Oleh :
Preseptor :
dr. Yufi Marsal Permana, Sp.OG
1
BAB I
PENDAHULUAN
Insidensi VBAC sendiri meningkat dari tahun 1985 yaitu 5% menjadi 28,3%
pada tahun 1996 sehingga pada tahun 1996 operasi sesar insidensinya menurun
sampai dengan 20%. Peningkatan VBAC diikuti dengan meningkatnya kejadian
terjadinya ruptur uterus sehingga pada tahun 2006 angka kejadian VBAC sendiri
menurun jadi 8,5% sedangkan operasi sesar meningkat menjadi 31,1% (Menacker,
Declercq, & Macdorman, 2006).
2
dari 2412 pasien yang melakukan partus sebanyak 399 pasien memenuhi kriteria
partus secara seksio sesarea buat partus petama yaitu mewakili 16.54% dari jumlah
pasien. Dari jumlah ini sebanyak 370 pasien (92.73%) melakukan percobaan patus
pervaginal nomal dan sebanyak 29 pasien melakukan seksio sesarea elektif. Dari
jumlah ini didapati tahap keberhasilan partus pervaginal pasca seksio sesarea
didapatkan sebanyak 74.86%.
Dengan begitu terdapat 2 pilihan bagi ibu dengan riwayat persalinan seksio
sesarea sebelumnya yaitu TOLAC (Trial of Labor after Caesarean) atau ERSC
(Elective Repeated Sectio Caesarean). Dan dalam tulisan ini akan diringkas beberapa
pertimbangan yang berkaitan dengan evaluasi untuk persalinan pervaginam pada
wanita yang pernah menjalani sesar serta syarat untuk bisa dilakukannya VBAC.
1.2. Tujuan
3
1.2.2 Tujuan Khusus
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Berbagai faktor medis dan nonmedis diperkirakan menjadi penumbang
kepada penurunan jumlah percobaan partus pevaginam ini. Faktor-faktor ini
sebenarnya masih belum difahami dengan jelas. Salah satu faktor yang paling sering
dikemukan para ahli adalah resiko ruptur uteri. Pada tindakan percobaan partus
pervaginal yang gagal, yaitu pada maternal yang harus melakukan seksio sesarea
ulang didapati resiko komplikasi lebih tinggi berbanding VBAC dan partus secara
seksio sesarea elektif. Faktor nonmedis termasuklah restriksi terhadap akses
percobaan partus pervaginal. (NIH Consensus Development Conference Statement,
2010)
6
4. Letak sungsang
5. Kehamilan lewat waktu
6. Taksiran berat janin lebih dari 4000 gram
2.3. Kontraindikasi VBAC
Menurut Depp R (1996) kontra indikasi mutlak melakukan VBAC adalah :
1. Bekas seksio sesarea klasik
2. Bekas seksio sesarea dengan insisi T
3. Bekas ruptur uteri
4. Bekas komplikasi operasi seksio sesarea dengan laserasi serviks yang luas
5. Bekas sayatan uterus lainnya di fundus uteri contohnya miomektomi
6. Disproporsi sefalopelvik yang jelas.
7. Pasien menolak persalinan pervaginal
8. Panggul sempit
9. Ada komplikasi medis dan obstetrik yang merupakan kontra indikasi
persalinan pervaginal
2.4. Prasyarat VBAC
Panduan dari American College of Obstetricians and Gynecologists pada
tahun 1999 dan 2004 tentang VBAC atau yang juga dikenal dengan trial of scar
memerlukan kehadiran seorang dokter ahli kebidanan, seorang ahli anastesi dan staf
yang mempunyai keahlian dalam hal persalinan dengan seksio sesarea emergensi.
Sebagai penunjangnya kamar operasi dan staf disiagakan, darah yang telah di-
crossmatch disiapkan dan alat monitor denyut jantung janin manual ataupun
elektronik harus tersedia (Caughey AB, Mann S, 2001).
Pada kebanyakan senter merekomendasikan pada setiap unit persalinan yang
melakukan VBAC harus tersedia tim yang siap untuk melakukan seksio sesarea
emergensi dalam waktu 20 sampai 30 menit untuk antisipasi apabila terjadi fetal
distress atau ruptur uteri (Jukelevics N, 2000).
2.5. Sistem skoring VBAC
7
Untuk memprediksi keberhasilan penanganan persalinan pervaginal dengan
riwayat seksio sesarea, dibuat suatu penilaian dengan memperhatikan beberapa
variable yaitu nilai bishop, persalinan pervaginam sebelum sesarea,dan indikasi
seksio sesarea sebelumnya.
Beberapa peneliti telah membuat system scoring.Flamm dan Geiger menentukan
panduan dalam penangan persalinan bekas seksio sesarea dalam bentuk system
scoring. Weinstein dkk dan Alamia dkk juga telah membuat suatu system scoring
untuk pasien bekas seksio sesarean (Weinstein D,1996, Flamm BL, 1997 )
Beberapa system scoring untuk memprediksi keberhasilan persalinan
pervaginam dengan riwayat seksio sesarea:
Adapun skoring menurut Flamm dan Geiger (1997) yang ditentukan untuk
memprediksi persalinan pada wanita dengan bekas seksio sesarea adalah seperti
tertera pada table dibawah ini
No Karakteristik Skor
- Belum pernah 0
8
4 Pendataran serviks saat tiba di Rumah Sakit dalam keadaan inpartu:
- 75% 2
- 25-75 % 1
- < 25% 0
Interpretasi :
FAKTOR TIDAK YA
GRADE A 0 6
Malpresentasi
PIH ( Pregnancy Induced Hypertension)
Gemelli
9
GRADE B 0 5
Plasenta Previa atau solusio
Prematur
Ketuban Pecah
GRADE C 0 4
Gawat janin
CPD atau distosia
Prolaps tali pusat
GRADE D 0 3
Makrosomia
PJT
( Weinstein D,1996)
Angka keberhasilan persalinan pervaginal pada bekas seksio sesarea pada sistem
skoring menurut Weinstein (1996) adalah seperti di tabel berikut :
Tabel 3 : Angka keberhasilan VBAC menurut Weinstein
(Weinstein D, 1996)
2 Indikasi SC sebelumnya
10
Sungsang,gawat janin, placenta previa,elektif 2
3 Dilatasi serviks
>4cm 2
>2,5 <4cm 1
<2,5 cm 0
4 Station dibawah-2 1
Interpretasi :
11
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam menentukan VBAC telah diteliti
selama bertahun-tahun.Ada banyak faktor yang dihubungkan dengan tingkat
keberhasilan persalinan pervaginal pada bekas seksio (Caughey AB, Mann S, 2001).
2.6.1. Teknik operasi sebelumnya
Pasien bekas seksio sesarea dengan insisi segmen bawah rahim transversal
merupakan salah satu syarat dalam melakukan VBAC, dimana pasien dengan tipe
insisi ini mempunyai resiko ruptur yang lebih rendah dari pada tipe insisi
lainnya.Bekas seksio sesarae klasik, insisi T pada uterus dan komplikasi yang terjadi
pada seksio sesarea yang lalu misalnya laserasi serviks yang luas merupakan
kontraindikasi melakukan VBAC.(Toth PP, Jothivijayani, 1996, Cunningham FG,
2001).Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (2004), tiada
perbedaan dalam mortalitas maternal dan perinatal pada insisi seksio sesarea
transversalis atau longitudinalis.
2.6.2. Jumlah seksio sesarea sebelumnya
VBAC tidak dilakukan pada pasien dengan insisi korporal sebelumnya
maupun pada kasus yang pernah seksio sesarea dua kali berurutan atau lebih, sebab
pada kasus tersebut diatas seksio sesarea elektif adalah lebih baik dibandingkan
persalinan pervaginal (Flamm BL, 1997).
Resiko ruptur uteri meningkat dengan meningkatnya jumlah seksio sesarea
sebelumnya.Pasien dengan seksio sesarea lebih dari satu kali mempunyai resiko yang
lebih tinggi untuk terjadinya ruptur uteri.Ruptur uteri pada bekas seksio sesarea 2 kali
adalah sebesar 1.8 3.7 %. Pasien dengan bekas seksio sesarea 2 kali mempunyai
resiko ruptur uteri lima kali lebih besar dari bekas seksio sesarea satu kali (Caughey
AB, 1999, Cunningham FG, 2001).
Menurut Spaan (1997) mendapatkan bahwa riwayat seksio sesarea yang lebih satu
kali mempunyai resiko untuk seksio sesarea ulang lebih tinggi.
12
setelah dua kali seksio sesarea selalu seksio sesarea pada kehamilan berikutnya ,
dimana diyakini bahwa komplikasi pada ibu dan anak lebih tinggi. Menurut
Farmakides (1987) dalam Miller (1994) melaporkan 77 % dari pasien yang pernah
seksio sesarea dua kali atau lebih yang diperbolehkan persalinan pervaginal dan
berhasil dengan luaran bayi yang baik. Menurut Cunningham (2001), American
College of Obstetricians and Gynecologists pada tahun 1999 telah memutuskan
bahwa pasien dengan bekas seksio dua kali boleh menjalani persalinan pervaginal
dengan pengawasan yang ketat.
Menurut Miller (1994) melaporkan bahwa insiden ruptur uteri terjadi 2 kali lebih
sering pada VBAC dengan riwayat seksio sesarea 2 kali atau lebih. Pada penelitian
ini, jumlah VBAC dengan riwayat seksio sesarea 1 kali adalah 83% manakala 2 kali
atau lebih adalah 17 %.
13
Pemeriksaan USG trans abdominal pada kehamilan 37 minggu dapat mengetahui
ketebalan segmen bawah rahim. Ketebalan segmen bawah rahim (SBR) 4,5 mm
pada usia kehamilan 37 minggu adalah petanda parut yang sembuh sempurna. Parut
yang tidak sembuh sempurna didapat jika ketebalan SBR < 3,5 mm. Oleh sebab itu
pemeriksaan USG pada kehamilan 37 minggu dapat sebagai alat skrining dalam
memilih cara persalinan bekas seksio sesarea. (Cheung V, 2004)
Menurut Cunningham FG (2001) menyatakan bahwa penyembuhan luka
seksio sesarea adalah suatu generasi dari fibromuskuler dan bukan pembentukan
jaringan sikatrik.
Menurut Cunningham FG (1993), dasar dari keyakinan ini adalah dari hasil
pemeriksaan histologi dari jaringan di daerah bekas sayatan seksio sesarea dan dari 2
tahap observasi yang pada prinsipnya :
1. Tidak tampaknya atau hampir tidak tampak adanya jaringan sikatrik pada
uterus pada waktu dilakukan seksio sesarea ulangan
2. Pada uterus yang diangkat, sering tidak kelihatan garis sikatrik atau hanya
ditemukan suatu garis tipis pada permukaan luar dan dalam uterus tanpa
ditemukannya sikatrik diantaranya.
Menurut Schmitz (1949) dalam Srinivas (2007) menyatakan bahwa kekuatan sikatrik
pada uterus pada penyembuhan luka yang baik adalah lebih kuat dari miometrium itu
sendiri. Hal ini telah dibuktikannya dengan memberikan regangan yang ditingkatkan
dengan penambahan beban pada uterus bekas seksio sesarea (hewan percobaan).
Ternyata pada regangan maksimal terjadi ruptura bukan pada jaringan sikatriknya
tetapi pada jaringan miometrium dikedua sisi sikatrik.
Dari laporan-laporan klinis pada uterus gravid bekas seksio sesarea yang mengalami
ruptura selalu terjadi pada jaringan otot miometrium sedangkan sikatriknya utuh.Yang
mana hal ini menandakan bahwa jaringan sikatrik yang terbentuk relatif lebih kuat
dari jaringan miometrium itu sendiri (Srinivas S. 2007).
14
Dua hal yang utama penyebab dari gangguan pembentukan jaringan sehingga
menyebabkan lemahnya jaringan parut tersebut adalah :
1. Infeksi, bila terjadi infeksi akan mengganggu proses penyembuhan luka.
2. Kesalahan teknik operasi (technical errors) seperti tidak tepatnya
pertemuan kedua sisi luka, jahitan luka yang terlalu kencang, spasing jahitan yang
tidak beraturan, penyimpulan yang tidak tepat, dan lain-lain.
Menurut Schmitz (1949) dalam Srinivas (2007) menyatakan jahitan luka yang terlalu
kencang dapat menyebabkan nekrosis jaringan sehingga merupakan penyebab
timbulnya gangguan kekuatan sikatrik, hal ini lebih dominan dari pada infeksi
ataupun technical error sebagai penyebab lemahnya sikatrik.
Pengetahuan tentang penyembuhan luka operasi, kekuatan jaringan sikatrik pada
penyembuhan luka operasi yang baik dan pengetahuan tentang penyebab-penyebab
yang dapat mengurangi kekuatan jaringan sikatrik pada bekas seksio sesarea, menjadi
panduan apakah persalinan pervaginal pada bekas seksio sesarea dapat dilaksanakan
atau tidak (Srinivas, 2007).
Pada sikatrik uterus yang intak tidak mempengaruhi aktivitas selama kontraksi uterus.
Aktivitas uterus pada multipara dengan bekas seksio sesarea sama dengan multipara
tanpa seksio sesarea yang menjalani persalinan pervaginal (Chua S, Arulkumaran S,
1997).
2.6.4. Indikasi operasi pada seksio sesarea yang lalu
Indikasi seksio sesarea sebelumnya akan mempengaruhi keberhasilan VBAC.
Maternal dengan penyakit CPD memberikan keberhasilan persalinan pervaginal
sebesar 60 65 % manakala fetal distress memberikan keberhasilan sebesar 69
73% (Caughey AB, Mann S, 2001).
Keberhasilan VBAC ditentukan juga oleh keadaan dilatasi serviks pada waktu
dilakukan seksio sesarea yang lalu. VBAC berhasil 67 % apabila seksio sesarea yang
lalu dilakukan pada saat pembukaan serviks kecil dari 5 cm, dan 73 % pada
pembukaan 6 sampai 9 cm. Keberhasilan persalinan pervaginal menurun sampai 13
15
% apabila seksio sesarea yang lalu dilakukan pada keadaan distosia pada kala II
(Cunningham FG, 2001).
Menurut Troyer (1992) pada penelitiannya mendapatkan keberhasilan penanganan
VBAC boleh dihubungkan dengan indikasi seksio sesarea yang lalu seperti pada tabel
dibawah ini :
(Troyer,1992)
16
2.6.6. Usia kehamilan saat seksio sesarea sebelumnya
Pada usia kehamilan < 37 minggu dan belum inpartu misalnya pada plasenta
previa dimana segmen bawah rahim belum terbentuk sempurna kemungkinan insisi
uterus tidak pada segmen bawah rahim dan dapat mengenai bagian korpus uteri yang
mana keadaannya sama dengan insisi pada seksio sesarea klasik (Salzmann B, 1994).
2.6.7. Riwayat persalinan pervaginal
Riwayat persalinan pervaginal baik sebelum ataupun sesudah seksio sesarea
mempengaruhi prognosis keberhasilan VBAC (Cunningham FG, 2001).
Pasien dengan bekas seksio sesarea yang pernah menjalani persalinan pervaginal
memiliki angka keberhasilan persalinan pervaginal yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien tanpa persalinan pervaginal (Caughey AB, Mann S, 2001).
Menurut Benedetti TJ (1982) dalam Toth PP (1996), pada pasien bekas seksio sesarea
yang sesudahnya pernah berhasil dengan persalinan pervaginal, makin berkurang
kemungkinan ruptur uteri pada kehamilan dan persalinan yang akan datang.
Walaupun demikian ancaman ruptur uteri tetap ada pada masa kehamilan maupun
persalinan, oleh sebab itu pada setiap kasus bekas seksio sesarea harus juga
diperhitungkan ruptur uteri pada kehamilan trimester ketiga terutama saat menjalani
persalinan pervaginal (Toth PP, 1996).
2.6.8. Keadaan serviks pada saat partus
Penipisan serviks serta dilatasi serviks memperbesar keberhasilan VBAC (Flamm
BL, 1997).
Menurut Guleria dan Dhall (1997) menyatakan bahwa laju dilatasi seviks
mempengaruhi keberhasilan penanganan VBAC.Dari 100 pasien bekas seksio sesarea
segmen bawah rahim didapat 84 % berhasil persalinan pervaginal sedangkan sisanya
adalah seksio sesarea darurat. Gambaran laju dilatasi serviks pada bekas seksio
sesarea yang berhasil pervaginal pada fase laten rata-rata 0.88 cm/jam manakala fase
aktif 1.25 cm/jam. Sebaliknya laju dilatasi serviks pada bekas seksio sesarea yang
17
gagal pervaginal pada fase late rata-rata 0.44 cm/jam dan fase aktif adalah 0.42
cm/jam.
Induksi persalinan dengan misoprostol akan meningkatkan resiko ruptur uteri pada
maternal dengan bekas seksio sesarea (Plaut MM, et al, 1999). Dijumpai adanya 1
kasus ruptur uteri bekas seksio sesaraea segmen bawah rahim transversal selama
dilakukan pematangan serviks dengan transvaginal misoprostol sebelum tindakan
induksi persalinan (Scott, 1997).
18
2.8.1 Pada saat kehamilan
Pada pasien dengan riwayat operasi segmen bawah rahim seharusnya dirawat
pada usia kehamilan 38 minggu untuk mengevaluasi kasus dan rencana
penatalaksanaan berikutnya, serta mencegah kegelisahan pasien terutama jika nyeri
persalinan muncul lebih awal dari yang diperkirakan.7,9,11
Pada pasien dengan insisi klasik atau histerotomi, seharusnya dirawat pada
usia kehamilan 36 minggu. Kemungkinan untuk terjadi ruptura uteri pada tipe ini
lebih sering terjadi pada minggu-minggu terakhir kehamilan.7,
Semua kasus dengan parut yang lemah pada segmen bawah rahim juga harus
dirawat pada usia kehamilan 36 minggu. Contohnya plasenta previa dapat
menyebabkan kelemahan pada parut bekas seksio sesarea karena :7
Jika pasien dalam fase persalinan, pasien harus diawasi ketat : tanda-tanda
vital, rasa sakit pada perut / uterus bagian bawah, perdarahan dan tanda-tanda ruptura
uteri spontan.9
19
dan tidak ada kontra indikasi. Lakukan penilaian partus percobaan setiap 2 jam, kalau
tidak ada kemajuan lakukan seksio ulangan.9
Partus percobaa
Percobaan
Maju Gagal
Ekstraksi Vakum /
Ekstraksi Forceps
20
21
tidak diketahuinya tinggi janin yang terdeteksi sewaktu pemeriksaan dalam. Beberapa
wanita mengalami penghentian kontraksi setelah rupture. Penatalaksanaan rupture
uterus antara lain adalah section Caesar darurat atas indikasi gawat janin, terapi
pendarahan ibu, dan perbaikan defek uterus atau histerektomi jika perbaikan dianggap
tidak mungkin.
American College of Obstetricians and Gynecologists (1999) menyimpulkan
bahwa bukti ilmiah masih inkonsistensi atau terbatas, wanita dengan insisi vertical
disegmen bawah uterus yang tidak meluas ke fundus dapat menjadi kandidat untuk
VBAC. Sebaliknya,riwayat insisi uterus klasik atau berbentuk T dianggap
kontraindikasi VBAC. Namun, berdasarkan indikasi insisi vertical saat ini, hanya
sedikit insisi yang tidak meluas hingga ke segmen aktif.
Tabel 7. Angka Ruptur uterus berdasarkan jenis dan lokasi insisi uterus sebelumnya
Tipe insisi uterus Perkiraan rupture (%)
Klasik 4-9
Bentuk T 4-9
Vertikal Rendah 1-7
Tranversal Rendah 0,2-05
American Collage of Obstetricians and Gynecologist : Vaginal Birth after previous
caesarean delivery
Secara umum,angka terendah kejadian rupture dilaporkan untuk insisi
transversal rendah dan tertinggi untuk insisi yang meluas hingga ke fundus insisi
klasik.Hal ini disebabkan oleh karena luka pada segmen bawah uterus yang
menyerupai daerah uterus yang lebih tenang dalam masa nifas dapat sembuh dengan
baik, sehingga parut lebih kuat.
Wanita yang pernah mengalami rupture uterus lebih besar kemungkinannya
mengalami kekambuhan. Mereka yang rupturnya terbatas di segmen bawah memiliki
resiko kekambuhan sekitar 6 % pada persalinan selanjutnya,sedangkan mereka yang
rupturnya mencakup uterus atas memiliki resiko kekambuhan sekitar 1 dalam 3.
Ruptur uteri pada luka bekas seksio sering sukar sekali didiagnosis. Tidak ada gejala-
22
gejala yang khas seperti rupture pada rahim yang utuh. Mungkin hanya ada
perdarahan yang lebih dari perdarahan pembukaan atau ada perasaan nyeri pada
daerah bekas luka. Oleh karena itu, rupture semacam ini disebut Silent Rupture
( rupture yang tenang atau tidak terjadi robekan secara mendadak). Gambaran
klinisnya sangat berbeda dengan gambaran klinis rupture uteri pada uterus yang utuh.
Hal ini disebabkan oleh rupture yang biasanya pada luka bekas seksio terjadi sedikit
demi sedikit penipisan jaringan di sekitar bekas luka untuk akhirnya terpisah sama
sekali dan terjadilah rupture uteri, lagi pula perdarahan pada rupture bekas luka seksio
sesarea profunda terjadi retroperitoneal hingga tidak menyebabkan gejala
perangsangan peritoneum.
Untuk menghindari terjadinya komplikasi ini, kita harus dapat mengenali
faktor resiko yang terdapat pada pasien sebelum dilakukanya persalinan pervaginam
dengan riwayat seksio sesarea. Adapun faktor resiko itu adalah
1) Jenis parut uterus
2) Penutupan uterus satu lapis atau dua lapis
3) Jumlah seksio sesarea sebelumnya
4) Riwayat persalinan pervaginam
5) Jarak kelahiran
6) Usia ibu
7) Infeksi paska seksio pada kehamilan sebelumnya
8) Ketebalan segmen bawah uterus (SBU)
Berdasarkan beberapa penerlitian,faktor resiko lainnya yaitu :
1) Usia ibu > 40 tahun lebih beresiko 3 dari pada ibu dengan usia <30
tahun
2) Jarak kelahiran <18 bulan meningkatkan resiko 3, dan mempunyai 86
% keberhasilan dengan jarak kehamilan lebih dari 18 bulan.
3) Demam setelah seksio sesarea sebelumnya meningkatkan resiko 4
4) Jahitan 1 lapis pada rahim meningkatkan resiko hamper 4
dibandingkan dengan 2 lapis
23
5) Jumlah seksio sesarean sebelumnya > 2 meningkatkan resiko 4,5 x
6) Induksi persalinan dengan oksitosis meningkatkan resiko 4,6
7) Jenis sayatan rahim juga sangat mempengaruh.Sayatan klasik/T
terbalik beresiko rupture uteri 4-9% vertical rendah 1-7%, sedangkan
insisi transversal rendah 0,1-1,5%
8) Adanya riwayat persalinan pervaginam sebelumnya menurunkan
resiko rupture 0,2
9) Resiko terjadinya rupture 0% bila ketebalan SBU >4,5mm,0,6% bila
2,6-3,5 mm dan 9,8% bila tebalnya <2,5 mm
10) Berat janin >4000 gr mempunyai resiko 1-2 lebih besar untul terjadi
ruptur uteri
24
25
2.10. Monitoring
Ada beberapa alasan mengapa seseorang wanita seharusnya dibantu dengan
persalinan pervaginal.Hal ini disebabkan karena komplikasi akibat seksio sesarea
lebih tinggi. Pada seksio sesarea terdapat kecendrungan kehilangan darah yang
banyak, peningkatan kejadian transfusi dan infeksi, akan menambah lama rawatan
masa nifas di rumah sakit.Selain itu, juga akan memperlama perawatan di rumah
dibandingkan persalinan pervaginal. Sebagai tambahan biaya rumah sakit akan dua
kali lebih mahal (Golberg B, MD, 2000).
Walaupun angka kejadian ruptur uteri pada persalinan pervaginal setelah seksio
sesarea adalah rendah, tapi hal ini dapat menyebabkan kematian pada janin dan ibu.
Untuk antisipasi perlu dilakukan monitoring pada persalinan ini (Caughey AB, 1999).
26
Menurut Farmer (1991) dalam Caughey AB (1999), pasien dengan bekas seksio
sesarea membutuhkan manajemen khusus pada waktu antenatal maupun pada waktu
persalinan.Jika persalinan diawasi dengan ketat melalui monitor kardiotokografi;
denyut jantung janin dan tekanan intra uterin dapat membantu untuk mengidentifikasi
ruptur uteri lebih dini sehingga respon tenaga medis bisa cepat maka ibu dan bayi
bisa diselamatkan apabila terjadi ruptur uteri.
27
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Ny. E
Usia : 39 tahun
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Alamat : Talang
MRS : 15/12/2016
No. RM : 139676
II. ANAMNESIS
Pasien wanita umur 39 tahun datang ke Ponek RSUD Solok pada tanggal
15/12/2016 pada pukul 13.00 WIB rujukan bidan Kecamatan Kubung Kabupaten
Solok dengan keluhan :
Keluhan Utama
Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari sejak 4 jam yang lalu sebelum masuk Rumah sakit
Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari sejak 4 jam yang lalu sebelum masuk
Rumah sakit
Keluar lendir bercampur darah dari kemaluan (+)
Keluar air-air yang banyak dari kemaluan (-)
Keluar darah banyak dari kemaluan(-).
Tidak haid sejak 9 bulan yang lalu.
28
HPHT : Maret-2016 (pasien tidak ingat tanggal HPHT ) TP : sulit dinilai
ANC : 9 x ke Bidan
RHM : mual (+), muntah (+),perdarahan (-)
RHT : Mual (+), muntah (-), perdarahan (-)
BAB (+), BAK (+) tidak ada keluhan
Riwayat Pernikahan
2010/ laki-laki / 3500 gr/ cukup bulan/ Sectio sesarea/ Dokter/ hidup
Riwayat Menstruasi
Haid pertama umur 13 tahun
Sirkulasi haid :
29
ii. Lamanya : 5-6 hari /bulan
iii. Banyaknya : 2-3 ganti kain/ 150 cc
iv. Sakit saat haid : (-)
Riwayat Obstetri
Pasien mempunyai 1 orang anak. Anak pertama lahir dengan berat 3500 gram
. Lahir cukup bulan dengan operasi SC atas indikasi Placenta Previa totalis.
Thorak
Paru :
30
Palpasi : fremitus sama kiri dan kanan
Jantung :
colostrum (-)
Abdomen
Palpasi
31
L2 : teraba massa dengan tahanan terbesar di sebelah kiri dan
bagian-bagian kecil di sebelah kanan.
L3 : teraba massa bulat, keras, terfiksir
L4 : sudah masuk pintu atas panggul
TFU : 35 cm
TBA : 3410 gr
DJJ : 145-150x/i
Perkusi : tympani
Genitalia:
VT : 3-4 cm
Pelvic score: 7
IV.PEMERIKSAAN PENUNJANG
32
- Hematokrit : 38.1 %
- Leukosit : 13.003 /uL
- Trombosit : 321.000/uL
- PT : 11,0detik
- APTT : 31,2detik
- HbsAg : (-)
- HIV : (-)
- Protein urine : (-)
V. DIAGNOSIS
G3P1A1H1 Parturien aterm 39- 40 minggu kala I fase laten + Bekas SC 1x a.i
Placenta Previa
JHTIU preskep
VI. SIKAP
Kontrol keadaan umum, vital sign, His, dan DJJ, tanda-tanda inpartu
IVFD RL 20 tetes/ menit
Cek darah rutin , HbsAg, HIV,PT, APTT
Skin test Antibiotik Ceftriaxone
Anamnesa: nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (+) sejak 4 jam yang lalu
Pemeriksaan fisik
33
Keadaan umum : sedang
1 Kesadaran : komposmentis kooperatif
2 Tekanan darah : 120 / 80 mmHg
3 Frekuensi nadi : 80 /menit
4 Frekuensi nafas : 20 /menit
BJA : 145 /menit
Genitalia :
VT : 3-4 cm
Pelvic score: 7
JHTIU preskop
Injeksi Ceftriaxone 1 gr
34
Pemeriksaan fisik
Genitalia :
VT : 5-6cm
Pelvic score: 8
JHTIU preskop
- informed consent
35
Pemeriksaan fisik
Genitalia :
VT : 7-8 cm
Pelvic score: 8
Diagnosa: G3P1A1H1 parturien aterm 39-40 minggu kala I fase aktiv + bekas SC
JHTIU preskop
- informed consent
36
Pemeriksaan fisik
Genitalia :
VT : lengkap
Diagnosa: G3P1A1H1 parturien aterm 39-40 minggu kala Ifase aktiv + bekas SC 1
Anak hidup tunggal intra uterin letak kepala UUK depan HIII- HIV
- pimpin mengedan
Bayi lahir dengan proses persalinan pervaginam dengan bantu Kala II ( VE)
JK: Laki-laki
BB: 3400 gram
37
PB: 50 cm
A/S: 5/6
Tali Pusat :
Anus (+)
Hasil Kala IV
Pukul TD ND N T FUT Kontraks Perdarahan
F i
23.15 120/80 80 19 36,0 1 Jari dbwh Baik 2 cc
pusat
23.30 120/60 80 19 36,5 1 Jari dbwh Baik 10 cc
pusat
38
pusat
VII. FOLLOW UP
Tanggal 16 Desember 2016
Demam (-)
O/ Status Generalis
Nadi : 82 x/menit
RR : 18 x/menit
Suhu : 36,5oC
Abdomen
Inspeksi : Perut tidak tampak membuncit
Palpasi : TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi baik
Perkusi : Timpani
39
Auskultasi : Bising usus(+) normal
Genitalia : PPV (-)
P/ - Cefixim 2 200 mg
- SF 1 x 500 mg
- Vit. C 3 x 500 mg
Demam(-)
O/ Status Generalis
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
40
Suhu : 36,6 oC
Abdomen
Inspeksi : Perut tidak tampak membuncit
Palpasi : TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi baik
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Genitalia : V/U tenang, PPV (-)
A/ P2A1H2 post VE a.i kala II memanjang
Ibu dan anak baik
NH : 2
P/ - Cefixim 2 200 mg
- SF 1 300 mg
- Vit C 3 50 mg
- Zinc 1 10 mg
- Ambroxol 3 30 mg
- kateter aff
41
BAB IV
PENUTUP
42
Telah ditampilkan kasus seorang wanita berumur 39 tahundatang ke Ponek
RSUD Solokpada tanggal 15 Desember 2016 pada pukul 13.00 WIB dengan
diagnosis awal G3P1A1H1 Gravid Aterm 39-40 minggu kala I fase laten+ Bekas SC 1
a.i Placenta Previa , Anak Hidup Tunggal Intra Uterin presentasi kepala HI.Pada
pasien dilakukan persalinan secara pervaginam setelah sebelumnya memiliki riwayat
Sectio caesare pada tahun 2010 atas indikasi Placenta Previa.Piliham penanganan
secara VBAC pada pasien dilakukan atas perhitungan dengan menggunakan beberapa
system scoring keberhasilan dan criteria dari VBAC.
No Karakteristik Skor
43
2. Riwayat persalinan pervaginam
- Belum pernah 0
Interpretasi :
44
Pada kasus pasien juga memenuhi semua kriteria untuk dilakukannya VBAC
yang direkomendasikan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists
(ACOG) pada tahun 1999 dan 2004. Dimana, pada kasus ini pasien memiliki riwayat
section sesarea baru satu kali dengan insisi segmen pada bawah rahim. Secara klinis
panggul pasien juga cukup ade kuat dan luas. Setelah dianamnesa, pasien juga tidak
memiliki riwayat operasi lain pada uterus nya seperti tindakan miomektomi dan tidak
ada memiliki riwayat rupture uteri. Syarat lain dilakukannya VBAC adalah harus
dilakukan pada Rumah Sakit yang menyediakan dan mampu untuk melakukan
tindakan seksio cesarean secara emergency yang dilakukan dalam waktu 20-30 menit
untuk mengantisipasi terjadinya fetal distress atau rupture uteri.
Teori Dimana, kriteria seleksinya Menurut Cunningham FG (2001) yaitu :
1. Riwayat 1 atau 2 kali seksio sesarea dengan insisi segmen bawah rahim.
2. Secara klinis panggul adekuat atau imbang fetopelvik baik
3. Tidak ada bekas ruptur uteri atau bekas operasi lain pada uterus
4. Tersedianya tenaga yang mampu untuk melaksanakan monitoring,
persalinan dan seksio sesarea emergensi.
5. Sarana dan personil anastesi siap untuk menangani seksio sesarea
darurat .
Walaupun berdasarkan system scoring pada pasien ini tingkat keberhasilannya
77-78% dan memenuhi criteria seleksi VBAC , ada komplikasi yang paling berat
yang harus difikirkan yang dapat terjadi pada tindakan VBAC yaitu Ruptur
Uteri.Kasus Ruptur uteri ini mengacu kepada pemisahan insisi uterus lamadi sertai
terjadinya rupture membrane janin sehingga rongga uterus dan rongga peritoneum
berhubungan seluruh atau sebagian dari janin atau placenta menonjol ke dalam
rongga peritoneum. Berdasarkan American College of Obstetricians and
Gynecologists (ACOG) pada tahun 1999 dan 2004, insisi uterus klasik atau berbentuk
T dianggap kontraindikasi VBAC. Oleh karena, kemungkinan resiko rupture lebih
tinggi dibandingkan insisi segmen bawah rahim transversal.Dan pada kasus ini, insisi
45
rahim pasien adalah pada segmen bawah rahim tranversal rendah sehingga resiko
rupture uteri lebih kecil.
Oleh karena itu Pada kasus ini , berdasarkan teori dalam memprediksi
keberhasilan penanganan VBAC berdasarkan system skor, hubungannya dengan
indikasi section Caesar terdahulu, dan criteria seleksi pasien memenuhi semua criteria
dan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk dilakukan VBAC. Dengan
demikian VBAC merupakan salah satu penanganan yang tepat pada persalinan
pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Saifuddin AB. Kehamilan dan Persalinan dengan Parut Uterus. Buku Acuan
Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : 2000 ; 317 22.
2. American College, (1999) dan (2004), Obstetrics and Gynecology Vaginal Birth
after Previous sesarean Delivery,diakses tanggal 29 Desember 2016
46
3. Weinstein D, Benshushan A, Tanos V, et al. Predictive Score for Vaginal Birth
After Cesarean Section. In: American Journal Obsterics and Gynecology . 1996;
174: 192 8
4. Flamm BL, Geiger AM, Vaginal Birth After Cesarean: An Admission Skoring
System. In: Journal Obstetrics and Gynecology. 1997; 90(6): 907 1010.
5. Caughey AB, Mann S. Vaginal Birth After Caesarean. In : eMedicine Journal,
Volume 2 , Nomor 9 30 September 2001 ; 1 9. Diakses dari
http://www.emedicine.com/topic3434.htm pada tanggal 29 Desember 2016
6. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ. Cesarean Section and Postpartum
Hysterectomy. In : Williams Obstetrics. 21sted. The Mc Graw Hill Companies.
New York : 2001 ; 537 63.
7. Phelan JP, Bendell A, Colburn VG. Vaginal Birth After Cesarean Birth. In : High
Risk Pregnancy. 2nd ed. WB Saunders Company. Philadelphia : 1993 ; 357 60.
8. Caughey AB, Shipp TD, Repke JT et al: Rate of Uterine Rupture During Trial of
Labor in Women with One or Two Prior Cesarean Deliveries. In: American
Journal Obstetrics and Gynecology . 1999; 181(4): 872-6
47