Definisi
TB paru adalah penyakit infeksi kronik pada paru yang disebabkan oleh basil Mycobacterium
tuberculosis, ditandai dengan pembentukan granuloma dan adanya reaksi sensitifitas tipe lambat.
Terminologi
Untuk kasus TB paru terdapat beberapa terminologi yang dikeluarkan oleh depkes yang bisa
digunakan yaitu antara lain:
Istilah lain untuk penderita TB paru BTA positif ini adalah TB aktif.
Istilah lain untuk penderita TB paru BTA negatif ini adalah TB paru tersangka atau
TB nonaktif.
c. Bekas TB Paru
Penderita TB paru dengan kriteria sebagai berikut:
- Bakteriologis (sputum BTA dan kultur) negatif
- Gejala klinis tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru yang ditinggalkan
- Radiologis menunjukkan gambaran lesi TB yang aktif, terlebih bila gambaran
serial foto toraks tidak mengalami perubahan.
Diagnosa
1. Gejala klinis
Gejala klinis sangat bervariasi dari tidak ada gejala sama sekali sampai gejala yang
sangat berat seperti gangguan pernapasan dan gangguan mental. Secara garis besar gejala
dibagi atas gejala sistemik (umum) dan gejala respiratorik (paru).
- Gejala sistemik
Gejala ini mencakup demam lama pada malam hari, keringat malam, badan terasa
lemah, kehilanga nafsu makan dan penurunan berat badan.
- Gejala respiratorik
Gejalanya antara lain: batuk, sesak napas dan rasa nyeri pada dada. Batuk
biasanya lebih dari 3 minggu, kering sampe produktif dengan sputum yang
bersifat mukoid atau purulen, batuk darah dapat terjadi bila ada pembuluh darah
yang robek, sesak napas biasanya terjadi pada penyakit yang sudah lanjut.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik amat tergantung pada luas dan kelainan struktural paru. Pemeriksaan
fisik dapat normal pada lesi minimal, kelainan umumnya terletak pada apikal/posterior
lobus atas dan daerah apikal lobus bawah.
Kelainan yang dapat ditemukan antara lain:
- Bentuk dada yang tidak simetris, pergerakan paru yang tertinggal
- Peningkatan stem fremitus
- Redup pada perkusi
- Suara napas bronkial, amforik, vesikuler melemah, ronkhi basah
- Tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum
Infiltrat pada bagian atas paru : tanda-tanda adanya lendir/cairan di bagian atas paru
sehingga bunyi inspirasi lebih kuat daripada ekspirasi yang ditunjukkan dengan adanya bercak-
bercak dengan densitas sedang dan batas tidak tegas pada pemeriksaan radiologi mengakibatkan
ronki basah pada apeks paru.
M. Tuberkulosis masuk melalui inhalasi droplet bakteri mencapai alveolus terjadi
reaksi antigen antibodi muncul reaksi radang terjadi pengeluaran mukus akumulasi
mucus.
4. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan BTA
Pemeriksaan sputum BTA mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis TB paru. Dahak yang terbaik adalah dahak yang diambil pada pagi sebelum
makan, kental, purulen dengan jumlah minimal 3 5 ml. Dahak tersebut diperiksa
tiga hari berturut-turut dengan pewarnaan Ziel Neellsen atau Kinyoun Gabbet. Untuk
lebih efisien, Depkes RI menganjurkan pengambilan dahak sewaktu, dahak pagi dan
dahak sewaktu yang dikumpulkan hanya dalam 2 hari.
Kesulitan mendapatkan dahak dapat diatasi dengan minum satu gelas teh manis atau
tablet GG 200 mg pada malam hari sebelum tidur. Esok harinya penderita disuruh
melakukan aktifitas ringan dan menarik napas dalam beberapa kali, bila merasa akan
batuk, napas ditahan selama mungkin baru dibatukkan. Pengeluaran dahak dapat juga
di induksi dengan inhalasi larutan garam hipertonik atau dengan broncial washing,
memperlihatkan peningkatan jumlah kuman yang bermakna setelah pemberian 1
tablet GG (200 mg) pada 75 penderita (55,1%) TB paru yang diperiksanya.
BTA dinyatakan positif bila BTA dijumpai setidaknya pada dua dari tiga pemeriksaan
BTA yang dilakukan. Pemeriksaan ulang BTA harus dilakukan bila BTA hanya
dijumpai pada 1 kali pemeriksaan, adanya BTA pada pemeriksaan ulang (walaupun
satu kali) sudah cukup untuk menegakkan diagnosis BTA positif.
Sensitifitas sputum BTA cukup rendah, bervariasi antara 9,6-24,4, sensitifitas ini akan
meningkat antara 50 80% bila sarana dan kemampuan petugas laboratoriumnya
baik.
b. Kultur
Pemeriksaan kultur mempunyai sensitifitas sekitar 20 30 %, superior dibanding
pemeriksaan BTA langsung, namaun membutuhkan waktu yang lebih lama (6-8
minggu). Metode yang paling sering dipakai adalah metode konvensional seperti
Lowenstein Jensen, Ogawa, dan Kudoh, pembacaan jumlah kuman yang tumbuh
didalam kultur dinyatakan dengan negatif sampai 4+, semakin tinggi nilai positifnya
mencerminkan semakin banyak kuman yang tumbuh. Teknik lain yang banyak
dipakai belakangan ini adalah teknik radiometric (BACTEC), dengan teknik ini
waktu yang dibutuhkan untuk identifikasi kuman menjadi lebih cepat, sekitar 12 20
hari.
Pemeriksaan kultur dan uji resistensi tidak dilakukan secara rutin. Pemeriksaan ini
diutamakan pada kasus dengan riwayat OAT sebelumnya (kasus kambuh dan kasus
gagal) dan pada daerahdengan kasus resistensi OAT yang tinggi.
c. Darah Rutin
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang spesifik untuk tuberkulosis paru. Kelainan yang
dapat dijumpai adalah anemia, peningkatan laju endap darah, peningkatan leukosit
dan limfositosis.
Epidemiologi
Jumlah kasus TB HIV meningkat2 kali lipat pada tahun2007. Th 2006 : 0,7 juta, Th 2007 : 1,37
juta.
Daerah dengan prevalensi tinggi:
- Sub-Sahara Afrika (28, 5 juta)
- Indonesia ; beberapa daerah tertentu di:Papua, Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat, Bali,
Kepri, Kalimantan Barat, Jawa Tengah dan Sumatra Utara
Faktor Risiko
A. USIA
Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada Panti penampungan orang- orang
gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberculosis aktif meningkat
secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberculosis paru biasanya mengenai usia
dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif
yaitu 15-50 tahun.
B. JENIS KELAMIN
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah
penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada
wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita
TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada
wanita menurun 0,7%. TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita
karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan
terjangkitnya TB paru dimana Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru
sebanyak 2,2 kali.
C. PENYAKIT PENYERTA
Umumnya penderita TB dalam keadaan malnutrisi dengan berat badan sekitar 30-50 kg atau
indeks masa tubuh kurang dari 18,5 pada orang dewasa. Sementara berat badan yang lebih kecil
85% dari berat badan ideal kemungkinan mendapat TB adalah 14 kali lebih besar dibandingkan
dengan berat badan normal. Ini yang menjadi pemikiran bahwa malnutrisi atau penurunan berat
badan telah menjadi faktor utama peningkatan resiko TB menjadi aktif. Pola makan orang
Indonesia yang hampir 70% karbohidrat dan hanya 10% protein yang pada penyakit kronis selalu
disertai dengan tidak selera makan, tidak mau makan, tidak bisa makan atau tidak mampu
membeli makanan yang mempunyai kandungan gizi baik (kurang protein), sehingga penderita ini
mempunyai status gizi yang buruk.
Selain faktor gizi, penyakit seperti Diabetes Mellitus (DM) dan infeksi HIV merupakan salah
satu faktor risiko yang tidak berketergantungan untuk berkembangnya infeksi saluran napas
bagian bawah. Prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali disbanding non DM dan aktivitas
kuman tuberkulosis meningkat 3 kali pada DM berat disbanding DM ringan.
Penderita Tuberkulosis menular (dengan sputum BTA positif) yang juga mengidap HIV
merupakan penularan kuman tuberkulosis tertinggi. Tuberkulosis diketahui merupakan infeksi
oportunistik yang paling sering ditemukan pada pasien dengan reaksi seropositif. Apabila
seseorang dengan seropositif tertular kuman ini maka karena kekebalannya rendah, besar sekali
kemungkinannya akan langsung menderita Tuberkulosis. Hal ini berbeda sekali dengan orang
normal atau mereka dengan seronegatif, karena kuman ini yang masuk akan dihambat oleh reaksi
imunitas yang ada dalam tubuhnya. Disamping itu penyakit tuberkulosis pada mereka dengan
seropositif cepat berkembang kearah perburukan.
F. PERILAKU
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TB Paru yang
kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap
dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang di
sekelilingnya
HIV merupakan faktor risiko yang
paling kuat bagi yang terinfeksi TB
menjadi sakit TB. Infeksi HIV
mengakibatkan kerusakan luas
sistem daya tahan tubuh seluler
(Cellular immunity), sehingga jika
terjadi infeksi oportunistik, seperti
tuberkulosis, maka yang
bersangkutan akan menjadi sakit
parah bahkan bisa mengakibatkan
kematian. Bila jumlah orang
terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan
meningkat pula.
Riwayat alamiah penyakit perlu dipelajari. Pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit sama
pentingnya dengan kausa penyakit untuk upaya pencegahan dan pengendalian penyakit. Dengan
mengetahui perilaku dan karakteristik masing-masing penyakit maka bisa dikembangkan
intervensi yang tepat untuk mengidentifikasi maupun mengatasi problem penyakit tersebut
(Gordis, 2000; Wikipedia, 2010).
Perjalanan penyakit dimulai dengan terpaparnya individu sebagai penjamu yang rentan
(suseptibel) oleh agen kausal. Paparan (exposure) adalah kontak atau kedekatan (proximity)
dengan sumber agen penyakit. Konsep paparan berlaku untuk penyakit infeksi maupun non-
infeksi. Contoh, paparan virus hepatitis B (HBV) dapat menginduksi terjadinya hepatitis B,
paparan stres terus-menerus dapat menginduksi terjadinya neurosis, paparan radiasi menginduksi
terjadinya mutasi DNA dan menyebabkan kanker, dan sebagainya. Arti induksi itu sendiri
merupakan aksi yang mempengaruhi terjadinya tahap awal suatu hasil, dalam hal ini
mempengaruhi awal terjadinya proses patologis. Jika terdapat tempat penempelan (attachment)
dan jalan masuk sel (cell entry) yang tepat maka paparan agen infeksi dapat menyebabkan invasi
agen infeksi dan terjadi infeksi. Agen infeksi melakukan multiplikasi yang mendorong terjadinya
proses perubahan patologis, tanpa penjamu menyadarinya. Periode waktu sejak infeksi hingga
terdeteksinya infeksi melalui tes laboratorium/ skrining disebut window period. Dalam
window period individu telah terinfeksi, sehingga dapat menularkan penyakit, meskipun
infeksi tersebut belum terdeteksi oleh tes laboratorium. Implikasinya, tes laboratorium
hendaknya tidak dilakukan selama window period, sebab infeksi tidak akan terdeteksi. Contoh,
antibodi HIV (human immuno-deficiency virus) hanya akan muncul 3 minggu hingga 6 bulan
setelah infeksi. Jika tes HIV dilakukan dalam window period, maka sebagian besar orang tidak
akan menunjukkan hasil positif, sebab dalam tubuhnya belum diproduksi antibodi. Karena itu tes
HIV hendaknya ditunda hingga paling sedikit 12 minggu (3 bulan) sejak waktu perkiraan
paparan. Jika seorang telah terpapar oleh virus tetapi hasil tes negatif, maka perlu
dipertimbangkan tes ulang 6 bulan kemudian. Selanjutnya berlangsung proses promosi pada
tahap preklinis, yaitu keadaan patologis yang ireversibel dan asimtomatis ditingkatkan derajatnya
menjadi keadaan dengan manifestasi klinis
(Kleinbaum et al., 1982; Rothman, 2002). Melalui proses promosi agen kausal akan
meningkatkan aktivitasnya, masuk dalam formasi tubuh, menyebabkan transformasi sel atau
disfungsi sel, sehingga penyakit menunjukkan tanda dan gejala klinis. Dewasa ini telah
dikembangkan sejumlah tes skrining atau tes laboratorium untuk mendeteksi keberadaan tahap
preklinis pemyakit (US Preventive Services Task Force, 2002; Barratt et al., 2002; Champion
dan Rawl, 2005). Waktu sejak penyakit terdeteksi oleh skrining hingga timbul manifestasi klinik,
disebut sojourn time, atau detectable preclinical period (Brookmeyer, 1990; Last, 2001; Barratt
et al., 2002). Makin panjang sojourn time, makin berguna melakukan skrining, sebab makin
panjang tenggang waktu untuk melakukan pengobatan dini (prompt treatment) agar proses
patologis tidak termanifestasi klinis. Kofaktor yang mempercepat progresi menuju penyakit
secara klinis pada sojourn time (detectable preclinical period) disebut akselerator atau progresor
(Achenbach et al., 2005).
Waktu yang diperlukan mulai dari paparan agen kausal hingga timbulnya manifestasi
klinis disebut masa inkubasi (penyakit infeksi) atau masa laten (penyakit kronis). Pada fase ini
penyakit belum menampakkan tanda dan gejala klinis, disebut penyakit subklinis (asimtomatis).
Masa inkubasi bisa berlangsung dalam hitungan detik pada reaksi toksik atau hipersentivitas.
Contoh,gejala kolera timbul beberapa jam hingga 2-3 hari sejak paparan dengan Vibrio cholera
yang toksigenik. Pada penyakit kronis masa inkubasi (masa laten) bisa berlangsung sampai
beberapa dekade. Kovariat yang berperan dalam masa laten (masa inkubasi), yakni faktor yang
meningkatkan risiko terjadinya penyakit secara klinis, disebut faktor risiko. Sebaliknya, faktor
yang menurunkan risiko terjadinya penyakit secara klinis disebut faktor protektif. Selanjutnya
terjadi inisiasi penyakit klinis. Pada saat ini mulai timbul tanda (sign) dan gejala (symptom)
penyakit secara klinis, dan penjamu yang mengalami manifestasi klinis disebut kasus klinis.
Gejala klinis paling awal disebut gejala prodromal. Selama tahap klinis, manifestasi klinis akan
diekspresikan hingga terjadi hasil akhir/ resolusi penyakit, baik sembuh, remisi, perubahan
beratnya penyakit, komplikasi, rekurens, relaps, sekuelae, disfungsi sisa, cacat, atau kematian.
Periode waktu untuk mengekspresikan penyakit klinis hingga terjadi hasil akhir penyakit disebut
durasi penyakit. Kovariat yang mempengaruhi progresi ke arah hasil akhir penyakit, disebut
faktor prognostic (Kleinbaum et al., 1982; Rothman, 2002). Penyakit penyerta yang
mempengaruhi fungsi individu, akibat penyakit, kelangsungan hidup, alias prognosis penyakit,
disebut ko-morbiditas (Mulholland, 2005). Contoh, TB dapat menjadi ko-morbiditas HIV/AIDS
yang meningkatkan risiko kematian karena AIDS pada wanita dengan HIV/AIDS (Lopez-Gatell
et al., 2007).
Sumber Acuan:
Danusantoso, Halim. 2010. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : EGC.
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2002. Naskah Lengkap WorkShop Pulmonology PIT
IV Ilmu Penyakit Dalam PAPDI Sumbagsel.
Murti, Bhisma. Riwayat Alami Perjalanan Penyakit. Diakses pada
http://fk.uns.ac.id/static/materi/Riwayat_Alamiah_Penyakit_-_Prof_Bhisma_Murti.pdf
tanggal 11 Maret 2014
Price, Sylvia Anderson & Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC.