Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak

pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua

Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan

dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik yang memanjang dari Pulau

Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Sulawesi yang sisanya berupa pegunungan

vulkanik tua dan dataran rendah yang didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi

tersebut sangat berpotensi sekaligus membuat Indonesia menjadi negara rawan

bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor (BNPB).

Selain bencana yang disebabkan alam, bencana dapat juga disebabkan karena ulah

manusia seperti terjadinya peledakan bom, kebakaran dan kecelakaan lalu lintas.

Bencana tersebut dapat melibatkan korban dalam jumlah besar , yang tidak jarang

menghasilkan korban yang sulit untuk dikenali. Sehingga dibutuhkan ahli dalam

bidang forensik untuk melakukan identifikasi forensik.

Identifikasi forensik sendiri menurut sifatnya merupakan usaha tim

multidisiplin ilmu yang berdasarkan pada metodologi identifikasi positif serta

metode dugaan atau metode khusus. Usaha ini melibatkan kerja sama dan

koordinasi antara penegak hukum, ahli patologi forensik, odontologi forensik,

antropologi forensik, serologi forensik dan spesialis lainnya yang dianggap perlu

(Stimson&Mertz,1997). Pemeriksaan identifikasi tersebut memiliki arti cukup

penting untuk mengetahui identitas seseorang melalui sejumlah ciri yang ada.

1
Pada kejadian bencana massal akan menghasilkan keadaan jenazah yang

mungkin dapat intak, separuh intak, membusuk, terpisah berfragmen-fragmen,

terbakar menjadi abu, separuh terbakar, terkubur ataupun kombinasi dari

bermacam-macam keadaan. Identifikasi termudah dan sederhana dilakukan secara

visual, tetapi hal tersebut tidak dapat dilakukan apabila jenazah mengalami

pembusukan lanjut. Dengan demikian pemeriksaan identifikasi primer

berdasarkan sidik jari akan sulit dilakukan, maka dapat digantikan dengan

pemeriksaan gigi geligi karena bersifat lebih tahan lama terhadap proses

pembusukan (Prawestiningtyas&Algozi, 2009).

Dengan melakukan pemeriksaan identifikasi menggunakan gigi maka

diperlukanlah ilmu kedokteran gigi untuk membantu penegakan hukum yang

disebut sebagai odontologi forensik (Hoediyanto&Apuranto,2012). Identifikasi

jenis kelamian adalah bagian dari odontologi forensik dan sangat penting

khususnya ketika informasi yang berkaitan dengan jenazah tdak tersedia.

Identifikasi jenis kelamin merupakan langkah pertama yang penting dilakukan

dalam proses identifikasi forensik karena dapat menentukan 50% probabilitas

kecocokan dalam identifikasi individu serta dapat mempengaruhi beberapa

metode pemeriksaan lainnya, seperti estimasi usia dan tinggi tubuh individu

(Eboh,2012). Identifikasi jenis kelamin menjadi prioritas utama pada proses

identifikasi seseorang oleh investigator forensik dalam kasus kecelakaan, ledakan

bahan kimia dan bom nuklir, bencana alam, investigasi kasus kejahatan maupun

untuk penelitian (Ramakrishnan, dkk 2015). Makalah ini bertujuan untuk

membahas mengenai identifikasi jenis kelamin melalui gigi dan mulut.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Odontologi forensik adalah aplikasi dari ilmu kedokteran gigi untuk

membantu dalam proses penegakan hukum (Hoediyanto&Apuranto,2012). Gigi

digunakan sebagai sarana identifikasi karena memiliki faktor sebagai berikut:

1. Derajat individualitas yang tinggi

Kemungkinan untuk menemukan dua orang yang sama giginya adalah stu

per dua triliun. Dengan demikian pada penduduk dunia yang berjumlah

hanya pada tingkat milyar, akan mustahil ditemukan dua orang yang

giginya sama keadaannya. Adanya pola erupsi dengan 20 gigi susu dan 32

gigi tetap serta adanya perubahan karena rusak atau tindakan perawatan

seperti pencabutan, tambalan dengan berbagai bahan pada berbagai

permukaan mahkotanya, perawatan saluran akar, ditambah ciri-ciri khas

seperti bentuk lengkung, kelainan posisi dan sebagainya menyebabkan

gigi sangat khas bagi orang yang memiliki.

2. Derajat kekuatan dan ketahanan terhadap berbagai pengaruh kerusakan

Sarana identifikasi konvensional seperti sidik jari misalnya, memiliki

kelemahan mudah rusak sehingga tidak dapat digunakan lagi atau kurang

memberi hasil yang meyakinkan. Identifikasi dengan sarana gigi sangat

mungkin dilakukan karena sifat gigi yang kuat, tahan terhaap berbagai

pengaruh kerusakan, seperti trauma mekanis, termis, kimiawi,

dekomposisi, dan lain sebagainya. Hal ini karena gigi disamping

3
strukturnya banyak mengandung bahan anorganik sehingga kuat, juga

karena gigi merupakan jaringan tubuh yang terdapat dibagian badan yaitu

mulut yang cukup memberikn perlindungan terhadap berbagai pengaruh

kerusakan (Gadro, 1999).

Identifikasi dengan sarana gigi dilakukan dengan cara membandingkan

antara data gigi yang diperoleh dari pemeriksaan gigi orang atau jenazah yang

tidak dikenal ( data postmortem ) dengan data gigi yang pernah dibuat

sebelumnya dari orang yang diperkirakan ( data antemortem ). Identifikasi

dengan cara membandingkan data ini akan dapat memberi hasil identifikasi

sampai tingkat individu, yaitu dapat menunjuk siapa orang yang diidentifikasi

tersebut. Dengan cara membandingkan data akan diperoleh dua kemungkinan

hasil, yaitu sama atau tidak sama. Apabila dari hasil perabandingan data itu sama,

maka dikatakan identifikasi positif, identifikasi bahwa orang tak dikenal itu

adalah sama dengan orang yang diperkirakan. Dengan demikian identitas orang

yang tidak dikenal tersebut telah diketahui sepenuhnya. Sebaliknya, apabila hasil

identifikasi adalah negatif ini berarti orang yang tidak dikenal itu bukan orang

yang diperkirakan, sehingga dengan demikian orang yang tidak dikenal tersebut

belum diketahui identitasnya. Untuk mencari identitas orang tersebut masih harus

dicarikan lagi data gigi yang lain untuk diperbandingkan lagi (Gadro, 1999).

Data gigi antemortem merupakan syarat utama yang harus ada apabila

identifikasi dengan cara membandingkan akan diterapkan. Data data

antemortem tersebut antara lain berupa :

4
1. Dental record, yaitu keterangan tertulis berupa odontogram atau catatan

keadaan gigi pada pemeriksaan, pengobatan, perawatan gigi

2. Foto rontgen gigi

3. Cetakan gigi

4. Prothesis gigi atau alat orthodonsi

5. Foto close up muka atau profil daerah mulut dan gigi

6. Keterangan atau pernyataan dari orang-orang terdekat dibawah sumpah, dsb

Data data tersebut dapat dicari pada sumber-sumber antara lain praktek

dokter gigi, rumah sakit, instansi pelayanan kesehatan gigi, lembaga/pusat

pendidikan kedokteran gigi atau sanak saudara. Selain syarat utama bahwa data

antemortem harus ada, ketersediaan data-data tersebut juga harus memenuhi

keakuratan untuk dapat diperbandingkan denga data hasil pemeriksaan dari orang

tak dikenal yng akan diidentifikasi, misalnya dalam hal kelengkapan atau

kesempurnaan catatan data, kejelasan data untuk diinterpertasikan, dan kriteria

yang sama untuk diperbandingkan. Untuk data gigi postmortem yang perlu dicatat

pada pemeriksaan antara lain :

1. Gigi yang ada dan yang tidak ada. Bekas gigi yang tidak ada apakah baru

atau lama

2. Gigi yang ditambal, jenis bahan dan klasifikasi tambalannya

3. Anomali bentuk posisi gigi

4. Karies atau kerusakan gigi yang ada

5. Jenis dan bahan restorasi, perawatan dan rehabilitasi yang mungkin ada

seperti jacket crown, gigi jembatan, plat orthodonsi, prothesis gigi, dll

5
6. Atrisi atau keausan daratan kunyah gigi yang merupakan proses fisiologia

untuk fungsi mengunyah. Derajat atrisi ini akan sebanding dengan umur

7. Gigi molar ketiga sudah tumbuh atau belum

8. Lain-lain seperti misalnya: ciri-ciri populasi ras dan geografis. Disebutkan

ciri-ciri incisival shovel shape pada gigi incisivus dan tubercullum carabelli

pada gigi molar kesatu atas banyak dijumpai pada ras mongoloid. Panjang,

lebar, dan tinggi atau kedalaman palatum dapat dipertimbangkan terhadap

hubungan antara perkembngan fungsi pernafasan yang terjadi pada dasar

rongga hidung dengan tekanan udara daerah geografis apakah pegunungan

pantai dan sebagainya (Gadro, 1999).

Terkadang karena waktu akan terdapat variasi ketika membandingkan catatan

tersebut. Identifikasi jenis kelamin adalah bagian dari odontologi forensik dan

sangat penting khususnya ketika tidak tersediannya informasi mengenai jenazah

(Ramakrishnan, dkk 2015). Dan dapat menentukan 50% probabilitas kecocokan

dalam identifikasi individu serta dapat mempengaruhi beberapa metode

pemeriksaan lainnya, seperti estimasi usia dan tinggi tubuh individu (Eboh,2012).

Bermacam-macam metode telah digunakan untuk mengidentifikasi jenis

kelamin. Identifikasi jenis kelamin dapat dilakukan dengan analisis morfologi

jaringan keras (odontometri, orthometri dan bermacam-mcam keterangan lain)

pada bagian oral dan perioral atau jaringan lunak ( cetakan bibir-cheiloscopy, pola

rugae pada palatal-rugoscopy) atau analisis molekular (Ramakrishnan, dkk 2015).

6
2.1 Analisis Morfologi

2.1.1 Analisis jaringan keras

1. Metode odontometri

Pada analisis jaringan keras metode odontometri meliputi (a) dimensi

mesiodistal (MD) dan dimensi buccolingual (BL) pada gigi (b) mean canine index

(MCI) (indeks gigi), dan (c) morfologi gigi. Dimorfisme seksual terdapat pada

ukuran dan bentuk gigi. Ukuran gigi terbaik diukur selama awal gigi permanen

karena tahap dimana gigi mendapatkan sedikit stimulus eksteral dan internal

(Ramakrishnan, dkk 2015).

a. Dimensi mesiodistal (MD) dan dimensi buccolingual (BL)

Banyak penelitian yang melaporkan MD gigi pada pria lebih besar

dibanding wanita. Bermacam teori telah diberikan untuk menjelaskan

dimorfisme seksual kanina. Menurut Moss, hal tersebut disebabkan

enamel pada pria lebih besar dan tebal daripada wanita karena periode

amelogenesis yang lebih lama atau karena kromosom Y memperlambat

maturasi pada pria. Penulis lain merekomendasikan pengukuran dimensi

BL dapat dipercaya untuk mengidentifikasi jenis kelamin karena dimensi

BL pada pria lebih besar daripada wanita.

Pada penelitian terbaru menyimpulkan dimensi MD lebih baik

digunakan untuk identifikasi jenis kelamin daripada dimensi BL, pasti

terdapat ketidaksesuaian yang terjadi ketika mengukur dimensi MD karena

kontak yang terlalu dekat dengan gigi yang lain. Oleh karena itu, antara

7
dimensi MD dan BL keduanya membantu sebagai alat yang lebih handal

untuk identifikasi jenis kelamin (Ramakrishnan, dkk 2015).

Tabel 1. Perbedaan dimensi gigi MD dan BL antara pria dan wanita

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4606628/table/T1/

8
Gambar 1. Pengukuran dimensi gigi MD

http://jms.org.br/PDF/v29n2a09.pdf

Gambar 2. Pengukuran dimensi gigi BL

http://jms.org.br/PDF/v29n2a09.pdf

9
b. Mean canine index (MCI)

MCI adalah lebar mahkota mesiodistal pada kanina mandibula,

standar dari MCI adalah 0,274. Jika hasil MCI pada spesimen tengkorak

kurang dari atau sama dengan standar MCI maka individu tersebut

dikategorikan wanita. Jika hasilnya lebih dari standar MCI maka individu

tersebut adalah pria (Ramakrishnan, dkk 2015).

c. Morfologi gigi

Fitur nonmetrik seperti tepi aksesori bagian distal, jumlah kuspid di

mandibula molar pertama dapat digunakan dalam penentu jenis kelamin.

Tepi aksesori bagian distal akan terlihat pada pria dibanding wanita. Pada

wanita lebih sedikit jumlah kuspid pada mandibula molar pertama

dibanding pria ( kuspid distobuccal atau kuspid distal ) (Ramakrishnan,

dkk 2015).

2. Metode orthometri

Metode orthometri meliputi morfologi tengkorak dan mandibula

(Ramakrishnan, dkk 2015). Pada pria umumnya memiliki ukuran yang lebih

besar, rahang (os. Mandibula) memiliki dagu yang lebih persegi atau dasarnya

mendatar, sudut rahang tampak lebih lancip (acute angle jaw) dan proseccus

mastoideus lebih menonjol. Sedangkan rahang (os. Mandibula) pada wanita

memiliki dagu yang lebih lancip atau dasarnya mendatar (square chin). Sudut

rahang juga tampak lebih lebar (widerangleof jaw) dan proccesus mastoideus

lebih tumpul atau tidak menonjol (Smithosonian,2009).

10
Gambar 3. Tengkorak pria

http://anthropology.si.edu/writteninbone/comic/activity/pdf/skeleton_male_or_fe

male.pdf

Gambar 3. Tengkorak wanita

http://anthropology.si.edu/writteninbone/comic/activity/pdf/skeleton_male_or_fe

male.pdf

11
2.1.2 Analisis jaringan lunak

1. Cheiloscopy

Cheiloscopy adalah ilmu yang mempelajari tentang sidik bibir. Sidik bibir

dapat diidentifikasi sejak usia enam minggu bayi dalam kandungan. Sidik bibir

tersebut tidak akan berubah setelah itu. Sehingga sidik bibir digunakan untuk

membantu dalam mengidentifiaksi seseorang (Ramakrishnan, dkk 2015).

Sidik bibir didefinisikan sebagai gambaran alur mukosa bibir atas dan

bawah, dan oleh Suzuki dinamakan figura linearum labiorum rubrorum. Garis

garis normal atau alur pada bibir memiliki karakteristik yang individual sama

halnya seperti yang terdapat pada sidik jari (Septadina, 2015). Sidik bibir

merupakan lekukan yang terdapat pada tepian vermilion atau bagian mereh bibir.

Menurut Suzuki dan Tsuhihashi dalam Ramakrishnan, dkk 2015, klasifikasi dari

sidik bibir antara lain :

Gambar 5. Klasifikasi sidik

bibir

http://www.ncbi.nlm.nih.gov

/pmc/articles/PMC4606628/f

igure/F1/

12
Pada penelitian yang dilakukan Vahanwala, dkk dalam Ramakrishnan, dkk 2015

menyimpulkan :

Tipe I, I pola dominan pada wanita

Tipe II - pola dominan pada wanita

Tipe III - pola dominan pada pria

Tipe IV pola pada pria

Tipe V pola varisi pada pria

Beberapa metode pengambilan sidik bibir diantaranya yaitu menggunakan

kertas karton tipis dan pewarna bibir, lateks, scoth tape, fotografi, bahan pencetak

gigi, kaca preparat dan finger print hinge lifter. Berdasarkan hasil pengambilan

sidik bibir yang paling mudah dilakukan yaitu dengan menggunakan karton tipis

dan hasil yang didapatkan cukup jelas (Septadina,2015).

2. Rugoscopy

Rugoscopy adalah ilmu yang mempelajari pola ruga palatal untuk

mengidentifikasi seseorang (Ramakrishnan, dkk 2015). Ruga palatal merupakan

ridge dari membran mukosa yang irregular dan asimetris meluas kelateral dari

papila insisivus dan bagian anterior dari median palatal raphe. Fungsi dari ruga

palatal adalah untuk memfasilitasi transporasi makanan dan membantu proses

pengunyahan. Selain itu, adanya reseptor gustatori dan taktil pada ruga palatal,

maka ikut berkontribusi dalam perisa rasa, persepsi lidah dan tekstur makanan

(Chairani&Aerkari, 2008).

Pola ruga palatal yang dapat dipelajari meliputi jumlah, panjang, lokasi

dan bentuknya yang dapat dilihat melalui cetakan gigi atau foto intra oral

13
(Chairani&Aerkari, 2008). Klasifikasi yang sering digunakan adalah klasifikasi

yang dibuat oleh Thomas, dkk yang mengklasifikasi berdasarkan panjang ruga

yaitu :

Ruga primer ( 5-10mm )

Ruga sekunder ( 3-5mm)

Fragmen ruga ( <5mm )

Sedangkan menurut bentuknya diklasifikasi menjadi :

Kurva berbentuk bulan sabit sederhana yang melengkung

Bergelombang

Lurus berjalan langsung dari asal ke bagian akhir

Sirkular berbentuk seperti cincin

Gambar 6. Bentuk ruga palatal

14
Ada beberapa cara untuk menganalisis ruga palatal yaitu :

a. Pemeriksaan intraoral merupakan cara yang paling mudah, murah, dimana

cukup dengan menggunakan kaca mulut dapat dilihat gambaran ruga

palatal dari seseorang. Namun cara ini sulit digunakan bila hendak

membandingkan antara ruga palatal satu individu dengan individu lain

b. Membuat fotografi oral dengan menggunakan kamera intra oral. Cara ini

memungkinkan perbandingan ruga palatal antar individu

c. Pembuatan cetakan. Cara ini juga mudah dan murah yaitu cukup mencetak

rahang atas individu. Rahang dicetak dengan menggunakan irreversible

hydrocollid dan diisi dengan dental stone. Hasil cetakan harus bebas dari

porus atau gelembung udara terutama pada bagian anterior dari palatm.

Dengan bantuan kaca pembesar, ruga palatal pada model gigi diwarnai

dengan pensil/bolpoin hitam untuk memperjelas gambaran pola dari ruga

palatal. Bila perlu, dapat dibuat foto dan dianalisa dengan program

Photoshop. Pengukuran ruga dapat menggunakan kaliper atau penggaris

contohnya penggaris Kenson. Untuk analisa perbandingan dapat dibuat

calcorrugoscopy atau overlay print dari ruga palatal pada model maksila

(Chairani, dkk 2008).

15
2.2 Analisis Molekular

Pola morfologi dapat berubah-ubah dengan berjalannya waktu dan dengan

adanya faktor-faktor dari luar, sehingga metode yang digunakan untuk identifikasi

jenis kelamin dengan analisis molekuler DNA. Pengambilan DNA dari gigi

seseorang yang tidak diketahui identitasnya dapat dibandingkan dengan sampel

DNA antemortem. DNA terdapat di darah, sisir, baju, atau sampel biopsi dapat

digunakan sebagai smber DNA antemortem (Ramakrishnan, dkk 2015).

1. Barr bodies

Secara mikroskopis atau histologis jenis kelamin dapat dideteksi

dengan melihat keberadaan kromatin seks yaitu; kromatin-X dan

kromatin-Y. Pada tahun 1949, Barr dan Bertam menemukan perbedaan

diantara keduanya. Mereka menemukan adanya kondensasi kromatin yang

berukuran kecil pada inti sel dari sel saraf kucing betina tetapi tidak

dimiliki oleh sel-sel kucing jantan. Penemuan tersebut dinamakan sesuai

dengan nama penemunya yaitu Barr bodies. Pada manusia, kondensasi

kromatin ini juga dapat ditemukan di tulang, sel retina, sel mukosa rongga

mulut, biopsi sel kulit, darah, tulang rawan, akar batang rambut dan pulpa

gigi. Barr bodies dapat ditemukan pada sekitar 40% sel wanita sedangkan

pada sel pria tidak memiliki Barr bodies sehingga disebut kromatin negatif

(Khorate, dkk 2014).

Barr bodies sendiri adalah struktur basofilik dengan ukuran 0,8 x

1,1 mikron, yang memiliki bermacam bentuk seperti bulat, persegi

panjang, datar-cembung, bikonveks dan segitiga. Pada mikroskop elektron

16
bar body memiliki bentuk yang menyerupai abjad seperti V, W, S atau X

(Ramakrishnan, dkk 2015).

2. F-bodies

Kromoson Y mengandung F-bodies, sehingga dapat digunakan

untuk mengidentifikasi jenis kelamin. Banyak penelitian yang

dilakukan untuk identifikasi F-bodies dari jaringan pulpa. Kromatin Y

dapat diteliti di dalam sel selama masa interfase dengan memberikan

pewarnaan Quinacrine mustard, dimana dengan pewarnaan tersebut

keberadaan kromatin Y akan berfluoresensi lebih terang dan dengan

kehadirannya dapat secara konklusif mengindikasikan kromosom Y

dan jenis kelamin positif sebagai pria (Khorate, dkk 2014).

3. Amelogenin

Amelogenin merupakan protein utama pada pembentukan enamel

pada gigi manusia yang dikode oleh gen yang berlokasi pada kromosom

seks AMELX (Xp22.1-Xp22.3) dan AMELY (Yp11.2). Gen amelogenin

memiliki perbedaan baik dalam ukuran maupun sekuennya, namun gen ini

juga memiliki bagian homolog yang memungkinkan untuk dilakukan

amplifikasi secara simultan menggunakan sepasang primer tunggal.

Variasi perbedaan panjang intron pertama pada gen amelogenin X-Y

homolog (AMELX dan AMELY) dimanfaatkan untuk analisis penentuan

jenis kelamin dalam bidang forensik, analisis arkeologi dan analisis

prenatal. Gen AMEL pada wanita berlokasi pada kedua kromosom X dan

homozigot (46, XX). Pada pria gen AMEL hadir pada kedua kromosom X

dan Y namun heterozigot (46, XY) (Syafitri, K dkk 2013).

17
Beberapa variasi tes amelogenin telah dipublikasikan. Metode yang

paling sering digunakan adalah metode yang dikembangkan oleh Sullivan

dkk. Teknik ini membagi fragmen X dan Y pada 106 bp dan 112 bp.

Produk amplifikasi dengan metode ini dapat diidentifikasi setelah proses

elektroforesis kapiler, pyrosequencing, serta gel poliakrilamid agarose.

Protokol lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan

AMELX dan AMELY yaitu protokol yang di desain oleh Nakahori dkk.

protokol ini membagi produk 977 bp (AMELX) dan 790 bp (AMELY)

yang dapat dengan mudah dipisahkan menggunakan elektroforesis gel

agarose. Pengujian terhadap gen AMEL dapat dilakukan dengan cepat,

lebih akurat, dan memerlukan kuantitas sampel yang kecil (Syafitri, K dkk

2013).

Amelogenesis dapat berkaitan dengan ukuran gigi, kromosom Y

mempengaruhi pembentukan enamel dan dentin sedangkan kromosom X

mempengaruhi pembentukan mahkota terbatas pada enamel. Hal ini

menjelaskan bahwa mahkota gigi pada pria lebih besar daripada wanita

akibat periode waktu amelogenesis pada pria lebih lama dibandingkan

pada wanita (Syafitri, K dkk 2013).

4. Sex-determining region (SRY)

Sex-determining region (SRY) merupakan gen yang berperan

dalam perkembangan karakteristik pria. Gen SRY berlokasi pada lengan

pendek (p) kromosom Y pada posisi 11.3. Terdiri dari satu ekson yang

mengkode 204 asam amino. SRY pada kromosom Y menyebabkan embrio

berkembang sebagai pria. Deteksi rangkaian SRY akan membedakan

18
sampel DNA pria dari sampel DNA wanita. Penelitian terbaru dalam

aplikasi analisis SRY yaitu pemeriksaan menggunakan sel epitel yang

diekstraksi dari akrilik gigi tiruan sebagai sampel DNA untuk determinasi

jenis kelamin. Peneliti tersebut melaporkan bahwa sampel yang diteliti

berhasil dalam deteksi dan kuantifikasi DNA (Syafitri, K dkk 2013).

5. Kromosom-Y marker (Y-STRs)

Y-STRs adalah short tandem repeat yang ditemukan pada

kromosom-Y spesifik merupakan gen koding yang ditemukan pada lengan

pendek kromosom Y, yang penting terhadap determinasi jenis kelamin

pria, spermatogenesis, dan fungsi lain terkait dengan pria. Y-STRs bersifat

polimorfik diantara pria yang tidak berkaitan dan diturunkan melalui garis

paternal. Pada dasarnya, ayah mewariskan profil Y-STRs DNA mereka

pada keturunan laki-laki, dari generasi ke generasi, tanpa perubahan profil

(Syafitri, K dkk 2013).

19
BAB 3

KESIMPULAN

Letak Indonesia yang berada diantara empat lempeng tektonik membuat

Indonesia menjadi negara yang rawan bencana alam. Faktor manusia juga turut

berperan menimbulkan bencana. Hal ini sering menyebabkan banjir ataupun tanah

longsor akibat penggundulan hutan, kecelakaan lalu lintas dan terorisme.

Bencana-bencana tersebut menimbulkan korban jiwa dalam jumlah yang banyak

yang tidak jarang korban sulit untuk dikenali. Dengan adanya proses identifikasi

yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan serta akhirnya

menyerahkan kepada keluarga. Selain itu identifikasi dapat memberikan

ketenangan psikologis bagi keluarga dengan adanya kepastian identitas korban.

Proses identifikasi merupakan hal yang cukup kompleks dan untuk

mendapatkan identifikasi positif dari seseorang maka harus didukung sejumlah

data dari berbagai metode identifikasi. Identifikasi jenis kelamin di odontologi

forensik dapat dilakukan baik dengan menggunakan analisis morfologi ataupun

analisis molekuler. Variasi morfologi menguhubungkan jenis kelamin dengan

menggunakan analisis jaringan keras dan lunak. Analisis jaringan keras meliputi

variasi morfologi dari dimensi gigi (odontometri) dan variasi morfologi tengkorak

(ortometri). Cheiloscopy dan Rugoscopy dilakukan untuk menganalisis jaringan

lunak. Analisis molekuler dapat dilakukan dengan menggunakan barr-boddies, F-

bodies, sex determining region Y gene, amel gene dan chromosom Y marker.

20
DAFTAR PUSTAKA

Prawestiningtyas, E & Algozi, AM 2009, Identifikasi Forensik Berdasarkan

Pemeriksaan Primer dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban pada Dua

Kasus Bencana Masssal, vol. XXV, hal 87-94

Hoediyanto & Apuranto, H 2012, Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Edisi Kedelapan, Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Universitas Airlangga, Surabaya

Ramakrishnan, dkk 2015, Sex determination in forensic odontology : A review,

dilihat 4 Juli 2016, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4606628/

Eboh, DA 2012, Dimorphic study of maxillary first molar crown dimensions of

Urbohos in Abraka, South- Southern Nigeria. J Morphol Sci; 29(2): 96-100,

dilihat 5 Juli 2016, http://jms.org.br/PDF/v29n2a09.pdf

Smithsonian, 2009, National Museum of Natural History. Compare Male vs

Female Jaw.on dilihat 5 Juli 2016,

http://anthropology.si.edu/writteninbone/comic/activity/pdf/skeleton_male_or_fe

male.pdf

Septadina, IS 2015, Identifikasi individu dan jenis kelamin berdasarkan pola sidik

bibir, vol. 2, hal. 231-236

Chairani, S & Auerkari, EI 2008, Pemnfaatan ruga palatal untuk identifikasi

forensik, vol. 15(3), hal. 261-269

21
Gadro, SA 1999, Peran odontologi forensik sebagai salh satu sarana

pemeriksaan identifikasi jenasah tidak dikenal, vol. 31, hal 195-199

Khorate, dkk 2014, Gender determination from pulpal tissue, vol.6(2), hal 107-

112, dilihat 7 Juli 2016, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4130012/

Syafitri, K dkk 2013, Metode pemeriksaan jenis kelamin melalui analisis

histologis dan DNA dalam identifikasi odontologi forensik, vol. 62, hal. 11-16,

dilihat 7 Juli 2016,

http://staff.ui.ac.id/system/files/users/elza.ibrahim/publication/59-188-1-

pb_ks_eia.pdF

http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2090536X14000604

22

Anda mungkin juga menyukai