Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PERCOBAAN II

PEMERIKSAAN KEMURNIAN BAHAN BAKU ZnO SECARA TITRASI


KOMPLEKSOMETRI

NAMA : Luthfi Utami Setyawati


NPM : 260110150013
HARI/TANGGAL PRAKTIKUM : Kamis, 12 Oktober 2016
ASISTEN LABORATORIUM : 1. Michael Djajaseputra
2. Devi Suryani
3. Fenadya Rahayu A

LABORATORIUM ANALISIS FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2016
Pemeriksaan Kemurnian Bahan Baku ZnO secara Titrasi Kompleksometri

I. Tujuan
1.1 Menentukan kemurnian bahan baku ZnO dengan metode titrasi
kompleksometri.
1.2 Memahami prinsip titrasi kompleksometri.

II. Prinsip
2.1 Titrasi kompleksometri
Titrasi kompleksometri yaitu titrasi berdasarkan pembentukan
persenyawaan komplek di mana titran dan titrat saling mengkompleks,
membentuk hasil berupa kompleks (Khopkar, 2002).
2.2 Komplekson
Komplekson adalah zat yang dapat membentuk senyawa kompleks
dengan ion logam (Pudjaatmaka, 2002).
2.3 Indikator EBT
Merupakan salah satu indikator metallochromic, yaitu komponen-
komponen organik berwarna di mana mereka sendiri membentuk kelat
dengan ion-ion metal (Day and Underwood, 2002).

III. Reaksi
Logam (M)-Indikator + EDTA M-EDTA + indikator (De, 2005).
Zn2+ + NH3 Zn(NH3)2+
Zn2+(aq) + EDTA4-(aq) Zn(EDTA)2- (aq)
(Gholib, 2007).

IV. Teori Dasar

Zink sulfat adalah mikronutrien yang digunakan sebagai obat tetes mata
untuk mengatasi infeksi (Annuryanti, et al., 2015). Zink juga digunakan sebagai
terapi tambahan untuk pengobatan diare. Menurut managemen klinis penanganan
diare, ada 2 cara untuk menangani diare yakni pemberian larutan oralit maupun
dengan pemberian suplemen zink (Khan and Sellen, 2011).

Penggunaan suplemen zink pada terapi diare dapat meminimalisasi tingkat


keparahan serta komplikasi yang disebabkan oleh diare (Mazumder et al., 2010).

Penentuan kadar zink dapat dilakukan dengan menggunakan titrasi


kompleksometri. Titrasi kompleksometri Zink melibatkan pembentukan senyawa
kompleks antara zink dengan pereaksi etilen diamin tetra-asetat dinatrium
(EDTA) dan Eriokrom Black (EBT) sebagai indikator penentuan titik akhir titrasi
(DepKes RI, 1995).

Metode kompleksometri yaitu pembentukan kompleks berwarna oleh logam.


Dengan menggunakan larutan baku Na2EDTA dan indikator EBT (Astuti, dkk.,
2015).

Titrasi kompleksometri adalah titrasi berdasarkan pembentukan senyawa


kompleks antara kation dengan zat pembentukan kompleks, yang banyak
digunakan adalah garam dinatrium etilen diamin tetraasetat (dinatrium EDTA)
(Hidayanti,2010).

Titrasi ini digunakan dalam estimasi garam logam. Etilen diamin asam tetra
asetat (EDTA) adalah titran yang biasa digunakan membentuk kompleks stabil
dengan semua logam efektif : logam alkali seperti natrium dan kalium, logam
alkali tanah seperi kalsium dan magnesium, pada nilai pH rendah dan dititrasi
dalam ammonium klorida penyangga di pH= 10 (Watson, 2000).

Struktur EDTA yaitu :

(Kenkel, 2002).
Penetapan kadar zat yang berdasarkan atas pembentukan senyawa kompleks
yang larut, yang pada titrasi kompleksometri berawal dari reaksi antara ion
logam/kation (komponen zat uji) dengan zat pembentuk kompleks sebagai ligan.
EBT merupakan asam lemah tidak stabil dalam air karena senyawa organik ini
merupakan gugus sulfonat yang mudah terdisosiasi sempurna dalam air dan
mempunyai 2 gugus fenol yang terdisosiasil lambat dalam air (Khopar, 2002).

Persyaratan mendasar terbentuknya kompleks adalah tingkat kelarutan


tinggi. Gugus yang terikat pada ion pusat disebut ligan (polidentat). Selektivitas
kompleks dapat diatur dengan pengendalian pH, misal Mg, Ca, Cr, dan Ba dapat
dititrasi pada pH = 11 EDTA. Sebagian besar titrasi kompleksometri
mempergunakan indikator yang juga bertindak sebagai pengkompleks dan tentu
saja kompleks logamnya mempunyai warna yang berbeda dengan
pengompleksnya sendiri. Indikator demikian disebut indikator metalokromat.
Indikator jenis ini contohnya adalah Eriochrome black T, pyrocatechol violet,
xylenol orange, calmagit, 1-2-piridil-azonaftol, PAN, zincon, asam salisilat,
metafalein dan calcein blue (Khopar, 2002).

Kestabilan kompleks-kompleks logam EDTA dapat diubah dengan


mengubah pH dan adanya zat-zat pengompleks lain. Tetapan kestabilan kompleks
EDTA akan berbeda dari nilai yang dicatat pada suatu pH tertentu. Larutan air
EDTA akan memiliki nilai yang berbeda dari nilaiyang telah dicatat. Kondisi baru
ini dinamakan tetapan kestabilan nampak atau tetapan kestabilan menurut kondisi
(Sodiq, 2005).

Titrasi dapat ditentukan dengan adanya penambahan indikator yang berguna


sebagai tanda tercapai titik akhhir titrasi. Ada lima syarat suatu indikator logam
dapat digunakan pada pendeteksi visual dari titik-titik akhir yaitu reaksi warna
harus sedemikian sehingga sebelum titik akhir, bila hampir semua ion logam
telah berkompleks dengan EDTA, larutan akan berwarna kuat. Kedua, reaksi
warna itu haruslah spesifik (khusus), atau sedikitnya selektif. Ketiga, kompleks-
indikator logam itu harus memiliki kestabilan yang cukup, kalau tidak, karena
disosiasi, tak akan diperoleh perubahan warna yang tajam. Namun, kompleks-
indikator logam itu harus kurang stabil dibanding kompleks logam-EDTA untuk
menjamin agar pada titik akhir, EDTA memindahkan ion-ion logam dari
kompleks-indikator logam ke kompleks logam-EDTA harus tajam dan cepat.
Keempat, kontras warna antara indikator bebas dan kompleks-indikator logam
harus sedemikian sehingga mudah diamati. Indikator harus sangat peka terhadap
ion logam (yaitu, terhadap pM) sehingga perubahan warna terjadi sedikit
mungkin dengan titik ekuivalen. Terakhir, penentuan Ca dan Mg dapat dilakukan
dengan titrasi EDTA, pH untuk titrasi adalah 10 dengan indikator eriochrome
black T. Pada pH tinggi (12), Mg akan mengendap sebagai Mg(OH)2 akan
mengendap sehingga EDTA dapat dikonsumsi hanya oleh Ca2+ dengan indikator
murexide (Basset, 1994).

V. Alat dan Bahan


5.1 Alat
- Buret
- Gelas kimia
- Gelas ukur
- Labu erlenmeyer
- Labu volumetri
- Pipet tetes
- Pipet volume
- Spatel
- Statif
- Timbangan analitik
5.2 Bahan
- Amonium klorida (NH4Cl)
- Aquades
- Indikator EBT
- Larutan amonia P (NH4OH)
- Larutan Di-Na EDTA
- Larutan HCl 4 N
- Larutan ZnSO4 0,05 M
- NaCl
- ZnO
VI. Data Pengamatan dan Prosedur
6.1 Pembuatan larutan
No. Prosedur Hasil Foto
1. Pembuatan HCl 4 N 200 mL Didapat larutan
- Diambil 66,66 mL HCl HCl 4 N 200 mL
96% (36 N)
- Ditambah aquades hingga
200 mL
2. Pembuatan buffer salmiak Didapat buffer
150 mL salmiak 150 mL
- Dilarutkan 5,4 gram NH4Cl
dalam 70 mL larutan
NH4OH 5 mL 5 M
- Diencerkan dengan aquades
hingga 150 mL (Depkes RI,
ed. IV, 1995, hal. 1134).
3. Pembuatan larutan NH4OH Didapat larutan
5M 150 mL NH4OH 5 M 150
- Diambil 70 mL NH4OH mL
25% (7,142 N)
- Ditambah aquades hingga
150 mL
4. Pembuatan larutan Na2EDTA Didapat larutan
0,05 M 800 mL Na2EDTA 0,05 M
- Ditimbang Na2EDTA 800 mL
sebanyak 14,88 gram
- Dilarutkan dengan 100 mL
aquades
- Dimasukkan ke botol
cokelat
- Ditambah aquades hingga
800 mL (Depkes RI, edisi
IV, 1995, hal. 1214).
5. Pembuatan EBT 1% dalam Didapat indikator
NaCl kering (2gram) EBT
- Dicampurkan 0,2 gram
serbuk EBT dengan 1,8
gram NaCl kecil
6. Pembuatan larutan Didapat larutan
ZnSO4.7H2O 0,05 M ZnSO4 0,05 M
- Menimbang 1,4377 gram
ZnSO4
- Dilarutkan dalam 100 mL
aquades di dalam labu ukur
(Depkes RI, ed. III, 1979,
hal. 750).

6.2 Pembakuan Na2EDTA


No. Prosedur Hasil Foto
1. Ditambahkan 100 mL larutan 100 mL larutan
ZnSO4.7H2O 0,05 M ke ZnSO4 0,05 M
dalam gelas kimia dalam gelas kimia
2. Ditambahkan 5 mL buffer pH larutan
salmiak ke dalam gelas kimia menjadi 10

3. Mengambil 10 mL larutan 10 mL larutan di


dan dimasukkan ke labu dalam labu
erlenmeyer (dibuat triplo) erlenmeyer

4. Ditambahkan indikator EBT Sampel menjadi


sespora ke masing-masing warna ungu
labu erlenmeyer

5. Menitrasi dengan EDTA Sampel berubah


hingga terjadi perubahan menjadi warna
warna dari ungu menjadi biru biru setelah
(DepKes RI, edisi III, 1979, dititrasi dengan
hal. 638). EDTA sebanyak :
V1 = 9,8 mL
V2 = 8,9 mL
V3 = 9,5 mL
6.3 Penentuan kadar ZnO

No. Prosedur Hasil Foto


1. Ditimbang 250 mg ZnO Didapat 251,2 mg
dalam 5 mL HCl ZnO

2. ZnO dilarutkan dalam 5 mL ZnO larut


HCl, jika belum larut maka sebagian dalam
dipanaskan di penangas air HCl

3. Ditambahkan aquades hingga Didapat larutan


50 mL ZnO 50 mL

4. Larutan dinetralkan dengan pH larutan


larutan NH4OH 5 M sampai menjadi 7
pH 6 atau 7

5. Ditambahkan 3 mL buffer pH larutan


salmiak, lalu dicek pH menjadi 10
hingga pH 10
6. Diambil 10 mL larutan lalu 10 mL larutan di
dimasukkan ke labu dalam labu
erlenmeyer (dibuat triplo) erlenmeyer

7. Ditambahkan indikator EBT Sampel berubah


sespora ke masing-masing warna menjadi
labu erlenmeyer ungu

8. Menitrasi dengan EDTA Warna sampel


hingga terjadi perubahan berubah jadi biru
warna dari ungu menjadi biru tua setelah
dititrasi dengan
EDTA sebanyak :
V1 = 11,6 mL
V2 = 11,7 mL
V3 = 12 mL

VII. Perhitungan
7.1 Pembuatan HCl 4 N 200 mL dari HCl 36 N

V1 = 66,66 mL
Jadi volume HCl 36 N yang diambil yaitu 66,66 mL untuk diencerkan
dengan aquades hingga 200 mL.

7.2 Pembuatan larutan ZnSO4.7H2O 0,05M

Gram = 1,4377 gram


Jadi jumlah ZnSO4 yang dibutuhkan yaitu = 1,4377 gram

7.3 Pembakuan Na2EDTA

Volume Na2EDTA rata-rata =

V ZnO = 10 mL

N titran =

N titran =

Jadi, normalitas Na2EDTA sebesar 0, 053 N

7.4 Perhitungan kadar ZnO


Volume rata-rata Na-EDTA =

V analit = 10 mL
N titran = 0,053 N
BE ZnO = 81

Kadar ZnO =

Kadar ZnO =

Jadi kadar ZnO yang didapatkan adalah100,489%


VIII. Pembahasan

Pada praktikum ini dilakukan uji kemurnian bahan baku ZnO dengan
menggunakan titrasi kompleksometri. Titrasi kompleksometri ini berdasarkan
pembentukan kompleks antara ion logam dengan zat pengompleks. Di sini ion
Zn+2 berperan sebagai ion logam yang akan membentuk kompleks dengan
senyawa kompleks EDTA. EDTA merupakan titran yang digunakan pada
praktikum kali ini. Alasan digunakan EDTA yaitu karena ikatan antara logam-
EDTA bersifat lebih stabil jika dibandingkan dengan logam-indikator.

Jenis titrasi kompleksometri yang digunakan yaitu titrasi langsung karena


ion logam langsung dititrasi dengan EDTA sehingga akan terbentuk kompleks.

Dalam membuat larutan EDTA cukup digunakan gelas kimia saja untuk
melarutkannya karena EDTA merupakan baku sekunder yang akan dibakukan lagi
nantinya. Setelah jadi, larutan EDTA dapat disimpan di botol coklat agar terhindar
dari cahaya matahari selama proses penyimpanan yang memungkinkan sampel
menjadi bereaksi secara kimia.

EDTA merupakan baku sekunder sehingga perlu dibakukan terlebih


dahulu dengan ZnSO4 agar dapat diperoleh normalitas EDTA yang pasti untuk
menentukan kemurnian ZnO. Dari hasil perhitungan, molaritas EDTA yang
digunakan yaitu 0,053 M.

Pada saat pembuatan baku primer ZnSO4, wadah yang digunakan yaitu
labu ukur. Labu ukur bersifat volumetris sehingga memiliki ukuran yang pasti.
Karena ZnSO4 merupakan baku primer dan sifatnya cenderung stabi, maka
digunakan labu ukur untuk melarutkannya sehingga normalitas yang diperoleh
sudah pasti tepat, dengan syarat dilakukan dengan prosedur yang tepat.

Pada saat proses pembakuan dinatrium EDTA, ZnSO4 dititrasi dengan


EDTA, namun sebelumnya ditambahkan buffer salmiak terlebih dahulu hingga
pH larutan menjadi 10, ZnSO4 lalu ditambah EBT dan dititrasi dengan EDTA.
Penambahan buffer salmiak ini bertujuan untuk menyangga larutan dari
penambahan sedikit asam atau sedikit basa agar larutan tetap dalam pH 10, yang
mana pH tersebut termasuk dalam rentang pH optimal untuk kerja indikator EBT
yang digunakan agar perubahan warnanya dapat teramati dengan jelas. Sedangkan
EBT digunakan karena dapat memberikan perubahan warna yang jelas. Selain itu,
alasan digunakannya buffer dengan pH 10 yaitu karena kompleks EDTA-logam
akan mencapai kestabilan pada suasana basa atau sedikit asam.

Sebelum dititrasi, ZnSO4 diberi indikator EBT dahulu, maka akan


terbentuk kompleks berwana ungu. Warna ungu ini dihasilkan dari ikatan antara
ion logam Zn+2 dengan indikator. Indikator EBT akan terdisosiasi melepaskan dua
atom hidrogennya sehingga dapat mengikat ion Zn yang ada dalam air.

Namun setelah dititrasi dengan EDTA, warna ungu tersebut akan berubah
menjadi warna biru tua. Pada saat awal titrasi sampai tercapainya titik ekuivalen,
EDTA akan berikatan dengan ion logam bebas yang ada dalam sampel. Saat telah
tercapai titik akhir titrasi, maka akan terjadi perubahan warna dari ungu menjadi
biru. Hal ini terjadi karena ketika volume EDTA sudah mulai berlebih maka
EDTA akan bereaksi dengan kompleks logam-EBT dan EDTA akan membentuk
kompleks dengan logam sehingga dihasilkan EBT yang bebas. EBT dalam bentuk
bebas ini akan berwarna biru tua.

Dalam penentuan kemurnian ZnO dilakukan dengan cara menghitung


kadar sampel ZnO yang digunakan untuk kemudian dicocokkan hasilnya dengan
persyaratan. Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, persyaratan kadar ZnO yaitu
mengandung ZnO tidak kurang dari 99% dan tidak lebih dari 100,5%

Yang dilakukan pertama kali yaitu membuat larutan ZnO sebanyak 50 mL.
Pertama, 250 mg ZnO dilarutkan terlebih dahulu dengan 5 mL HCl 4 N, baru
digenapkan dengan aquades hingga 50 mL. ZnO harus dilarutkan dahulu dengan
HCl karena ZnO praktis tidak larut dalam air dan larut dalam asam mineral encer.
Setelah ditambah HCl, campuran ZnO dan HCl dipanaskan di penangas air, hal
tersebut bertujuan untuk mempermudah proses pelarutan ZnO. Jika sudah larut
maka campuran tersebut baru ditambah aquades hingga 50 mL. Berdasarkan hasil
praktikum, ZnO dalam larutan tidak melarut seluruhnya. Hal ini dapat disebabkan
oleh sedikitnya jumlah HCl yang digunakan untuk melarutkan ZnO dan lebih
banyak bagian air yang digunakan untuk melarutkan ZnO, padahal ZnO praktis
tidak larut dalam air.

HCl 4 N yang digunakan merupakan hasil pengenceran dari HCl 36 N.


Dalam menyimpan HCl pekat dan melakukan proses pengenceran, dilakukan di
ruang asam karena HCl pekat merupakan zat berbahaya yang bersifat korosif.
Dalam pengenceran digunakan beaker glass yang telah ditara, tidak boleh
digunakan wadah yang bersifat volumetris seperti gelas ukur dan lsbu ukur. Jika
digunakan alat volumetris, maka alat tersebut menjadi tidak volumetris lagi
karena bisa jadi selama proses penyimpanan zat korosif pada alat volumetris
tersebut, alat tersebut mengalami kerusakan karena terkikis akibat zat korosif
tersebut sehingga menjadi tidak volumetris lagi.

Setelah itu larutan ZnO ditambah amoniak (NH4OH). Penambahan


amoniak ini bertujuan untuk menetralkan kembali larutan ZnO yang sebelumnya
ditambah dengan HCl. Penambahan amoniak dilakukan sampai pH larutan
menjadi netral, berkisar antara pH 6-7. Pengecekan pH dilakukan dengan
menggunakan pH indikator. Setelah itu larutan ditambah buffer salmiak pH 10.
Penambahan buffer salmiak bertujuan untuk membuat reaksi terjadi dalam
suasana basa karena indikator yang digunakan (EBT) akan memberikan
perubahan warna yang jelas dalam suasana basa, yaitu dari warna ungu menjadi
biru tua. Selain itu larutan buffer juga berfungsi sebagai penyangga larutan agar
tetap dalam pH 10 dari pengaruh penambahan sedikit asam maupun penambahan
sedikit basa.

Setelah itu larutan dipindahkan sebanyak 10 mL ke dalam labu erlenmeyer


menggunakan pipet volume. Alasan digunakannya pipet volume yaitu agar
volume ZnO yang terpindahkan bersifat akurat. Hal ini dikarenakan ZnO akan
ditentukan kadarnya, sedangkan reaksi yang terjadi selama proses titrasi
kompleksometri ini merupakan reaksi bolak-balik atau reaksi dua arah, artinya
setiap komponen maupun keadaan lingkungan dapat memengaruhi hasil titrasi
yang berdampak langsung pada hasil kadar ZnO yang akan diperoleh.

Setelah itu ke dalam masing-masing sampel dalam labu erlenmeyer


ditambahkan indikator EBT sebanyak sespora. Fungsi ditambahkannya indikator
EBT ini yaitu untuk memperjelas saat penentuan titik akhir titrasi. EBT
merupakan salah satu contoh indikator metalkromik, artinya EBT selain
digunakan sebagai indikator juga dapat bertindak sebagai pengompleks logam
yang mana kompleks logam-indikator itu mempunyai warna berbeda dengan
senyawanya sendiri. Sebelum sampel ZnO dititrasi dengan EDTA, maka EBT
akan membentuk kompleks berwarna ungu dengan logam Zn.

Ikatan antara indikator EBT dan logam Zn ini harus cukup stabil. Jika
ikatannya kurang stabil, maka akan mudah mengalami disosiasi sehingga
perubahan warna yang dihasilkan tidak cukup tajam/jelas. Padahal yang
digunakan atau yang diandalkan pada proses titrasi kompleksometri ini yaitu
karena adanya perbedaan warna yang cukup jelas ketika logam berikatan dengan
indikator dan ketika indikator mulai berikatan dengan ligan (EDTA).

Namun kompleks indikator EBT dengan logam Zn juga harus kurang


stabil dibandingkan dengan kompleks ligand EDTA dengan logam. Karena jika
tidak, EDTA tidak dapat berikatan dengan logam sehingga tidak dapat terlihat
atau teramati perubahan warna yang jelas.

Kemampuan EDTA untuk mengompleks dengan logam Zn dikarenakan


EDTA memiliki struktur yang terdiri dari dua atom nitrogen penyumbang dan
empat atom oksigen penyumbang yang dapat berkoordinasi membentuk suatu
ikatan dengan ion logam dalam hal ini yang dimaksud yaitu Zn.

Setelah itu, barulah sampel dititrasi dengan EDTA. Pada saat awal titrasi
sampai tercapainya titik ekuivalen, EDTA akan berikatan dengan ion logam bebas
yang ada dalam sampel. Saat telah tercapai titik akhir titrasi, maka akan terjadi
perubahan warna dari ungu menjadi biru. Hal ini terjadi karena ketika volume
EDTA sudah mulai berlebih maka EDTA akan bereaksi dengan kompleks logam-
EBT dan EDTA akan membentuk kompleks dengan logam sehingga dihasilkan
EBT yang bebas. EBT dalam bentuk bebas ini akan berwarna biru tua.

Posisi Zn yang mengompleks dengan EBT akan tergantikan oleh ion Na


dari EDTA. Hal ini berhubungan dengan tingkat kereaktifan logam-logam. Ion
logam Na lebih reaktif daripada ion logam Zn sehingga Na dapat menggeser
posisi Zn yang berikatan dengan EBT.

Berdasarkan hasil percobaan praktikan, kadar sampel ZnO yang diperoleh


yaitu 100,489%. Hasil tersebut dapat dikatakan baik karena sesuai dengan
persyaratan kemurnian ZnO yang ada dalam farmakope.

Ada perbedaan kadar yang diperoleh berdasarkan hasil percobaan yang


dilakukan oleh praktikan lain dengan sampel yang sama. Beberapa praktikan
mendapat hasil kadar yang di bawah persyaratan kemurnian ZnO, namun ada juga
yang memperoleh hasil kadar ZnO yang sesuai atau yang mencukupi persyaratan
yang ditentukan pada uji kemurnian ZnO.

Banyak faktor yang dapat memengaruhi penentuan kadar ZnO ini. Di


antaranya yaitu karena ketidakstabilan ZnO. Mungkin sebelum dilarutkan ZnO
telah mengalami reaksi kimia karena telalu lama terpapar oleh udara karena
serbuk ZnO bersifat menyerap karbondioksida dari udara sehingga kadar yang
diperoleh dapat kurang dari persyaratan yang telah ditentukan.

Lalu jumlah penambahan indikator EBT juga dapat memengaruhi hasil


titrasi. Hal ini dikarenakan reaksi yang terjadi selama proses titrasi merupakan
reaksi bolak balik, sehingga faktor perubahan sekecil apapun dari lingkungan
maupun sistem dapat memengaruhi hasil yang diperoleh.

IX. Simpulan
9.1 Kadar ZnO yang diperoleh yaitu 100,489%. Dapat disimpulkan bahwa
ZnO yang digunakan memenuhi syarat kemurnian ZnO.
9.2 Telah dapat memahami prinsip titrasi kompleksometri. Prinsip dari
titrasi kompleksometri yaitu pembentukan senyawa kompleks antara
ion logam dengan zat pengompleks.
Daftar Pustaka

Annuryanti, Febri, Asri Darmawati, Juniar Moechtar. 2015. Perbandingan Metode


Spektofotometri Sinar Tampak dan Titrasi Kompleksometri untuk
Penentuan Kadar Zink dalam Sediaan Sirup. Berkala Ilmiah Kimia Farmasi.
Vol. 4 (2) : 1-4.

Astuti, Dian Wuri, Muji Rahayu, dan Dewi Sri Rahayu. 2015. Penetapan
Kesadahan Total (CaCO3) Air Sumur di Dusun Cekelan Kemusu Boyolali
dengan Metode kompleksometri. Kesmas. Vol. 9 (2) : 119-124.

Basset, J. dkk. 1994. Buku Ajar Vogel:Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik.


Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Day, R.A. and L.A. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta :
Erlangga.

De, Arnab Kumar and Anil Kumar De. 2005. Inorganic Chemistry and Analysis:
Problems and Exercises Second Eddition. New Delhi : New Age
International.

DepKes RI. 1979. Farmakope Indonesia Jilid III. Jakarta : Depkes RI.

DepKes RI. 1995. Farmakope Indonesia Jilid IV. Jakarta : Depkes RI.

Gholib,G. dkk. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Jakarta : Pustaka Pelajar.

Hidayanti, A. 2010. Penetapan Kadar Senyawa Kalsium (Ca) pada Pasta Gigi.
Jurnal Kimia. Vol 2 (1) : Hal 43-47.

Kenkel, John. 2002. Analytical Chemistry for Technicians. USA : CRC Press.

Khan, W.U and D.W. Sellen. 2011. e-Library of Evidence for Nutrition Action
(eLENA): Zinc Supplementation in The Management of Diarrhoea.
Available online at http://www.who.int/elena/titles/bbc/zinc_diarrhoea/en/.
[diakses 9 Oktober 2016 pukul 22.20 WIB].
Khopkar, S.M. 2010. Konsep Dasar Kimia Analitik . Jakarta : UI Press.

Mazumder, S., Sunita Taneja, Nita Bhandari, Brinda Dube, RC Agarwal, Dilip
Mahalanabis, Olivier Fontaine, and Robert E.Black. 2010. Effectiveness of
Zinc Supplementation Plus Oral Rehydration Salts for Diarrhoea in Infants
Aged Less Than 6 Months in Haryana State, India. Available online at
http://www.who.int/bulletin/volumes/88/10/10-075986/en/. [diakses 9
Oktober 2016 pukul 22.08 WIB].

Pudjaatmaka, A. Hadyana. 2002. Kamus Kimia. Jakarta : Balai Pustaka.

Sodiq, I.M. 2005. Kimia Analitik I. Malang : Universitas Negeri Malang.

Watson, David. 2000. Pharmaceutical Analysis A Textbook For Pharmacy


Students and Pharmaceutical Chemist. Glasgow UK : University of
Strathclyde.

Anda mungkin juga menyukai