Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH VBAC (Vaginal Birth After Cesarian)

Di Susun Oleh

Nama : Putri Dewi (18220010)


Agung sisen miliyanto (18220002)

Prodi : (S1 keperawatan)

Dosen Pengampu: Ns. Eka Rora Wisudawati M.KEP

YAYASAN KADER BANGSA


UNIVERSITAS KADER BANGSA PALEMBANG
FAKULTAS KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
TAHUN 2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Operasi sesar adalah cara melahirkan janin melalui insisi pada dinding
abdomen/ laparotomi dan dinding uterus (Cunningham et al., 2010).
Dengan banyaknya permintaan operasi sesar tanpa indikasi yang jelas
menyebabkan angka kejadian operasi sesar di dunia terus meningkat. Selain itu
permintaan operasi sesar tanpa indikasi yang jelas juga dapat meningkatkan
risiko terhadap bayi dan ibunya pada persalinan selanjutnya (Kennare et al.,
2007). Adanya paradigma “Once a cesarean always a cesarean” menyebabkan
semakin meningkatnya angka kejadian operasi sesar dari tahun ke tahun
(ACOG,2010). Berdasarkan petunjuk yang disusun oleh WHO yang sudah
diubah pada tahun 1994 dan masih berlaku sampai saat ini, seharusnya tingkat
kelahiran yang menggunakan tindakan operasi sesar berkisar antara 5-15% di
dalam suatu populasi. Tingkat kelahiran yang menggunakan operasi sesar di
negara berkembang dan negara maju saat ini semakin bertambah bahkan
melebihi batas toleransi yang ditetapkan oleh WHO (Ghosh & James, 2010). Di
Indonesia sendiri, menurut Survei Demografi dan Kesehatan pada tahun 1997
dan tahun 2002-2003 mencatat angka persalinan operasi sesar secara nasional
hanya berjumlah kurang lebih 4% dari jumlah total persalinan sesuai dengan
petunjuk WHO, namun pada pada tahun 2006 jumlah persalinan operasi sesar di
rumah sakit pemerintah adalah sekitar 20-25% dari total persalinan, dan di
rumah sakit swasta jumlahnya sangat tinggi yaitu sekitar 30-80% dari total
persalinan (depkes RI, 2006). Perlu diingat bahwa selain risiko dari tindakan,
operasi sesar sendiri berpengaruh terhadap kehamilan berikutnya karena
persalinan dengan riwayat bekas operasi sesar merupakan persalinan yg
berisiko tinggi (Rustam Mochtar,1998).
1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, identifikasi masalah ini adalah :

1. Bagaimana karakteristik usia pasien bekas sesar yang melakukan


operasi sesar kembali pada persalinan berikutnya di Rumah Sakit
Immanuel Bandung Tahun 2010.

2. Bagaimana karakteristik pekerjaan pasien bekas sesar yang melakukan


operasi sesar kembali pada persalinan berikutnya di Rumah Sakit Immanuel
Bandung Tahun 2010.

3. Bagaimana karakteristik pendidikan terakhir pasien bekas sesar yang


melakukan operasi sesar kembali pada persalinan berikutnya di Rumah Sakit
Immanuel Bandung Tahun 2010.

4. Bagaimana status obstetri pasien bekas sesar yang melakukan operasi sesar
kembali pada persalinan berikutnya di Rumah Sakit Immanuel Bandung Tahun
2010.

5. Apakah Indikasi sesar primer pada pasien bekas sesar di Rumah Sakit
Immanuel Bandung Tahun 2010.

6. Apakah Indikasi sesar sekunder pada pasien bekas sesar di Rumah Sakit
Immanuel Bandung Tahun 2010.

7. Berapa kali pasien bekas sesar pernah melakukan persalinan secara


operasi sesar di Rumah Sakit Immanuel Bandung Tahun 2010

8. Bagaimana angka keberhasilan persalinan pervaginam pada pasien


bekas sesar di Rumah Sakit Immanuel Bandung Tahun 2010
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian VBAC

VBAC (Vaginal Birth After Cesarean-section) adalah proses melahirkan


normal setelah pernah melakukan seksio sesarea. VBAC menjadi isu yang
sangat penting dalam ilmu kedokteran khususnya dalam bidang obstetrik
karena pro dan kontra akan tindakan ini. Baik dalam kalangan medis
ataupun masyarakat umum selalu muncul pertanyaan, apakah VBAC aman
bagi keselamatan ibu. Pendapat yang paling sering muncul adalah „Orang
yang pernah melakukan seksio harus seksio untuk selanjutnya.‟ Juga banyak
para ahli yang berpendapat bahawa melahirkan normal setelah pernah
melakukan seksio sesarea sangat berbahaya bagi keselamatan ibu dan
section adalah pilihan terbaik bagi ibu dan anak. VBAC belum banyak
diterima sampai akhir tahun 1970an. Melihat peningkatan angka kejadian
seksio sesarea oleh United States Public Health Service, melalui Consensus
Development Conference on Cesarean Child Birth pada tahun 1980
menyatakan bahwa VBAC dengan insisi uterus transversal pada segmen
bawah rahim adalah tindakan yang aman dan dapat diterima dalam rangka
menurunkan angka kejadian seksio sesarea pada tahun 2000 menjadi 15%
(Cunningham FG, 2001). Pada tahun 1989 National Institute of Health dan
American College of Obstetricans and Gynecologists mengeluarkan statemen,
yang menganjurkan para ahli obstetri untuk mendukung "trial of labor" pada
pasien-pasien yang telah mengalami seksio sesarea sebelumnya, dimana
VBAC merupakan tindakan yang aman sebagai pengganti seksio sesarea
ulangan (O'Grady JP, 1995, Caughey AB, Mann S, 2001). Walau
bagaimanapun, mulai tahun 1996 jumlah percobaan partus pervaginal telah
berkurang dan menyumbang kepada peningkatan jumlah partus secara seksio
sesarea ulang.
Pelbagai faktor medis dan nonmedis diperkirakan menjadi penumbang kepada
penurunan jumlah percobaan partus pevaginam ini. Faktor-faktor ini
sebenarnya masih belum difahami dengan jelas. Salah satu faktor yang paling
sering dikemukan para ahli adalah resiko ruptur uteri. Pada tindakan
percobaan partus pervaginal yang gagal, yaitu pada maternal yang harus
melakukan seksio sesarea ulang didapati resiko komplikasi lebih tinggi
berbanding VBAC dan partus secara seksio sesarea elektif. Faktor nonmedis
termasuklah restriksi terhadap akses percobaan partus pervaginal. (NIH
Consensus Development Conference Statement, 2010) )

2.2. Indikasi VBAC

American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) pada tahun 1999


dan 2004 memberikan rekomendasi untuk menyeleksi pasien yang direncanakan
untuk persalinan pervaginal pada bekas seksio sesarea

Menurut Cunningham FG (2001) kriteria seleksinya adalah berikut :

1. Riwayat 1 atau 2 kali seksio sesarea dengan insisi segmen bawah


rahim.

2. Secara klinis panggul adekuat atau imbang fetopelvik baik

3. Tidak ada bekas ruptur uteri atau bekas operasi lain pada uterus

4. Tersedianya tenaga yang mampu untuk melaksanakan monitoring,


persalinan dan seksio sesarea emergensi.

5. Sarana dan personil anastesi siap untuk menangani seksio sesarea


darurat

Menurut Cunningham FG (2001) kriteria yang masih kontroversi adalah :

1. Parut uterus yang tidak diketahui

2. Parut uterus pada segmen bawah rahim vertikal

3. Kehamilan kembar

4. Letak sungsang
5. Kehamilan lewat waktu

6. Taksiran berat janin lebih dari 4000 gram

2.3. Kontraindikasi VBAC

Menurut Depp R (1996) kontra indikasi mutlak melakukan VBAC adalah :

1. Bekas seksio sesarea klasik

2. Bekas seksio sesarea dengan insisi T

3. Bekas ruptur uteri

4. Bekas komplikasi operasi seksio sesarea dengan laserasi serviks yang


luas

5. Bekas sayatan uterus lainnya di fundus uteri contohnya miomektomi

6. Disproporsi sefalopelvik yang jelas.

7. Pasien menolak persalinan pervaginal

8. Panggul sempit

9. Ada komplikasi medis dan obstetrik yang merupakan kontra indikasi


persalinan pervaginal

2.4. Prasyarat VBAC

Panduan dari American College of Obstetricians and Gynecologists pada


tahun 1999 dan 2004 tentang VBAC atau yang juga dikenal dengan trial of
scar memerlukan kehadiran seorang dokter ahli kebidanan, seorang ahli
anastesi dan staf yang mempunyai keahlian dalam hal persalinan dengan
seksio sesarea emergensi. Sebagai penunjangnya kamar operasi dan staf
disiagakan, darah yang telah di-crossmatch disiapkan dan alat monitor
denyut jantung janin manual ataupun elektronik harus tersedia (Caughey
AB, Mann S, 2001).Pada kebanyakan senter merekomendasikan pada setiap
unit persalinan yang melakukan VBAC harus tersedia tim yang siap untuk
melakukan seksio sesarea emergensi dalam waktu 20 sampai 30 menit untuk
antisipasi apabila terjadi fetal distress atau ruptur uteri
(Jukelevics N, 2000).

2.5. Faktor yang berpengaruh

Seorang ibu hamil dengan bekas seksio sesarea akan dilakukan seksio sesarea
kembali atau dengan persalinan pervaginal tergantung apakah syarat persalinan
pervaginal terpenuhi atau tidak. Setelah mengetahui ini dokter mendiskusikan
dengan pasien tentang pilihan serta resiko masing- masingnya. Tentu saja
menjadi hak pasien untuk meminta jenis persalinan mana yang terbaik untuk dia
dan bayinya (Golberg B, 2000).Faktor-faktor yang berpengaruh dalam
menentukan VBAC telah diteliti selama bertahun- tahun. Ada banyak faktor yang
dihubungkan dengan tingkat keberhasilan persalinan pervaginal pada bekas
seksio (Caughey AB, Mann S, 2001).

2.5.1. Teknik operasi sebelumnya

Pasien bekas seksio sesarea dengan insisi segmen bawah rahim transversal
merupakan salah satu syarat dalam melakukan VBAC, dimana pasien dengan
tipe insisi ini mempunyai resiko ruptur yang lebih rendah dari pada tipe insisi
lainnya. Bekas seksio sesarae klasik, insisi T pada uterus dan komplikasi yang
terjadi pada seksio sesarea yang lalu misalnya laserasi serviks yang luas
merupakan kontraindikasi melakukan VBAC. (Toth PP, Jothivijayani, 1996,
Cunningham FG, 2001). Menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists (2004), tiada perbedaan dalam mortalitas maternal dan perinatal
pada insisi seksio sesarea transversalis atau longitudinalis.

2.5.2. Jumlah seksio sesarea sebelumnya

VBAC tidak dilakukan pada pasien dengan insisi korporal sebelumnya maupun
pada kasus yang pernah seksio sesarea dua kali berurutan atau lebih, sebab
pada kasus tersebut diatas seksio sesarea elektif adalah lebih baik dibandingkan
persalinan pervaginal (Flamm BL, 1997). Resiko ruptur uteri meningkat dengan
meningkatnya jumlah seksio sesarea sebelumnya. Pasien dengan seksio sesarea
lebih dari satu kali mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya ruptur
uteri. Ruptur uteri pada bekas seksio
sesarea 2 kali adalah sebesar 1.8 – 3.7 %. Pasien dengan bekas seksio sesarea
2 kali mempunyai resiko ruptur uteri lima kali lebih besar dari bekas seksio
sesarea satu kali (Caughey AB, 1999, Cunningham FG, 2001). Menurut Spaan
(1997) mendapatkan bahwa riwayat seksio sesarea yang lebih satu kali
mempunyai resiko untuk seksio sesarea ulang lebih tinggi. seksio sesarea
tidaklah selalu benar, tetapi beliau setuju dengan pernyataan bahwa setelah
dua kali seksio sesarea selalu seksio sesarea pada kehamilan berikutnya ,
dimana diyakini bahwa komplikasi pada ibu dan anak lebih tinggi.Menurut
Farmakides (1987) dalam Miller (1994) melaporkan 77 % dari pasien yang
pernah seksio sesarea dua kali atau lebih yang diperbolehkan persalinan
pervaginal dan berhasil dengan luaran bayi yang baik. Menurut Cunningham
(2001), American College of Obstetricians and Gynecologists pada tahun 1999
telah memutuskan bahwa pasien dengan bekas seksio dua kali boleh menjalani
persalinan pervaginal dengan pengawasan yang ketat.Menurut Miller (1994)
melaporkan bahwa insiden ruptur uteri terjadi 2 kali lebih sering pada VBAC
dengan riwayat seksio sesarea 2 kali atau lebih. Pada penelitian ini, jumlah
VBAC dengan riwayat seksio sesarea 1 kali adalah 83% manakala 2 kali atau
lebih adalah 17 %.

2.5.3. Penyembuhan luka pada seksio sesarea sebelumnya

Pada seksio sesarea insisi kulit pada dinding abdomen biasanya melalui
sayatan horizontal, kadang-kadang pemotongan atas bawah yang disebut insisi
kulit vertikal. Kemudian pemotongan dilanjutkan sampai ke uterus. Daerah
uterus yang ditutupi oleh kandung kencing disebut segmen bawah rahim,
hampir 90 % insisi uterus dilakukan di tempat ini berupa sayatan horizontal
(seperti potongan bikini). Cara pemotongan uterus seperti ini disebut "Low
Transverse Cesarean Section". Insisi uterus ini ditutup/jahit akan sembuh
dalam 2 – 6 hari. Insisi uterus dapat juga dibuat dengan potongan vertikal yang
dikenal dengan seksio sesarea klasik, irisan ini dilakukan pada otot uterus.
Luka pada uterus dengan cara ini mungkin tidak dapat pulih seperti semula
dan dapat terbuka lagi sepanjang kehamilan atau persalinan berikutnya (Hill
AD,2002).
Menurut Depp R (1996) dianjurkan VBAC, kecuali ada tanda-tanda ruptur

uteri mengancam, parut uterus yang sembuh persekundum pada seksio sesarea
sebelumnya atau jika adanya penyulit obstetrik lain ditemui.
Pemeriksaan USG trans abdominal pada kehamilan 37 minggu dapat
mengetahui ketebalan segmen bawah rahim. Ketebalan segmen bawah rahim
(SBR) 4,5 mm pada usia kehamilan 37 minggu adalah petanda parut
yang sembuh sempurna. Parut yang tidak sembuh sempurna didapat jika
ketebalan SBR < 3,5 mm. Oleh sebab itu pemeriksaan USG pada kehamilan 37
minggu dapat sebagai alat skrining dalam memilih cara persalinan bekas
seksio sesarea. (Cheung V, 2004)Menurut Cunningham FG (2001) menyatakan
bahwa penyembuhan luka seksio sesarea adalah suatu generasi dari
fibromuskuler dan bukan pembentukan jaringan sikatrik. Menurut Cunningham
FG (1993), dasar dari keyakinan ini adalah dari hasil pemeriksaan histologi
dari jaringan di daerah bekas sayatan seksio sesarea dan dari 2 tahap
observasi yang pada prinsipnya :

1. Tidak tampaknya atau hampir tidak tampak adanya jaringan sikatrik


pada uterus pada waktu dilakukan seksio sesarea ulangan

2. Pada uterus yang diangkat, sering tidak kelihatan garis sikatrik atau hanya
ditemukan suatu garis tipis pada permukaan luar dan dalam uterus tanpa
ditemukannya sikatrik diantaranya.

Schmitz (1949) dalam Srinivas (2007) menyatakan bahwa kekuatan sikatrik


pada uterus pada penyembuhan luka yang baik adalah lebih kuat dari
miometrium itu sendiri. Hal ini telah dibuktikannya dengan memberikan
regangan yang ditingkatkan dengan penambahan beban pada uterus bekas
seksio sesarea (hewan percobaan).
Ternyata pada regangan maksimal terjadi ruptura bukan pada jaringan
sikatriknya tetapi pada jaringan miometrium dikedua sisi sikatrik. Dari laporan-
laporan klinis pada uterus gravid bekas seksio sesarea yang mengalami ruptura
selalu terjadi pada jaringan otot miometrium sedangkan sikatriknya utuh. Yang
mana hal ini menandakan bahwa jaringan sikatrik yang terbentuk relatif lebih
kuat dari jaringan miometrium itu sendiri (Srinivas S. 2007). Dua hal yang
utama penyebab dari gangguan pembentukan jaringan sehingga menyebabkan
lemahnya jaringan parut tersebut adalah :

1. Infeksi, bila terjadi infeksi akan mengganggu proses penyembuhan luka.

2. Kesalahan teknik operasi (technical errors) seperti tidak tepatnya


pertemuan kedua sisi luka, jahitan luka yang terlalu kencang, spasing jahitan
yang tidak beraturan, penyimpulan yang tidak tepat, dan lain-lain.

Menurut Schmitz (1949) dalam Srinivas (2007) menyatakan jahitan luka yang
terlalu kencang dapat menyebabkan nekrosis jaringan sehingga merupakan
penyebab timbulnya gangguan kekuatan sikatrik, hal ini lebih dominan dari pada
infeksi ataupun technical error sebagai penyebab lemahnya sikatrik.

Pengetahuan tentang penyembuhan luka operasi, kekuatan jaringan sikatrik


pada penyembuhan luka operasi yang baik dan pengetahuan tentang penyebab-
penyebab yang dapat mengurangi kekuatan jaringan sikatrik pada bekas seksio
sesarea, menjadi panduan apakah persalinan pervaginal pada bekas seksio
sesarea dapat dilaksanakan atau tidak (Srinivas, 2007).
Pada sikatrik uterus yang intak tidak mempengaruhi aktivitas selama
kontraksi uterus. Aktivitas uterus pada multipara dengan bekas seksio
sesarea sama dengan multipara tanpa seksio sesarea yang menjalani
persalinan pervaginal (Chua S, Arulkumaran S, 1997).

2.5.4. Indikasi operasi pada seksio sesarea yang lalu

Indikasi seksio sesarea sebelumnya akan mempengaruhi keberhasilan VBAC.


Maternal dengan penyakit CPD memberikan keberhasilan persalinan
pervaginal sebesar 60 – 65 % manakala fetal distress memberikan
keberhasilan sebesar 69 – 73% (Caughey AB, Mann S, 2001).

Keberhasilan VBAC ditentukan juga oleh keadaan dilatasi serviks pada waktu
dilakukan seksio sesarea yang lalu. VBAC berhasil 67 % apabila seksio
sesarea yang lalu dilakukan pada saat pembukaan serviks kecil dari 5 cm,
dan 73 % pada pembukaan 6 sampai 9 cm. Keberhasilan persalinan
pervaginal menurun sampai 13 % apabila seksio sesarea yang lalu dilakukan
pada keadaan distosia pada kala II (Cunningham FG, 2001).
Menurut Troyer (1992) pada penelitiannya mendapatkan keberhasilan penanganan
VBAC boleh dihubungkan dengan indikasi seksio sesarea

2.5.5. Usia maternal

Usia ibu yang aman untuk melahirkan adalah sekitar 20 tahun sampai 35 tahun.
Usia melahirkan dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun digolongkan resiko
tinggi. Dari penelitian didapatkan wanita yang berumur lebih dari 35 tahun
mempunyai angka seksio sesarea yang lebih tinggi. Wanita yang berumur lebih
dari 40 tahun dengan bekas seksio sesarea mempunyai resiko kegagalan untuk
persalinan pervaginal lebih besar tiga kali dari
pada wanita yang berumur kecil dari 40 tahun (Caughey AB, Mann S, 2001).

Menurut Weinstein (1996) dan Landon (2004) mendapatkan pada penelitian


mereka bahwa faktor umur tidak bermakna secara statistik dalam
mempengaruhi keberhasilan persalinan pervaginal pada bekas
seksio sesarea.

2.5.6. Usia kehamilan saat seksio sesarea sebelumnya

Pada usia kehamilan < 37 minggu dan belum inpartu misalnya pada plasenta
previa dimana segmen bawah rahim belum terbentuk sempurna kemungkinan
insisi uterus tidak pada segmen bawah rahim dan dapat mengenai bagian
korpus uteri yang mana keadaannya sama dengan insisi pada seksio sesarea
klasik (Salzmann B, 1994).

2.5.7. Riwayat persalinan pervaginal

Riwayat persalinan pervaginal baik sebelum ataupun sesudah seksio sesarea


mempengaruhi prognosis keberhasilan VBAC (Cunningham FG,
2001).Pasien dengan bekas seksio sesarea yang pernah menjalani
persalinan pervaginal memiliki angka keberhasilan persalinan pervaginal
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa persalinan pervaginal
(Caughey AB, Mann S, 2001).

Menurut Benedetti TJ (1982) dalam Toth PP (1996), pada pasien bekas seksio
sesarea yang sesudahnya pernah berhasil dengan persalinan pervaginal, makin
berkurang kemungkinan ruptur uteri pada kehamilan dan persalinan yang akan
datang. Walaupun demikian ancaman ruptur uteri tetap ada pada masa
kehamilan maupun persalinan, oleh sebab itu pada setiap kasus bekas seksio
sesarea harus juga diperhitungkan ruptur uteri pada kehamilan trimester ketiga
terutama saat menjalani persalinan pervaginal (Toth PP, 1996).

2.5.8. Keadaan serviks pada saat partus

Penipisan serviks serta dilatasi serviks memperbesar keberhasilan VBAC (Flamm


BL, 1997).

Menurut Guleria dan Dhall (1997) menyatakan bahwa laju dilatasi seviks
mempengaruhi keberhasilan penanganan VBAC. Dari 100 pasien bekas
seksio sesarea segmen bawah rahim didapat 84 % berhasil persalinan
pervaginal sedangkan sisanya adalah seksio sesarea darurat. Gambaran laju
dilatasi serviks pada bekas seksio sesarea yang berhasil pervaginal pada fase
laten rata-rata 0.88 cm/jam manakala fase aktif 1.25 cm/jam. Sebaliknya laju
dilatasi serviks pada bekas seksio sesarea yang gagal pervaginal pada fase late
rata-rata 0.44 cm/jam dan fase aktif adalah 0.42 cm/jam. Induksi persalinan
dengan misoprostol akan meningkatkan resiko ruptur uteri pada maternal
dengan bekas seksio sesarea (Plaut MM, et al, 1999). Dijumpai adanya 1 kasus
ruptur uteri bekas seksio sesaraea segmen bawah rahim transversal selama
dilakukan pematangan serviks dengan transvaginal misoprostol sebelum
tindakan induksi persalinan (Scott, 1997).

2.5.9. Keadaan selaput ketuban

Menurut Carrol (1990) dalam Miller (1994) melaporkan pasien dengan


ketuban pecah dini pada usia kehamilan diatas 37 minggu dengan bekas seksio
sesarea (56 kasus) proses persalinannya dapat pervaginal dengan menunggu
terjadinya inpartu spontan dan didapat angka keberhasilan yang tinggi yaitu
91 % dengan menghindari pemberian induksi persalinan dengan oksitosin,
dengan rata-rata lama waktu antara ketuban pecah dini sampai terjadinya
persalinan adalah 42,6 jam dengan keadaan ibu dan bayi baik.

2.6. Induksi VBAC

Penelitian untuk induksi persalinan dengan oksitosin pada pasien bekas


seksio sesarea satu kali memberi kesimpulkan bahwa induksi persalinan
dengan oksitosin meningkatkan kejadian ruptur uteri pada wanita hamil
dengan bekas seksio sesarea satu kali dibandingkan dengan partus spontan
tanpa induksi. Secara statistik tidak didapatkan peningkatan yang bermakna
kejadian ruptur uteri pada pasien yang melakukan akselerasi persalinan
dengan oksitosin. Namun pemakaian oksitosin untuk drip akselerasi pada
pasien bekas seksio sesarea harus diawasi secara ketat (Zelop CM, 1999).

Menurut Scott (1997) tingkat keberhasilan pemberian oksitosin pada


persalinan bekas seksio sesarea cukup tinggi yaitu 70% pada induksi
persalinan dan 100% pada akselerasi persalinan.

2.7. Risiko terhadap maternal

Menurut Kirt EP (1990) dan Goldberg (2000) menyatakan resiko terhadap ibu

yang melakukan persalinan pervaginal dibandingkan dengan seksio

sesarea ulangan elektif pada bekas seksio sesarea adalah seperti berikut :

1. Insiden demam lebih kecil secara bermakna pada persalinan pervaginal yang
berhasil dibanding dengan seksio sesarea ulangan elektif

2. Pada persalinan pervaginal yang gagal yang dilanjutkan dengan seksio


sesarea insiden demam lebih tinggi

3. Tidak banyak perbedaan insiden dehisensi uterus pada persalinan


pervaginal dibanding dengan seksio sesarea elektif.

4. Dehisensi atau ruptur uteri setelah gagal persalinan pervaginal adalah


2.8 kali dari seksio sesarea elektif.

5. Mortalitas ibu pada seksio sesarea ulangan elektif dan persalinan


pervaginal sangat rendah

6. Kelompok persalinan pervaginal mempunyai rawat inap yang lebih


singkat, penurunan insiden transfusi darah pada paska persalinan dan
penurunan insiden demam paska persalinan dibanding dengan seksio
sesarea elektif

2.8. Risiko terhadap anak

Angka kematian perinatal dari hasil penelitian terhadap lebih dari 4.500 persalinan
pervaginal adalah 1.4% serta resiko kematian perinatal pada persalinan percobaan
adalah 2.1 kali lebih besar dibanding seksio sesarea
elektif namun jika berat badan janin < 750 gram dan kelainan kongenital berat
tidak diperhitungkan maka angka kematian perinatal dari persalinan pervaginal
tidak berbeda secara bermakna dari seksio sesarea ulangan elektif (Kirk, 1990).

Menurut Flamm BL (1997) melaporkan angka kematian perinatal adalah 7 per


1.000 kelahiran hidup pada persalinan pervaginal, angka ini tidak berbeda
secara bermakna dari angka kematian perinatal dari rumah sakit yang
ditelitinya yaitu 10 per 1.000 kelahiran hidup.

Menurut Caughey AB (2001) melaporkan 463 dari 478 (97 %) dari bayi yang
lahir pervaginal mempunyai skor Apgar pada 5 menit pertama adalah 8 atau
lebih. Menurut McMahon (1996) bahwa skor Apgar bayi yang lahir tidak
berbeda bermakna pada VBAC dibanding seksio sesarea ulangan elektif.

Menurut Flamm BL (1997) juga melaporkan morbiditas bayi yang lahir


dengan seksio sesarea ulangan setelah gagal VBAC lebih tinggi
dibandingkan dengan yang berhasil VBAC dan morbiditas bayi yang
berhasil VBAC tidak berbeda bermakna dengan bayi yang lahir normal.

2.9. Komplikasi VBAC

Komplikasi paling berat yang dapat terjadi dalam melakukan persalinan


pervaginal adalah ruptur uteri. Ruptur jaringan parut bekas seksio sesarea
sering tersembunyi dan tidak menimbulkan gejala yang khas (Miller DA,
1999). Dilaporkan bahwa kejadian ruptur uteri pada bekas seksio sesarea
insisi segmen bawah rahim lebih kecil dari 1 % (0,2 – 0,8 %). Kejadian
ruptur uteri pada persalinan pervaginal dengan riwayat insisi seksio
sesarea korporal dilaporkan oleh Scott (1997) dan American College of
Obstetricans and Gynecologists (1998) adalah sebesar 4 – 9 %. Kejadian
ruptur uteri selama partus percobaan pada bekas seksio sesarea sebanyak
0,8% dan dehisensi 0,7% (Martel MJ, 2005). Apabila terjadi ruptur uteri
maka janin, tali pusat, plasenta atau bayi akan keluar dari robekan rahim dan
masuk ke rongga abdomen. Hal ini akan menyebabkan perdarahan pada ibu,
gawat janin dan kematian janin serta ibu. Kadang- kadang harus dilakukan
histerektomi emergensi.

Kasus ruptur uteri ini lebih sering terjadi pada seksio sesarea klasik
dibandingkan dengan seksio sesarea pada segmen bawah rahim. Ruptur uteri
pada seksio sesarea klasik terjadi 5-12 % sedangkan pada seksio sesarea pada
segmen bawah rahim 0,5-1 % (Hill DA, 2002). Tanda yang sering dijumpai
pada ruptur uteri adalah denyut jantung janin tak normal dengan deselerasi
variabel yang lambat laun menjadi deselerasi lambat, bradiakardia, dan denyut
janin tak terdeteksi. Gejala klinis tambahan adalah perdarahan pervaginal,
nyeri abdomen, presentasi janin berubah dan terjadi hipovolemik pada ibu
(Miller DA, 1999).

Tanda-tanda ruptur uteri adalah sebagai berikut : (Caughey AB, et al, 2001)

1. Nyeri akut abdomen r uterus pada pemeriksaan Leopold

4. Deselerasi dan bradikardi pada denyut jantung bayi

5. Presenting parutnya tinggi pada pemeriksaan pervaginal

6. Perdarahan pervaginal

Pada wanita dengan bekas seksio sesarea klasik sebaiknya tidak


dilakukan persalinan pervaginal karena resiko ruptur 2-10 kali dan kematian
maternal dan perinatal 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seksio
sesarea pada segmen bawah rahim (Chua S, Arunkumaran S, 1997).

Menurut Landon (2004), komplikasi terhadap maternal termasuklah ruptur


uteri, histerektomi, gangguan sistem tromboembolik, transfusi, endometritis,
kematian maternal dan gangguan-gangguan lain. Nilai lengkap data tersebut
adalah seperti berikut :-

2.10. Monitoring

Ada beberapa alasan mengapa seseorang wanita seharusnya dibantu dengan


persalinan pervaginal. Hal ini disebabkan karena komplikasi akibat seksio
sesarea lebih tinggi. Pada seksio sesarea terdapat kecendrungan kehilangan
darah yang banyak, peningkatan kejadian transfusi dan infeksi, akan
menambah lama rawatan masa nifas di rumah sakit.Selain itu, juga akan
memperlama perawatan di rumah dibandingkan persalinan pervaginal.
Sebagai tambahan biaya rumah sakit akan dua kali lebih mahal (Golberg B,
MD, 2000).

Walaupun angka kejadian ruptur uteri pada persalinan pervaginal setelah


seksio sesarea adalah rendah, tapi hal ini dapat menyebabkan kematian pada
janin dan ibu. Untuk antisipasi perlu dilakukan monitoring pada persalinan ini
(Caughey AB, 1999

Menurut Farmer (1991) dalam Caughey AB (1999), pasien dengan bekas seksio
sesarea membutuhkan manajemen khusus pada waktu antenatal maupun pada
waktu persalinan. Jika persalinan diawasi dengan ketat melalui monitor
kardiotokografi; denyut jantung janin dan tekanan intra uterin dapat membantu
untuk mengidentifikasi ruptur uteri lebih dini sehingga respon tenaga medis bisa
cepat maka ibu dan bayi bisa
diselamatkan apabila terjadi ruptur uteri.

2.11. Sistem skoring VBAC

Untuk memprediksi keberhasilan penanganan persalinan pervaginal bekas


seksio sesarea, beberapa peneliti telah membuat sistem skoring. Flamm dan
Geiger menentukan panduan dalam penanganan persalinan bekas seksio
sesarea dalam bentuk sistem skoring. Weinstein dkk juga telah membuat suatu
sistem skoring untuk pasien bekas seksio

sesarea (Weinstein D, 1996, Flamm BL, 1997).Adapun skoring menurut


Flamm dan Geiger (1997) yang ditentukan untuk memprediksi persalinan pada
wanita dengan bekas seksio sesarea adalah seperti tertera pada table
dibawah ini:
Tubel 2.4 : Sknr VBAC nxnurut Flamm dan Geiger
No Xorakteristik Skor
I U iu < 40 tahun 2
2 Riwayut pe alinun pervaginal
sebelum don ' sudah seksio stueu
per linan pervuginal esudah ksio sazeu 2
persalinon pervuginal sebelum sek.sio sesareu
0
tidak ada
1
Alasan Iain seksio sesorea terdahulu
4
Pendataran dan penipiran serviks saat tiba di Rumah Sakit dalam
keadaan inpartu: 2
75% 1
25 — 75 96 0
5 < 25 96 1
Dilatasi ser viks > 4 cm
(Flamm BE dan Geiger AM, 1997)

Dnri hnsil penelitian Fiamm den Geiger terhadap skor development irony
diperoleh hasil seperti tabel dibawah ini:

Tabe12.5 : Angka keberhasilan VBAC n›enurut Flamm dan Geiger


Star Angka Keberhasilan {9L)
0—2 42-49
3 59-60
4 64-67
5 77-79
6 88-89
7 93
8 — 10 95-99
Total 74-75
(Flamm BE dan Geiger AM, 1997)
Weinstein (1996) juga telah membuat suatu sistem skoring yang bertujuan untuk
memprediksi keberhasilan persalinan pervaginal pada bekas seksio sesarea,
adapun sistem skoring yang digunakan adalah :

Anda mungkin juga menyukai