Anda di halaman 1dari 32

BAB II

LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama Penderita

: Tn.kowi

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Tanggal Lahir

: 07 April 1965 ( 51 tahun )

Tanggal Pemeriksaan

: 22-08-2016

Nama RS

: RS. Talang UBI

Anamnesis

: Autoanamnesis

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama

: Benjolan pada leher sejak 3 minggu yang lalu

Anamnesis Terpimpin

Benjolan pada leher sejak 3 minggu yang lalu. Benjolan tidak terasa nyeri. Benjolan
juga tidak bertambah besar. Os juga mengeluh terjadi peningkatan berat badan,susah
menelan, sering pelupa dan nafsu makan berkurang semenjak 1 minggu timbul benjolan
pada leher. BAK normal tidak ada kelaianan sedangkan BAB sering terjadi konstipasi.
Riwayat asam urat tinggi (-) s.Riwayat penyakit rematik (+)
Riwayat batu ginjal ada (-) sejak 1 bulan yang lalu. Riwayat DM (- )
DM pada keluarga (-).Riwayat jika mendapatkan luka sukar sembuh (-)
Riwayat Hipertensi (+).
Riwayat batuk lama (-), Riwayat OAT (-)
Riwayat minum anti-purin (-)
Riwayat merokok (-)
Riwayat penyakit maag (+)
Riwayat minum minuman beralkohol (-)
Riwayat penyakit kuning (-)
C. PEMERIKSAAN FISIS

Status Present:
Sakit Sedang/Gizi Cukup/ Composmentis
BB= 80 kg; TB= 171 cm; IMT=27,6 kg/m2

Tanda Vital:
Tensi

: 160/100 mmHg

Nadi

: 78x kali/ menit

Pernapasan

: 22

kali/ menit

Suhu

: 37,2

(axilla)

Kepala:
Ekspresi

: Normal

Simetris Muka

: Simetris kiri dan kanan

Deformitas

: (-)

Rambut

: Hitam, lurus, sulit dicabut

Mata:
Eksoptalmus/ Enoptalmus: (-)
Gerakan

: Kesegala arah

Tekanan Bola Mata

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Kelopak Mata

: Edema palpebra (-), ptosis (-)

Konjungtiva

: Anemis (-)

Sklera

: Ikterus (-)

Kornea

: Jernih, reflex kornea (+)

Pupil

: Bulat, isokor, 2,5mm/2,5mm, RCL +/+, RCTL +/


+

Telinga:
Tophi

: (-)

Pendengaran

: Tidak ada kelainan

Nyeri Tekan di Proc. Mastoideus : (-)

Hidung:
Perdarahan
Sekret

: (-)
: (-)

Mulut:
Bibir

: Kering (-), stomatitis (-)

Gigi Geligi

: Karies (-)

Gusi

: Candidiasis oral (-), perdarahan (-)

Farings

: Hiperemis (-)

Tonsil

: T1 T1, hiperemis (-)

Lidah

: Kotor (-)

Leher:
Kel. Getah Bening: Tidak teraba, nyeri tekan (-)
Kel. Gondok

: ada pembesaran, nyeri tekan (-), batas tidak tegas

DVS

: R+2cmH2O

Pembuluh Darah : Bruit (-)

Kaku Kuduk

: (-)

Tumor

: (-)

Dada:
-

Inspeksi

: Simetris hemithoraks kiri dan kanan

Bentuk

: Normothoraks

Pembuluh Darah

: Bruit (-)

Buah Dada

: Tidak ada kelainan

Sela Iga

: Tidak ada pelebaran

Lain-lain

: Barrel chest (-), pigeon chest (-),


massa tumor (-)

Paru:
o Palpasi:

Fremitus Raba

: Kiri = Kanan

Nyeri Tekan

: (-)

o Perkusi:

Paru Kiri

: Sonor

Paru Kanan

: Sonor

Batas Paru Hepar : ICSV-VI anteriordextra

Batas Paru Belakang Kanan :Vertebra thorakal X dextra

Batas Paru Belakang Kiri :Vertebra thorakal XI sinistra

o Auskultasi:

Bunyi Pernapasan :Vesikuler

Bunyi Tambahan :

Ronkhi

- -

Wheezing

- --

- --

Jantung:
o Inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak

o Palpasi

: Ictus cordis tidak teraba

o Perkusi

:Pekak, batas jantung kesan normal (batas jantung kanan:linea

parasternalis dextra, batas jantung kiri: linea midclavicularis sinistra)


o Auskultasi :

BJ I/II

: Murni reguler

Bunyi Tambahan : Bising (-)

Perut:
o Inspeksi

: Datar, ikut gerak napas

o Palpasi

: Massa tumor (-), nyeri tekan epigastrik (-)

Hati

: Tidak teraba

Limpa

: Tidak teraba

Ginjal

: Ballotement (-)

Lain-lain : Kulit tidak ada kelainan

o Perkusi

: Timpani (+) , Shifting dullness (-)

o Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

Alat Kelamin

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Anus dan Rektum

: Tidak ada kelainan

Punggung

: Skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)

o Palpasi

: Gibbus (-)

o Nyeri Ketok

: (-)

o Auskultasi

: Rh

o Gerakan

: Dalam batas normal

-/-

Wh -/-

Ekstremitas
- akral hangat, tidak ada kelainan

Pemeriksaan EKG

T3
Free T3
T4
Free T4
TSH

Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Hasil
< 0,26 ng/ml
1,2ug/dl
>60uIU/ml

Nilai normal
0,6 1,5
4,0 8,3
4,68 9,36
10,6 19,4
0,25 5,0
Hipertiroid <0,15

Hipotiroid >7
Kesimpulan hipotiroid
DIAGNOSIS SEMENTARA
-

Hipotiroid + hipertensi grade 2


Hipertiroid + hipertensi grade 2
D. PENATALAKSANAAN AWAL IGD
1. Amplodipin 1x5 mg
2. Captopril 2x25 mg
3. Levotiroksin 1x1
E. PROGNOSIS
Ad Vitam

: Dubiaet bonam

Ad Functionem : Dubiaet bonam


Ad Sanationem : Dubiaet bonam

HIPOTIROID
Hipotiroid
1. Defenisi Hipotiroid
Hipotiroid adalah suatu penyakit akibat penurunan fungsi hormon
tiroid yang dikikuti tanda dan gejala yang mempengaruhi sistem
metabolisme tubuh. Faktor penyebabnya akibat penurunan fungsi kelanjar
tiroid, yang dapat terjadi kongenital atau seiring perkembangan usia. Pada
kondisi hipotiroid ini dilihat dari adanya penurunan konsentrasi hormon
tiroid dalam darah disebabkan peningkatan kadar TSH (Tyroid Stimulating
Hormon).
Hipotiroidisme adalah suatu sindroma klinis akibat dari defisiensi
hormontiroid,
metabolik.

yang

kemudian

Hipotiroidisme

mengakibatkan

pada

bayi

dan

perlambatan
anak-anak

proses

berakibat

pertambahan pertumbuhan dan perkembangan jelas dengan akibat yang


menetap yang parah seperti retardasi mental. Hipotiroidisme dengan
awitan pada usia dewasa menyebabkan perlambatan umum organisme
dengan deposisi glikoaminoglikan pada rongga intraselular, terutama pada
otot dan kulit,yang menimbulkan gambaran klinis miksedema. Gejala
hipotiroidisme pada orang dewasa kebanyakan reversibel dengan terapi
(Anwar R, 2005).
2. Insiden dan Etiologi Hipotiroid
H

ipotiroidisme

sekunder,

tersier,

dapat

serta

diklasifikasikan

resistensi

jaringan

menjadi
tubuh

hipotiroidisme

terhadap

hormon

primer,
tiroid.

Hipotiroidisme primer terjadi akibat kegagalan tiroid memproduksi hormon tiroid,


sedangkan hipotiroidisme

sekunder adalah akibat defisiensi hormon TSH yang

dihasilkan oleh hipofisis. Hipotiroidisme tersier disebabkan oleh defisiensi TRH


yang

dihasilkan oleh

hipotalamus.

Penyebab terbanyak hipotiroidisme adalah

akibat kegagalan produksi hormon tiroid oleh tiroid (hipotiroidisme primer).


1,6

Penyebab lebih lengkap hipotiroidisme dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1. Etiologi hipotiroidisme


Primer

kutip 1

Tiroiditis Hashimoto
Terapi Iodium radioaktif untuk penyakit Graves
Tiroidektomi pada penyakit graves, nodul tiroid, atau kanker tiroid
Asupan iodida yang berlebihan (pemakaian radiokontras)
Tiroiditis sub akut
Defisiensi iodium
Kelainan bawaan sintesis hormon tiroid
Obat-obatan (litium, interferon alfa, amiodaron)

Sekunder

Hipopituitari akibat adenoma hipofisis, terapi ablatif terhadap hipofisis, serta


kerusakan hipofisis

Tersier

Defisiensi hipotalamus

Resistensi jaringan perifer terhadap hormon tiroid.


3. Klasifikasi Hipotiroid
Hipotiroid

dapat

diklasifikasikan

berdasar

waktu

kejadian

(kongenital atau akuisital), disfungsi organ yang terjadi (primer atau


sekunder/ sentral), jangka waktu (transien atau permanen) atau gejala yang
terjadi (bergejala/ klinis atau tanpa gejala/ subklinis). Hipotiroid
kongenital biasa dijumpai di daerah dengan defisiensi asupan yodium
endemis. Pada daerah dengan asupan yodium yang mencukupi, hipotiroid
kongenital terjadi pada 1 dari 4000 kelahiran hidup, dan lebih banyak
dijumpai pada bayi perempuan (Roberts & Ladenson, 2004).
Pada anak-anak ini hipotiroid kongenital disebabkan oleh agenesis
atau disgenesis kelenjar tiroid atau gangguan sintesis hormon tiroid.
Disgenesis kelenjar tiroid berhubungan dengan mutasi pada gen PAX8 dan
thyroid transcription factor 1 dan 2 (Gillam & Kopp, 2001).
Hipotiroid akuisital disebabkan oleh berbagai faktor. Penyebab
yang paling sering dijumpai adalah tiroiditis autoimun yang sering disebut
tiroiditas Hashimoto. Peran auto imun pada penyakit ini didukung adanya
gambaran infiltrasi limfosit pada kelenjar tiroid dan adanya antibodi tiroid
dalam sirkulasi darah. Operasi atau radiasi (mis: radioterapi eksternal pada
penderita head and neck cancer, terapi yodium radioaktif pada
tirotoksikosis, paparan yodium radioaktif yang tidak disengaja, infiltrasi
besi di kelanjar tiroid pada hemokromatosis. Beberapa bahan kimia
maupun obat (misal: amiodarone, lithium, interferon) juga dapat

menyebabkan hipotiroid dengan cara mempengaruhi produksi hormon


tiroid atau mempengaruhi autoimunitas kelenjar tiroid (Roberts &
Ladenson, 2004).
Berdasarkan disfungsi organ yang terkena, hipotiroid dibagi dua
yaitu

hipotiroid primer

dan

hipotiroid

sentral..

Hipotiroid

primer

berhubungan dengan defek pada kelenjar tiroid itu sendiri yang berakibat
penurunan sintesis dan sekresi hormon tiroid, sedangkanhipotiroid sentral
berhubungan dengan penyakit penyakit yang mempengaruhi produksi
hormon thyrotropin releasing hormone (TRH) oleh hipothalamus atau
produksi tirotropin(TSH) oleh hipofisis (Roberts & Ladenson, 2004)
Hipotiroid berdasarkan kadar TSH dibagi beberapa kelompok yaitu:
1. TSH < 5,5 IU/L normal
2. 5,5 IU/L TSH < 7 IU/L Hipotiroid ringan
3. 7 IU/L TSH < 15 IU/L Hipotiroid sedang
Hipotiroid berat

4. TSH 15 IU/L

Hipotiroid
biokimia

Selain itu pasien dinyakan hipotiroid klinis jika dijumpai


peninggian kadar TSH
seperti

(TSH 5,5 IU/L) disertai adanya simptom

fatique,peningkatan BB, ggn.siklus haid,konstipasi,intoleransi

dingin,rambut dan kuku rapuh (Wiseman, 2011).


4. Manifestasi Klinis Hipotiroid
Gejala secara umum yaitu kelelahan dan kelesuan, sering
mengantuk, jadi pelupa, kesulitan belajar, kulit kering dan gatal, rambut
dan kuku yang rapuh, wajah bengkak, konstipasi, nyeri otot, penambahan
berat badan, peningkatan sensitivitas terhadap banyak pengobatan,
menstruasi yang banyak, peningkatan frekuensi keguguran pada wanita
yang hamil (Wiseman, 2011).
kutip 7

Gejala klinis hipotiroidisme berdasarkan sistem organ


Organ/ Sistem Organ
Keluhan/Gejala/Kelainan
Kardiovaskuler
Bradikardia
Gangguan kontraktilitas
Penurunan Curah jantung
Kardiomegali ( paling banyak disebabkan oleh efusi perikard)

Respirasi

Gastrointestinal
Ginjal (air dan
elektrolit)
Hematologi

Neuromuskular

Psikiatri
Endokrin

Sesak dengan aktivitas


Gangguan respon ventilasi terhadap hiperkapnia dan hipoksia
Hipoventilasi
Sleep apnea
Efusi Pleura
Anoreksia
Penurunan peristaltik usus konstipasi kronik, impaksi feses
dan ileus
Penurunan laju filtrasi ginjal
Penurunan kemampuan ekskresi kelebihan cairan intoksikasi
cairan dan hiponatremia
Anemia, disebabkan:
Gangguan sintesis hemoglobin karena defisiensi tiroksin
Defisiensi besi karena hilangnya besi pada menoragia
dan gangguan absorbsi besi
Defisiensi asam folat karena gangguan absorbsi asam folat
Anemia pernisiosa
Kelemahan otot proksimal
Berkurangnya refleks
Gerakan otot melambat
Kesemutan
Depresi
Gangguan memori
Gangguan kepribadian
Gangguan pembentukan estrogen gangguan ekskresi FSH dan
LH, siklus anovulatoar, infertilitas, menoragia

Koma miksedema merupakan salah satu keadaan klinis hipotiroidisme yang


jarang dijumpai dan merupakan merupakan keadaan yang kritis dan mengancam jiwa.
Terjadi pada pasien yang lama menderita hipotiroidisme berat tanpa pengobatan
sehingga suatu saat mekanisme adaptasi tidak dapat lagi mempertahankan
homeostasis tubuh. Koma miksedema ditegakkan dengan :

3,4

1. Tanda dan gejala klinis keadaan hipotiroidisme dekompensata.


2. Perubahan mental, letargi, tidur berkepanjangan (20 jam atau lebih).
3. Defek termoregulasi, hipotermia.
4. Terdapat faktor presipitasi : kedinginan, infeksi, obat-obatan (diuretik,
tranguilizer, sedatif, analgetik), trauma, stroke, gagal jantung.
5. Penegakan Diagnosis Hipotiroid
Pada tiroiditis Hashimoto, pemeriksaan goiter yang terbentuk dapat
diidentifikasi melalui pemeriksaan fisik, dan keadaan hipotiroid diketahui
dengan identifikasi gejala dan tanda fisik yang khas, serta melalui hasil
pemeriksaan laboratorium. Peningkatan antibodi antitiroid merupakan
bukti laboratorik paling spesifik pada tiroiditis Hashimoto, namun tidak
semuanya dijumpai pada kasus.

Pemeriksaan hormon tiroid biasanya

diperiksa kadar TSH. Dikatakan hipotiroid apabila terjadi peningkatan

kadar TSH.
Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan secara histopatologis
melalui biopsi. Kelainan histopatologisnya dapat bermacam macam
yaitu antara lain infiltrasi limfosit yang difus, obliterasi folikel tiroid, dan
fibrosis. Aspirasi jarum halus biasanya tidak dibutuhkan pada penderita
tiroiditis ini, namun dapat dijadikan langkah terbaik untuk diagnosis pada
kasus yang sulit dan merupakan prosedur yang dibutuhkan jika nodul
tiroid terbentuk .
Fungsi tiroid dinilai secara prospektif dengan mengukur kadar
TSH sesuai algoritme yang telah ditetapkan. Waktu pengukuran kadar
TSH untuk mendeteksi dan memberikan terapi hipotiroid post operasi
adalah 1. preoperasi 2. fase awal post operasi ( 6 minggu) 3. fase lanjut
post operasi (12 bln) (Wiseman, 2011).
Hipotiroid merupakan akibat yang sering terjadi setelah
lobektomi yang sangat mempengaruhi hasil akhir operasi dan kualitas
hidup pasien. Hampir 100% mengalami peningkatan kadar TSH. Tetapi
peningkatan kadar TSH tidak selalu menjadi patokan untuk memulai
terapi hormon. Semakin

awal

dideteksi

dapat

mencegah

terjadinya keluhan dan komplikasinya (Wiseman, 2011).


Dugaan klinis hipotiroid

T4 turun, TSH
naik
Hipotiroid primer

T4 normal, TSH
naik
Hipotiroid
subklinis

T4 N, TSH naik

Hipotiroid sentral

T4 normal, TSH N

NORMAL

Tes TRH
T4 naik 2x, TSH
naik 2x
Hipotiroid primer

T4 naik, TSH naik

Respon (- )

Hipotiroid tersier

Hipotiroid
sekunder

6. Patofisiologi Hipotiroid
Pada Penyakit Tiroiditis Auto Imun
Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum
diketahui, berdasarkan data epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik
sangat berperan dalam patogenesis PTAI. Selanjutnya diketahui pula pada
Penyakit Tiroiditis Auto Imun terjadi kerusakan seluler dan perubahan
fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler yang bekerja
secara bersamaan (Tomer Y, Davies TF, 2003 dan Prummel MF et al,
2004).
Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T tersensitisasi (sensitized
T-lymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid berikatan dengan membran sel
tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Sedangkan gangguan
fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid yang bersifat
stimulator atau blocking dengan reseptor di membran sel tiroid yang
bertindak sebagai autoantigen (Tomer Y, Davies TF, 2003 dan Prummel
MF et al, 2004).

HIPOTIR
OID

Gambar 7. Skema Respon autoimmum Antigen Dengan Infiltrasi sel limfosit


Mekanisme patogen yang mungkin dari Tiroiditis Hashimoto. Faktor
genetik predisposed individu dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (contoh:
diet iodine, infeksi, kehamilan, terapi sitokin) yang termasuk respon autoimun
melawan antigen spesifik tiroid dengan infiltrasi sel imun. Proses autoimun
menghasilkan T helper tipe 1 (Th1) respon imun mediate dan induksi apoptosis
dari sel tiroid yang mengakibatkan hipotiroid
2.4 Infiltrasi Limfosit
Infiltrasi limfosit adalah salah satu mekanisme pertahanan sistem imun
pada saat inflamasi atau peradangan dimana terjadinya kerusakan seluler saat
limfosit T yang tersensitisasi (sensitized) dan/atau autoantibodi berikatan dengan
membran sel, menyebabkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Perubahan fungsi tiroid
terjadi karena kerja autoantibodi yang bersifat stimulator atau blocking pada
reseptor di membran sel ( Mestman JH et.al, 2013 ).

Gambar 9. Tiroiditis limpocitik. Dua kelompok dari sel folikuler jinak tampak
pada latar belakang limposit ( Mestman JH et.al, 2013 ).
Berdasarkan jurnal Onkologi tahun 2011, Kriteria skor histologi infiltrasi limfosit
tiroid dibagi menjadi 4 kelompok yaitu:
0

: Tidak ada infiltrasi limfosit

: Insidental, efeknya sedikit mempengaruhi nodul .<1 per lapangan


pandang kecil (10-mm field diameter)

: Signifikan meluas tetapi pertengahan dalam ukuran [1 per lapangan


pandang besar (10-mm field diameter)

: Hashimoto tiroiditis, nodul signifikan meluas dan paling banyak


dihubungkan dengan perubahan sel Hurible dan fibrosis jaringan
(Wiseman, 2011).

Gambar 10. Skor histologi infiltrasi limfosit tiroid

Tabel 3. Indeks Patologi Tiroid AITD (Karras et al, 2005)


Indeks
Patologi
0

Perubahan Histopatologi

Terjadi infiltrasi sel mononuklear dengan tingkat rendah, tidak jelas, sel
mononuklear didistribusikan perivaskular

Infiltrasi sel mononuklear terlihat dengan jelas, mempengaruhi 10


sampai 40% kerusakan pada jaringan

Infiltrasi melibatkan 40 sampai 80% jaringan

Infiltrasi melibatkan lebih dari 80% jaringan

Tidak ada infiltrasi, kelenjar yang normal menunjukkan folikel utuh


dengan lapisan sel epitel

Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum diketahui,


berdasarkan data epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat berperan
dalam patogenesis Penyakit Tiroiditis AutoImun yang biasa disebut Hashimoto
tiroiditis. Selanjutnya diketahui pula pada Hashimoto tiroiditis terjadi kerusakan
seluler dan perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler
yang bekerja secara bersamaan.
Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T tersensitisasi (sensitized Tlymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid berikatan dengan membran sel tiroid,
mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Sedangkan gangguan fungsi terjadi
karena interaksi antara antibodi antitiroid yang bersifat stimulator atau blocking
dengan reseptor di membran sel tiroid yang bertindak sebagai autoantigen.
Penyakit ini ditandai dengan infiltrasi limfosit dan autoreaktif terhadap tiroid
sebagai mekanisme respon imun (Quaratino, 2004).
Infiltrasi sel limfosit pada penyakit ini memediasi kerusakan sel-sel pada
tiroid sehingga pada gambaran histopatologi tiroid yang mengalami AITD
menunjukkan adanya infiltrasi sel mononuklear, perubahan struktur dan bentuk
jaringan tiroid (Chistiakov dan Turakulov, 2003; Quarantino, 2004).
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) menyebabkan kerusakan seluler dan perubahan
fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler.Kerusakan seluler
terjadi saat limfosit T yang tersensitisasi (sensitized) dan/atau autoantibodi
berikatan dengan membran sel, menyebabkan lisis sel dan reaksi inflamasi.

Perubahan fungsi tiroid terjadi karena kerja autoantibodi yang bersifat


stimulator atau blocking pada reseptor di membran sel. Ada tiga autoantigen
spesifik yang dominan pada PTAI yaitu thyroid peroxidase (TPO), tiroglobulin,
dan thyrotropin receptor (TSHR). TPO, yang dulu disebut sebagai thyroid
microsomal

antigen,

merupakan

enzim

utama

yang

berperan

dalam

hormogenesis tiroid (Rapoport B, McLachlan SM, 2001).


Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau TPO-specific T cells
merupakan

penyebab

utama

inflamasi

tiroid.

Antibodi

anti-TPO

tidak

menghambat aktivitas enzimatik TPO, oleh karena itu bila antibodi tersebut
berperan pada inflamasi tiroid, hanya sebatas sebagai petanda (marker) penyakit
dan tidak berperan langsung dalam terjadinya hipotiroid. Di lain pihak beberapa
studi menduga antibodi anti-TPO mungkin bersifat sitotoksik terhadap tiroid;
antibodi anti-TPO terlibat dalam proses destruksi jaringan yang menyertai
hipotiroid pada tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis atrofik (Rapoport B, McLachlan
SM, 2001).
Peranan antibodi anti-Tg dalam PTAI belum jelas; di daerah cukup
iodium, penentuan antibodi anti-Tg dilakukan sebagai pelengkap penentuan kadar
Tg, karena bila ada antibodi anti-Tg akan menganggu metode penentuan kadar Tg.
Sedangkan di daerah kurang iodium, penentuan kadar antibodi anti-Tg berguna
untuk mendeteksi PTAI pada penderita struma nodusa dan pemantauan hasil
terapi iodida pada struma endemik (Rapoport B, McLachlan SM, 2001).

Gambar 11. Patofisiologi Infiltrasi Limfosit Pada Kelenjar Tiroid


Skema kejadian autoimun pada tiroiditis Hashimoto. Pada tahap awal
inisiasi, Sel yang menghasilkan antigen (APC), yang ada sel dendrit dan
makrofag, menginfiltrasi kelenjar tiroid. Infiltrasi dapat terjadi karena ada faktorfaktor lingkungan yang mempengaruhi (diet iodine, toksin atau infeksi virus, dan
lai-lain) yang menyebabkan pengeluaran tirosit dan melepaskan protein spesifik
dari tiroid. Protein ini berguna sebagai sumber dari peptida antigen diri yang
berada pada permukaan sel dari APC setelah proses. Meningkatnya sehubungan
dengan autoantigen, APC akan masuk ke kelenjar limfa kering. Fase central
dimulai dalam kelenjar limfa kering dimana terjadi interaksi anatar APC,

autoreaktif(AR), dan sel T (yang menjadi daya tahan dari hasil disregulasi atau
breakage dari toleransi imun dan sel B yang merupakan hasil dari produksi
autoantibodi tiroid. Pada tahap selanjutnya, antigen memproduksi limfosit B, sel T
sitotoksik, dan makrofag menginfiltrasi dan berkumpul di dalam tiroid melalui
ekspansi klon limfosit dan propagasi dari jaringan limfa yang berada pada
kelenjar tiroid. Proses ini biasanya disebut dengan mediasi dari T helper tipe 1 (TH1)
sel yang mengatur sekresi sitokin (interleukin-12, interferon dan daktor nekrotik
tumor). Pada tahap akhir, generasi autoreaktif dari sel T, sel B dan antibodi
menyebabkan deplesi massive dari tirosit melalui antibodi dependent, sitokin mediate
dan mekanisme apoptosis yang menjadi hipotiroid dan penyakit hashimoto tiroiditis
(Chistiakov, 2005).

Terapi Hipotiroid
Tujuan pengobatan dengan T4 pada pasien hipotiroid adalah untuk menormalkan status
tiroid jaringan perifer. Direkomendasikan bahwa tiroksin yang cukup diberikan untuk
menghilangkan semua gejala hipotiroidisme dan menurunkan nilai TSH menjadi normal pada
pasien dengan hipotiroidisme primer. Kemampuan untuk memantau terapi dengan TSH
memungkinkan klinisi memberikan terapi yang cukup ketika meminimalkan keduanya dan
dalam perawatan pada mayoritas pasien dengan hipotiroidisme.
Inisiasi terapi pada individu sehat lainnya yang berumur < 60 tahun tanpa riwayat jantung
dianjurkan untuk dimulai antara 1,6 dan 1,8 g/kgBB tiroksin setiap harinya. Setelah 8-minggu
masa ekuilibrasi, pemantauan lanjut nilai TSH dianjurkan untuk mengevaluasi ketepatan dosis
awal, dan selanjutnya penyesuaian dosis hormon tiroid dibuat dalam kenaikan dosis 25 g.
Inisiasi terapi T4 pada pasien yang lebih tua (berumur > 60 tahun) harus dinilai fakta bahwa
individu yang lebih tua bisa jadi membutuhkan 20% 30% kurang dari total tiroksin untuk
mencapai tujuan terapeutik. Dosis awal harian sebesar 50 g pada pasien lebih tua tanpa riwayat
jantung atau gejala yang tampak hati-hati dengan follow-up evaluasi ulang TSH pada interval 6
8 minggu diikuti oleh 12 25 g kenaikan dosis untuk mencapai status eutiroid. Pada individu
umur berapapun, namun khususnya pada yang lebih tua dengan riwayat jantung positif atau

faktor resiko, penggantian terapi T4 dapat dimulai dengan aman pada dosis serendah 12,5 25 g
per hari dengan penilaian kembali status pada interval 6 8 minggu oleh pengukuran kembali
TSH. Kenaikan dosis diantara individu-individu ini dapat dipenuhi secara hati-hati dengan
sesedikit 12 g untuk memenuhi titrasi berangsur-angsur dan memenuhi status eutiroid.
Setelah inisiasi terapi tiroksin, sirkulasi level T4 menjadi normal dalam beberapa minggu.
Level TSH, bagaimanapun, memerlukan 8 minggu atau lebih untuk seimbang penuh dan
bereaksi dalam hubungan linear-log dengan level tiroksin. Gejala mulainya perbaikan awal
dalam beberapa minggu, namun kesembuhan total bisa memakan waktu beberapa bulan dan
hilangnya berat badan kira-kira 10% atau kurang dapat diharapkan, yang terutama dinilai untuk
mobilisasi cairan. Perawatan berkelanjutan pasien dengan hipotiroidisme primer membutuhkan
sumber tiroksin yang dapat dipercaya dan pengawasan klinis periodik, penting untuk menjamin
dosis yang tepat dan efek yang sesuai. Sekali TSH dinormalkan, frekuensi kunjungan dapat
dikurangi menjadi setiap 6 12 bulan sesudahnya, dimana TSH harus diukur setidaknya setiap
tahun. Kebanyakan penulis merekomendasikan pengukuran kembali nilai TSH dalam 8 12
minggu setelah dosis, tipe atau merek merubah L-tiroksin.
Ketika mempertimbangkan level TSH mana yang tepat untuk seorang individu pasien,
penting untuk mempertimbangkan pemahaman terkini tentang nilai TSH normal. Juga harus
diingat bahwa normal atau rentang acuan untuk TSH diperoleh menggunakan statistik dan
epidemiologi. Pendekatan statistik merupakan metode yang paling mudah dan paling biasa
digunakan dalam menentukan mean dan rentang tambah atau kurang 2 standar deviasi dalam
populasi yang kelihatannya normal. Rentang normal berdasarkan populasi sama luasnya seperti
hasil pada perbedaan besar dalam nilai TSH diantara individu dalam sebuah populasi. Sumber
variasi yang biasanya dicatat adalah adanya penyakit tiroid pada mereka yang diduga normal.
Variasi biologis, termasuk kedua variasi inter- dan intra-individu, juga menyokong rentang lebar
pada nilai TSH yang dianggap normal. Variasi interindividual mengenali bahwa terdapat
ketetapan poin individu untuk regulasi TSH, yang berbeda diantara subjek dalam sebuah
populasi. Variasi intraindividual dikenalkan sebagai variasi berirama dalam level TSH muncul
dengan frekuensi yang mencakup dari 30 menit sampai 365 hari. Apalagi terdapat perbedaan
berdasarkan jenis kelamin, umur dan etnik pada nilai TSH sebagaimana diilustrasikan dalam
ketetapan data National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) III. Biasanya,

faktor-faktor ini tidak disesuaikan untuk penggunaan klinis rutin. Nilai TSH menunjukkan
variasi diurnal mencolok dengan level puncak terjadi dalam semalam dan level titik rendah
diantara jam 10 pagi dan jam 4 sore.
Telah direkomendasikan baru-baru ini bahwa interval acuan TSH berdasarkan pada
observasi yang dibuat dalam spesimen yang diperoleh dari individu yang antibodi anti-TPO-nya
negatif. Hal ini menjadi penting, karena antibodi anti-TPO secara positif dapat diamati dengan
prevalensi 10 12 % dalam populasi tidak terpilih. Munculnya antibodi anti-TPO berhubungan
dengan nilai TSH lebih tinggi melebihi rentang normal. Sebagai tambahan mengikutkan hanya
antibodi TPO negatif perseorangan, subyek terpilih untuk referensi penentuan interval harus
dapat berjalan, eutiroid secara klinis, tidak memiliki goiter yang dapat dipalpasi, dan tidak ada
riwayat penyakit tiroid pribadi atau keluarga.
Selama lebih dari 20 tahun, batas atas normal untuk pengujian kadar logam TSH
menurun dari rentang 10 mU/L sampai kira-kira 4,0 sampai 4,5 mU/L. Hal ini telah diamati
sebagaimana teknologi pengukuran TSH telah meningkat. Sebagai tambahan untuk hal tersebut,
telah dikenali bahwa penggunaan metode (berdasar pada hasil) epidemiologi untuk menentukan
batas atas normal untuk TSH mungkin lebih bermakna daripada kepercayaan pada pendekatan
statistik semata-mata terhadap populasi tidak terpilih. Pendekatan epidemiologi mengijinkan
definisi abnormal sebagai nilai yang berhubungan dengan penyakit. Nilai kolesterol, sebagai
contoh, > 5,6 mmol/L atau tekanan darah diastol > 85 mmHg dihubungkan dengan peningkatan
resiko kematian kardiovaskular. Dalam pengertian yang serupa, data follow-up selama 20 tahun
dari studi cohort Wickham bahwa nilai TSH > 2 mU/L dihubungkan dengan peningkatan resiko
menghasilkan lahirnya hipotiroidisme mandiri pada kepositifan antibodi anti-TPO. Sebagai hasil
dari informasi epidemiologi ini, sebuah konsensus menghasilkan bahwa nilai normal atas TSH
nantinya tentu berada dalam rentang 2,5 mU/L karena > 95% sukarelawan eutiroid normal yang
disaring dengan teliti memiliki nilai TSH berada pada atau dibawah nilai ini.
Batas lebih rendah rentang TSH baru-baru ini dianggap menjadi antara 0,3 dan 0,4 mU/L.
Studi terbaru memberi kesan bahwa nilai yang kurang dari normal, (misal, nilai TSH antara 0,1
dan 0,4 mU/L) dapat memunculkan adanya kelebihan hormon tiroid dan dihubungkan dengan
meningkatnya resiko fibrilasi atrium dan mortalitas kardiovaskular.

Target terapi nilai TSH, untuk kegunaan dalam titrasi dan pengawasan terapi levotiroksin,
telah disarankan akhir-akhir ini. Untuk hipotiroidisme primer, mengumpamakan akses pituitari
hipotalamus yang berfungsi secara normal, tujuan TSH disarankan terletak antara 0,5 sampai 2,0
mU/L (rentang 1,5-unit). Target seperti itu terlihat dibenarkan untuk memecahkan definisi yang
diusulkan tentang batas atas dan bawah TSH juga pengamatan Anderson dkk pada tahun 2002.
Pada studi mereka, 16 pria berkulit putih dengan umur tengah 38 tahun ditarik sampel darahnya
pada dasar bulanan antara jam 9 pagi sampai jam 12 siang. Seluruh sampel disimpan dalam
keadaan beku dan diamati dengan cara acak pada akhir masa pengumpulan dalam uji kadar
logam sama yang dilakukan untuk menghapuskan variabilitas interassay. Masing-masing subjek
nilai TSH tercakup dalam pola individu unik, lebarnya kira-kira setengah untuk masing-masing
individu melawan seluruh kelompok. Individu dengan cakupan nilai TSH paling luas diamati
memiliki variasi TSH hanya sebesar 2,3 mU/L, dan individu dengan cakupan paling sempit
bervariasi kira-kira 0,5 mU/L. Telah ditentukan bahwa perbedaan besar dalam level TSH
dianggap sebuah perubahan penting pada level terpercaya 95% hanya sebesar 0,75 mU/L
mencakup mulai dari 0,2 1,6 sebagai yang paling sedikit terhadap variasi maksimal yang
diamati diantara perseorangan. Untuk memecahkan hal ini seluruhnya, tampak jelas bahwa
pemahaman kita akan TSH normal telah berubah dalam beberapa dekade ini. Tujuan nilai TSH
tertinggi untuk seorang pasien perseorangan dengan hipotiroidisme primer terletak antara
cakupan yang jauh lebih sempit dibandingkan yang dihargai sebelumnya.
Konsekuensi penggantian tiroksin non-fisiologis mencakup dari penyakit tiroid
simtomatis (klinis) sampai disfungsi tiroid subklinis (ringan). Penyakit tiroid subklinis
didefinisikan sebagai munculnya nilai TSH tinggi atau rendah dimana nilai tiroksin dan T 3 dalam
cakupan acuan laboratorium yang ditetapkan. Telah ditunjukkan bahwa kedua hipotiroid
subklinis dan tirotoksikosis dihubungkan dengan abnormalitas fisiologi dan biokimia juga
meningkatnya resiko penyakit tertentu. Sebagai contoh, ketika terapi tiroksin dimasukkan
berlebihan, dapat menyebabkan kerapuhan tulang berlebihan, diamati terutama pada wanitawanita paska menopause. Aritmia jantung atau disfungsi jantung juga dapat timbul, termasuk
diamatinya peningkatan denyut nadi, penebalan dinding jantung, kontraktilitas jantung dan
resiko berkembangnya fibrilasi atrium klinis atau mortalitas jantung. Karena biasanya diamati
bahwa perubahan dosis hanya sebesar 10% atau kurang, dapat menyebabkan peningkatan atau

penurunan nilai TSH menjadi cakupan sesuai dengan penyakit tiroid subklinis, ketetapan dalam
dosis menjadi penting ketika menggunakan tiroksin pada pasien perseorangan.
PENGOBATAN KANKER TIROID
Seorang wanita berumur 69 tahun datang pada Juni 1996 untuk evaluasi sebuah nodul
tiroid. Aspirasi fine needle dan pada pembedahan awal diduga adanya kanker tiroid papilar.
Keterlibatan nodus limfatikus luas dan invasi lokal oleh tumor telah tercatat. Akhirnya, dilakukan
tiroidektomi mendekati-total. Berikutnya total 650 millicuries (mCi) Iodin-131 diberikan dalam
5 dosis terbagi untuk penyakit persisten tanpa munculnya penyakit yang dapat diidentifikasi oleh
pembedahan. Pemeriksaan rekombinan human-TSH dilakukan pada Desember 2001 tanpa ada
terdeteksi ambilan iodin dan level tiroglobulin yang tersisa. Pada Desember 2002, bantalan tiroid
sekali lagi terlihat setelah dosis 4 mCi I 131, dan level tiroglobulin merespon terhadap rangsangan
rhTSH.
Beberapa penulis telah meringkaskan pilihan pada derajat supresi TSH untuk diselesaikan
oleh terapi tiroksin pada pasien dengan penyakit meluas (lihat Tabel 1). Meskipun tak ada
prospek, bukti acak telah memperlihatkan bahwa terapi levotiroksin tunggal atau dikombinasi
dengan pembedahan memperbaiki ketahanan hidup, pastinya diduga bahwa rangsangan TSH
meningkatkan pertumbuhan tumor, dan pertumbuhan tumor cepat telah diobservasi ketika
levotiroksin telah ditarik kembali untuk tujuan pemeriksaan dan/atau ablasi. Keseluruhan data
observasi mendukung keuntungan terapi levotiroksin dalam manajemen pasien dengan kanker
tiroid diferensiata karena angka rekurensi kanker dan tumor lebih rendah dengan pengobatan
supresi tiroksin.
Rekomendasi untuk terapi tiroksin pada pasien dengan kanker tiroid diberi dosis 2 2,5
g/kg/hari. Pasien yang lebih muda biasanya membutuhkan dan mentoleransi dosis lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien lebih tua. Hal ini telah memberi kesan bahwa angka tujuan untuk
supresi TSH adalah 0,1 sampai batas lebih rendah dari normal diantara pasien-pasien beresiko
lebih rendah. Rekomendasi konsensus dari beragam kelompok berkisar mulai dari nasehat sangat
spesifik untuk mempertahankan TSH dibawah 0,1 mU/L sampai tuntutan kurang spesifik untuk
menekan TSH dengan tiroksin. Ahli lain merekomendasikan nilai TSH antara 0,05 0,1 pada

pasien beresiko lebih rendah dan nilai TSH < 0,01 pada pasien beresiko lebih tinggi. Pastinya
mempertahankan level TSH ditekan pada rentang sempit ini dirasa penting dan variasi pada cara
pemberian tiroksin, yang mengakibatkan kegagalan dalam mempertahankan supresi TSH ini
tidak diinginkan dan berpotensi mengakibatkan hasil klinis yang lebih buruk ketika TSH
meningkat atau efek samping tirotoksik ketika TSH ditekan terlalu banyak.
Tabel 1. Sasaran nilai TSH untuk Pengobatan Kanker Tiroid Diferensiata
(differentiated thyroid cancer/DTC), sebuah contoh dari literatur terakhir.
Tahun

Penulis

199619 PujolSinger
96

Sasaran TSH
< 0,1 mU/L0,05 0,1 mU/L pada pasien resiko-rendah

Larsen

< 0,01 mU/L untuk pasien resiko-tinggi

Mazzaferri

< rentang Eutiroid pada papilar resiko-rendah

Cobin

Ditekan pada DTC resiko-tinggi

Sherman

< 0,5 mU/L pada DTC resiko rendah

1998
2000
2001
2002
British Thyroid < 0,1 mU/L pada pasien resiko-sangat tinggi
2002
De Groot

0,1 < normal pada pasien resiko-rendah

Pacini

< 0,01 mU/L pada pasien resiko-tinggi

2003
2003
Menekan dengan tiroksin
< 0,1 mU/L
0,4 1,0 mU/L riwayat kanker terakhir (dengan masalah medis
lain)
0 0,1 mU/L riwayat kanker terakhir (tanpa masalah medis
lain)

0,4 0,2 mU/L diduga kanker diobati mendekati 0 mU/L


kanker aktif terbaru
0,1 0,4 mU/L diduga kanker diobati
Pasien anak dengan kanker tiroid diatur dalam petunjuk yang mirip dengan dewasa,
namun tidak jarang, pertimbangan khusus menjadi nyata. Seorang anak perempuan berumur 12
tahun dievaluasi untuk pembesaran nodus limfatikus servikal yang dihubungkan dengan nodul
tiroid 3 cm yang teraba secara klinis. Pada pasien dilakukan tiroidektiomi mendekati-total dan
diseksi sebagian nodus limfatikus menyatakan kanker tiroid papilar 4 cm dengan invasi lokal
kedalam jaringan konektif sekitar, dan 16 dari 22 nodul positif untuk metastase penyakit. Pasien
tersebut menerima 75 mCi ablasi I131. Pemeriksaan paska pengobatan memperlihatkan kedua
bantalan tiroid dan ambilan nodus limfatikus servikal. Terapi supresif dengan tiroksin telah
diberikan. Follow up tiroglobulin (Tg) sebesar 12 ng/mL dengan antibodi anti-Tg negatif,
sedangkan TSH < 0,01 mU/L. Dosis I131 200 mCi telah diberikan setelah dosimetry yang tepat,
dan pemeriksaan paska pengobatan memperlihatkan ambilan di leher, mediastinum, dan bidang
paru atas. Follow up tiroglobulin ketika dalam pengobatan L-T4 turun menjadi 10 ng/mL, Ab
anti-Tg tersisa negatif, dan TSH ditekan lagi pada < 0,01 mU/L. Selanjutnya, dilakukan
thyropivic 2 mCi I131 yang diteliti dengan dosimetry, memperlihatkan ambilan bantalan tiroid dan
aktivitas nodus limfatikus servikal. Perkiraan dosis toleransi maksimum diperkirakan 325 mCi.
Dosis 269 mCi I131 diberikan secara oral dan setelah pengobatan ini, pemeriksaan
memperlihatkan berkurangnya ambilan pulmonal dan mediastinal ketika dibandingkan dengan
setelah pemeriksaan 200 mCi.
Manajemen kanker tiroid anak menuntut penggunaan terapi supresif-hormon tiroid.
Terapi supresif-hormon tiroid ini tidak dapat lebih menegaskan dan harus diresepkan dalam dosis
cukup untuk menekan serum TSH namun jangan ada bukti toksisitas. Telah direkomendasikan
bahwa setelah pembedahan awal, pengobatan harus disamakan termasuk terapi supresif-hormon
tiroid untuk kasus kanker tiroid anak. Derajat supresi TSH untuk kasus-kasus dengan penyakit
persisten, metastase atau level Tg > 2 ng/mL adalah menutup TSH sampai 0 tanpa gejala klinis
tirotoksikosis. Jika dalam hal lain, pasien telah bebas dari penyakit selama 5 10 tahun atau
lebih, supresi TSH menjadi 0 mungkin jadi tidak penting.

Sebagaimana diilustrasikan dalam kasus yang disebutkan dalam artikel ini, terdapat
berbagai situasi klinis yang membutuhkan titrasi tepat dosis levotiroksin untuk meringankan
gejala, menormalkan fungsi tiroid, meningkatkan hasil klinis, dengan mencegah overdosis pada
pasien dengan beberapa bentuk defisiensi hormon tiroid. Pemeliharaan titrasi tepat pada level ini
sekali lagi dicapai sama pentingnya bagi efek dan hasil klinis yang sesuai. Antara tahun 1980 dan
1985, tidak kurang dari 11 studi muncul dalam literatur medis yang menilai ekuivalensi hasil
klinis antara 2 preparat levotiroksin bermerek yang terkenal. Bergantung pada metodologi uji
kadar logam yang digunakan dan formulasi produk yang dievaluasi, 6 dari studi tersebut
melaporkan bahwa Synthroid (Abbot) dan Levothroid (Forest) secara umum sebanding. Lima
dari studi tersebut, memperlihatkan perbedaan tiroksin dan level TSH diantara kedua produk
tersebut, yang memperkirakan hasil tidak sebanding. Studi crossover kami sendiri dilakukan
pada 34 individu yang secara klinis eutiroid yang dicari untuk mengevaluasi ekuivalensi antara
Levothroid dan Synthroid setelah sebuah formulasi Synthroid dilaporkan pada tahun 1982.
Meskipun terlihat perbedaan pada level T4 dan T3 total, level tiroksin bebas, dan respon pituitari
terhadap stimulasi TSH memberi kesan bahwa produk Synthroid karena suatu alasan lebih
bioavailable ketika dosis diberikan pada individu yang sama dalam dosis serupa.
Penilaian selanjutnya dilakukan dengan metodologi berbeda termasuk studi oleh
Escalante dkk pada tahun 1985, yang merekam hasil setelah penggantian Synthroid dengan
Levoxine pada 31 pasien dengan hipotiroidisme primer yang sudah berlangsung lama. Para
penulis ini mengamati bahwa 6 dari 24 pasien yang eutiroid ketika menggunakan Synthroid
tercatat memiliki uji fungsi tiroid yang sesuai dengan status tirotoksik pada Levoxine, dan 2 dari
21 yang eutiroid ketika menggunakan Levoxine tercatat menjadi tirotoksik pada penggunaan
Synthroid. Keseluruhan 26% pasien yang bertukar dari 1 produk ke produk lainnya mengalami
perubahan dalam klasifikasi TSH basal. Sebuah pernyataan ulang tentang arti temuan ini juga isu
lainnya yang berhubungan dengan laporan ini segera dipublikasikan pada tahun 1996.
Pada tahun 1997, Dong dan kolega menerbitkan hasil evaluasi mereka terhadap 2 merek
nama dan 2 generik produk tiroksin untuk menilai bioekuivalensi keempat preparat ini. Model
studi menggunakan percobaan untuk mencerminkan prinsip farmakokinetik yang mengikutkan
FDA untuk mengevaluasi bioekuivalensi diantara obat-obatan yang diberikan secara oral akhirakhir ini yang ditinjau ulang untuk industri. Ke-24 pasien hipotiroid dimasukkan kedalam studi

ini jika mereka berstatus eutiroid pada baik 100 150 g tiroksin per hari selama 6 minggu
sebelum masuk studi. Mereka lalu ditugaskan memblok terhadap 4 protokol crossover, masingmasing selama 6 minggu untuk meyakinkan ekuilibrasi yang cukup pada masing-masing
medikasi pada studi. Farmakokinetik area-dibawah-kurva (area under the curve/AUC) untuk
indeks tiroksin, T3 dan T4 bebas dikalkulasikan. Data ini kemudian diteliti berdasarkan pada
metode yang direkomendasikan FDA saat ini tanpa menilai level hormon dasar. Yang demikian,
menggunakan profil 24-jam ini, penulis melaporkan bahwa perbedaan mean diantara AUC
berada dalam batas ketetapan-FDA dan disimpulkan bahwa preparat-preparat tersebut adalah
bioekuivalen satu sama lain. Penulis-penulis ini terus melaporkan bahwa terdapat variabilitas
dalam hasil TSH diantara para pasien ketika preparat mereka ditukar dari waktu ke waktu, yang
berkisar mulai dari 14% 19% pasien menjadi hipotiroid pada titik yang sama antara peroide 1
dan 4, dan 19% 30% pasien memiliki nilai TSH tertekan yang diamati dalam periode 1 sampai
4. Keseluruhan, 38% subjek memperlihatkan TSH abnormal pada periode 1, 43% pada periode 2,
52% pada periode 3, dan 52% pada periode 4. Disamping perubahan-perubahan dalam nilai
TSH, yang akan memicu penyesuaian dosis tiroksin oleh kebanyakan dokter, 90% interval
confidence pada area kurva tidak dikoreksi untuk tiroksin dan T 3 yang jatuh dalam standar FDA
pada referensi 80% 125%, mendorong para penulis untuk menunjuk bioekuivalensi preparat.
Laporan ini juga mengumpulkan sejumlah komentar penting, dan kesimpulannya dikritik secara
luas.
Pada 14 Agustus 1997, FDA mengumumkan bahwa produk levotiroksin oral merupakan
obat baru. Publikasi FDA mengutip isu-isu dengan stabilitas dan potensi produk tiroksin, yang
telah didistribusikan tanpa persetujuan-obat-baru (new drug approval/NDA) karena obat-obat ini
telah berada di pasaran ketika proses NDA diperkenalkan.
FDA khususnya memperhatikan tentang kegagalan produk untuk mempertahankan
potensi mereka melalui pemberitahuan tanggal kadaluarsa dan mengutip contoh-contoh
komposisi aktif tablet berisi dosis yang sama format dan mereknya yang diamati bergantian dari
tumpukan ke tumpukan pada beberapa produk. Sebagai hasilnya, FDA menyimpulkan bahwa
dikarenakan indeks terapi yang sempit pada sodium levotiroksin, terutama sekali penting bahwa
jumlah obat aktif yang tersedia harus konsisten untuk kekuatan tablet yang diberikan. Untuk
menetapkan standar yang dapat dipercaya bagi produk-produk yang didistribusi di Amerika

Serikat, FDA mendeklarasikan pentingnya NDA bagi produk pada kelas ini untuk terus
didistribusikan. Apalagi, panduan industri pada standar bioavailabilitas produk segera ikut
dibawa ke pasaran. Dalam panduan ini, bioavailabilitas produk tiroksin digambarkan dalam
persetujuan dengan Paragraf 320.1 sebagai cakupan dan perluasan bagi komposisi aktif atau
separuh aktif yang diabsorbsi dari sebuah produk obat dan tersedia pada tempat kerjanya. Telah
diklarifikasi bahwa definisi ini terfokus pada proses dimana komposisi aktif atau separuh aktif
dilepas dari bentuk dosis oral dan pindah ke tempat kerjanya. Pendeknya, produk levotiroksin
yang diberikan secara oral akan dicerna, berubah menjadi larutan dalam traktus gastrointestinal,
dan melewati dinding usus untuk memasuki aliran darah yang mana, dalam teori, larutan ini akan
berjalan ke tempat-kerjanya dan menggunakan efek terapinya. Bagaimanapun, sebagaimana
diuraikan oleh Connor, model aksi farmakokinetik ini untuk substansi yang dihasilkan secara
endogen, dipersulit umpan-balik oleh hormon produksi endogen tubuh sendiri. Interaksi
kompleks antara absorpsi komposisi aktif dan produksi endogen menghasilkan konsentrasi
kumulatif tiroksin karena keduanya berperan dalam proporsi berbeda pada area total dibawah
kurva

yang

diukur

menggunakan

proses

farmakokinetik.

Sebenarnya,

pengukuran

farmakokinetik tidak mengevaluasi aksi tiroksin pada tempat kerjanya dan tidak mengevaluasi
efek terapi hormon secara langsung, yang mungkin membutuhkan baik evaluasi klinis atau
farmakodinamik untuk penilaian fisiologis yang sesungguhnya.
Proses tersebut ditetapkan oleh Petunjuk FDA pada bioavailabilitas tiroksin yang
meminta subyek sukarelawan sehat (sekurang-kurangnya 24). Subyek ini dinilai dengan pola
crossover dalam periode pengobatan acak setelah mencernakan dosis tunggal farmakokinetik
600 g. Dosis ini diakui oleh perencana FDA sebagai superfisiologis namun dianggap penting
untuk menghasilkan level tiroksin dan T3 yang cukup diatas nilai dasar ambient (endogen). Level
tiroksin dan T3 diukur pada interval waktu berbeda mulai dari 30 menit sebelum sampai 48 jam
setelah pencernaan dosis superfisiologis. Petunjuk asli meminta sebuah analisa dasar
farmakokinetik tak-terkoreksi pada area dibawah kurva antara 0 dan 48 jam. Sebuah perbedaan
analisa muncul pada data mean geometri yang diubah logaritma, menilai rasio uji produk
melawan larutan tiroksin standar. Apalagi, dosis dari analisa proporsional dilakukan pada
produk-produk yang mencari persetujuan NDA mempercayai dosis proporsionalitas konsisten
untuk dipasarkan. Bentuk studi ini, berdasar pada model dosis tunggal cepat yang diuraikan

sebelumnya, termasuk 3 periode pengobatan dengan 6 kombinasi urutan crossover dan interval
kegagalan antara 600 g dosis pada sekurang-kurangnya 35 hari ( > 5 hidup). Dosis yang
diberikan adalah untuk mencapai dosis total 600 g dan diberikan dalam 12 tablet 50 g, 6 tablet
100 g, atau 2 tablet 300 g (yang terbesar dipasarkan). Analisa data ini lagi adalah untuk
mengevaluasi parameter farmakokinetik yang sama, AUC, juga konsentrasi T 4 maksimum (Cmax)
dengan tanpa koreksi dasar untuk tiroksin. Data ilustratif yang diperoleh dari aplikasi NDA
Abbot Pharmaceutical (Studi N01-324) mengindikasikan kontribusi rata-rata tiroksin endogen
pada T4 total AUC adalah 69% berkisar antara 52% 88% ketika 3 kombinasi 600 g dinilai.
Standar untuk mempertimbangkan 3 dosis bioekuvalen percobaan ini meminta 90% interval
confidence pada perbedaan antara AUC dan C max yang terdapat dalam standar referensi 80 %
sampai 125%. Produk Abbot disetujui karena memiliki bentuk cukup proporsionalitas
bioekuivalensi dan disetujui NDA bersama dengan 6 produk lainnya (Tabel 2).
Tabel 2. Preparat L-T4 yang tersedia
Kode ekuivalensi terapeutik

Nama produk

Perusahaan

BXBX

Levo-TLevoxyl

MovaJones

BX

Novothyrox

Genpharm

BX

Synthroid

Abbot

BX

Thyro-Tabs

Lloyd

AB*

Unithroid

Stevens

AB*

L-T4 Na

Mylan

BE

ditentukan

tanpa

koreksi

tiroksin

dasar.Diprint

http://www.accessdata.fda.gov/scripts/cder/ob/docs/tempai.cfm

dari:
Diakses

pada 5 Mei 2003

Bersama dengan pemberitahuan persyaratan NDA adalah sebuah bagan prosedur untuk
diikuti untuk aplikasi obat baru yang disingkat (abbreviated new drug application/ANDA)
dimana studi bioekuivalensi dilakukan dalam perbandingannnya dengan referensi produk yang

disetujui-FDA diuraikan sebagai komponen kepatuhan obat generik ini. Tujuan yang dinyatakan
pada studi ini adalah untuk memperlihatkan bioekuivalensi antara produk obat generik dan sesuai
referensi obat-obat terdaftar yang telah dilakukan proses NDA dengan persetujuan peraturan
federal. Disini, definisi bioekuivalensi adalah sama dengan yang sebelumnya terdapat pada
Paragraf 320.1, dan disana diminta ketiadaan perbedaan penting pada tingkat dan meluas pada
komposisi aktif atau separuh aktif dalam produk-produk yang sebanding secara farmakologis
(sama bentuk, komposisi aktif dan dosis) tersedia pada tempat-kerja obat ketika diberikan dalam
dosis molar yang sama dibawah kondisi yang sama dalam studi yang dibentuk dengan tepat.
Persyaratan untuk bisa diberikan dalam dosis molar yang sama ditetapkan bahwa isi komposisi
aktif tidak > 5% perbedaannya antara produk-produk yang dibandingkan. Hal ini untuk
meyakinkan bahwa hanya perbedaan dalam bioavailabilitas diantara formulasi akan dievaluasi
bukannya membandingkan produk-produk yang sebanding secara farmakologis pada pentingnya
perbedaan dosis.
Tujuan yang dinyatakan FDA untuk melakukan studi bioekuivalensi adalah untuk
memperlihatkan ekuivalensi terapeutik khususnya untuk memastikan bahwa produk-produk yang
bioekuivalen dapat disubstitusi satu sama lain tanpa memperhatikan penyesuaian dosis obat atau
pentingnya follow-up pengawasan terapeutik. Sebagai tambahan Petunjuk FDA menyatakan
bahwa metode yang paling efisien untuk memastikan ekuivalensi terapeutik adalah untuk
memperlihatkan bahwa formula-formula bekerja dalam cara yang sama. Proses FDA
menentukan bioekuivalensi dapat karenanya jatuh pada fakta bahwa 2 produk obat yang
diberikan secara oral dianggap sebanding jika komposisi obat aktif pada produk yang diuji
menghambat pada tingkat yang sama dan memperluas absorpsi sebagaimana referensi produk
obat yang dibuat. Meskipun secara klinis tidak terbukti, penilaian farmakokinetik ini merupakan
pijakan dasar untuk penentuan ekuivalensi terapeutik.
Dalam metode hirarki untuk mendokumentasikan bioekuvalensi, studi farmakokinetik
dikatakan lebih disukai karena pengukuran komposisi aktif pada tempat-aksi adalah tidak
mungkin. Diduga bahwa beberapa hubungan muncul diantara kemanjuran dan keamanan produk
dan konsentrasi separuh aktif dalam sirkulasi sistemik. Dalam konteks ini, pengukuran
farmakokinetik diperlihatkan sebagai pelepasan penilaian uji-kadar-logam-biologis pada
substansi obat dari produk obat kedalam sirkulasi sistemik. Penilaian aksi obat aktual dan efek

klinis yang secara potensial diperllihatkan oleh studi farmakodinamik (penentuan TSH) tidak
direkomendasikan oleh FDA untuk obat-obat yang diberikan secara oral karena penilaian
farmakokinetik dapat digunakan. FDA juga tidak akan mentoleransi percobaan klinis komparatif
karena mereka dianggap tidak sensitif dan jika mungkin dihindari. Karenanya, ini meninggalkan
kita, dengan perbandingan perbedaan profil farmakokinetik untuk menentukan bioekuivalensi
produk tiroksin. Selama interval confidence 90% pada perbedaan ini tertinggal antara acuan 80%
dan 125%, produk tersebut dianggap bioekuivalen. Sampai 13 Maret 2003, FDA menggunakan
metodologi ini, tanpa koreksi untuk level tiroksin dasar, untuk menilai bioekuivalensi
(ekuivalensi terapeutik) obat-obatan generik dalam acuan terhadap produk tiroksin yang
pertamakali disetujui-NDA (Unithroid). (Tabel 2)
Pada pertemuan komite penasehat FDA untuk pengetahuan farmasi (12-13 Maret 2003),
sebuah dokumen pengarahan singkat pada bioekuivalensi levotiroksin diperkenalkan oleh para
ilmuwan Abbot Laboratories. Data yang diperkenalkan mencakup hasil penilaian farmakokinetik
yang dibuat pada 36 sukarelawan sehat menggunakan metodologi yang dianjurkan-FDA untuk
menilai bioekuivalensi. Studi ini dibuat untuk menilai dosis berbeda pada produk tiroksin
tunggal untuk menentukan apakah perbedaan-perbedaan ini dapat dideteksi oleh proses penilaian
proses farmakokinetik yang disukai. Untuk memastikan bioavailabilitas dan potensi tetap,
produk tiroksin pada tumpukan yang sama dalam tablet 50 g digunakan untuk semua
eksperimen. Tiga dosis terpisah tiroksin diberikan secara oral pada subyek yang berpuasa. Dosis
standar 600 g dibandingkan dengan dosis 450 g (berbeda 25%) dan dosis 400 g (berbeda
33% dari referensi dan 12,5% jika dibandingkan dengan 450 g). Tiga metode perbaikan untuk
level tiroksin endogen diterapkan pada data AUC dan C max untuk mengevaluasi potensi mereka
untuk meningkatkan sensitivitas studi farmakokinetik dalam mendeteksi perbedaan penting
secara klinis dalam dosis pemberian tiroksin. Analisa statistik tak-terkoreksi mendeteksi tidak
ada perbedaan diantara 3 dosis yang diberikan. Masing-masing dosis menghasilkan interval
confidence 90% antara acuan 80% dan 125% (600 g), karenanya temuan masing-masing dosis
untuk menjadi bioekuivalen terhadap lainnya. Metode koreksi menggunakan koreksi horizontal
sederhana bagi nilai tiroksin dasar sebagai titik awal nol yang mampu mendeteksi perbedaan
penting secara statistik antara dosis 450 g dan 600 g (25%) juga dosis 400 g dan 600 g
(pertentangan 33%). Perbedaan 12,5% dalam dosis antara dosis 450 g dan dosis 400 g tidak

terdeteksi bagaimanapun juga. Sebagai hasil pada data ini, personil FDA bertanggung jawab
untuk penilaian ANDA lebih lanjut atas produk tiroksin menetapkan bahwa metode koreksi
tiroksin dasar horizontal akan menjadi standar mulai dari 13 Maret 2003 terus ke depannya.
Produk obat yang dianggap FDA sebagai ekuivalen secara terapeutik dibuat dengan kode
ekuivalensi terapeutik. Penentuan AA dihargai ketika tidak dikenal atau dicurigai munculnya
masalah bioekuivalensi. Produk-produk yang dinilai sebagai AB, bagaimanapun, jika masalah
bioekuivalensi nyata atau potensial telah dipecahkan dengan bukti cukup in vivo dan/atau in vitro
mendukung bioekuivalensi. Produk yang dibuat dengan kode ekuivalensi terapeutik B adalah
produk-produk yang dianggap FDA tidak menjadi ekuivalen secara terapeutik. Semua preparat
L-tiroksin yang disetujui-FDA ditunjuk sebagai BX, karena data tidak cukup untuk menentukan
ekuivalensi terapeutik sebagai hasil proses-NDA, dan semuanya dianggap tidak ekuivalen secara
terapeutik oleh FDA dalam menghargai satu sama lainnya. Mulai dari Maret 2003, terdapat 6
produk levotiroksin (lihat Tabel 2) yang telah dilakukan proses persetujuan-NDA dan telah
bertaraf-BX. Lanjutan terhadap persetujuan NDA, bagaimanapun, Unithroid telah digunakan
sebagai produk acuan untuk sebuah ANDA produk levotiroksin generik yang diproduksi oleh
Mylan Pharmaceutical dan, mulai dari Mei 2003, terlihat pada daftar preparat levotiroksin yang
tersedia dan dinilai sebagai ekuivalen secara terapeutik terhadap Unithroid. Kedua produk ini
sekarang membawa penilaian AB, dimana 5 produk dinilai-NDA lainnya baru-baru ini
dicalonkan sebagai BX. Seharusnya dicatat bahwa meskipun tidak ada produk-produk bertarafBX yang harus dianggap mampu-bertukar satu dengan lainnya, mereka harusnya juga tidak
dianggap mampu-bertukar dengan baik Unithroid atau generik Mylan karena evaluasi
bioekuivalensi yang tepat tidak pernah diselesaikan. Lagipula, harus diingat bahwa ANDA
Mylan diselesaikan sebelum 13 Maret 2003, menggunakan standar bioekuivalensi yang tidak
membutuhkan koreksi untuk produksi tiroksin endogen. Karenanya, sensitivitas terbatas metode
ini mendeteksi potensi perbedaan pada 2 produk dapat melebihi 33% dan secara potensial
bertemu standar FDA untuk bioekuivalensi. Jika ditunjuk ekuivalen secara terapeutik dengan
derajat ketidak-pastian ini, klinisi yang percaya akan merasa kebenaran kemampuan-bertukar
formulasi ini dalam praktek akan dibatasi. Disamping label ekuivalensi terapeutik yang jelas ini,
tampaknya muncul kurang pemahaman terhadap tujuan ini dalam praktek komunitas farmasi
(pengalaman pribadi) dan pada bagian pembayar pihak ketiga. Kebingungan ini diilustrasikan

oleh Daftar Obat yang Lebih Disukai tahun 2003, yang saya terima dari pemberi asuransi
terkemuka kami. Pada terbitan ini, terdapat sebuah daftar obat-obatan bermerek yang memiliki
ekuivalensi generik yang paling sering diresepkan. Dalam daftar ini termasuk Armour Thyroid
(Forest Pharmaceutical), Levothroid (dipindahkan dari sirkulasi pada pertengahan Agustus 2003
atas permintaan FDA), dan Synthroid yang semuanya bertaraf BX karena tidak ada studi
bioekuivalensi yang disetujui-FDA sampai saat ini yang dilakukan dengan produk-produk ini.
Daftar ini menciptakan ilusi bahwa produk bertaraf AB tersedia untuk disubstitusi dengan yang
bermerek. Perhatian yang nyata muncul bahwa klinisi yang sibuk, merujuk pada referensi seperti
itu, bisa menjadi kesimpulan yang salah dan tanpa diketahui memudahkan penggantian preparat
tiroksin dengan produk-produk yang dianggap tidak ekuivalen oleh FDA pada pasien yang
membutuhkan dosis tiroksin yang tepat.
Dimana para klinisi mencari jawaban terhadap pertanyaan tentang dosis L-tiroksin tepat
yang dapat dipercaya? Yang tetap terlihat jika prosedur bioekuivalensi yang baru terlaksana akan
dipercaya mendeteksi perbedaan dalam bioavailabilitas < 25%. Dengan demikian, tidak hanya
produk-produk bertaraf-AB yang secara potensial tidak mampu-bertukar, namun formulasi yang
dievaluasi berdasarkan pada standar baru juga dapat menjatuhkan sebagian harapan para klinisi.
Jelas bahwa perubahan dosis < 25% menyebabkan perubahan tetap TSH dengan munculnya
disfungsi tiroid subklinis, dan bahwa konsekuensi klinisnya akan lebih baik digambarkan dan
dihargai dengan penelitian yang sedang berlangsung. Mungkin, menyerahkan kebutuhan untuk
mencapai titrasi tiroksin yang tepat, kami masih sampai pada titik substitusi generik pada terapi
L-levotiroksin. Mungkin bijaksana untuk mengikuti petunjuk terkini dan dengan jelas
mencalonkan produk-produk L-tiroksin yang disetujui-NDA agar konsistensi dalam formulasi,
disolusi, dan dosis untuk pasien perseorangan dapat dicapai dengan sesedikit mungkin
variabilitas untuk hasil jangka panjang terbaik. Harusnya substitusi muncul sebagai hasil tekanan
pihak ketiga pada pasien atau ahli farmasi, evaluasi ulang fungsi tiroid dengan serum TSH
setelah interval ekuilibrasi yang tepat direkomendasikan oleh kebanyakan orang.

Anda mungkin juga menyukai