Anda di halaman 1dari 53

Rumah Dharma Hindu Indonesia

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

PANDUAN RINGKAS
MEBANTEN

Ditulis oleh : I Nyoman Kurniawan

PANDUAN RINGKAS MEBANTEN


Ditulis oleh
I Nyoman Kurniawan
Fotografi
I Wayan Suana [Nararya-Art]
Peraga
Ni Nyoman Nina Yulianti

Diterbitkan oleh
Rumah Dharma Hindu Indonesia
Rahina Soma Ribek, 06 Oktober 2014

ii

PENDAHULUAN
Hindu Bali dan Nusantara sangat identik dengan kedamaian. Dalam
ajaran Hindu kita diajarkan, kepada mahluk-mahluk alam bawah dengan
penuh belas kasih kita memberikan persembahan, kepada sesama manusia
kita saling menghormati dan menyayangi, kepada para Ista Dewata alamalam suci dengan sujud penghormatan dan rasa terimakasih kita
memberikan persembahan. Pada puncaknya penganut Hindu mengucapkan
mantra suci paramashanti, atau damai [shanti] tiga kali. Damai di alam
bawah, damai di alam tengah dan damai di alam suci. Karena satu-satunya
hal yang ada di balik semua ini hanya satu, yaitu kedamaian.
Mebanten adalah salah satu bagian dari ajaran suci yang disebut
jagadhita dharma, yang bertujuan menciptakan kedamaian bagi alam
semesta dan semua mahluk. Dengan penuh belas kasih kita memberikan
persembahan kepada mahluk-mahluk alam bawah, serta dengan sujud
penghormatan dan rasa terimakasih kita memberikan persembahan kepada
para Ista Dewata.
Hanya saja di jaman sekarang ini sebagian penganut Hindu mungkin
kurang memahami tattwa [tujuan, tata cara dan aturan] dari mebanten.
Sehingga walaupun sudah rajin mebanten, ada kemungkinan dampak atau
hasilnya kurang begitu maksimal, karena kurang tepat dalam tattwa-nya.
Rumah Dharma Hindu Indonesia menyusun buku ini dengan tujuan
untuk menyegarkan dan mengingatkan kembali tentang tattwa dalam
mebanten, terutama bagi mereka yang memang memerlukan pengetahuan
ini. Sehingga jagadhita dharma sebagai kekayaan spiritual adiluhung yang
diwariskan para leluhur kita di Bali dan Nusantara bisa tetap terlaksana
dengan baik.
Dengan sebuah catatan bahwa kita harus menyadari bahwa ada
bentuk tradisi dan tattwa yang berbeda-beda diantara satu daerah dan
daerah lainnya. Kita memakai mana saja sebagai acuan tattwa itu bagus dan
tepat. Karena keberagaman bentuk tradisi dan tattwa ini tidak saja
tujuannya sama, tapi sumber asalnya juga sama dan satu. Perbedaan bentuk
iii

tradisi dan tattwa bukanlah masalah, melainkan untuk saling memperkaya.


Perbedaan adalah yang menciptakan keindahan. Laksana pelangi menjadi
demikian indah karena ada banyak warna-warni yang berbeda di dalamnya.
Di dalam penulisan buku ini, penulis berusaha membuat sebuah tattwa
panduan dasar mebanten yang ringkas [inti] tapi sekaligus juga dampaknya
dapat bekerja dengan efektif. Selain itu, penulis menyadari bahwa di jaman
modern ini muncul sebuah kebutuhan baru pada sebagian masyarakat, yaitu
bagaimana agar kekayaan spiritual adiluhung ini tetap bisa dilaksanakan,
tapi dengan lebih simpel di tengah hiruk-pikuk kehidupan. Ini bisa
dimaklumi karena perubahan jaman menyebabkan masyarakat berpindah
dari kehidupan agraris menuju kehidupan pekerja, yang menyita demikian
banyak waktu dan pikiran.
Astungkara melalui panduan buku ini mebanten sebagai jagadhita
dharma dapat dilaksanakan dengan baik, agar hasilnya maksimal. Sehingga
diri kita sendiri beserta orang-orang disekitar lingkungan kita dan semua
mahluk akan dapat menerima getaran energi kedamaian.

iv

D AFT AR IS I

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ v


Bab 1 : TUJUAN LUHUR MEBANTEN ...................................................................................... 1
Bab 2 : TRI MANGGALANING YADNYA................................................................................. 6
1. SANG YAJAMANA Sumber Bahan Harus Baik ................................................................... 6
2. SANG WIDIA Proses Pembuatan Harus Baik ..................................................................... 6
3. SANG SADHAKA Proses Menghantar Harus Baik .............................................................. 8
Bab 3 : WAKTU YANG TEPAT UNTUK MEBANTEN ............................................................... 9
Ke Alam-Alam Suci [Svah Loka] ............................................................................................... 9
Ke Alam-Alam Bawah [Bhur Loka] .......................................................................................... 9
Persembahan Ke Alam Tengah [Bwah Loka] Atau Kepada Sesama Mahluk Sekala ................... 10
Bab 4 : TEMPAT-TEMPAT MEBANTEN .................................................................................. 11
Bab 5 : TATA CARA MENGHATURKAN ................................................................................ 14
Membersihkan Diri................................................................................................................. 14
Ngelungsur Persembahan Sebelumnya .................................................................................... 14
Menyucikan Persembahan ...................................................................................................... 17
Menyucikan Dan Membentengi Diri ....................................................................................... 19
Cara Menghaturkan Persembahan Ke Alam-Alam Suci ........................................................... 20
Menghaturkan Segehan ......................................................................................................... 26
Bab 6 : TATTWA PADA CANANG DAN SEGEHAN................................................................ 34
1. Canang Sebagai Segel Niskala Mengundang Kekuatan Suci Para Ista Dewata ...................... 35
2. Segehan Sebagai Segel Niskala Membebaskan Para Bhuta Dari Kesengsaraan ..................... 36
3. Canang Dan Segehan Sebagai Segel Niskala Untuk Mengembalikan Keharmonisan Getaran
Energi ................................................................................................................................... 39
4. Canang Dan Segehan Sebagai Rasa Hormat, Serta Belas Kasih Dan Kebaikan ...................... 41
5. Canang Dan Segehan Sebagai Ungkapan Rasa Syukur Dan Terimakasih ............................. 43
6. Canang Dan Segehan Sebagai Ajaran Suci Yang Tersembunyi ............................................. 44
PENUTUP ............................................................................................................................ 45

B a b 1 : TU JUA N L UH UR M EB A NTE N

Bab 1

TUJUAN LUHUR MEBANTEN


Tujuan tertinggi dalam ajaran Hindu yang diharapkan dapat tercapai
bagi semua mahluk adalah moksartham jagadhita ya ca iti dharma, yang
berarti melalui ajaran dharma kita berupaya meraih pembebasan dari
roda samsara [moksartham] serta mewujudkan keharmonisan alam semesta
[jagadhita]-.
Ini berarti bahwa dalam ajaran Hindu kita manusia tidak semata-mata
hanya memfokuskan diri pada upaya meraih pembebasan dari siklus samsara
[mokshartham], tapi juga ada satu tugas pokok lainnya, yaitu dengan dasar
belas kasih kita berkarma baik menjaga keseimbangan dan keharmonisan
kosmos atau alam semesta [jagadhita]. Karena di dalam kedua upaya inilah
ada kekuatan spiritual semesta yang sempurna, yang berguna bagi
kebahagiaan semua mahluk.

Sehingga Hindu Dharma di Nusantara identik dengan mebanten atau


memberikan persembahan. Misalnya di Pulau Bali, selama ribuan tahun
setiap harinya jutaan persembahan yang dihaturkan. Ini bukannya tidak ada
hasil atau dampaknya. Bali adalah pulau yang sarat dengan getaran energi
ketenangan dan kedamaian. Orang-orang luar Bali yang datang ke Bali

banyak yang merasakan


perbedaan suasana yang dirasakan di Bali.
Merasakan ketenangan dan kedamaian yang nyaman. Salah satu rahasianya
adalah karena orang Bali sangat rajin menghaturkan persembahan.
Kehidupan manusia tentunya penuh dengan dinamika. Ada riak-riak
perjalanan kehidupan yang menimbulkan kemarahan, kesedihan,
kekecewaan, kebencian, keserakahan, ketidak-puasan, konflik, stress, dsbnya. Ini semuanya akan menghasilkan dan menyebarkan getaran energi
seperti apa yang dipikirkan dan dirasakan manusia.
Semakin besar hiruk-pikuk atau pertikaian manusia di suatu tempat,
maka semakin besarlah getaran energi buruk yang dihasilkan dan disebarkan.
Semakin padat jumlah penduduk di suatu tempat, maka semakin besarlah
getaran energi buruk yang dihasilkan dan disebarkan. Demikian juga bila
secara niskala di suatu tempat, karena sebab-sebab tertentu energinya
cenderung sangat buruk, maka besarlah juga getaran energi yang dihasilkan
dan disebarkan.
Alam semesta ini tidak dapat dipisahkan dengan unsur sekala dan
niskala. Sekala adalah alam material atau alam fisik ini yang dapat dirasakan
langsung keberadaannya dengan indriya-indriya biasa, sedangkan niskala
adalah alam halus yang tidak dapat dirasakan dengan indriya-indriya biasa.
Di dalam menata berbagai aspek kehidupan, harus ada keseimbangan antara
sekala dan niskala. Sehingga dalam ajaran Hindu sangat banyak mengajarkan
tentang membangun kehidupan yang seimbang itu, mendorong manusia
agar membangun kehidupan harmonis baik secara sekala maupun niskala.
Tradisi spiritual yang diwariskan leluhur kita di Bali dan Nusantara,
dalam setiap putaran waktu yang sakral kita melaksanakan berbagai macam
upacara sebagai bagian dari jagadhita dharma. Ada banyak putaran waktu
sakral dengan kondisi masing-masing yang memiliki siklus 15 hari sekali,
sebulan sekali, 6 bulan sekali, 1 tahun sekali, 5 tahun sekali, 10 tahun sekali,
25 tahun sekali, 100 tahun sekali, sampai dengan 1.000 tahun sekali.
Upaya jagadhita dharma ini tidak saja kita lakukan di pura-pura
sebagai parahyangan suci, tapi juga di lingkungan kita masing-masing dengan
cara mebanten, untuk mengembalikan keseimbangan dan keharmonisan
getaran energi yang ada di sekitar kita.
2

Dan semua upaya ini bukan tidak ada efeknya. Bagi orang-orang yang
mata spiritual-nya sudah terbuka, akan dapat melihat getaran energi kosmik
kesucian dan kedamaian di Pulau Bali sungguh luar biasa. Karena semua
orang Bali secara bersama-sama menjaga keseimbangan-keharmonisan alam
semesta baik secara sekala maupun secara niskala. Secara spiritual hal ini luar
biasa terangnya.
Sebab utama mengapa di jaman sekarang dunia ini semakin kacau dan
memanas, karena hampir semua manusia ke semua arah bersikap hanya mau
mengambil, mengambil dan mengambil saja, tanpa pernah memberikan
kembali. Akibatnya alam menjadi seperti sumur dimana manusianya hanya
mau mengambil, mengambil dan mengambil airnya saja, yang memberikan
dampak kehidupan manusia menjadi kering kerontang.

Sehingga kehidupan memerlukan banyak sekali manusia yang bersedia


melakukan upaya mengembalikan getaran energi alam ke posisi semulanya.
Orang-orang seperti inilah yang mengisi ulang sumur-sumur kedamaian
getaran energi alam semesta. Dengan melaksanakan jagadhita dharma untuk
mengembalikan keseimbangan dan keharmonisan getaran energi alam
semesta.
Melalui upaya ini tidak hanya alam semesta yang dihidupkan getaran
energi kosmik-nya yang positif, tapi juga pikiran manusianya sendiri juga
3

diterangi. Sehingga masyarakat perasaan dan perilakunya cenderung menjadi


toleran, sejuk dan damai. Disanalah terwujud jagadhita atau harmoni
kosmik alam semesta.
Kalau kita tidak menjaga keseimbangan-keharmonisan alam semesta
secara sekala dan secara niskala maka konsekuensinya akan sangat besar.
Karena jika keseimbangan kosmik terganggu sudah pasti yang akan datang
adalah kekacauan dan kesengsaraan. Sebaliknya jika kita menjaga
keseimbangan-keharmonisan alam semesta, manusia dan para mahluk akan
banyak sekali diselamatkan dari kekacauan dan kesengsaraan.
Dalam berbagai macam upaya jagadhita dharma ini, sesungguhnya
dibalik semua upaya ini ada rahasia dan tujuan mulia, yaitu :
1. Untuk menjaga keterhubungan manusia dengan alam-alam mahasuci. Ini
agak sulit menjelaskannya dan bersifat rahasia.
2. Untuk menjaga keharmonisan getaran energi kosmik alam.
Ini yang akan membuat alam memancarkan getaran energi positif,
sehingga hati para mahluk menjadi tenang dan damai. Itu sebabnya
mengapa di tempat-tempat dimana manusia jarang mebanten dan
melaksanakan upacara seperti di Bali, akan terasa hawa atau getaran energi
alam yang kering dari kedamaian.
3. Persembahan merupakan perwujudan niskala dari rasa belas kasih dan
rasa terimakasih kita, ke semua mahluk dan ke semua arah alam semesta.
Apa-apa yang kita dapatkan dalam hidup ini, kita kembalikan ke
semua mahluk dan ke semua arah alam semesta dalam bentuk persembahan.
Ini termasuk juga untuk mahluk-mahluk alam bawah, sebagaimana yang
diajarkan oleh ajaran Hindu Dharma, kita harus penuh kebaikan hati
memberi mereka tempat dan ruang, menghaturkan segehan kepada mereka
dan sekaligus terus-menerus mendoakan mereka agar mereka bisa keluar
dari alam-alam bawah. Yang pada akhirnya semuanya menghasikan dampak
positif yang akan kembali kepada diri kita sendiri.

4. Mengikuti dinamika hukum alam semesta, yaitu apa yang kita berikan
atau persembahkan, pasti akan kembali lagi kepada diri kita sendiri. Dimana
dalam hal ini, kalau persembahan kita tulus dan murni, pasti akan kembali
kepada kita dalam bentuk tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan.
5. Salah satu niat leluhur kita di balik tradisi yang terselip di dalam
mebanten dan melaksanakan upacara adalah sebagai sarana mendidik
masyarakat melaksanakan dharma. Karena sesungguhnya ada ajaran suci
rahasia yang disembunyikan di balik simbol-simbol dalam upacara.
6. Getaran energi tempat-tempat suci dan hati manusia tidak akan menjadi
kering, karena ketika berdoa tidak hanya meminta dan meminta saja, tapi
juga diseimbangkan dengan memberikan.
Ini sekaligus juga mengikuti norma-norma alam mahasuci, yaitu kalau
ada orang yang menghaturkan persembahan dan persembahannya itu tulus
dan murni, sudah selayaknya orang tersebut mendapatkan imbal-balik
berupa karunia tertentu.
7. Untuk selalu mengingatkan kita agar memiliki tingkat pengendalian diri
yang lebih baik dari biasanya.
Bisa dikatakan bahwa landasan pokok dari jagadhita dharma adalah
perwujudan rasa terimakasih, rasa hormat, rasa belas kasih dan kebaikan, ke
semua arah dan ke tri loka [semua dimensi alam semesta]. Karena kita
semua adalah jejaring kosmik yang tunggal. Caranya adalah dengan
melaksanakan jagadhita dharma untuk membangun harmoni kosmik alam
semesta. Ini sesungguhnya tidak merupakan tugas dan kewajiban beberapa
orang saja, melainkan tugas dan kewajiban seluruh manusia. Semua manusia
punya kewajiban menjalankan jagadhita dharma demi harmoni kosmik alam
semesta di sekeliling kita, yang berguna bagi semua mahluk.
Buku ini adalah panduan ringkas mebanten untuk kita di lingkungan
kita masing-masing. Agar mebanten sebagai ajaran jagadhita dharma yang
diwariskan para leluhur kita di Bali dan Nusantara bisa tetap terlaksana
dengan baik di jaman sekarang. Sehingga ada beberapa hal yang harus
disegarkan dan diingatkan kembali.

B a b 2 : T RI M A NGG AL A NI NG Y AD NY A

Bab 2

TRI MANGGALANING YADNYA


Persembahan yang baik adalah persembahan yang memiliki kualitas
kesucian. Karena dengan kualitas yang suci barulah persembahan bisa
menjadi segel suci niskala yang terang cahaya-nya.
Artinya suatu persembahan suci harus memenuhi tiga syarat yang
harus suci di dalam pelaksanaannya. Ketiga syarat itu disebut sebagai
kemanunggalan kesucian tri manggalaning yadnya, yaitu :
- Sang Yajamana, yang melaksanakan upacara.
- Sang Widia, yang membuat banten.
- Sang Sadhaka, yang muput upacara.
1. SANG YAJAM ANA sum ber bahan harus bai k

1. SANG YAJAMANA sumber bahan harus baik


Sang yajamana artinya yang melaksanakan upacara. Di dalam kegiatan
mebanten ini berarti sumber serta bahan canang dan segehan harus baik,
agar tujuan luhur persembahan dapat tercapai.
Artinya canang dan segehan harus bersumber dari bahan-bahan atau
uang yang tidak melanggar dharma. Bukan hasil dari mencuri, korupsi,
pemerasan, pemaksaan, menipu, merampok, berhutang, hasil judi, hasil
menjual tanah warisan atau harta warisan, dsb-nya. Karena canang dan
segehan yang bersumber dari bahan atau uang yang melanggar dharma,
tidak nyambung dan sia-sia. Getaran energi kesucian-nya sudah tentu tidak
ada.
2. SANG WID IA prose s pem buat an harus bai k

2. SANG WIDIA proses pembuatan harus baik


Sang widia artinya yang membuat banten. Di dalam kegiatan
mebanten ini berarti proses pembuatan canang dan segehan harus suci.
Tidak ada pertengkaran, tidak ada gossip-gossip, tidak ada keluhan, dsb-nya.

Ketika membuat canang dan segehan, sebisa mungkin kita harus


membuatnya dengan pikiran bersih, disertai ketulusan dan kesabaran. Kalau
bisa dengan diam. Atau dengan menyanyi lagu-lagu kidung, kekawin, atau
boleh juga sambil mendengar lagu-lagu mantra ala modern. Jangan
membuat canang dan segehan sambil bergosip, membicarakan politik, atau
omongan aneh-aneh lainnya. Sebab ini akan mempengarungi kualitas
getaran energi kesucian-nya.
Kita bisa bandingkan dengan saat banten disiapkan untuk upacara di
beberapa parahyangan suci kahyangan jagat. Tempat membuat banten
disebut dengan pesucian yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang
atau orang yang tidak berkepentingan. Ini erat kaitannya dengan proses
pembuatan.
Selain itu dalam pembuatan canang dan segehan hendaknya dengan
pemahaman akan tattwa dalam unsur-unsurnya. Janganlah disusun sesuka
hati. Mungkin kita terlalu kreatif sehingga sengaja dibuat variasi berlebihan
agar kelihatan lebih seni, atau mungkin kita membuatnya ngawur asal-asalan
atau dibuat secara berantakan. Kita harus paham bahwa canang dan segehan
adalah segel niskala dengan maksud dan tujuan yang sangat jelas, sehingga
kita jangan menyimpang dari maksud dan tujuan tersebut.
Juga dalam membuat segehan kita harus selalu mengusahakan
pewarnaan nasi dengan pewarna alami. Jangan pernah menggunakan
pewarna buatan. Selain itu nasi pada segehan juga harus disusun atau
dipadatkan dengan kepalan tangan. Karena kedua hal ini terkait dengan
dampak kekuatan kerja dari segehan.
Kalaupun karena padatnya rutinitas kesibukan sehingga canang dan
segehan-nya kita hanya bisa membeli yang sudah jadi, di dalam membelinya
juga harus dengan pikiran bersih, disertai ketulusan dan kesabaran. Jangan
membeli dengan menawar harga. Belilah dengan berapa harga yang dijual.
Kalaupun harganya kemahalan kita sebaiknya tetap membeli tanpa
menawar harga, karena itu sama dengan kita mengikis karma buruk kita
sendiri. Tapi kalau anggaran keuangan kita tidak mencukupi, kita pindah
saja beli ke tempat lain yang harganya sesuai dengan anggaran keuangan
kita. Tapi jangan mengeluh atau mengomel harganya kemahalan. Ini
semuanya bertujuan untuk menjaga kemurnian persembahan kita.
7

Juga setelah membelinya kita jangan mengeluh atau mengomel,


misalnya canangnya kurang indah, dsb-nya. Sebab ini juga akan
mempengarungi kualitas kemurnian persembahan kita.
3. SANG S ADHAKA pr oses me ngha ntar harus bai k

3. SANG SADHAKA proses menghantar harus baik


Sang sadhaka artinya yang muput upacara. Di dalam kegiatan
mebanten ini berarti yang menghaturkan canang dan segehan harus dengan
sredaning manah [pikiran yang bersih, tulus dan jernih].
Apapun yang terjadi ketika kita menghaturkan persembahan, jangan
lupa dilaksanakan dengan hati yang sejuk, teduh dan penuh kesabaran.
Jangan marah kalau ada yang tidak mebanten atau terlambat mebanten,
pokoknya segala-galanya harus dijalankan dengan hati yang damai. Kalau
gara-gara mebanten kita bertengkar atau marah-marah dengan orang di
sekitar kita, hal ini sangat mempengaruhi kualitas getaran energi kesucian
dari persembahan kita. Sehingga jangan pernah sampai karena mebanten,
kita kemudian menjadi menyakiti hati orang lain.
Mebanten harus diawali dengan niat sebagai sebuah bhakti
[pelayanan] kepada alam semesta dan semua mahluk dan dijalankan dengan
mantra guna mengurangi penderitaan semua mahluk. Pancarkan rasa belas
kasih dan dengan niat menyebarkan rasa damai akibat persembahan kita ke
semua arah. Sehingga semua mahluk dari bhuta kala, manusia, sampai dewa
menerima getaran energi kedamaian kita.
Kemanunggalan kesucian tri manggalaning yadnya inilah yang akan
membuat persembahan suci yang kita laksanakan menjadi sempurna.

B a b 3 : WA KTU Y AN G TE PAT U NTUK M EB A NTE N

Bab 3

WAKTU YANG TEPAT UNTUK MEBANTEN


Kegiatan kita melaksanakan mebanten di lingkungan masing-masing
sebagai jagadhita dharma, akan lebih baik jika dilaksanakan sesuai dengan
putaran waktunya yang juga tepat dan terbaik.
KE ALAM-ALA M SUCI [SVA H LOKA]

KE ALAM-ALAM SUCI [SVAH LOKA]


Jika kita hendak menghaturkan canang ataupun persembahan lainlainnya ke alam-alam suci, seperti misalnya banten tipat dampulan, dsb-nya,
putaran waktunya yang terbaik adalah dilakukan pada pagi hari. Di pagi
hari merupakan waktu yang tepat bagi kita memberikan persembahan ke
swah loka atau alam-alam suci. Ini merupakan kegiatan utpetti atau
menciptakan keharmonisan dan kebahagiaan bagi kehidupan dan alam
semesta. Kalau seandainya di pagi hari kita sangat penuh dengan kesibukan
rutinitas kerja, kita boleh bangun lebih awal pada dini hari sebelum matahari
terbit untuk mebanten, sehingga tidak mengganggu kegiatan harian kita.
Kemudian kita lanjutkan dengan kegiatan sehari-hari kita. Yang mana
ini merupakan kegiatan stiti atau memelihara kehidupan dengan baik.
KE ALAM-ALA M BAWAH [BHUR LOKA]

KE ALAM-ALAM BAWAH [BHUR LOKA]


Jika kita hendak memberikan persembahan segehan ke bhur loka atau
alam-alam bawah, putaran waktunya yang terbaik adalah di sore hari [pada
sandhikala, saat matahari terbenam]. Ini merupakan kegiatan pralina atau
melebur hal-hal yang buruk yang dihasilkan dari kegiatan sehari-hari
manusia. Kalau seandainya saat sandhikala kita masih bergelut dengan
rutinitas kerja, kita boleh mesegeh pada malam hari.
Putaran waktu yang baik ini berlaku untuk semua jenis segehan,
maupun bentuk-bentuk persembahan lainnya ke alam-alam bawah. Kecuali
tentu saja tidak berlaku untuk segehan saiban atau sajen kecil setiap habis
memasak. Karena segehan saiban waktunya adalah kita haturkan adalah
pada setiap kali selesai memasak.
9

PERS EMBA HAN K E ALAM TENG AH [BWAH LOKA] ATAU KEPAD A SESAMA M AHL UK SEKALA

PERSEMBAHAN KE ALAM TENGAH [BWAH LOKA] ATAU KEPADA


SESAMA MAHLUK SEKALA
Persembahan kita akan sangat lengkap, terang dan suci kalau kita
memberikan persembahan secara lengkap kepada ketiga dimensi alam, yaitu
bhur, bwah, swah. Artinya hendaknya pada tengah-tengah hari kita juga
mengisi kehidupan dengan memberikan persembahan ke bwah loka, yaitu
alam tengah atau alam marcapada. Caranya adalah dengan sikap belas kasih
dan kebaikan kepada sesama manusia dan sesama mahluk. Ini
merupakan kegiatan stiti atau memelihara kehidupan dengan baik.
Atau setidaknya cukup kita dengan pengendalian diri untuk tidak
menyakiti. Dengan tidak marah dan benci kita lebih sedikit melukai hati dan
perasaan mahluk lain. Dengan sikap rendah hati kita bisa menghargai dan
menghormati orang lain. Dengan tidak serakah kita lebih sedikit membuat
orang lain menderita. Tidak membalas bentakan orang tua, tidak marah
pada suami-istri yang marah, tidak menyakiti anak yang nakal, tidak
melawan pada yang merendahkan kita, dsb-nya, itu semua sudah
mengurangi penderitaan orang lain. Itulah bentuk persembahan ke bwah
loka, yaitu alam tengah atau alam marcapada.

10

B a b 4 : T EM P AT-T EM P AT M EB ANT EN

Bab 4

TEMPAT-TEMPAT MEBANTEN
Kita mengetahui bahwa terkait mebanten, ada bentuk tradisi dan
tattwa yang berbeda-beda diantara satu daerah dan daerah lainnya.
Terdapat berbagai ragam rupa dan bentuk segehan sesuai dengan arah
tujuan upacara dan pembuatannya.
Tentunya para pembaca saudara-saudara se-dharma memiliki bentuk
tradisi dan tattwa yang beragam di tempat masing-masing. Tetaplah
dijalankan sesuai tradisi dan tattwa setempat, tapi dengan berlandaskan
pengetahuan tentang tattwa.
Di dalam buku ini, penulis hanya membuat sebuah tattwa panduan
dasar mebanten yang ringkas atau inti-nya saja, tapi sekaligus juga
dampaknya dapat bekerja dengan efektif. Dalam bentuk paling inti kita
menggunakan sarana canang dan segehan untuk mengembalikan
keseimbangan dan keharmonisan getaran energi yang ada di sekitar kita.
Astungkara diri kita sendiri beserta orang-orang disekitar lingkungan
kita dan semua mahluk akan dapat menerima getaran energi kedamaian.
Dalam konsepsi mandala paling ringkas [inti] atau paling mendasar,
canang kita haturkan pada :
1. Di semua palinggih yang ada di rumah.
2. Di semua pelangkiran yang ada di rumah.
3. Di tempat memasak utama di rumah. Kalau jaman dahulu pada tempat
memasak dengan kayu bakar. Kalau jaman sekarang mungkin pada kompor
gas. [Tapi untuk alasan keamanan, pada kompor gas sebaiknya tidak usah
dihaturkan dupa. Ini akan dijelaskan pada bagian selanjutnya].
4. Di sumber air utama di rumah. Kalau jaman dahulu pada sumur. Kalau
jaman sekarang kebanyakan jarang yang punya sumur, jadi haturkan pada
11

sumur bor [kalau ada], pada meteran PDAM, atau pada tempat dimana kita
menyimpan air.
5. Di tempat utama menyimpan beras. Kalau jaman dahulu pada lumbung
padi. Kalau jaman sekarang kebanyakan jarang yang punya lumbung padi,
jadi haturkan pada tempat dimana kita menyimpan beras.
6. Di apit lawang atau apit surang, yaitu pada kanan-kiri gerbang rumah.
Untuk segehan, cara meletakkannya adalah di natah atau di bawah [di
pertiwi], bukan diletakan pada palinggih. Dimana dalam konsepsi mandala
paling ringkas [inti] segehan kita haturkan pada :
1. Di bawah semua palinggih haturkan segehan putih-kuning, kecuali...
2. Di bawah palinggih Taksu [rong dua] haturkan segehan manca-warna.
3. Di bawah palinggih Penunggun Karang haturkan segehan putih-hitam
[poleng].
4. Di tengah halaman rumah [natah] haturkan segehan manca-warna.
5. Di depan pintu masuk ke bangunan rumah, haturkan segehan mancawarna.
6. Di lebuh [depan gerbang rumah] haturkan segehan manca-warna.
7. Di tempat keluarnya saluran air pembuangan [got rumah] menuju got di
jalan, haturkan segehan manca-warna.
Sekali lagi bahwa ini adalah konsep paling ringkas [inti] atau paling
mendasar. Tentunya para pembaca saudara-saudara se-dharma memiliki
bentuk tradisi dan tattwa yang beragam di tempat masing-masing.
Hendaknya tetaplah dijalankan sesuai tradisi dan tattwa masing-masing, agar
sesuai dengan desa, kala, patra. Tapi hendaknya juga dilaksanakan dengan
berlandaskan pengetahuan tentang tattwa.

12

Sedikit tambahan, bahwa pada setiap rahina kajeng kliwon, selain


menghaturkan canang dan segehan, kita juga menghaturkan banten tipat
dampulan. Banten tipat dampulan ditujukan sebagai persembahan ke alamalam suci [Svah Loka]. Pada saat rahina kajeng kliwon tersebut tempat
menghaturkan tipat dampulan adalah di :
1. Palinggih Kemulan [rong tiga].
2. Palinggih Taksu [rong dua].
3. Palinggih Panunggun Karang.
Pada landasan dasar tattwa-nya, banten tipat dampulan adalah
sebagai segel kekuatan pikiran yang harmonis, pikiran yang tenangseimbang, bebas dari dualitas pikiran, bagi seluruh penghuni rumah dan
lingkungan sekitar.

13

B a b 5 : T ATA C AR A M ENG HAT URK A N

Bab 5

TATA CARA MENGHATURKAN


Bab ini adalah mengenai tattwa yang harus kita ketahui mengenai tata
cara menghaturkan persembahan.
MEMBERS IHKA N DIR I

MEMBERSIHKAN DIRI
Sebelum kita mebanten, terlebih dahulu kita membersihkan diri.
Mandilah dengan bersih dan sambil mandi itu kita ucapkan berulang-ulang
mantra :
Om sarwa sarira parisudhamam swaha.
Mandi bersih dengan menggunakan mantra ini tujuannya untuk
membersihkan badan fisik kita dari hawa-hawa yang kurang bagus dalam
tubuh kita. Sehingga kemudian badan fisik kita menjadi bersih, harum dan
segar.
Kalau di dekat rumah kita ada pura beji atau pura pesiraman, lebih
baik lagi kalau kita mandi disana sebelum mebanten. Karena di tempattempat suci seperti itu energi pembersihannya sangat besar. Ini terutama
baik sekali bila kita lakukan sebelum mebanten pada hari-hari raya besar,
atau pada rahina purnama, tilem dan kajeng kliwon. Tujuannya adalah
untuk memurnikan energi di dalam diri kita sebelum kita mebanten. Tapi
kalau tidak ada atau kita tidak punya waktu, cukup kita lakukan di kamar
mandi saja.
Selesai mandi kita berganti pakaian dengan pakaian adat madya atau
pakaian sembahyang.
NGEL UNG SUR PERS EMBA HAN SEBEL UM NYA

NGELUNGSUR PERSEMBAHAN SEBELUMNYA


Sebelum kita mebanten, terlebih dahulu kita sebaiknya ngelungsur
canang atau persembahan lain sebelumnya yang ada di palinggih-palinggih.
Ini adalah cara dasar untuk ngelungsur persembahan yang dapat digunakan
14

untuk ngelungsur semua jenis persembahan. Caranya adalah sebagai berikut


ini.

Di depan masing-masing setiap palinggih, kita tampilkan mudra


amusti-karana [ujung ibu jari dan telunjuk tangan kanan serta ujung ibu jari
tangan kiri bertemu mengarah keatas, jari-jari lain digenggam sebagai dasar].
Kemudian kita ucapkan mantra :

Om suksma sunia lebar ya namah swaha

15

Kemudian lakukan sikap penghormatan simbolik dengan menampilkan


mudra puja mencakupkan tangan di kening. Kedua ujung ibu jari bertemu di
chakra ajna [chakra mata ketiga] dan jari-jari lainnya mengarah keatas.

Setelah itu barulah canang atau persembahan lain dari sebelumnya kita
lungsur [ambil] dan sisa-sisa persembahan lain pada palinggih juga kita ambil
sampai bersih.

16

MENYUCIKA N PERSEMBAHAN

MENYUCIKAN PERSEMBAHAN
Hendaknya sebelum dihaturkan kita melakukan prosesi untuk
menyucikan persembahan. Ini adalah cara dasar untuk menyucikan
persembahan yang dapat digunakan untuk menyucikan semua jenis
persembahan. Caranya sebagai berikut ini.
Letakkanlah semua sarana persembahan [canang, segehan, tirtha, arak,
berem, ataupun persembahan-persembahan lainnya] di hadapan kita.

Sebelum memulai hendaknya kita memohon restu kepada para Ista


Dewata. Tampilkan mudra puja mencakupkan tangan di kening. Kedua
ujung ibu jari bertemu di chakra ajna [chakra mata ketiga] dan jari-jari
lainnya mengarah keatas. Kemudian kita ucapkan mantra :

Om awignam astu namo siddham,


Om siddhirastu tat astu astu swaha

17

Ambilah sekuntum bunga. Tampilkan mudra amusti-karana [ujung ibu


jari dan telunjuk tangan kanan serta ujung ibu jari tangan kiri bertemu
mengarah keatas, jari-jari lain digenggam sebagai dasar]. Bunganya kita
letakkan di ujung jari kita. Kemudian kita ucapkan mantra :

Om puspa danta ya namah swaha,


Omkara murcyate pras pras pranamya ya namah swaha

Setelah selesai mengucapkan mantra, bunga kita lempar atau buang ke


depan ke arah persembahan.
18

Ambil tirtha [air suci]. Semua sarana persembahan kita sirat-siratkan


dengan tirtha sambil mengucapkan mantra :

Om pratama sudha, dwitya sudha, tritya sudha,


caturti sudha, pancamini sudha,
Om sudha sudha wariastu,
Om puspam samarpayami,
Om dupam samarpayami,
Om toyam samarpayami,
Om sarwa baktyam samarpayami,
Om shanti shanti shanti Om

Dengan demikian semua sarana persembahan telah tersucikan dan siap


untuk kita haturkan.
MENYUCIKA N DA N MEMB ENTENGI D IRI

MENYUCIKAN DAN MEMBENTENGI DIRI


Kemudian kita lakukan tata cara menyalakan api suci di dalam diri
kita. Untuk penyucian diri kita sebagai sang yajamana dalam mebanten dan
sekaligus mengundang Ista Dewata penguasa sembilan penjuru mata angin
[Dewata Nawa Sanga] untuk menjaga kita supaya tidak mendapat gangguan
dari segala bentuk kekuatan negatif ketika mebanten.

19

Tampilkan mudra amusti-karana. Diam sejenak untuk mengheningkan


pikiran kita. Setelah pikiran-perasaan kita cukup tenang dan jernih, ucapkan
mantra :

Om Ung Rah Phat astraya namaha,


Om Atma tattwatma sudhamam swaha,
Om Sri Pasupati Ung Phat swaha,
Ong Sang Bang Tang Ang Ing Nang Mang Sing Wang Yang,
Om Ang Ung Mang

Dengan demikian di dalam diri kita sebagai sang yajamana telah


dinyalakan api suci. Diri kita disucikan dan sekaligus telah mendapat benteng
perlindungan dari para Ista Dewata, sehingga telah siap untuk mebanten.
CARA MENG HATURKAN PER SEMBA HA N KE ALAM- ALAM S UCI

CARA MENGHATURKAN PERSEMBAHAN KE ALAM-ALAM SUCI


Ini adalah cara dasar untuk menghaturkan persembahan ke alam-alam
suci yang dapat digunakan untuk menghaturkan semua jenis persembahan.
Misalnya untuk menghaturkan canang, banten tipat dampulan, dsb-nya, saat
kita mebanten di rumah. Atau juga untuk menghaturkan canang dan pejati
saat kita tangkil sembahyang ke sebuah pura. Caranya sebagai berikut ini.
Pertama-tama perlu diperhatikan bahwa, ketidak-tepatan yang sering
terjadi dalam menghaturkan canang adalah tidak memperhatikan arah
20

pengider-ideran Panca Dewata yang tepat. Misalnya bunga warna putih


pada canang seharusnya di arah timur justru dipasang di arah utara. Padahal
ketika kita menghaturkan canang sangat penting untuk meletakkan warnawarni pada posisi arah mata angin yang tepat. Jangan diletakkan ngawur
secara sembarangan, karena ini berkaitan dengan kekuatan suci Sanghyang
Panca Dewata dan hal-hal lainnya, agar canang sebagai segel suci niskala ini
nantinya kekuatannya benar-benar dapat bekerja.
Bila canang dihaturkan sesuai dengan pengider-ideran Panca Dewata
yang tepat, canang merupakan segel suci niskala yang memiliki kekuatan
kerja-nya sendiri. Tapi kekuatan-nya akan menjadi lebih aktif jika kemudian
segel suci suci niskala ini kita hidupkan dan gerakkan dengan kekuatan
mantra-mantra suci, tirtha [air suci], dupa dan kekuatan sredaning manah
[kemurnian pikiran]. Sehingga turunlah karunia kekuatan suci semua Ista
Dewata, yang memberikan kebaikan bagi alam sekitar dan semua mahluk.
Ini adalah tata-cara dasar untuk menghaturkan persembahan ke luhur
[ke alam-alam suci]. Sekali lagi bahwa cara ini tidak terbatas hanya untuk
menghaturkan canang saja, tapi juga dapat digunakan untuk menghaturkan
segala jenis persembahan ke alam-alam suci. Seperti misalnya pada saat kita
tangkil ke sebuah pura dan kita menghaturkan pejati, dsb-nya.
Inilah urutan caranya :

21

Unggahang canang [atau persembahan lain] sambil mengucapkan mantra :

Om ta molah panca upacara Guru Paduka ya namah swaha

Unggahang dupa sambil mengucapkan mantra :

Ong Ang dupa dipa astraya namah swaha

Dupa adalah segel niskala untuk mengundang kehadiran Sanghyang


Triyodasasaksi [tiga belas manifestasi Sanghyang Acintya] sebagai saksi
semesta pelaksanaan sebuah yadnya, Sanghyang Agni sebagai penghantar
22

yadnya kepada para Ista Dewata dan Sanghyang Brahma sebagai penerang
jiwa semua mahluk.
Juga perlu sedikit ditambahkan, saat menghaturkan pada kompor gas
yang cukup riskan dengan resiko kebakaran, untuk menghindari hal-hal yang
tidak diharapkan kita tidak usah ngunggahang dupa. Kita bisa gantikan
dengan cara menyalakan api kompor. Karena yang penting adalah
kehadiran api-nya. Setelah semua rangkaian proses menghaturkan canang di
kompor gas ini selesai, matikan kompornya kembali.

Siratkan tirtha [air suci] sambil mengucapkan mantra :

Ong Mang Parama-Shiwa amertha ya namah swaha


Kemudian kita lanjutkan dengan ngayabang [menghaturkan atau
mempersembahkan] dupa dan canang [atau persembahan lain].

23

Saat ngayabang kita harus menggunakan tangan, dengan cara menjepit


bunga dengan jari telunjuk dan jari tengah. Jangan menggunakan alat bantu
lainnya seperti sa`ab atau lain-lainnya. Selain itu kita harus hanya
menggunakan tangan kanan. Gerakan ngayabang harus lembut dan jelas,
dari sisi luar belakang ke arah depan.

Sambil ngayabang ucapkan mantra menghaturkan dupa :

Om agnir-agnir jyotir-jyotir swaha,


Ong dupham samarpayami swaha

24

Terus ngayabang dan ucapkan mantra menghaturkan canang [atau


persembahan lain] :

Om dewa-dewi amukti sukham bhawantu namo namah swaha

Catatan Sesungguhnya ada mantra-mantra khusus untuk menghaturkan


canang [atau persembahan lain] pada masing-masing palinggih atau
pelangkiran di rumah. Misalnya contoh pada pelangkiran Dewa Brahma di
dapur mantranya adalah Om Saraswati pawitraning Brahma sakaya namo
namah. Tapi jika semuanya dibahas maka mantra-mantra ini jumlahnya
akan menjadi banyak yang harus dihafalkan. Di dalam buku ini diupayakan
untuk membuat panduan dasar yang ringkas, untuk orang-orang
kebanyakan. Sehingga cukup menggunakan mantra universal penghaturan ke
alam-alam suci ini. Mantra ini adalah mantra yang sangat universal untuk
menghaturkan segala jenis persembahan ke alam-alam suci. Dapat digunakan
untuk menghaturkan segala jenis persembahan di semua palinggih dan
pelangkiran, termasuk juga saat kita tangkil ke sebuah pura.
Ngayabang diakhiri dengan mengucapkan shanti mantra untuk kedamaian
alam semesta dan semua mahluk :

Om shanti shanti shanti Om

Selalulah menutup dengan mantra suci paramashanti [Om shanti shanti


shanti Om] untuk kedamaian alam semesta dan semua mahluk.
Hal ini bukanlah tanpa dasar. Kalau setiap orang di Pulau Bali
mebanten [anggap saja] di sepuluh titik di rumahnya, lalu diseluruh Pulau
Bali ada 100 ribu orang yang mebanten. Berarti hanya dalam satu hari itu
saja di Pulau Bali mantra suci paramashanti diuncar sebanyak 1 juta kali.
Bayangkan betapa kekuatan getaran energi damai mantra suci ini yang
menggetarkan seluruh penjuru pulau.

25

MENG HATURKA N SEG EHA N

MENGHATURKAN SEGEHAN
Terkait menghaturkan segehan, tentunya terdapat berbagai ragam
rupa, bentuk dan jenis-jenis segehan.
Yang akan dijelaskan ini adalah cara dasar yang universal untuk
menghaturkan persembahan ke alam-alam bawah, yang dapat digunakan
untuk menghaturkan berbagai jenis segehan [kecuali untuk segehan saiban
karena caranya berbeda]. Caranya adalah sebagai berikut ini.
Pertama-tama perlu diperhatikan bahwa, ketidak-tepatan yang sering
terjadi dalam menghaturkan segehan adalah tidak memperhatikan arah
pengider-ideran Panca Dewata yang tepat. Misalnya nasi warna putih pada
segehan seharusnya di arah timur justru dipasang di arah barat. Padahal
ketika kita menghaturkan segehan sangat penting untuk meletakkan posisi
segehan pada pengider-ideran yang tepat. Jangan diletakkan ngawur secara
sembarangan, karena ini berkaitan dengan kekuatan suci Sanghyang Panca
Dewata dan hal-hal lainnya. Sehingga segehan sebagai segel suci niskala ini
nantinya kekuatannya benar-benar dapat bekerja.
Sama seperti canang, segehan jika dihaturkan sesuai dengan pengiderideran yang tepat, juga merupakan segel suci niskala yang memiliki kekuatan
kerja-nya sendiri. Tapi kekuatan-nya akan lebih aktif jika kemudian segel suci
niskala ini kita hidupkan dan gerakkan dengan kekuatan mantra-mantra suci,
tirtha [air suci], dupa dan kekuatan sredaning manah [kejernihan dan
kebajikan pikiran].
Menghaturkan segehan harus diawali dengan niat sebagai belas kasih
dan kebaikan kepada para mahluk-mahluk alam bawah dan dijalankan
sebagai sebuah upaya untuk mengurangi kesengsaraan mereka. Pancarkan
rasa belas kasih dari hati kita dan pancarkan rasa damai dari upaya kita.
Sifat mahluk alam-alam bawah sebenarnya tidaklah jahat. Mereka
menjadi berbahaya karena manusia takut, menghakimi atau tidak menyukai
mereka. Ketakutan, penghakiman atau rasa tidak suka ini membuat
adrenalin di dalam diri manusia naik, dimana adrenalin yang naik ini
menghasilkan energi yang dirasakan oleh mahluk alam-alam bawah sebagai
26

kekuatan yang hendak menyerang mereka. Itulah sesungguhnya yang


menyebabkan mereka berbahaya.
Keberadaan mereka seperti siklus berputarnya bunga yang dapat
berevolusi menjadi sampah dan sampah yang dapat berevolusi menjadi
bunga. Demikianlah evolusi jiwa-jiwa dalam siklus samsara, sesuai akumulasi
karma kita masing-masing. Yang kita sebut sebagai mahluk-mahluk alam
bawah, sangat mungkin di kehidupan-kehidupan sebelumnya adalah sesama
manusia, yang bahkan kita kenal dekat. Alam kegelapan adalah sisi sampah
dari alam suci. Tanpa kegelapan tidak ada kesucian. Tapi hakikat di dalam
semua mahluk adalah sama, yaitu Atman.
Sehingga menghadapi mereka, selalu dengan pikiran positif, tenangseimbang, penuh belas kasih dan kebaikan. Lihatlah mereka bukan sebagai
mahluk-mahluk jahat, melainkan sama seperti kita, yaitu mahluk yang
sedang belajar berkembang menuju kesadaran atma.
Dalam ajaran dharma kita memberikan mereka persembahan, serta
mendoakan mereka agar mereka damai dan bahagia. Ini merupakan bentuk
belas kasih dan kebaikan kepada semua mahluk, sekaligus menebarkan
energi keharmonisan dan kedamaian ke semua arah. Hasilnya sudah tentu
mereka tidak akan mengganggu kita.
Inilah urutan tata-cara dasar untuk menghaturkan persembahan
segehan ke sor [ke alam-alam bawah], yaitu :

27

Cara menghaturkan segehan adalah dengan meletakkannya di natah


atau di bawah [di pertiwi], bukan diletakan pada palinggih. Saat
menghaturkan segehan juga harus memperhatikan arah mata angin terkait
pengider-ideran Panca Dewata dan yang lain-lainnya secara tepat.

Pada waktu menghaturkan segehan hendaknya didampingi dengan


menghaturkan canang. Canang ini berfungsi sebagai segel naungan kekuatan
para Ista Dewata. Tapi jika saat menghaturkan segehan tidak didampingi
dengan menghaturkan canang, maka selayaknya dalam ituk-ituk pada
28

segehan berisi sedikit bunga. Bunga ini sama berfungsi sebagai segel naungan
kekuatan para Ista Dewata.

Selipkan sebatang dupa pada segehan atau tancapkan di tanah. Dupa


adalah segel niskala untuk mengundang kehadiran Sanghyang Triyodasasaksi
[tiga belas manifestasi Sanghyang Acintya] sebagai saksi semesta pelaksanaan
sebuah yadnya, Sanghyang Agni sebagai penghantar yadnya dan Sanghyang
Brahma sebagai penerang jiwa semua mahluk.
Secara tradisi pada segehan juga dipergunakan api takep [dari dua
buah sabut kelapa kering yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk
tanda silang tapak dara atau swastika]. Kalau tidak ada api takep kita cukup
menggunakan dupa saja. Yang terpenting adalah kehadiran api-nya.

29

Lanjutkan dengan metabuh. Kita tabuhkan berem dan arak dengan


disiratkan memutar mengelilingi ke kiri atau berlawanan arah dengan jarum
jam, masing-masing berem dan arak sebanyak 3 [tiga] kali. Memutar ke kiri
adalah kekuatan memutar ke arah bawah [turun], atau ke alam-alam
bawah. Ini kita lakukan sambil mengucapkan mantra :

Om ibek segara, Om ibek danu, Om ibek banyu premananing hulun

Catatan : Saat menyiratkan memutar pertama ucapkan mantra Om ibek


segara, menyiratkan memutar kedua ucapkan mantra Om ibek danu,
menyiratkan memutar ketiga ucapkan mantra Om ibek banyu premananing
hulun.

30

Siratkan tirtha [air suci] sambil mengucapkan mantra :

Ong Mang Parama-Shiwa amertha ya namah swaha

Ayabang segehan dengan menggunakan tangan kanan. Jepit bunga dengan


jari telunjuk dan jari tengah. Gerakan ngayabang harus lembut dan jelas,
dari sisi luar belakang ke arah depan. Sambil mengucapkan mantra
menghaturkan segehan :

Om buktiyantu Durga Katarah,


Om buktiyantu Kala Mewaca,

31

Om buktiyantu Bhuta Bhutangah,


Om buktiyantu Sarwa Bhutanam,
Om buktiyantu Pisaca Sanggyam
Terus ngayabang dan ucapkan mantra untuk menyomiakan sarwa bhuta,
untuk pencapaian kebahagiaan dan bebasnya dari kesengsaraan dari sarwa
bhuta tersebut :

Om Ang Kang Kasolkaya Isana wosat,


Om swasti-swasti sarwa bhuta sarwa kala sukha pradana ya namah swaha,
Om A Ta Sa Ba I sarwa butha sarwa kala murswah wesat Ah Ang,
Ong sah wesat ya namah swaha,
Om shanti shanti shanti Om

Setelah selesai ngayabang, kita sirat-siratkan kembali tirtha [air suci] sambil
mengucapkan mantra untuk mensucikan sarwa bhuta :

Ong Mang Parama-Shiwa amertha ya namah swaha,


Om ksama sampurna ya namah swaha,
Om siddhirastu tat astu astu swaha

32

Kita tutup dengan metabuh sekali lagi. Kita tabuhkan berem dan arak,
masing-masing berem dan arak sebanyak 3 [tiga] kali memutar dengan arah
sebaliknya dengan yang sebelumnya, yaitu memutar mengelilingi ke kanan
atau searah dengan jarum jam. Memutar ke kanan adalah kekuatan
memutar ke arah atas [naik], atau ke alam-alam suci. Ini disebut ngeluhur,
yaitu kekuatan untuk menghantar naik ke alam-alam suci. Ini kita lakukan
sambil mengucapkan mantra :

Om ibek segara, Om ibek danu, Om ibek banyu premananing hulun

Dengan demikian kita telah memberikan hidangan nasi beserta lauk


garam, bawang dan jahe, yang ditujukan ke sor [ke alam-alam bawah].
Sekaligus kita telah melakukan upaya untuk menyomiakan sarwa bhuta.
Dengan satu-satunya tujuan, yaitu dengan dasar belas kasih dan kebaikan
kita melakukan upaya untuk memberikan kebahagiaan dan kedamaian bagi
sarwa bhuta [mahluk-mahluk alam bawah] dari semua arah yang ada di
sekitar lingkungan kita.
Seburuk apapun para mahluk bawah tersebut, teruslah melihat mereka
mahluk-mahluk baik, yang karena berbagai sebab saat ini sedang mengalami
kesengsaraan, sehingga sangat memerlukan kebaikan hati kita. Ini satusatunya cara untuk merubah mereka agar menjadi mahluk baik. Begitu
mereka menjadi mahluk baik mereka tidak saja tidak akan mengganggu kita,
tapi sekaligus di dalam diri jiwa kita sendiri juga menjadi terang dan indah.
33

B a b 6 : T ATTW A PAD A C AN AN G D AN S EGE HA N

Bab 6

TATTWA PADA CANANG DAN SEGEHAN


Leluhur kita di Bali dan Nusantara memiliki pengetahuan spiritual yang
sangat tinggi dan luhur. Diajarkan dan dikembangkan selama lebih dari
seribu tahun oleh para orang-orang suci seperti Maharsi Markandeya, Mpu
Sangkulputih, Mpu Jiwaya, dsb-nya. Kita yang mewarisi wajib untuk
memahami dan melanjutkannya dengan baik.
Sebagaimana yang termuat dalam Lontar Yadnya Parakerti, canang
dan segehan adalah sebentuk segel niskala yang berfungsi sebagai saluran
penghubung dengan kekuatan suci para Ista Dewata, kekuatan alam semesta
atau kekuatan lainnya. Canang dan segehan adalah sebuah tehnologi
spiritual, yang menampilkan segel-segel suci yang diwujudkan dalam tata
letak perpaduan warna, bunga-bunga dan unsur-unsur lainnya dalam
persembahan.
Terkait menghaturkan persembahan, tentunya para pembaca saudara
se-dharma memiliki bentuk tradisi dan tattwa yang beragam di tempat
masing-masing. Juga terdapat berbagai jenis persembahan. Seperti misalnya
contoh pada saat rahina kajeng kliwon, selain menghaturkan canang pada
setiap palinggih kita juga menghaturkan persembahan banten tipat
dampulan di Sanggah Kemulan, Palinggih Taksu dan di Penunggun Karang.
Dalam buku ini akan sedikit dijelaskan mengenai tattwa pada
persembahan, yaitu canang dan 3 [tiga] jenis segehan saja. Sebagai bentuk
persembahan yang paling mendasar atau inti, dalam upaya kita untuk
mengembalikan keseimbangan dan keharmonisan getaran energi yang ada
di sekitar kita.
Ini adalah sekilas pengetahuan tambahan untuk memperkaya saja.
Para pembaca saudara se-dharma hendaknya menjalankan mebanten sesuai
tradisi dan tattwa di tempat masing-masing, sesuai dengan desa, kala, patra.
Tapi dengan harapan agar dilaksanakan dengan tetap berlandaskan
pengetahuan tentang tattwa.

34

1. CANA NG S EBAGA I SEG EL NISKALA M ENG UNDA NG KEKUA TA N SUCI PARA ISTA D EWATA

1. CANANG SEBAGAI SEGEL NISKALA MENGUNDANG KEKUATAN


SUCI PARA ISTA DEWATA
Fungsi paling utama dari canang yang kita persembahkan adalah untuk
mengundang kekuatan suci para Ista Dewata. Dimana karunia kekuatan suci
para Ista Dewata tersebut akan memberikan kebaikan bagi alam sekitar dan
semua mahluk.
Canang dalam persembahan Hindu Bali adalah kuantitas terkecil
namun inti [artinya memiliki tattwa yang lengkap]. Berikut ini adalah tattwa
yang terdapat dalam canang, yaitu :
1. Alas canang berupa ceper, berbentuk segi empat, sebagai segel kekuatan
mandala dari persembahan.
2. Ceper berisi porosan [daun sirih dan pamor yang dicampur gambir dan
buah pinang, dimasukkan dalam lipatan janur], sebagai segel tiga kekuatan
[pikiran, perkataan dan perbuatan] silih asih, tiga kekuatan belas kasih dan
kebaikan.
3. Ceper berisi irisan tebu, irisan pisang dan beras [bija], sebagai segel
kekuatan aksara suci Ongkara [Omkara].
4. Diatasnya terdapat sampian uras, yang terbuat dari rangkaian janur yang
ditata berbentuk bundar yang pada ujung-ujungnya terdiri dari delapan ruas
atau helai seperti anak panah. Sampian uras merupakan segel kekuatan
pikiran yang melingkar sempurna atau hening, jernih dan tenang-seimbang,
ke segala arah.
5. Peletakan posisi bunga pada canang disusun berdasarkan pengiderideran Panca Dewata, yaitu sebagai berikut ini :
- Bunga berwarna putih diletakkan pada posisi arah timur, sebagai segel
mengundang kehadiran Sanghyang Iswara untuk melimpahkan karunia
tirtha sanjiwani yang memberikan kesucian sekala dan niskala.
- Bunga berwarna merah diletakkan pada posisi arah selatan, sebagai
segel mengundang kehadiran Sanghyang Brahma untuk melimpahkan
35

karunia tirtha kamandalu yang memberikan kekuatan kebijaksanaan


dan taksu.
- Bunga berwarna kuning diletakkan pada posisi arah barat, sebagai
segel mengundang kehadiran Sanghyang Mahadewa untuk
melimpahkan karunia tirtha kundalini yang memberikan kekuatan
intuisi dan kemajuan spiritual.
- Bunga berwarna hitam [atau ungu tua] diletakkan pada posisi arah
utara, sebagai segel mengundang kehadiran Sanghyang Wishnu untuk
melimpahkan karunia tirtha pawitra yang melebur segala bentuk
keletehan atau kekotoran sekala dan niskala.
- Kembang rampe [irisan pandan-arum] diletakkan pada posisi di
tengah-tengah, sebagai segel mengundang kehadiran Sanghyang Shiwa
untuk melimpahkan karunia tirtha maha-amertha yang memberikan
kekuatan moksha [pembebasan].
Sebuah catatan penting untuk diperhatikan, yaitu nanti ketika kita
menghaturkan canang sangat penting untuk meletakkan warna-warni bunga
pada posisi arah mata angin yang tepat. Supaya sesuai dengan arah mata
angin pengider-ideran Panca Dewata. Jangan diletakkan secara sembarangan
agar canang sebagai segel suci niskala ini nantinya dapat bekerja secara
maksimal.
Kemudian segel suci niskala ini dihidupkan serta digerakkan dengan
kekuatan mantra-mantra suci, tirtha [air suci], dupa dan kekuatan sredaning
manah [kemurnian pikiran]. Sehingga turunlah karunia kekuatan suci Ista
Dewata, yang memberikan kebaikan bagi alam sekitar dan semua mahluk.
2. SEGEHAN SEBAG AI S EGEL NISKAL A MEMB EBASKA N PARA BHUTA D ARI KES ENG SARA AN

2. SEGEHAN SEBAGAI SEGEL NISKALA MEMBEBASKAN PARA BHUTA


DARI KESENGSARAAN
Terdapat berbagai ragam rupa, jenis dan bentuk segehan sesuai
dengan arah tujuan upacara dan pembuatannya. Tapi tujuan utamanya
tidaklah berbeda, yaitu membahagiakan sarwa bhuta [para mahluk-mahluk
alam bawah] dari kesengsaraan yang membebani mereka.
36

Di dalam buku ini penulis hanya membuat sebuah tattwa panduan


dasar mengenai segehan yang paling dasar atau ringkas [inti] saja, yaitu 3
[tiga] jenis segehan. Segehan manca-warna, segehan putih-kuning dan
segehan putih-hitam [poleng]. Berikut ini adalah tattwa yang terdapat dalam
bentuk-bentuk segehan tersebut, yaitu :
1. Alas segehan berupa ituk-ituk, berbentuk segitiga, sebagai segel kekuatan
mandala dari persembahan. Dalam bentuk tradisi dan tattwa lainnya, ada
juga menggunakan alas berupa janur, daun pisang, daun dadap, ataupun
daun pohon lainnya sebagai alas tatakan. Ini juga sama sebagai segel
penanda bahwa persembahan ini adalah berupa suguhan makanan yang
ditujukan ke mahluk alam-alam bawah.
2. Ituk-ituk berisi porosan [daun sirih dan pamor yang dicampur gambir dan
buah pinang, dimasukkan dalam lipatan janur], sebagai segel tiga kekuatan
[pikiran, perkataan dan perbuatan] silih asih, tiga kekuatan belas kasih dan
kebaikan.
3. Pada waktu menghaturkan segehan hendaknya didampingi dengan
menghaturkan canang. Canang ini berfungsi sebagai segel naungan kekuatan
para Ista Dewata. Tapi jika saat menghaturkan segehan tidak didampingi
dengan menghaturkan canang, maka selayaknya pada ituk-ituk berisi sedikit
bunga. Bunga ini sama berfungsi sebagai segel naungan kekuatan para Ista
Dewata.
4. Ituk-ituk berisi garam [sebagai segel kekuatan sattwam], irisan bawang
[sebagai segel kekuatan rajas] dan irisan jahe [sebagai segel kekuatan tamas].
Ketiga unsur ini adalah segel penyatuan kekuatan tri guna, sehingga
menghasilkan kekuatan suci pembebasan yang melampaui tri guna.
5. Peletakan posisi nasi pada segehan manca-warna disusun berdasarkan
pengider-ideran Panca Dewata, yaitu sebagai berikut ini :
- Nasi berwarna putih diletakkan pada posisi arah timur, sebagai segel
mengundang kehadiran sarwa bhuta [mahluk-mahluk alam bawah]
yang datangnya dari arah timur. Kita berikan mereka hidangan nasi
dengan lauk garam, bawang dan jahe, sehingga kesengsaraan yang
membebani mereka di-somya-kan, kemudian menghantarkan mereka
37

kembali ke arah timur dengan suatu upaya mendapatkan naungan dari


Sanghyang Iswara.
- Nasi berwarna merah diletakkan pada posisi arah selatan, sebagai segel
mengundang kehadiran sarwa bhuta yang datangnya dari arah selatan.
Kita berikan mereka hidangan nasi dengan lauk garam, bawang dan
jahe, sehingga kesengsaraan yang membebani mereka di-somya-kan,
kemudian menghantarkan mereka kembali ke arah selatan dengan
suatu upaya mendapatkan naungan dari Sanghyang Brahma.
- Nasi berwarna kuning diletakkan pada posisi arah barat, sebagai segel
mengundang kehadiran sarwa bhuta yang datangnya dari arah barat.
Kita berikan mereka hidangan nasi dengan lauk garam, bawang dan
jahe, sehingga kesengsaraan yang membebani mereka di-somya-kan,
kemudian menghantarkan mereka kembali ke arah barat dengan suatu
upaya mendapatkan naungan dari Sanghyang Mahadewa.
- Nasi berwarna hitam diletakkan pada posisi arah utara, sebagai segel
mengundang kehadiran sarwa bhuta yang datangnya dari arah utara.
Kita berikan mereka hidangan nasi dengan lauk garam, bawang dan
jahe, sehingga kesengsaraan yang membebani mereka di-somya-kan,
kemudian menghantarkan mereka kembali ke arah utara dengan suatu
upaya mendapatkan naungan dari Sanghyang Wishnu.
- Nasi berwarna campuran warna putih, merah, kuning dan hitam
[brumbun] diletakkan pada posisi arah tengah-tengah, sebagai segel
mengundang kehadiran sarwa bhuta yang datangnya dari arah tengahtengah. Kita berikan mereka hidangan nasi dengan lauk garam,
bawang dan jahe, sehingga kesengsaraan yang membebani mereka disomya-kan, kemudian menghantarkan mereka kembali ke arah tengahtengah dengan suatu upaya mendapatkan naungan dari Sanghyang
Shiwa.
6. Peletakan posisi nasi pada segehan putih-kuning disusun berdasarkan
pengider-ideran Purusha-Prakerti, yaitu sebagai berikut ini :
Nasi berwarna putih diletakkan pada posisi arah timur dan nasi
berwarna kuning diletakkan pada posisi arah barat. Sebagai segel
38

mengundang kehadiran para atma [roh-roh] yang masih belum [atau sedang
berusaha] mendapatkan jalan naik ke alam-alam suci. Kita berikan mereka
hidangan untuk membahagiakan mereka dan kemudian memohonkan
naungan sarwa dewata [para Ista Dewata] untuk mereka.
7. Peletakan posisi nasi pada segehan putih-hitam [poleng] disusun
berdasarkan pengider-ideran Rwa Bhinneda, yaitu sebagai berikut ini :
Nasi berwarna putih diletakkan pada posisi arah timur dan nasi
berwarna hitam diletakkan pada posisi arah barat. Sebagai segel
mengundang kehadiran para atma [roh-roh] pengikut dari Ida Btara
Sedahan Karang sebagai pecalang niskala penjaga rumah, agar ikut menjaga
keamanan rumah kita. Kita berikan mereka hidangan untuk membahagiakan
mereka dan kemudian memohonkan naungan sarwa dewata [para Ista
Dewata] untuk mereka.
Sebuah catatan penting untuk diperhatikan, yaitu nanti ketika kita
menghaturkan segehan sangat penting untuk meletakkan nasi warna-warni
pada posisi arah mata angin yang tepat. Jangan diletakkan secara
sembarangan agar segehan sebagai segel niskala ini nantinya dapat bekerja
secara maksimal.
Kemudian segel niskala ini dihidupkan serta digerakkan dengan
kekuatan mantra-mantra suci, tirtha [air suci], dupa dan kekuatan sredaning
manah [kemurnian pikiran]. Sehingga ter-somyakan-lah kesengsaraan sarwa
bhuta, yang memberikan kebaikan bagi alam sekitar dan semua mahluk.
3. CANA NG D AN S EGEHA N SEBAG AI S EGEL NISKAL A UNTUK M ENG EMBAL IKAN KEHARMO NIS AN G ETARA N ENERGI

3. CANANG DAN SEGEHAN SEBAGAI SEGEL NISKALA UNTUK


MENGEMBALIKAN KEHARMONISAN GETARAN ENERGI
Fungsi lain dari canang dan segehan yang kita persembahkan adalah
untuk mengembalikan keseimbangan dan keharmonisan getaran energi yang
ada di sekitar titik lokasi dimana canang dan segehan tersebut
dipersembahkan.
Sebagaimana kita ketahui, kehidupan manusia tentunya penuh dengan
dinamika. Pasti ada riak-riak perjalanan kehidupan yang menimbulkan
kemarahan, kesedihan, kekecewaan, kebencian, keserakahan, ketidak39

puasan, konflik, stress, dsb-nya. Ini semuanya akan menghasilkan dan


menyebarkan getaran energi seperti apa yang dipikirkan dan dirasakan
manusia. Semakin besar hiruk-pikuk atau pertikaian manusia di suatu
tempat, maka semakin besarlah getaran energi yang dihasilkan dan
disebarkan. Semakin padat jumlah penduduk di suatu tempat, maka semakin
besarlah getaran energi yang dihasilkan dan disebarkan. Ini semua tentu saja
menimbulkan kekacauan pola energi di tempat tersebut.
Canang dan segehan menggunakan warna-warni sebagai segel energi,
untuk mengembalikan keseimbangan dan keharmonisan getaran energi ke
posisi semulanya di titik lokasi tersebut. Ketika kita melakukan persembahan,
getaran energi yang muncul dari persembahan akan mengatur dan
memposisikan ulang [mengembalikan keharmonisan] getaran energi yang
ada di alam.
Pengider-ideran Panca Dewata pada canang dan segehan, bertujuan
untuk mengembalikan keseimbangan dan keharmonisan getaran energi
sebagai berikut ini :
Warna putih berfungsi sebagai segel mengembalikan semua getaran
energi yang memancarkan warna putih atau getaran energi yang mendekati
warna putih, ke posisi semulanya di arah timur.
Warna merah berfungsi sebagai segel mengembalikan semua getaran
energi yang memancarkan warna merah atau getaran energi yang mendekati
warna merah, ke posisi semulanya di arah selatan.
Warna kuning berfungsi sebagai segel mengembalikan semua getaran
energi yang memancarkan warna kuning atau getaran energi yang
mendekati warna kuning, ke posisi semulanya di arah barat.
Warna hitam [atau kalau pada canang bisa dipakai warna bunga ungu
tua] berfungsi sebagai segel mengembalikan semua getaran energi yang
memancarkan warna gelap atau getaran energi yang mendekati warna
gelap, ke posisi semulanya di arah utara.

40

Campuran warna putih, merah, kuning dan hitam [brumbun]


berfungsi sebagai segel mempersatukan dan menegakkan kondisi getaran
energi yang telah kembali ke posisi semulanya.
Pengider-ideran Purusha-Prakerti pada segehan, bertujuan untuk
mengembalikan keseimbangan dan keharmonisan getaran energi sebagai
berikut ini :
Warna putih berfungsi sebagai segel mengembalikan semua getaran
energi yang memancarkan energi kesucian, ketenangan dan keheningan di
lingkungan rumah kembali seimbang dan harmonis. Sedangkan warna
kuning berfungsi sebagai segel mengembalikan semua getaran energi yang
memancarkan energi belas kasih dan kebaikan [yang secara karma
mendatangkan kemakmuran] di lingkungan rumah kembali seimbang dan
harmonis.
Pengider-ideran Rwa Bhinneda pada segehan, bertujuan untuk
mengembalikan keseimbangan dan keharmonisan getaran energi sebagai
berikut ini :
Warna putih merupakan simbolik keamanan atau ketenangan,
sedangkan warna hitam merupakan simbolik bahaya atau kekacauan.
Pengider-ideran Rwa Bhinneda ini berfungsi sebagai segel untuk
menjembatani antara energi positif dan energi negatif tersebut, sehingga dari
penyatuan keduanya muncul energi dinamis yang memancarkan keselarasan
dan keharmonisan.
4. CA NA NG DA N SEG EHAN S EBAGA I RASA HORM AT, S ERTA B ELAS KA SIH D AN KEB AIKA N

4. CANANG DAN SEGEHAN SEBAGAI RASA HORMAT, SERTA BELAS


KASIH DAN KEBAIKAN
Dengan menghaturkan persembahan canang dan segehan, berarti kita
sudah melaksanakan jagadhita dharma yang berguna bagi semua mahluk. Ini
adalah bentuk rasa hormat kepada semua mahluk, serta belas kasih dan
kebaikan. Kita melaksanakan jagadhita dharma yang membangun harmoni
kosmik alam semesta di sekeliling kita, yang berguna bagi semua mahluk.
Selain itu, segehan adalah bentuk persembahan kepada saudarasaudara kita yang berada di bhur loka atau alam bawah. Dalam siklus
41

samsara, jiwa-jiwa yang berada di alam bawah adalah jiwa-jiwa yang


akumulasi karma buruknya banyak. Pahami mereka sebagai mahluk-mahluk
menderita dan bukan mahluk jahat. Mereka sangat memerlukan belas kasih
dan kebaikan kita. Dan siapa tahu yang kita sebut sarwa bhuta itu, beberapa
kelahiran sebelumnya pernah menjadi orang tua kita. Tapi kebetulan karena
karena karma buruknya banyak, mereka mengalami kejatuhan dalam siklus
samsara.
Berbeda dengan agama-agama tingkat pemula dimana para mahlukmahluk alam bawah dibenci, diusir-usir dan dimusuhi. Dalam Hindu
berbeda, dengan penuh belas kasih kita memberikan mereka persembahan
dan mendoakan mereka agar mereka bisa segera terbebaskan.

Brahmaivedam visvam idam varistham


[Sesungguhnya keseluruhan alam semesta manunggal adalah Brahman itu
sendiri]
Om Bhur Bwah Swah, alam bawah, alam tengah dan alam atas
semuanya adalah Om atau Brahman. Para mahluk-mahluk alam-alam bawah
juga adalah bagian dari Brahman. Tapi mereka hanya kurang beruntung,
terjerumus ke alam sengsara dan belum menemukan jalan dharma yang
membimbing menuju kesadaran sempurna. Sehingga dengan penuh rasa
belas kasih kita membantu mereka, memberikan mereka persembahan dan
mendoakan mereka agar mereka bisa segera terbebaskan.
Rasa hormat, rasa belas kasih dan kebaikan ke alam semesta beserta
seluruh penghuninya [Om Bhur Bwah Swah] sangat utama dan mendasar
sebagai ajaran religius terpenting dan praktek religius terpenting. Karena
tanpa rasa hormat, rasa belas kasih dan kebaikan kepada semua, semua jalan
religius menjadi berbahaya. Dan tanpa rasa hormat, rasa belas kasih dan
kebaikan kepada semua, apapun bentuk praktek religius pasti akan menemui
kegagalan.
Semua mahluk ingin bahagia dan tidak mau menderita, sehingga
dalam kehidupan ini selayaknya kita banyak-banyak menyayangi dan
berhenti menyakiti. Menghaturkan segehan diawali dengan niat sebagai
bhakti [melayani] kepada semua mahluk dan dijalankan dengan mantra
guna mengurangi penderitaan semua mahluk. Pancarkan rasa belas kasih dan
42

rasa damai akibat persembahan kita ke semua arah. Dan sekaligus kita
sedang belajar terhubung secara kosmik dengan semuanya.
Selalu ingatlah, bahwa kepada saudara-saudara kita di alam bawah,
kitalah yang harus memberi. Karena kalau kita minta sesuatu kepada
saudara-saudara kita di alam bawah, itu analogi-nya seperti kita jadi orang
tua yang meminta-minta uang kepada anak kita yang masih SD. Sehingga
dalam hal ini hendaknya jangan meminta sesuatu apapun kepada mereka.
Termasuk jangan minta agar kita tidak diganggu. Tidak boleh sama sekali.
Ajaran dharma selalu menegaskan bahwa kepada saudara-saudara kita
di alam bawah yang benar adalah kita yang memberi. Dasarnya adalah belas
kasih dan kebaikan. Sambil menghaturkan segehan, dengan pikiran penuh
belas kasih kita doakan para mahluk-mahluk alam bawah itu agar mereka
damai dan bahagia, serta agar mereka bisa lahir di alam dewa. Begitu
mereka menjadi dewa, dengan kualitas ke-dewa-an tidak mungkin mereka
akan mengganggu kita.
5. CANA NG D AN S EGEHA N SEBA GAI UNGKA PA N RASA S YUKUR DA N TER IMAKA SIH

5. CANANG DAN SEGEHAN SEBAGAI UNGKAPAN RASA SYUKUR DAN


TERIMAKASIH
Segala apa yang kita dapatkan dalam hidup ini, kita kembalikan dalam
bentuk persembahan suci. Aktifitas ini bukan tidak ada efeknya. Bagi orangorang yang mata spiritual-nya sudah terbuka, akan dapat melihat getaran
energi kosmik kesucian dan kedamaian di Pulau Bali sungguh luar biasa.
Di Pulau Bali, selama ribuan tahun setiap harinya jutaan persembahan
yang dihaturkan. Setiap kali kita mendapatkan sesuatu yang baik, seperti
misalnya habis panen di sawah, sembuh dari sakit, naik gaji, anak tamat
sekolah, dsb-nya, yang pertama kali dipikirkan adalah berterimakasih
dengan menghaturkan persembahan kepada Sanghyang Acintya, para Ista
Dewata, para leluhur dan keseluruhan alam semesta. Demikian juga dalam
setiap putaran waktu yang sakral [rahinan] kita menghaturkan persembahan.
Keterikatan kepada materi seringkali menghalangi ketulusan kita untuk
bersyukur dan berterimakasih kepada alam semesta dan kehidupan. Padahal
dengan rasa syukur dan terimakasih, penerimaan kita pada kehidupan
mudah sekali muncul. Dengan hati yang bersyukur dan berterimakasih
43

semuanya menjadi karunia, semuanya menjadi indah. Kehidupan akan


berputar tanpa keinginan berlebihan. Sehingga lebih mungkin pikiran kita
menjadi hening. Dan kesadaran kita akan mengundang datangnya kesadaran
yang terang, baik ke dalam pikiran kita sendiri maupun bagi getaran energi
kosmik tempat dimana kita berada.
Semakin dalam rasa syukur dan rasa terimakasih seseorang, semakin
indah hidupnya, semakin bercahaya keluarganya, semakin mendamaikan
getaran energi yang disebarkan kepada alam semesta dan kehidupan.
6. CA NANG DA N SEG EHA N S EBAGA I AJARA N S UCI YA NG TER SEMB UNYI

6. CANANG DAN SEGEHAN SEBAGAI AJARAN SUCI YANG


TERSEMBUNYI
Di jaman dahulu sarana komunikasi tidaklah semudah sekarang. Tidak
ada percetakan yang dalam sekejap bisa mencetak ribuan buku, tidak ada
internet, dsb-nya. Apalagi jaman dahulu banyak sekali orang yang buta
huruf. Sehingga oleh para leluhur kita yang bijaksana, ajaran suci dharma
disembunyikan di dalam banten.
Banten adalah ajaran suci dharma dalam bentuk simbol-simbol yang
mona [diam]. Karena simbol-simbol sesungguhnya merupakan ajaran rahasia
yang disembunyikan. Tapi seandainya kita cukup memahami sasahaning
tukang banten, lalu disaat kita mejejaitan, maka banten itu dengan
sendirinya akan banyak menuturkan berbagai ajaran dharma.
Dalam keadaan banyak sekali hambatan untuk meneruskan ajaran suci
dharma secara tertulis di jaman dahulu, para leluhur kita yang bijak
mengharapkan ajaran dapat ditanamkan ke dalam lubuk hati masyarakat
secara motorik atau gerak, yaitu dengan membaca simbol-simbol ajaran suci
dharma ketika kita melakukan pembuatan banten.
Selain itu, mebanten juga bertujuan untuk selalu mengingatkan kita
agar memiliki tingkat pengendalian diri yang lebih baik dari biasanya,
menumbuhkan rasa belas kasih dan kebaikan, penuh rasa syukur dan
terimakasih, serta selalu terhubung dengan naungan alam-alam suci.

44

P E NUTU P

PENUTUP
Demikianlah secara ringkas panduan dasar mengenai mebanten.
Astungkara berguna bagi yang membacanya. Terutama bagi yang belum
mengenal tattwa-nya, sehingga dapat mulai memperhatikan dan
memperbaiki seandainya ada kekurang-pahaman. Astungkara kehidupan kita
dan keluarga akan mengalami perbaikan dan peningkatan.
Dengan mebanten yang berlandaskan tattwa, secara spiritual hal ini
luar biasa terangnya. Dengan dasar rasa hormat, rasa terimakasih dan rasa
belas kasih kita berkarma baik menjaga keseimbangan dan keharmonisan
kosmos atau alam semesta [jagadhita]. Karena di dalam upaya inilah ada
kekuatan spiritual semesta yang sempurna, yang berguna bagi kebahagiaan
semua mahluk.
Keterhubungan manusia dengan alam-alam mahasuci akan terjaga
dengan baik, mahluk-mahluk alam-alam bawah akan sangat terbantu tersomya dari kesengsaraan dan kegelapan mereka, alam semesta akan
memberikan karunia kemakmuran dan kesejahteraan, serta alam semesta
akan menebarkan getaran energi kedamaian secara kosmik, sehingga diri kita
sendiri, orang-orang disekitar kita dan semua mahluk akan menerima
getaran energi kedamaian.
Bali adalah pulau yang tidak hanya secara fisik [sekala] saja indah, tapi
secara spiritual [niskala] juga sangat indah. Bali adalah pulau yang sarat
dengan getaran energi ketenangan dan kedamaian. Orang-orang luar Bali
yang datang ke Bali banyak yang merasakan perbedaan suasana yang
dirasakan di Bali. Merasakan ketenangan dan kedamaian yang nyaman.
Siapa saja yang mata spiritual-nya sudah terbuka, dia akan bisa melihat
indahnya getaran energi kosmik Pulau Bali, yang menebarkan kedamaian,
harmonis dan terang benderang.

Om shanti shanti shanti Om !

45

RUMAH DHARMA - HINDU INDONESIA


Mohon sebarluaskan e-book gratis ini melalui media sosial, blog, e-mail,
handphone, atau bisa juga dengan cara di-print atau dicetak [tapi mohon jangan
dirubah isinya]. Ini adalah bagian dari dharma yadnya, berkarma baik dengan cara
menyebarluaskan ajaran dharma.
Karma baik dari turut menyebarluaskan e-book ini [ajaran dharma] adalah :
1. Akan mengikis akumulasi karma buruk.
2. Dalam setiap reinkarnasi kelahirannya akan berjodoh dengan ajaran dharma
yang suci dan terang.
3. Bila penyebarannya luas, dia akan mendapat perlindungan dari para dewadewi.
4. Bila karma baiknya sudah matang, pikirannya akan lebih tenang, tidak terikat
kebencian dan dendam, serta dia menjadi lebih bijaksana.
Kumpulan e-book lengkap dari Rumah Dharma - Hindu Indonesia bisa didownload secara gratis tanpa dipungut biaya apapun di :
tattwahindudharma.blogspot.com

TENTANG PENULIS
I Nyoman Kurniawan lahir pada tanggal 29 January
1976. Mendapatkan garis spiritualnya dari kakeknya,
Pan Siki, seorang balian usadha dari Br. Tegallinggah
Kota Denpasar.
Akan tetapi dia sendiri baru memulai menapaki jalur
spiritual pada tahun 2002, pada usia 26 tahun. Pada
saat yang bersamaan, pekerjaannya sebagai
Produser Program acara Ista Dewata di Bali TV,
sebuah acara liputan khusus pura, memberinya kesempatan untuk melakukan
perjalanan ke berbagai pura, mendalami kekayaan spiritual Hindu Bali, serta
bertemu dengan para Jro Mangku dan beragam praktisi spiritual. Walaupun dia
sudah mengundurkan diri dari Bali TV di tahun 2003, pengalaman ini tetaplah
kelak menjadi bagian dari dasar-dasar spiritualnya.
Pertemuan dengan guru pertama-nya di tahun 2007 dan pertemuan dengan guru
kedua-nya beberapa tahun setelahnya, kemudian membawa perubahan besar,
dimana dia mulai memberikan komitmen menyeluruh kepada spiritualisme. Dia
juga mulai banyak melakukan tirthayatra penjelajahan ke berbagai pura-pura
pathirtan kuno, sebagai bagian dari arahan gurunya, sekaligus juga panggilan
spiritualnya sendiri.
Inspirasi dharma yang didapatnya dari perjalanan tirthayatra ke pura-pura
pathirtan kuno, dikombinasikan dengan ajaran-ajaran dari kedua gurunya, praktek
meditasi, membaca puluhan buku-buku suci, serta diskusi-diskusi panjang dengan
banyak satguru dan yogi, kemudian ditulisnya menjadi berbagai buku.

DHARMA DANA
Rumah Dharma - Hindu Indonesia
Rumah Dharma - Hindu Indonesia telah dan akan terus melakukan
penerbitan buku-buku dharma berkualitas, baik berupa e-book maupun buku
cetak, untuk dibagi-bagikan secara gratis tanpa dipungut biaya apapun.
Untuk melakukan pencetakan buku-buku dharma berkualitas, Rumah
Dharma - Hindu Indonesia memerlukan bantuan para donatur, yang sadar akan
pentingnya melakukan pembinaan kesadaran masyarakat. Semakin banyak dana
yang terkumpul maka semakin banyak juga buku-buku dharma cetak yang dapat
disebarluaskan.
Ada empat cara memanfaatkan kekayaan sebagai ladang kebajikan yang
bernilai sangat utama, salah satunya adalah ber-dharma dana untuk penyebaran
ajaran dharma. Karena ini bukan saja sebuah kebaikan mulia dengan karma baik
berlimpah, tetapi juga adalah sebuah sadhana nirjara, sadhana penghapusan
karma buruk.
Semoga berkat karma baik ini, para donatur selalu memperoleh
kerahayuan.
Transfer Dharma Dana anda ke rekening :
Bank BNI Kantor Cabang Denpasar
No Rekening : 034 0505 797
Atas Nama : I Nyoman Agus Kurniawan

Matur suksma, dumogi stata rahayu sareng sami !

Anda mungkin juga menyukai