Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

SINDROM OVARIUM POLIKISTIK

Oleh :
Adlia Ulfa Syafira
1618012066

Preceptor :
dr. Zulfadli, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUD DR H. ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
LEMBAR PENGESAHAN
SINDROM OVARIUM POLIKISTIK

Preceptor Penyaji

dr. Zulfadli, Sp. OG Adlia Ulfa Syafira

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG
2017

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat, rahmat, dan karunianya sehingganya Penulis dapat menyelesaikan referat
ini dengan baik yang berjudul Sindrom Ovarium Polikistik. Referat ini berisikan
informasi mengenai Sindrom Ovarium Polikistik yang membahas tentang definisi,
etiologi, patofisiologi, dampak klinis, diagnosis, dan penatalaksanaan. Diharapkan
referat ini dapat memberikan pengetahuan kepada kita semua tentang Sindrom
Ovarium Polikistik.
Penulis sampaikan terima kasih kepada dr. Zulfadli, Sp. OG yang telah
membimbing dan membantu penulis dalam penyelesaikan referat ini, sehingga
referat ini dapat selesai dengan baik.
Penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu Penulis
harapkan demi kesempurnaan referat ini. Semoga referat yang sederhana ini dapat
bermanfaat dan berguna bagi kita.

Bandar Lampung, Juli 2017

Penulis

3
DAFTAR ISI

COVER ............................................................................................................ 1
KATA PENGANTAR ...................................................................................... 2
DAFTAR ISI .................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 6
2.1 ETIOLOGI ................................................................................... 6
2.2 PATOFISIOLOGI ......................................................................... 7
2.3 DIAGNOSIS................................................................................. 9
2.4 DAMPAK KLINIS ....................................................................... 15
2.5 KELAINAN ANDROGEN, FOLIKULOGENESIS,
GONADOTROPIN, DAN INSULIN PADA SOPK..................... 19
2.6 PENATALAKSANAAN .............................................................. 23
BAB III KESIMPULAN ................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 32

4
BAB I
PENDAHULUAN

Apabila seorang wanita pada usia reproduksi sering mengeluh dan


mengalami gejala siklus haid tidak teratur, haid yang tidak ada dan kadang hanya
sedikit, kegemukan dengan jaringan lemak yang meningkat, timbul jerawat pada
bagian wajah atau badan, tumbuhnya rambut yang berlebihan pada wajah atau
badan, dan apabila wanita tersebut sudah menikah dan ingin memiliki anak namun
sulit menjadi hamil, mungkin wanita ini mengalami gejala/manifestasi klinis yang
disebut dengan sindrom ovarium polikistik atau poly-cystic ovary syndrome
(SOPK). Dari seluruh perempuan usia reproduksi yang tersebar di seluruh dunia,
20% diantaranya yang mengidap sindrom polikistik. Untuk Indonesia, belum ada
data resmi yang menunjukkan jumlah penderita sindrom polikistik karena tidak
adanya kejelasan dalam pelaporan dan pencatatan kasusnya.2 Sindrom ovarium
polikistik merupakan salah satu penyebab ketidaksuburan (infertilitas) karena
kegagalan terjadinya proses ovulasi, keluarnya sel telur (ovum) dari indung telur
(ovarium). Sindrom ovarium polikistik didefinisikan sebagai kumpulan gejala
yang ditandai dengan adanya proses anovulasi (tidak keluarnya ovum) kronis
disertai perubahan endokrin (seperti hiperinsulinemia dan hiperandrogenemia). 1

Sindrom ovarium polikistik (SOPK) dikenal juga dengan Stein-Leventhal


Syndrome, sesuai dengan penemunya yaitu Stein dan Leventhal pada tahun 1935.
Sindrom ovarium polikistik ini cukup erat kaitannya dengan peristiwa tidak
terjadinya proses ovulasi (anovulasi). Pengobatan pada SOPK tidak hanya terbatas
pada memperbaiki masalah jangka pendek seperti masalah reproduksi tapi juga
efek jangka panjang yang mungkin terjadi.1

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ETIOLOGI
Penyebab sindrom ovarium polikistik hingga saat ini belum diketahui
pasti. Diduga faktor penyebabnya terletak pada gangguan proses pengaturan
ovulasi dan ketidakmampuan enzim yang berperan pada proses sintesis estrogen
di ovarium. Pengeluaran luteinizing hormone (LH) berlebihan pada wanita
dengan SOPK menyebabkan terjadinya peningkatan sintesis androgen di
ovarium.1

Penyebab peningkatan pengeluaran LH dari hipofisis dan peningkatan


sintesis hormon steroid seks di ovarium masih belum diketahui. Kadar hormon
androgen yang tinggi menyebabkan kapsul ovarium brotik, hirsutisme, akne,
seboreik, pembesaran klitoris, dan pengecilan payudara. Pada perempuan dengan
SOPK, tidak dijumpai gangguan sintesis estrogen, tetapi justru ditemukan
produksi estrogen yang tinggi yang meningkatkan risiko terkena kanker
endometrium dan payudara. Penelitian terakhir tentang sindrom ovarium
polikistik mengungkap adanya hubungan antara hiperinsulinemia dengan
peningkatan kadar testosteron plasma. Pengeluaran insulin memicu sekresi
testosteron dari ovarium dan menghambat sekresi sex hormone binding globulin
(SHBG) dari hati. Pada sebagian wanita dengan SOPK dan anovulatorik,
ditemukan peningkatan kadar insulin dalam darah. Namun, perlu diketahui bahwa
SOPK bukan hanya disebabkan oleh kadar insulin yang tinggi. Para wanita gemuk
atau obes, anovulasi serta kadar insulin yang tinggi merupakan faktor risiko
terkena penyakit jantung koroner. Hiperinsulinemia berkaitan cukup erat dengan
kadar lipid abnormal dan peningkatan tekanan darah. Kegemukan dan siklus haid
yang anovulatorik merupakan faktor risiko terjadinya hiperplasia endometrium
yang dapat berubah menjadi keganasan. Risiko terkena kanker payudara juga akan
meningkat. Berikut ini penjabaran mengenai etiologi dan patogenesis sindrom
polikistik ovarium :

6
1. Peningkatan faktor pertumbuhan menyebabkan peningkatan respon
ovarium terhadap luteinizing hormone (LH) dan Follicle Stimulating
Hormone (FSH), sehingga perkembangan folikel ovarium bertambah dan
produksi androgen akan meningkat. Perkembangan folikel yang berlebihan
2
ini akan menyebabkan banyaknya folikel yang bersifat kistik.

2. Adanya hubungan antara obesitas dan peningkatan resiko polikistik


ovarium melalui peningkatan resistensi insulin yang menyebabkan sel teka
memproduksi androgen dan menghambat Sex Hormone Binding Globulin
(SHBG) sehingga androgen bebas meningkat. Keadaan ini menyebabkan
androgen banyak di aromatisasi menjadi estrogen yang akan menghasilkan
2
LH dan memicu pematangan folikel.

3. Hiperandrogen, anovulasi dan polikistik ovarium disebabkan oleh faktor


2
genetik terkait kromosom X.

7
Gambar 1. Produksi hormon pada sindrom ovarium polikistik
2.2 Sumber: Polycystic ovary syndrome-Frances E.Ruffin Patofisiologi

Sindrom
ovarium polikistik adalah suatu anovulasi kronik yang menyebabkan
infertilitas dan bersifat hiperandrogenik, di mana terjadi gangguan hubungan
umpan balik antara pusat (hipotalamus-hipofisis) dan ovarium sehingga kadar
estrogen selalu tinggi yang mengakibatkan tidak pernah terjadi kenaikan kadar
FSH yang cukup adekuat. Fisiologi ovulasi harus dimengerti lebih dahulu
untuk dapat mengetahui mengapa sindrom ovarium polikistik ini dapat
menyebabkan infertilitas. Secara normal, kadar estrogen mencapai titik
terendah pada saat seorang wanita dalam keadaan menstruasi. Pada waktu
yang bersamaan, kadar LH dan FSH mulai meningkat dan merangsang
pembentukan folikel ovarium yang mengandung ovum. Folikel yang matang
memproduksi hormon androgen seperti testosteron dan androstenedion yang
akan dilepaskan ke sirkulasi darah. Beberapa dari hormon androgen tersebut
akan berikatan dengan sex hormone binding globulin (SHBG) di dalam darah.
Androgen yang berikatan ini tidak aktif dan tidak memberikan efek pada
tubuh. Sedangkan androgen bebas menjadi aktif dan berubah menjadi hormon
estrogen di jaringan lunak tubuh. Perubahan ini menyebabkan kadar estrogen
meningkat, yang mengakibatkan kadar LH dan FSH menurun. Selain itu kadar
estrogen yang terus meningkat akhirnya menyebabkan lonjakan LH yang
merangsang ovum lepas dari folikel sehingga terjadi ovulasi. Setelah ovulasi
terjadi luteinisasi sempurna dan peningkatan tajam kadar progesteron yang
diikuti penurunan kadar estrogen, LH dan FSH. Progesteron akan mencapai
puncak pada hari ke tujuh sesudah ovulasi dan perlahan turun sampai terjadi
menstruasi berikutnya. Pada sindrom ovarium polikistik siklus ini terganggu.
Karena adanya peningkatan aktivitas sitokrom p-450c17 (enzim yang
diperlukan untuk pembentukan androgen ovarium) dan terjadi juga

8
peningkatan kadar LH yang tinggi akibat sekresi gonadotropine releasing
hormone(GnRH) yang meningkat. Hal ini sehingga menyebabkan sekresi
androgen dari ovarium bertambah karena ovarium pada penderita sindrom ini
lebih sensitif terhadap stimulasi gonadotropin. Peningkatan produksi androgen
menyebabkan terganggunya perkembangan folikel sehingga tidak dapat
memproduksi folikel yang matang. Hal ini mengakibatkan berkurangnya
estrogen yang dihasilkan oleh ovarium dan tidak adanya lonjakan LH yang
memicu terjadinya ovulasi. Selain itu adanya resistensi insulin menyebabkan
keadaan hiperinsulinemia yang mengarah pada keadaan hiperandrogen, karena
insulin merangsang sekresi androgen dan menghambat sekresi SHBG hati
sehingga androgen bebas meningkat. Pada sebagian kasus diikuti dengan
tanda klinis akantosis nigrikans dan obesitas tipe android. 3
Salah satu patofisiologi yang berperan pada SOPK adalah adanya
polimorfisme pada gen 17-hidroksilase atau dikenal dengan enzim CYP-17
yang berperan dalam produksi androgen. Enzim ini dikode oleh gen CYP-17
pada kromosom 10q24,3 yang bekerja dengan mengubah 17 alpha
hidroksilase menjadi kortisol. Ketika 17 alpha hidroksilase dan 17,20 liase
teraktivasi, maka dehidrotestosteron (DHEA) kemudian akan diubah menjadi
tesosteron dan estradiol oleh isoenzim 17 beta hidroksteroid dehydrogenase
dan aromatase.3

9
Gambar 2. Patofisiologi SOPK
2.3 Sumber: Gynaecology-evidence based algorithms Diagnosis

Perlu dibedakan antara SOPK


simtomatik dan SOPK asimtomatik. Pada sindrom ovarium polikistik, selalu
dijumpai ovarium yang membesar. Pembesaran ovarium ini dapat dengan
mudah dideteksi dengan ultrasonografi /USG. Pemeriksaan baku emas untuk
menegakkan diagnosis sindrom ovarium polikistik adalah laparoskopi.
Dengan USG, ditemukan SOPK pada sekitar 25% populasi wanita normal.
Analisis pemeriksaan hormonal untuk menentukan apakah itu LH, FSH,
prolaktin, atau testosteron, sangat tergantung dari gambaran klinis. Pada
wanita dengan amenorea, perlu dilakukan pengukuran kadar FSH dan
prolaktin. Kadar FSH yang tinggi mengambarkan adanya kegagalan ovarium,
sedangkan kadar prolaktin yang tinggi menggambarkan adanya tumor
hipofisis (prolaktinoma). Bila ditemukan kadar FSH dan prolaktin yang
normal, perlu dilakukan USG dan uji dengan progesteron (uji P). Hasil uji P
akan menjadi negatif pada wanita dengan amenorea hipotalamik dan hasil
ultrasonografi menggambarkan adanya ovarium polikistik. SOPK, hasil uji P
pada umumnya positif. Pada wanita dengan wajah dan badan yang ditumbuhi
rambut (hirsutisme), dianjurkan melakukan pemeriksaan testosteron dan
dehidroepiandosteron sulfat (DHEAS) untuk mengetahui apakah terdapat
tumor di ovarium dan suprarenal. Kadar DHEAS yang tinggi menggambarkan
adanya tumor di kelenjar suprarenal. Kadang-kadang, perlu juga dilakukan
pemeriksaan hormon 17-alfa hidroksi progesterone, kadarnya yang tinggi
menandakan adanya hiperplasia adrenal kongenital.5

Infertilitas merupakan kondisi dimana


suatu pasangan tidak dapat
memiliki anak dalam 12 bulan hubungan seksual yang regular dan tanpa

10
menggunakan teknik kontrasepsi apapun infertilitas ini disebut juga infertilitas
primer. Sedangkan infertilitas sekunder merupakan keadaan dimana seorang
wanita tidak dapat memiliki anak atau mempertahankan kehamilannya. Untuk
mendiagnosis seorang wanita mengalami infertilitas dapat diperiksa dengan
menggunakan tes ovulasi dan potensi tuba.5

Faktor resiko terjadinya infertilitas biasanya terkait dengan gaya

hidup,yaitu konsumsi alcohol, merokok, IMT <19 ataupun >29 ,olahraga yang

berat seperti aerobik selama 3-5 jam perminggu, dan pekerjaan yang terpapar

zat kimia ataupun radiasi sinar- X.6


Sedangkan faktor penyebab infertilitas
pada perempuan seperti gangguan ovulasi yang disebabkan oleh banyak hal.
WHO mengklasifikasikan gangguan ovulasi menjadi 4 yaitu kegagalan pada
hipotalamus dan hipofisis, gangguan fungsi ovarium, kegagalan ovarium yang
ditandai dengan peningkatan kadar gonadotropin namun kadar estradiol yang
rendah dan hiperprolaktinemia. Selain itu, infertilitas pada wanita dapat pula
disebabkan oleh adanya infeksi dan endometriosis.7

Penyebab infertilitas secara umum dibagi menjadi 3 yaitu :

1. Gangguan ovulasi seperti SOPK, gangguan pada siklus haid, insufiensi

ovarium primer Infertilitas yang disebabkan oleh gangguan ovulasi dapat

diklasifikasikan berdasarkan siklus haid, yaitu amenore primer atau

sekunder. Namun, tidak semua pasien infertilitas dengan gangguan ovulasi

memiliki gejala klinis amenorea, beberapa diantaranya menunjukkan

gejala oligomenorea. Amenorea primer dapat disebabkan oleh kondisi

seperti sindrom polikistik, sindrom


turner, terhambatnya pubertas, kelainan
sistem endokrin dan adanya tumor.7

11
2. Gangguan pada tuba. Keadaan ini biasanya disebabkan ole
h adanya
infeksi oleh Chlamidia, Gonorrhea ataupun TBC. Selain itu, adanya
endometriosis juga sering dikaitkan menjadi penyebab gangguan tuba
yang berefek pada meningkatkan infertilitas.5

3. Gangguan uterus, termasuk mioma submukosum, polip endometrium,


leiomyomas, dan sindrom asherman.5 Pemeriksaan yang dapat dilakukan
untuk menegakkan diagnosis infertilitas adalah pemeriksaan terkait fase
ovulasi, pemeriksaan terkait kemungkinan adanya infeksi , pemeriksaan
kelainan uterus, pemeriksaan kelainan tuba, dan pemeriksaan lendir
senggama. Pada infertilitas terkait dengan sindrom polikistik ovarium
yang harus diperiksa adalah pemeriksaan terkait fase ovulasi yang dapat
diperiksa dengan :

1. Anamnesis: menanyakan frekuensi keteraturan menstruasi.

2. Tes kadar progesteron: apabila perempuan tersebut memiliki keteraturan


haid namun infertilitas dalam 1 tahun dan perempuan dengan
oligomenorhea.

3. Pengukuran kadar FSH dan LH: dilakukan pada perempuan dengan


siklus haid tidak teratur.

4. Pengukuran kadar prolactin: dilakukan apabila terdapat kecurigaan


adanya kelainan ovulasi terkait tumor.

5. Pemeriksaan cadangan ovarium.Untuk pemeriksaan cadangan ovarium,


parameter yang dapat digunakan adalah AMH (antimullerian hormone)
dan folikel antral basal (FAB). Berikut nilai AMH dan FAB yang dapat
digunakan:

a. Hiper-responder (FAB > 20 folikel / AMH > 4.6 ng/ml

b. Normo-responder (FAB > 6-8 folikel / AMH 1.2 -4.6 ng/ml)

c. Poor-responder (FAB < 6-8 folikel / AMH < 1.2 ng/ml)8

12
SOPK adalah sindrom klinis yang hingga saat ini belum ada kriteria
tunggal yang cukup untuk mendiagnosis penyakit ini. Saat ini, kriteria
diagnosis SOPK yang digunakan secara luas adalah Kriteria Rotterdam 2003
(Tabel 1)

Tabel 1 Diagnosis SOPK berdasarkan kriteria Rotterdam 2003

Kriteria Oligo- atau anovulasi


Hiperandrogenisme, baik secara klinis maupun biokimiawi
Gambaran ovarium polikistik pada pemeriksaan ultrasonografi

Untuk mendiagnosis SOPK dibutuhkan minimal 2 dari 3 kriteria


tersebut dan tidak ditemukannya kelainan-kelainan endokrinologis
lainnya, seperti congenital adrenal hyperplasia (CAH),
hiperprolaktinemia, kelainan kelenjar tiroid, ataupun tumor yang
menghasilkan hormon androgen

2.3.1 Langkah diagnosis SOPK berdasarkan Kriteria Rotterdam 2003

Pemeriksaan awal SOPK mencakup eksklusi penyakit yang


memberikan gambaran serupa, seperti yang dijelaskan pada Tabel 2

Tabel 2 Cara mengeksklusi kelainan androgen selain SOPK

Diagnosis Cara mengeksklusi


Hiperplasia adrenal kongenital Kadar 17OHP serum pada pagi hari, fase folikuler 2ng/ml
non-klasik
Tumor yang mensekresikan Anamnesis dan pemeriksaan fisis; testosteron serum
androgen
Sindrom resistensi insulin berat Anamnesis dan pemeriksaan fisis; kadar glukosa dan insulin
pada TTGO 2 jam
Sindrom cushing Anamnesis dan pemeriksaan fisis; tes supresi deksametason
Hirsutisme idiopatik Riwayat menstruasi, kadar progesteron serum pada fase luteal
putatif, kadar testosteron serum

Pemeriksaan fungsi tiroid (TSH) dan prolaktin juga dilakukan pada


semua pasien dengan anovulasi untuk mengeksklusi gangguan fungsi tiroid
dan hiperprolaktinemia.

13
Gambar 3. Alur diagnosis SOPK
Sumber: Gynaecology-evidence based algorithms

2.3.1.1 Oligo- atau


anovulasi

Siklus menstruasi normal mencerminkan fungsi ovulasi


yang normal. Sekitar 60-85% pasien SOPK memiliki gangguan
menstruasi dan jenis yang paling sering adalah oligomenore dan
amenore. Pemeriksaan awal pada perempuan dengan gejala ini
adalah kadar FSH dan E2 serum untuk mengeksklusi
hipogonadisme hipogonadotropik (gangguan sentral) dan premature
ovarian failure. SOPK termasuk pada kategori anovulasi
normogonadotropik normoestrogenik. Meskipun demikian, perlu
diingat bahwa LH serum pasien SOPK seringkali meningkat. 10

2.3.1.2 Hiperandrogenisme

14
Hiperandrogenisme mencakup tanda-tanda klinis dana tau
baik biokimia tanpa ada atau adanya gangguan sistem endorkrin
pengecekan dapat dilakukan dengan melihat pertumbuhan bulu pada
tubuh penderita atau dapat dilakukan dengan Ferriman Gallwel
Score. Untuk keakuratan hasil dapat pula di cek melalui direct
radioimmunoassay (RIA) dengan menghitung kadar testosteron
bebas.4

Sumber: Current updates on polycystic ovary syndrome, endometriosis, adenomyosis

Gambar 4. Skor Ferriman-Galwey yang dimodifikasi (mFG)


untuk penilaian hirsutisme. Setiap area diberikan skor 0-4 dan penilaian
area tersebut dijumlahkan. Skor 15: hirsutisme ringan, skor 16-25:
hirsutisme sedang, dan skor 25: hirsutisme berat. 10

2.3.1.3 Gambaran ovarium polikistik

15
Definisi gambaran ovarium polikistik kriteria Rotterdam
2003 adalah adanya 12 folikel atau lebih yang memiliki diameter
2-9 mm pada masing-masing ovarium dan/atau peningkatan volum
ovarium (>10mL). distribusi folikel dan peningkatan ekogenisitas
stroma tidak termasuk dalam kriteria penilaian ini.
Syarat pemeriksaan ultrasonografi untuk menilai gambaran
ovarium polikistik adalah:

1. Dilakukan oleh operator yang berpengalaman

2. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan secara transvaginal


terutama pada pasien obesitas

3. Pada perempuan dengan menstruasi teratur, pemeriksaan


dilakukan pada fase folikular awal (hari 3-5). Pada perempuan
dengan oligo-/amenore, pemeriksaan dapat dilakukan pada hari
manapun atau diantara hari 3-5 setelah progestin-induced
withdrawal bleeding

4. Perhitungan volum ovarium dilakukan dengan rumus


0.5xpanjang x lebar x tebal

5. Jumlah folikel dihitung pada potongan longitudinal dan


anteroposterior. Ukuran folikel dinyataan sebagai rata-rata
diameter kedua potongan tersebut.

16
Gambar 5. Ovarium normal dan ovarium polikistik
Sumber: Polycystic ovary syndrome 2nd edition

Definisi di atas tidak mencakup perempuan yang


menggunakan pil kontrasepsi oral karena akan mempengaruhi
morfologi ovarium. Pada kelompok perempuan ini, hanya
dibutuhkan satu ovarium yang memenuhi definisi kriteria di atas.
Jika ditemukan folikel dominan atau korpus luteum, pemeriksaan
diulang pada siklus berikutnya.

Perempuan dengan gambaran ovarium polikistik tanpa


gangguan ovulasi atau hiperandrogenisme tidak didiagnosis SOPK
hingga didapatkan informasi atau tanda klinis yang lain.

2.4 Dampak Klinis

2.4.1 Infertilitas
Infertilitas pada sindrom ovarium polikistik berkaitan
dengan dua hal. Pertama karena adanya oligoovulasi/anovulasi.
Keadaan ini berkaitan dengan hiperinsulinemia di mana terdapat
resistensi insulin karena sel-sel jaringan perifer khususnya otot dan
jaringan lemak tidak dapat menggunakan insulin sehingga banyak
dijumpai pada sirkulasi darah. Makin tinggi kadar insulin seorang
wanita, makin jarang wanita tersebut mengalami menstruasi.
Penyebab yang kedua adalah adanya kadar LH yang tinggi
sehingga merangsang sintesa androgen. Testosteron menekan
sekresi SHBG oleh hati sehingga kadar testosteron dan estradiol

17
bebas meningkat. Kenaikan kadar estradiol memberi umpan balik
positif terhadap LH sehingga kadar LH makin meningkat lagi
sedangkan kadar FSH tetap rendah. Hal ini menyebabkan
pertumbuhan folikel terhambat, tidak pernah menjadi matang
apalagi terjadi ovulasi.3

2.4.2 Hipertensi dan penyakit jantung koroner


Diketahui bahwa obesitas sering diderita oleh pasien
sindrom ovarium polikistik. Lemak tubuh yang berlebihan ini
memberi konsekuensi terjadinya resistensi insulin. Obesitas dan
resistensi insulin mengarah pada perubahan respons sel-sel lemak
terhadap insulin, di mana terjadi gangguan supresi pengeluaran
lemak bebas dari jaringan lemak. Peningkatan lemak bebas yang
masuk ke dalam sirkulasi portal meningkatkan produksi
trigliserida, selain itu juga terdapat peningkatan aktivitas enzim
lipase yang bertugas mengubah partikel lipoprotein yang besar
menjadi lebih kecil. Akibatnya ditemukan penurunan konsentrasi
kolesterol high density lipoprotein (HDL) dan peningkatan kadar
kolesterol low density lipoprotein (LDL) yang bersifat aterogenik
sehingga mempercepat proses aterosklerosis pembuluh darah
dengan akibat berkurangnya kelenturan yang berhubungan dengan
terjadinya hipertensi. Kombinasi trigliserida yang tinggi dan
kolesterol HDL yang rendah berkaitan erat dengan penyakit
kardiovaskuler, yang pada pasien sindrom ovarium polikistik
muncul di usia yang relatif lebih muda.3

2.4.3 Diabetes melitus


Sindrom ovarium polikistik berkaitan erat dengan masalah
insulin. Adanya resistensi sel-sel tubuh terhadap insulin
menyebabkan organ tubuh tidak dapat menyimpan glukosa dalam
bentuk glikogen sehingga kadarnya meningkat di dalam darah.3
2.4.4 Masalah kulit dan hirsutisme
Keadaan ini berkaitan dengan hiperandrogenisme. Kadar
androgen yang tinggi menyebabkan pengeluaran sebum yang
berlebihan sehingga menyebabkan masalah pada kulit dan rambut.

18
Pasien mengeluhkan seringnya terjadi peradangan pada kulit akibat
penyumbatan pori serta pertumbuhan rambut pada tubuh yang
berlebihan. Kelainan yang biasanya timbul adalah dermatitis
seboroik, hidradenitis supuratif, akantosis nigrikans dan kebotakan.
Akantosis nigrikans selain berhubungan dengan keadaan
hiperandrogen juga terkait dengan adanya hiperinsulinemia.3

2.4.5 Obesitas
Obesitas pada sindrom ovarium polikistik dideskripsikan
sebagai obesitas sentripetal, di mana distribusi lemak ada di bagian
sentral tubuh terutama di punggung dan paha. Wanita dengan
sindrom ini sangat mudah bertambah berat tubuhnya. Obesitas tipe
ini berkaitan dengan peningkatan risiko menderita hipertensi dan
diabetes.3

2.4.6 Kanker endometrium

Risiko lain yang dihadapi wanita dengan sindrom ini adalah


meningkatnya insiden kejadian kanker endometrium. Hal ini
berhubungan dengan kadar estrogen yang selalu tinggi sehingga
endometrium selalu terpapar oleh estrogen ditambah adanya
defisiensi progesteron. Kanker ini biasanya berdiferensiasi baik,
angka kesembuhan lesi tingkat I mencapai angka >90%. Kadar
estrogen yang tinggi juga meningkatkan terjadinya kanker
payudara.3

19
Gambar 6. Dampak Klinis SOPK
2.5 Sumber: Gynaecology-evidence based algorithms Kelainan
Androgen,
Folikulogenesis, Gonadotropin, dan Insulin pada SOPK
Lingkungan (milieu) endokrin pada perempuan dengan anovulasi
kronis cenderung berada pada steady state, yang berarti konsentrasi
gonadotropin dan steroid seks cenderung stabil.14
2.5.1 Kelainan Androgen
Hiperandrogenisme adalah tanda utama pada SOPK, akibat
produksi berlebih pada ovarium dan kelenjar suprarenal. Sekitar
60-80% pasien dengan SOPK memiliki konsentrasi testosteron
yang tinggi di sirkulasi. Androgen yang meningat pada SOPK
mencakup testosteron, androstenedione, dehidroepiandosteron
(DHEA), dehidroepiandosteron sulfat (DHEA-S), dan 17-
hidroksiprogesteron (17-OHP). Peningkatan produksi androgen
ovarium disebabkan oleh peningkatan stimulasi oleh LH dan
peningkatan bioaktivitas LH oleh insulin. Belum ada penjelasan
mengapa produksi androgen oleh kelenjar suprarenal juga
meningkat pada SOPK. 14

Ovarium polikistik memiliki lapisan teka yang tebal dan


pada uji in vitro ovarium polikistik mensekresikan androgen dalam
jumlah besar pada keadaan basal maupun terhadap stimulasi LH.
Belum diketahui penyebab hiperaktivitas ini, tetapi diperkirakan
terdapat gangguan jalur sinyal intrasel. 14

2.5.2 Gangguan Folikulogenesis


Jumlah folikel primer, sekunder, dan antral kecil pada
ovarium polikistik adalah 2-6 kali lebih banyak dibandingkan
ovarium normal. Mekanisme yang mendasari hal ini belum

20
diketahui sepenuhnya, tetapi tampaknya berhubungan dengan
gangguan signalling androgen. Pada beberapa studi dilaporkan
adanya korelasi positif antara jumlah folikel dengan kadar
testosterone dan androstenedion serum. Penyuntikan
dihidrotestosteron pada monyet juga menghasilkan morfologi
serupa SOPK, yaitu peningkatan volum ovarium dan jumlah
folikel. Monoterapi dengan anti-androgen, flutamide, pada remaja,
perempuan dengan SOPK berhasil menurunkan volum ovarium
dan memperbaiki profil folikel. 14

Selain efek androgen pada folikel, jumlah folikel yang


berlebih juga dipengaruhi oleh laju perkembangan folikel. Pada
SOPK, folikel berkembang dengan lambat, yang mungkin
disebabkan defisiensi sinyal pertumbuhan dari oosit atau efek
inhibisi AMH yang berlebih. 14

Folikel yang berlebih pada SOPK berhenti berkembang


ketika diameternya kurang dari 10mm, yaitu pada tahap sebelum
munculnya folikel dominan. Berhentinya perkembangan folikel
(follicular arrest) ini berhubungan dengan stimulasi insulin yang
berlebih, LH, dan lingkungan hiperandrogen, yang menyebabkan
tingginya konsentrasi cAMP di dalam sel granulosa. Kadar cAMP
intraseluler yang tinggi akan menghasilkan diferensiasi terminal sel
granulosa sebelum waktunya. Diferensiasi prematur ini
menyebabkan sel granulosa bereaksi terhadap stiulasi LH untuk
mensekresikan estrogen dan progesterone ketika ukuran folikel
8mm. 14
LH surge
normal FSH FSH/LH cAMP
cAMP
cAMP cAMP
5mm 20mm
10mm

anovPCO Terminal
differentiation
cAMP cAMP
5mm
FSH 8mm 21
LH
insulin
Gambar 7. Diferensiasi terminal folikel pada perempuan normal dan
perempuan dengan SOPK anovulasi
Sumber: Current updates on polycystic ovary syndrome, endometriosis, adenomyosis

2.5.3 Gangguan Sekresi Gonadotropin


Pada SOPK terjadi hipersekeresi LH dengan kadar FSH
normal atau cenderung rendah sehingga rasio LH:FSH menjadi
besar. Peningkatan kadar LH disebabkan karena perubahan pola
sekresi, terutama peningkatan frekuensi pulsatilitas LH menjadi 1
pulsasi/jam. Kadar FSH yang lebih rendah disebabkan oleh
peningkatan kadar estradiol, estron, dan inhibin B. 14

Kadar FSH yang secara relative menyebabkan gangguan


perkembangan folikel, dan tingginya kadar LH meningkaktkan
produksi androgen pada ovarium. Konsentrasi androgen yang
tinggi pada SOPK menyebabkan desensitisasi hipotalamus
terhadap umpan balik negative progesterone, yang bersifat
reversible bila diberikan obat anti-androgen. Hal ini menunjukkan
bahwa gangguan sekresi gonadotropin pada SOPK merupakan
dampak sekunder dari gangguan sekresi steroid pada ovarium atau
kelenjar suprarenal. 14

Hypotalamic Impaired inhibition of Persistently rapid LH


exposure to excess GnRH pulse frequency frequency of FSH
androgens by estradiol and GnRH pulse
progesterone secretion

Androgen
In utero Pubertal nocturnal Favors LH and Folicular
Prepubertal in ovariuan steroids FSH synthesis maturation
Pubertal does not inhibit and secretion
GnRH pulse next day

22
Gambar 8. Skema mekanisme terjadinya gangguan sekresi gonadotropin pada SOPK
Sumber: Current updates on polycystic ovary syndrome, endometriosis, adenomyosis

2.5.4 Gangguan Kerja Insulin

Resistensi insulin dan hiperinsulinemia terjadi pada 50-75%


penderita SOPK. Penderita SOPK menunjukkan resistensi insulin
perifer yang serupa dengan DM tipe 2 dimana terjadi penurunan
ambilan glukosa yang dimediasi insulin sebesar 35-40%. Resistensi
insulin yang terjadi pada SOPK bersifat elektif, artinya resisten
pada beberapa jaringan (seperti pada jaringan otot), tetapi sensitif
pada jaringan lain (seperti suprarenal dan ovarium). 14
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia berperan terhadap
terjadinya hiperandrogenisme dan gangguan sekresi gonadotropin
dengan cara:

1. Menurunkan kadar sex-hormone binding globulin (SHBG)


sehingga meningkatkan bioavailabilitas testorteron (Gambar
1.2)

2. Sebagai kofaktor stimulasi biosintesis androgen pada ovarium


dan kelenjar suprarenal

3. Meningkatkan potensi kerja LH sehngga androgen bekerja


secara sinergis untuk meningkatkan produksi androgen

4. Efek langsung pada hipotalamus dan kelenjar hipofisis untuk


mengatur pelepasan gonadotropin 14

23
Gambar 9. Dampak resistensi insulin pada SOPK

Sumber: Current updates on polycystic ovary syndrome, endometriosis, adenomyosis

2.6 Penatalaksanaan

Pada sindrom ovarium polikistik, perkembangan folikel dan ovulasi


terganggu sehingga terjadi infertilitas. Antiestrogen dalam hal ini klomifen sitrat
paling banyak dipakai merupakan pilihan pertama untuk mengindukasi ovulasi.
Strukturnya yang mirip dengan estrogen menyebabkan klomifen sitrat mampu
berikatan dengan reseptor estrogen dan mempengaruhi aktivitas hipotalamus,
sehingga meskipun kadar estrogen dalam darah meningkat, tetapi karena
kapasitas reseptor estrogen menurun maka sekresi GnRH meningkat. Rangsangan
GnRH dalam lingkungan estrogen yang tinggi menyebabkan kelenjar hipofise
lebih peka terurama dalam mensekresi FSH.

24
84 SECTION 3 Reproductive medicine
Management of anovulation lifestyle and weight loss rst-line
Obese women with PCOS are more likely than thin women with PCOS to sufer from
anovulation and less likely to respond to pharmacological OI methods.
Women with a BMI of 30 advise to lose weight as it may restore ovulation, improve their

25
response to ovulation induction agents, and have a positive impact on pregnancy outcomes.
Weight loss of even 510% of body weight often restores ovulatory cycles.
Medical management second-line clomiphene citrate
Sumber: Gynaecology-evidence based algorithms
6085% ovulate but only about half conceive.
Monitor cycle in at least the rst cycle and when the treatment dose needs to be increased to
minimize the risk of multiple pregnancy. Know your drug
Approximately 50% of conceptions will occur on 50 mg; with another 2025% and 10% on Mechanism selective oestrogen receptor modulator, stimulates endogenous FSH secretion
100 mg and 150 mg, respectively. by interrupting oestrogen feedback to the hypothalamus and pituitary.

Gambar 10. Tatalaksana SOPK


Most pregnancies occur within rst six ovulatory cycles; although a constant monthly Dose 50 mg per day for 5 days, starting from day 2 to 5 of menses. If this produces
pregnancy rate is noted, do not continue treatment for longer than 6 months. multiple follicular development, dose can be lowered to 25mg. If ovulation is not achieved,
Lack of conception despite evidence of ovulation may be due to anti-oestrogenic efects of CC dose can be increased in increments of 50 mg up to 150 mg.
on the endometrium, which may manifest as a thin endometrium on TVS. Side efects vasomotor hot ashes, visual symptoms (visual blurring or persistent after -
Risk of over-response and OHSS. images) in 12%, which are likely due to anti-oestrogenic efect on the visual cortex. Risk of
CC has been proven efective in OI for women with PCOSand is therst-line medical therapy . OHSS, multiple pregnancy (twin 79% and triplet 0.3%).
Consider alternatives for OI if: Although more studies are required, it is best to limit a patient s lifetime exposure to CC to
* Endometrium is persistently thin on CC therapy. 12 treatment cycles, as additional cycles may place the patient at increased risk of borderline
* Pregnancy does not occur within six ovulatory cycles. ovarian tumours.
Metformin Aromatase inhibitors (letrozole and anastrozole) Dexamethasone and growth hormone
Ovulation and pregnancy rates are promising, they appear to have less
Metformin alone increased the odds of ovulation compared with Dexamethasone as adjuvant therapy to
of an anti-oestrogenic efect on the endometrium, and most studies
placebo but does not result in a signicantly higher CBR. CC has been shown to increase pregnancy
show equivalence with CC.
Metformin combined with CC may increase ovulation rates and rates in CC resistant PCOS. (ACOG)
Mechanism block the conversion of testosterone and
pregnancy rates. Use of adjuvant growth hormone
androstenedione to oestradiol and oestrone, respectively, and inhibit
Ofer metformin combined with CC to CC-resistant women, treatment with GnRHa and/or hMG
the oestrogen-negative feedback on the hypothalamicpituitary axis.
who have a BMI of >25, because this increases ovulation and during OI in women with PCOS who do
This leads to increased gonadotrophin secretion, which results in
pregnancy rates. (NICE) not respond to CC is not recommended
ovarian follicular growth.
Advantages shorter half-life than CC, potentially higher because it does not improve pregnancy
implantation rates and lower multiple pregnancy rates. rates. (NICE)
Know your drug
2.4% incidence of congenital malformations and chromosomal
Mechanism insulin-sensitizing agent, acts by inhibiting hepatic abnormalities in the letrozole group compared to 4.8% in the CC
glucose production and increasing peripheral glucose uptake. group.
Dose start with 250500 mg daily and increase as tolerated to However, until aromatase inhibitors have been approved for OI by the
the optimal daily dose of 500750 mg three times daily. Government, use with caution, and counsel patients carefully.(SOGC,
Side efects nausea, bloating, cramps, and diarrhoea. ACOG)
Not currently licensed for the treatment of ovulatory disorders in
the UK.
Gambar 11. Lini 1 dan 2 pada SOPK
Sumber: Gynaecology-evidence based algorithms

26
Gambar 12. Lini 3 dan 4 pada SOPK Penatalaksanaan
Sumber: Gynaecology-evidence based algorithms
infertilitas yang dikaitkan
hubungannya dengan sindrom
polikistik ovarium adalah :

1. Mengontrol haid yang tidak teratur. Mengendalikan siklus haid dapat


dilakukan dengan pemberian kontrasepsi oral yang selama beberapa
dekade dianggap paling manjur dan paling aman. Kontrasepsi oral
tidak boleh diberikan pada wanita dengan trombosis vena atau wanita
perokok berusia lebih dari 35 tahun. Kontrasepsi oral yang dapat
menjadi pilihan adalah medroxyprogesterone yang diminum 7-10 hari
setiap 3 bulan sekali. Dalam 1 kali fase minum obat dapat
mengahasilkan 4 siklus haid normal, dan haid akan dimulai dari
seminggu setelah dimulainya terapi. Selain itu, mengontrol kadar
insulin dapat memperbaiki siklus menstruasi. Didapatkan bukti
penelitian bahwa dengan menurunkan berat badan dapat meningkatkan
fase siklus haid yang normal.13

2. Mengatasi Hirsutisme.

a) Medikamentosa

Meningkatkan
sex hormone binding globulin (SHBG) dan
menurunkan kadar insulin contohnya metformin sebanyak 500 mg
yang dikonsumsi 2 kali dalam sehari dan dinaikkan dosisnya

27
menjadi 3 kali sehari apabila tidak terjadi ovulasi dalam 6 minggu.
Selain itu, dapat juga dengan memblokade kerja dari hormone
testosteron menggunakan sprinolakton yang dapat dikombinasikan
juga dengan kontrasepsi oral dapat meningkatkan respon sebesar
75%.9 Clomiphene citrate dengan dosis sebanyak 50 mg yang
dikonsumsi 1 kali sehari selama lima hari dapat dimulai pada
kapan saja namun jika pada wanita yang sedang menstruasi di
mulai pada hari ke 5 menstruasi. Bila dengan dosis awal pasien
tidak mengalami ovulasi dilanjutkan dengan dosis 100 mg selama
5 hari setelah 30 hari dari dosis awal. Dapat juga menggunakan
Aromatase Inhibitor Letrozole yang merupakan kelas terbaru yang
dapat menginduksi ovulasi.13

Tabel 3 Sediaan obat antiandrogen untuk tatalaksana hirsutisme

Nama Obat Dosis


Pil kontrasepsi kombinasi 1 tab/hari. Semua sediaan pil kontrasepsi, tetapi lebih
dianjurkan untuk menggunakan sediaan yang
mengandung progestin anti-androgenik, seperti
ciproteron asetat dan drospirenon
Spironolakton 2x50-100mg
Ciproteron asetat 1x12.5-100mmg
Flutamide 1x62.5mg. Efek samping hepatotoksisitas tinggi
Finasteride 1x2.5-5mg

b) Mengatasi infertilitas

Kebanyakan wanita infertil dengan sindrom ini (63%-95%)


mengalami ovulasi dengan klomifen sitrat. Persentase yang tinggi
ini tergantung pada penggunaan dosis progresif sampai terjadinya
ovulasi. Jangka waktu pemberiannya tidak boleh lebih dari 6 bulan
karena berpotensi meningkatkan risiko kanker ovarium. Walaupun
pemberian klomifen sitrat dapat menyebabkan ovulasi tetapi tidak
memperbesar kemungkinan terjadinya konsepsi. Sehingga apabila

28
pasien gagal hamil dengan terapi ini maka dicoba terapi dengan
menggunakan human menopausal gonadotropine (hMG) atau
human follicle stimulating hormone (hFSH) yang telah dimurnikan.
Hormon-hormon ini merangsang ovarium untuk menghasilkan
ovum. Tetapi pemberiannya membutuhkan monitoring yang
intensif untuk mengurangi angka kejadian kehamilan multipel dan
sindrom hiperstimulasi ovarium. Kecenderungan tersebut
menyebabkan preparat ini diberikan dalam dosis rendah dengan
akibat pencapaian angka kehamilan juga lebih rendah yaitu hanya
36% setiap siklus.13
Penatalaksanaan infertilitas untuk dapat mengembalikan
fungsi reproduksi pada wanita ini juga dapat dilakukan secara
operatif. Prosedur reseksi baji pada ovarium efektif menurunkan
produksi LH dan androgen. Menstruasi yang teratur didapatkan
pada 75% pasien dengan angka kehamilan mencapai 60%. Tetapi
prosedur ini menyebabkan komplikasi berupa perlekatan di sekitar
daerah pelvis pada sekitar 30% pasien, sehingga sekarang
dilakukan dengan teknik elektrokauter secara laparoskopik yang
tidak terlalu invasif. Meskipun dapat membantu regulasi
menstruasi dan terjadinya ovulasi, komplikasi perlekatan harus
dipertimbangkan karena kemungkinan untuk menjadi hamil
berkurang di samping efek dari prosedur ini hanya jangka pendek.13
Untuk pasien yang tidak ingin hamil dapat menggunakan
pil kontrasepsi kombinasi untuk mengatur siklus menstruasi.
Keuntungan dari terapi ini adalah adanya komponen progesteron
yang dapat menyebabkan supresi sekresi LH sehingga
berkurangnya produksi androgen dari ovarium dan komponen
estrogen yang meningkatkan produksi SHBG sehingga konsentrasi
testosteron bebas dapat menurun dan akhirnya dapat juga
memperbaiki hirsutisme dan masalah kulit yang disebabkan oleh
hiperandrogenisme. Selain itu dapat mengurangi keluhan
dismenorea, perdarahan uterus disfungsional dan angka kejadian
penyakit radang panggul serta menurunkan kemungkinan terkena

29
kanker endometrium dan kanker ovarium. Meskipun demikian pil
kontrasepsi kombinasi dapat menyebabkan eksaserbasi resistensi
insulin dan meningkatkan kadar trigliserida sehingga dapat
memperbesar risiko penyakit kardiovaskuler dan diabetes.13
Kombinasi antara mengatasi masalah ovulasi yang tidak
teratur, hiperandrogenemia, dan pola hidup sehat untuk
menurunkan berat badan menjadi cara yang dianggap paling baik
untuk mengatasi masalah kesuburan ini.9

3. Menurunkan berat badan

Penurunan berat badan juga perlu dilakukan oleh pasien sindrom


ovarium polikistik yang sebagian besar memang mengalami obesitas.
Faktor obesitas ini menjadi penyebab kegagalan pemicuan ovulasi
dengan klomifen sitrat. Makin tinggi berat badan penderita maka
diperlukan dosis klomifen sitrat yang lebih tinggi. Dengan penurunan
berat badan maka siklus menstruasi menjadi teratur, ovulasi dapat
terjadi secara spontan dan dapat mengurangi kejadian resistensi
insulin. Cara yang dipakai biasanya kombinasi diet, olahraga dan
pemberian obat-obat yang memperbaiki sensitifitas jaringan terhadap
insulin seperti metformin dan troglitazon. Jadi sebaiknya usaha ini
dilakukan bersamaan dengan terapi yang lain karena dapat
memperbaiki kelainan metabolik pada sindrom ini.13
Pada saat ini terapi alternatif yang lebih sering digunakan untuk
sindrom ovarium polikistik adalah dengan senyawa sensitisasi insulin
yaitu metformin dan troglitazon. Dengan terapi ini diharapkan
sensitifitas tubuh terhadap insulin meningkat, sehingga dapat
memperbaiki kelainan hormonal yang berhubungan dengan sindrom
ini. Selain itu juga dapat menurunkan berat badan dengan cara
memperbaiki metabolisme gula di perifer, meningkatkan penggunaan
glukosa oleh usus dan menekan oksidasi asam lemak. Pada percobaan,
diberikan metformin dan plasebo selama 4 sampai 8 minggu pada
pasien sindrom ovarium polikistik dengan obesitas dan
hiperinsulinemia. Pada 2 bulan pertama pemakaian metformin,

30
pemulihan sudah terlihat jelas. Didapatkan penurunan sekresi insulin
pada pasien yang menggunakan metformin. Konsentrasi testosteron
bebas menurun sebagai akibat berkurangnya produksi testosteron dan
meningkatnya SHBG. Metformin paling sering digunakan pada pasien
non insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) karena tidak
menyebabkan hipoglikemi. Beberapa pasien dapat menurunkan berat
badan dan perbaikan tekanan darah serta kadar lemak darahnya. Selain
itu pasien dapat menstruasi dan menjadi hamil pada saat
menggunakannya. Efek samping yang paling sering adalah keluhan
gastrointestinal. Obat lain yang dapat dipakai adalah troglitazon, tetapi
pemakaiannya harus diikuti dengan tes fungsi hati secara berkala
karena berpotensi menyebabkan kerusakan hati. Keunggulan dari
terapi ini adalah dapat mencegah perkembangan penyakit yang dapat
menyerang penderita seperti diabetes melitus, hipertensi dan penyakit
jantung koroner.13

BAB III
KESIMPULAN

Sindrom ovarium polikistik merupakan kumpulan gejala yang ditandai

31
oleh peningkatan hormon androgen di dalam darah, oligoovulasi atau anovulasi,
dan adanya gambaran polikistik ovarium pada pemeriksaan sonografi. Sindrom ini
dapat menyebabkan gangguan infertilitas dimana suatu pasangan tidak dapat
memiliki anak dalam waktu 12 bulan aktifitas seksual regular tanpa menggunakan
metode kontrasepsi apapun.
Wanita dengan sindrom ovarium polikistik (SOPK) memerlukan
pemeriksaan seksama dan menyeluruh agar dapat dilakukan pen talaksanaan yang
tepat untuk hasil yang optimal. Secara prinsip, penanganannya adalah dengan
perangsangan proses ovulasi melalui obat-obatan, seperti metformin (untuk meng-
atasi terjadinya resistensi insulin) dan perubahan gaya hidup pasien untuk
mengatasi kegemukan atau obesitas. Proses penebalan pada dinding ovarium
dapat diatasi dengan tindakan pembedahan, seperti laparoskopi, guna membantu
terjadinya ovulasi. Kegemukan atau obesitas sebaiknya diatasi/dihindari; tidak
adanya obesitas berdampak baik terhadap upaya menurunkan kadar insulin dan
membantu proses pematangan sel telur (ovum).

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Ruffin F. 2012. Polycystic ovary syndrome. Newyork: The Rosen Publishing Group
2. Kovacs G. 2007. Polycystic ovary syndrome 2nd edition. Cambridge: Cambridge
University Press
3. Eden J. 2005. Polycystic ovary syndrome: a womans guide to identifying and
managing PCOS. Australia: National Library of Australia
4. Azziz R. 2007. Polycystic ovary syndrome: current concepts on pathogenesis and
clinical care. Los Angeles:Springer
5. Chang R. 2014. Polycystic ovary syndrome. California: Marcel Dekker
6. Ali B. Sindrom ovarian polikistik dan penggunaan GnRH. Divisi Imunoendokrinologi,
Departemen Ginekologi dan Obstetric, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
[internet]. 2012 [diakses tanggal 26 Juli 2017];
39(8).Tersediadari:http://www.kalbemed.com/Portals/6/06_196Sindrom%20Ovarium
%20Polikistik% 20dan%20Penggunaan%20Analog%20Gn RH.pdf
7. Kasim-Karakas SE., Cunningham,WM., Tsodikov, A.Relation of nutrients and
hormones in polycystic ovary syndrome. Am J Clin Nutr[internet]. 2007[diakses
tanggal 26 Juli 2017]; 85(3):688-94. Tersedia dari :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1 7344488
8. Laksmi M. Sindrom ovarium polikistik: permasalahan dan penatalaksanaannya.
Bagian Obstetri-Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti [internet]. 2002.
[diakses tanggal 28 Juli 2017]; 21(3). Tersedia dari: http://www.univmed.org/wp-
content/uploads/2011/02/Dr._Laksmi.pdf
9. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Jakarta: Himpunan Endokrinologi
Reproduksi dan Fertilitas Indonesia; 2013.
10. Balen AH, Jacobs HS. Infertility in practice 2nd edition [internet]. London: Churchill
Livingstone; 2003[diakses tanggal 26 Juli 2017 ]. Tersedia dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/article s/PMC1995495/
11. Iweko B, Prawesti D, Hestiantoro A, Sumapraja K, Natadisastra M, Baziad A.
Chronological age vs biological age: an age-related normogram for antral follicle
count, FSH and anti-Mullerian hormone [internet]. 2010 [diakses tanggal 26 Juli
2017 ]. Tersedia dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/article s/PMC3843177/
12. Dunaif A. 2008. Polyvystic ovary syndrome: current controversies, from the ovary to
the pancreas. Chicago. Humana Press
13. Michael TS. Polycystic ovarian syndrome : diagnosis and management
[internet].Marshfield Clinic; 2004[diakses tanggal 27 Juli 2017]. Tersedia dari :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC/1069067/
14. Hestiantoro A. 2013. Current updates on polycystic ovary syndrome, endometriosis,
adenomyosis. Jakarta: Sagung Seto
15. Pundir J. 2016. Gynaecology : evidence based algorithms. Cambrdige: Cambridge
University Press

33

Anda mungkin juga menyukai