Anda di halaman 1dari 22

ACARA II

KADAR AMILOSA
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Pati dapat diperoleh dari biji-bijian, umbi-umbian, sayuran maupun
buah-buahan. sumber alami pati antara lain jagung, labu, kentang, ubi
jalar, pisang, barley, gandul, beras, sagu, amaranth, ubi kayu, ganyong dan
sorgum. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang
rantai C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. pati
terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Pati
merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik dan terdiri
atas amilosa dan amilopektin.
Bobot molekul amilosa dan amilopektin bergantung pada sumber
botani amilosa yang merupakan komponen dengan rantai lurus, sedangkan
amilopektin dengan rantai bercabang. Amilosa merupakan polisakarida
berantai lurus berbentuk heliks dengan ikatan glikosidik -1,4. Titik
percabangan amilopektin merupakan ikatan -1,6. Amilopektin berantai
pendek dapat membentuk double helix dan menyusun daerah kristalin
dalam granula pati sedangkan titik percabangan amilopektin menyusun
daerah amorf. Amilosa berada baik pada daerah kristalin amorf, tetapi
sebagian besar berada di daerah amorf. Jumlah molekul glukosa pada
rantai amilosa berkisar antara 250-350 unit.
Peran amilopektin dalam sifat fungsional pati sangat sulit untuk
ditentukan karena amilopektin memiliki kecenderungan untuk membentuk
kumpulan tidak larut air. Hal ini menyebabkan amilosa yang paling
banyak diteliti dalam memperkirakan karakter pati. Kadar amilosa
merupakan suatu teknik atau cara pengujian untuk mengetahui seberapa
banyak kandungan amilosa pada suatu bahan. Prinsip penetapan kadar
amilosa berdasarkan reaksi antara amilosa dengan senyawa iod yang
menghasilkan warna biru. Oleh sebab itu, dalam laporan praktikum ini,

akan dibahas lebih lanjut mengenai kurva standar amilosa dan kadar
amilosa pada tepung tapioka, tepung beras dan tepung jagung.
2. Tujuan
Tujuan dari praktikum Teknologi Tepung, Mie dan Pasta Acara II
Kadar Amilosa adalah sebagai berikut:
a. Mahasiswa dapat mengetahui cara pembuatan kurva standar amilosa.
b. Mahasiswa dapat menentukan kadar amilosa tepung tapioka, tepung
beras dan tepung jagung.
B. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Teori
Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa, dan
terdiri atas amilosa dan amilopektin. Pati dapat diperoleh dari biji-bijian,
umbi-umbian, sayuran, mau-pun buah-buahan. Sumber alami pati antara
lain adalah jagung, labu, kentang, ubi jalar, pisang, barley, gandul, beras,
sagu, amaranth, ubi kayu, ganyong, dan sorgum. Pemanfaatan pati asli
masih sangat terbatas karena sifat fisik dan kimianya kurang sesuai untuk
digunakan secara luas. Oleh karena itu, pati akan meningkat nilai
ekonominya jika dimodifikasi sifat-sifatnya melalui perlakuan fisik, kimia,
atau kombinasi keduanya (Herawati, 2010).
Pati merupakan komponen karbohidrat yang tersebar dalam
tanaman terutama tanaman yang berklorofil. Bagi tanaman, pati
merupakan cadangan makanan yang terdapat dalam biji, batang dan pada
bagian umbi tanaman. Pati telah lama digunakan sebagai bahan makanan
maupun bahan tambahan dalam sediaan farmasi. Penggunaan pati dalam
bidang farmasi terutama pada formula sediaan tablet, baik sebagai bahan
pengisi, penghancur maupun sebagai bahan pengikat. Namun dalam
pembuatan tablet cetak langsung, pati tidak dapat digunakan karena pati
berupa serbuk halus dan dalam keadaan aslinya, pati tidak mempunyai
sifat alir dan daya kompresibilitas yang baik. Hal ini tidak lepas dari
pengaruh komponen-komponen penyusun utamanya yaitu amilosa dan
amilopektin (Oktavia dkk., 2013).
Pati adalah polisakarida nutrien yang ditemukan dalam sel tanaman
dan beberapa mikroorganisme. Dalam beberapa hal, pati memiliki

kesamaan dengan glikogen (glikogen disebut dengan pati hewan). Pati


selalu terdapat pada sel tumbuhan berbentuk granula. Granula pati
mengandung campuran dari dua polisakarida berbeda yaitu amilosa dan
amilopektin. jumlah kedua polisakarida ini berbeda bergantung pada jenis
pati (Yayan dan Agus, 2009).
Pati adalah cadangan pangan utama pada tanaman dan membentuk
sebagian besar dari asupan kalori harian pada proses diet. Industri pati
telah menjadi bahan baku utama dalam produksi berbagai produk
termasuk bioethanol, coating dan anti-staling agen. Kompleksitas dan
keragaman industri berbasis pati ini dan permintaan untuk produk akhir
yang berkualitas tinggi melalui pengolahan pati yang luas, hanya dapat
dipenuhi melalui penggunaan berbagai pati dan memodifikasi enzim
glukan. Pentingnya ekonomi enzim ini adalah sedemikian rupa sehingga
industri pati telah berkembang menjadi pasar terbesar untuk enzim setelah
industri deterjen. Namun, seperti industri berbasis pati memperluas dan
mengembangkan permintaan enzim lebih efisien menyebabkan biaya
produksi yang lebih rendah dan produk-produk berkualitas tinggi
meningkat. Ini pada gilirannya merangsang minat memodifikasi sifat pati
yang ada dan enzim bertindak glukan melalui berbagai strategi evolusi
molekuler (Kelly et al., 2008)
Granula pati tersusun dari dua jenis pati yaitu amilosa dan
amilopektin. Struktur amilopektin membentuk seperti klaster dimana
rantai A terkait pada rantai B dan rantai B terkait dengan rantai B lainnya
tergantung pada panjang rantainya. Sebanyak 80-90% jumlah rantai
amilopektin terletak pada klaster sedangkan hanya 10-20% terlibat dalam
pembentukan koneksi-inter-kluster. Amilopektin berantai pendek dapat
membentuk double helix dan menyusun daerah kristalin dalam granula pati
sedangkan titik-titik percabangan amilopektin menyusun daerah amorf.
Amilosa berada baik pada daerah kristalin maupun amorf, tetapi sebagian
besar berada di daerah amorf (Faridah dkk., 2010).
Penetapan kadar amilosa merupakan seleksi

awal

untuk

memperkirakan tekstur nasinya. Sifat tekstur nasi dapat dilihat dari

perbandingan antara kadar amilosa dan amilopektin. Kadar amilosa ini


sangat mempengaruhi tekstur nasi daripada sifat-sifat fisik lainnya, seperti
suhu gelatinisasi dan gel konsistensi. Kadar amilosa dalam beras berkisar
1-37%. Berdasarkan kadar amilosa, beras diklasifikasikan menjadi ketan
atau beras beramilosa sangat rendah (< 10%) beras beramilosa rendah
(10-20%), beras beramilosa sedang (20-24%) dan beras beramilosa tinggi
(> 25%). Beras yang beramilosa rendah bila dimasak menghasilkan nasi
yang lengket, mengkilap, tidak mengembang, dan tetap menggumpal
setelah dingin. Beras yang beramilosa tinggi bila dimasak nasinya tidak
lengket, dapat mengembang dan menjadi keras jika sudah dingin,
sedangkan beras beramilosa sedang umumnya mempunyai tekstur nasi
pulen (Aliawati, 2003).
Pati atau amilum adalah karbohidrat polisakarida yang terdiri dari
sejumlah besar unit glukosa bergabung bersama-sama oleh ikatan
glikosidik. Ini terdiri dari amilosa dan amilopektin seperti makromolekul.
Pati diproduksi oleh semua tanaman hijau sebagai menyimpan energi dan
merupakan sumber energi yang penting bagi manusia. Hal ini ditemukan
dalam kentang, gandum, beras dan makanan lainnya, dan bervariasi dalam
penampilan, tergantung pada sumbernya. Dalam bentuk yang tidak
dimodifikasi, pati memiliki penggunaan yang terbatas dalam industri
makanan. Secara umum, pati asli menghasilkan, kohesif, pasta karet lemah
bertubuh saat gel dipanaskan dan tidak diinginkan ketika pasta
didinginkan. Itu sebabnya, para produsen makanan umumnya lebih
memilih pati dengan karakteristik perilaku yang lebih baik daripada yang
diberikan oleh pati asli. Sifat pati dapat ditingkatkan dengan berbagai
modifikasi (Abbas, 2010).
Amilosa dan amilopektin adalah dua polimer glukosa dalam
granula pati. Amilosa pada dasarnya berantai lurus, terdiri dari -(1,4)linked unit D-glucopyranosyl sementara amilopektin bercabang dan terdiri
dari -(1,4)-D glucopyranosyl unit bercabang pada -(1,6). Kira-kira, 90%
beras giling (bahan kering terdiri dari pati dan makan serta memasak
kualitas beras dipengaruhi oleh karakteristik pati, yang meliputi konten,

suhu gelatinisasi amilosa. Mengukur karakteristik gelatinisasi makanan


sangat relevan dalam pengolahan makanan karena memungkinkan
simulasi proses memasak untuk sifat fungsional (Odenigbo et al., 2013).
Amilopektin adalah fraksi pati yang tidak larut dalam air,
sedangkan amilosa adalah fraksi pati yang larut dalam air tetapi tidak larut
dalam n-butanol atau pelarut organik polar lainnya; tersusun dari rantai
lurus D-gkukosa yang berikatan dengan -1,4 dengan derajat polimerisasi
antara 100-400; berwarna biru tua dengan iodin. Amilosa menyusun
sekitar 20%dari pati serealia, tetapi hanya 1% dalam jagung dan sorgum.
Pada beberapa strain jagung dapat mencapai 75% berat molekulnya 4.000150.000 (Makfoeld, 2002).
2. Tinjauan Bahan
Singkong (Manihot esculenta Crantz) adalah makanan utama
tanaman diproduksi di Mozambik dengan jagung (Zea mays L.) menjadi
yang kedua. Kendala utama untuk pemanfaatan singkong adalah degradasi
mikroba yang cepat setelah panen. Singkong akar memiliki umur simpan
hanya 24-48 jam setelah panen. Satu cara untuk memperpanjang umur
simpan dari singkong adalah untuk mempersiapkan kering produk seperti
tepung. Di Mozambik tiga singkong utama produk tepung dipersiapkan
untuk konsumsi manusia, penjemuran, difermentasi dan dipanggang.
Secara tradisional, tepung cassava

dapat diproduksi dari dicuci atau

dikupas akar, yang parut, terkelupas, atau diiris, kemudian dijemur di


nampan, dan akhirnya digiling menjadi tepung. Akar parut mungkin juga
ditekan untuk mengeluarkan kelebihan air dan kemudian panggang untuk
menghasilkan tepung singkong panggang dengan sampai 95% dari
gelatinisasi pati (Eduardo et al., 2013).
Tepung tapioka (kanji) dibuat secara langsung dari singkong segar.
Tepung tapioka adalah pati dari umbi singkong yang dikeringkan dan
dihaluskan. Tepung tapioka merupakan produk awetan singkong yang
memiliki peluang pasar yang sangat luas. Singkong yang telah diolah
menjadi tepung tapioka dapat bertahan selama 1-2 tahun dalam
penyimpanan (apabila dikemas dengan baik). Tepung tapioka memiliki

beberapa keunggulan dibandingkan dengan bahan bakunya (singkong),


yaitu lebih tahan dalam penyimpanan, lebih mudah didistribusikan karena
praktis, ringan dan aman, daya jangkau pemasarannya jauh lebih luas, dan
kegunaannya lebih banyak. Tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai
bahan baku ataupun campuran/ tambahan pada berbagai macam produk.
Salah satunya dalam pembuatan kemasan yang dapat dimakan seperti
edible film/ coating (Suprapti, 2005).
Banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh dari jagung selain
sebagai sumber karbohidrat. Pada industri pangan, bulir jagung digunakan
sebagai sumber minyak, tepung jagung atau dikenal dengan tepung
maizena, serta merupakan bahan baku industri. Salah satu manfaat utama
untuk pemanfaatan jagung dalam industri pangan yaitu dengan
mengolahnya menjadi tepung jagung. Pembuatan tepung jagung memiliki
keunggulan dibandingkan bentuk jagung segar atau produk setengah jadi
lainnya. Keunggulan tersebut antara lain lebih tahan lama disimpan,
memudahkan formulasi karena mudah dicampurkan dalam adonan, dapat
dilakukan fortifikasi (pengayaan zat gizi), lebih praktis karena siap pakai
dan mudah untuk dilakukan pengolahan selanjutnya (Suryana, 2013).
Beras merupakan makanan pokok di tidak kurang 26 negara padat
penduduk (China, India, Indonesia, Pakistan, Bangladesh, Malaysia,
Thailand, Vietnam), atau lebih separuh penduduk dunia. Di Indonesia,
masalah beras erat kaitannya dengan masalah budaya, social dan ekonomi
bangsa. Dalam bidang ekonomi, beras sering digunakan sebagai indeks
kestabilan ekonomi nasional. Semakin kecil kadar amilosa atau semakin
tinggi kadar amilopektin, semakin lekat nasinya. Karena itu, beras ketan
kadar amilosanya sangat rendah (1-2%), sedangkan beras yang kadar
amilosanya lebih besar dari 2% disebut beras bukan ketan atau beras biasa.
Berdasarkan kandungan amilosanya, beras (bukan ketan) digolongkan
menjadi 4 golongan, yaitu beras beramilosa tinggi (25-33%), beras
beramilosa sedang (20-25%), beras beramilosa rendah (9-20%) dan beras
dengan kadar amilosa sangat rendah (2-9%). Tepung beras terdiri dari
tepung beras pecah kulit dan tepung beras sosoh. Syarat mutu tepung beras

yang baik adalah kadar air maksimum 10%, kadar abu maksimum 1%,
bebas dari logam berbahaya, serangga, jamur, serta dengan baud an rasa
yang normal. Di Amerika, dikenal dua jenis tepung beras yaitu tepung
beras ketan dan tepung beras biasa. Tepung ketan mempunyai mutu lebih
tinggi jika digunakan sebagai pengental susu, pudding dan makanan ringan
(Koswara, 2009).
Beras merupakan bahan pangan yang paling penting di Indonesia.
Konsumsi beras di Indonesia mencapai 139 kg per orang per tahun,
sehingga Indonesia merupakan konsumen beras terbesar di kawasan Asia
Tenggara. Meskipun produksi beras nasional saat ini cukup banyak, namun
dikhawatirkan tidak dapat memenuhi kebutuhan beras nasional. Hal ini
berkaitan dengan adanya laju pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi,
berkurangnya lahan produktif serta pola konsumsi masyarakat yang
memiliki ketergantungan tinggi terhadap beras. Oleh karena itu, untuk
mendukung ketahanan pangan nasional perlu dilakukan diversifkasi jenis
makanan pokok. Tepung beras merupakan produk pengolahan beras
dengan kandungan pati sebesar 76-82% dan amilosa sebesar 20-25%
(Yuwono dkk., 2013).
Bila dimasak, beras dengan kadar amilosa tinggi akan memiliki
pengembangan volume yang kecil dan tidak mudah pecah, nasi kering dan
kurang empuk serta menjadi keras bila didinginkan. Beras dengan kadar
amilsa rendah bila dimasak akan menghasilkan nasi yang basah dan
lengket, sedangkan beras dengan kadar amilosa menengah menghasilkan
nasi yang agak basah dan tidak menjadi basah bila didinginkan.
Perbandingan antara amilosa dan amilopektin pada beras akan menentukan
tekstur pera atau pulennya nasi, cepat atau tidaknya mengeras, lengket atau
tidaknya nasi (Astawan dan Andreas, 2009).
Spektrofotometer merupakan alat untuk mengukur intensitas sinar
pada berbagai panjang gelombang setelah sinar itu diserap oleh suatu
cuplikan, biasanya langsung terbaca absorbans pada panjang gelombang
itu. Pada alat tak automatik diperoleh daftar absorbans pada tiap panjang
gelombang. Sedangkan pada alat aotomatik diperoleh spektrum serapan

dari zat yang diperiksa serta dilihat juga absorpsi absorbans dan ekstingsi
(Pudjaatmaka dan Hadyana, 1999).
C. METODOLOGI
1. Alat
a. Kayu penjepit
b. Labu takar 100 ml
c. Neraca analitik
d. Penangas air
e. Pipet volume
f. pro pipet
g. Spektrofotometer
h. Tabung reaksi
i. Vortex
2. Bahan
40 mg amilosa
a. Air mendidih
b. Aquades
1 ml ethanol
c. CH3COOH 1 N 1 ml
95% dan 9 ml
Pemasukkan dalam tabung reaksi
d. Ethanol 95% 1 ml
NaOH 1 N
e. Larutan iod 2 ml
f. NaOH 1 N 9 ml
g. Tepung beras 100 mg Pemanasan dalam air mendidih selama 7 menit
hingga terlarut
h. Tepung jagung 100 mg
i. Tepung tapioka 100 mg
3. Cara Kerja
Pendinginan
a. Kurva Standar Amilosa
Pemindahan ke labu takar
Aquades

Penambahan hingga volume 100 ml


Pengambilan 1, 2, 3, 4 dan 5 ml

0,2; 0,4; 0,6;


0,8 dan 1 ml
CH3COOH 1
N, 2 ml larutan
iod
Aquades

Pemasukkan dalam labu takar 100 ml

Penambahan hingga volume 100 ml


Penggojogan dan pendiaman selama 20 menit
Pengukuran absorbansi dengan 625 nm
Pembuatan kurva standar

b. Penentuan Kadar Amilosa


100 mg tepung tapioka/ beras/
jagung
1 ml ethanol
95% dan 9 ml
NaOH 1 N

Pemasukkan dalam tabung reaksi


Pemanasan dalam air mendidih selama 7 menit
hingga terlarut
Pendinginan dan vortex

Pemindahan ke labu takar


Aquades

Penambahan hingga volume 100 ml


Pengambilan 5 ml

1 ml
CH3COOH 1
N, 2 ml larutan
iod
Aquades

Pemasukkan dalam labu takar 100 ml

Penambahan hingga volume 100 ml

Penggojogan sebanyak 50 kali dan pendiaman


selama 20 menit
Pengukuran absorbansi dengan 625 nm

Pengukuran kadar amilosa menggunakan kurva


standar

D. Hasil dan Pembahasan


Tabel 2.1 Tabel Kurva Standar
No
Konsentrasi (x)
1
0,4
2
0,8
3
1,2
4
1,6
5
2,0

Absorbansi (y)
0,099
0,187
0,241
0,356
0,468

Sumber: Laporan Sementara

Dari Tabel 2.1 diatas, dapat dilihat hasil data absorbansi amilosa murni
yaitu pada konsentrasi 0,4 menghasilkan absorbansi 0,099 , konsentrasi 0,8
menghasilkan absorbansi 0,187 , konsentrasi 1,2 menghasilkan absorbansi
0,241 , konsentrasi 1,6 menghasilkan absorbansi 0,356 dan konsentrasi
2,0 menghasilkan absorbansi 0,468 . Dari data tersebut, kemudian dapat
dibuat kurva standar. Setelah membuat kurva standar, dapat dilakukan
perhitungan regresi linear (y = a + bx), sehingga dihasilkan persamaan regresi
linear y = -0,0019 + 0,2268x dengan r2 = 0,9844 dimana merupakan hubungan
antara nilai x (konsentrasi larutan amilosa standar) dan y (absorbansi) serta r2
menunjukkan keakuratan. Dari hubungan antara nilai x dan y tersebut, dapat
diketahui bahwa konsentrasi larutan amilosa standar berbanding lurus dengan
absorbansi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi amilosa
standar pada larutan maka nilai absorbansinya juga akan semakin besar.
Tabel 2.2 Kadar Amilosa
Berat
Kadar
Shift Kel
Sampel
Absorbansi
awal (mg)
amilosa (mg)
1
Tepung tapioka
100
0,358
1,587
2
Tepung tapioka
100
0,352
1,560
1
3
Tepung beras
100
0,343
1,521
4
Tepung jagung
100
0,487
2,156
5
Tepung tapioka
100
0,240
1,067
6
Tepung tapioka
100
0,570
2,522
7
Tepung beras
100
0,416
1,843
2
8
Tepung beras
100
0,268
1,190
9
Tepung jagung
100
0,081
0,366
10 Tepung jagung
100
0,424
1,878
Sumber: Laporan Sementara

FP
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20

%
amilosa
31,74
31,21
30,41
43,11
21,33
50,43
36,85
23,80
7,31
37,56

Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa dan terdiri


atas amilosa dan amilopektin. Pati dapat diperoleh dari biji-bijian, umbiumbian, sayuran maupun buah-buahan. sumber alami pati antara lain singkong
(ubi kayu), jagung, beras, labu, kentang, ubi jalar, pisang, barley, gandul,
sagu, amaranth, ganyong dan sorgum (Herawati, 2011). Pati merupakan
homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik. Berbagai macam pati tidak
sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta apakah lurus atau
bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat
dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak
larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan (1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan (1,4)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, 1992).
Struktur amilopektin membentuk seperti klaster, dimana rantai A
terikat pada rantai B dan rantai B terikat dengan rantai B lainnya (B1-B4)
tergantung pada panjang rantainya. Sebanyak 80-90% jumlah rantai
amilopektin terletak pada klaster, sedangkan hanya 10-20% terlibat dalam
pembentukan koneksi-inter-klaster. Amilopektin berantai pendek dapat
membentuk double helix dan menyusun daerah kristalin dalam granula pati
sedangkan titik percabangan amilopektin menyusun daerah amorf. Amilosa
berada baik pada daerah kristalin amorf, tetapi sebagian besar berada di daerah
amorf (Faridah dkk., 2010).
Uji kadar amilosa merupakan suatu teknik atau cara pengujian untuk
mengetahui seberapa banyak kandungan amilosa pada suatu bahan. Prinsip
penetapan kadar amilosa berdasarkan reaksi antara amilosa dengan senyawa
iod yang menghasilkan warna biru. Semakin pekat wara biru, maka semakin
tinggi kadar amilosa dalam suatu bahan. Sebelumnya dilakukan pembuatan
kurva standar amilosa yang menunjukkan hubungan antara nilai penyerapan
cahaya dengan penyerapan amilosa (Lukman dkk., 2013). Kurva standar
merupakan standar dari sampel tertentu yang dapat digunakan sebagai
pedoman ataupun acuan untuk sampel tersebut pada percobaan. Pembuatan
kurva standar bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi

larutan dengan nilai absorbansinya sehingga konsentrasi sampel dapat


diketahui. Terdapat dua metode untuk membuat kurva standar yaitu dengan
metode grafik dan metode least square (Underwood, 1990).
Kurva standar amilosa dibuat dengan cara 40 mg amilosa dimasukkan
ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 ml ethanol 95% dan 9 ml NaOH 1
N. Kemudian dipanaskan dalam air mendidih selama 7 menit hingga terlarut.
Selanjutnya didinginkan dan dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml serta
ditambahkan aquades hingga 100 ml. Setelah itu, ambil larutan dan
dimasukkan ke dalam labu takar sebanyak 1, 2, 3, 4 dan 5 ml. Masing-masing
larutan ditambahkan 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 ml asam asetat 1 N dan 1 ml
larutan iod. Kemudian larutan diencerkan dengan aquades hingga volume 100
ml, digojog dan didiamkan selama 20 menit. Intensitas warna biru yang
terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.
Spektrofotometer adalah suatu instrumen untuk mengukur transmitansi
atau absorbansi pada suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang dan
pengukuran terhadap sederetan sampel pada suatu panjang gelombang
tunggal. Hubungan antara panjang gelombang dan daya serap berbanding
terbalik karena semakin besar panjang gelombang maka semakin kecil daya
serapnya. Hal ini disebabkan oleh cahaya yang diserap oleh larutan lebih
sedikit karena larutan tidak larut sempurna dalam aquadest dan lama-kelamaan
akan mengendap (Chandra, 2011). Metode pengukuran menggunakan prinsip
spektrofotometri adalah berdasarkan absorbsi cahaya pada panjang gelombang
tertentu melalui suatu larutan yang mengandung kontaminan yang akan
ditentukan konsentrasinya. Proses ini disebut absorpsi spektrofotometri, dan
jika panjang gelombang yang digunakan adalah gelombang cahaya tampak,
maka disebut sebagai kalorimetri, karena memberi warna. Selain gelombang
cahaya tampak, spektrofotometri juga menggunakan panjang gelombang pada
gelombang ultra violet dan inframerah. Prinsip kerja dari metode ini adalah
jumlah cahaya yang diabsorbsi oleh larutan sebanding dengan konsentrasi
kontaminan dalam larutan. Prinsip ini dijabarkan dalam hukum Beer-Lambert,

yang menghubungkan antara absorbansi cahaya dengan konsentrasi pada suatu


bahan yang mengabsorbsi (Lestari, 2007).
Cara kerja spektrofotometer secara singkat adalah pertama tempatkan
larutan pembanding, misalnya blangko dalam sel pertama sedangkan larutan
yang akan dianalisis pada sel kedua. Kemudian pilih foto sel yang cocok yaitu
200 nm-650 nm (650 nm-1100 nm) agar daerah yang diperlukan dapat
terliputi. Dengan ruang foto sel dalam keadaan tertutup nol galvanometer
didapat dengan menggunakan tombol dark-current. Pilih yang diinginkan,
buka foto sel dan lewatkan berkas cahaya pada blangko dan nol
galvanometer

didapat

dengan

memutar

tombol

sensitivitas.

Dengan

menggunakan tombol transmitansi, kemudian atur besarnya pada 100%.


Lewatkan berkas cahaya pada larutan sampel yang akan dianalisis. Skala
absorbansi menunjukkan absorbansi larutan sampel (Lestari, 2007).
Pada praktikum uji kadar amilosa kali ini, menggunakan sampel 100
mg tepung tapioka, tepung beras dan tepung jagung. Pertama, sampel
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml ethanol 95% dan 9 ml
NaOH 1 N serta dipanaskan dalam air mendidih selama 7 menit hingga
terlarut. Kemudian didinginkan, divortex, dipindahkan ke labu takar dan
ditambahkan aquades hingga volume 100 ml. Selanjutnya diambil larutan
sebanyak 5 ml ke dalam labu takar dan ditambahkan 1 ml CH 3COOH 1 N, 2
ml larutan iod dan aquades hingga volume 100 ml. Fungsi penambahan
larutan iod pada saat pengujian kadar amilosa yaitu pati akan bereaksi dengan
iod yang akan membentuk suatu kompleks yang berwarna biru. Amilosa akan
memberikan warna biru dengan penambahan larutan iod sedangkan
amilopektin membentuk suatu produk yang berwarna ungu-merah
(Masniawati dkk., 2013).
Kemudian, larutan digojog sebanyak 50 kali dan didiamkan selama 20
menit. Selanjutnya, intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Penggunaan panjang
gelombang 625 nm dikarenakan warna biru yang terbentuk antara amilosa dan
senyawa iod dapat terdeteksi pada panjang gelombang tersebut. Setelah itu,

dihitung kadar amilosa berdasarkan persamaan kurva standar amilosa y = a +


bx (y = -0,0019 + 0,2268x) dan % amilosa dengan menggunakan rumus:

, dimana nilai x merupakan kadar amilosa (mg) dan nilai


FP sebesar 20.
Dari Tabel 2.2 di atas, dapat dilihat hasil pengamatan kadar amilosa.
Pada percobaan shift I kelompok 1 dengan sampel tepung tapioka, absorbansi
larutan sebesar 0,358 dan kadar amilosa 1,587 mg sehingga didapatkan %
amilosa sebesar 31,74% dan amilopektin sebesar 68,26%. Pada percobaan
kelompok 2 dengan sampel tepung tapioka, absorbansi larutan sebesar 0,352
dan kadar amilosa 1,560 mg sehingga didapatkan % amilosa sebesar
31,21% dan amilopektin sebesar 68,79%. Pada percobaan kelompok 3 dengan
sampel tepung beras, absorbansi larutan sebesar 0,343 dan kadar amilosa
1,521 mg sehingga didapatkan % amilosa sebesar 30,41% dan amilopektin
sebesar 69,59%. Pada percobaan kelompok 4 dengan sampel tepung jagung,
absorbansi larutan sebesar 0,487 dan kadar amilosa 2,156 mg sehingga
didapatkan % amilosa sebesar 43,11% dan amilopektin 56,89%.
Pada percobaan shift II kelompok 5 dengan sampel tepung tapioka,
absorbansi larutan sebesar 0,240 dan kadar amilosa 1,067 mg sehingga
didapatkan % amilosa sebesar 21,33% dan amilopektin sebesar 78,67%. Pada
percobaan kelompok 6 dengan sampel tepung tapioka, absorbansi larutan
sebesar 0,570 dan kadar amilosa 2,522 mg sehingga didapatkan % amilosa
sebesar 50,43% dan amilopektin sebesar 49,57%. Pada percobaan kelompok 7
dengan sampel tepung beras, absorbansi larutan sebesar 0,416 dan kadar
amilosa 1,843 mg sehingga didapatkan % amilosa sebesar 36,85% dan
amilopektin sebesar 63,15%. Pada percobaan kelompok 8 dengan sampel
tepung beras, absorbansi larutan sebesar 0,268 dan kadar amilosa 1,190 mg
sehingga didapatkan % amilosa sebesar 23,80% dan amilopektin sebesar
76,20%. Pada percobaan kelompok 9 dengan sampel tepung jagung,

absorbansi larutan sebesar 0,081 dan kadar amilosa 0,366 mg sehingga


didapatkan % amilosa sebesar 7,31% dan amilopektin sebesar 92,69%. Pada
percobaan kelompok 10 dengan sampel tepung jagung, absorbansi larutan
sebesar 0,424 dan kadar amilosa 1,878 mg sehingga didapatkan % amilosa
sebesar 37,56% dan amilopektin sebesar 62,44%.
Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa hasil yang didapatkan antara
percobaan pada shift I dan II tidak sama. Perbedaan tersebut terlihat pada
percobaan dengan sampel tepung tapioka pada shift I dimana % amilosa
tepung tapioka adalah 31,74% dan 31,21% sedangkan pada shift II sebesar
21,33% dan 50,43%. Pada sampel tepung beras shift I, % amilosa sebesar
30,41% sedangkan pada shift II sebesar 36,85% dan 23,80%. Pada sampel
tepung jagung shift I, % amilosa sebesar 43,11% sedangkan pada shift II
sebesar 7,31 dan 37,56%. Perbedaan ini, disebabkan oleh ketelitian praktikan
dalam melarutkan sampel tepung dengan 1 ml ethanol 95% dan 9 ml NaOH 1
N dan proses pemanasan yang kurang sempurna dimana pati tidak terlarut
seluruhnya sehingga pati mengendap di dasar tabung reaksi dan warna biru
yang terbentuk setelah penambahan larutan iod menjadi kurang pekat.
Urutan % amilosa dari yang paling tinggi adalah tepung tapioka
50,43%; tepung jagung 43,11%; tepung jagung 37,56%; tepung beras
36,,85%; tepung tapioka 31,74%; tepung tapioka 31,21%; tepung beras
30,41%; tepung beras 23,80%; tepung tapioka 21,33% dan tepung jagung
7,31%. Menurut Gumilar dkk. (2011), tepung tapioka mengandung kadar
amilosa sebanyak 17,41% dan kadar amilopektin sebanyak 82,13%. Dari data
tersebut, terlihat bahwa pada percobaan dengan sampel tepung tapioka, kadar
amilosa yang didapatkan tidak sesuai dengan teori referensi. Menurut Aliawati
(2003), tepung beras mengandung kadar amilosa sebanyak 1-37% dan
amilopektin sebanyak 63-99%. Dari data tersebut, terlihat bahwa pada
percobaan dengan sampel tepung tapioka, kadar amilosa yang didapatkan
sudah sesuai dengan teori referensi. Menurut Suarni dkk. (2013), kandungan
pati jagung berkisar antara 95,37-97,98% dengan kadar amilosa 37,10-57,29%
dan amilopektin 38,08-60,88%. Dari data tersebut, terlihat bahwa pada

percobaan dengan sampel tepung jagung kelompok 4 dan 10 sudah sesuai


teori sedangkan kelompok 9 tidak sesuai teori referensi Suarni dkk. (2013).
Adanya ketidaksesuaian ini dapat disebabkan oleh praktikan yang kurang teliti
dalam melakukan percobaan dimana dalam pengambilan larutan sampel
tepung yang tidak tepat 5 ml, penambahan larutan iod yang tidak tepat 2 ml
dan penambahan aquades yang kurang atau melebihi volume 100 ml sehingga
peningkatan volume atau konsentrasi larutan sampel yang semula konstan
menjadi

tidak

konstan

dan

mengakibatkan

pengukuran

absorbansi

menggunakan spektrofotometer menjadi tidak valid. Selain itu, peralatan yang


digunakan juga dapat mempengaruhi data dan hasil perhitungan dimana
seperti timbangan analitik, propipet, dan pipet ukur.
Faktor yang mempengaruhi kadar amilosa pada tepung tapioka, tepung
beras dan tepung jagung adalah umur panen produk. Kadar amilosa menurun
seiring dengan bertambahnya umur panen produk. Penurunan kadar amilosa
disebabkan amilosa yang terkandung di dalam pati tersebut mengalami titik
jenuh. Tingginya kadar amilosa pada tepung karena tepung memiliki
kandungan pati tinggi dan diduga pati tersebut memiliki rantai 1,4 Dglikosida yang lebih panjang dibandingkan dengan tepung lainnya. Semakin
panjang rantai 1,4 D-glikosida yang terkandung di dalam pati, maka
semakin tinggi kadar amilosa yang terkandung di dalamnya. Selain itu
perbedaan kadar amilosa pada tepung juga tergantung pada bahan yang
digunakan dalam pembuatan tepung, kandungan pati dan lokasi penanaman
atau pertumbuhannya (Susilawati dkk., 2008). Dalam aplikasinya, amilosa
banyak digunakan sebagai bahan pangan karena mempunyai sifat dapat
memberi efek keras (pera) dalam bahan pangan, misalnya dalam pemasakan
nasi. Kadar amilosa mempengaruhi sifat fisikokimia beras dan dapat
digunakan untuk mendeteksi tingkat kepulenan serta kelengketan nasi yang
dihasilkan. Kandungan amilosa mempunyai korelasi positif dengan jumlah
penyerapan air dan pengembangan volume nasi selama pemasakan. Jadi,
apabila kandungan amilosa di dalam beras banyak maka beras tersebut apabila
dimasak mudah mengembang (Masniawati dkk., 2013).

E. Kesimpulan
Dari praktikum Teknologi Tepung, Mie dan Pasta Acara II Kadar
Amilosa yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan yaitu sebagai
berikut:
1. Pembuatan kurva standar amilosa yaitu pemasukkan 40 mg amilosa ke
dalam tabung reaksi, penambahan 1 ml ethanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N,
pemanasan dalam air mendidih selama 7 menit hingga terlarut,
pendinginan, pemindahan ke dalam labu takar 100 ml, penambahan
aquades hingga 100 ml, pengambilan larutan dan pemasukkan ke dalam
labu takar sebanyak 1, 2, 3, 4 dan 5 ml, penambahan 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan
1 ml asam asetat 1 N, 1 ml larutan iod dan aquades hingga volume 100 ml,
penggojogan dan pendiaman selama 20 menit, serta pengukuran dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.
2. Persamaan regresi linear kurva standar yaitu y = -0,0019 + 0,2268x
dengan r2 = 0,9844.
3. Urutan % amilosa dari yang paling tinggi adalah tepung tapioka 50,43%;
tepung jagung 43,11%; tepung jagung 37,56%; tepung beras 36,,85%;
tepung tapioka 31,74%; tepung tapioka 31,21%; tepung beras 30,41%;
tepung beras 23,80%; tepung tapioka 21,33% dan tepung jagung 7,31%.
4. Faktor yang mempengaruhi kadar amilosa pada tepung adalah umur panen
produk, bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung, kandungan pati
dan lokasi penanaman atau pertumbuhannya.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas K.A. 2010. Modified Starches and Their Usages in Selected Food
Products: A Review Study. Journal of Agricultural Science 2 (2).
Aliawati, Gusminar. 2003. Teknik Analisis Kadar Amilosa dalam Beras. Buletin
Teknik Pertanian 8 (2).
Astawan, Made dan Andreas Leomintri. 2009. Khasiat Whole Grain. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Chandra, Oska Ade. 2011. Pengaruh Panjang Gelombang terhadap Daya Serap
Pupuk NPK dengan Menggunakan Alat Speltrofotometer. Tugas Akhir
Diploma III Teknik Kimia Universitas Diponegoro. Semarang.
Eduardo, M., U. Svanberg, J. Oliveira and L. Ahrne. 2013. Effect of Cassava
Flour Characteristics on Properties of Cassava-Wheat-Maize Composite
Bread Types. International Journal of Food Science 20 (13): 1-10.
Faridah, Didah Nur, Dedi Fardiaz, Nuri Andarwulan dan Titi Candra Sunarti.
2010. Perubahan Struktur Pati Garut (Marantha arundinaceae) sebagai
Akibat Modifikasi Hidrolisis Asam, Pemotongan Titik Percabangan dan
Siklus Pemanasan-Pendinginan. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan
XXI (2).
Gumilar, Jajang, Obin Rachmawan dan Winda Nurdyanti. 2011. Kualitas
Fisikokimia Naget Ayam yang Menggunakan Filer Tepung Suweg
(Amorphophallus campanulatus B1). Jurnal Ilmu Ternak 11 (1): 1-5.
Herawati, Heny. 2011. Potensi Pengembangan Produk Pati Tahan Cerna sebagai
Pangan Fungsional. Jurnal Litbang Pertanian 30 (1).
Kelly, Ronan M., Lubert Dijkhuizen and Han Leemhuis. 2008. Starch and Glucan Acting Enzymes, Modulating Their Properties by Directed
Evolution. Journal of Biotechnology 140: 184193.
Koswara, Sutrisno. 2009. Teknologi Pengolahan Beras. eBookPangan.com.
Lestari, Fatma. 2007. Bahaya Kimia: Sampling dan Pengukuran Kontaminan
Kmia di Udara. Kedokteran EGC. Jakarta.
Lukman, Anita, Deni Anggraini, Noveri Rahmawati dan Nani Suhaeni. 2013.
Pembuatan dan Uji Sifat Fisikokimia Pati Beras Ketan Kampar yang
Dipragelatinisasi. Jurnal Penelitian Farmasi Indonesia 1 (2): 67-71.
Makfoeld, Djarir. 2002. Kamus Istilah Pangan dan Nutrisi. Kanisius. Yogyakarta.
Masniawati, A., Eva Johannes, Andi Ilham Latunra dan Novitas Paelongan.
Karakteristik Sifat Fisikokimia Beras Merah pada Beberapa Sentra
Produksi Beras di Sulawesi Selatan. Artikel Publikasi Universitas
Hasanuddin. Makassar.

Mir, J. A., K. Srikaeo and J. Garca. 2013. Effects of Amylose and Resistant Starch
on Starch Digestibility of Rice Flours and Starches. International Food
Research Journal 20 (3): 1329-1335.
Odenigbo, Amaka M., Michael Ngadi, C. Ejebe, C. Nwankpa, N. Danbaba, S.
Ndindeng and J. Manful. 2013. Study on the gelatinization properties and
amylose content of rice varieties from Nigeria and Cameroun.
International Journal of Nutrition and Food Sciences 2(4): 181-186.
Oktavia, Astrid Devita, Nora Idiawati dan Lia Destiarti. Studi Awal Pemisahan
Amilosa dan Amilopektin Pati Ubi Jalar (Ipomoeabatatas Lam) dengan
Variasi Konsentrasi N-Butanol. JKK 2 (3): 153-156.
Pudjaatmaka dan A. Hadyana. 1999. Kamus Kimia. Balai Pustaka. Jakarta.
Suarni, I.U. Firmansyah da M. Aqil. 2013. Keragaman Mutu Pati Beberapa
Varietas Jagung. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 32 (1).
Suprapti, M. Lies. 2005. Tepung Tapioka: Pembuatan dan Pemanfaatannya.
Kanisius. Yogyakarta.
Suryana, Dayat. 2013. Membuat Tepung. Andi Offset. Yogyakarta.
Susilawati, Siti Nurdjanah dan Sefanadia Putri. 2008. Karakteristik Sifat Fisik dan
Kimia Ubi Kayu (Manihot esculenta) Berdasarkan Lokasi Penanaman dan
Umur Panen Berbeda. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian 13
(2).
Underwood, A.L. 1990. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam. Erlangga.
Jakarta.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yayan, Sunarya dan Agus Setiabudi. 2009. Mudah dan Aktif Belajar Kimia 3.
Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Yuwono, Sudarmanto Setyo, Kiki Febrianto dan Novi Sintya Dewi. 2013.
Pembuatan Beras Tiruan Berbasis Modified Cassava Our (Mocaf): Kajian
Proporsi Mocaf: Tepung Beras dan Penambahan Tepung Porang. Jurnal
Teknologi Pertanian. 14 (3).

LAMPIRAN PERHITUNGAN
1. Persamaan y = a + bx
a = -0,0019
b = 0,2268
r2 = 0,9844
y = a+bx
= -0,0019 + 0,2268x

2. Kadar amilosa kelompok 7


y

= -0,0019 + 0,2268x

0,416 = -0,0019 + 0,2268x


0,4179 = 0,2268x
x

= 1,843 mg

3. % amilosa kelompok 7
% amilosa

=
= 36,85%

x 100%

x 100%

LAMPIRAN GAMBAR

Gambar 2.1 Kurva Standar Larutan Amilosa Standar

Gambar 2.2 Tepung Beras dengan


Penambahan 1 ml Ethanol 95% dan 9
ml NaOH 1 N

Gambar 2.3 Pemanasan dalam Air


Mendidih Selama 7 menit

Gambar 2.4 Pendinginan

Gambar 2.5 Vortex

Gambar 2.6 Penambahan Aquades


hingga Volume 100 ml

Gambar 2.7 Penambahan 1 ml


CH3COOH 1 N, 2 ml Larutan Iod dan
Aquades hingga Volume 100 ml ke
dalam 5 ml Larutan Tepung Beras

Gambar 2.8 Penggojogan 50 kali dan


Pendiaman Selama 20 menit

Gambar 2.9 Pengukuran Absorbansi


Larutan Tepung Beras dengan
Spektrofotometer pada 625 nm

Gambar 2.10 Hasil Pengukuran


Absorbansi Larutan Tepung Beras
dengan Spektrofotometer pada 625
nm

Anda mungkin juga menyukai