Oleh :
Adlia Ulfa Syafira
1618012066
Preceptor :
dr. Zulfadli, Sp.OG
Preceptor Penyaji
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat, rahmat, dan karunianya sehingganya Penulis dapat menyelesaikan referat
ini dengan baik yang berjudul Sindrom Ovarium Polikistik. Referat ini berisikan
informasi mengenai Sindrom Ovarium Polikistik yang membahas tentang definisi,
etiologi, patofisiologi, dampak klinis, diagnosis, dan penatalaksanaan. Diharapkan
referat ini dapat memberikan pengetahuan kepada kita semua tentang Sindrom
Ovarium Polikistik.
Penulis sampaikan terima kasih kepada dr. Zulfadli, Sp. OG yang telah
membimbing dan membantu penulis dalam penyelesaikan referat ini, sehingga
referat ini dapat selesai dengan baik.
Penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu Penulis
harapkan demi kesempurnaan referat ini. Semoga referat yang sederhana ini dapat
bermanfaat dan berguna bagi kita.
Penulis
3
DAFTAR ISI
COVER ............................................................................................................ 1
KATA PENGANTAR ...................................................................................... 2
DAFTAR ISI .................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 6
2.1 ETIOLOGI ................................................................................... 6
2.2 PATOFISIOLOGI ......................................................................... 7
2.3 DIAGNOSIS................................................................................. 9
2.4 DAMPAK KLINIS ....................................................................... 15
2.5 KELAINAN ANDROGEN, FOLIKULOGENESIS,
GONADOTROPIN, DAN INSULIN PADA SOPK..................... 19
2.6 PENATALAKSANAAN .............................................................. 23
BAB III KESIMPULAN ................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 32
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ETIOLOGI
Penyebab sindrom ovarium polikistik hingga saat ini belum diketahui
pasti. Diduga faktor penyebabnya terletak pada gangguan proses pengaturan
ovulasi dan ketidakmampuan enzim yang berperan pada proses sintesis estrogen
di ovarium. Pengeluaran luteinizing hormone (LH) berlebihan pada wanita
dengan SOPK menyebabkan terjadinya peningkatan sintesis androgen di
ovarium.1
6
1. Peningkatan faktor pertumbuhan menyebabkan peningkatan respon
ovarium terhadap luteinizing hormone (LH) dan Follicle Stimulating
Hormone (FSH), sehingga perkembangan folikel ovarium bertambah dan
produksi androgen akan meningkat. Perkembangan folikel yang berlebihan
2
ini akan menyebabkan banyaknya folikel yang bersifat kistik.
7
Gambar 1. Produksi hormon pada sindrom ovarium polikistik
2.2 Sumber: Polycystic ovary syndrome-Frances E.Ruffin Patofisiologi
Sindrom
ovarium polikistik adalah suatu anovulasi kronik yang menyebabkan
infertilitas dan bersifat hiperandrogenik, di mana terjadi gangguan hubungan
umpan balik antara pusat (hipotalamus-hipofisis) dan ovarium sehingga kadar
estrogen selalu tinggi yang mengakibatkan tidak pernah terjadi kenaikan kadar
FSH yang cukup adekuat. Fisiologi ovulasi harus dimengerti lebih dahulu
untuk dapat mengetahui mengapa sindrom ovarium polikistik ini dapat
menyebabkan infertilitas. Secara normal, kadar estrogen mencapai titik
terendah pada saat seorang wanita dalam keadaan menstruasi. Pada waktu
yang bersamaan, kadar LH dan FSH mulai meningkat dan merangsang
pembentukan folikel ovarium yang mengandung ovum. Folikel yang matang
memproduksi hormon androgen seperti testosteron dan androstenedion yang
akan dilepaskan ke sirkulasi darah. Beberapa dari hormon androgen tersebut
akan berikatan dengan sex hormone binding globulin (SHBG) di dalam darah.
Androgen yang berikatan ini tidak aktif dan tidak memberikan efek pada
tubuh. Sedangkan androgen bebas menjadi aktif dan berubah menjadi hormon
estrogen di jaringan lunak tubuh. Perubahan ini menyebabkan kadar estrogen
meningkat, yang mengakibatkan kadar LH dan FSH menurun. Selain itu kadar
estrogen yang terus meningkat akhirnya menyebabkan lonjakan LH yang
merangsang ovum lepas dari folikel sehingga terjadi ovulasi. Setelah ovulasi
terjadi luteinisasi sempurna dan peningkatan tajam kadar progesteron yang
diikuti penurunan kadar estrogen, LH dan FSH. Progesteron akan mencapai
puncak pada hari ke tujuh sesudah ovulasi dan perlahan turun sampai terjadi
menstruasi berikutnya. Pada sindrom ovarium polikistik siklus ini terganggu.
Karena adanya peningkatan aktivitas sitokrom p-450c17 (enzim yang
diperlukan untuk pembentukan androgen ovarium) dan terjadi juga
8
peningkatan kadar LH yang tinggi akibat sekresi gonadotropine releasing
hormone(GnRH) yang meningkat. Hal ini sehingga menyebabkan sekresi
androgen dari ovarium bertambah karena ovarium pada penderita sindrom ini
lebih sensitif terhadap stimulasi gonadotropin. Peningkatan produksi androgen
menyebabkan terganggunya perkembangan folikel sehingga tidak dapat
memproduksi folikel yang matang. Hal ini mengakibatkan berkurangnya
estrogen yang dihasilkan oleh ovarium dan tidak adanya lonjakan LH yang
memicu terjadinya ovulasi. Selain itu adanya resistensi insulin menyebabkan
keadaan hiperinsulinemia yang mengarah pada keadaan hiperandrogen, karena
insulin merangsang sekresi androgen dan menghambat sekresi SHBG hati
sehingga androgen bebas meningkat. Pada sebagian kasus diikuti dengan
tanda klinis akantosis nigrikans dan obesitas tipe android. 3
Salah satu patofisiologi yang berperan pada SOPK adalah adanya
polimorfisme pada gen 17-hidroksilase atau dikenal dengan enzim CYP-17
yang berperan dalam produksi androgen. Enzim ini dikode oleh gen CYP-17
pada kromosom 10q24,3 yang bekerja dengan mengubah 17 alpha
hidroksilase menjadi kortisol. Ketika 17 alpha hidroksilase dan 17,20 liase
teraktivasi, maka dehidrotestosteron (DHEA) kemudian akan diubah menjadi
tesosteron dan estradiol oleh isoenzim 17 beta hidroksteroid dehydrogenase
dan aromatase.3
9
Gambar 2. Patofisiologi SOPK
2.3 Sumber: Gynaecology-evidence based algorithms Diagnosis
10
menggunakan teknik kontrasepsi apapun infertilitas ini disebut juga infertilitas
primer. Sedangkan infertilitas sekunder merupakan keadaan dimana seorang
wanita tidak dapat memiliki anak atau mempertahankan kehamilannya. Untuk
mendiagnosis seorang wanita mengalami infertilitas dapat diperiksa dengan
menggunakan tes ovulasi dan potensi tuba.5
hidup,yaitu konsumsi alcohol, merokok, IMT <19 ataupun >29 ,olahraga yang
berat seperti aerobik selama 3-5 jam perminggu, dan pekerjaan yang terpapar
11
2. Gangguan pada tuba. Keadaan ini biasanya disebabkan ole
h adanya
infeksi oleh Chlamidia, Gonorrhea ataupun TBC. Selain itu, adanya
endometriosis juga sering dikaitkan menjadi penyebab gangguan tuba
yang berefek pada meningkatkan infertilitas.5
12
SOPK adalah sindrom klinis yang hingga saat ini belum ada kriteria
tunggal yang cukup untuk mendiagnosis penyakit ini. Saat ini, kriteria
diagnosis SOPK yang digunakan secara luas adalah Kriteria Rotterdam 2003
(Tabel 1)
13
Gambar 3. Alur diagnosis SOPK
Sumber: Gynaecology-evidence based algorithms
2.3.1.2 Hiperandrogenisme
14
Hiperandrogenisme mencakup tanda-tanda klinis dana tau
baik biokimia tanpa ada atau adanya gangguan sistem endorkrin
pengecekan dapat dilakukan dengan melihat pertumbuhan bulu pada
tubuh penderita atau dapat dilakukan dengan Ferriman Gallwel
Score. Untuk keakuratan hasil dapat pula di cek melalui direct
radioimmunoassay (RIA) dengan menghitung kadar testosteron
bebas.4
15
Definisi gambaran ovarium polikistik kriteria Rotterdam
2003 adalah adanya 12 folikel atau lebih yang memiliki diameter
2-9 mm pada masing-masing ovarium dan/atau peningkatan volum
ovarium (>10mL). distribusi folikel dan peningkatan ekogenisitas
stroma tidak termasuk dalam kriteria penilaian ini.
Syarat pemeriksaan ultrasonografi untuk menilai gambaran
ovarium polikistik adalah:
16
Gambar 5. Ovarium normal dan ovarium polikistik
Sumber: Polycystic ovary syndrome 2nd edition
2.4.1 Infertilitas
Infertilitas pada sindrom ovarium polikistik berkaitan
dengan dua hal. Pertama karena adanya oligoovulasi/anovulasi.
Keadaan ini berkaitan dengan hiperinsulinemia di mana terdapat
resistensi insulin karena sel-sel jaringan perifer khususnya otot dan
jaringan lemak tidak dapat menggunakan insulin sehingga banyak
dijumpai pada sirkulasi darah. Makin tinggi kadar insulin seorang
wanita, makin jarang wanita tersebut mengalami menstruasi.
Penyebab yang kedua adalah adanya kadar LH yang tinggi
sehingga merangsang sintesa androgen. Testosteron menekan
sekresi SHBG oleh hati sehingga kadar testosteron dan estradiol
17
bebas meningkat. Kenaikan kadar estradiol memberi umpan balik
positif terhadap LH sehingga kadar LH makin meningkat lagi
sedangkan kadar FSH tetap rendah. Hal ini menyebabkan
pertumbuhan folikel terhambat, tidak pernah menjadi matang
apalagi terjadi ovulasi.3
18
Pasien mengeluhkan seringnya terjadi peradangan pada kulit akibat
penyumbatan pori serta pertumbuhan rambut pada tubuh yang
berlebihan. Kelainan yang biasanya timbul adalah dermatitis
seboroik, hidradenitis supuratif, akantosis nigrikans dan kebotakan.
Akantosis nigrikans selain berhubungan dengan keadaan
hiperandrogen juga terkait dengan adanya hiperinsulinemia.3
2.4.5 Obesitas
Obesitas pada sindrom ovarium polikistik dideskripsikan
sebagai obesitas sentripetal, di mana distribusi lemak ada di bagian
sentral tubuh terutama di punggung dan paha. Wanita dengan
sindrom ini sangat mudah bertambah berat tubuhnya. Obesitas tipe
ini berkaitan dengan peningkatan risiko menderita hipertensi dan
diabetes.3
19
Gambar 6. Dampak Klinis SOPK
2.5 Sumber: Gynaecology-evidence based algorithms Kelainan
Androgen,
Folikulogenesis, Gonadotropin, dan Insulin pada SOPK
Lingkungan (milieu) endokrin pada perempuan dengan anovulasi
kronis cenderung berada pada steady state, yang berarti konsentrasi
gonadotropin dan steroid seks cenderung stabil.14
2.5.1 Kelainan Androgen
Hiperandrogenisme adalah tanda utama pada SOPK, akibat
produksi berlebih pada ovarium dan kelenjar suprarenal. Sekitar
60-80% pasien dengan SOPK memiliki konsentrasi testosteron
yang tinggi di sirkulasi. Androgen yang meningat pada SOPK
mencakup testosteron, androstenedione, dehidroepiandosteron
(DHEA), dehidroepiandosteron sulfat (DHEA-S), dan 17-
hidroksiprogesteron (17-OHP). Peningkatan produksi androgen
ovarium disebabkan oleh peningkatan stimulasi oleh LH dan
peningkatan bioaktivitas LH oleh insulin. Belum ada penjelasan
mengapa produksi androgen oleh kelenjar suprarenal juga
meningkat pada SOPK. 14
20
diketahui sepenuhnya, tetapi tampaknya berhubungan dengan
gangguan signalling androgen. Pada beberapa studi dilaporkan
adanya korelasi positif antara jumlah folikel dengan kadar
testosterone dan androstenedion serum. Penyuntikan
dihidrotestosteron pada monyet juga menghasilkan morfologi
serupa SOPK, yaitu peningkatan volum ovarium dan jumlah
folikel. Monoterapi dengan anti-androgen, flutamide, pada remaja,
perempuan dengan SOPK berhasil menurunkan volum ovarium
dan memperbaiki profil folikel. 14
anovPCO Terminal
differentiation
cAMP cAMP
5mm
FSH 8mm 21
LH
insulin
Gambar 7. Diferensiasi terminal folikel pada perempuan normal dan
perempuan dengan SOPK anovulasi
Sumber: Current updates on polycystic ovary syndrome, endometriosis, adenomyosis
Androgen
In utero Pubertal nocturnal Favors LH and Folicular
Prepubertal in ovariuan steroids FSH synthesis maturation
Pubertal does not inhibit and secretion
GnRH pulse next day
22
Gambar 8. Skema mekanisme terjadinya gangguan sekresi gonadotropin pada SOPK
Sumber: Current updates on polycystic ovary syndrome, endometriosis, adenomyosis
23
Gambar 9. Dampak resistensi insulin pada SOPK
2.6 Penatalaksanaan
24
84 SECTION 3 Reproductive medicine
Management of anovulation lifestyle and weight loss rst-line
Obese women with PCOS are more likely than thin women with PCOS to sufer from
anovulation and less likely to respond to pharmacological OI methods.
Women with a BMI of 30 advise to lose weight as it may restore ovulation, improve their
25
response to ovulation induction agents, and have a positive impact on pregnancy outcomes.
Weight loss of even 510% of body weight often restores ovulatory cycles.
Medical management second-line clomiphene citrate
Sumber: Gynaecology-evidence based algorithms
6085% ovulate but only about half conceive.
Monitor cycle in at least the rst cycle and when the treatment dose needs to be increased to
minimize the risk of multiple pregnancy. Know your drug
Approximately 50% of conceptions will occur on 50 mg; with another 2025% and 10% on Mechanism selective oestrogen receptor modulator, stimulates endogenous FSH secretion
100 mg and 150 mg, respectively. by interrupting oestrogen feedback to the hypothalamus and pituitary.
26
Gambar 12. Lini 3 dan 4 pada SOPK Penatalaksanaan
Sumber: Gynaecology-evidence based algorithms
infertilitas yang dikaitkan
hubungannya dengan sindrom
polikistik ovarium adalah :
2. Mengatasi Hirsutisme.
a) Medikamentosa
Meningkatkan
sex hormone binding globulin (SHBG) dan
menurunkan kadar insulin contohnya metformin sebanyak 500 mg
yang dikonsumsi 2 kali dalam sehari dan dinaikkan dosisnya
27
menjadi 3 kali sehari apabila tidak terjadi ovulasi dalam 6 minggu.
Selain itu, dapat juga dengan memblokade kerja dari hormone
testosteron menggunakan sprinolakton yang dapat dikombinasikan
juga dengan kontrasepsi oral dapat meningkatkan respon sebesar
75%.9 Clomiphene citrate dengan dosis sebanyak 50 mg yang
dikonsumsi 1 kali sehari selama lima hari dapat dimulai pada
kapan saja namun jika pada wanita yang sedang menstruasi di
mulai pada hari ke 5 menstruasi. Bila dengan dosis awal pasien
tidak mengalami ovulasi dilanjutkan dengan dosis 100 mg selama
5 hari setelah 30 hari dari dosis awal. Dapat juga menggunakan
Aromatase Inhibitor Letrozole yang merupakan kelas terbaru yang
dapat menginduksi ovulasi.13
b) Mengatasi infertilitas
28
pasien gagal hamil dengan terapi ini maka dicoba terapi dengan
menggunakan human menopausal gonadotropine (hMG) atau
human follicle stimulating hormone (hFSH) yang telah dimurnikan.
Hormon-hormon ini merangsang ovarium untuk menghasilkan
ovum. Tetapi pemberiannya membutuhkan monitoring yang
intensif untuk mengurangi angka kejadian kehamilan multipel dan
sindrom hiperstimulasi ovarium. Kecenderungan tersebut
menyebabkan preparat ini diberikan dalam dosis rendah dengan
akibat pencapaian angka kehamilan juga lebih rendah yaitu hanya
36% setiap siklus.13
Penatalaksanaan infertilitas untuk dapat mengembalikan
fungsi reproduksi pada wanita ini juga dapat dilakukan secara
operatif. Prosedur reseksi baji pada ovarium efektif menurunkan
produksi LH dan androgen. Menstruasi yang teratur didapatkan
pada 75% pasien dengan angka kehamilan mencapai 60%. Tetapi
prosedur ini menyebabkan komplikasi berupa perlekatan di sekitar
daerah pelvis pada sekitar 30% pasien, sehingga sekarang
dilakukan dengan teknik elektrokauter secara laparoskopik yang
tidak terlalu invasif. Meskipun dapat membantu regulasi
menstruasi dan terjadinya ovulasi, komplikasi perlekatan harus
dipertimbangkan karena kemungkinan untuk menjadi hamil
berkurang di samping efek dari prosedur ini hanya jangka pendek.13
Untuk pasien yang tidak ingin hamil dapat menggunakan
pil kontrasepsi kombinasi untuk mengatur siklus menstruasi.
Keuntungan dari terapi ini adalah adanya komponen progesteron
yang dapat menyebabkan supresi sekresi LH sehingga
berkurangnya produksi androgen dari ovarium dan komponen
estrogen yang meningkatkan produksi SHBG sehingga konsentrasi
testosteron bebas dapat menurun dan akhirnya dapat juga
memperbaiki hirsutisme dan masalah kulit yang disebabkan oleh
hiperandrogenisme. Selain itu dapat mengurangi keluhan
dismenorea, perdarahan uterus disfungsional dan angka kejadian
penyakit radang panggul serta menurunkan kemungkinan terkena
29
kanker endometrium dan kanker ovarium. Meskipun demikian pil
kontrasepsi kombinasi dapat menyebabkan eksaserbasi resistensi
insulin dan meningkatkan kadar trigliserida sehingga dapat
memperbesar risiko penyakit kardiovaskuler dan diabetes.13
Kombinasi antara mengatasi masalah ovulasi yang tidak
teratur, hiperandrogenemia, dan pola hidup sehat untuk
menurunkan berat badan menjadi cara yang dianggap paling baik
untuk mengatasi masalah kesuburan ini.9
30
pemulihan sudah terlihat jelas. Didapatkan penurunan sekresi insulin
pada pasien yang menggunakan metformin. Konsentrasi testosteron
bebas menurun sebagai akibat berkurangnya produksi testosteron dan
meningkatnya SHBG. Metformin paling sering digunakan pada pasien
non insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) karena tidak
menyebabkan hipoglikemi. Beberapa pasien dapat menurunkan berat
badan dan perbaikan tekanan darah serta kadar lemak darahnya. Selain
itu pasien dapat menstruasi dan menjadi hamil pada saat
menggunakannya. Efek samping yang paling sering adalah keluhan
gastrointestinal. Obat lain yang dapat dipakai adalah troglitazon, tetapi
pemakaiannya harus diikuti dengan tes fungsi hati secara berkala
karena berpotensi menyebabkan kerusakan hati. Keunggulan dari
terapi ini adalah dapat mencegah perkembangan penyakit yang dapat
menyerang penderita seperti diabetes melitus, hipertensi dan penyakit
jantung koroner.13
BAB III
KESIMPULAN
31
oleh peningkatan hormon androgen di dalam darah, oligoovulasi atau anovulasi,
dan adanya gambaran polikistik ovarium pada pemeriksaan sonografi. Sindrom ini
dapat menyebabkan gangguan infertilitas dimana suatu pasangan tidak dapat
memiliki anak dalam waktu 12 bulan aktifitas seksual regular tanpa menggunakan
metode kontrasepsi apapun.
Wanita dengan sindrom ovarium polikistik (SOPK) memerlukan
pemeriksaan seksama dan menyeluruh agar dapat dilakukan pen talaksanaan yang
tepat untuk hasil yang optimal. Secara prinsip, penanganannya adalah dengan
perangsangan proses ovulasi melalui obat-obatan, seperti metformin (untuk meng-
atasi terjadinya resistensi insulin) dan perubahan gaya hidup pasien untuk
mengatasi kegemukan atau obesitas. Proses penebalan pada dinding ovarium
dapat diatasi dengan tindakan pembedahan, seperti laparoskopi, guna membantu
terjadinya ovulasi. Kegemukan atau obesitas sebaiknya diatasi/dihindari; tidak
adanya obesitas berdampak baik terhadap upaya menurunkan kadar insulin dan
membantu proses pematangan sel telur (ovum).
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Ruffin F. 2012. Polycystic ovary syndrome. Newyork: The Rosen Publishing Group
2. Kovacs G. 2007. Polycystic ovary syndrome 2nd edition. Cambridge: Cambridge
University Press
3. Eden J. 2005. Polycystic ovary syndrome: a womans guide to identifying and
managing PCOS. Australia: National Library of Australia
4. Azziz R. 2007. Polycystic ovary syndrome: current concepts on pathogenesis and
clinical care. Los Angeles:Springer
5. Chang R. 2014. Polycystic ovary syndrome. California: Marcel Dekker
6. Ali B. Sindrom ovarian polikistik dan penggunaan GnRH. Divisi Imunoendokrinologi,
Departemen Ginekologi dan Obstetric, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
[internet]. 2012 [diakses tanggal 26 Juli 2017];
39(8).Tersediadari:http://www.kalbemed.com/Portals/6/06_196Sindrom%20Ovarium
%20Polikistik% 20dan%20Penggunaan%20Analog%20Gn RH.pdf
7. Kasim-Karakas SE., Cunningham,WM., Tsodikov, A.Relation of nutrients and
hormones in polycystic ovary syndrome. Am J Clin Nutr[internet]. 2007[diakses
tanggal 26 Juli 2017]; 85(3):688-94. Tersedia dari :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1 7344488
8. Laksmi M. Sindrom ovarium polikistik: permasalahan dan penatalaksanaannya.
Bagian Obstetri-Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti [internet]. 2002.
[diakses tanggal 28 Juli 2017]; 21(3). Tersedia dari: http://www.univmed.org/wp-
content/uploads/2011/02/Dr._Laksmi.pdf
9. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Jakarta: Himpunan Endokrinologi
Reproduksi dan Fertilitas Indonesia; 2013.
10. Balen AH, Jacobs HS. Infertility in practice 2nd edition [internet]. London: Churchill
Livingstone; 2003[diakses tanggal 26 Juli 2017 ]. Tersedia dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/article s/PMC1995495/
11. Iweko B, Prawesti D, Hestiantoro A, Sumapraja K, Natadisastra M, Baziad A.
Chronological age vs biological age: an age-related normogram for antral follicle
count, FSH and anti-Mullerian hormone [internet]. 2010 [diakses tanggal 26 Juli
2017 ]. Tersedia dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/article s/PMC3843177/
12. Dunaif A. 2008. Polyvystic ovary syndrome: current controversies, from the ovary to
the pancreas. Chicago. Humana Press
13. Michael TS. Polycystic ovarian syndrome : diagnosis and management
[internet].Marshfield Clinic; 2004[diakses tanggal 27 Juli 2017]. Tersedia dari :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC/1069067/
14. Hestiantoro A. 2013. Current updates on polycystic ovary syndrome, endometriosis,
adenomyosis. Jakarta: Sagung Seto
15. Pundir J. 2016. Gynaecology : evidence based algorithms. Cambrdige: Cambridge
University Press
33