsumen atau masyarakat. Setiap karyawan akan bekerja secara aman dan
bersih. Mereka akan menerima kompensasi yang wajar dan cukup. Mereka
diberikan ruang peluang untuk mengembangkan keahlian mereka. Mereka harus
merasa bebas memberikan saran, kritik, atau uneg-uneg, mengamankan hak-hak
pribadi, melindungi mereka dari setiap bentuk ganguan dan menghargai
kepribadian mereka setiap saat.
Keberhasilan suatu perusahaan tidak saja diukur kemampuan meningkat
kinerja atau profitibilitas bisnis perusahaan namun yang lebih penting lagi
keberhasilan dalam membina karyawan sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan
etika yang ada didalam perusahaan. Keberhasilan tersebut tercermin dari
karyawan dalam sikap dan tingkah lakunya memberikan rasa positif dan dirasakan
oleh konsumen atau masyarakat. Untuk itu sikap dan tingkah laku karyawan
didalam perusahaan sangat menentukan apakah perusahaan tersebut mampu telah
mengatur dan mendorong karyawannya berlaku sesuai dengan nilai-nilai yang
telah ditetapkan Perusahaan dan berdampak positif dalam pelayanan atau
kepuasan konsumen.
Perusahaan diera global saat ini sudah menjadi kewajiban perusahaan
menanamkan nilai-nilai etika bisnis bagi seluruh karyawannya agar dalam
melaksanakan pekerjaan tidak saja penting bagi perusahaan namun penting juga
bagi karyawan menjalankan etika bisnis supaya tidak terjadi pelanggaran yang
nanti berdampak terhadap perusahaan dan keberkelanjutan perusahaan.
1.2 Rumusan Masalah
a) Apa yang dimaksud dengan perilaku karyawan didalam suatu perusahaan ?
b) Bagaimana permasalahan dalam kerja dan perilaku etis dalam berkerja ?
c) Bagaimana membentuk perilaku etis dalam berkerja ?
d) Bagaimana peran manajemen dalam etika di tempat kerja ?
e) Bagaimana penerapan kesehatan dan keselamatan kerja di indonesia ?
f) Apa yang dimaksud penilaian kinerja karyawan ?
1.3 Tujuan
a) Untuk mengetahui perilaku karyawan didalam suatu perusahaan

b) Untuk mengetahui permasalahan dalam kerja dan perilaku etis dalam


berkerja
c) Untuk mengetahui membentuk perilaku etis dalam berkerja
d) Untuk mengetahui peran manajemen dalam etika di tempat kerja
e) Untuk mengetahui penerapan kesehatan dan keselamatan kerja di
indonesia
f) Untuk mengetahui penilaian kinerja karyawan

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perilaku Karyawan Didalam Suatu Perusahaan


Perilaku karyawan didalam suatu organisasi sangat ditentukan oleh latar
belakang karyawan tersebut. Sedangkan, latar belakang karyawan dipengaruhi
oleh lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal adalah keluarga dan
lingkungan kelompok (Familiy) sedangkan lingkungan eksternal adalah sekolah
dan tempat pendidikan non formal lainnya. Lingkungan internal dan eksternal
tersebut yang mempengaruhi tata laku sesorang karyawan yang merupakan
pengimplementasian cara dan sikap karyawan bertindak dan melakukan hubungan
dengan sesama karyawan suatu perusahaan.
Bermacam-macam latar belakang karyawan di dalam suatu perusahaan di
satukan dan diberikan tugas untuk melaksanakan misi, visi, dan tujuan serta
sasaran yang telah ditetapkan perusahaan. Dalam proses untuk mencapai tujuan
dan sasaran karyawan diatur dalam struktur organisasi yang membagi sesuai
dengan tugas dan fungsinya yang ada didalam organisasi. Pengelompokan tugas
tersebut berdampak terjadi dinamika kelompok dalam perusahaan sehingga perlu
aturan yang tertulis maupun aturan yang normatif jika perusahaan atau karyawan
terjadi penyimpangan yang tidak patut.
Penyimpangan-penyimpangan yang sering terjadi di timbulkan dari faktorfaktor organisasional didalam perusahaan yaitu adanya gesekan antar sesama
karyawan baik dalam pekerjaan maupun dalam berhubungan secara vertikal
maupun horizontal. Agar tidak terjadi gesekan yang negatif didalam proses
kegiatan kerja aturan tertulis dan etika dapat memberikan sangsi secara moral atau
membuat pihak manajemen atau seorang karyawan menyadari bahwa perilaku
yang dilakukannya adalah tidak patutan bagi seorang pimpnan atau karyawan
apabila melanggar aturan-aturaan moral yang telah digariskan oleh suatu
perusahaan untuk di lakukan terhadap sesama karyawan atau perbuatan pimpinan
yang membuat segenap karyawannya merasa ruang pribadinya ikut di campuri
oleh pimpinan.

Penerapan etika bisnis tidaklah semerta secara langsung diberlakukan oleh


perusahaan, yang lebih penting pimpinan perusahaan harus terlebih dahulu
mengetahui perilaku karyawan tersebut sehingga dapat dengan cepat menerapkan
etika bisnis didalam perusahaan tersebut tidak terdapat gangguan atau pelanggaran
dalam penerapan etika.
2.2 Permasalahan Dalam Kerja Dan Perilaku Etis Dalam Berkerja
Permasalahan yang muncul dalam perusahaan disebabkan karyawan
melanggar etika berdampak dari perusahaan antara lain melakukan kecurangan
dalam mengunakan fasilitas atau kecurangan memberikan informasi terhadap
atasan sehingga pimpinan membuat keputusan terjadi kesalah dan merugikan
perusahaan.
Permasalahan yang muncul dalam etika di tempat kerja disebabkan oleh
perilaku baik dari pimpinan maupun karyawan berupa:
a.
b.
c.
d.

Pembedaan terhadap karyawan.


Pendisiplinan.
Pelecehaan seksual terhadap pekerjaan perempuan
Evaluasi kinerja sering tidak transfarannya dalam melakukan evaluasi

kinerja karyawan menimbulkan rasa tidak percayaan terhadap penyelia.


e. Pelanggaran peraturan mabuk akibat minuman keras,
f. Pemalsuan catatan atau laporan
Permasalahan-permsalahan ditempat kerja yang diuraikan diatas telah menjadi
kajian dari para ahli manajemen dan mencari langkah-langkah untuk menekan
atau mengurangi permasalah tersebut.
2.3 Membentuk Perilaku Etis Dalam Berkerja
Perilaku karyawan yang telah diuraikan dalam pendahuluan diatas telah
menggambarkan yang paling berpengaruh membentuk sesorang itu awalnya
adalah lingkungan keluarganya terutama Ayah dan Ibunya serta lingkungan
keluargannya. Di dalam organisasi tempat dimana sesorang telah menjadi
karyawan dan berkerja ikut memberikan pengaruh terhadap karyawan bagaimana
bertindak dan berkomunikasi baik sesama karyawan maupun dengan atasan dan
masyarakat.

Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku karyawan dalam suatu


perusahaan supaya secara cepat pihak pimpinan meminimumkan pelanggaran
etika didalam tempat kerja. Faktor lainnya yang membentuk berperilaku etis di
tempat kerja di dalam perusahaan yaitu:
1. Faktor Organisasi
a. Menekan pihak karyawan agar membuat laporan yang benar dan
terbuka terutama laporan akunting untuk diberikan kepihak pemerintah
(pajak) kewajiban perusahaan dalam membayar.
b. Menekankan kepada pihak karyawan untuk berusaha memenuhi target
dan jika tidak terpenuhi bukanlah suatu kesalahan tetapi adalah
pembelajaran.
c. Memberikan ruang beraktualisasi dan berinovasi sehingga dapat
mendorong terbangunya soliditas dan solidaritas karyawan.
d. Melakukan keterbukaan mengenai insentif.
2. Faktor Atasan
Peran penting yang dapat membentuk etika didalam tempat kerja yaitu
peran atasan dengan sikap dan tingkah laku atasan dapat membentuk
terbangunnya etika didalam pekerjaan. Langkah-langkah yang menjadi perhatian
dan pertimbangan yang perlu dilakukan oleh atasan yaitu:
a. Melakukan keterbukaan dan keterbukaan dalam mencapai hasil kerja
yang dapat memenuhi target.
b. memberikan beban kerja sesuai dengan tugas dan fungsi yang telah
diatur dalam job diskripsi.
c. Memberikan bimbingan dan pembinaan terhadap karyawa agar tidak
terjadinya kesalahan.
2.4 Peran Manajemen dalam Etika Di Tempat Kerja
Peran penting manajemen dalam membentuk etika di dalam tempat kerja
memberikan rasa ke-adilan kepada pihak karyawan secara jujur dengan kejujuran
dapat membangun rasa percaya karyawan bahwa perusahaan tempat berkerja
bertanggung jawab dan telah memperlakukan karyawan sepatutnya.
Tanggung jawab perusahaan didalam tempat kerja itu meliputi:
a. Perusahaan mempunyai tanggung jawab kepada pegawainya seperti:
rasa aman, kesempatan yang sama dan perlakuan wajar. Di Indonesia,

hubungan antara perusahaan dan pegawai telah diatur di dalam


Undang-Undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003.
b. Bahkan ada beberapa perusahaan yang juga menerapkan Perjanjian
Kerja Bersama yang mengatur hak dan kewajiban perusahaan
terhadap pegawai maupun sebaliknya.
Selanjutnya perusahaan memahami keragaman dan mengintegrasikan
karyawan dengan berbagai latar belakang berbeda agar belajar bekerja bersama
guna mencapai tujuan bersama perusahaan seperti gender, keyakinan, pandangan
politik.
Pihak perusahaan juga harus menghapus akan adanya sebuah diskriminasi
karena meskipun saat ini semakin banyak kaum perempuan dan minoritas
memasuki lapangan kerja, namun mereka masih menghadapi masalah-masalah
yang menurut mereka bentuk-bentuk diskriminasi. Arti dasar dari istilah
diskriminasi adalah membedakan satu objek dari objek lainnya, suatu tindakan
yang secara moral adalah netral dan tidak dapat disalahkan. Akan tetapi , dalam
pengertian modern, istilah ini secara moral tidak netral karena biasanya mengacu
pada tindakan membedakan seseorang dari rang lain bukan berdasarkan
keunggulan yang dimiliki, namun berdasarkan prasangka atau berdasarkan sikapsikap yang secara moral tercela. Dengan pengertian tersebut, melakukan
diskriminasi tenaga kerja berarti membuat keputusan (atau serangkaian
keputusan) yang merugikan pegawai ( atau calon pegawai) yang merupakan
anggota kelompok tertentu karena adanya prasangka yang secara moral tidak
dibenarkan terhadap kelompok tersebut. Diskriminasi dalam ketenagakerjaan
melibatkan tiga elemen dasar. Pertama, keputusan yang merugikan seorang
pegawai atau lebih (atau calon pegawai) karena bukan didasarkan pada
kemampuan yang dimiliki, misalnya dalam melaksanakan pekerjaan tertentu,
senioritas, atau kualifikasi-kualifikasi yang secara moral dianggap sah lainnya.
Kedua, keputusan sepenuhnya (atau sebagian) diambil berdasarkan prasangka
rasial atau seksual, stereotipe yang salah, atau sikap lain yang secara moral tidak
benar terhadap anggota kelompok tertentu di mana pegawai tersebut berasal.
Ketiga, keputusan (atau serangkaian keputusan) yang memiliki pengaruh negatif
atau merugikan pada kepentingan-kepentingan pegawai, mungkin mengakibatkan

mereka kehilangan pekerjaan, kesempatan memperoleh kenaikan pangkat, atau


gaji yang lebih baik.
Untuk

mengetahui

apakah

suatu

Institusi/Organisasi,

Kita

dapat

melakukannya dengan melihat indikator statistik tentang bagaimana distribusi


anggota kelompok tersebut dalam institusi yang bersangkutan. Indikator pertama
diskriminasi muncul apabila terdapat proporsi yang tidak seimbang atas anggota
kelompok tertentu yang memegang jabatan yang kurang diminati dalam suatu
institusi tanpa mempertimbangkan preferensi ataupun kemampuan mereka. Ada
tiga perbandingan yang bisa membuktikan distribusi semacam itu:
a) Perbandingan atas keuntungan rata-rata yang diberikan institusi pada
kelompok yang terdiskriminasi dengan keuntungan rata-rata yang
diberikan pada kelompok lain.
b) Perbandingan atas proporsi kelompok terdiskriminasi yang terdapat dalam
tingkat pekerjaan paling rendah dengan proporsi kelompok lain dalam
tingkat yang sama; dan
c) Perbandingan proporsi dari anggota kelompok tersebut yang memegang
jabatan lebih menguntungkan dengan proporsi kelompok lain dalam
jabatan yang sama.
Ada beberapa Argumen yang menentang diskrimansi secara umum yang
dapat dibagi menjadi tiga kelompok :
a) Argumen utilitarian, yang menyatakan bahwa dikskriminasi mengarahkan
pada penggunaan SDM secara tidak efisien. Argumen ini menggagaskan
bahwa produktivitas masyarakat akan optimal jika pekerjaan diberikan
dengan berdasarkan kompetensi. Diskriminasi terhadap para pencari kerja
berdasarkan ras, jenis kelamin, agama, atau karakteristik-karakteristik lain
yang tidak berkaitan dengan pekerjaan adalah tidak efisien dan
bertentangan dengan prinsip-prinsip utilitarian.
b) Argumen Hak, yang menyatakan bahwa diskriminasi melanggar HAM.
Teori Kant, misalnya menyatakan bahwa manusia haruslah diperlakukan
sebagai tujuan dan tidak boleh hanya sebagai sarana. Setidaknya, prinsip
ini berarti masing-masing individu memiliki hak moral untuk diperlakukan
sebagai seorang yang merdeka dan sejajar dengan semua orang lain, dan
bahwa semua individu memiliki kewajiban moral korelatif untuk

memperlakukan satu sama lain sebagai individu yang merdeka dan


sederajat.
c) Argumen Keadilan, yang menyatakan bahwa diskriminasi mengakibatkan
munculnya perbedaan distribusi keuntungan dan beban dalam masyarakat.
Menurut John Rawls ..... Diskriminasi melanggar prinsip ini dengan cara
menutup kesempatan bagi kaum minoritas untuk menduduki posisi-posisi
tertentu dalam sebuah lembaga sehingga otomatis berarti mereka tidak
memperoleh kesempatan yang sama dengan orang lain. Dan hilangnya
kesempatan untuk bersaing untuk memperoleh pekerjaan tertentu adalah
tidak adil.
Selanjutnya perusahaan dapat Melakukan tindakan afirmativ (affirmative
action) yaitu, sekelompok tindakan yang dimaksudkan untuk meningkatkan
peluang bagi kaum minoritas dan wanita.
Tindakan Afirmatif merupakan usaha untuk mengembangkan suatu
pendekatan sistematis untuk membuka pintu bidang pendidikan, ketenagakerjaan,
dan pengembangan peluang bisnis bagi individu-individu yang berpotensi dan
kebetulan menjadi anggota kelompok-kelompok yang telah lama mengalami
diskriminasi.
Tujuan tindakan afirmatif adalah untuk memberikan suatu cara bagi negara
kita guna mengatasi diskriminasi gender dan ras agar semua orang memperoleh
kesempatan yang sama untuk mengembangkan, melaksanakan, mencapai dan
memberikan sumbangan.
Untuk menghapus pengaruh-pengaruh diskriminasi masa lalu, banyak
perusahaan yang melaksanakan program-program tindakan afirmatif yang
dimaksudkan untuk mencapai distribusi yang lebih representatif dalam perusahaan
dengan memberikan preferensi pada kaum permpuan dan kelompok minoritas.
Ada beberapa penerapan tindakan afirmatif dan penanganan keberagaman,
yaitu:
1. Kelompok

minoritas

dan

bukan

minoritas

wajib

direkrut

atau

dipromosikan hanya jika mereka telah mencapai tingkat kompetensi


minimum atau mampu mencapai tingkat tersebut dalam jangka wkatu yang
telah ditetapkan.

2. Jika kualifikasi calon dari kelompok minoritas hanya sedikit lebih rendah
(atau sama atau lebih tinggi) dibandingkan yang bukan dari kelompok
minoritas, maka calon tersebut harus lebih diutamakan.
3. Jika calon dari kelompok minoritas dan bukan minoritas sama sama
berkualifikasi atas suatu pekerjaan, namun calon dari kelompok bukan
minoritas jauh lebih berkualifikasi, maka:
a) Jika pelaksanaan pekerjaan tersebut berpengaruh langsung pada
kehidupan atau keselamatan orang lain (misalnya profesi dokter bedah
atau pilot) atau jika pelaksanaan pekerjaan tersebut memiliki pengaruh
penting pada efisiensi seluruh perusahaan (misalnya jabatan sebagai
kepala pengawas keuangan), maka calon dari kelompok bukan
minoritas yang jauh lebih berkualifikasi harus lebih diutamakan;
namun
b) Jika pekerjaan tersebut (seperti halnya sebagian besar pekerjaan
umum dalam perusahaan) tidak berkaitan langsung dengan aspek
keselamatan dan tidak memiliki pengaruh penting pada efisiensi
perusahaan, maka calon dari kelompok minoritas harus lebih
diutamakan.
4. Preferensi juga harus diberikan pada calon dari kelompok minoritas hanya
jika jumlah pegawai minoritas dalam berbagai tingkat jabatan dalam
perusahaan tidak proporsional dengan ketersediaan dalam populasi.
Untuk itulah perusahaan juga seharusnya menerapkan kebijakan Peluang
Bekerja yang sama karena dilatarbelakangi oleh prinsip bahwa manusia di dunia
ini sama kedudukan dan derajatnya di mata Tuhan Yang Maha Esa. Dengan
demikian, diskriminasi dalam kesukaan, warna kulit, agama, jenis kelamin, suku
bangsa, usia, kondisi fisik dan mental harus dihapus dan dilarang untuk
dipergunakan dalam seluruh praktik ketenagakerjaan, mulai dari tahap rekrutmen
hingga pengangkatan dan kompensasi. Pemerintah AS sendiri secara tegas
menyatakan bahwa baik perempuan maupun laki-laki harus menerima upah yang
sama dari pekerjaan yanga sama tingkatannya, dan perusahaan tidak boleh
mendiskriminasi perempuan pekerja yang sedang hamil. Untuk memastikan
bahwa tidak ada lagi praktik diskriminasi di tempat kerja, pemerintah AS telah
membentuk Equal Employment Oppurtunity Commission (EEOC) pada tahun

10

1964. Komisi ini diberi wewenang penuh oleh pemerintah AS untuk menjatuhkan
sanksi tegas bagi perusahaan-perusahaan yang melanggarnya.
Pihak perusahaan juga memberikan dan menginformasikan tentang hak-hak
dari karyawan menurut Sonny Keraf (1988) terdiri atas :
1. Hak atas pekerjaan yang layak. Manusia akan merasa memiliki jati diri
seutuhnya apabila dirinya bekerja. Selain itu, seseorang bekerja untuk
memperoleh uang yang akan dipergunakannya untuk membangun
hidupnya lebih layak.
2. Hak atas upah yang adil. Seseorang yang bekerja pada sebuah perusahaan
wajib dibayar upahnya sesuai dengan kontribusinya, berdasarkan
kebijakan tingkat upah minimum. Dengan demikian, perusahaan dilarang
melakukan tindakan diskriminatif dalam pemberian upah kepada semua
karyawannya.
3. Hak untuk berseikat dan berkumpul. Karyawan dijamin haknya untuk
membentuk serikat pekerja dengan tujuan memperjuangkan hak dan
kepentingan semua anggota mereka, termasuk hak atas upah yang adil.
4. Hak atas perlindungan keamanan dan kesehatan. Lingkungan kerja dalam
industri modern yang penuh dengan risiko tinggi mengharuskan adanya
jaminan perlindungan atas keamanan, keselamatan, dan kesehatan bagi
karyawan. Oleh karena itu, sudah pada tempatnya karyawan diasuransikan
melalui asuransi kecelakaan dan kesehatan. Di beberapa negara industri
maju, hal ini telah menjadi ketentuan umum yang berlaku secara nasional.
5. Hak untuk diproses hukum secara sah. Hak ini berlaku pada saat seorang
karyawan dituduh dan diancam dengan hukuman tertentu karena diduga
melakukan pelanggaran atau kesalahan tertentu. secara legal maupun
moral, perusahaan tidak boleh menindak seorang karyawan secara sepihak
tanpa ada penjelasan atau pembelaan dari karyawan tertuduh.
6. Hak untuk diperlakukan secara adil dan sejajar. Perusahaan tidak boleh
melakukan diskriminasi karena alasan warna kulit, jenis kelamin, etnis,
agama, dan sebagainya. Perbedaan dalam peluang dan gaji diperkenankana
apabila disertai pertimbangan yang rasioanal, obyektif, dan dapat
dipertanggungjawabkan secara terbuka.

11

7. Hak atas rahasia pribadi. Perusahaan harus menerima kenyataan bahwa


ada hal-hal tertentu yang tetap harus dirahasiakan karyawan, misal
keyakinan religius, riwayt penyakit, masalah keluarga, dan sebagainya.
8. Hak atas kebebasan suara hati. Setiap karyawan dibebaskan untuk
menuruti suara hatinya. Oleh karena itu karyawan tidak boleh dipaksa
untuk melakukan tindakan tercela atau menutupi tindakan tidak terpuji
yang dilakukan perusahaan.
Hak-hak karyawan tersebut sebagai suatu prinsip dasar dari terbangunnya
hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan. Hubungan kerja adalah:
a. Hubungan kerja merupakan aspek penting dalam kaitannya dengan
ketenaga kerjaan.
b. Hubungan kerja yang meliputi semua pihak yang terkait dalam proses
produksi/jasa disuatu organisasi/perusahaan.
c. Hubungan ini haruslah meliputi perkerja dan pengusahan serta pemerintah
sebagai regulator
Hakikat dari hubungan kerja selain membangun prinsip dasar kerja dapat
dimaknai pihak perusahaan dan pihak karyawan telah membangun rasa saling
percaya dan kerja sama untuk merealisasikan visi dan misi serta tujuan, sasaran
perusahaan. Hakikat tersebut merupakan implementasi dalam melaksanakan kerja
yang berupa:
a. Kondisi yang memastikan bahwa semua hak dan kewajiban masingmasing pihak jelas dan terjamin dan dilaksanakan semua pihak.
b. Perselisahan diselesaikan secara internal antara pekerja dan pengusaha
(bipartit).
c. Mogok dan penutupan perusahaan tidak perlu dilaksanakan untuk
memaksa kehendak.
Dasar-dasar dari hubungan kerja itu juga dibangun dari norma-norma
perusahaan serta perundangan-undangan yang berlaku dari pemerintah atau suatu
negara untuk Indonesia ada undangan yang telah mengatur.
a) Norma yang luas atau secara Makro: aturan yang bersifat umum yang
mengikat seluruh perusahaan dimana saja betempat (UU Ketenaga kerjaan;
No13 tahun 2003 danlain-lain).

12

b) Norma secara mikro; aturan yang bersifat rinci didalam perusahaan


tersebut, antara lain tata kelola perusahaan, budaya kerja, Visi misi.
Pihak Perusahaan yang telah memberikan pekerja selain memberikan
informasi tentang hak-hak karyawan dalam berkerja. Pihak perusahaan
berkewajiban untuk melindungi karyawan dari kecelakaan kerja dan bahaya yang
ditimbulkan didalam pekerjaan yaitu kesehatan dan keselamatan kerja atau K3.
Pengertian dari kesehatan dan keselamatan kerjaa yaitu; Suatu upaya untuk
menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja
pada khususnya dan manusia pada umumnya hasil karya dan budaya menuju
masyarakat adil dan makmur. Secara ke ilmuan; K3 adalah suatu ilmu
pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya
kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Pengertian tersebut diatas K3 didalam perusahaan sudah menjadi bagian yang
tidak terpisahkan didalam tempat kerja yang harus dipenuhi oleh pihak perusahan
adapun tujuan dan sasaran adanya kesehatan dan keselamatan kerja tersebut yaitu:
a)
b)
c)
d)

Menurunnya tingkat turnover pekerja


Menciptakan kondisi kerja yang baik
Mengurangi tingkat absensi
Meningkatnya produktivitas

Bagi perusahaan tidak menerapkan kesehatan dan keselamatan kerja


berdampak dari keberkelanjutan bisnisnya :
a)
b)
c)
d)

Meningkatnya angka kecelakaan.


Terganggunya proses operasional perusahaan
Mengurangi output Produksi
Terciptanya hubunggan industrial yang buruk

Faktor penyebab kecelakaan didalam kerja yang perlu menjadi perhatian


perusahaan banyak disebabkan faktor lingkungan dan human error:
a)
b)
c)
d)
e)
f)

Faktor kondisi kerja yang tidak aman


Faktor perilaku kerja yang tidak aman
Bahan-bahan kimia yang berbahaya
Kebisingan dan getaran yang berlebihan
Suhu Udara ekstrim.
Ergonomis yang berkaitan dengan desain peralatan dan tempat kerja

Perusahaan agar tidak terjadi kecelakaan perlu meminimumkan penyebab


kecelakan yang berupa:
a) Meminimisasikan kondisi yang tidak aman

13

b)
c)
d)
e)
f)

Mengurangi perilaku kerja yang tidak aman.


Membuat aturan agar merubah sikap kerja yang tidak baik
Melakukan inpeksi dan motivasi secara terus menerus.
Melakukan pelatihan K3
Melakukan audit K3

Untuk mengurangi resiko dalam pekerjaan dan rendahnya akan kecelakaan


kerja di suatu perusahaan perlu menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
a) Melakukan control terhadap staf dan besaran resiko dengan melatih
karyawan serta mengadakan isolasi peralatan atau area kerja tertentu.
b) Mengawasi dan melakukan informasi terhadap karyawan tentang bahaya
yang dapat terjadi didalam pekerjaan.
c) Melakukan pemeriksaan secara terus menerus.
d) Menghilangkan bahaya dan menganti sistem kerja yang baik dan aman.
2.5 Penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Di Indonesia
Payung hukum Kesehatan dan Keselamatan Kerja di indonesia telah
dilindungi oleh Undang Di Indonesia, hubungan antara perusahaan dan pegawai
telah diatur di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003.
Selanjutnya

untuk

penjabaran

Undang-undang

tersebut

dikeluarkan

Ke

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia dengan No.05/


Men/1966. Telah mengatur tata kelola K3, namun perlu dilakukan informasi
Permen tersebut dengan cara:
a) Sosialisasi secara kontinyu dengan perusahaan
b) Ada kerja sama antara perusahaan, pekerja dan pemerintah pusat, atau
daerah
c) Peningkatan pengawasan dari instansi terkait (Depnaker)
d) Adanya SIM tenaga kerja yang handal
Memperlakukan karyawan berdasarkan keadilan dan kejujuran suatu langkah
awal terbangunnya kesama visi dan misi untuk mencapai tujuan dan sasaran di
dalam perusahaan. Selain itu dengan perlakukan yang adil akan membangun rasa
percaya karyawan dan keterlindungan karyawan sehingga karyawan merasa aman
dan merasakan ada kepastian masa depannya dalam berkarya untuk kepentingan
Perusahaan.
Keuntungan dan manfaat dari menerapkan rasa adil dan kejujuran dapat
membangun etika didalam organisasi atau perusahaan dan mendorong semangat,
gairah kerja karyawan sehingga adanya kepuasan kerja yang mendorong setiap

14

karyawan untuk berprestasi dalam melaksanakan perkerja. Lebih pentinglagi bagi


perusahaan adalah meningkatnya kinerja dan keberkelanjutan bisnis suatu
perusahaan
2.6 Penilaian Kinerja Karyawan
Penilaian kinerja (performance measurement) adalah proses dan kegiatan
sistematis untuk mengidentifikasi, mendukung, mengevluasi, meningkatkan, dan
memberikan imbalan atas segala upaya yang teleah dilakukan oleh karyawan
untuk perusahaan (Mathis & Jackson, 2002). Dalam korporosi modern, penilaian
kinerja karyawan berasal dari berbagai macam sumber. Dari sudut pandang etika
hal ini dinilai tepat mengingat adanya unsur subyektivitas dan keterbatasan
kemampuan manajer yang menilai performa karyawan. Dengan menggunakan
berbagai sumber penilaian, perusahaan dapat menentukan keputusan yang adil dan
tepat untuk kelangsungan pekerjaan dan karir karyawan.
Metode-Metode Penilaian Keja (Mathis & Jackson, 2002)
Metode Penilaian
Keunggulan
Atasan menilai
1. Sesuai dengan
bawahan
Bawahan menilai
atasan

Kelemahan
1. Subyektivitas tinggi

struktur organisasi

apabila ada konflik

formal

dengan bawahan

1. Membantu untuk

1. Kemungkinan adanya

memilih manajer

reaksi negatif dari

yang kompeten .

manajer.

2. Membantu

2. Rasa takut bawahan

pengembangan

mengalangi mereka

manajer.

untuk menilai secara

3. Membuat manajer

realistis.

lebih dekat dengan


Seseorang dinilai

bawahan.
1. Membantu memacu

oleh anggota tim

kinerja seseorang

negatif terhadap

atau rekan sejawat

yang rendah.

hubungan pribadi.

2. Peluang untuk
memperoleh penilaian

1. Dapat berdampak

2. Lebih sulit bagi


manajer untuk

15

yang jujur
3. Fokus penilaian
adalah sumbangan ke
tim dan prestasi tim.
Diri sendiri

1. Lebih mudah dan

menetukan tingkat
kinerja.
3. Dapat mengurangi
upaya untuk
mengembangkan tim.
1. Penilaian yang

cepat dalam

obyektif sulit

melakukan penialain.

diperoleh, sering
hanya untuk
memenuhi kewajiban.
2. Kemungkinan ada
rekayasa atau

Pihak luar

1. Obyektivitas lebih
tinggi karena berasal
dari tempat yang

Beragam (360
derajat)

berbeda.
1. Lebih obyektif karena

manipulasi.
1. Mahal.
2. Hasil penialian belum
tentu sesuai dengan
kebutuhan.
1. Mahal dan

dinilai dari banyak

memerlukan banyak

sumber.

waktu.

Hasil penelitian selanjutnya menjadi umpan balik bagi bagi perusahaan untuk
memutuskan alternatif promosi, transfer, atau penghentian kerja bagi karyawan
yang dinilai. Penilaian yang dialkaukan secara konsisiten ini, sesuai dengan misi
perubahan akan diannggap adil jika penilaian ini secara efektif mampu
mendokumentasikan seluruh kinerja yang telah dihasilkan oleh karyawan.

16

BAB III
STUDI KASUS DAN ANALISIS
STUDI KASUS I
LIPUTAN KHUSUS HARI BURUH
Kelam dan Gemilang, Kisah Lain Hidup Buruh Waria
Yohannie Linggasari, CNN Indonesia
Jumat, 01/05/2015 11:56 WIB
Browser anda tidak mendukung iFrame

Novi,seorang perempuan transgender yang kini bekerja di pabrik tekstil di


kawasan Cimahi saat ditemui CNN Indonesia. (Dok. Olivia Mayer)
Jakarta, CNN Indonesia -- Nama saya Novi, asli Garut. Usia saya 40 tahun
dan sekarang berdomisili di Cimahi, Jawa Barat. Sudah 22 tahun lamanya saya
bekerja sebagai buruh pabrik. Sekarang, saya bekerja di pabrik tekstil di kawasan
Cimahi.
Kisah saya berbeda dengan pengalaman buruh waria lainnya. Bisa dikatakan,
saya tidak merasakan diskriminasi di pabrik tempat saya bekerja. Semua orang
menerima kehadiran saya. Bahkan, atasan kerap memuji performa saya. Yang
namanya waria, bisa apa saja, begitu kata mereka. Di pabrik tekstil, saya jadi

17

tukang angkat yang berat-berat. Tangan kanan banyak bawaan, tangan kiri penuh
kain, tidak masalah. Saya bisa lakukan itu dengan sempurna. Atasan sering
ngomong, Tuh, liat, cari mah buruh yang kayak gini. Kalau dikatakan sayanya
yang terlalu positive thinking, ya bisa jadi. Namun, selama ini saya memang tidak
merasakan adanya diskriminasi di lingkungan pabrik. Gaji kami naik sesuai
dengan peraturan pemerintah. Sudah sesuai upah minimum provinsi (UMP).
Masyarakat sekitar juga sangat menerima kehadiran saya. Oya, saat ini saya
membuka usaha salon di tempat tinggal saya. Salon Novi, namanya. Sebentar lagi
jam 5 sore, akan ada banyak tetangga yang berkumpul di sini. Tuh lihat, sudah
ramai, bukan? Di pabrik, saya sekarang bukan hanya punya atasan, tetapi juga
bawahan. Maklum, sekarang saya menjabat kepala bagian. Kepada bawahan
maupun atasan, saya berusaha menunjukkan kerja yang bagus.
Sebagai waria, harus pintar menempatkan diri. Perilaku harus disesuaikan
dengan tempatnya. Beda dengan saat kontes atau nyalon. Kalau di pabrik, saya
berusaha dandan sewajar mungkin, sering kali tanpa riasan wajah. Waria harus
menyadari bahwa dirinya punya banyak kelebihan. Ya, seperti saya misalnya.
Saya buruh pabrik tetapi saya juga bisa merias pengantin serta punya keahlian
memotong rambut. Waria bisa diandalkan untuk pekerjaan yang berat, juga yang
ringan. Waria harus kuat dan selalu berpikir positif. Biarkan saja orang lain mau
ngomong apa, yang penting sebagai waria menguntungkan orang lain. Begitu saja
prinsipnya.
Itulah curahan hati Novi. Ia bercerita dengan riang kepada CNN Indonesia
saat ditemui di rumahnya, di kawasan Cimahi, Jawa Barat, pada Ahad pekan lalu.
Sembari menunggu pelanggan salon -pekerjaan selain buruh- di rumahnya yang
berada di sekitar rel kereta api, Novi mengobrol dengan antusias. Namun,
kemudian, ia mulai terbuka menceritakan kisah kelam yang pernah dihadapinya.
Kepada CNN Indonesia, ia mengaku gundah dengan perlakuan negatif beberapa
kalangan yang masih begitu membenci kaum waria. Ia pernah punya pengalaman
buruk dengan organisasi masyarakat yang mengatasnamakan agama.
Waktu itu saya sedang ke jalan-jalan untuk melakukan sosialisasi
pencegahan HIV/Aids. Mereka malah menanggapi kami dengan sangat negatif.
Saya langsung dikejar dan dikeroyok, kata Novi mengenang. Pengalaman itu

18

begitu mengerikan sampai membuat Novi meringis ketika menceritakannya. Ia


tidak habis pikir, mereka tega mengeroyok seseorang yang tengah melakukan
kebaikan. Novi pun masih ingat betul bahwa sempat ada pembiaran dari pihak
kepolisian. Ngeri, saya sampai loncat ke kali. Udah sampe semua badan babak
belur dipukulin. Mungkin waktu itu saya lagi apes aja. Tanggapan mereka kalau
lihat waria langsung jelek aja, tutur Novi bercerita.
Kejadian itu membuat Novi berpikir banyak dan mempertanyakan
ketidakadilan yang dialaminya. Mengapa saya diperlakukan begitu? Padahal
semua sama-sama manusia. Mengapa? kata Novi kemudian menghela napas. Ia
berharap tidak ada lagi perilaku main hakim sendiri di negeri ini. Jangan main
pukul. Lucunya, orang yang memukul saya itu malah dalam keadaan mabuk.
Namun dibiarkan begitu saja, katanya. Meski begitu, anak kedua dari lima
bersaudara ini mengaku tidak kapok menjalankan sosialiasi HIV Aids kepada
masyarakat. Ia menganggap itu semua adalah tantangan bagi kaum waria untuk
menunjukkan bahwa dirinya berharga dan bisa berkontribusi positif bagi
masyarakat. Ibaratnya seperti makan sambel. Pedes, tapi pingin makan lagi, dan
lagi. Ketagihan, katanya. Novi menaruh harapan besar kepada pemerintah agar
dapat memperlakukan waria secara layak, tanpa diskriminasi. Ia berharap
kesempatan kerja bagi waria juga dibuka selebar-lebarnya. Supaya rekan kita
yang masih bekerja sebagai pekerja seks komersial bisa mengurangi kebiasaan
itu, katanya. Kini, Novi mempekerjakan dua orang di salonnya. Ia pun telah
sepenuhnya diterima oleh keluarga dan masyarakat sekitar. Waria harus
menunjukkan ke masyarakat bahwa waria itu mampu, katanya.
Jam dinding telah menunjukkan pukul 17.30 WIB. Rumah Novi kian ramai.
Beberapa pemuda bermain gitar dan bernyanyi di depan salonnya. Beberapa
remaja perempuan tampak menunggu di kursi salon, menunggu pelayanan Novi.
Dengan senyum tersungging, Novi menyapa tetangganya yang bertandang. Novi
menjalani hidup selayaknya manusia biasa. Karena waria sama seperti manusia
lainnya. Hari ini adalah hari buruh internasional. Namun hingga saat ini, belum
ada hitungan pasti seberapa besar komunitas lesbian, gay, biseksual dan
transgender (LGBT). Sebab masih banyak yang belum bersedia membuka diri
soal ini. Lembaga Buruh Internasional (ILO) bersama dengan Pusat Studi

19

Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada melakukan penelitian


tentang persepsi anggota serikat buruh tentang pekerja LGBT (lesbian, biseksual,
gay, transgender). Judul penelitian ini adalah Gender Identity and Sexual
Orientation: Promoting Rights, Diversity and Equality in the World of Work
(PRIDE).
Riset ini menunjukkan bahwa pekerja LGBT masih kerap mendapatkan
diskriminasi. Ditemukan bahwa mereka sulit mengakses pekerjaan, terutama
pekerjaan di sektor formal, karena banyak pemberi kerja yang homophobic dan
karena lingkungan (pada umumnya) tidak ramah terhadap kaum LGBT.
Sementara, mereka yang berhasil mendapatkan pekerjaan juga kerap mengalami
perlakuan diskriminatif seperti dihina, dijauhi, dirisak, diancam, dan bahkan
mengalami kekerasan secara fisik.
Aktivis LGBT Dede Oetomo berpendapat transgender, terutama waria,
mengalami diskriminasi paling berat di antara semuanya. Ekspresi gender dan
orientasi seksual yang terlihat jelas membuat kehadiran mereka begitu menonjol
dan menjadi pusat perhatian. Dalam banyak kasus, waria paling kesulitan
mendapatkan pekerjaan dibandingkan lesbian, gay, biseksual, maupun priawan.
Maka tak jarang, waria kerap menjadi pekerja seks komersial karena keterbasan
pilihan pekerjaan tersebut.
STUDI KASUS II
LIPUTAN KHUSUS HARI BURUH
Cerita Hidup Felicia, Seorang Buruh Pabrik Waria
Yohannie Linggasari, CNN Indonesia
Jumat, 01/05/2015 08:55 WIB
Browser anda tidak mendukung iFrame

20

Felicia Sabrina, atau yang kerap disapa Mami Felicia, merupakan seorang
perempuan transgender yang kini aktif dalam LSM Srikandi Perintis, Cimahi.
(CNN Indonesia/ Yohannie Olivia Mayer)
Jakarta, CNN Indonesia -- Cimahi, Jawa Barat, 1 Mei 2015. Aku Felicia
Sabrina. Usiaku kini 31 tahun. Aku seorang transgender atau yang biasa disebut
orang kebanyakan: Waria (wanita pria). Aku pernah menjadi buruh. Dan ternyata
hidup menjadi seorang buruh tidaklah mudah, terlebih bagi waria sepertiku.
Diskriminasi datang bertubi, hingga berkali lipat mendera badan dan perasaan. Ini
kisahku, yang kuceritakan kepada CNN Indonesia pada akhir April lalu. Berharap
pemerintah peka dan sadar adanya orang sepertiku di balik-balik tembok pabrik,
tersebar di kawasan-kawasan industri di berbagai kota di Indonesia.
Sekitar 2007 selepas beberapa bulan mendapat gelar sarjana akuntansi dari
Universitas Brawijaya Malang, aku memulai bekerja sebagai buruh di sebuah
pabrik makanan bayi di kota kembang, Bandung. Kala itu, penampilanku belum
sefeminin sekarang. Mungkin istilahnya, semi-feminin hanya dengan pembasah
bibir dan maskara yang kupakai untuk memperindah mata. Aku masih bercelana
dengan rambut yang masih terpotong pendek. Belum seperti sekarang, di mana
aku telah berambut panjang dan mengenakan pakaian yang lebih terkesan feminin.

21

Di sebuah perusahaan ternama itu cerita trauma bermula. Aku tak sangka, akan
diperlakukan berbeda hanya karena menjadi satu-satunya waria di lingkungan
pekerjaan. Pengalaman itu menggores ingatan, hingga sekarang, hari di mana aku
pertama kali mau bercerita kepada media.
Pengalaman tak mengenakan itu datang dari seorang atasan. Suatu hari sekitar
medio 2007, dalam sebuah ruangan tertutup yang masih termasuk kawasan pabrik,
kami duduk hanya berdua. Kala itu, dengan penuh basa basi ia tiba-tiba
membahas soal aku dan pilihanku menjadi seorang waria. Namun selepas kalimat
tanya pertama yang belum sempat aku jawab, entah apa yang ada dipikirannya, ia
dengan sengaja mengeluarkan anggota tubuhnya, sembari berkata meski tak lagi
terang dalam ingatan, mungkin seperti ini yang waria mau.
Aku kaget bukan buatan, lantas berlari sejadi-jadi. Mungkin orang lain akan
berpikir bahwa semua waria suka diperlakukan begitu. Tetapi aku tidak. Bagiku,
itu pelecehan seksual. Apalagi, di lingkungan kerja dan dia adalah seorang atasan.
Sedih diperlakukan tak pantas oleh atasan, tak membuatku disayang banyak
teman. Tindakan diskriminatif tak jarang menderaku dari kawan sesama buruh.
Buruh laki-laki menjauhiku, menganggap aku bukanlah bagian dari mereka.
Kamu tidak sejenis dengan kami, begitu kata mereka kala itu. Pada akhirnya,
aku tidak tahan. Hanya tujuh bulan aku bekerja di pabrik itu. Aku keluar demi
mempertahankan jati diriku sebagai waria. Aku bisa lebih bebas, berdandan
seperti yang kumaui, bersolek sesuai jati diriku yang sesungguhnya, laiknya
seorang perempuan. Keluar dari pabrik, aku kemudian mencoba membuka salon.
Aku bersusah payah membuktikan ke masyarakat bahwa aku bisa memberikan
konttribusi yang positif dengan membuka salon. Namun, banyak pihak seperti
tidak melihat tujuanku. Kali ini, sebuah organisasi masyarakat yang mengaku
pembela Islam menyudutkanku. Mereka menuduhku membuka salon plus-plus.
Dibilangnya, aku menyediakan perempuan panggilan yang menjajakan seks.
Sungguh tega! Aku tidak terima! Namun, apa yang bisa kulakukan? Aku pun
pindah dari lingkungan itu. Sesungguhnya pendidikanku terhitung tinggi. Aku
sarjana jurusan akuntansi dari Universitas Brawijaya, Malang. Aku ingin punya
pekerjaan formal, kerja di kantor misalnya. Namun, aku sangat pesimis bisa
mendapatkannnya dengan jati diriku sebagai waria. Apalagi bila sudah banyak

22

mata memandang ketika aku melangkah masuk ke ruangan wawancara. Aku pun
mundur.
Hidup memang jadi jauh lebih sulit karena jalan hidup yang kupilih. Akan
tetapi, aku tidak bisa melepaskan jati diriku ini. Asal tahu saja, menjadi seorang
perempuan adalah perjuangan bagiku. Sudah begitu panjang proses yang aku
lalui. Terutama tantangan dari keluarga yang berlatar belakang keluarga tentara.
Sempat disangka sakit jiwa dan disarankan bertemu dokter jiwa, hingga akhirnya
menerimaku apa adanya.
Sekarang, aku membuka usaha kecil-kecilan di daerah Gado Bangkong,
Cimahi, Jawa Barat. Akhirnya setelah sekian lama, aku menemukan lingkungan
yang bisa menerimaku. Akhirnya masyarakat bisa melihat jerih payahku
membuktikan diri bahwa aku ini bisa berguna bagi masyarakat. Akhirnya, aku tak
lagi dipanggil banci, melainkan ibu. Selain fokus menjalankan usaha, kini aku
juga aktif berorganisasi di lembaga swadaya masyarakat Srikandi Perintis.
Srikandi Perintis bergerak di bidang pemberdayaan waria di Cimahi. Jaringannya
tersebar di Jawa Barat dengan anggota mencapai ribuan waria
Bagiku, Srikandi Perintis penting. Sebab dengan adanya Srikandi Perintis,
para waria yang berpendidikan rendah setidaknya bisa menerima pendidikan
nonformal. Setidaknya,jurang pendidikan yang waria sekarang ini alami bisa
dipersempit. Kami juga berikan pengetahuan soal HIV Aids agar mereka mengerti
dan sadar akan cara mencegahnya. Sudah beberapa kali kami melakukan
sosialisasi soal HIV Aids. Ke depannya, beribu tantangan masih menunggu kami.
Yang kupertanyakan, kenapa sih di Indonesia belum ada pemerataan gender? Di
Thailand misalnya, waria leluasa bekerja di kantor. Di Indonesia? Waria kerja di
kantor? Itu harapan yang terlampau muluk!
Menurutku, pemerintah sangat tidak mendukung LGBT, apalagi waria.
Padahal mimpi kami adalah, pemerintah membuat suatu undang-undang untuk
melindungi kami, kaum LGBT. Bukannya malah mengeluarkan pernyataan yang
mengecam kami. Hari ini adalah hari buruh internasional. Namun hingga saat ini,
belum ada hitungan pasti seberapa besar komunitas lesbian, gay, biseksual dan
transgender (LGBT). Sebab masih banyak yang belum bersedia membuka diri
soal ini. Lembaga Buruh Internasional (ILO) bersama dengan Pusat Studi

23

Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada melakukan penelitian


tentang persepsi anggota serikat buruh tentang pekerja LGBT (lesbian, biseksual,
gay, transgender). Judul penelitian ini adalah Gender Identity and Sexual
Orientation: Promoting Rights, Diversity and Equality in the World of Work
(PRIDE).
Riset ini menunjukkan bahwa pekerja LGBT masih kerap mendapatkan
diskriminasi. Ditemukan bahwa mereka sulit mengakses pekerjaan, terutama
pekerjaan di sektor formal, karena banyak pemberi kerja yang homophobic dan
karena lingkungan (pada umumnya) tidak ramah terhadap kaum LGBT.
Sementara, mereka yang berhasil mendapatkan pekerjaan juga kerap mengalami
perlakuan diskriminatif seperti dihina, dijauhi, dirisak, diancam, dan bahkan
mengalami kekerasan secara fisik.
Aktivis LGBT Dede Oetomo berpendapat transgender, terutama waria,
mengalami diskriminasi paling berat di antara semuanya. Ekspresi gender dan
orientasi seksual yang terlihat jelas membuat kehadiran mereka begitu menonjol
dan menjadi pusat perhatian. Dalam banyak kasus, waria paling kesulitan
mendapatkan pekerjaan dibandingkan lesbian, gay, biseksual, maupun priawan.
Maka tak jarang, waria kerap menjadi pekerja seks komersial karena keterbasan
pilihan pekerjaan tersebut.
HASIL ANALISIS
Dari dua kasus yang dipaparkan diatas sudah sangat jelas jika praktik
Diskriminasi di tempat kerja yang dialami para pekerja LGBT masih kerap kali
atau sering terjadi di dunia kerja. Namun demikian, mereka berusaha agar bisa
diterima masyarakat terutama di tempat kerjanya dan pada akhirnya sebagian
besar para pekerja LGBT ini dapat diterima walaupun masih banyak di luar sana
yang masih belum diterima secara penuh oleh lingkungan kerjanya bahkan
masyarakat disekitarnya. Dengan kesempatan kerja, meskipun Undang-Undang
Tenaga Kerja (No. 13/2003) secara tegas melarang diskriminasi dalam bentuk
apapun, namun dalam kenyataannya kelompok LGBT tetap menghadapi
diskriminasi. Kesulitan ini diperparah lagi karena undang-undang tidak secara
tegas menyebutkan tentang orientasi seksual dan/atau identitas gender sebagai

24

dasar diskriminasi yang dilarang. Dalam kasus diskriminasi, rasa malu dan takut
akan reaksi pihak keluarga merupakan dua alasan utama bagi kelompok LGBT
untuk tidak melaporkan kasus diskriminasi yang dialaminya kepada instansi
terkait, atau bahkan tidak bersedia mendokumentasikan kasusnya. Tidak ada
pernyataan tegas dari perusahaan swasta atau BUMN, baik yang mendukung atau
menentang dalam hal orientasi seksual dan identitas gender karyawan. Namun
terlihat ada ketakutan perusahaan akan "citra negatif" yang dapat timbul karena
orientasi seksual atau identitas gender seorang karyawan. Banyak
Pimpinan perusahaan yang kurang berwawasan atau berprasangka buruk,
mengkaitkan pria gay dan waria dengan HIV sehingga merasa dibenarkan untuk
melakukan diskriminasi terhadap mereka. Waria paling banyak mendapatkan
diskriminasi dalam mencari pekerjaan, terutama di sektor formal. Banyak kasus
diskriminasi dalam pekerjaan seperti mengajar, perbankan dan bahkan salon
penata rambut (kelas menengah ke atas) yang biasanya dianggap sebagai tempat
kerja yang aman bagi para waria. Hal ini juga dapat berlaku bagi pria gay yang
gender non-conforming. Diskriminasi semacam ini menjadi lebih rumit dengan
kenyataan bahwa banyak waria tidak lulus pendidikan umum atau kejuruan karena
berbagai alasan. Mereka mungkin putus sekolah karena merasa tidak tahan lagi
harus bersekolah sebagai anak laki-laki, atau karena mereka harus meninggalkan
keluarga sehingga tidak ada sumber biaya untuk melanjutkan sekolah. Di lain
pihak, masih banyakyang cenderung kurang yakin tentang diskriminasi yang
dilakukan terhadap pria transgender. Hal ini mungkin karena permasalahan pria
transgender masih relatif baru dalam lingkungan pergerakan LGBT.
Kelompok LGBT sangat menyarankan agar ada program-program yang telah
dipikirkan dengan matang dapat dilaksanakan oleh organisasi-organisasi LGBT
atau agar pemerintah menyediakan pendidikan dan latihan bagi kaum waria,
sehingga mereka memperoleh peluang mata pencaharian yang lebih baik.
Satu kendala teknis yang dihadapi para waria (dan pria transgender dengan
skala lebih terbatas) adalah kenyataan bahwa banyak di antara mereka tidak
memiliki KTP, karena mereka tidak lagi berhubungan dengan keluarga. Padahal
syarat pembuatan KTP adalah berdasarkan dokumen yang disebut Kartu Keluarga.
Bahkan bagi waria yang memiliki KTP, perbedaan antara gender yang tercantum

25

di KTP (laki-laki) dengan gender yang mereka ekspresikan (transgender atau


perempuan) seringkali oleh pemberi kerja dijadikan alasan untuk melakukan
diskriminasi terhadap mereka. Dalam pembahasan DPR dalam rangka penyusunan
rancangan UU Administrasi Kependudukan (No. 23/2006), beberapa anggota
DPR yang lebih berwawasan berusaha mengusulkan kategori gender ketiga, tetapi
mereka akhirnya tidak mendapatkan dukungan suara.
Kelompok LGBT tersebut juga menyarankan agar permasalahan gender
dalam hukum ini mendapatkan tanggapan serius dari organisasi-organisasi LGBT
dan pemerintah agar kaum transgender mendapatkan pengakuan hukum atas
gender alternatif mereka, dan karenanya mendapatkan perlindungan terhadap
pelanggaran hak asasi manusia. Wanita lesbian dan pria gay yang genderconforming tidak mengalami diskriminasi ditempat kerja, selama mereka tidak
mengungkapkan jati dirinya (come out). Namun peserta menyebutkan beban batin
yang mereka rasakan karena tidak terbuka serta kekhawatiran akan terbongkar
rahasianya. Dalam kasus pria gay atau wanita lesbian tidak diterima saat melamar
pekerjaan, maka orientasi seksual tidak pernah secara tegas disebutkan oleh calon
pemberi kerja sebagai alasan penolakan. Hal ini jadi menyulitkan upaya advokasi.
Dalam kasus mereka yang sudah bekerja dan saat terbongkar atau dicurigai
rahasia seksualitasnya serta kemudian dipecat, maka mereka biasanya sangat
enggan untuk mengupayakan penyelesaian kasusnya. Namun perlu dicatat, bahwa
ada juga beberapa kasus di mana orang LGBT berani bangkit dan menuntut hak
mereka untuk bekerja, serta menekan para majikan untuk tidak memecat mereka.
Selain kerugian pribadi karena adanya beban menutupi jati dirinya (being in
the closet), pada tingkat yang lebih struktural, dampak negatif dari homofobia
yang dialami instansi pemerintah serta dunia korporat berupa menurunnya
produktivitas, kurangnya loyalitas terhadap perusahaan serta arus keluar orang
pintar, juga perlu mendapatkan perhatian.
Setiap manusia memiliki hak yang melekat padanya, dan wajib dihormati,
dipenuhi, dan dilindungi oleh negara (Hak Asasi Manusia). Poin-poin HAM telah
tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal Hak Asasi
manusia, dan berbagi instrumen hukum lainnya. Namun, begitu banyak orang
yang ditindas dan dirampas haknya demi melanggengkan kekuasaan dan kekayaan

26

segelintir orang yang serakah. Fakta membuktikan bahwa LGBT dan buruh
mengalami penindasan yang kurang lebih sama. Beberapa hak LGBT dan buruh
yang sama-sama dirampas antara lain:
1. Hak atas Pekerjaan
Banyak dari LGBT yang mengalami kesulitan dalam mengakses pekerjaan
karena latar belakang pendidikan yang rendah. Belenggu kemiskinan
membuat rakyat tidak mampu mengakses pendidikan yang tinggi dan
berkualitas. Pada orang-orang LGBT, selain karena faktor ekonomi, tingkat
pendidikan rendah juga disebabkan oleh tingginya tingkat kekerasan dan
diskriminasi di sekolah yang berdampak pada penurunan performa belajar,
meninggalkan sekolah/DO, dan berpikir atau bahkan mencoba untuk bunuh
diri. Belenggu kemiskinan pada buruh dan diskriminasi pada LGBT juga
mempersulit keduanya dalam mengakses identitas kependudukan seperti akte
kelahiran dan KTP. Banyak sekali anak dari keluarga miskin kota tidak
memiliki akte kelahiran. Sementara LGBT, banyak yang kabur dari rumah
sehingga tidak lagi memiliki akses pada akte kelahirannya. Kawan-kawan
transgender, baik waria maupun transmen, dipersulit membuat KTP karena
identitas dan ekspresi gendernya. Padahal identitas kependudukan adalah
salah satu syarat utama saat melamar pekerjaan. Latar belakang pendidikan
rendah ditambah tidak adanya identitas kependudukan membuat pilihan
pekerjaan seseorang menjadi terbatas. Dan jika pilihan pekerjaan terbatas,
maka orang cenderung mengambil pekerjaan apapun yang ada meskipun
berupah rendah, tidak layak, dan tidak adil. Misalnya: menjadi buruh
outsourcing, bekerja di perusahaan yang menggunakan sistem penalti, bekerja
tanpa jaminan kesehatan atau jaminan sosial tenaga kerja, bekerja di sektor
informal, atau bahkan berakhir menganggur. Data 2015 menunjukkan bahwa
92,52% anggota Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO) bekerja di sektor
informal (pekerja seks, pengamen, wiraswasta, salon, freelance), sementara
1,36% tidak bekerja.
2. Hak untuk Bebas dari Diskriminasi
Sulitnya mendapatkan pekerjaan membuat perusahaan kemudian bersikap
seenaknya pada buruh. Diskriminasi ini tentu saja dialami juga oleh buruh

27

lesbian & biseksual perempuan. Sementara para buruh LGBT lainnya, harus
berhadapan dengan kekhawatiran akan dipecat ketika perusahaan mengetahui
orientasi seksual atau identitas gendernya. Laporan ILO tentang situasi LGBT
di tempat kerja menunjukkan bahwa LGBT menghadapi pelecehan dan
pengucilan sejak proses pencarian kerja (melamar, wawancara), hingga saat
sudah bekerja. Banyak dari kawan-kawan LGBT melaporkan penundaan
promosi jabatan atau pemecatan karena perusahaan/institusi mengetahui
identitas mereka. Tantangan serupa dialami juga oleh kawan-kawan difabel.
3. Hak atas Jaminan Sosial
Karena dianggap mengurangi keuntungan, banyak perusahaan yang tidak mau
bertanggung jawab untuk memenuhi jaminan sosial para buruh. Biaya
jaminan sosial seringkali ditanggungkan pada buruh, dengan cara memotong
upah mereka. Pada LGBT, tidak memiliki identitas kependudukan
membuatnya sulit mengakses jaminan sosial. Secara khusus pada transgender
perempuan (waria), negara bersedia memberikan jaminan sosial dengan
syarat waria harus dimasukkan dalam golongan PMKS (penyandang masalah
kesejahteraan sosial). Aturan ini kini meluas tidak hanya pada waria, tapi juga
pada LGBT yang lainnya. Penggolongan LGBT sebagai PMKS sendiri tidak
dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa LGBT merupakan bagian dari warga
negara yang tertindas. Penggolongan ini dilandaskan pada stigma bahwa
LGBT adalah penyakit.
4. Hak untuk Bebas dari Penangkapan Sewenang-wenang dan Pengasingan
Transgender perempuan (waria) yang memilih untuk bekerja di sektor
informal sangat rentan terhadap penangkapan sewenang-wenang. Sepanjang
tahun 2015 di D.I. Yogyakarta, setidaknya 21 waria ditangkap lalu ditahan
tanpa kejelasan di camp assessment berbasis Perda no. 1 tahun 2014 tentang
Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Perda Gepeng). Lima orang di
antaranya ditangkap meskipun tidak sedang melakukan aktivitas kerja.
Mereka hanya sedang berjalan atau membeli makan seperti warga negara
pada umumnya, dan ditangkap oleh Satpol PP karena stigma bahwa waria
adalah gelandangan yang mengganggu ketertiban. Kawan-kawan waria di
daerah lain juga mengalami penangkapan serupa, biasanya dengan landasan

28

perda ketertiban umum atau perda pelacuran. Situsi ini tidak lepas dari
penggolongan waria sebagai PMKS.
5. Hak atas Berserikat dan Berkumpul secara Damai
Untuk kasus LGBT, tentu masih segar di ingatan kita bahwa Pondok
Pesantren Waria dipaksa tutup oleh kelompok reaksioner Front Jihad Islam
dan warga serta aparatur pemerintah. Banyak organisasi LGBT dipersulit
administrasinya oleh notaris dan bank. Dan yang jelas kita rasakan secara
langsung adalah bagaimana kegiatan-kegiatan LGBT diancam, dilarang,
dibubarkan dan diserang oleh universitas, aparat penegak hukum, dan
kelompok reaksioner seperti FUI dan FPI.
6. Hak atas Standar Kehidupan yang Layak
Segala hal di atas juga menjadi bukti bahwa LGBT, telah dirampas haknya
atas standar kehidupan yang layak. Diskriminasi, ancaman, bahkan
kriminalisasi yang ditujukan LGBT adalah upaya untuk menutup mulut kita
semua. LGBT yang berperan sebagai buruh akhirnya dipaksa berhadapan
pada dua pilihan: dipecat dari pekerjaan, atau tetap bekerja dalam situasi yang
sama sekali tidak layak.
Perusahaan menyadari bahwa LGBT itu ada di perusahaan mereka. Akan
tetapi mereka memandang LGBT sebagai kelompok yang melenceng dari normanorma sosial yang ada. Pendekatan yang sering dipakai oleh perusahaan atau
organisasi buruh adalah kegiatan yang sifatnya siraman rohani, dengan harapan
para pekerja LGBT ini akan kembali ke jalan yang normal. Diskriminasi di
dunia kerja terhadap pekerja LGBT itu sangat bervariasi, mulai dari ketika mereka
masih mencari dan melamar pekerjaan hingga sudah bekerja. Iklan untuk mencari
pekerja sangat diskriminatif terhadap LGBT, misalnya, Dicari laki-laki dan
perempuan. Iklan seperti ini tidak memberi ruang bagi mereka yang berada di
luar oposisi biner laki-laki atau perempuan. Upaya mencari kerja di kalangan
LGBT juga diperberat dengan terbatasnya pendidikan banyak LGBT. Dalam
proses rekrutmen, terutama di bagian wawancara, pekerja LGBT harus
berhadapan dengan pewawancara. Dalam banyak kasus lamaran mereka ditolak
karena pewawancara bisa melihat penampilan mereka, tahu atau menduga bahwa
mereka gay, lesbian atau transgender. Bahkan disaat bekerja pun para karyawan

29

pada kelompok LGBT ini juga mendapat bentuk diskriminasi yang dirasakan
beragam. Misalnya, berupa komentar atau guyonan tentang LGBT. Misalnya:
Kalau enggak kemayu gimana? Ada pula yang tidak mau duduk berdekatan
dengan pekerja LGBT dalam pertemuan di kantor, bahkan tidak mau diajak
salaman. Ditemukan pula bullying oleh kolega yang juga LGBT. Karena lapangan
kerja untuk LGBT relatif terbatas sehingga tidak jarang kehadiran sesama LGBT
membuat LGBT yang lain merasa terancam. Para LGBT juga mengalami
diskriminasi pada tahap evaluasi dan promosi. Pekerja yang diketahui atau dikenal
sebagai LGBT sulit memperoleh evaluasi yang positif dan promosi sekalipun
masa kerja mereka sudah cukup panjang. Pada intinya semua pekerja LGBT
merasa bahwa mereka berada di persimpangan antara menjadi diri sendiri atau
menjadi bagian dari arus utama yang ditandai oleh heteroseksualitas yang kental.
Mereka yang berpendidikan tinggi memiliki ruang yang lebih lebar untuk
menjadi diri sendiri, artinya mereka bisa terbuka tentang orientasi seksual atau
identitas gender mereka. Ini karena mereka mempunyai ketrampilan dan atau
pendidikan yang memungkinkan mereka untuk pindah pekerjaan ketika mereka
merasa bahwa lingkungan pekerjaan mereka tidak nyaman secara psikologis bagi
mereka. Sebaliknya, kaum LGBT dengan pendidikan dan keterampilan yang
rendah seringkali merasa bahwa satu-satunya cara untuk mempertahankan
pekerjaan mereka adalah dengan merahasiakan orientasi seksual atau identitas
gender mereka. Akan tetapi ketidakterbukaan mereka tentang orientasi seksual
atau identitas gender mereke membuat mereka merasa tertekan karena mereka
merasa tidak jujur kepada diri mereka sendiri.
Pemerintah juga belum melakukan perlindungan khusus atau signifikan
terhadap pekerja LGBT. Karena tidak ada perlindungan anti diskriminasi yang
spesifik, yang khusus menyebutkan perlindungan untuk LGBT. Di beberapa kota
di Filipina, sudah ada peraturan daerah yang secara khusus melindungi LGBT dan
sejauh ini tidak ada undang-undang di Indonesia yang memberikan perlindungan
bagi LGBT. Kecuali, di Undang-Undang Dasar 1945, yang itu pun sifatnya sangat
umum. Tidak ada undang-undang atau peraturan apapun di Indonesia yang
menyebutkan kata LGBT. Pemerintah juga belum secara resmi mengungkapkan
bahwa semua golongan, termasuk LGBTI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender,

30

dan Interseks) adalah warga yang harus dilindungi. Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia juga setengah-setengah kalau bicara soal LGBT. Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise juga belum
pernah secara resmi membicarakan hak-hak kaum lesbian. Kalau lembaga
nonpemerintah seperti Komisi Nasional (Komnas) HAM dan Komisi Nasional
Anti Kekerasan terhadap Perempuan, sudah terbuka membicarakan LGBT.
Mereka sudah bisa memberikan pernyataan dan program nyata. Begitulah kirakira perkembangan Indonesia sejauh ini.
Melihat tren yang maju di dunia, ketertinggalan Indonesia dibandingkan
negara lain adalah Indonesia tidak bisa menerima gender lain selain perempuan
dan laki laki. Padahal, Thailand saja sudah mengakui. Bahkan, Nepal,
Bangladesh, dan Pakistan sudah mengakui gender ketiga. Walaupun, tidak secara
langsung mengakui lesbian atau gay yang penting ada perlindungan dari
diskriminasi. Dan hal itu tidak ada di Indonesia. Misalnya kelompok LGBT
sedang buat acara lalu dibubarkan oleh sejumlah massa, itu tidak ada
perlindungan dari polisi. Sehingga Indonesia masih sangat terbelakang untuk
urusan kemerdekaan dan perlindungan LGBT. Indonesia juga belum terlalu
paham dengan konsep gender bahkan sangat minimal sekali kesadarnnya.
Masyarakat umum masih menganggap gender masih urusan perempuan.
Ada dua persoalan utama jika pemerintah akhirnya membuat kebijakan yang
lebih baik untuk kaum LGBT Pertama, mereka tidak mengerti isunya dan tidak
mengerti persoalannya. Dugaan lainnya, mereka pura pura tidak tahu. Pura-pura
tidak tahu kalau ada orang seperti LGBT. Namun, tidak bisa juga dibilang kalau
pemerintah anti LGBT. Kedua, pemerintah ragu-ragu untuk secara positif
membela LGBT. Contohnya, pemerintah yang sekarang kalau menerima delegasi
LGBT pasti secara informal. Tidak pernah mereka menerimanya secara formal.
Kalau dibandingkan, presiden Mongolia pernah menjamu makan delegasi LGBT
secara formal. Sementara, Indonesia belum pernah melakukan itu.
Sebenarnya pemerintah bisa melakukan perlindungan terhadap kaum LGBT
tapi orang Indonesia memiliki sifat dikit-dikit takut karena ketika dia masuk ke
dalam pemerintahan, dia tidak bisa bicara banyak. Padahal, sebelum masuk

31

pemerintahan, dia lebih bebas dan politik selalu berpikiran jika membela LGBT
itu akan mengakibatkan kerugian.
Perspektif Hukum di Indonesia mengenai LGBT
Pada dasarnya dalam konteks negara hukum Indonesia, kita harus menimbang
segala perilaku bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa dalam kacamata hukum.
Artinya, antarwarga negara dapat saja berbeda pendapat dalam suatu hal.
Namun, hal tersebut harus dikembalikan pada kajian hukum untuk
mendapatkan status yuridis-nya: apakah dapat dibenarkan ataukah tidak? Taat
pada norma hukum positif (norma hukum yang sedang berlaku) adalah suatu
konsesi

patriotisme

yang

paling

utama

sebagai

sendi-sendi

perilaku

konstitusionalis dalam bernegara. Sebab dari sanalah dapat disemai keadilan,


ketertiban umum, dan kepastian hukum.
Bertalian dengan hal tersebut, pada kenyataannya kajian hukum tidak hanya
tentang norma hukum positif tapi juga sejarah hukum dan politik hukum yang
berada dalam taraf pembangunan hukum, penegakan hukum, dan pengawasan
hukum. Hal ini diperpanjang dengan fakta adanya kekosongan hukum, interpretasi
hukum, norma hukum yang kabur, saling tumpang tindih atau bahkan saling
bertentangan. Sehingga, selalu ada ruang bagi gagasan atau perilaku apapun, baik
yang tidak masuk akal sekalipun, untuk terus eksis di kancah kajian atau pendapat
hukum. Inilah suatu logical plot yang dikenal dengan istilah democratic and
constitutional welfare state sebagai muatan glosarium ketatanegaraan Indonesia.
Oleh karenanya, bagi setiap warga negara Indonesia, isu Lesbian, Gay,
Biseksual, dan Transgender (LGBT) dalam konteks yang paling sederhana,
setidaknya dapat dipetakan dalam tiga taraf logis dengan menjawab serangkaian
pertanyaan. Pertama, apakah perilaku LGBT dapat dibenarkan? Kedua, apakah
konsesi norma hukum Indonesia menerima pelanggengan perilaku LGBT? Ketiga,
bagaimana secara aktif mengawal penegakan hukum tersebut?
Apakah Perilaku LGBT Dapat Dibenarkan?
LGBT saat ini lebih dari sekadar sebuah identitas, tetapi juga merupakan
campaign substance and cover atas pelanggengan Same Sex Attraction (SSA).

32

Perilaku LGBT dimulai dari suatu preferensi homoseksual, kemudian mewujud


dalam perbuatan homoseksual, lalu pada akhirnya melekat dalam bentuk
perjuangan untuk diterima sebagai perilaku normal dalam membentuk institusi
keluarga.
Preferensi homoseksual itu hadir dalam keyakinan atas aktualisasi diri,
pemikiran berisi pembenaran preferensi tersebut, dan keinginan yang mendorong
untuk merealisasikannya. Perbuatan homoseksual itu mewujud dalam hubungan
interpersonal sesama homoseksual. Selanjutnya, pembentukan keluarga LGBT
adalah fase paling mutakhir dalam melanggengkan kedua perilaku yang lainnya,
baik preferensinya maupun perbuatannya sebagai homoseksual.
Perilaku LGBT pada gilirannya akan mendorong hadirnya pemahaman yang
menyimpang tentang seksualitas. Dikatakan menyimpang karena tidak dapat
menyatukan antara keinginannya dengan prinsip-prinsip dasar kehidupan,
sehingga terjadi gangguan keberfungsian sosial. Faktanya, tidak ada satu pun
agama, nilai kemanusiaan, atau nilai kemanfaatan manapun yang membenarkan
perilaku demikian.
Barangkali satu-satunya dasar pemikiran yang membenarikan ialah falsafah
etis hedonisme yang tidak rampung. Aristippus sebagai tokoh falsafah hedonisme
dan murid Socrates menyebutkan bahwa yang terpenting dalam hidup manusia
adalah kesenangan. Namun, apabila kita melihat seluruh catatan filsafat Barat
tentang filsafat hedonisme, tidak ada yang menyebutkan bahwa kesenangan yang
dimaksud itu adalah hal yang secara langsung diingini oleh hasrat yang fana.
Seluruhnya mengarahkan pada pemikiran untuk mencapai kesenangan yang
hakiki dimana berlaku pengendalian diri dan kesejatian insani.
Telah nyata bahwa wahyu Tuhan mengutuk perilaku homoseksual. Juga tidak
akan ada akal sehat yang membenarkannya. Pun tidak akan ada pandangan
berwawasan kebangsaan yang akan membelanya. Di luar itu, cuma akal dan
pandangan yang bertekuk lutut di bawah hasrat pemenangan diri sendiri atau
ketidaksadaran atas perusakan tatanan kemasyarakatan yang bermartabat saja
yang mungkin mendukungnya.

33

Apakah konsesi norma hukum di Indonesia menerima pelanggengan


perilaku LGBT?
Bangsa Indonesia ini, kata Soepomo, dibangun dalam suatu tatanan
integralistik. Artinya, kita adalah masyarakat organis. Setiap diri kita adalah
anggota dari rumpun keluarga-keluarga. Model kemanusiaan kita sebagai orang
Indonesia adalah pemuliaan generasi dengan jelasnya garis keturunan yang
membentuk rumpun-rumpun kemasyarakatan. Inilah jati diri pertama dalam
bangunan hukum nasional pasca proklamasi kemerdekaan pada 1945.
Dalam merumuskan konsesi kehidupan bernegara, konstitusi kita tidak memuat
konteks berpikir sebagaimana dalam tertuang dalam konstitusi Amerika:
We the people of the United States, in order to form a more perfect union,
establish justice, insure domestic tranquility, provide for the common defense,
promote the general welfare, and secure the blessings of liberty to ourselves and
our posterity, do ordain and establish this Constitution for the United States of
America.
Konstitusi

kita

juga

bukan

seperti

Preamble

UN

Charter:

WE THE PEOPLE OF THE UNITED NATIONS DETERMINED to reaffirm


faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person,
in the equal rights of men and women and of nations large and small, and
to establish conditions under which justice and respect for the obligations arising
from treaties and other sources of international law can be maintaine
Sebaliknya, pembukaan konstitusi kita memuat dengan konteks berpikir yang
berbeda: Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar. Kita memiliki worldview
sebagai bangsa, antara anak dan orangtua, guru dan murid, istri dan suami, kakek
dan nenek, sepupu, paman dan bibi, saudara, dan tetangga. Bangsa ini adalah
bagian dari keutuhan diri kita sendiri. Kita memiliki worldview sebagai kesatuan
masyarakat organis yang meraih pencerdasan, bukan sekedar meraih pemenangan

34

pribadi-pribadi. Oleh karenanya, istilah hak asasi sebagaimana dimaksudkan


dalam terminologi Barat, tidak pernah masuk dalam alternatif luaran diskusi para
founding fathers. Cara berpikir kita dalam menghargai setiap generasi adalah
dengan memposisikan jati diri pada tempatnya, yakni bak seorang anak yang
mendapatkan tempat tumbuh kembang yang baik. Cara berpikir kita bukan seperti
dalam mukadimah Piagam PBB yang memberikan apa-apa yang diingini setiap
orang per orang. Hal semacam itu hanya akan membawa pada kemunduran
generasi,

karena

kebanyakan

keinginan

hanya

berisi

kerakusan

yang

menghancurkan. Oleh karenanya, perilaku seksual adalah hal yang diatur secara
ketat dalam suatu ikatan perkawinan. Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974
merumuskannya sebagai: Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa Perilaku seksual hanya diwadahi dalam perkawinan
yang merupakan ikatan lahir batin yang bertujuan membentuk keluarga
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia bukan sekedar catatan sipil, tapi lebih
dari itu adalah pengurusan sebuah tatanan kemasyarakatan. Sebab, satu-satunya
nilai kemanusiaan dari perilaku seksual adalah pemeliharaan generasi. Perilaku
seksual tidak boleh dilakukan di luar konsesi ini, sebagaimana halnya pelatihan
militer tidak boleh dilakukan di luar tujuan mempertahankan kedaulatan negara.
Jadi, secara terang, pelanggengan perilaku LGBT sebagaimana halnya
pemerkosaan, perzinahan/ perselingkuhan, dan seks bebas samasekali tidak
mendapat tempat dalam payung hukum Indonesia. Kesemuanya itu bukan hanya
jahat kepada satu atau dua orang, tetapi juga kejahatan bagi pemuliaan generasi.
Perilaku tersebut secara jelas menghilangkan satu-satunya nilai kemanusiaan dari
perilaku seksual yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa.
Bagaimana Secara Aktif Mengawal Penegakan Hukum Tersebut?
Permasalahan melebar ketika perilaku LGBT dihubungkan dengan hak-hak
lainnya sebagaimana rilis yang dimuat Komnas HAM pada 4 Februari 2016.
Secara mutakhir, rilis Komnas HAM tersebut merujuk pada Prinsip-Prinsip
Yogyakarta (The Yogyakarta Principles) Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Sosial
No. 8 Tahun 2012 tentang Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah

35

Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (Permen


8/2012). Dengan alasan pembelaan atas hak berkumpul dan hak atas rasa aman
kaum LGBT, Komnas HAM melayangkan teguran kepada para pejabat negara
yang dianggap memberikan pernyataan naif.
Mengutip Permen 8/2012, Komnas HAM beranggapan bahwa LGBT adalah
komunitas yang diakui oleh negara. Mungkin, Komnas HAM lupa bahwa konteks
Permen 8/2012 bukan dalam preferensi pembelaan tapi perlindungan.

Tidak

seperti Komnas HAM dalam rilisnya, Permen 8/2012 samasekali tidak memuat
norma yang membenarkan perilaku LGBT. Poin paling penting ialah bahwa
Permen 8/2012 diperuntukkan bagi operasional pendataan dan pengelolaan data
penyandang masalah sosial. Bahkan, terhadap poin 14 lampiran Permen 8/2012
yang dikutip, Komnas HAM alpa untuk menunjukkan bahwa di dalamnya
terdapat muatan bahwa gay, waria, dan lesbian adalah kelompok dengan gangguan
keberfungsian sosial yang memiliki kriteria: a. gangguan keberfungsian sosial, b.
diskriminasi, c. Marginalisasi, dan d. berperilaku seks menyimpang.
Sementara itu, Prinsip-prinsip Yogyakarta adalah rumusan pandangan
(sumber doktrinal) yang samasekali tidak diadopsi dalam hukum nasional. Tidak
sepantasnya Komnas HAM sebagai lembaga negara menegakkan pendapatpendapat yang belum diterima secara positif oleh pejabat pembuat perundangundangan yang berwenang. Terlebih lagi apabila pendapat tersebut bertentangan
dengan substansi konstitusi dan falsafah kebangsaan Indonesia.

36

BAB IV
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Perilaku karyawan didalam suatu organisasi sangat ditentukan oleh latar
belakang karyawan tersebut. Sedangkan, latar belakang karyawan dipengaruhi
oleh lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal adalah keluarga dan
lingkungan kelompok (Familiy) sedangkan lingkungan eksternal adalah sekolah
dan tempat pendidikan non formal lainnya. Permasalahan yang muncul dalam
perusahaan disebabkan karyawan melanggar etika berdampak dari perusahaan
antara lain melakukan kecurangan dalam mengunakan fasilitas atau kecurangan
memberikan informasi terhadap atasan sehingga pimpinan membuat keputusan
terjadi kesalah dan merugikan perusahaan.
Perilaku karyawan yang paling berpengaruh membentuk sesorang itu awalnya
adalah lingkungan keluarganya terutama Ayah dan Ibunya serta lingkungan
keluargannya. Faktor lainnya yang membentuk berperilaku etis di tempat kerja di
dalam perusahaan yaitu: Faktor organisasi dan Faktor atasan. Peran penting
manajemen dalam membentuk etika di dalam tempat kerja memberikan rasa keadilan kepada pihak karyawan secara jujur dengan kejujuran dapat membangun
rasa percaya karyawan bahwa perusahaan tempat berkerja bertanggung jawab dan
telah memperlakukan karyawan sepatutnya. Pihak perusahaan juga memberikan
dan menginformasikan tentang hak-hak dari karyawan menurut Sonny Keraf
(1988) terdiri atas : Hak atas pekerjaan yang layak, Hak atas upah yang adil, Hak
untuk berseikat dan berkumpul, Hak atas perlindungan keamanan dan kesehatan,
Hak untuk diproses hukum secara sah, Hak untuk diperlakukan secara adil dan
sejajar, Hak atas rahasia pribadi, dan Hak atas kebebasan suara hati. Payung
hukum Kesehatan dan Keselamatan Kerja di indonesia telah dilindungi oleh
Undang Di Indonesia, hubungan antara perusahaan dan pegawai telah diatur di
dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003. Penilaian kinerja
(performance measurement) adalah proses dan kegiatan sistematis untuk
mengidentifikasi, mendukung, mengevluasi, meningkatkan, dan memberikan
imbalan atas segala upaya yang teleah dilakukan oleh karyawan untuk perusahaan
(Mathis & Jackson, 2002).

37

3.2 SARAN
Makalah ini masih jauh untuk dikatakan sempurna karena masih banyak
kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja.Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca guna memperbaiki
dan menyempurnakan penyusunan makalah ini agar menjadi lebih baik lagi
kedepannya.

38

DAFTAR PUSTAKA
Arijanto, Agus. 2011. Etika Bisnis bagi Pelaku Bisnis. Jakarta: Rajawali Pers.
CNN Indonesia. 2015. Pemerintah Dinilai Tak Dukung LGBT karena Enggan
Rugi,

(Online),

(http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150501160000-20-

50534/pemerintah-dinilai-tak-dukung-lgbt-karena-enggan-rugi),

diakses

04

September 2016.
Ernawan, Erni R. 2007. Business Ethics. Bandung: Alfabeta.
Harahap, Sofyan S. 2011. Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam. Jakarta:
Salemba Empat.
Linggasari, Yohannie. 2015. Cerita Hidup Felicia, Seorang Buruh Pabrik
Waria, (Online), (http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150501085500-2050454/cerita-hidup-felicia-seorang-buruh-pabrik-waria), diakses 04 September
2016.
Linggasari, Yohannie. 2015. Kelam dan Gemilang, Kisah Lain Hidup Buruh
Waria, (Online), (http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150501115600-2050493/kelam-dan-gemilang-kisah-lain-hidup-buruh-waria), diakses 04 September
2016.
Linggasari, Yohannie. 2015. Survei UGM: Pemerintah Belum Lindungi
PekerjaLGBT,(Online), http://www.cnnindonesia.com/nasional/2015043021143520-50420/survei-ugm-pemerintah-belum-lindungi-pekerja-lgbt),

diakses

04

September 2016.
Muftisany, Hafidz. 2016. LGBT dalam Perspektif Hukum di Indonesia,
(Online),(http://www.republika.co.id/berita/jurnalismewarga/wacana/16/02/29/o3a5s0388-lgbt-dalam-perspektif-hukum-di-indonesia),
diakses 04 September 2016.
Pratama, Mario Prajna. 2016. LGBT dan Buruh: Saudara (Lama) dalam
Solidaritas, (Online), (http://www.plush.or.id/2016/05/lgbt-dan-buruh-saudaradalam-solidaritas.html), diakses 04 September 2016.
Sigit, Tri Hendro. 2012. Etika Bisnis Modern: Pendekatan Pemangku
Kepentingan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Undang Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.Usaid. 2014.
Hidup Sebagai Lgbt Di Asia: Laporan Nasional Indonesia.

39

Willy.2016. Etika Dalam Pekerjaan Dan Tanggung Jawab Perusahaan,


(Online),

(http://etikbisnis.blogspot.co.id/2016/01/etika-dalam-pekerjaan-dan-

tanggung-jawab.html), diakses 04 September 2016.


Willy.2016. Peran Manajemen dalam Etika Di Tempat Kerja, (Online),
(http://etikbisnis.blogspot.co.id/2016/01/peran-manajemen-dalam-etika-ditempat.html), diakses 25 September 2016.
Willy.2016. Perilaku Karyawan Didalam Suatu Perusahaan, (Online),
(http://etikbisnis.blogspot.co.id/2016/01/perilaku-karyawan-didalam-suatu.html),
diakses 25 September 2016.
Willy. 2016. Permasalahan Dalam Kerja Dan Perilaku Etis Dalam Berkerja,
(Online), (http://etikbisnis.blogspot.co.id/2016/01/permasalahan-dalam-kerja-danperilaku.html), diakses 25 September 2016.
Velasquez, Manuel G. Tanpa Tahun. ETIKA BISNIS KONSEP DAN KASUS
EDISI 5. Terjemahan ana purwaningsih, kurnianto dan totok budisantoso. 2005.
Yogyakarta: Andi.

40

Anda mungkin juga menyukai