MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Etika Bisnis dan Profesi
Yang dibina oleh Bapak Afwan Hariri, SE, M. Si
Oleh
Baref Bhaktias Banar
130412604576
140412605529
Firnas Sadidah
130412616353
140412604482
Iis Andriyani
140412605219
140412601130
Ismi Windayanti
140412603562
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat dan karuniaNya, kami dapat menyelesaikan Makalah dengan judul Etika dan Tanggung
Jawab Terhadap Karyawan ini dengan baik dan tepat waktu.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak di bawah ini yang
telah berperan serta dalam pembuatan makalah ini, yakni :
1. Bapak Afwan Hariri, SE, M. Si selaku pembina dalam mata kuliah Etika
Bisnis dan Profesi di Universitas Negeri Malang.
2. Orang tua yang senantiasa mendukung kami dalam proses pembuatan
makalah ini.
3. Pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan seluruhnya.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan di dalam
isinya dikarenakan kurangnya referensi yang digunakan. Oleh karena itu, Kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1
Latar Belakang..........................................................................................1
1.2
Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3
Tujuan........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................4
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
SIMPULAN.............................................................................................38
3.2
SARAN...................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................40
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Negara-negara yang mengatur sistem kapitalis/liberalisme, maka
keberadaan perusahaan dipahami adalah untuk mendapat keuntungan ekonomis.
Namun demikian, selain mempunyai tujuan untuk memperoleh keuntungan,
perusahaan-perusahaan ini juga dituntut untuk memenuhi tanggung jawab sosial
tertentu. Berbagai pendapat tentang kepentingan relatif antara profitabilitas dan
tanggung jawab sosial ini. Ada pihak yang mendukung pendapat bahwa
profitabilitas adalah tujuan utama dari perusahaan dan tanggung jawab sosial yang
harus ditanggung adalah hanya yang masuk dalam kerangka hukum yang terkait
dengan keberadaan perusahaan tersebut. Sedangkan pihak lainnya berpendapat
bahwa perusahaan tidaklah sekadar sebuah etentitas ekonomi, tetapi juga
merupakan suatu institusi sosial yang berada salam suatu ingkungan sosial, dan
membawa serta tanggung jawab sosial yang tinggi. Dalam pendapat ini, bahwa
perusahaan secara moral mempunyai tanggung jawab terhadap semua pihak
terutama pada karyawannya dan profitabilitas hanyalah sarana untuk melakukan
tanggung jawab tersebut.
Karyawan atau pegawai dalam suatu organisasi sangat menentukan untuk
berhasilnya tujuan dan sasaran organisasi. Dengan karyawan yang handal,
perusahaan dapat dengan tepat waktu menyelesaikan semua program kerja yang
telah ditentukan karena peran strategis karyawan didalam perusahaan sebagai
asset yang nyata maupun tidak nyata didalam suatu perusahaan. Selanjutnya
karyawan yang handal dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
suatu perusahaan.
Untuk itu pengelolaan karyawan sangat perlu dilakukan oleh suatu
perusahaan agar dalam menjalankan perkerjaan karyawan dapat bertanggung
jawab baik aspek sosial maupun aspek moral. Dalam aspek moral karyawan
didalam suatu perusahaan perlu mengedepankan nilai-nilai etika dalam tata laku
sesama karyawan sehingga terbina human relation didalam perusahaan tersebut.
Selain tata laku didalam perusahaan, karyawan juga dapat menerapkan etikanya
BAB II
PEMBAHASAN
mengetahui
apakah
suatu
Institusi/Organisasi,
Kita
dapat
minoritas
dan
bukan
minoritas
wajib
direkrut
atau
2. Jika kualifikasi calon dari kelompok minoritas hanya sedikit lebih rendah
(atau sama atau lebih tinggi) dibandingkan yang bukan dari kelompok
minoritas, maka calon tersebut harus lebih diutamakan.
3. Jika calon dari kelompok minoritas dan bukan minoritas sama sama
berkualifikasi atas suatu pekerjaan, namun calon dari kelompok bukan
minoritas jauh lebih berkualifikasi, maka:
a) Jika pelaksanaan pekerjaan tersebut berpengaruh langsung pada
kehidupan atau keselamatan orang lain (misalnya profesi dokter bedah
atau pilot) atau jika pelaksanaan pekerjaan tersebut memiliki pengaruh
penting pada efisiensi seluruh perusahaan (misalnya jabatan sebagai
kepala pengawas keuangan), maka calon dari kelompok bukan
minoritas yang jauh lebih berkualifikasi harus lebih diutamakan;
namun
b) Jika pekerjaan tersebut (seperti halnya sebagian besar pekerjaan
umum dalam perusahaan) tidak berkaitan langsung dengan aspek
keselamatan dan tidak memiliki pengaruh penting pada efisiensi
perusahaan, maka calon dari kelompok minoritas harus lebih
diutamakan.
4. Preferensi juga harus diberikan pada calon dari kelompok minoritas hanya
jika jumlah pegawai minoritas dalam berbagai tingkat jabatan dalam
perusahaan tidak proporsional dengan ketersediaan dalam populasi.
Untuk itulah perusahaan juga seharusnya menerapkan kebijakan Peluang
Bekerja yang sama karena dilatarbelakangi oleh prinsip bahwa manusia di dunia
ini sama kedudukan dan derajatnya di mata Tuhan Yang Maha Esa. Dengan
demikian, diskriminasi dalam kesukaan, warna kulit, agama, jenis kelamin, suku
bangsa, usia, kondisi fisik dan mental harus dihapus dan dilarang untuk
dipergunakan dalam seluruh praktik ketenagakerjaan, mulai dari tahap rekrutmen
hingga pengangkatan dan kompensasi. Pemerintah AS sendiri secara tegas
menyatakan bahwa baik perempuan maupun laki-laki harus menerima upah yang
sama dari pekerjaan yanga sama tingkatannya, dan perusahaan tidak boleh
mendiskriminasi perempuan pekerja yang sedang hamil. Untuk memastikan
bahwa tidak ada lagi praktik diskriminasi di tempat kerja, pemerintah AS telah
membentuk Equal Employment Oppurtunity Commission (EEOC) pada tahun
10
1964. Komisi ini diberi wewenang penuh oleh pemerintah AS untuk menjatuhkan
sanksi tegas bagi perusahaan-perusahaan yang melanggarnya.
Pihak perusahaan juga memberikan dan menginformasikan tentang hak-hak
dari karyawan menurut Sonny Keraf (1988) terdiri atas :
1. Hak atas pekerjaan yang layak. Manusia akan merasa memiliki jati diri
seutuhnya apabila dirinya bekerja. Selain itu, seseorang bekerja untuk
memperoleh uang yang akan dipergunakannya untuk membangun
hidupnya lebih layak.
2. Hak atas upah yang adil. Seseorang yang bekerja pada sebuah perusahaan
wajib dibayar upahnya sesuai dengan kontribusinya, berdasarkan
kebijakan tingkat upah minimum. Dengan demikian, perusahaan dilarang
melakukan tindakan diskriminatif dalam pemberian upah kepada semua
karyawannya.
3. Hak untuk berseikat dan berkumpul. Karyawan dijamin haknya untuk
membentuk serikat pekerja dengan tujuan memperjuangkan hak dan
kepentingan semua anggota mereka, termasuk hak atas upah yang adil.
4. Hak atas perlindungan keamanan dan kesehatan. Lingkungan kerja dalam
industri modern yang penuh dengan risiko tinggi mengharuskan adanya
jaminan perlindungan atas keamanan, keselamatan, dan kesehatan bagi
karyawan. Oleh karena itu, sudah pada tempatnya karyawan diasuransikan
melalui asuransi kecelakaan dan kesehatan. Di beberapa negara industri
maju, hal ini telah menjadi ketentuan umum yang berlaku secara nasional.
5. Hak untuk diproses hukum secara sah. Hak ini berlaku pada saat seorang
karyawan dituduh dan diancam dengan hukuman tertentu karena diduga
melakukan pelanggaran atau kesalahan tertentu. secara legal maupun
moral, perusahaan tidak boleh menindak seorang karyawan secara sepihak
tanpa ada penjelasan atau pembelaan dari karyawan tertuduh.
6. Hak untuk diperlakukan secara adil dan sejajar. Perusahaan tidak boleh
melakukan diskriminasi karena alasan warna kulit, jenis kelamin, etnis,
agama, dan sebagainya. Perbedaan dalam peluang dan gaji diperkenankana
apabila disertai pertimbangan yang rasioanal, obyektif, dan dapat
dipertanggungjawabkan secara terbuka.
11
12
13
b)
c)
d)
e)
f)
untuk
penjabaran
Undang-undang
tersebut
dikeluarkan
Ke
14
Kelemahan
1. Subyektivitas tinggi
struktur organisasi
formal
dengan bawahan
1. Membantu untuk
1. Kemungkinan adanya
memilih manajer
yang kompeten .
manajer.
2. Membantu
pengembangan
mengalangi mereka
manajer.
3. Membuat manajer
realistis.
bawahan.
1. Membantu memacu
kinerja seseorang
negatif terhadap
yang rendah.
hubungan pribadi.
2. Peluang untuk
memperoleh penilaian
1. Dapat berdampak
15
yang jujur
3. Fokus penilaian
adalah sumbangan ke
tim dan prestasi tim.
Diri sendiri
menetukan tingkat
kinerja.
3. Dapat mengurangi
upaya untuk
mengembangkan tim.
1. Penilaian yang
cepat dalam
obyektif sulit
melakukan penialain.
diperoleh, sering
hanya untuk
memenuhi kewajiban.
2. Kemungkinan ada
rekayasa atau
Pihak luar
1. Obyektivitas lebih
tinggi karena berasal
dari tempat yang
Beragam (360
derajat)
berbeda.
1. Lebih obyektif karena
manipulasi.
1. Mahal.
2. Hasil penialian belum
tentu sesuai dengan
kebutuhan.
1. Mahal dan
memerlukan banyak
sumber.
waktu.
Hasil penelitian selanjutnya menjadi umpan balik bagi bagi perusahaan untuk
memutuskan alternatif promosi, transfer, atau penghentian kerja bagi karyawan
yang dinilai. Penilaian yang dialkaukan secara konsisiten ini, sesuai dengan misi
perubahan akan diannggap adil jika penilaian ini secara efektif mampu
mendokumentasikan seluruh kinerja yang telah dihasilkan oleh karyawan.
16
BAB III
STUDI KASUS DAN ANALISIS
STUDI KASUS I
LIPUTAN KHUSUS HARI BURUH
Kelam dan Gemilang, Kisah Lain Hidup Buruh Waria
Yohannie Linggasari, CNN Indonesia
Jumat, 01/05/2015 11:56 WIB
Browser anda tidak mendukung iFrame
17
tukang angkat yang berat-berat. Tangan kanan banyak bawaan, tangan kiri penuh
kain, tidak masalah. Saya bisa lakukan itu dengan sempurna. Atasan sering
ngomong, Tuh, liat, cari mah buruh yang kayak gini. Kalau dikatakan sayanya
yang terlalu positive thinking, ya bisa jadi. Namun, selama ini saya memang tidak
merasakan adanya diskriminasi di lingkungan pabrik. Gaji kami naik sesuai
dengan peraturan pemerintah. Sudah sesuai upah minimum provinsi (UMP).
Masyarakat sekitar juga sangat menerima kehadiran saya. Oya, saat ini saya
membuka usaha salon di tempat tinggal saya. Salon Novi, namanya. Sebentar lagi
jam 5 sore, akan ada banyak tetangga yang berkumpul di sini. Tuh lihat, sudah
ramai, bukan? Di pabrik, saya sekarang bukan hanya punya atasan, tetapi juga
bawahan. Maklum, sekarang saya menjabat kepala bagian. Kepada bawahan
maupun atasan, saya berusaha menunjukkan kerja yang bagus.
Sebagai waria, harus pintar menempatkan diri. Perilaku harus disesuaikan
dengan tempatnya. Beda dengan saat kontes atau nyalon. Kalau di pabrik, saya
berusaha dandan sewajar mungkin, sering kali tanpa riasan wajah. Waria harus
menyadari bahwa dirinya punya banyak kelebihan. Ya, seperti saya misalnya.
Saya buruh pabrik tetapi saya juga bisa merias pengantin serta punya keahlian
memotong rambut. Waria bisa diandalkan untuk pekerjaan yang berat, juga yang
ringan. Waria harus kuat dan selalu berpikir positif. Biarkan saja orang lain mau
ngomong apa, yang penting sebagai waria menguntungkan orang lain. Begitu saja
prinsipnya.
Itulah curahan hati Novi. Ia bercerita dengan riang kepada CNN Indonesia
saat ditemui di rumahnya, di kawasan Cimahi, Jawa Barat, pada Ahad pekan lalu.
Sembari menunggu pelanggan salon -pekerjaan selain buruh- di rumahnya yang
berada di sekitar rel kereta api, Novi mengobrol dengan antusias. Namun,
kemudian, ia mulai terbuka menceritakan kisah kelam yang pernah dihadapinya.
Kepada CNN Indonesia, ia mengaku gundah dengan perlakuan negatif beberapa
kalangan yang masih begitu membenci kaum waria. Ia pernah punya pengalaman
buruk dengan organisasi masyarakat yang mengatasnamakan agama.
Waktu itu saya sedang ke jalan-jalan untuk melakukan sosialisasi
pencegahan HIV/Aids. Mereka malah menanggapi kami dengan sangat negatif.
Saya langsung dikejar dan dikeroyok, kata Novi mengenang. Pengalaman itu
18
19
20
Felicia Sabrina, atau yang kerap disapa Mami Felicia, merupakan seorang
perempuan transgender yang kini aktif dalam LSM Srikandi Perintis, Cimahi.
(CNN Indonesia/ Yohannie Olivia Mayer)
Jakarta, CNN Indonesia -- Cimahi, Jawa Barat, 1 Mei 2015. Aku Felicia
Sabrina. Usiaku kini 31 tahun. Aku seorang transgender atau yang biasa disebut
orang kebanyakan: Waria (wanita pria). Aku pernah menjadi buruh. Dan ternyata
hidup menjadi seorang buruh tidaklah mudah, terlebih bagi waria sepertiku.
Diskriminasi datang bertubi, hingga berkali lipat mendera badan dan perasaan. Ini
kisahku, yang kuceritakan kepada CNN Indonesia pada akhir April lalu. Berharap
pemerintah peka dan sadar adanya orang sepertiku di balik-balik tembok pabrik,
tersebar di kawasan-kawasan industri di berbagai kota di Indonesia.
Sekitar 2007 selepas beberapa bulan mendapat gelar sarjana akuntansi dari
Universitas Brawijaya Malang, aku memulai bekerja sebagai buruh di sebuah
pabrik makanan bayi di kota kembang, Bandung. Kala itu, penampilanku belum
sefeminin sekarang. Mungkin istilahnya, semi-feminin hanya dengan pembasah
bibir dan maskara yang kupakai untuk memperindah mata. Aku masih bercelana
dengan rambut yang masih terpotong pendek. Belum seperti sekarang, di mana
aku telah berambut panjang dan mengenakan pakaian yang lebih terkesan feminin.
21
Di sebuah perusahaan ternama itu cerita trauma bermula. Aku tak sangka, akan
diperlakukan berbeda hanya karena menjadi satu-satunya waria di lingkungan
pekerjaan. Pengalaman itu menggores ingatan, hingga sekarang, hari di mana aku
pertama kali mau bercerita kepada media.
Pengalaman tak mengenakan itu datang dari seorang atasan. Suatu hari sekitar
medio 2007, dalam sebuah ruangan tertutup yang masih termasuk kawasan pabrik,
kami duduk hanya berdua. Kala itu, dengan penuh basa basi ia tiba-tiba
membahas soal aku dan pilihanku menjadi seorang waria. Namun selepas kalimat
tanya pertama yang belum sempat aku jawab, entah apa yang ada dipikirannya, ia
dengan sengaja mengeluarkan anggota tubuhnya, sembari berkata meski tak lagi
terang dalam ingatan, mungkin seperti ini yang waria mau.
Aku kaget bukan buatan, lantas berlari sejadi-jadi. Mungkin orang lain akan
berpikir bahwa semua waria suka diperlakukan begitu. Tetapi aku tidak. Bagiku,
itu pelecehan seksual. Apalagi, di lingkungan kerja dan dia adalah seorang atasan.
Sedih diperlakukan tak pantas oleh atasan, tak membuatku disayang banyak
teman. Tindakan diskriminatif tak jarang menderaku dari kawan sesama buruh.
Buruh laki-laki menjauhiku, menganggap aku bukanlah bagian dari mereka.
Kamu tidak sejenis dengan kami, begitu kata mereka kala itu. Pada akhirnya,
aku tidak tahan. Hanya tujuh bulan aku bekerja di pabrik itu. Aku keluar demi
mempertahankan jati diriku sebagai waria. Aku bisa lebih bebas, berdandan
seperti yang kumaui, bersolek sesuai jati diriku yang sesungguhnya, laiknya
seorang perempuan. Keluar dari pabrik, aku kemudian mencoba membuka salon.
Aku bersusah payah membuktikan ke masyarakat bahwa aku bisa memberikan
konttribusi yang positif dengan membuka salon. Namun, banyak pihak seperti
tidak melihat tujuanku. Kali ini, sebuah organisasi masyarakat yang mengaku
pembela Islam menyudutkanku. Mereka menuduhku membuka salon plus-plus.
Dibilangnya, aku menyediakan perempuan panggilan yang menjajakan seks.
Sungguh tega! Aku tidak terima! Namun, apa yang bisa kulakukan? Aku pun
pindah dari lingkungan itu. Sesungguhnya pendidikanku terhitung tinggi. Aku
sarjana jurusan akuntansi dari Universitas Brawijaya, Malang. Aku ingin punya
pekerjaan formal, kerja di kantor misalnya. Namun, aku sangat pesimis bisa
mendapatkannnya dengan jati diriku sebagai waria. Apalagi bila sudah banyak
22
mata memandang ketika aku melangkah masuk ke ruangan wawancara. Aku pun
mundur.
Hidup memang jadi jauh lebih sulit karena jalan hidup yang kupilih. Akan
tetapi, aku tidak bisa melepaskan jati diriku ini. Asal tahu saja, menjadi seorang
perempuan adalah perjuangan bagiku. Sudah begitu panjang proses yang aku
lalui. Terutama tantangan dari keluarga yang berlatar belakang keluarga tentara.
Sempat disangka sakit jiwa dan disarankan bertemu dokter jiwa, hingga akhirnya
menerimaku apa adanya.
Sekarang, aku membuka usaha kecil-kecilan di daerah Gado Bangkong,
Cimahi, Jawa Barat. Akhirnya setelah sekian lama, aku menemukan lingkungan
yang bisa menerimaku. Akhirnya masyarakat bisa melihat jerih payahku
membuktikan diri bahwa aku ini bisa berguna bagi masyarakat. Akhirnya, aku tak
lagi dipanggil banci, melainkan ibu. Selain fokus menjalankan usaha, kini aku
juga aktif berorganisasi di lembaga swadaya masyarakat Srikandi Perintis.
Srikandi Perintis bergerak di bidang pemberdayaan waria di Cimahi. Jaringannya
tersebar di Jawa Barat dengan anggota mencapai ribuan waria
Bagiku, Srikandi Perintis penting. Sebab dengan adanya Srikandi Perintis,
para waria yang berpendidikan rendah setidaknya bisa menerima pendidikan
nonformal. Setidaknya,jurang pendidikan yang waria sekarang ini alami bisa
dipersempit. Kami juga berikan pengetahuan soal HIV Aids agar mereka mengerti
dan sadar akan cara mencegahnya. Sudah beberapa kali kami melakukan
sosialisasi soal HIV Aids. Ke depannya, beribu tantangan masih menunggu kami.
Yang kupertanyakan, kenapa sih di Indonesia belum ada pemerataan gender? Di
Thailand misalnya, waria leluasa bekerja di kantor. Di Indonesia? Waria kerja di
kantor? Itu harapan yang terlampau muluk!
Menurutku, pemerintah sangat tidak mendukung LGBT, apalagi waria.
Padahal mimpi kami adalah, pemerintah membuat suatu undang-undang untuk
melindungi kami, kaum LGBT. Bukannya malah mengeluarkan pernyataan yang
mengecam kami. Hari ini adalah hari buruh internasional. Namun hingga saat ini,
belum ada hitungan pasti seberapa besar komunitas lesbian, gay, biseksual dan
transgender (LGBT). Sebab masih banyak yang belum bersedia membuka diri
soal ini. Lembaga Buruh Internasional (ILO) bersama dengan Pusat Studi
23
24
dasar diskriminasi yang dilarang. Dalam kasus diskriminasi, rasa malu dan takut
akan reaksi pihak keluarga merupakan dua alasan utama bagi kelompok LGBT
untuk tidak melaporkan kasus diskriminasi yang dialaminya kepada instansi
terkait, atau bahkan tidak bersedia mendokumentasikan kasusnya. Tidak ada
pernyataan tegas dari perusahaan swasta atau BUMN, baik yang mendukung atau
menentang dalam hal orientasi seksual dan identitas gender karyawan. Namun
terlihat ada ketakutan perusahaan akan "citra negatif" yang dapat timbul karena
orientasi seksual atau identitas gender seorang karyawan. Banyak
Pimpinan perusahaan yang kurang berwawasan atau berprasangka buruk,
mengkaitkan pria gay dan waria dengan HIV sehingga merasa dibenarkan untuk
melakukan diskriminasi terhadap mereka. Waria paling banyak mendapatkan
diskriminasi dalam mencari pekerjaan, terutama di sektor formal. Banyak kasus
diskriminasi dalam pekerjaan seperti mengajar, perbankan dan bahkan salon
penata rambut (kelas menengah ke atas) yang biasanya dianggap sebagai tempat
kerja yang aman bagi para waria. Hal ini juga dapat berlaku bagi pria gay yang
gender non-conforming. Diskriminasi semacam ini menjadi lebih rumit dengan
kenyataan bahwa banyak waria tidak lulus pendidikan umum atau kejuruan karena
berbagai alasan. Mereka mungkin putus sekolah karena merasa tidak tahan lagi
harus bersekolah sebagai anak laki-laki, atau karena mereka harus meninggalkan
keluarga sehingga tidak ada sumber biaya untuk melanjutkan sekolah. Di lain
pihak, masih banyakyang cenderung kurang yakin tentang diskriminasi yang
dilakukan terhadap pria transgender. Hal ini mungkin karena permasalahan pria
transgender masih relatif baru dalam lingkungan pergerakan LGBT.
Kelompok LGBT sangat menyarankan agar ada program-program yang telah
dipikirkan dengan matang dapat dilaksanakan oleh organisasi-organisasi LGBT
atau agar pemerintah menyediakan pendidikan dan latihan bagi kaum waria,
sehingga mereka memperoleh peluang mata pencaharian yang lebih baik.
Satu kendala teknis yang dihadapi para waria (dan pria transgender dengan
skala lebih terbatas) adalah kenyataan bahwa banyak di antara mereka tidak
memiliki KTP, karena mereka tidak lagi berhubungan dengan keluarga. Padahal
syarat pembuatan KTP adalah berdasarkan dokumen yang disebut Kartu Keluarga.
Bahkan bagi waria yang memiliki KTP, perbedaan antara gender yang tercantum
25
26
segelintir orang yang serakah. Fakta membuktikan bahwa LGBT dan buruh
mengalami penindasan yang kurang lebih sama. Beberapa hak LGBT dan buruh
yang sama-sama dirampas antara lain:
1. Hak atas Pekerjaan
Banyak dari LGBT yang mengalami kesulitan dalam mengakses pekerjaan
karena latar belakang pendidikan yang rendah. Belenggu kemiskinan
membuat rakyat tidak mampu mengakses pendidikan yang tinggi dan
berkualitas. Pada orang-orang LGBT, selain karena faktor ekonomi, tingkat
pendidikan rendah juga disebabkan oleh tingginya tingkat kekerasan dan
diskriminasi di sekolah yang berdampak pada penurunan performa belajar,
meninggalkan sekolah/DO, dan berpikir atau bahkan mencoba untuk bunuh
diri. Belenggu kemiskinan pada buruh dan diskriminasi pada LGBT juga
mempersulit keduanya dalam mengakses identitas kependudukan seperti akte
kelahiran dan KTP. Banyak sekali anak dari keluarga miskin kota tidak
memiliki akte kelahiran. Sementara LGBT, banyak yang kabur dari rumah
sehingga tidak lagi memiliki akses pada akte kelahirannya. Kawan-kawan
transgender, baik waria maupun transmen, dipersulit membuat KTP karena
identitas dan ekspresi gendernya. Padahal identitas kependudukan adalah
salah satu syarat utama saat melamar pekerjaan. Latar belakang pendidikan
rendah ditambah tidak adanya identitas kependudukan membuat pilihan
pekerjaan seseorang menjadi terbatas. Dan jika pilihan pekerjaan terbatas,
maka orang cenderung mengambil pekerjaan apapun yang ada meskipun
berupah rendah, tidak layak, dan tidak adil. Misalnya: menjadi buruh
outsourcing, bekerja di perusahaan yang menggunakan sistem penalti, bekerja
tanpa jaminan kesehatan atau jaminan sosial tenaga kerja, bekerja di sektor
informal, atau bahkan berakhir menganggur. Data 2015 menunjukkan bahwa
92,52% anggota Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO) bekerja di sektor
informal (pekerja seks, pengamen, wiraswasta, salon, freelance), sementara
1,36% tidak bekerja.
2. Hak untuk Bebas dari Diskriminasi
Sulitnya mendapatkan pekerjaan membuat perusahaan kemudian bersikap
seenaknya pada buruh. Diskriminasi ini tentu saja dialami juga oleh buruh
27
lesbian & biseksual perempuan. Sementara para buruh LGBT lainnya, harus
berhadapan dengan kekhawatiran akan dipecat ketika perusahaan mengetahui
orientasi seksual atau identitas gendernya. Laporan ILO tentang situasi LGBT
di tempat kerja menunjukkan bahwa LGBT menghadapi pelecehan dan
pengucilan sejak proses pencarian kerja (melamar, wawancara), hingga saat
sudah bekerja. Banyak dari kawan-kawan LGBT melaporkan penundaan
promosi jabatan atau pemecatan karena perusahaan/institusi mengetahui
identitas mereka. Tantangan serupa dialami juga oleh kawan-kawan difabel.
3. Hak atas Jaminan Sosial
Karena dianggap mengurangi keuntungan, banyak perusahaan yang tidak mau
bertanggung jawab untuk memenuhi jaminan sosial para buruh. Biaya
jaminan sosial seringkali ditanggungkan pada buruh, dengan cara memotong
upah mereka. Pada LGBT, tidak memiliki identitas kependudukan
membuatnya sulit mengakses jaminan sosial. Secara khusus pada transgender
perempuan (waria), negara bersedia memberikan jaminan sosial dengan
syarat waria harus dimasukkan dalam golongan PMKS (penyandang masalah
kesejahteraan sosial). Aturan ini kini meluas tidak hanya pada waria, tapi juga
pada LGBT yang lainnya. Penggolongan LGBT sebagai PMKS sendiri tidak
dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa LGBT merupakan bagian dari warga
negara yang tertindas. Penggolongan ini dilandaskan pada stigma bahwa
LGBT adalah penyakit.
4. Hak untuk Bebas dari Penangkapan Sewenang-wenang dan Pengasingan
Transgender perempuan (waria) yang memilih untuk bekerja di sektor
informal sangat rentan terhadap penangkapan sewenang-wenang. Sepanjang
tahun 2015 di D.I. Yogyakarta, setidaknya 21 waria ditangkap lalu ditahan
tanpa kejelasan di camp assessment berbasis Perda no. 1 tahun 2014 tentang
Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Perda Gepeng). Lima orang di
antaranya ditangkap meskipun tidak sedang melakukan aktivitas kerja.
Mereka hanya sedang berjalan atau membeli makan seperti warga negara
pada umumnya, dan ditangkap oleh Satpol PP karena stigma bahwa waria
adalah gelandangan yang mengganggu ketertiban. Kawan-kawan waria di
daerah lain juga mengalami penangkapan serupa, biasanya dengan landasan
28
perda ketertiban umum atau perda pelacuran. Situsi ini tidak lepas dari
penggolongan waria sebagai PMKS.
5. Hak atas Berserikat dan Berkumpul secara Damai
Untuk kasus LGBT, tentu masih segar di ingatan kita bahwa Pondok
Pesantren Waria dipaksa tutup oleh kelompok reaksioner Front Jihad Islam
dan warga serta aparatur pemerintah. Banyak organisasi LGBT dipersulit
administrasinya oleh notaris dan bank. Dan yang jelas kita rasakan secara
langsung adalah bagaimana kegiatan-kegiatan LGBT diancam, dilarang,
dibubarkan dan diserang oleh universitas, aparat penegak hukum, dan
kelompok reaksioner seperti FUI dan FPI.
6. Hak atas Standar Kehidupan yang Layak
Segala hal di atas juga menjadi bukti bahwa LGBT, telah dirampas haknya
atas standar kehidupan yang layak. Diskriminasi, ancaman, bahkan
kriminalisasi yang ditujukan LGBT adalah upaya untuk menutup mulut kita
semua. LGBT yang berperan sebagai buruh akhirnya dipaksa berhadapan
pada dua pilihan: dipecat dari pekerjaan, atau tetap bekerja dalam situasi yang
sama sekali tidak layak.
Perusahaan menyadari bahwa LGBT itu ada di perusahaan mereka. Akan
tetapi mereka memandang LGBT sebagai kelompok yang melenceng dari normanorma sosial yang ada. Pendekatan yang sering dipakai oleh perusahaan atau
organisasi buruh adalah kegiatan yang sifatnya siraman rohani, dengan harapan
para pekerja LGBT ini akan kembali ke jalan yang normal. Diskriminasi di
dunia kerja terhadap pekerja LGBT itu sangat bervariasi, mulai dari ketika mereka
masih mencari dan melamar pekerjaan hingga sudah bekerja. Iklan untuk mencari
pekerja sangat diskriminatif terhadap LGBT, misalnya, Dicari laki-laki dan
perempuan. Iklan seperti ini tidak memberi ruang bagi mereka yang berada di
luar oposisi biner laki-laki atau perempuan. Upaya mencari kerja di kalangan
LGBT juga diperberat dengan terbatasnya pendidikan banyak LGBT. Dalam
proses rekrutmen, terutama di bagian wawancara, pekerja LGBT harus
berhadapan dengan pewawancara. Dalam banyak kasus lamaran mereka ditolak
karena pewawancara bisa melihat penampilan mereka, tahu atau menduga bahwa
mereka gay, lesbian atau transgender. Bahkan disaat bekerja pun para karyawan
29
pada kelompok LGBT ini juga mendapat bentuk diskriminasi yang dirasakan
beragam. Misalnya, berupa komentar atau guyonan tentang LGBT. Misalnya:
Kalau enggak kemayu gimana? Ada pula yang tidak mau duduk berdekatan
dengan pekerja LGBT dalam pertemuan di kantor, bahkan tidak mau diajak
salaman. Ditemukan pula bullying oleh kolega yang juga LGBT. Karena lapangan
kerja untuk LGBT relatif terbatas sehingga tidak jarang kehadiran sesama LGBT
membuat LGBT yang lain merasa terancam. Para LGBT juga mengalami
diskriminasi pada tahap evaluasi dan promosi. Pekerja yang diketahui atau dikenal
sebagai LGBT sulit memperoleh evaluasi yang positif dan promosi sekalipun
masa kerja mereka sudah cukup panjang. Pada intinya semua pekerja LGBT
merasa bahwa mereka berada di persimpangan antara menjadi diri sendiri atau
menjadi bagian dari arus utama yang ditandai oleh heteroseksualitas yang kental.
Mereka yang berpendidikan tinggi memiliki ruang yang lebih lebar untuk
menjadi diri sendiri, artinya mereka bisa terbuka tentang orientasi seksual atau
identitas gender mereka. Ini karena mereka mempunyai ketrampilan dan atau
pendidikan yang memungkinkan mereka untuk pindah pekerjaan ketika mereka
merasa bahwa lingkungan pekerjaan mereka tidak nyaman secara psikologis bagi
mereka. Sebaliknya, kaum LGBT dengan pendidikan dan keterampilan yang
rendah seringkali merasa bahwa satu-satunya cara untuk mempertahankan
pekerjaan mereka adalah dengan merahasiakan orientasi seksual atau identitas
gender mereka. Akan tetapi ketidakterbukaan mereka tentang orientasi seksual
atau identitas gender mereke membuat mereka merasa tertekan karena mereka
merasa tidak jujur kepada diri mereka sendiri.
Pemerintah juga belum melakukan perlindungan khusus atau signifikan
terhadap pekerja LGBT. Karena tidak ada perlindungan anti diskriminasi yang
spesifik, yang khusus menyebutkan perlindungan untuk LGBT. Di beberapa kota
di Filipina, sudah ada peraturan daerah yang secara khusus melindungi LGBT dan
sejauh ini tidak ada undang-undang di Indonesia yang memberikan perlindungan
bagi LGBT. Kecuali, di Undang-Undang Dasar 1945, yang itu pun sifatnya sangat
umum. Tidak ada undang-undang atau peraturan apapun di Indonesia yang
menyebutkan kata LGBT. Pemerintah juga belum secara resmi mengungkapkan
bahwa semua golongan, termasuk LGBTI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender,
30
dan Interseks) adalah warga yang harus dilindungi. Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia juga setengah-setengah kalau bicara soal LGBT. Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise juga belum
pernah secara resmi membicarakan hak-hak kaum lesbian. Kalau lembaga
nonpemerintah seperti Komisi Nasional (Komnas) HAM dan Komisi Nasional
Anti Kekerasan terhadap Perempuan, sudah terbuka membicarakan LGBT.
Mereka sudah bisa memberikan pernyataan dan program nyata. Begitulah kirakira perkembangan Indonesia sejauh ini.
Melihat tren yang maju di dunia, ketertinggalan Indonesia dibandingkan
negara lain adalah Indonesia tidak bisa menerima gender lain selain perempuan
dan laki laki. Padahal, Thailand saja sudah mengakui. Bahkan, Nepal,
Bangladesh, dan Pakistan sudah mengakui gender ketiga. Walaupun, tidak secara
langsung mengakui lesbian atau gay yang penting ada perlindungan dari
diskriminasi. Dan hal itu tidak ada di Indonesia. Misalnya kelompok LGBT
sedang buat acara lalu dibubarkan oleh sejumlah massa, itu tidak ada
perlindungan dari polisi. Sehingga Indonesia masih sangat terbelakang untuk
urusan kemerdekaan dan perlindungan LGBT. Indonesia juga belum terlalu
paham dengan konsep gender bahkan sangat minimal sekali kesadarnnya.
Masyarakat umum masih menganggap gender masih urusan perempuan.
Ada dua persoalan utama jika pemerintah akhirnya membuat kebijakan yang
lebih baik untuk kaum LGBT Pertama, mereka tidak mengerti isunya dan tidak
mengerti persoalannya. Dugaan lainnya, mereka pura pura tidak tahu. Pura-pura
tidak tahu kalau ada orang seperti LGBT. Namun, tidak bisa juga dibilang kalau
pemerintah anti LGBT. Kedua, pemerintah ragu-ragu untuk secara positif
membela LGBT. Contohnya, pemerintah yang sekarang kalau menerima delegasi
LGBT pasti secara informal. Tidak pernah mereka menerimanya secara formal.
Kalau dibandingkan, presiden Mongolia pernah menjamu makan delegasi LGBT
secara formal. Sementara, Indonesia belum pernah melakukan itu.
Sebenarnya pemerintah bisa melakukan perlindungan terhadap kaum LGBT
tapi orang Indonesia memiliki sifat dikit-dikit takut karena ketika dia masuk ke
dalam pemerintahan, dia tidak bisa bicara banyak. Padahal, sebelum masuk
31
pemerintahan, dia lebih bebas dan politik selalu berpikiran jika membela LGBT
itu akan mengakibatkan kerugian.
Perspektif Hukum di Indonesia mengenai LGBT
Pada dasarnya dalam konteks negara hukum Indonesia, kita harus menimbang
segala perilaku bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa dalam kacamata hukum.
Artinya, antarwarga negara dapat saja berbeda pendapat dalam suatu hal.
Namun, hal tersebut harus dikembalikan pada kajian hukum untuk
mendapatkan status yuridis-nya: apakah dapat dibenarkan ataukah tidak? Taat
pada norma hukum positif (norma hukum yang sedang berlaku) adalah suatu
konsesi
patriotisme
yang
paling
utama
sebagai
sendi-sendi
perilaku
32
33
kita
juga
bukan
seperti
Preamble
UN
Charter:
34
karena
kebanyakan
keinginan
hanya
berisi
kerakusan
yang
menghancurkan. Oleh karenanya, perilaku seksual adalah hal yang diatur secara
ketat dalam suatu ikatan perkawinan. Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974
merumuskannya sebagai: Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa Perilaku seksual hanya diwadahi dalam perkawinan
yang merupakan ikatan lahir batin yang bertujuan membentuk keluarga
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia bukan sekedar catatan sipil, tapi lebih
dari itu adalah pengurusan sebuah tatanan kemasyarakatan. Sebab, satu-satunya
nilai kemanusiaan dari perilaku seksual adalah pemeliharaan generasi. Perilaku
seksual tidak boleh dilakukan di luar konsesi ini, sebagaimana halnya pelatihan
militer tidak boleh dilakukan di luar tujuan mempertahankan kedaulatan negara.
Jadi, secara terang, pelanggengan perilaku LGBT sebagaimana halnya
pemerkosaan, perzinahan/ perselingkuhan, dan seks bebas samasekali tidak
mendapat tempat dalam payung hukum Indonesia. Kesemuanya itu bukan hanya
jahat kepada satu atau dua orang, tetapi juga kejahatan bagi pemuliaan generasi.
Perilaku tersebut secara jelas menghilangkan satu-satunya nilai kemanusiaan dari
perilaku seksual yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa.
Bagaimana Secara Aktif Mengawal Penegakan Hukum Tersebut?
Permasalahan melebar ketika perilaku LGBT dihubungkan dengan hak-hak
lainnya sebagaimana rilis yang dimuat Komnas HAM pada 4 Februari 2016.
Secara mutakhir, rilis Komnas HAM tersebut merujuk pada Prinsip-Prinsip
Yogyakarta (The Yogyakarta Principles) Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Sosial
No. 8 Tahun 2012 tentang Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah
35
Tidak
seperti Komnas HAM dalam rilisnya, Permen 8/2012 samasekali tidak memuat
norma yang membenarkan perilaku LGBT. Poin paling penting ialah bahwa
Permen 8/2012 diperuntukkan bagi operasional pendataan dan pengelolaan data
penyandang masalah sosial. Bahkan, terhadap poin 14 lampiran Permen 8/2012
yang dikutip, Komnas HAM alpa untuk menunjukkan bahwa di dalamnya
terdapat muatan bahwa gay, waria, dan lesbian adalah kelompok dengan gangguan
keberfungsian sosial yang memiliki kriteria: a. gangguan keberfungsian sosial, b.
diskriminasi, c. Marginalisasi, dan d. berperilaku seks menyimpang.
Sementara itu, Prinsip-prinsip Yogyakarta adalah rumusan pandangan
(sumber doktrinal) yang samasekali tidak diadopsi dalam hukum nasional. Tidak
sepantasnya Komnas HAM sebagai lembaga negara menegakkan pendapatpendapat yang belum diterima secara positif oleh pejabat pembuat perundangundangan yang berwenang. Terlebih lagi apabila pendapat tersebut bertentangan
dengan substansi konstitusi dan falsafah kebangsaan Indonesia.
36
BAB IV
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Perilaku karyawan didalam suatu organisasi sangat ditentukan oleh latar
belakang karyawan tersebut. Sedangkan, latar belakang karyawan dipengaruhi
oleh lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal adalah keluarga dan
lingkungan kelompok (Familiy) sedangkan lingkungan eksternal adalah sekolah
dan tempat pendidikan non formal lainnya. Permasalahan yang muncul dalam
perusahaan disebabkan karyawan melanggar etika berdampak dari perusahaan
antara lain melakukan kecurangan dalam mengunakan fasilitas atau kecurangan
memberikan informasi terhadap atasan sehingga pimpinan membuat keputusan
terjadi kesalah dan merugikan perusahaan.
Perilaku karyawan yang paling berpengaruh membentuk sesorang itu awalnya
adalah lingkungan keluarganya terutama Ayah dan Ibunya serta lingkungan
keluargannya. Faktor lainnya yang membentuk berperilaku etis di tempat kerja di
dalam perusahaan yaitu: Faktor organisasi dan Faktor atasan. Peran penting
manajemen dalam membentuk etika di dalam tempat kerja memberikan rasa keadilan kepada pihak karyawan secara jujur dengan kejujuran dapat membangun
rasa percaya karyawan bahwa perusahaan tempat berkerja bertanggung jawab dan
telah memperlakukan karyawan sepatutnya. Pihak perusahaan juga memberikan
dan menginformasikan tentang hak-hak dari karyawan menurut Sonny Keraf
(1988) terdiri atas : Hak atas pekerjaan yang layak, Hak atas upah yang adil, Hak
untuk berseikat dan berkumpul, Hak atas perlindungan keamanan dan kesehatan,
Hak untuk diproses hukum secara sah, Hak untuk diperlakukan secara adil dan
sejajar, Hak atas rahasia pribadi, dan Hak atas kebebasan suara hati. Payung
hukum Kesehatan dan Keselamatan Kerja di indonesia telah dilindungi oleh
Undang Di Indonesia, hubungan antara perusahaan dan pegawai telah diatur di
dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003. Penilaian kinerja
(performance measurement) adalah proses dan kegiatan sistematis untuk
mengidentifikasi, mendukung, mengevluasi, meningkatkan, dan memberikan
imbalan atas segala upaya yang teleah dilakukan oleh karyawan untuk perusahaan
(Mathis & Jackson, 2002).
37
3.2 SARAN
Makalah ini masih jauh untuk dikatakan sempurna karena masih banyak
kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja.Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca guna memperbaiki
dan menyempurnakan penyusunan makalah ini agar menjadi lebih baik lagi
kedepannya.
38
DAFTAR PUSTAKA
Arijanto, Agus. 2011. Etika Bisnis bagi Pelaku Bisnis. Jakarta: Rajawali Pers.
CNN Indonesia. 2015. Pemerintah Dinilai Tak Dukung LGBT karena Enggan
Rugi,
(Online),
(http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150501160000-20-
50534/pemerintah-dinilai-tak-dukung-lgbt-karena-enggan-rugi),
diakses
04
September 2016.
Ernawan, Erni R. 2007. Business Ethics. Bandung: Alfabeta.
Harahap, Sofyan S. 2011. Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam. Jakarta:
Salemba Empat.
Linggasari, Yohannie. 2015. Cerita Hidup Felicia, Seorang Buruh Pabrik
Waria, (Online), (http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150501085500-2050454/cerita-hidup-felicia-seorang-buruh-pabrik-waria), diakses 04 September
2016.
Linggasari, Yohannie. 2015. Kelam dan Gemilang, Kisah Lain Hidup Buruh
Waria, (Online), (http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150501115600-2050493/kelam-dan-gemilang-kisah-lain-hidup-buruh-waria), diakses 04 September
2016.
Linggasari, Yohannie. 2015. Survei UGM: Pemerintah Belum Lindungi
PekerjaLGBT,(Online), http://www.cnnindonesia.com/nasional/2015043021143520-50420/survei-ugm-pemerintah-belum-lindungi-pekerja-lgbt),
diakses
04
September 2016.
Muftisany, Hafidz. 2016. LGBT dalam Perspektif Hukum di Indonesia,
(Online),(http://www.republika.co.id/berita/jurnalismewarga/wacana/16/02/29/o3a5s0388-lgbt-dalam-perspektif-hukum-di-indonesia),
diakses 04 September 2016.
Pratama, Mario Prajna. 2016. LGBT dan Buruh: Saudara (Lama) dalam
Solidaritas, (Online), (http://www.plush.or.id/2016/05/lgbt-dan-buruh-saudaradalam-solidaritas.html), diakses 04 September 2016.
Sigit, Tri Hendro. 2012. Etika Bisnis Modern: Pendekatan Pemangku
Kepentingan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Undang Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.Usaid. 2014.
Hidup Sebagai Lgbt Di Asia: Laporan Nasional Indonesia.
39
(http://etikbisnis.blogspot.co.id/2016/01/etika-dalam-pekerjaan-dan-
40