KDRT
KDRT
OLEH : KEUMALAHAYATI
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya sampaikan kehadirat Allah SWT bahwa saya telah menyelesaikan artikel yang
berjudul: Kekerasan pada istri dalam rumah tangga Berdampak Terhadap Kesehatan reproduksi.
Walaupun masih jauh dari kesempurnaan, namun saya bersyukur dapat selesai tepat waktu dan
untuk itu kami mengharapkan saran yang bersifat mem-bangun untuk perbaikan artikel ini.
Pada kesempatan yang berbahagia ini kami ucapkan terima kasih kepada:
1 Ibu Rr. Tutik Sri Hariyati, SKp. MARS selaku koordinator mata ajar Sistem Keperawatan
dan pembimbing Informasi Manajemen yang telah memberi kesempatan kami belajar dalam
pembuatan artikel.
Dengan segala kerendahan hati kami berharap artikel ini berguna dan bermanfaat bagi yang
memerlukannya.
Penulis
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN................................................................................................ 1
A. Latar Belakang..................................................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan.................................................................................................. 5
II. PEMBAHASAN................................................................................................. 6
Rumah tangga...................................................................................................... 9
A Kesimpulan .................................................................................................... 18
B Saran ........................................................................................................... 18
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang
kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga
pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga,
sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman
kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja,
tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.
Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan
tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena beberapa
alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri
dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan
dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak
kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga,
keempat: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu
Perspektif gender beranggapan tindak kekerasan terhadap istri dapat dipahami melalui konteks
sosial. Menurut Berger (1990), perilaku individu sesungguhnya merupakan produk sosial,
dengan demikian nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat turut membentuk prilaku
individu artinya apabila nilai yang dianut suatu masyarakat bersifat patriakal yang muncul adalah
superioritas laki-laki dihadapan perempuan, manifestasi nilai tersebut dalam kehidupan keluarga
Mave Cormack dan Stathern (1990) menjelaskan terbentuknya dominasi laki-laki atas
perempuan ditinjau dari teori nature and culture. Dalam proses transformasi dari nature ke
culture sering terjadi penaklukan. Laki-laki sebagai culture mempunyai wewenang menaklukan
dan memaksakan kehendak kepada perempuan (nature). Secara kultural laki-laki ditempatkan
pada posisi lebih tinggi dari perempuan, karena itu memiliki legitimasi untuk menaklukan dan
memaksa perempuan. Dari dua teori ini menunjukkan gambaran aspek sosiokultural telah
membentuk social structure yang kondusif bagi dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga
Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan yang
dihadapi. Ini memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada istri yang
diperbuat oleh suami. Kenyataan ini menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap
tindakan yang dilakukan suami dalam ikatan pernikahan. Istri memendam sendiri persoalan
tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan yang keliru,
suami dominan terhadap istri. Rumah tangga, keluarga merupakan suatu institusi sosial paling
kecil dan bersifat otonom, sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan
kekuasaan publik.
Campur tangan terhadap kepentingan masing-masing rumah tangga merupakan perbuatan yang
dalam rumah tangga. Menurut Murray A. Strause (1996), bahwa kekerasan dalam rumah tangga
merupakan moralitas pribadi dalam rangka mengatur dan menegakkan rumah tangga sehingga
Di Indonesia data tentang kekerasan terhadap perempuan tidak dikumpulkan secara sistematis
pada tingkat nasional. Laporan dari institusi pusat krisis perempuan, menunjukkan adanya
mengindikasikan 72% dari perempuan melaporkan tindak kekerasan sudah menikah dan
pelakunya selalu suami mereka. Mitra Perempuan (2005) 80% dari perempuan yang melapor
pelakunya adalah para suami, mantan suami, pacar laki-laki, kerabat atau orang tua, 4,5% dari
perempuan yang melapor berusia dibawah 18 tahun. Pusat Krisis Perempuan di Jakarta (2005);
9 dari 10 perempuan yang memanfaatkan pelayanan mengalami lebih dari satu jenis kekerasan
(fisik, fisiologi, seksual, kekerasan ekonomi, dan pengabaian), hampir 17% kasus tersebut
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa Womsis Crisis Centre (RAWCC, 1995)
tentang kekerasan dalam rumah tangga terhadap 262 responden (istri) menunjukan 48%
perempuan (istri) mengalami kekerasan verbal, dan 2% mengalami kekerasan fisik. Tingkat
pendidikan dan pekerjaan suami (pelaku) menyebar dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi
(S2); pekerjaan dari wiraswasta, PNS, BUMN, ABRI. Korban (istri) yang bekerja dan tidak
bekerja mengalami kekerasan termasuk penghasilan istri yang lebih besar dari suami (RAWCC,
1995).
Hasil penelitian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan oleh Flower (1998)
mengidentifikasi dari 100 responden tersebut ada 76 orang merespon dan hasilnya 37 orang
mengatakan pernah mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berupa
psikologis (32 orang), kekerasan seksual (11 orang), kekerasan ekonomi (19 orang), kekerasan
fisik (11 orang). Temuan lain sebagian responden tidak hanya mengalami satu kekerasan saja.
Dari 37 responden, 20 responden mengalami labih dari satu kekerasan, biasanya dimulai dengan
perbedaan pendapat antara istri (korban) dengan suami lalu muncul pernyataan-pernyataan yang
menyakitkan korban, bila situasi semakin panas maka suami melakukan kekerasan fisik.
Dari penelitian ini terungkap bahwa sebagai suami yang melakukan tindak kekerasan kepada istri
meyakini kebenaran tindakannya itu, karena prilaku istri dianggap tidak menurut kepada suami,
melalaikan pekerjaan rumah tangga, cemburu, pergi tanpa pamit. Hal ini diyakini oleh pihak
istri, sehingga mereka mengalami kekerasan dari suaminya dan cenderung diam tidak
membantah.
Penelitian yang mengkaitkan tindak kekerasan pada istri yang berdampak pada kesehatan
reproduksi masih sedikit. Menurut Hasbianto (1996), dikatakan secara psikologi tindak
kekerasan pada istri dalam rumah tangga menyebabkan gangguan emosi, kecemasan, depresi
yang secara konsekuensi logis dapat mempengaruhi kesehatan reproduksinya. Menurut model
Dixon-Mudler (1993) tentang kaitan antara kerangka seksualitas atau gender dengan kesehatan
reproduksi; pemaksaan hubungan seksual atau tindak kekerasan terhadap istri mempengaruhi
kesehatan seksual istri. Jadi tindak kekerasan dalam konteks kesehatan reproduksi dapat
dianggap tindakan yang mengancam kesehatan seksual istri, karena hal tersebut menganggu
psikologi istri baik pada saat melakukan hubungan seksual maupun tidak.
Dari latar belakang ini, penulis tertarik untuk membahas lebih jauh mengenai tindakan kekerasan
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum: mampu memahami secara menyeluruh tentang tindak kekerasan pada istri
2. Tujuan Khusus:
a. Dapat mengidentifikasi bentuk tindakan kekerasan dan kategori pada istri dalam rumah
tangga.
b. Dapat menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadi tindak kekerasan dalam rumah
tangga.
d. Dapat menjelaskan dampak tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan repro-duksinya.
Komnas Perempuan (2001) menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah segala
tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan yang berakibat atau kecenderungan
untuk mengakibatkan kerugian dan penderitaan fisik, seksual, maupun psikologis terhadap
perempuan, baik perempuan dewasa atau anak perempuan dan remaja. Termasuk didalamnya
kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dapat terjadi dalam lingkungan keluarga atau
masyarakat.
Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-undang RI no. 23 tahun 2004 adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk
Tindakan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan
yang seringkali terjadi pada perempuan dan terjadi di balik pintu tertutup. Tindakan ini
seringkali dikaitkan dengan penyiksaan baik fisik maupun psikis yang dilakukan oleh orang yang
masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi, dimana laki-laki adalah
superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol
perempuan. Hal ini menjadikan perempuan tersubordinasi. Di samping itu, terdapat interpretasi
yang keliru terhadap stereotipi jender yang tersosialisasi amat lama dimana perempuan dianggap
lemah, sedangkan laki-laki, umumnya lebih kuat. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Sciortino
dan Smyth, 1997; Suara APIK,1997, bahwa menguasai atau memukul istri sebenarnya
Kecenderungan tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadinya karena faktor dukungan sosial
dan kultur (budaya) dimana istri di persepsikan orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan
cara apa saja. Hal ini muncul karena transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu,
istri harus nurut kata suami, bila istri mendebat suami, dipukul. Kultur di masyarakat suami lebih
dominan pada istri, ada tindak kekerasan dalam rumah tangga dianggap masalah privasi,
Saat ini dengan berlakunya undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga disetujui tahun
2004, maka tindak kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya urusan suami istri tetapi sudah
menjadi urusan publik. Keluarga dan masyarakat dapat ikut mencegah dan mengawasi bila
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul,
memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-
komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar,
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa
melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan
pihak istri.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut
hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini
adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri (http://kompas.com., 2006).
Rumah tangga
Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masya-rakat dan
keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence)
sebagai berikut:
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita
(istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika
terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga
laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa
punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya,
diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau
ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum
bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
Kesehatan reproduksi menurut ICPD (1994) adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan
sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang
Masalah kesehatan perempuan merupakan masalah penting dan serius karena sejak dua dekade
terakhir Angka Kematian Ibu (AKI) tidak pernah turun. Berdasarkan hasil penelitian SKRT
(2000) AKI sebesar 396 / 100000, Aborsi tidak aman berkontribusi terhadap AKI : 11-17 %
(Herdayati, 2002), bisa mencapai 50 % (Azrul Azwar, 2003). Angka aborsi 2-2,3 juta/tahun
(Utomo, 2001), pelaku Aborsi 87 % wanita kawin, penyebab : 57,5 % Psikososial dan 36 %
dibanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan
makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan. Namun, tidak jarang akibat
tindak kekerasan terhadap istri juga meng-akibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara
biologis yang pada akhirnya meng-akibatkan terganggunya secara sosiologis. Istri yang teraniaya
sering mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha menyembunyikan bukti penganiayaan
mereka.
Sehubungan dengan dampak tindak kekerasan terhadap kehidupan seksual dan repro-duksi
perempuan, penelitian yang dilakukan oleh Rance (1994) yang dikutip oleh Heise, Moore dan
Toubia (1995) kekerasan dan dominasi laki-laki dapat membatasi dan membentuk kehidupan
seksual dan reproduksi perempuan. Selain itu, laki-laki juga sangat berpengaruh dalam
pengambilan keputusan tentang alat kontrasepsi yang dipakai oleh pasangannya. Selanjutnya
penelitian yang dilakukan di Norwegia oleh Schei dan Bakketeig (1989) yang dikutip oleh
Heise, Moore dan Toubia (1995) juga menyatakan bahwa perempuan yang tinggal dengan
yang lebih berat ketim-bang dengan yang tinggal dengan pasangan/suami normal ; bahkan
problem gineko-logis ini bisa berlanjut dalam rasa sakit terus menerus.
Tindak kekerasan terhadap istri perlu diungkap untuk mencari alternatif pemberdayaan bagi istri
agar terhindar dari tindak kekerasan yang tidak semestinya terjadi demi terwujudnya hak
Di seluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil mengalami kekerasan fisik dan seksual
oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran / abortus, persalinan imatur dan bayi
Pada saat bersalin, perempuan akan mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi
uterus, persalinan lama, persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari kehamilan dapat
melahirkan bayi dengan BBLR, terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik atau bayi lahir mati.
Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah tangga
diantaranya adalah perubahan pola fikir, emosi dan ekonomi keluarga. Dampak terhadap pola
fikir istri. Tindak kekerasan juga berakibat mempengaruhi cara berfikir korban, misalnya tidak
mampu berfikir secara jernih karena selalu merasa takut, cenderung curiga (paranoid), sulit
mengambil keputusan, tidak bisa percaya kepada apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban
kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan yang
tidak menjadi korban termasuk tekanan mental, gangguan fisik, pusing, nyeri haid, terinfeksi
Dampak terhadap ekonomi keluarga. Dampak lain dari tindakan kekerasan meskipun tidak selalu
adalah persoalan ekonomi, menimpa tidak saja perempuan yang tidak bekerja tetapi juga
perempuan yang mencari nafkah. Seperti terputusnya akses ekono-mi secara mendadak,
kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga untuk hunian, kepindahan,
Dampak terhadap status emosi istri. Istri dapat mengalami depresi, penyalahgunaan / pemakaian
zat-zat tertentu (obat-obatan dan alkohol), kecemasan, percobaan bunuh diri, keadaan pasca
Isu penindasan terhadap wanita terus menerus menjadi perbincangan hangat. Salah satunya
adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perjuangan penghapusan KDRT nyaring
disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan negara yang meratifikasi konvensi mengenai
Desember 1993 dan telah di artifikasi oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia telah
Tangga.
Perjuangan penghapusan KDRT berangkat dari fakta banyaknya kasus KDRT yang terjadi
dengan korban mayoritas perempuan dan anak-anak. Hal ini berdasarkan sejumlah temuan
tersebut, perjuangan perempuan Indonesia, terutama yang tergabung dalam Jaringan Advokasi
dalam rumah tangga yaitu pertama faktor pembelaan atas kekuasaan laki-laki dimana laki-laki
dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu
mengatur dan mengendalikan wanita. Kedua, faktor Diskriminasi dan pembatasan dibidang
ekonomi, dimana diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja
mengakibatkan perempuan (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan
pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan. Ketiga, faktor beban pengasuhan anak
dimana istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.
Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri
sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga. Keempat yaitu faktor wanita sebagai anak-anak,
dimana konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan
keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita.
Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan
kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib, Kelima faktor orientasi peradilan pidana pada
laki-laki, dimana posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan
oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering
ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya
legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni
keluarga.
Penerapan sistem itu telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan asasi manusia. Dari sisi
ekonomi misalnya, sistem kapitalisme mengabaikan kesejahteraan seluruh umat manusia. Sistem
yang diongkosi utang luar negeri, dan merajalelanya perilaku kolusi dan korupsi pada semua lini
pemerintahan, telah meremukkan sendi-sendi perekonomian bangsa. Tak kurang 70% penduduk
Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak
karena negara mengabaikan pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Himpitan ekonomi inilah
yang menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk munculnya
KDRT. Banyak kasus KDRT menimpa keluarga miskin, dipicu ketidakpuasan dalam hal
ekonomi.
Dari sisi hukum, ketiadaan sanksi yang tegas dan membuat jera pelaku telah melanggengkan
kekerasan atau kejahatan di masyarakat. Seperti pelaku pemerkosaan yang dihukum ringan,
pelaku perzinaan yang malah dibiarkan, dan lain lain. Dari sisi sosial-budaya, gaya hidup
hedonistik yang melahirkan perilaku permisif, kebebasan berperilaku dan seks bebas, telah
santun. Ini akibat rendahnya kesadaran pemerintah dalam penanganan pendidikan, sehingga
kapitalisasi pendidikan hanya berpihak pada orang-orang berduit saja. Lahirlah kebodohan
secara sistematis pada masyarakat. dan kemerosotan pemikiran masyarakat, sehingga
Untuk persoalan ini, dibutuhkan penerapan hukum yang menyeluruh oleh negara. Kalau tidak
akan terjadi ketimpangan. Sebagai contoh sulit untuk menghilangkan pelacuran, kalau faktor
ekonomi tidak diperbaiki. Sebab, tidak sedikit orang melacur karena persoalan ekonomi.
Kekerasaan dalam rumah tangga, kalau hanya dilihat dari istri harus mengabdi kepada suami,
pastilah timpang. Padahal dalam Islam, suami diwajibkan berbuat baik kepada istri. Kekerasaan
yang dilakukan oleh suami seperti menyakiti fisiknya bisa diberikan sanksi diyat. Disinilah letak
kekerasan dalam rumah tangga dan menurut pasal 12 ayat (1) menyelenggarakan advokasi dan
sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi tanggung jawab pemerintah.
Namun, nyatanya, sosialisasi dan advokasi kekerasan dalam rumah tangga masih minim. Masih
banyak masyarakat yang belum mengetahui apalagi memahami UU PKDRT, bahkan di kalangan
Sehubungan dengan banyaknya hal baru dalam UU PKDRT yang tidak ditemukan dalam UU
lain, seperti perlindungan sementara dan perintah perlindungan, juga adanya tindak pidana
berupa jenis kekerasan lain di luar kekerasan fisik, diperlukan pendidikan dan pelatihan yang
memadai bagi aparat penegak hukum dan pekerja sosial untuk menyamakan persepsi.
Di samping itu, diperlukan sosialisasi yang memadai bagi masyarakat luas, terutama bagi para
pihak yang berpotensi melakukan KDRT, sebagai upaya pencegahan. Bagi pihak yang mungkin
menjadi korban KDRT, sosialisasi perlu, agar bila terjadi KDRT, ia dapat memperbaiki nasibnya
UU PKDRT perlu direvisi pada bagian-bagian yang rancu dan perlu penambahan jenis
kekerasan, seperti kekerasan ekonomi dan kekerasan sosial. Selain itu, diperlukan harmonisasi
peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan napas kesetaraan gender, antara lain
Penegakan hukum UU PKDRT tidak akan terlepas dari penegakan hukum pada umumnya.
Apabila negara tidak dapat menciptakan supremasi hukum, perlindungan yang diatur dalam UU
PKDRT hanya akan berupa law in book (teori) belaka, sedangkan dalam law in action (praktik)
akan sulit terwujud. Oleh karena itu, supremasi hukum harus ditegakkan.
1 Merekomendasikan tempat perlindungan seperti crisis center, shelter dan one stop crisis
center.
perawat dapat berperan dengan fokus meningkatkan harga diri korban, memfasilitasi ekspresi
berperan penting dalam upaya membantu korban kekerasan diantaranya melalui upaya
pencegahan primer terdiri dari konseling keluarga, modifikasi lingkungan sosial budaya dan
5 Mengadakan pelatihan mengenai perlindungan pada korban tindak kekerasan dalam rumah
A. KESIMPULAN
1 Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapat
perhatian dan jangkauan hukum pidana. Bentuk kekerasannya dapat berupa kekerasan fisik,
2 Faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga yaitu
pembelaan atas kekuasaan laki-laki, diskriminasi dan pembatasan bidang ekonomi, beban
pengasuhan anak, wanita sebagai anak-anak, dan orientasi peradilan pidana pada laki-laki.
3 Dampak tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan reproduksi dapat mempengaruhi
psikologis ibu sehingga terjadi gangguan pada saat kehamilan dan bersalin, serta setelah
4 Implikasi keperawatan yang harus dilakukan adalah sesuai dengan peran perawat antara lain
5 Fenomena gunung es KDRT mulai terungkap setelah undang-undang KDRT tahun 2004
diberlakukan, dimana KDRT yang sebelumnya masalah privacy manjadi masalah publik
ditandai laporan kasus KDRT semakin meningkat setiap tahunnya dan pelaku mendapat
hukuman pidana walaupun saat ini kultur Indonesia masih dominasi laki-laki.
B. SARAN
menyadarkan dan membuka mata serta hati untuk tidak berdiam diri bila ada kasus KDRT lebih
ditingkatkan pengawasannya.
Meningkatkan peran perawat untuk ikut serta menangani kasus KDRT dan menekan dampak
yang terjadi pada kesehatan repsoduksinya dengan memfasilitasi setiap Rumah Sakit memiliki
Abrar Ana Nadhya, Tamtari Wini (Ed) (2001). Konstruksi Seksualitas Antara Hak
dan Kekuasaan. Yogyakarta: UGM.
Dep. Kes. RI. (2003). Profil Kesehatan Reproduksi Indonesia 2003. Jakarta: Dep.
Kes. RI
Hasbianto, Elli N. (1996). Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Potret Muram Kehidupan
Kompas. (2007). Kekerasan Rumah Tangga Bukan Lagi Urusan Suami Istri. Diambil
pada tanggal 25 Maret 2007 dari http://kompas.com.
Monemi Kajsa Asling et.al. (2003). Violence Againts Women Increases The Risk Of
Infant and Child Mortality: a case-referent Study in Niceragua. The
International Journal of Public Health, 81, (1), 10-18.
WHO. (2006). Menggunakan Hak Asasi Manusia Untuk Kesehatan Maternal dan
Neunatal: Alat untuk Memantapkan Hukum, Kebijakan, dan Standar
Pelayanan. Jakarta: Dep. Kes. RI.
____ . (2007). Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Bagi Wanita. Diambil pada
tanggal 25 Maret 2007 dari www.depkes.go.id.