a. Usia ibu
Usia reproduksi yang optimal bagi seorang ibu adalah 20-35 tahun karena
pada usia tersebut rahim sudah siap menerima kehamilan mental sudah matang
dan mampu merawat bayi dan dirinya (Draper, 2001). Pada usia kurang dari 20
tahun, organ-organ reproduksi belum berfungsi dengan sempurna, rahim dan
panggul ibu belum tumbuh mencapai ukuran dewasa sehingga bila terjadi
kehamilan dan persalinan akan lebih mudah mengalami komplikasi dan pada usia
lebih dari 35 tahun terjadi penurunan kesehatan reproduktif karena proses
degneratif sudah mulai muncul. Salah satu efek dari proses degeneratif adalah
sklerosis pembulu darah arteri kecil dan arteriole miometrium menyebabkanaliran
darah ke endometrium tidak merata dan maksimal sehingga dapat mempengaruhi
penyaluran nutrisi dari ibu ke janin dan membuat gangguan pertumbuhan janin
dalam rahim (Cunningham et al; Prawirohardjo, 2008).
b. Paritas.
Paritas menunjukkan jumlah anak yang pernah yang dilahirkan oleh seorang
wanita. Paritas merupakan faktor resiko penting dalam menentukan nasip ibu baik
selama kehamilan maupun persalinan (Mochtar, 1998). Resiko kesehatan ibu dan
anak meningkat pada persalinan pertama, keempat, dan seterusnya. Kehamilan
dan persalinan pertama meningkatkan resiko kesehatan yang timbul karena ibu
belum pernah mengalami kehamilan sebelumnya, selain itu jalan lahir akan
menjadi semakin melemah karena jaringan perut uterus akibat kehamilan
berulang. Jaringan perut ini menyebabkan tidak adekuatnya persendian darah ke
plasenta sehingga plasenta tidak mendapat aliran darah yang cukup untuk
menyalurkan nutrisi ke janin akibatnya pertumbuhan janin terganggu (Depkes RI,
2004). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Eddy Susanto di RSUP
Mohammad Hoesin Palembang tahun 200 di dapatkan bahwa presentase tertinggi
ibu-ibu yang melahirkan bayi berat lahir rendah sebesar 45,4% terjadi pada ibu
dengan kehamilan pertama kali (primigravida).
c. Jarak dari kehamilan yang terlalu dekat atau pendek (kurang dari dua tahun)
Jarak kehamilan kurang dari dua tahun dapat menimbulkan pertumbuhan janin
kurang baik, persalinan lama dan pendarahan pada saat persalinan karena keadaan
rahim belum pulih dengan baik (Kliegman et al., 2007). Jarak kelahiran anak
sebelumnya kurang dari dua tahun, rahim dan kesehatan ibu belum pulih dengan
baik, sehingga pada kehamilan ini perlu diwaspadai karena kemungkinan terjadi
pertumbuhan jani yang kurang baik (BBLR) (Viktor, 2006).
d. Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya.
Riwayat persalinan tidak normal yang pernah dialami ibu sebelumnya, seperti
pendarahan, abortus, prematuritas, BBLR dll merupakan resiko tinggi untuk
persalinan berikutnya. Keadaan-keadaan itu perlu diwaspadai karena
kemungkinan ibu akan mengalami kesulitan persalinan berikutnya (Pincus, 1998).
Riwayat BBLR berulang dapat terjadi biasanya septum pada uterus avaskular
dan terjadi keadaan kegagalan vaskularisasi kapasitas dari endometrium sehingga
dapat menghambat pertumbuhan janin, selain itu dapat menyebabkan keguguran
pada trimester dua dan persalinan prematur (Prawiroharjo, 2008).
e. Komplikasi kehamilan.
Beberapa komplikasi langsung dari kehamilan seperti anemia, pendarahan,
preeklamsia/eklamsia, hipertensi, ketuban pecah dini dan kelainan lainnya,
keadaan tersebut mengganggu kesehatan ibu dan juga pertumbuhan janin dalam
kandungan sehingga meningkatkan resiko kelahiran bayi dengan berat rendah.
(Cunningham et al., 2005; Prawirohardjo, 2008; Manuaba, 2010).
Pendarahan antepartum pendarahan pervagina [ada kehamilan di atas 28
minggu atau lebih. Karena pendarahan antepartum terjadi pada usia kehamilan
lebih dari 28 minggu maka sering disebut atau digolongkan pendarahan pada
trimester tiga. Komplikasi dari pendarahan antertum tersebut adalah kelahiran
prematur dan gawat janin sering tidak terhindarkan dalam kehamilan yang belum
aterm (Prawirohardjo, 2008).
Anemia pada wanita tidak hamil didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin
yang kurang dari 12 g/dl dan kurang dari 10 g/dl selama kehamilan atau masa
nifas. Konsentrasi hemoglobin lebih rendah pada pertengahan kehamilan, pada
awal kehamilan dan kembali menjelang aterm, kadar hemoglobin pada sebagian
besar wanita sehat yang memiliki cadangan besi adalah 11 g/dl atau lebih. Atas
alasan tersebut, Centers for Disease Control (1990) mendefinisikan anemia
sebagai kadar hemoglobin kurang dari 11 g/dl pada trimester pertama dan ketiga,
dan kurang dari 10,5 g/dl pada trimester kedua (Prawirohadjo, (2008). Anemia
saat melahirkan dapat mengakibatkan efek buruk pada bayi dan ibunya. Anemia
mengurangi suplai oksigen pada metabolisme ibu karena kurangnya hemoglobin
yang mengikat oksigen dan mengakibatkan efek tidak langsung pada ibu dan bayi
antara lain, kerentanan ibu terhadap infeksi, kematian janin, kelahiran
prematurdan bayi berat badan rendah. Dari penelitian yang dilakukan Nelly
Agustini Simanjuntak di Badan Pengelolaan Rumah Sakit Umum Rantauprapat
Kabupaten labuhan ratu Tahun 2008 sebanyak 32 ibu dari 36 ibu yang melahirkan
bayi dengan berat lahir rendah mengalami anemia kehamilan.
Menurut Prawirohardjo (2008) dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah
dalam proses persalinan. Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput
ketuban sebelum persalinan. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia
kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini pada kehamilan prematur.
Selaput ketuban pecahterjadi karena ketidakseimbangan antara sintesis dan
degradasi ekstraselular matriks, perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme
kolagen. Salah satu komplikasi dari ketuban pecah dini adalah meningkatkan
risiko persalinan prematur dan melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.
Biasanya setelah ketuban pecah disusul persalianan, pada kehamilan antara 28-34
minggu 50% persalinan terjadi dalam 24 jam ketuban pecah dini juga
menyebabkan oligohidromnion yang akan menekan tali pusat sehingga terjadi
asfiksia dan hipoksia pada janin dan membuat nutrisi ke janin berkurang serta
pertumbuhannya terganggu (Manuaba,2010).
Preeklamsia adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi
organ akibat vasospasme dan aktivitas endotel. Eklamsia adalah terjadinya kejang
pada wanita dengan preeklamsia yang tidak dapat disebabkan oleh hal lain.
Keadaan ini mempunyai pengaruh langsung terhadap kualitas janin karena terjadi
penurunan aliran darah ke plasenta menyebabkan janin kekurangan nutrisi
sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin. Normalnya pada saat proses nidasi
terjadi remodelling arteri spiralis yaitu terjadinya invasi trofoblas ke dalam
lapisan otot arteri spiralis, invasi juga memasuki jaringan sekitararteri spiralis
sehingga memudahkan arteri spiralis menjadi distensi dan dilatasi. Distensi dan
dilatasi lumen arteri spiralis memberikan dampak penurunan tekanan darah,
penurunan resistensi vaskular dan peningkatan aliran darah uteroplasenta. Namun
pada preeklamsia invasi trofoblas tidak optimal sehingga terjadi vasospasme
arteri spiralis, menjadi tetap kaku dan keras sehingga membuat aliran
uteroplasenta tidak adekuat (Cunningham et al., 2005; Prawirohadjo, 20080.