ABSTRAK
ISBN: 979-9474-42-6 1
Agus dan Husen
ABSTRACT
Agriculture has been valued merely for their ability to produce food, fiber,
and wood, while other important functions in environment, socio-cultural, and
economy have not been recognized or otherwise been ignored. A study in Citarik
Watershed in West Java and Kaligarang Watershed in Central Java on land use
changes and their impact on the environment revealed that the decrease of forest
and tree based-multistrata cropping areas and the increase of industrial and
housing areas have reduced watersheds functions in flood mitigation and soil loss
prevention. A study in Citarum River Basin, West Java, using the replacement cost
method (RCM) revealed that paddy field system produced services in terms of flood
mitigation, preservation of water resources, soil erosion prevention, waste disposal,
rural amenity and heat mitigation as high as about 51% equivalent to the
marketable rice produced in the area. Limitation in the methodology excluded
several important variables, including food security, socio-economic functions, job
oppotunity, and biodiversity in the economic valuation such that the 51% value was
an under-estimate. In the current economic and government policy systems these
multifunctions are still considered as externalities; meaning that these aspects have
not been integrated in the input-output calculations. As such, these services are
farmers free contribution to the community at large. The low rice price and low
land rent of paddy field compared to land for settlement and industrial developments
are among the effects of externalization of multifunctionality such that agriculture
become the last resort among most work force. In consequence, about 1 million ha
of highly productive paddy field in Java have been converted during the period of
1981 to 1999. The overall concept of multifunctionality concluded that agriculture
could not be substituted by any other economic sectors. Valuing only the tangible,
marketable products of agriculture risks the country in the form of accelerating
agricultural land conversion, degrading environmental quality, declining food
security and socio-economic stability.
PENDAHULUAN
2
Multifungsi Pertanian
(mitigasi banjir, pengendali erosi tanah, pemelihara pasokan air tanah, penambat
karbon, penyejuk dan penyegar udara, pendaur ulang sampah organik, dan
pemelihara keanekaragaman hayati), pemelihara nilai sosial budaya dan daya tarik
pedesaan (rural amenity), penyangga kestabilan ekonomi dalam keadaan krisis,
penanggulangan kemiskinan (poverty alleviation), dan berbagai jasa lainnya.
Indikasi meningkatnya intensitas erosi dan meluasnya banjir dalam beberapa
dekade terakhir, terkait dengan hilangnya sebagian fungsi lahan pertanian yang
sudah beralih guna ke penggunaan non-pertanian, terutama ke areal perumahan dan
industri. Dewasa ini pemahaman masyarakat terhadap fungsi pertanian pada
umumnya masih terbatas pada fungsi penghasil barang yang dapat dipasarkan
(marketable products), sedangkan fungsi penghasil jasa publik (public services)
masih belum banyak diketahui, ataupun masih diabaikan. Oleh karena itu,
pemahaman masyarakat (termasuk pemerintah) terhadap multifungsi pertanian
sangat diperlukan agar pertanian mendapat perlakuan dan penghargaan (reward)
yang lebih layak sehingga dapat menjamin kelestarian usaha tani, mempertahankan
kualitas lingkungan, dan memelihara stabilitas sosial ekonomi Indonesia.
Makalah ini merupakan sintesis dari serangkaian hasil penelitian multifungsi
pertanian yang dilaksanakan di daerah aliran sungai (DAS) Citarum, DAS Citarik,
Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah yang dilaksanakan tahun 2001
sampai 2003, dan berdasarkan tinjauan pustaka yang berkaitan dengan multifungsi
pertanian.
3
Agus dan Husen
4
Multifungsi Pertanian
5
Agus dan Husen
berapa bayaran yang mau mereka terima untuk suatu tindakan mitigasi banjir.
Metode ini sudah dicoba antara lain oleh Eom & Kang (2001) dan Manikmas &
Agus (2004).
6
Multifungsi Pertanian
pertanian (Tabel 1), terutama ke areal industri dan perumahan (Agus et al., 2003).
Walaupun pada periode tersebut juga terjadi pencetakan sawah baru (0,5 juta ha di
P. Jawa dan 2,7 juta ha di luar P. Jawa), upaya ini belum mampu memecahkan
masalah kecukupan pangan nasional karena tingkat produktivitas lahan sawah baru
masih jauh lebih rendah daripada lahan sawah lama. Penyusutan lawan sawah ini
sudah tentu akan meningkatkan ketergantungan pemerintah terhadap beras impor
guna memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus meningkat.
Tabel 1. Alih guna dan pencetakan lahan sawah di Indonesia dari tahun 1981-1999
Luas 1981 Beralih guna Pencetakan Selisih
ha
P. Jawa 3.491.000 1.002.055 518.224 -483.831
Luar P. Jawa 3.567.000 625.459 2.702.939 2.077.480
Indonesia 7.059.000 1.627.514 3.221.163 1.593.649
Sumber: Diolah oleh Irawan et al. (2001) dari BPS (1982-2000).
Pada umumnya lahan yang beralih guna tersebar pada areal lumbung beras
nasional seperti di Pantura (pantai utara P. Jawa) dan di sekitar pusat pembangunan
di dalam dan pinggir perkotaan. Daerah ini umumnya sudah dilengkapi dengan
infrastruktur pengairan sehingga berproduktivitas tinggi (dapat berproduksi pada dua
musim tanam setiap tahun).
Dengan asumsi bahwa lahan sawah yang dikonversi mempunyai
produktivitas 5 ton gabah kering giling (GKG) per ha dalam musim hujan dan 3 ton
GKG per ha dalam musim kemarau, maka jika alih guna lahan sawah tidak terjadi,
produksi padi seharusnya menjadi 12,8 juta ton GKG per tahun (1,6 juta ha * 8 t
GKG ha-1 tahun-1) lebih tinggi dari tingkat produksi sekarang. Jika dikonversi ke
dalam beras dengan faktor rendemen 0,6, maka jumlah ini setara dengan 7,7 juta ton
beras beras. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah beras impor
seperti yang tertera pada Tabel 2. Ini berarti, dengan luas pencetakan sawah seperti
tertera pada Tabel 1 dan tidak terjadi alih guna lahan sawah maka seharusnya
Indonesia sudah surplus beras.
7
Agus dan Husen
(safety) untuk dikonsumsi. Dalam hal jumlah pangan, beras sering menjadi pokok
bahasan utama.
Sawah merupakan penyedia utama beras. Luas panen padi sawah pada tahun
2003 adalah 11,5 juta ha, sedangkan luas panen padi gogo hanya sekitar 10% dari
luasan tersebut. Pada tahun 2003 produksi beras dari sawah adalah 32,8 juta ton,
sedangkan kontribusi dari lahan kering hanya sekitar 5% dari jumlah tersebut (Tabel
2). Dalam periode 1990 - 2003, sawah mampu memenuhi 85 sampai 100% dari
kebutuhan beras dalam negeri. Tingkat ketergantungan Indonesia pada beras impor
selama periode tersebut tertinggi pada tahun 1998 disebabkan tahun 1997
merupakan tahun El Nino sehingga cadangan beras Indonesia pada tahun 1998
sangat rendah. Kisaran jumlah impor beras dalam dekade terakhir berkisar antara 0,4
sampai 5,7 juta ton.
Tabel 2. Luas panen, produksi, produktivitas, dan impor beras Indonesia tahun
1990-2003
8
Multifungsi Pertanian
Indonesia merupakan importir beras terbesar di dunia dewasa ini, peningkatan impor
beras oleh Indonesia, misalnya dari 2 menjadi 4 juta ton per tahun akan
mengakibatkan kenaikan harga beras dunia karena kuota perdagangan beras dunia
per tahun hanya berkisar antara 12 sampai 15 juta ton. Selain itu, impor hanya dapat
berlangsung apabila dunia (terutama negara eksportir dan importir) berada dalam
keadaan aman. Apabila negara berada dalam keadaan bahaya seperti perang atau
bencana alam, ketergantungan kepada impor akan sangat berisiko. Oleh karena itu,
kemampuan untuk menghasilkan beras atau pangan di dalam negeri (self reliance)
jauh lebih aman dibandingkan dengan ketergantungan pada beras impor.
Keberadaan lahan pertanian (sawah) tidak saja penting dalam hal luas total
lahan, tetapi juga penting dari segi penyebarannya. Sawah yang tersebar luas di
seluruh wilayah nusantara penting dalam arti lebih terdistribusinya beras sampai ke
pelosok pedesaan. Selain itu, bagi petani miskin, memproduksi beras/pangan di
lahannya sendiri akan meningkatkan kemampuan mereka mendapatkan (access)
pangan tanpa harus mengeluarkan uang yang belum tentu tersedia.
Mitigasi banjir
Mitigasi banjir (disebut juga sebagai daya sangga air) dari lahan pertanian
adalah kemampuan lahan pertanian untuk menahan air hujan untuk sementara waktu
selama dan sesaat sesudah peristiwa hujan. Air hujan ditahan oleh tajuk (kanopi)
tanaman, tergenang di permukaan tanah, atau diserap oleh pori tanah.
Hamparan sawah dapat dilihat sebagai kumpulan kolam-kolam alami atau
dam-dam kecil penampung air hujan sebelum mengalir secara perlahan ke badan-
badan air (sungai, danau). Di daerah-daerah dengan tingkat curah hujan tinggi,
fungsi sawah ini menjadi sangat penting karena mampu mencegah atau mengurangi
terjadinya debit air maksimum penyebab banjir di bagian hilir suatu kawasan DAS.
Peran sawah ini sejak dulu tidak pernah berubah, tetapi luas lahan sawah terus
menyusut karena beralih guna ke areal permukiman dan industri. Daya sangga air
(mitagasi banjir) lahan sawah ditentukan oleh perbedaan tinggi pematang dengan
tinggi muka air sebelum hujan. Sumbangan tajuk padi dan simpanan air pada pori
tanah sangat kecil karena kecil luas total permukaan daun relatif kecil dan kadar air
tanah relatif tetap (keadaan jenuh) sebelum dan sesudah peristiwa hujan.
Untuk lahan hutan, kapasitas tajuk tanaman dalam menampung air cukup
tinggi, demikian pula kapasitas pori tanah karena struktur tanah hutan relatif bagus,
serasah yang tebalnya juga dapat terisi air, dan dalamnya sistem perakaran.
9
Agus dan Husen
Daya sangga air beberapa macam penggunaan lahan disajikan pada Gambar
1. Secara umum dapat dilihat bahwa daya mitigasi banjir lahan hutan paling tinggi,
kemudian diikuti oleh lahan pertanian berbasis pohon-pohonan dan lahan sawah.
Lahan pertanian tanaman semusim mempunyai nilai mitigasi banjir yang rendah dan
areal perumahan dan industri mempunyai daya mitigasi banjir paling rendah.
Dengan demikian, semakin meluas areal perumahan dan industri, semakin rentan
hilir suatu DAS terhadap banjir.
160
140
120
Daya sangga air (mm)
100
80
60
40
20
0
Kebun Pemukiman/
Hutan Sawah Tegalan
Campuran Industri
Kapasitas intersepsi tajuk 35 3 25 5 0
Kapasitas genangan 10 92 10 20 10
Absorpsi pori tanah 106 0 80 23 10
Gambar 1. Daya sangga air (daya mitigasi banjir) berbagai tipe penggunaan lahan
(Agus et al., 2003)
Pengendali erosi
Tingkat erosi berbagai tipe penggunaan lahan berbeda-beda, atau dengan
kata lain daya kendali berbagai penggunaan lahan terhadap erosi berbeda-beda pula.
Hutan, dengan tajuk bertingkat, penutupan permukaan tanah yang tebal oleh serasah,
dan kapasitas infiltrasi tanahnya yang tinggi mempunyai daya sangga yang tinggi
terhadap erosi. Erosi di lahan hutan primer biasanya tidak lebih dari 3 t ha-1 tahun-1.
Semakin sedikit tajuk tanaman dan semakin sedikit penutupan permukaan tanah,
semakin rendah pula daya kendalinya terhadap erosi. Dengan demikian, lahan
dengan sistem pertanian berbasis tanaman pohon-pohonan dan adanya serasah yang
menutupi permukaan tanah tingkat erosinya lebih rendah dibandingkan dengan lahan
yang digunakan untuk pertanian tanaman semusim (Tabel 3).
10
Multifungsi Pertanian
Tabel 3. Erosi tanah pada berbagai penggunaan lahan di DAS Citarum, Jawa Barat
berdasarkan prediksi dengan menggunakan Universal Soil Loss Equation
Daerah aliran sungai
Penggunaan lahan
Saguling Cirata Jatiluhur
-1 -1
t ha tahun
Hutan 0,1 0,2 0,1
Perkebunan teh 23 27 10
Perkebunan karet - 9 11
Sawah 0,3 0,4 1,4
Belukar 1,1 1,6 0,5
Lahan kering pangan 22 61 40
Sumber: Sutono et al. (2003).
Lahan sawah mempunyai proses erosi yang unik. Teras sawah dengan
galengan atau pematang berfungsi menahan air di dalam petakan. Genangan air
berfungsi melindungi permukaan tanah sawah dari pukulan air hujan. Apabila terjadi
dispersi (pelepasan butir dari agregat tanah), maka pada sistem teras berpematang
yang laju aliran air permukaannya dari satu teras ke teras berikutnya sangat lambat
akan memungkinkan bagi butir tanah yang terdispersi tersebut untuk mengendap
sehingga tidak hanyut terbawa air. Bahkan jika air irigasi yang masuk ke
persawahan mengandung lumpur, lumpur tersebut berpeluang besar untuk
mengendap dan tidak hanyut ke sungai.
Erosi tanah dari hamparan sawah lebih rendah dari 2 t ha-1 tahun-1, dan ini
hampir sama rendah dengan erosi dari hutan primer (Tabel 3 dan 4). Selain
fenomena kecilnya erosi dan besarnya deposisi pada teras sawah, data pada Tabel 3
juga menunjukkan bahwa erosi tanah dalam jumlah yang agak besar hanya terjadi
pada waktu dan beberapa saat sesudah pengolahan tanah (pembajakan dan
pelumpuran); tetapi sedimen yang terangkut tersebut sebagian besar akan
mengendap pada petakan sawah di bawahnya sehingga erosi total yang keluar dari
lahan sawah relatif kecil. Data ini menunjukkan bahwa sedimen yang mengendap
(terdeposisi) di petakan lahan sawah jauh lebih besar dibandingkan dengan sedimen
yang keluar dari petakan tersebut. Dengan kata lain sawah pada lahan berlereng
dapat dianggap sebagai sistem penyaring (filter) sedimen.
11
Agus dan Husen
Table 4. Hasil pengamatan erosi tanah pada 18 petak lahan sawah dengan luas total
2.515 m2 selama dua musim tanam padi di Ungaran, Jawa Tengah
Pertama Kedua
Sedimen terangkut
1 Nov01-31 Jan02 16 Mar-30 Jun02
Total sedimen yang masuk ke petakan 864 kg 1.567 kg
-1
sawah melalui air irigasi (3,4 t ha ) (6,2 t ha-1)
Total sedimen yang keluar dari 347 kg 210 kg
-1
petakan sawah (1,4 t ha ) (0,8 t ha-1)
Sedimen yang mengendap (terdeposisi) 517 kg 1357 kg
-1
pada petakan (2 t ha ) (5,4 t ha-1)
Sedimen yang terangkut keluar petakan 181 kg 165 kg
-1
saat pengolahan tanah (0,7 t ha ) (0,6 t ha-1)
Sumber: Kundarto et al. (2002).
12
Multifungsi Pertanian
13
Agus dan Husen
isu kekurangan beras (masalah ketahanan pangan), maka akan terjadi rush untuk
menumpuk beras di kalangan distributor dan konsumen yang selanjutnya dapat
mendatangkan kekacauan (chaos) yang biaya sosialnya sangat tinggi.
IMPLIKASI
14
Multifungsi Pertanian
DAFTAR PUSTAKA
15
Agus dan Husen
Sutono, S., S.H. Talaohu, O. Sopandi, and F. Agus. 2003. Erosi pada berbagai
penggunaan lahan di Das Citarum. hlm. 113-133 Dalam Prosiding Seminar
Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Bogor, 2 Oktober dan
Jakarta, 25 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Wahyunto, M. Zainal Abidin, A. Priyono, dan Sunaryo. 2001. Studi perubahan
penggunaan lahan di Sub DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang,
Jawa Tengah. hlm. 39-63 Dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi
Lahan Sawah. Bogor, 1 Mei 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Yoshida, K. 2001. An economic evaluation of the multifunctional roles of
agriculture and rural areas in Japan. Technical Bulletin 154, August 2001
Food & Fertilizer Technology Center (FFTC). Taiwan.
Yoshida, K. and M. Goda. 2001. Economic evaluation of multifunctional roles of
agriculture in hilly and mountainous areas in Japan. p.191-200 In
International Seminar on Multi-Functionality of Agriculture, 17-19 October
2001. JIRCAS. Tsukuba, Ibaraki, Japan (Preliminary Edition).
16