Anda di halaman 1dari 11

Analisis Pangan

Ada beberapa analisis pangan yang sering dilakukan oleh industri pangan. Tujuannya adalah
untuk mengetahui karakteristik pangan baik kimia, biologi, mikrobiologi, maupun fisiknya.
Analisis kimia makanan merupakan analisis pangan yang sering dilakukan, karena
pengetahuan akan komponen kimia makanan sangatlah penting demi membandingkannya
dengan standar yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia atau luar negeri. Selain itu,
komponen kimia juga dapat berpengaruh terhadap sifat fisik, maupun mikrobiologinya.
Analisis kimia pangan yang sering dilakukan oleh industri pangan adalah analisis proximat.
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kandungan karbohidrat, protein, lemak, abu dan air.
Sebelum saya uraikan analisis proxymat ini, saya akan menjelaskan secara singkat mengenai
karbohidrat, protein, lemak, abu dan air.
1. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi hampir seluruh penduduk dunia.
Karbohidrat juga memiliki peran penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan,
misalnya rasa, warna, tekstur dan lain-lain (Winarno, 2004). Karbohidrat banyak terkandung
pada makanan yang mengandung pati seperti serealia dan umbi-umbian. Meskipun
karbohidrat memiliki fungsi potensial bagi tubuh sebagai sumber energi namun kelebihan
karbohidrat juga tidak baik untuk kesehatan terutama penderita diabetes. Oleh karena itu,
dengan mengetahui kandungan karbohidrat pada makanan, Kita dapat mempertimbangkan
dan menghitung kandungan karbohidrat yang sesuai untuk asupan sehari-hari.

2. Protein
Protein merupakan salah satu komponen kimia yang penting bagi tubuh. Beberapa
perannya sangat vital bagi tubuh. Menurut de Man (1997), protein terdapat baik dalam
produk hewan maupun dalam produk tumbuhan. Protein dapat diperoleh dari daun, serealia,
biji-minyak, dan biji-bijian. Konsumsi protein di Indonesia merupakan salah satu yang
rendah dibandingkan beberapa negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Singapura
maupun Thailand. Konsumsi protein yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia berasal
dari protein nabati. Hal ini dikarenakan protein hewani yang berasal dari daging-daging
hewan masih terlalu mahal. Alangkah lebih baiknya pemerintah Indonesia dapat
meningkatkan suplai protein pada makanan dengan beberapa protein nabati yang ekonomis,
banyak disukai masyarakat dan sehat.

3. Lemak
Menurut Akoh (2002), lemak didefinisikan sebagai produk alam termasuk asam lemak dan
turunannya, steroid, terpen, karotenoid dan asam empedu, yang memiliki kesamaan kelarutan
siap dalam pelarut organik. Ada juga yang mendeskripsikan lemak sebagai zat yang tidak
larut dalam air, larut dalam pelarut organik, mengandung gugus hidrokarbon rantai panjang
dalam molekul, dan berasal dari organisme hidup. Menurut Winarno (2004), lemak
merupakan zat penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia dan merupakan sumber
energi yang lebih efektif dibanding dengan karbohidrat dan protein. Kelebihan lemak
sangatlah tidak baik bagi kesehatan dan beresiko meningkatkan obesitas. Oleh karena itu,
dengan mengetahui kandungan lemak pada makanan maka kita dapat membatasi berapa
banyak asupan lemak dalam tubuh kita.

4. Air
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi
penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Semua bahan makanan mengandung air dalam
jumlah yang berbeda-beda, baik itu makanan hewani maupun nabati. Kandungan air dalam
bahan makanan ikut menentukan acceptability (penerimaan), kesegaran dan daya tahan bahan
tersebut (Winarno, 2004). Pentingnya air sebagai komponen pangan menyebabkan perlu
adanya pemahaman mengenai sifat dan perilakunya. Adanya air mempengaruhi kemerosotan
mutu makanan secara kimia dan mikrobiologi. Begitu pula, penghilangan (pengeringan) atau
pembekuan air sangatlah penting untuk beberapa metode pengawetan makanan (deMan,
1997).

5. Abu
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan
komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya (Sudarmaji, dkk.,
2010). Pada proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak,
karena itulah disebut abu (Winarno, 2004). Abu erat kaitannya dengan mineral. Menurut de
Man (1997), mineral dalam makanan biasanya ditentukan dengan pengabuan atau insinerasi
(pembakaran). Pengetahuan tentang abu sangatlah penting untuk mengetahui standar
maksimal abu dalam makanan.

Setelah kita mengatahui secara singkat komponen kimia tersebut, maka dilanjutkan dengan
analisisnya.
1. Analisis kadar karbohidrat
Analisis yang dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan karbohidrat adalah dengan
cara perhitungan kasar (proximate analysis) atau juga disebut Carbohydrate by Difference.
Proxymate analysis adalah suatu analisis dimana kandungan karbohidrat termasuk serat kasar
diketahui bukan melalui analisis tetapi melalui perhitungan. Persentase banyaknya kandungan
karbohidrat di dalam bahan didapat dari hasil pengurangan dari 100 % dengan kadar protein,
kadar lemak, kadar abu dan kadar air. Perhitungan Carbohydrate by Difference adalah
penentuan karbohidrat dalam bahan makanan secara kasar, dan hasilnya ini biasanya
dicantumkan dalam daftar komposisi bahan makanan (Winarno, 2004). Perhitungan
Carbohydrate by Difference dapat dirumuskan sebagai berikut:

2. Analisis Protein
Protein merupakan senyawa bermolekul besar dan kompleks tersusun dari unsur C, H, O,
N, S dan dalam keadaan kompleks ada unsur P. Peneraan jumlah protein dalam bahan
makanan umumnya dilakukan berdasarkan peneraan empiri (tidak langsung), yaitu melalui
penentuan kandungan N yang ada dalam bahan pangan. Cara penentuan ini dikembangkan
oleh Kjeldahl. Pada penentuan protein, seharusnya hanya nitrogen yang berasal dari protein
saja yang ditentukan. Akan tetapi, secara teknis hal ini sulit dilakukan dan jumlah kandungan
senyawa lain selain protein dalam bahan biasanya sangat sedikit, maka penentuan jumlah N
total ini tetap dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang ada. Kadar protein yang
ditentukan berdasarkan cara Kjeldahl ini sering disebut sebagai kadar protein kasar. Dasar
perhitungan metode ini adalah hasil penelitian dan pengamatan yang menyatakan bahwa
umumnya protein alamiah mengandung unsur N rata-rata 16 % (dalam protein murni).
Analisa protein cara Kjeldahl pada dasarnya dibagi menjadi tiga tahapan yaitu proses
destruksi, proses destilasi dan tahap titrasi (Sudarmaji, dkk., 2010). Prosedur penentuan
protein dengan metode Kjeldahl sebagai berikut:
1. Timbang sejumlah kecil sampel (3-10 ml HCl 0,01 N), pindahkan ke dalam labu
Kjeldahl 30 ml.

2. Tambahkan 1.90.1 g K2SO4, 40 10 mg HgO dan 2.0 0,1 ml H2SO4.

3. Tambahkan beberapa butir batu didih. Didihkan sampel selama 1 1,5 jam sampai
cairan menjadi jernih.

4. Dinginkan, tambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan kemudian dinginkan.

5. Pindahkan isi labu ke dalam alat destilasi. Cuci dan bilas labu 5-6 kali dengan 1-2 ml
air, pindahkan air cucian ke dalam alat destilasi.

6. Letakkan erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H 2BO3 dan 2-4 tetes indikator
(campuran 2 bagian metil merah 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue 0,2%
dalam alkohol) di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di
bawah larutan H3BO3.

7. Tambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3, kemudian lakukan destilasi sampai


tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam erlenmeyer.

8. Bilas tabung kondenser dengan air dan tampung bilasannya dalam erlenmeyer yang
sama.

9. Encerkan isi erlenmeyer sampai kira-kira 50 ml kemudian titrasi dengan HCl 0.02 N
sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Lakukan juga penetapan blanko.

3. Analisis lemak
Lemak adalah senyawa ester dari gliserol dan asam lemak. Lemak yang ada di dalam
jaringan baik hewan maupun tumbuhan disertai dengan senyawa lain seperti fosfolipida,
sterol dan beberapa pigmen. Pada analisis kadar lemak, seringkali disebut sebagai analisis
lemak kasar, karena selain asam lemak terikut pula senyawa-senyawa lain (Legowo, 2004).
Metode yang digunakan pada penentuan kadar lemak ini adalah metode ekstraksi soxhlet.
Prinsipnya adalah lemak diekstrak dengan pelarut dietil eter. Setelah pelarutnya diuapkan,
lemaknya dapat ditimbang dan dihitung persentasenya (Apriyantono, 1989). Berikut ini
adalah prosedur penetapan kadar lemak dengan metode soxhlet:

1. Ambil labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi soxhlet yang akan
digunakan, keringkan dalam oven dinginkan dalam desikator dan timbang.

2. Timbang 5 g sampel dalam bentuk tepung langsung dalam saringan timbel, yang
sesuai ukurannya, kemudian tutup dengan kapas wool yang bebas lemak.
3. Letakkan timbel atau kertas saring yang berisi sampel tersebut dalam alat ekstraksi
soxhlet, kemudian pasang alat kondenser di atasnya dan labu lemak di bawahnya.

4. Tuangkan pelarut dietil eter atau petroleum eter ke dalam labu lemak secukupnya,
sesuai ukuran soxhlet yang digunakan.

5. Lakukan refluks selama minimum 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu
lemak berwarna jernih.

6. Destilasi pelarut yang ada di dalam labu lemak, tampung pelarutnya. Selanjutnya labu
lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC.

7. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator, timbang labu
beserta lemaknya tersebut. Berat lemak dapat dihitung.

4. Analisis kadar abu


Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan
komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya (Sudarmaji, dkk.,
2010). Penentuan kadar abu dapat dilakukan secara langsung dengan cara membakar bahan
pada suhu tinggi (500 - 600o C) dan dapat juga dilakukan secara tidak langsung dengan cara
melarutkan sampel ke dalam cairan yang ditambahkan oksidator kemudian baru dilakukan
pembakaran sampel. Prinsip penetapan total abu yaitu abu dalam bahan pangan ditetapkan
dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550 o C
(Apriyantono, 1989). Berikut ini prosedur pengujian kadar abu dengan metode kering:

1. Siapkan cawan pengabuan, kemudian bakar dalam tanur, dinginkan dalam desikator
dan timbang.

2. Timbang sebanyak 3 5 g sampel dalam cawan tersebut kemudian letakkan dalam


tanur pengabuan, bakar sampai didapat abu berwarna abu-abu atau sampai beratnya
tetap. Pengabuan dilakukan dalam dua tahap : Pertama pada suhu sekitar 400 oC dan
kedua pada suhu 550oC.

3. Dinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.

5. Analisis kadar air


Metode yang digunakan pada penetapan kadar air ini adalah metode oven
(thermogravimetri). Metode ini digunakan untuk seluruh produk makanan, kecuali jika
produk tersebut mengandung komponen-komponen yang mudah menguap atau jika prodk
tersebut mengalami dekomposisi pada pemanasan 100oC. Prinsip metode ini adalah sampel
dikeringkan dalam oven 100oC 102oC sampai diperoleh berat yang tetap (Apriyantono,
1989). Berikut ini prosedur kerja penentuan kadar air dengan metode oven:

1. Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan dinginkan
dalam desikator, kemudian ditimbang.

2. Timbang dengan cepat kurang lebih 5 gram sampel (W1) yang sudah dihomogenkan
dalam cawan.

3. Angkat tutup cawan dan tempatkan cawan beserta isi dan tutupnya di dalam oven
selama 6 jam. Hindarkan kontak antara cawan dengan dinding oven. Untuk produk
yang tidak mengalami dekomposisi dengan pengeringan lama dapat dikeringkan
selama 1 malam.

4. Pindahkan cawan ke desikator, tutup dengan penutup cawan, lalu didinginkan. Setelah
dingin timbang kembali.

5. Keringkan kembali ke dalam oven sampai diperoleh berat yang tetap.

Itulah analisis kimia pangan yang sering dijumpai di industri pangan. Hasil analisis kimia
makanan dapat dibandingkan dengan standar SNI maupun FDA.
Kimia Analisis Bahan Pangan dan Industri (Protein)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahan pangan berprotein nabati yang banyak dipergunakan sebagai bahan dasar
fermentasi pangan adalah: kedelai atau jenis kacang-kacangan lain, seperti kacang tanah,
karabenguk, dan kacang gude. Di antara bahan-bahan tersebut, kedelai paling sering
digunakan sebagai bahan dasar makanan-makanan fermentasi di beberapa negara, karena
kadar proteinnya yang tinggi (Kasmidjo, 1990). Salah satu produk fermentasi berbahan dasar
kedelai adalah kecap.
Saat ini sudah banyak berbagai macam jenis kecap berbahan baku selain kedelai,
yaitu kecap ikan, kecap kecipir, kecap kaldu daging, kecap air kelapa, kecap keong, dan lain-
lain. Dengan kenyataan tersebut, maka tidak menutup kemungkinan kecap dapat dibuat dari
bahan-bahan lainnya. Satu terobosan baru dalam rangka mendapatkan sumber protein selain
kedelai, yaitu dengan memanfaatkan lamtoro gung sebagai bahan baku pembuatan kecap. Hal
itu karena biji lamtoro gung mengandung protein yang tinggi. Kadar nutrisi biji lamtoro gung
dan biji kedelai tidak banyak berbeda, sehingga kemungkinan besar dapat diolah menjadi
produk fermentasi yang serupa dengan produk fermentasi kedelai. Berbagai penelitian
tentang lamtoro gung telah banyak dilakukan, misalnya pengolahan lamtoro gung menjadi
susu (Wuryantini, 1985) dan tahu (Fajarini,1985), tetapi belum ada penelitian yang
memanfaatkan lamtoro gung sebagai bahan baku pembuatan kecap.
Kecap merupakan produk cair berwarna coklat gelap mempunyai rasa asin atau manis
dan digolongkan dalam makanan yang mempunyai rasa dan aroma menyerupai ekstrak
daging. Kecap mempunyai sifat mudah dicerna dan diabsorbsi tubuh manusia, karena
komponen-komponennya mempunyai berat molekul rendah (Kasmidjo, 1990). Kecap dapat
dibuat melalui 3 cara, yaitu fermentasi, hidrolisis asam, dan kombinasi keduanya.
Dibandingkan dengan kecap yang dibuat secara hidrolisis, kecap yang dibuat dengan cara
fermentasi biasanya mempunyai aroma yang lebih baik. Pembuatan kecap secara fermentasi
pada prinsipnya menyangkut pemecahan karbohidrat, protein, dan lemak oleh aktivitas enzim
kapang, khamir dan bakteri menjadi senyawa sederhana, yang menentukan rasa, aroma, dan
komposisi kecap (Koswara, 1997).
Pembuatan kecap di Indonesia pada umumnya dilakukan secara fermentasi.
Fermentasi terdiri atas 2 tahap yaitu fermentasi kapang (solid stage fermentation) dan
fermentasi dalam larutan garam (brine fermentation). Salah satu mikroba yang berperan
dalam fermentasi kapang adalah Aspergillus oryzae. A. oryzae dikenal sebagai kapang yang
paling banyak menghasilkan enzim, yaitu amilase, galaktosidase, glutaminase, protease,
glukosidase (Wedhastri, 1990) dan lipase (Rahayu dkk., 1993).
Penelitian ini bertujuan untuk menguji kadar protein biji, koji, dan moromi kecap
lamtoro gung serta mengetahui potensi lamtoro gung sebagai bahan baku pembuatan kecap
secara fermentasi dengan A. oryzae.

1.2 Rumusan Masalah


1. Berapa kadar protein yang terdapat dalam biji, koji dan moromi?
2. Bagaimana hasil yang diperoleh dalam uji organoleptik kecap?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui kadar protein yang terdapat dalam biji, koji dan moromi.
2. Mengetahui hasil yang diperoleh dalam uji organoleptik kecap.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lamtoro Gung (Leucaena leucocephala)


Lamtoro, petaicina, atau petai selonga dalah sejenis perdu dari suku Fabaceae
(Leguminosae, polong polongan), yang kerap digunakan dalam penghijauan lahan atau
pencegahan erosi. Berasal dari Amerika tropis, tumbuhan ini sudah ratusan tahun dimasukkan
ke Jawa untuk kepentingan pertanian dan kehutanan, dan kemudian menyebar pula ke pulau-
pulau yang lain diIndonesia. Oleh sebab itu agaknya, maka tanaman ini
di Malaysia dinamai petai jawa.
Biji lamtoro-gung Leucaena leucocephala merupakan salah satu sumber protein yang
tidak konvensional yang mengandung protein cukup tinggi. Biji lamtoro-gung kering
mengandung sekitar 30% protein, bahkan tepung keping biji lamtoro-gung tanpa kulit
mengandung sekitar 50% protein (Slamet et al. 1987). Di beberapa daerah antara lain
Gunung Kidul dan Trenggalek biji lamtoro-gung yang telah diproses tersebut tidak
menimbulkan gangguan kesehatan (Slamet et al. 1991).

Gambar 2.1 Lamtoro gung (Leucaena leucocephala)

Adapun klasifikasi ilmiah dari lamtoro gung adalah sebagai berikut:


Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae (suku polong-polongan)
Genus : Leucaena
Spesies : Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit

2.2 Protein
Protein adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang
merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino yang dihubungkan satu sama lain
dengan ikatan peptida. Keistimewaan lain dari protein ini adalah strukturnya yang
mengandung N (15,30-18%), C (52,40%), H (6,90-7,30%), O (21-23,50%), S (0,8-2%),
disamping C, H, O (seperti juga karbohidrat dan lemak), dan S kadang-kadang P, Fe dan Cu
(sebagai senyawa kompleks dengan protein). Dengan demikian maka salah satu cara
terpenting yang cukup spesifik untuk menentukan jumlah protein secara kuantitatif adalah
dengan penentuan kandungan N yang ada dalam bahan makanan atau bahan lain (Sudarmaji,
S, dkk. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty: Yogyakarta).
Kebanyakan protein merupakan enzim atau subunit enzim. Jenis protein lain berperan
dalam fungsi struktural atau mekanis, seperti misalnya protein yang membentuk batang dan
sendi sitoskeleton. Protein terlibat dalam sistem kekebalan (imun) sebagai antibodi, sistem
kendali dalam bentuk hormon (Santoso 2008).

2.3 Penetapan Kadar Protein


Analisis protein dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu secara kualitatif dan secara
kuantitatif. Analisis protein secara kualitatif terdiri atas reaksi Xantoprotein, reaksi Hopkins-
Cole, reaksi Millon, reaksi Nitroprusida, dan reaksi Sakaguchi. Sementara itu, analisis protein
secara kuantitatif terdiri dari metode Kjeldahl, metode titrasi formol, metode Lowry, metode
spektrofotometri visible (Biuret), dan metode spektrofotometri UV (Apriyantono dkk 1989).

2.4 Metode Lowry-Folin


Metode Lowry merupakan pengembangan dari metode Biuret. Dalam metode ini terlibat
2 reaksi. Awalnya, kompleks Cu(II)-protein akan terbentuk sebagaimana metode biuret, yang
dalam suasana alkalis Cu(II) akan tereduksi menjadi Cu(I). Ion Cu+ kemudian akan
mereduksi reagen Folin Ciocalteu, kompleks phosphomolibdat-phosphotungstat akan
menghasilkan heteropoly-molybdenum blue akibat reaksi oksidasi gugus aromatic (ranti
samping asam amino) terkatalis Cu, yang memberikan warna biru intensif yang dapat
dideteksi secara kolorimetri. Kekuatan warna biru terutama bergantung pada kandungan
residu tryptophandan tyrosine-nya. Keuntungan metode Lowry adalah lebih sensitif (100 kali)
daripada metode Biuret sehingga memerlukan sampel protein yang lebih sedikit. Batas
deteksinya berkisar pada konsentrasi 0.01 mg/mL. Namun metode Lowry lebih banyak
interferensinya akibat kesensitifannya (Lowry dkk 1951).
Beberapa zat yang bisa mengganggu penetapan kadar protein dengan metode Lowry ini,
diantaranya buffer, asam nuklet, gula atau karbohidrat, deterjen, gliserol, Tricine, EDTA, Tris,
senyawa-senyawa kalium, sulfhidril, disulfida, fenolat, asam urat, guanin, xanthine,
magnesium, dan kalsium. Interferensi agen-agen ini dapat diminimalkan dengan
menghilangkan interferens tersebut. Sangat dianjurkan untuk menggunakan blanko untuk
mengkoreksi absorbansi. Interferensi yang disebabkan oleh deterjen, sukrosa dan EDTA
dapat dieliminasi dengan penambahan SDS atau melakukan preparasi sampel dengan
pengendapan protein (Lowry dkk 1951).
Metode Lowry-Folin hanya dapat mengukur molekul peptida pendek dan tidak dapat
mengukur molekul peptida panjang (Alexander dan Griffiths, 1992). Prinsip kerja metode
Lowry adalah reduksi Cu2+ (reagen Lowry B) menjadi Cu+ oleh tirosin, triptofan, dan sistein
yang terdapat dalam protein. Ion Cu+ bersama dengan fosfotungstat dan fosfomolibdat
(reagen Lowry E) membentuk warna biru, sehingga dapat menyerap cahaya (Lowry dkk
1951).

2.5 Pembuatan Kecap


2.5.1 Proses Pembuatan Kecap dan Fermentasinya
Proses pembuatan kecap dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu secara
fermentasi, cara hidrolisa asam atau kombinasi keduanya tetapi yang lebih sering dan mudah
dilakukan adalah cara fermentasi. Pada cara fermentasi, proses pembuatan kecap melalui dua
tahapan, yaitu tahap fermentasi kapang dan fermentasi larutan garam.
A. Fermentasi Kapang
Pada tahap ini, seperti pembuatan tempe, yaitu kedelai harus dibersihkan dulu dari
kotoran yang ada pada kedelai, misalnya debu, kerikil dan sebagainya sehingga kedelai
benar-benar bersih dari kotoran. Kemudian dilakukan proses perendaman. Proses perendaman
memberi kesempatan pertumbuhan bakteri-bakteri asam laktat sehingga terjadi penurunan pH
dalam biji menjadi sekitar 4,5 5,3. Penurunan biji kedelai tidak menghambat pertumbuhan
jamur tempe, tetapi dapat menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri kontaminan yang
bersifat pembusuk. Kemudian dilakukan pengupasan kulit dan pencucian. Fungsi dari
pengupasan kulit adalah supaya jamur dapat menembus kedelai dan dapat tumbuh dengan
baik. Dan proses pencucian dilakukan untuk menghilangkan kotoran oleh bakteri asam laktat
yang timbul selama proses perendaman dan agar kedelai tidak terlalu asam. Kemudian
dilakukan perebusan. Proses pemanasan atau perebusan biji setelah perendaman bertujuan
untuk membunuh bakteri-bakteri kontaminan, membantu membebaskan senyawa-senyawa
dalam biji yang diperlukan untuk pertumbuhan jamur.
Kemudian dilakukan proses fermentasi kapang. Kedelai kemudian dicampur dengan
tepung tapioka yang telah disangrai lalu dibiarkan pada suhu ruang beberapa hari sampai
ditumbuhai kapang. Tetapi ada juga yang tidak ditambahkan tepung tapioka, yaitu dengan
cara membiarkan kedelai yang sudah bersih tadi pada suhu ruang sampai ditumbuhi kapang.
Setelah itu dilakukan proses pengeringan, biasanya dilakukan di bawah terik sinar matahari.
Tujuan dikeringkan adalah untuk memisahkan kedelai yang telah ditumbuhi spora dengan
lapuk yang dihasilkan, karena lapuk ini tidak dibutuhkan untuk pembuatan kecap. Dan
diperolehlah koji atau tempe, yang kemudian digunakan untuk fermentasi garam.
Apabila fermentasi kapang berlangsung terlalu cepat maka enzim yang dihasilkan
oleh kapang akan berkurang dan komponen-komponen pembentuk cita rasa pada kecap tidak
terbentuk. Sedangkan apabila fermentasi kapang berlangsung terlalu lama, maka akan terjadi
sporulasi dari kapang dan akan terbentuk amoniak yang berlebihan sehingga akan dihasilkan
produk yang kurang enak dan berbau busuk.
Selama fermentasi kapang akan memproduksi enzim-enzim seperti protease, lipidase,
dan amilase yang akan memecah protein, lemak dan pati menjadi senyawa-senyawa yang
lebih sederhana. Dan beberapa fraksi hasil pemecahan komponen-komponen kedelai tersebut
adalah merupakan senyawa-senyawa yang meguap yang dapat memberikan kesedapan yang
spesifik pada kecap.

B. Fermentasi Garam
Kedelai yang telah mengalami fermentasi kapang atau telah menjadi tempe dan sudah
dikeringkan, dicampur dengan larutan garam kemudian diperam selama 3 sampai 4 minggu
bahkan kadang-kadang ada yang lebih dari sebulan. Konsentrasi larutan garam yang biasa
dipakai adalah sekitar 20 sampai 22 persen.
Selama proses fermentasi garam, setiap hari dilakukan pengadukan dan penjemuran.
Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan
terutama mikroba pembusuk. Pada waktu fermentasi dalam larutan garam, enzim yang
dihasilkan pada waktu fermentasi kapang akan bekerja lebih sempurna dalam memecah
komponen-komponen yang terdapat pada kedelai. Asam-asam organik yang terbentuk selama
fermentasi, akan dapat mengurangi rasa asin yang disebabkan oleh garam.
Pada pembuatan kecap tradisonal di Indonesia, setelah proses penyaringan dilanjutkan
dengan proses pemasakan. Pada saat itu ditambahkan gula merah atau gula aren. Pemasakan
dilanjutkan sampai diperoleh produk dengan konsistensi tertentu (agak kental). Pada tahap
pemasakan ini pula dilakukan penambahan bumbu-bumbu seperti daun salam, pekak dan
yang lain-lainnya.
2.5.2 Perubahan yang Terjadi Selama Fermentasi
Proses fermentasi baik fermentasi kapang maupun fermentasi garam akan terjadi
perubahan-perubahan baik secara fisik maupun kimiawi karena aktifitas dari mikroba
tersebut.Selama fermentasi kapang, kapang yang berperan akan memproduksi enzim seperti
misalnya enzim amilase, protease dan lipase. Dengan adanya kapang tersebut maka akan
terjadi pemecahan komponen-komponen dari bahan tersebut.
Produksi enzim dari kapang dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah
waktu lamanya fermentasi atau waktu inkubasi. Bila waktunya terlalu lama maka akan terjadi
pembentukan spora kapang yang berlebihan dan ini akan menyebabkan terbentuknya cita rasa
yang tidak diinginkan.
Selama proses fermentasi garam, enzim-enzim hasil dari fermentasi kapang akan
memecah komponen-komponen gizi dari kedelai menjadi senyawa-senyawa yang lebih
sederhana. Protein kedelai akan diubah menjadi asam amino, sedangkan karbohidrat dan gula
akan diubah menjadi asam organik. Senyawa-senyawa tersebut kemudian akan bereaksi
dengan senyawa lainnya yang merupakan hasil dari proses fermentasi asam laktat dan
alkohol. Reaksi antara asam-asam organik dan etanol atau alkohol lainnya akan menghasilkan
ester-ester yang merupakan senyawa pembentuk cita rasa dan aroma. Dan adanya reaksi
antara asam amino dengan gula akan menyebabkan terjadinya pencoklatan yang akan
mempengaruhi mutu produk secara keseluruhan.

2.5.3 Manfaat Kecap


Kecap yang telah difortifikasi dengan mineral iodium, zat besi, dan vitamin A, saat ini
dengan mudah dapat kita jumpai di pasaran. Hal ini tentu memberikan sumbangan yang
sangat berarti bagi pengentasan pelbagai masalah yang menyangkut gizi. Misalnya gangguan
akibat kekurangan iodium (GAKI), anemia gizi akibat defisiensi zat besi, kekurangan vitamin
A yang berdampak luas terhadap pemeliharaan sistem penglihatan (mencegah masalah
kebutaan), serta peningkatan sistem pertahanan tubuh terhadap serangan berbagai penyakit
infeksi.
Sebenarnya bukan dari kecapnya kita mendapatkan tambahan nilai gizi, tetapi dari makanan
yang berbumbu kecap tersebut. Dengan demikian, kecap memberikan andil yang cukup besar
dalam meningkatkan asupan zat gizi dalam kehidupan kita sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA
ANNY RAHAYU, SURANTO , TJAHJADI PURWOKO
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126.
Analisis Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada Pembuatan Kecap Lamtoro Gung
(Leucaena leucocephala) terfermentasi Aspergillus oryzae.

Anda mungkin juga menyukai