Di Susun Oleh
PENDAHULUAN
Operasi sesar adalah cara melahirkan janin melalui insisi pada dinding
abdomen/ laparotomi dan dinding uterus (Cunningham et al., 2010).
Dengan banyaknya permintaan operasi sesar tanpa indikasi yang jelas
menyebabkan angka kejadian operasi sesar di dunia terus meningkat. Selain itu
permintaan operasi sesar tanpa indikasi yang jelas juga dapat meningkatkan
risiko terhadap bayi dan ibunya pada persalinan selanjutnya (Kennare et al.,
2007). Adanya paradigma “Once a cesarean always a cesarean” menyebabkan
semakin meningkatnya angka kejadian operasi sesar dari tahun ke tahun
(ACOG,2010). Berdasarkan petunjuk yang disusun oleh WHO yang sudah
diubah pada tahun 1994 dan masih berlaku sampai saat ini, seharusnya tingkat
kelahiran yang menggunakan tindakan operasi sesar berkisar antara 5-15% di
dalam suatu populasi. Tingkat kelahiran yang menggunakan operasi sesar di
negara berkembang dan negara maju saat ini semakin bertambah bahkan
melebihi batas toleransi yang ditetapkan oleh WHO (Ghosh & James, 2010). Di
Indonesia sendiri, menurut Survei Demografi dan Kesehatan pada tahun 1997
dan tahun 2002-2003 mencatat angka persalinan operasi sesar secara nasional
hanya berjumlah kurang lebih 4% dari jumlah total persalinan sesuai dengan
petunjuk WHO, namun pada pada tahun 2006 jumlah persalinan operasi sesar di
rumah sakit pemerintah adalah sekitar 20-25% dari total persalinan, dan di
rumah sakit swasta jumlahnya sangat tinggi yaitu sekitar 30-80% dari total
persalinan (depkes RI, 2006). Perlu diingat bahwa selain risiko dari tindakan,
operasi sesar sendiri berpengaruh terhadap kehamilan berikutnya karena
persalinan dengan riwayat bekas operasi sesar merupakan persalinan yg
berisiko tinggi (Rustam Mochtar,1998).
1.2 Identifikasi Masalah
4. Bagaimana status obstetri pasien bekas sesar yang melakukan operasi sesar
kembali pada persalinan berikutnya di Rumah Sakit Immanuel Bandung Tahun
2010.
5. Apakah Indikasi sesar primer pada pasien bekas sesar di Rumah Sakit
Immanuel Bandung Tahun 2010.
6. Apakah Indikasi sesar sekunder pada pasien bekas sesar di Rumah Sakit
Immanuel Bandung Tahun 2010.
TINJAUAN PUSTAKA
3. Tidak ada bekas ruptur uteri atau bekas operasi lain pada uterus
3. Kehamilan kembar
4. Letak sungsang
5. Kehamilan lewat waktu
8. Panggul sempit
Seorang ibu hamil dengan bekas seksio sesarea akan dilakukan seksio sesarea
kembali atau dengan persalinan pervaginal tergantung apakah syarat persalinan
pervaginal terpenuhi atau tidak. Setelah mengetahui ini dokter mendiskusikan
dengan pasien tentang pilihan serta resiko masing- masingnya. Tentu saja
menjadi hak pasien untuk meminta jenis persalinan mana yang terbaik untuk dia
dan bayinya (Golberg B, 2000).Faktor-faktor yang berpengaruh dalam
menentukan VBAC telah diteliti selama bertahun- tahun. Ada banyak faktor yang
dihubungkan dengan tingkat keberhasilan persalinan pervaginal pada bekas
seksio (Caughey AB, Mann S, 2001).
Pasien bekas seksio sesarea dengan insisi segmen bawah rahim transversal
merupakan salah satu syarat dalam melakukan VBAC, dimana pasien dengan
tipe insisi ini mempunyai resiko ruptur yang lebih rendah dari pada tipe insisi
lainnya. Bekas seksio sesarae klasik, insisi T pada uterus dan komplikasi yang
terjadi pada seksio sesarea yang lalu misalnya laserasi serviks yang luas
merupakan kontraindikasi melakukan VBAC. (Toth PP, Jothivijayani, 1996,
Cunningham FG, 2001). Menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists (2004), tiada perbedaan dalam mortalitas maternal dan perinatal
pada insisi seksio sesarea transversalis atau longitudinalis.
VBAC tidak dilakukan pada pasien dengan insisi korporal sebelumnya maupun
pada kasus yang pernah seksio sesarea dua kali berurutan atau lebih, sebab
pada kasus tersebut diatas seksio sesarea elektif adalah lebih baik dibandingkan
persalinan pervaginal (Flamm BL, 1997). Resiko ruptur uteri meningkat dengan
meningkatnya jumlah seksio sesarea sebelumnya. Pasien dengan seksio sesarea
lebih dari satu kali mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya ruptur
uteri. Ruptur uteri pada bekas seksio
sesarea 2 kali adalah sebesar 1.8 – 3.7 %. Pasien dengan bekas seksio sesarea
2 kali mempunyai resiko ruptur uteri lima kali lebih besar dari bekas seksio
sesarea satu kali (Caughey AB, 1999, Cunningham FG, 2001). Menurut Spaan
(1997) mendapatkan bahwa riwayat seksio sesarea yang lebih satu kali
mempunyai resiko untuk seksio sesarea ulang lebih tinggi. seksio sesarea
tidaklah selalu benar, tetapi beliau setuju dengan pernyataan bahwa setelah
dua kali seksio sesarea selalu seksio sesarea pada kehamilan berikutnya ,
dimana diyakini bahwa komplikasi pada ibu dan anak lebih tinggi.Menurut
Farmakides (1987) dalam Miller (1994) melaporkan 77 % dari pasien yang
pernah seksio sesarea dua kali atau lebih yang diperbolehkan persalinan
pervaginal dan berhasil dengan luaran bayi yang baik. Menurut Cunningham
(2001), American College of Obstetricians and Gynecologists pada tahun 1999
telah memutuskan bahwa pasien dengan bekas seksio dua kali boleh menjalani
persalinan pervaginal dengan pengawasan yang ketat.Menurut Miller (1994)
melaporkan bahwa insiden ruptur uteri terjadi 2 kali lebih sering pada VBAC
dengan riwayat seksio sesarea 2 kali atau lebih. Pada penelitian ini, jumlah
VBAC dengan riwayat seksio sesarea 1 kali adalah 83% manakala 2 kali atau
lebih adalah 17 %.
Pada seksio sesarea insisi kulit pada dinding abdomen biasanya melalui
sayatan horizontal, kadang-kadang pemotongan atas bawah yang disebut insisi
kulit vertikal. Kemudian pemotongan dilanjutkan sampai ke uterus. Daerah
uterus yang ditutupi oleh kandung kencing disebut segmen bawah rahim,
hampir 90 % insisi uterus dilakukan di tempat ini berupa sayatan horizontal
(seperti potongan bikini). Cara pemotongan uterus seperti ini disebut "Low
Transverse Cesarean Section". Insisi uterus ini ditutup/jahit akan sembuh
dalam 2 – 6 hari. Insisi uterus dapat juga dibuat dengan potongan vertikal yang
dikenal dengan seksio sesarea klasik, irisan ini dilakukan pada otot uterus.
Luka pada uterus dengan cara ini mungkin tidak dapat pulih seperti semula
dan dapat terbuka lagi sepanjang kehamilan atau persalinan berikutnya (Hill
AD,2002).
Menurut Depp R (1996) dianjurkan VBAC, kecuali ada tanda-tanda ruptur
uteri mengancam, parut uterus yang sembuh persekundum pada seksio sesarea
sebelumnya atau jika adanya penyulit obstetrik lain ditemui.
Pemeriksaan USG trans abdominal pada kehamilan 37 minggu dapat
mengetahui ketebalan segmen bawah rahim. Ketebalan segmen bawah rahim
(SBR) 4,5 mm pada usia kehamilan 37 minggu adalah petanda parut
yang sembuh sempurna. Parut yang tidak sembuh sempurna didapat jika
ketebalan SBR < 3,5 mm. Oleh sebab itu pemeriksaan USG pada kehamilan 37
minggu dapat sebagai alat skrining dalam memilih cara persalinan bekas
seksio sesarea. (Cheung V, 2004)Menurut Cunningham FG (2001) menyatakan
bahwa penyembuhan luka seksio sesarea adalah suatu generasi dari
fibromuskuler dan bukan pembentukan jaringan sikatrik. Menurut Cunningham
FG (1993), dasar dari keyakinan ini adalah dari hasil pemeriksaan histologi
dari jaringan di daerah bekas sayatan seksio sesarea dan dari 2 tahap
observasi yang pada prinsipnya :
2. Pada uterus yang diangkat, sering tidak kelihatan garis sikatrik atau hanya
ditemukan suatu garis tipis pada permukaan luar dan dalam uterus tanpa
ditemukannya sikatrik diantaranya.
Menurut Schmitz (1949) dalam Srinivas (2007) menyatakan jahitan luka yang
terlalu kencang dapat menyebabkan nekrosis jaringan sehingga merupakan
penyebab timbulnya gangguan kekuatan sikatrik, hal ini lebih dominan dari pada
infeksi ataupun technical error sebagai penyebab lemahnya sikatrik.
Keberhasilan VBAC ditentukan juga oleh keadaan dilatasi serviks pada waktu
dilakukan seksio sesarea yang lalu. VBAC berhasil 67 % apabila seksio
sesarea yang lalu dilakukan pada saat pembukaan serviks kecil dari 5 cm,
dan 73 % pada pembukaan 6 sampai 9 cm. Keberhasilan persalinan
pervaginal menurun sampai 13 % apabila seksio sesarea yang lalu dilakukan
pada keadaan distosia pada kala II (Cunningham FG, 2001).
Menurut Troyer (1992) pada penelitiannya mendapatkan keberhasilan penanganan
VBAC boleh dihubungkan dengan indikasi seksio sesarea
Usia ibu yang aman untuk melahirkan adalah sekitar 20 tahun sampai 35 tahun.
Usia melahirkan dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun digolongkan resiko
tinggi. Dari penelitian didapatkan wanita yang berumur lebih dari 35 tahun
mempunyai angka seksio sesarea yang lebih tinggi. Wanita yang berumur lebih
dari 40 tahun dengan bekas seksio sesarea mempunyai resiko kegagalan untuk
persalinan pervaginal lebih besar tiga kali dari
pada wanita yang berumur kecil dari 40 tahun (Caughey AB, Mann S, 2001).
Pada usia kehamilan < 37 minggu dan belum inpartu misalnya pada plasenta
previa dimana segmen bawah rahim belum terbentuk sempurna kemungkinan
insisi uterus tidak pada segmen bawah rahim dan dapat mengenai bagian
korpus uteri yang mana keadaannya sama dengan insisi pada seksio sesarea
klasik (Salzmann B, 1994).
Menurut Benedetti TJ (1982) dalam Toth PP (1996), pada pasien bekas seksio
sesarea yang sesudahnya pernah berhasil dengan persalinan pervaginal, makin
berkurang kemungkinan ruptur uteri pada kehamilan dan persalinan yang akan
datang. Walaupun demikian ancaman ruptur uteri tetap ada pada masa
kehamilan maupun persalinan, oleh sebab itu pada setiap kasus bekas seksio
sesarea harus juga diperhitungkan ruptur uteri pada kehamilan trimester ketiga
terutama saat menjalani persalinan pervaginal (Toth PP, 1996).
Menurut Guleria dan Dhall (1997) menyatakan bahwa laju dilatasi seviks
mempengaruhi keberhasilan penanganan VBAC. Dari 100 pasien bekas
seksio sesarea segmen bawah rahim didapat 84 % berhasil persalinan
pervaginal sedangkan sisanya adalah seksio sesarea darurat. Gambaran laju
dilatasi serviks pada bekas seksio sesarea yang berhasil pervaginal pada fase
laten rata-rata 0.88 cm/jam manakala fase aktif 1.25 cm/jam. Sebaliknya laju
dilatasi serviks pada bekas seksio sesarea yang gagal pervaginal pada fase late
rata-rata 0.44 cm/jam dan fase aktif adalah 0.42 cm/jam. Induksi persalinan
dengan misoprostol akan meningkatkan resiko ruptur uteri pada maternal
dengan bekas seksio sesarea (Plaut MM, et al, 1999). Dijumpai adanya 1 kasus
ruptur uteri bekas seksio sesaraea segmen bawah rahim transversal selama
dilakukan pematangan serviks dengan transvaginal misoprostol sebelum
tindakan induksi persalinan (Scott, 1997).
Menurut Kirt EP (1990) dan Goldberg (2000) menyatakan resiko terhadap ibu
sesarea ulangan elektif pada bekas seksio sesarea adalah seperti berikut :
1. Insiden demam lebih kecil secara bermakna pada persalinan pervaginal yang
berhasil dibanding dengan seksio sesarea ulangan elektif
Angka kematian perinatal dari hasil penelitian terhadap lebih dari 4.500 persalinan
pervaginal adalah 1.4% serta resiko kematian perinatal pada persalinan percobaan
adalah 2.1 kali lebih besar dibanding seksio sesarea
elektif namun jika berat badan janin < 750 gram dan kelainan kongenital berat
tidak diperhitungkan maka angka kematian perinatal dari persalinan pervaginal
tidak berbeda secara bermakna dari seksio sesarea ulangan elektif (Kirk, 1990).
Menurut Caughey AB (2001) melaporkan 463 dari 478 (97 %) dari bayi yang
lahir pervaginal mempunyai skor Apgar pada 5 menit pertama adalah 8 atau
lebih. Menurut McMahon (1996) bahwa skor Apgar bayi yang lahir tidak
berbeda bermakna pada VBAC dibanding seksio sesarea ulangan elektif.
Kasus ruptur uteri ini lebih sering terjadi pada seksio sesarea klasik
dibandingkan dengan seksio sesarea pada segmen bawah rahim. Ruptur uteri
pada seksio sesarea klasik terjadi 5-12 % sedangkan pada seksio sesarea pada
segmen bawah rahim 0,5-1 % (Hill DA, 2002). Tanda yang sering dijumpai
pada ruptur uteri adalah denyut jantung janin tak normal dengan deselerasi
variabel yang lambat laun menjadi deselerasi lambat, bradiakardia, dan denyut
janin tak terdeteksi. Gejala klinis tambahan adalah perdarahan pervaginal,
nyeri abdomen, presentasi janin berubah dan terjadi hipovolemik pada ibu
(Miller DA, 1999).
Tanda-tanda ruptur uteri adalah sebagai berikut : (Caughey AB, et al, 2001)
6. Perdarahan pervaginal
2.10. Monitoring
Menurut Farmer (1991) dalam Caughey AB (1999), pasien dengan bekas seksio
sesarea membutuhkan manajemen khusus pada waktu antenatal maupun pada
waktu persalinan. Jika persalinan diawasi dengan ketat melalui monitor
kardiotokografi; denyut jantung janin dan tekanan intra uterin dapat membantu
untuk mengidentifikasi ruptur uteri lebih dini sehingga respon tenaga medis bisa
cepat maka ibu dan bayi bisa
diselamatkan apabila terjadi ruptur uteri.
Dnri hnsil penelitian Fiamm den Geiger terhadap skor development irony
diperoleh hasil seperti tabel dibawah ini: