Anda di halaman 1dari 31

Journal Reading

TINJAUAN FISTULA UROGENITAL: PENANDA MORBIDITAS MATERNAL BERAT DAN

INDIKATOR KUALITAS KESEHATAN PERSALINAN IBU

Oleh :

Desy Elisa K, S.Ked

NIM. I1A011057

Pembimbing :

dr. Pribakti Budinurdjaja, SpOG(K)

BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FK UNLAM RSUD ULIN

BANJARMASIN

Juni, 2017
TINJAUAN FISTULA UROGENITAL: PENANDA MORBIDITAS
MATERNAL BERAT DAN INDIKATOR KUALITAS KESEHATAN
PERSALINAN IBU

Margo S. Harrison1*, Hillary Mabeya2, Robert L. Goldenberg1 and Elizabeth M.


McClure3

Abstrak

Latar Belakang: Sementara fistula obstetrik telah dikenal sebagai morbiditas


maternal utama sejak tahun 1980an, ia telah menjadi indikator akses dan
kualitaskesehatan perempuan.
Temuan: Fistula obstetrik masihterdapat di negara-negara berpenghasilan rendah
(LIC) karena sistem kesehatantidak mampu menyediakan keluarga berencana yang
adekuat, persalinan yang dibantu tenaga terlatih, perawatan obstetrik dasar dan
darurat, serta perawatan fistula yang terjangkau, sementara pada saat bersamaan tidak
memiliki jaringan sosial untuk dijadikan pengaman untuk gadis dan wanita yang
terkena dampak [WHO, 2007].
Kesimpulan: Tinjauan ini mengeksplorasi pengalaman publikasi terbaru sehubungan
dengan definisi fistula, diagnosis, pengobatan, dan manajemennya, serta langkah
selanjutnya untuk mencegah fistula dalam skala global.
Kata kunci: Fistula urogenital, fistula obstetrik, morbiditas maternal, negara
berpenghasilan rendah dan menengah
Pendahuluan
Fistula urogenital didefinisikan sebagai hubungan abnormal antara kandung

kemih, ureter, uretra, vagina, dan/atau rektum yang mengakibatkan inkontinensia urin

dan/atau feses. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat persalinan atau akibat cedera

bedah, keganasan, infeksi, trauma, atau endometriosis. Istilah fistula obstetrik

mengacu pada fistula yang terjadi akibat 'kompleks cedera persalinan lama', yang

menggambarkan luka yang terjadi saat bagian terendah janin memengaruhi tulang

panggul selama persalinan yang menyebabkan hipoperfusi jaringan lunak di

sekitarnya, mengakibatkan iskemia, nekrosis, dan hubungan abnormal antara dua

organ panggul [2]. Tidak semua fistula obstetrik terjadi dari persalinan lama. Sebuah

tinjauan baru-baru ini mengenai hampir 6.000 kasus fistula urogenital menunjukkan

bahwa lebih dari tiga belas persen fistula merupakan iatrogenik, 80% di antaranya

menjalani operasi untuk komplikasi obstetrikf termasuk operasi caesar (57%),

reparasi ruptur uteri (20%), dan histerektomi untuk ruptur uteri atau indikasi obstetri

(3%), dan sisanya terjadi selama operasi ginekologi yang tidak terkait dengan

kehamilan [3]. Sebagai catatan, fistula urogenital sering merujuk pada organ yang

terlibat; sebagai contoh, fistula vesikovaginal melibatkan kandung kemih dan vagina,

rektovaginal melibatkan rektum dan vagina, ureterovaginal meliatkan ureter dan

vagina, dan vesikouterina melibatkan kandung kemih dan uterus. Fistula urogenital

sangat bervariasi dan dapat mencakup setiap dan/atau semua sistem genitourinaria,

namun yang terlibat sering mencerminkan bagaimana fistula tersebut diberi nama.
Epidemiologi, Insidensi, dan Prevalensi

Dengan pengakuan fistula urogenital sebagai salah satu indikator kesehatan

masyarakat yang terkait dengan ketersediaan dan kualitas layanan kesehatan wanita,

telah banyak ketertarikan untuk menentukan angka kejadian dan prevalensinya di

seluruh dunia. Pasien yang memiliki fistula merupakan perwujudan kegagalan sistem

kesehatan untuk menyediakan layanan kesehatan dan persalinan ibu yang sesuai, oleh

karena itu, kejadian fistula dapat digunakan sebagai ukuran untuk menentukan

kualitas sistem layanan kesehatan di wilayah tertentu. Angka yang dikutip secara

umum menunjukkan bahwa terdapat 3,5 juta wanita saat ini hidup dengan fistula

urogenital dan bahwa 50.000 sampai 100.000 wanita mengalami fistula setiap

tahunnya [4, 5]. Sebuah meta-analisis baru-baru ini memperkirakan prevalensi

gabungan 0,29 fistula per 1000 wanita usia subur di semua wilayah dengan tingkat

1,6/1000 di sub-Sahara Afrika dan 1,2/1000 di Asia selatan [6]. Kejadian gabungan

adalah 0,09 fistula per 1000 wanita hamil baru-baru ini [6]. Sebelum publikasi ini,

jumlah yang sebelumnya diterima mengenai insiden berasal dari laporan Global

Burden of Disease 2000 yang mengesankan bahwa angka kejadian tersebut 0,08%

dari semua kelahiran dan 2,15% kelahiran yang dipersulit oleh persalinan lama yang

diabaikan [7].

Metode saat ini yang digunakan untuk menilai prevalensi fistula urogenital

mencakup pelaporan sendiri dan komunikasi umum dengan ahli bedah, studi oleh

kelompok advokasi, dan ulasan layanan rumah sakit; mereka kebanyakan


menggunakan sampling komunitas atau fasilitas, atau kombinasi keduanya. Karena

kelangkaan fistula yang relatif kecil, keinginan wanita yang terkena dampak untuk

menyembunyikan kondisinya, dan kualitas metode pengumpulan data yang buruk di

daerah, sehingga sangat sulit mendapatkan data berkualitas [8]. Sebuah tinjauan baru-

baru ini yang dipublikasikan mengenai penentuan kejadian dan prevalensi fistula

urogenital di seluruh dunia menunjukkan bahwa data perlu dikumpulkan melalui

sistem pengawasan dan pemantauan rutin yang saat ini terintegrasi ke dalam sistem

kesehatan dan program nasional yang telah ditetapkan [8]. Sebagai contoh adalah

Survei Demografi dan Kesehatan yang dilakukan oleh banyak negara, yang

mencakup angka kelahiran di rumah; pertanyaan yang harus ditambahkan pada survei

yaitu mengenai fistula urogenital untuk mengumpulkan data yang lebih baik [8].

Selain itu, pengumpulan data tindak lanjut untuk wanita yang mencari perawatan juga

penting untuk melacak kebutuhan perawatan bedah dan untuk mengamati bagaimana

intervensi pencegahan atau pengobatan yang ditargetkan memengaruhi hasil yang

terkait dengan fistula urogenital [8]. Tinjauan di atas juga menunjukkan bahwa

perawatan fistula menjadi bagian dari rangkaian lengkap layanan kesehatan ibu yang

diberikan di lingkungan persalinan, dan tenaga kesehatan tersebut harus dilatih untuk

menilai fistula urogenital pada kunjungan postpartum [8].

Komunitas kesehatan masyarakat global telah menyadari perlunya

pengumpulan data yang baik mengenai fistula urogenital tidak hanya dalam hal

kejadian dan prevalensi, namun juga dalam hal ketersediaan pusat perawatan yang
mampu memberikan perawatan berkualitas tinggi. Dengan demikian, WHO

mengembangkan Peta Fistula Global dalam upaya menunjukkan tidak hanya di mana

wanita yang terkena di seluruh dunia, tetapi juga di mana tenaga kesehatan tersedia

[9]. Peta tidak dapat diproduksi ulang untuk tinjauan ini, namun dapat diakses secara

online di http: // www.globalfistulamap.org/. Informasi tentang bagaimana data

dikumpulkan dijelaskan di situs web dan data sebenarnya dapat diunduh untuk

ditinjau.

Faktor Risiko dan Penyebab

Fistula obstetrik dikaitkan dengan usia <20tahun, kehamilan pertama,

persalinan lebih dari 24 jam, persalinan di rumah, tinggi badan <150 cm (<59 inci),

rendahnya tingkat pendidikan ibu, penggunaan kontrasepsi yang buruk, tingkat

perawatan antenatal yang rendah, dan memiliki janin laki-laki [10-12]. Risiko wanita

untuk pembentukan fistula obstetrik juga ditentukan oleh kesehatan, status sosial

ekonomi, dan akses terhadap dan layanan kesehatan secara keseluruhan [11].

Sementara penyebab langsung dari fistula obstetrik adalah kurangnya pelayanan

persalinan yang aman, akar penyebabnya meliputi infrastruktur perawatan kesehatan

yang buruk seperti transportasi dan komunikasi, serta norma budaya yang

merendahkan perempuan, termasuk kurangnya otonomi perempuan, kemandirian

ekonomi dan sosial, dan pendidikan [11].


Dampak Sosioekonomi dan Psikososial

Fistula urogenital terjadi akibat trauma fisik akut, namun ia menyebabkan

trauma fisik dan psikososial yang terus menerus melalui pengucilan dari jaringan

sosial, perceraian, kemiskinan, dan depresi berat [12]. Kehilangan peran, isolasi, dan

perampasan ekonomi adalah konsekuensi paling umum bagi wanita dengan fistula,

dan mayoritas wanita ini ditinggalkan oleh suami, dijauhi keluarga, dan sangat

menderita terkait dengan perawatan inkontinensia dan luka, serta seringnya infeksi.

[13]. Para wanita menderita gangguan stres pasca-trauma, isolasi sosial, merasa

seperti objek stigma, kualitas hidup rendah, dan disfungsi kesehatan mental umum,

termasuk ide bunuh diri [14-16].

Diagnosis, Tatalaksana dan Manajemen

Pemilihan Waktu dan Simptomatologi

Wanita dengan fistula urogenital biasanya hadir dengan inkontinensia urin

terus-menerus, dibandingkan dengan inkontinensia dengan perasat Valsava, atau

inkontinensia urin stress, yang umum terjadi setelah kelahiran dan persalinan normal

[17, 18]. Sementara waktu munculnya setelah melahirkan dapat dipengaruhi oleh

faktor sosioekonomi sama seperti faktor klinis, namun saat ini juga dapat ditentukan

oleh jenis fistula yang dialami. Misalnya, fistula dari persalinan sesar dapat terjadi

tujuh sampai sepuluh hari pasca operasi karena pembentukan saluran fistulosa secara

bertahap, sementara fistula obstetrik karena persalinan yang terhambat biasanya dapat
dicatat segera setelah persalinan [1, 19, 20]. Fistula yang melibatkan uterus dapat

menyebabkan pola perdarahan ireguler dan kehilangan darah dalam urin [19, 21].

Selain itu, jika ureter ditranseksi, kemungkinan akan segera terjadi pasca operasi

sebagai urinoma intra-abdomen saat pasien mulai mengalami rasa sakit, tekanan, dan

gejala yang dihasilkan oleh efek ekstravasasi massa urin, namun mungkin tidak hadir

sebagai fistula. Sampai saluran anomali terbentuk dengan vagina atau rongga tubuh

lain [19].

Diagnosis

Diagnosis melibatkan riwayat medis dan sosial lengkap, termasuk rincian

tentang kejadian kehamilan, persalinan, dan luaran janin. Tinjauan ulang sistem harus

dilakukan dengan memperhatikan gejala urinaria dan feses, serta mobilitas umum dan

fungsi muskuloskeletal [1]. Pemeriksaan fisik dimulai dengan mengukur tanda-tanda

vital dan melakukan evaluasi neurologis dan gaya berjalan [1]. Inspeksi visual harus

selalu menjadi langkah pertama dalam pemeriksaan genital dengan evaluasi untuk

dermatitis perineum, ulserasi, infeksi, dan jaringan parut sebelum episiotomi,

sirkumsisi, atau perbaikan fistula [1]. Pemeriksa kemudian harus melanjutkan

pemeriksaan abdomen dan bimanual yang memperhatikan tingkat keparahan dan sifat

jaringan parut vagina dan rektum; lokasi, ukuran, dan jumlah fistula; serta

keterlibatan struktur penting seperti sfingter uretra, sfingter anus, dan uretra [1]. Tes

diagnostik lebih lanjut mungkin diperlukan, seperti pemeriksaan spekulum vagina

untuk visualisasi yang lebih baik, atau tes pewarna [22]. Uji pewarna umumnya
melibatkan pengisian kembali kandung kemih dan uretra yag disumbat untuk evaluasi

kebocoran zat warna. Jika fistula tidak dapat segera ditemukan, beberapa penulis

merekomendasikan vaginal packing, dengan lokasi kebocoran zat warna pada

packing yang digunakan untuk membantu mempersempit posisi fistula [17]. Selain

itu, piridium oral atau indigo carmine intravena dapat diberikan untuk menilai

keterlibatan ureter [17, 19]. Penentuan dan pengujian hemoglobin untuk infeksi

menular seksual juga dianjurkan, karena yang pertama penting untuk perencanaan

praoperasi, dan yang terakhir karena infeksi menular seksual dapat menjadi penyebab

fistula (dan perawatannya memungkinkan penutupan fistula spontan), dan mereka

juga dapat menyebabkan kerapuhan jaringan yang akan menyulitkan penutupan

fistula. Selain itu, pasien yang HIV positif mungkin memerlukan perawatan dan

rehabilitasi sebelum operasi untuk memperbaiki luaran bedah mereka.

Tatalaksana

Tujuan utama tatalaksana fistula adalah kontinensia. Untuk memperoleh

kontinensia umumnya memerlukan tindakan pembedahan, namun dapat dicapai

dengan perawatan konservatif dengan kateter atau stent, atau bahkan memerlukan

prosedur yang lebih agresif [1, 23].

Manajemen konservatif

Wanita dengan fistula sederhana kecil yang ditemukan tidak lama setelah

melahirkan, atau mereka yang hadir ke fasilitas kesehatan dengan persalinan lama,
dapat ditangani secara konservatif dengan pemasangan kateter Foley antara dua dan

enam minggu, sitz bath dua kali sehari, asupan cairan oral volume tinggi, dan

pengobatan infeksi yang terjadi berbarengan secara jelas [1]. Data yang tersedia saat

ini berkualitas buruk dan tidak ada rekomendasi yang jelas mengenai pengelolaan

awal konservatif dengan kateter Foley yang sesuai atau efektif. Namun, sejak tahun

1942, telah diterbitkan makalah yang menyarankan penggunaan kateter Foley sebagai

metode untuk membantu penutupan fistula vesikovaginal secara spontan kurang dari

satu sentimeter [24]. Demikian pula, stent ureter yang ditempatkan selama satu

sampai dua bulan dapat menghasilkan resolusi fistula spontan yang melibatkan ureter

lebih dari separuh kasus [17, 23]. Stent urin biasanya ditempatkan, dalam konteks ini,

dengan cara sistoskopi, yang mungkin tidak tersedia di negara berkembang.

Tatalaksana Pembedahan

Bagi kebanyakan pasien, operasi merupakan pilihan satu-satunya. Prinsip

utama perbaikan fistula adalah usaha pertama yang menawarkan kesempatan terbaik

untuk keberhasilan penutupan [1]. Prinsip dasar perbaikan bedah adalah: 1) Mencapai

eksposur yang memadai, 2) memobilisasi fistula dari jaringan parut di sekitarnya,

sehingga 3) penutupan bebas ketegangan dapat dilakukan dengan kencang [1, 4].
Pemilihan Waktu Pembedahan

Sementara ajaran tradisional mengatakan bahwa pasien menjalani operasi tiga

bulan setelah diagnosis untuk memungkinkan waktu agar fistula menjadi kurang

meradang, data terbaru menunjukkan bahwa fistula segera diperbaiki jika didiagnosis

dalam 72 jam kelahiran, atau bahkan di dalam rentang tiga bulan, seperti perbaikan

dalam rentang waktu ini mencegah sejumlah besar sekuel sosial, ekonomi, dan fisik

negatif yang terkait dengan inkontinensia [17, 19, 23, 25]. Beberapa pasien,

bagaimanapun, mungkin hadir bertahun-tahun setelah pembentukan fistula. Untuk

pasien ini, jika tidak ada edema residual, eritema, atau jaringan granulasi yang

persisten, dan tidak perlu pengobatan infeksi, anemia, atau malnutrisi, operasi dapat

dilakukan tanpa penundaan [19]. Fistula iatrogenik harus menjalani perbaikan bedah

dengan diagnosis, kecuali fistula tersebut merupakan hasil jahitan yang

dipertahankan. Dalam hal ini, harus menunggu sampai jahitan diserap kembali [3,

19].

Perawatan Preoperatif

WHO menyarankan agar manajemen praoperasi mencakup evaluasi anestesi,

persiapan kulit, pemotongan rambut, asupan cairan oral yang tinggi, persiapan usus,

dan puasa mulai tengah malam sebelum operasi [1]. Masalah seperti suplementasi

gizi dan penggunaan estrogen pra operasi, serta transfusi atau suplementasi untuk

anemia dan perawatan empiris dengan antimalaria, antibiotik, atau antiparasit masih

memerlukan penelitian lebih lanjut.


Metode Pembedahan

Pedoman WHO merekomendasikan pendekatan melalui vagina untuk

perbaikan fistula urogenital. Posisi operasi yang optimal adalah litotomi tinggi, dan

teknik anestesi yang optimal adalah anestesi regional [1]. Perbaikan vagina dikaitkan

dengan kehilangan darah yang lebih sedikit, waktu operasi yang lebih singkat,

penurunan penggunaan analgesik, dan secara keseluruhan memperhitungkan lama

menginap di rumah sakit yang lebih pendek [19]. Berbagai rejimen antibiotik, yang

meliputi gentamisin dosis tunggal, tampaknya sama efektifnya dalam menurunkan

infeksi saluran kemih pascaoperasi dan memperbaiki profil kebocoran dan

inkontinensia saat keluar dari rumah sakit [19, 26]. Langkah-langkah awal yang

dilakukan secara umum termasuk episiotomi untuk eksposur, penempatan retraktor

yang membantu visualisasi, kateterisasi Foley untuk mengalihkan urin dari lapangan

operasi, melindungi ureter dengan stent, dan penempatan probe ke fistula untuk

menggambarkan arah serta menetapkan batasnya [17].

Metode penutupan meliputi teknik Latzko (kolpokleisis parsial tanpa eksisi saluran

fistula), penutupan berlapis (eksisi saluran fistulosa), dan penggunaan flap, yang

mungkin bersifat biologis (seperti flap Martius-pad lemak labial), namun juga

mencakup penelitian terbaru dengan bahan sintetis [17, 19, 23]. Studi telah

menunjukkan bahwa teknik Latzko cukup efektif dengan tingkat keberhasilan yang

dikutip 93 sampai 100%, dan penempatan flap Martius memiliki tingkat keberhasilan

70 - 100%, dengan alasan bahwa metode yang terakhir digunakan dalam pengaturan
pada fistula yang lebih rumit dengan fibrosis dan nekrosis lebih besar, atau kurangnya

jaringan yang tersedia untuk penutupan [19]. Ada juga peran untuk prosedur yang

lebih invasif yang memerlukan pendekatan melalui abdomen untuk pasien dengan

penurunan kapasitas atau elastisitas kandung kemih, keterlibatan ureter, trigon,

orifisium uretra, atau serviks, dan ketidakmampuan untuk mengakses fistula melalui

vagina, atau untuk pasien yang belum mencapai kontinensia setelah beberapa

perbaikan atau mereka yang memiliki fistula terlalu besar, atau jaringan yang tersisa

terlalu sedikit, penutupan secara anatomis tidak mungkin terjadi [17, 27].

Pembedahan Invasif Minimal

Meskipun pembedahan invasif minimal (MIS) seperti laparoskopi dan

robotika lebih mudah diakses di negara-negara berpenghasilan tinggi (HIC), sebuah

kelompok di India menggunakan MIS untuk memperbaiki fistula urogenital akibat

komplikasi obstetrik [28]. Kelompok ini dilaporkan menutup fistula vesikovaginal

dengan jahitan laparoskopi selapis kontinu dengan interposisi flap omental; kateter

uretra dibiarkan in situ selama sebulan pasca operasi [28]. Karena kapasitas untuk

MIS dalam perkembangan di negara berkembang, akan menarik untuk melihat

bagaimana pengalaman ini berkontribusi pada literatur bedah.

Perawatan Postoperatif

Pedoman WHO merekomendasikan pemantauan tanda-tanda vital secara

rutin, pemeriksaan pad dan pemantauan kateter untuk pendarahan genitourinaria,


cairan intravena, monitoring balans cairan secara ketat, dan analgetik yang

dijadwalkan secara teratur untuk mnajemen nyeri, yang memungkinkan mobilisasi

pasien secara dini [1]. Pasien didorong untuk terus mempertahankan konsumsi cairan

yang sangat tinggi pada hari-hari awal setelah operasi, dan kateter disarankan untuk

tetap dipasang selama minimal 10 - 14 hari, dengan pengangkatan packing vagina

yang diperlukan setelah 24 - 72 jam [ 1, 19, 26]. Tidak ada rekomendasi mengenai

penggunaan antibiotik pasca operasi, namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa

jika digunakan, antibiotik harus mencakup semua flora vagina [17].

Luaran

Tidak ada kerangka kerja langsung untuk menganalisis faktor-faktor penentu

keberhasilan pengobatan dan luaran fistula. Ini juga berlaku untuk klasifikasi fistula-

tidak ada metode yang berlaku umum: saat ini ada 25 sistem yang diusulkan dalam

praktik, tidak ada yang dikembangkan berdasarkan bukti empiris atau dengan

perkiraan dalam pikiran [29]. Standarisasi terminologi mengenai fistula urogenital

tidak hanya memungkinkan pengembangan sistem klasifikasi prognostik berbasis

bukti, namun juga akan memfasilitasi penelitian, pengembangan pedoman, dan

analisis luaran klinis untuk mengetahui keamanan, keberhasilan, dan kualitas

pencegahan, diagnostik, dan intervensi pengobatan [24, 30]. Bahkan definisi

'keberhasilan' dan 'kegagalan' pengobatan fistula kurang jelas; banyak penelitian

mendefinisikan kesuksesan sebagai penutupan fisik fistula sementara yang lain

mendefinisikan kesuksesan sebagai kontinuitas segera setelah operasi dan di


kemudian hari. Penilaian ini dilakukan dengan mengisi kembali kandung kemih

dengan pewarna dan mengevaluasi kebocoran dan kontinuitas setelah pelepasan

kateter; titik waktu di mana uji ini dilakukan biasanya pada saat operasi untuk

mengkonfirmasi penutupan fistula, dan kemudian dua minggu pasca operasi.

Meskipun tidak adanya definisi seragam mengenai jenis fistula dan ukuran

keberhasilan, jika keberhasilan didefinisikan sebagai penutupan fisik fistula, maka

literatur melaporkan tingkat penutupan 55% sampai 95% dengan tingkat keberhasilan

rata-rata sekitar 85% [30]. Jika kesuksesan didefinisikan sebagai pengawasan diri

terhadap kemih maka hasilnya berkisar antara 40% sampai 90% dengan tingkat

keberhasilan rata-rata sekitar 70% [30]. Menurut pedoman WHO, saat membuat

program perawatan fistula, diharapkan tingkat penutupan fistula harus 85% dan

tingkat kontinuitas harus 90% setelah operasi perbaikan fistula pertama pasien [1].

Faktor klinis yang dapat mempengaruhi luaran bedah dan tingkat keberhasilan

termasuk tingkat keterlibatan uretra (beberapa kerusakan versus keterlibatan

melingkar); ukuran, lokasi, dan jumlah fistula; jumlah jaringan parut dan sisa jaringan

sehat, termasuk kapasitas kandung kemih; dan apakah pasien sebelumnya telah

mengalami perbaikan atau belum [30].

Psikososial

Selain mendokumentasikan kesulitan yang dialami oleh pasien dengan fistula,

peneliti menerapkan intervensi untuk memperbaiki kesehatan mental populasi ini.

Percobaan di Tanzania tentang rencana perawatan enam sesi berdasarkan teori


psikologis (terapi perilaku kognitif) diintegrasikan ke dalam aliran klinis bangsal

fistula (dua sesi sebelum operasi, empat sesi pasca operasi) dan dilakukan oleh tenaga

kesehatan mental nonspesialis, untuk memperbaiki luaran kesehatan mental bagi

pasien dengan fistula [31]. Penilaian dari peserta sangat positif. Sementara studi

tersebut dikerjakan pada pasien secara terpisah, penelitian lain telah melihat terapi

kelompok dan juga tercapainya keberhasilan yang dapat diukur [32]. Data

menunjukkan bahwa intervensi kesehatan mental sangat penting bagi pasien dengan

fistula dan dapat dilakukan bersamaan dengan perawatan bedah selama pasien

mempersiapkan dan memulihkan diri dari operasi [31].

Fisioterapi

Pedoman praktik WHO merekomendasikan fisioterapi sebagai bagian dari

program perawatan (pernapasan dalam, peregangan pinggul, rentang gerak

ekstremitas bawah, dan latihan penguatan inti) serta latihan pasca operasi yang

mencakup duduk, berdiri, berjalan, dan menyeimbangkan, dengan latihan perlahan,

dan program gerakan khusus yang terperinci, penentuan posisi, dan peregangan pasif

untuk pasien yang terkena kontraktur dan cedera saraf [1]. Sebuah studi tentang

edukasi kesehatan dan fisioterapi pra dan pasca operasi pada pasien fistula urogenital

melaporkan bahwa mereka yang menjalani fisioterapi hampir tiga kali lebih mungkin

untuk sembuh dengan inkontinensia stres postoperatif yang lebih sedikit, dan dalam

sebuah studi lanjutan yang dilakukan oleh yang kelompok yang sama setahun

kemudian, hasilnya terjaga dan kualitas hidup meningkat secara signifikan [33, 34].
Praktik sosioekonomi & reintegrasi

Prinsip panduan untuk program reintegrasi adalah bahwa pasien harus diajari

keterampilan mandiri, yang mungkin memerlukan pelatihan aksara atau lokakarya

dalam membuat pakaian atau kerajinan. Keterampilan ini menjadi sangat penting bagi

wanita tak besuami dan tidak lagi memiliki kemampuan untuk melahirkan anak atau

berfungsi sebagai ibu rumah tangga, dan yang tidak memiliki seseorang untuk

mendukungnya. Mereka harus ditawarkan layanan konseling dan harus dibantu untuk

bergabung kembali ke dalam jaringan sosial mereka, yang mencakup komunitas dan

keluarga mereka, namun mungkin juga melibatkan penerimaan di kelompok

pendukung perempuan dengan fistula. Intervensi yang saat ini digunakan mencakup

pelatihan keterampilan menghasilkan pendapatan, pelatihan aksara, dan program

kredit mikro, serta dukungan keuangan pasca operasi dalam bentuk pakaian,

perbekalan, makanan, air, dan tunjangan aktual [35]. Sementara data di bidang

dampak ekonomi fistula masih kurang, penelitian terbaru dari Tanzania melaporkan

bahwa harapan dan kekhawatiran pasien fistula tentang masa depan terutama terkait

dengan kemampuan mereka untuk bekerja, selain penerimaan sosial dan kesuburan di

masa akan datang [13, 36, 37 ].

Post-fistula

Beberapa data ada pada follow-up jangka panjang pasien fistula setelah

perbaikan. Sebuah penelitian di Nigeria mengevaluasi 150 wanita enam bulan setelah

perbaikan untuk menilai kualitas hidup, kesehatan fisik, kesehatan mental, kesehatan
sosial, dan lingkungan (pendapatan yang tersedia, kemampuan untuk melakukan

aktivitas kehidupan sehari-hari, dan tingkat partisipasi dalam aktivitas waktu luang),

membandingkan indikator sebelum dan sesudah operasi; hasilnya meningkat secara

signifikan pada semua pengukuran kecuali 'lingkungan' [38]. Sebuah penelitian

terhadap wanita Ethiopia melaporkan bahwa, sebagian besar merasakan sensasi lega

dan bahagia yang dramatis setelah perbaikan fistula, namun beberapa orang terus

mengalami penderitaan mental, stigma, dan masalah fisik terlepas dari hasil prosedur

tersebut. Semua wanita sangat takut munculnya fistula lain, paling sering dari

hubungan seksual atau persalinan. Meskipun demikian, mayoritas wanita melakukan

hubungan seksual atau berencana melakukannya, sementara kelompok yang lebih

kecil menghindari hubungan seksual dan melahirkan anak, sehingga menyebabkan

mereka terisolasi, konflik perkawinan, dan/atau kerentanan ekonomi [39].

Sebuah studi tentang fertilitas pada 32 wanita dengan fistula dari Malawi

menunjukkan bahwa sekitar setengah dari kehamilan kandungan dengan fistula aktif,

dan 70% dari pasca perbaikan pada saat kehamilan, berakhir dengan abortus spontan

atau kematian perinatal [40]. Temuan menunjukkan bahwa pasca perbaikan fistula

pada kehamilan dapat menyebabkan luaran buruk bertahun-tahun setelah operasi;

apakah hasil ini terkait dengan fistula atau terjadi akibat kerusakan yang terjadi pada

pelvis atau beberapa etiologi lainnya masih belum jelas. Data mengenai penggunaan

kontrasepsi pada wanita dengan fistula atau perbaikan pasca fistula masih sangat

langka. Namun, sebuah penelitian terhadap hampir 200 wanita di Nigeria,


menunjukkan bahwa hampir semua orang mengetahui tentang kontrasepsi, namun

kurang dari separuhnya benar-benar memanfaatkannya, menunjukkan bahwa

penggunaan kontrasepsi setelah perbaikan fistula buruk karena takut efek samping

(41% partisipan), keinginan untuk fertil (30%), larangan agama (22%), kepercayaan

budaya (25%), dan ketidaksetujuan pasangan (36%) [41]. Tidak ada penelitian yang

ditemukan mengenai intervensi pemberian konseling kontrasepsi pada pasien fistula

urogenital.

Temuan

Pencegahan dan Kesadaran

Apakah fistula terjadi akibat perawatan persalinan atau teknik bedah yang

buruk, keduanya dapat dihindari, dan kuncinya adalah pencegahan. Peningkatan

akses terhadap perawatan obstetri darurat berkualitas tinggi termasuk operasi caesar

sangat penting, namun juga peningkatan akses terhadap layanan keluarga berencana

[25]. Dalam jangka panjang, perhatian harus ditujukan untuk mengembangkan

program yang memerangi akar penyebab pembentukan fistula termasuk peningkatan

pendidikan, kesempatan ekonomi, dan kesetaraan gender bagi perempuan [25].

Sementara banyak faktor yang menyebabkan pembentukan fistula mungkin tidak

dapat dikendalikan oleh wanita , keputusan untuk mencari perawatan untuk disfungsi

persalinan jatuh ke pasien dan tenaga kesehatan. Mencari perawatan tepat waktu

untuk persalinan lama merupakan komponen penting dari program pencegahan fistula

obstetrik pada keterbatasan sumber daya [25]. Untuk mencapai tujuan mengatasi
penundaan awal perawatan ini, pasien harus menghargai layanan yang diberikan oleh

institusi kesehatan dan memahami konsekuensi dari tidak mencari perawatan. Untuk

mencapai hal ini, wanita yang mengantisipasi penerimaan harus efektif dan

berkualitas tinggi, mudah diakses secara sosial, fisik, dan ekonomi. Dalam mengatasi

hambatan ini memerlukan penggunaan perawatan dan pendidikan antenatal dan

masyarakat yang lebih besar mengenai disfungsi persalinan dan risiko fistula [25].

Dalam hal intervensi aktual untuk mencegah fistula yang telah dipublikasikan,

hanya terdapat beberapa. Seorang penulis menerapkan sebuah indeks fistula yang dia

kembangkan, yang merupakan perkalian tinggi badan pasien dalam sentimeter

dengan jarak intertuberusnya (jarak antara tuberositas ischii panggulnya), yang diukur

dengan jumlah ruas-ruas jari di tangan ahli bedah sehingga muat di antara tulang

pelvis [43]. Dia menerapkan indeksnya dalam studi kasus kontrol terhadap 39 pasien

fistula dan 54 kontrol dengan persalinan normal. [43]. Hasilnya berbeda secara

signifikan antara kelompok, yang tidak terjadi ketika tinggi badan saja dibandingkan,

menunjukkan bahwa ukuran pelvimetri klinis semacam itu dapat berguna untuk

mengidentifikasi wanita yang berisiko mengalami fistula [43]. Studi lain yang

dilakukan di Nigeria menggunakan program pengayaan masyarakat untuk

mengurangi angka kematian ibu dan bayi dan mengurangi pembentukan fistula

urogenital. Intervensi tersebut menggunakan sukarelawan desa untuk

mengidentifikasi dan mengevakuasi wanita dengan persalinan lama, memberikan

pendidikan, dan mengumpulkan data tentang kehamilan, kelahiran, dan kematian


[44]. Selama tiga tahun intervensi tersebut secara signifikan mengurangi angka

kematian ibu dan bayi dan mengurangi kejadian fistula dari tujuh kasus dalam enam

bulan pertama penelitian menjadi nol kasus dalam 24 bulan setelahnya [44].

Intervensi ini menunjukkan bahwa beberapa kombinasi antara asesmen dan

pendidikan risiko prenatal dengan akses terhadap perawatan obstetrik darurat dapat

mengurangi dan berpotensi mencegah fistula urogenital dari penyebab obstetrik.

Latihan dan Kapasitas Fasilitas

Meskipun upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah fistula urogenital

dalam skala global setidaknya selama 30 tahun, baru pada tahun 2003 PBB

menetapkan Campaign to End Fistula, dan baru sepuluh tahun kemudian, perhatian

tersebut dibayar untuk masalah seperti ketersediaan tenaga dan fasilitas untuk

mengatasi masalah ini. Dengan demikian, WHO mengembangkan Peta Fistula Global

untuk menilai berapa banyak tenaga kesehatan untuk perbaikan fistula yang

disediakan dan untuk memberikan gambaran tentang layanan yang tersedia untuk

wanita dengan fistula [43]. Sebuah artikel tinjauan baru-baru ini meneliti bukti terkini

yang mendukung strategi pencegahan fistula di sub-Sahara Afrika [42] . Penulis

menyarankan untuk mempromosikan minimal pendidikan pasca sekolah dasar untuk

anak perempuan; menyediakan pendidikan seksual yang mencakup informasi tentang

fistula; mendidik masyarakat tentang faktor budaya, sosial, dan fisiologis yang

memengaruhi dan berkontribusi pada fistula; menunda pernikahan dini dan

persalinan; memberantas malnutrisi; dan menentukan batas waktu untuk persalinan di


rumah tanpa kemajuan [42]. Strategi berbasis sistem kesehatan telah menunjukkan

keberhasilan dalam pencegahan fistula meliputi peningkatan akses terhadap

ketersediaan dan penyediaan perawatan obstetrik darurat; Penyediaan intervensi yang

terjangkau, aman, dan tepat waktu untuk wanita yang membutuhkan perawatan;

mengurangi jarak untuk mengakses perawatan; dan menyediakan transportasi yang

terjangkau untuk fasilitas kesehatan [42]. Jelas, pelatihan tambahan atau pelatihan

ulang tenaga pembedahan juga penting, karena fistula iatrogenik akibat teknik bedah

yang buruk juga dapat dicegah.

Peta menunjukkan bahwa saat ini, meskipun isu ini mendapat perhatian

internasional, jumlah wanita dengan fistula meningkat karena jumlah perbaikan

kurang dari jumlah kasus baru [22]. Diperkirakan hingga 80% wanita yang hidup

dengan fistula tidak mendapat perawatan yang tepat [22, 45]. Mengingat kurangnya

tenaga, Federasi Internasional Ginekologi dan Obstetri (FIGO), menerbitkan manual

pelatihan fistula berbasis kompetensi pada tahun 2011 [22]. Manual ini, yang tersedia

di situs mereka secara gratis, dimaksudkan untuk mempromosikan standarisasi

pelatihan bedah untuk perbaikan fistula dan meningkatkan jumlah tenaga pelatihan

yang terlatih dengan tepat dapat memberikan perbaikan bedah berkualitas tinggi [22,

46].

Pertanyaan selanjutnya tentang topik pelatihan dan pengembangan kapasitas

adalah berapa banyak uang yang akan dikeluarkan program, dan hasil apa yang dapat

diharapkan dari investasi tersebut. Pada isu tentang apa keuntungan yang dapat
diharapkan dari pencegahan fistula, sebuah makalah baru-baru ini menerbitkan

mengenai beban yang dapat dicegah mengenai kondisi obstetrik di daerah

berpendapatan rendah dan menengah (LMIC) [47]. Naskah ini meneliti lima kondisi

(pendarahan ibu, persalinan lama, fistula obstetrik, abortus, dan ensefalopati neonatal)

dan menggunakan data demografi dan epidemiologi dari studi Global Burden of

Disease 2010 untuk memperkirakan usia rata-rata penyandang cacat yang dapat

dicegah (DALYs)-atau tahun kehidupan sehat yang hilang yang disebabkan oleh

beban penyakit [47]. Analisis tersebut menunjukkan bahwa 37% DALY dapat

dihindari dengan pemberian bedah obstetrik universal dan berkualitas di LMIC. Studi

tersebut menunjukkan bahwa persalinan lama dan fistula obstetrik memiliki tingkat

beban balik yang paling tinggi dan bahwa sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan

membawa proporsi terbesar dari beban ini [47]. Menurut penulis ini, 1.121.346

DALY (100% DALY terkait) dan 996.555 DALY (89% DALY terkait) dapat dihindari

jika layanan bedah obstetrik berkualitas tersedia untuk mencegah pembentukan fistula

[47]. Mengenai perkiraan biaya, disarankan agar investasi yang dibutuhkan untuk

meningkatkan penyediaan perawatan obstetrik secara universal komprehensif mulai

dari masa prenatal sampai masa pascapersaalinan di LMIC yang paling membutuhkan

perawatan tersebut membutuhkan 39 miliar dolar [48]. Sebagai perbandingan, pada

tahun 2012 UNAIDS memperkirakan bahwa 122,5 miliar dolar telah diinvestasikan

dalam respon HIV / AIDS global [49].


Pertimbangan Etis

Pasien fistula layak mendapat perawatan berkualitas tinggi saat mereka

menjalani perawatan fistula. Dengan demikian, daftar hak untuk pasien fistula telah

dikembangkan, seperti memiliki kode etik untuk ahli bedah fistula [50-52]. RUU hak

menyatakan bahwa pasien fistula harus diperlakukan dengan belas kasih, harga diri,

dan rasa hormat; Mereka harus memiliki hak atas privasi dan informasi lengkap dan

pendidikan mengenai kondisinya; Mereka harus memiliki hak untuk mengarahkan

perawatan mereka sendiri-termasuk penolakan pengobatan; Dan mereka memiliki hak

untuk mendapatkan perawatan berkualitas tinggi, dan diberi makan, berpakaian, dan

terlindung selama proses itu [51]. Kode etik ahli bedah fistula memberi tenaga

standar untuk memberikan perawatan berkualitas tinggi kepada pasien fistula dan

menjaga kesejahteraannya lebih dari segalanya; Perlakukan dia dengan harga diri,

rasa hormat, belas kasih, kejujuran, dan jaga kerahasiaannya; Bertanggung jawab atas

perawatan totalnya termasuk perawatan pra-operasi dan tindak lanjut yang tepat;

Untuk tidak bereksperimen dengannya atau memberikan perawatan di mana ahli

bedah tidak terlatih; Berkomitmen terhadap perawatan berbasis bukti dan bersedia

untuk mengubah metode berdasarkan pedoman praktik terbaik; Untuk tidak

mengambil keuntungan atau membiarkan orang lain memanfaatkan pasien fistula

(secara fisik, emosional, ekonomi, seksual); Untuk menjalankan pengelolaan yang

baik atas sumber keuangan yang dipercayakan kepada mereka untuk perawatan

pasien fistula; Untuk bekerja sebagai bagian dari tim perawatan fistula dan mematuhi
hukum negara tempat mereka berpraktik; Dan menjadi advokat atas nama pasien

fistula untuk membantu menghilangkan hambatan yang menghalangi akses terhadap

perawatan obstetrik darurat [50].

Penelitian yang akan Datang

Penelitian lebih lanjut akan memperbaiki perawatan klinis serta spektrum

penuh layanan perawatan pendukung yang menyertai perawatan fistula, seperti

dukungan psikososial dan ekonomi, selain membimbing pengembangan kapasitas

sistem pelatihan dan kesehatan yang diharapkan oleh masyarakat global. Dengan kata

lain, spesialis di lapangan merumuskan rekomendasi mengenai topik klinis yang

mereka rasa paling diuntungkan dari uji coba terkontrol ketat, yang meliputi: "khasiat

/ keamanan kateterisasi jangka pendek; kemanjuran terapi bedah dan nonbedah untuk

inkontinensia urin; langkah-langkah teknis selama perbaikan fistula untuk

mengurangi kejadian inkontinensia pasca operasi; identifikasi faktor prediktif untuk

'fistula yang tidak dapat sembuh'; kegunaan studi urodinamika dalam pengelolaan

inkontinensia urin; kejadian dan signifikansi bakteri resisten multi-obat pada populasi

fistula; pengelolaan primer fistula kecil dan baru dengan drainase kateter; dan

profilaksis antibiotik dalam perbaikan fistula "[53].


Kesimpulan

Tinjauan ini telah membahas beraneka sifat dari fistula urogenital dan bahwa

ini mungkin merupakan sekuel alami dari persalinan lama atau iatrogenik.

Pembentukan fistula terutama berakar pada akses yang buruk terhadap kualitas

persalinan. Hal ini sangat memengaruhi dan mengacaukan kehidupan perempuan,

mengganggu populasi miskin dan terpinggirkan, dan pengelolaan klinis fistula

urogenital sangat membutuhkan bukti dasar, terlepas dari pedoman yang diterbitkan.

Kesimpulannya, keberhasilan pengobatan pasien fistula tidak hanya berarti penutupan

fistula, namun digabungkan ke dalam program perawatan komprehensif yang

bertujuan untuk mencapai kelanjutan, kesehatan mental, rehabilitasi fisik, dan

pelatihan dan dukungan sosioekonomi. Fistula Urogenital akibat persalinan adalah

catatan kaki sejarah di HIC, dan penyediaan perawatan obstetrik darurat

komprehensif berkualitas tinggi di LIC akan membuatnya punah dalam skala global.

Dengan harga yang dapat diatur sebesar 39 miliar dolar, beban kematian dan

kecacatan yang besar akan terangkat dari umat manusia, yang mengakibatkan

kelangsungan hidup wanita dan anak-anak yang sehat yang membawa potensi tak

terbatas untuk kepentingan mereka sendiri dan kebaikan bersama.


DAFTAR PUSTAKA

1. Lewis G, de Bernis L. Obstetric fistula: guiding principles for clinical


management and programme development. Publication of the World Health
Organization, 2006.

2. Arrowsmith S, Hamlin C, Wall LL. Obstructed labor injury complex: obstetric


fistula formation and the multifaceted morbidity of maternal birth trauma in the
developing world. Obstet Gynecol Surv. 1996;51(9):56874.

3. Raassen TJIP, Ngongo CJ, Mahendeka MM. Iatrogenic genitourinary fistula: an


18-year retrospective review of 805 injuries. Int J Urol. 2014;25:1699706.

4. Wall LL. Obstetric vesicovaginal fistula as an international public-health problem.


Lancet. 2006;368:12019.

5. World Health Organization. Ten Facts on obstetric fistula. Internet:


http://www.who.int/features/factfiles/obstetric_fistula/en/, 2014.

6. Adler AJ, Ronsmans C, Calvert C, Filippi V. Estimating the prevalence of


obstetric fistula: a systematic review and meta-analysis. BMC Pregnancy
Childbirth. 2013;13(246):114.

7. Dolea C, AbouZhar C. Global burden of obstructed labour in the year 2000. World
Health Organ. 2003; 117. http://www.who.int/healthinfo/statistics/
bod_obstructedlabour.pdf

8. Tunalp O, Tripathi V, Landry E, Stantonc CK, Ahmed S. Measuring the incidence


and prevalence of obstetric fistula: approaches, needs and recommendations. Bull
World Health Organ. 2015;93(1):602.

9. Campaign to End Fistula. Campaign to End Fistula. 4 8, 2015.


http://www.endfistula.org/ (accessed 4 8, 2015).

10. Tebeu PM, Fomulu JN, Khaddaj S, de Bernis L, Delvaux T, Rochat CH. Risk
factors for obstetric fistula: a clinical review. Int Urogynecol J.
2012;23(4):38794.

11.Wall LL. Preventing Obstetric Fistulas in Low-Resource Countries: Insights From


a Haddon Matrix. Obstet Gynecol Surv. 2012;67(2):11121.
12. Roka ZG, Akech M, Wanzala P, Omolo J, Gitta S, Waiswa P. Factors
associated with obstetric fistulae occurrence among patients attending selected
hospitals in Kenya, 2010: a case control study. BMC Pregnancy Childbirth.
2013;13(56):17.

13. Roush KM. Social Implications of Obstetric Fistula: An Integrative Review. J


Midwifery Womens Health. 2009;54(2):e2133.

14. Weston K, Mutiso S, Mwangi J, Qureshi Z, Beard J, Venkat P. Depression


among women with obstetric fistula in Kenya. Int J Gynaecol Obstet.
2011;115:313.

15. Alio AP, Merrell L, Roxburgh K, Clayton HB, Marty JP, Bomboka L, et al.
The psychosocial impact of vesico-vaginal fistula in Niger. Arch Gynecol Obstet.
2011;284:3718.

16. Wilson SM, Sikkema KJ, Watt MH, Masenga GG. Psychological Symptoms
Among Obstetric Fistula Patients Compared to Gynecology Outpatients in
Tanzania. Int J Behav Med; 2015: 19.

17. Mellano E, Tarnay CM. Management of genitourinary fistula. Curr Opin


Obstet Gynecol. 2014;26:41523.

18. Rortveit G, Kjersti A, Hannestad Y, Hunskaar S. Urinary Incontinence after


Vaginal Delivery or Cesarean Section. N Engl J Med. 2003;348:9007.

19. Wong MJ, Wong K, Rezvan A, Tate A, Bhatia NN, Yazdany T. Urogenital
Fistula. Female Pelvic Med Reconstr Surg. 2012;18(2):718.

20. Wall LL. Birth Trauma and the Pelvic Floor: Lessons from the Developing
World. J Womens Health. 1999;8(2):14955.

21. Rajamaheswari N, Chhikara AB. Vesicouterine fistulae: our experience of 17


cases and literature review. Int Urogynecol J. 2013;24:2759.

22. Hampton BS, Kay A, Pilzek A. Urinary Fistula and Incontinence. Semin
Reprod Med. 2015;3(1):4752.

23. Waaldijk K. The immediate management of fresh obstetric fistulas. Am J


Obstet Gynecol. 2004;191:7959.
24. Bazi T. Spontaneous closure of vesicovaginal fistulas after bladder drainage
alone: review of the evidence. Int Urogynecol J Pelvic Floor Dysfunct.
2007;18:32933.
25. Wall LL. Overcoming phase 1 delays: the critical component of obstetric
fistula prevention programs in resource-poor countries. BMC Pregnancy
Childbirth. 2012;12(68):113.

26. Nardos R, Browning A, Member B. Duration of bladder catheterization after


surgery for obstetric fistula. Int J Gynaecol Obstet. 2008;103(208):302.

27. Frajzyngier V, Ruminjo J, Asiimwe F, Barry TH, Bello A, Danladi D, et al.


Factors influencing choice of surgical route of repair of genitourinary fistula, and
the influence of route of repair on surgical outcomes: findings from a prospective
cohort study. Br J Obstet Gynaecol. 2012;11:13441353.

28. Singh V, Sinha RJ, Mehrotra S, Gupta DK, Gupta S. Transperitoneal


Transvesical Laparoscopic Repair of Vesicovaginal Fistulae: Experience of a
Tertiary Care Centre in Northern India. Current Urology. 2013;7:7582.

29. Frajzyngier V, Li G, Larson E, Ruminjo J, Barone MA. Development and


comparison of prognostic scoring systems for surgical closure of genitourinary
fistula. Am J Obstet Gynecol. 2013;208(2):119.

30. Arrowsmith SD, Barone MA, Rominjo J. Outcomes in obstetric fistula care: a
literature review. Curr Opin Obstet Gynecol. 2013;25:399403.

31. Watt MH, Wilson SM, Sikkema KJ, Velloza J, Mosha MV, Masenga GG, et
al. Development of an intervention to improve mental health for obstetric fistula
patients in Tanzania. Eval Program Plann. 2015;50:19.

32. Ojengbede OA, Baba Y, Morhason-Bello IO, Armah M, Dimiti A, Buwa D, et


al. Group Psychological Therapy in Obstetric Fistula Care: A Complementary
Recipe for the Accompanying Mental Ill Health Morbidities? Afr J Reprod Health.
2014;18(1):15660.

33. Castille YJ, Avocetien C, Zaongo D, Colas JM, Peabody JO, Rochat CH.
Impact of a program of physiotherapy and health education on the outcome of
obstetric fistula surgery. Int J Gynaecol Obstet. 2014;124:7780.

34. Castille YJ, Avocetien C, Zaongo D, Colas JM, Peabody JO, Rochat CH. One-
year follow-up of women who participated in a physiotherapy and health
education program before and after obstetric fistula surgery. Int J Gynaecol Obstet.
2015;128:2646.
35. Lombard L, Jorre J, Geddes R, El Ayadi AM, Grant L. Rehabilitation
experiences after obstetric fistula repair: systematic review of qualitative studies.
Trop Med Int Health. 2015;20(5):55468.

36. Mselle LT, Evjen-Olsen B, Moland KM, Polit C, Mvungi A, Kohi TW.
Hoping for a Normal Life Again: Reintegration after Fistula Repair in Rural
Tanzania.
J Obstet Gynaecol Can. 2012;34(10):92738.

37. Pope R, Bangser M, Ruquejo JH. Restoring dignity: Social reintegration after
obstetric fistula repair in Ukerewe, Tanzania. Glob Public Health. 2011;6(8):859
73.

38. Umoiyoho AJ, Inyang-Etoh EC, Abah GM, Abasiattai AM, Akaiso OE.
Quality of life following successful repair of vesicovaginal fistula in Nigeria.
Rural Remote Health. 2011;11:17.

39. Donnelly K, Oliveras E, Tilahun Y, Belachew M, Asnake M. Quality of life of


Ethiopian women after fistula repair: implications on rehabilitation and social
reintegration policy and programming. Cult Health Sex. 2015;17(2):15064.

40. Wilson AL, Chipeta E, Kalilani-Phiri L, Taulo F, Tsui AO. Fertility and
pregnancy outcomes among women with obstetric fistula in rural Malawi. Int J
Gynaecol Obstet. 2011;113:1968.

41. Lawani L, Iyoke CA, Ezeonu PO. Contraceptive practice after surgical repair
of obstetric fistula in southeast Nigeria. Int J Gynaecol Obstet . 2015;17.

42. Banke-Thomas AO, Wilton-Waddell OE, Kouraogo SF, Mueller JE. Current
Evidence Supporting Obstetric Fistula Prevention Strategies in Sub Saharan
Africa: A Systematic Review of the Literature. Afr J Reprod Health.
2014;18(3):11827.

43. Browning A, Lewis A, Whiteside S. Predicting women at risk for developing


obstetric fistula: a fistula index? An observational study comparison of two
cohorts. Br J Obstet Gynaecol. 2014;121:6049.

44. Seim AR, Alassoum Z, Bronzan RN, Mainassara AA, Jacobsen JL, Gali YA.
Pilot community-mobilization program reduces maternal and perinatal mortality
and prevents obsetric fistula in Niger. Int J Gynaecol Obstet. 2014;127:26974.
45. EngenderHealth. Obstetric Fistula Needs Assessment Report: Findings from
Nine African Countries. Needs Assessment, New York: UNFPA &
EngenderHealth; 2003.
46. FIGO. Global competency-based fistula surgery training manual. Training
Manual, London: FIGO; 2011.

47. Higashi H, Barendregt JJ, Kassebaum NJ, Weiser TG, Bickler SW, Vos T.
Surgically avertable burden of obstetric conditions in low- and middle-income
regions: a modelled analysis. Br J Obstet Gynaecol. 2015;122:22837.

48. Johns B, Sigurbjrnsdttir K, Fogstad H, Zupan J, Mathai M, Edejer TTT.


Estimated global resources needed to attain universal coverage of maternal and
newborn health services. Int J Gynaecol Obstet. 2007;85:25663.

49. UNAIDS. Fact sheet HIV/AIDS. Accessed 7/2/15. http://www.unaids.org/en/


resources/campaigns/globalreport2013/factsheet

50. Wall LL, Wilkinson J, Arrowsmith SD, Ojengbede O, Mabeya H. A Code of


Ethics for the fistula surgeon. Int J Gynaecol Obstet. 2008;101:847.

51. Wall LL. A bill of rights for patients with obstetric fistula. Int J Gynaecol
Obstet. 2014;127:3014.

52. Wall LL. Ethical Concerns Regarding Operations by Volunteer Surgeons on


Vulnerable Patient Groups: The Case of Women with Obstetric Fistulas. HEC
Forum. 2011;23:11527.

53. Arrowsmith SD, Ruminjo J, Landry EG. Current practices in treatment of


female genital fistula: a cross sectional study. BMC Pregnancy Childbirth.
2010;10(73):111.

Anda mungkin juga menyukai