PENDAHULUAN
1
3. Saat titik ekivalen, harus terjadi perubahan baik sifat fisik
maupun sifat kimia dalam larutan yang cukup jelas.
4. Indikator harus dapat memberikan ketentuan (perubahan
warna atau struktur yang jelas) pada saat tercapainya titik
ekivalen.
2
Jenis dan pengaruh pelarut dalam titrasi ini harus mendapat
perhatian. Pelarut yang digunakan dalam titrasi lingkungan bebas air ini
dapat menjadi dua golongan, yaitu :
1. Pelarut Protolitis
Pelarut protolitis atau pelarut yang disebut pelarut
inert, proton-proton ini tidak memberi atau menerima,
misalnya benzene, nitro benzene dan kloroform. Jika asam
pikrat dilarutkan dalam benzene tidak memberikan warna,
karena asam ini tidak teroksidasi dimana benzene tidak
dapat menerima proton dari asam pikrat, kalau dalam
larutan ini ditambahkan suatu basa misalnya aniline maka
akan terbentuk ion pikrat yang dilihat dari warna kuning dari
larutan.
2. Pelarut Amfiprotolitis
Pelarut ini dapat memberi atau menerima proton,
dengan demikian dapat bersifat sebagai suatu basa atau
asam. Salah satu pelarut dengan golongan ini terpenting
dan terbanyak adalah asam cuka. (Underwood,2002: 62)
Air bisa bersifat asam lemah dan basa lemah. Oleh karena itu,
dalam lingkungan air, air dapat berkompetisi dengan asam-asam atau
basa-basa yang sangat lemah dalam hal menerima dan memberi proton.
3
asam dan basa-basa. Pelarut yang termasuk dalam
kelompok ini adalah pelarut-pelarut non-polar seperti
benzene, karbon tetraklorida serta hidrokarbon alifatik.
(Ibnu Gholib, 1999 : 213)
C. Indikator
Bentuk resonansi yang berbeda dari indikator berlaku baik
untuk titrasi bebas air tapi perubahan warna pada titik akhir titrasi
bervariasi, karena mereka bergantung pada sifat titran. Warna sesuai
dengan titik akhir yang benar dapat didirikan dengan melakukan titrasi
potensiometri sambil mengamati perubahan warna indikator. Mayoritas
titrasi bebas air dilakukan dengan menggunakan berbagai indikator yang
cukup terbatas di sini adalah beberapa contoh yang khas.
Kristal Violet : Digunakan sebagai 0,5 % b/v larutan
dalam asam asetat glasial. Berubah warna dari ungu
melalui biru diikuti oleh hijau, kemudian menjadi kuning
kehijauan, dalam reaksi di mana basa seperti piridin
yang dititrasi dengan asam perklorat.
Red : Digunakan sebagai solusi b/v 0,2 % dalam dioksan
dengan kuning untuk mengubah warna merah.
Naftol Benzein : Bila dipekerjakan sebagai solusi b/v 0,2
% dalam asam etanoat memberikan kuning untuk
mengubah warna hijau. Ini memberi poin akhir tajam di
nitro metana yang mengandung anhidrida etanoat
untuk titrasi basa lemah terhadap asam perklorat.
Quenaldine Merah : Digunakan sebagai indikator untuk
penentuan obat dalam larutan dimetilformamida.
Sebuah solusi b/v 0,1 % dalam etanol memberikan
perubahan warna dari merah ungu ke hijau pucat.
Biru Timol : Digunakan secara luas sebagai indikator
untuk titrasi zat yang bertindak sebagai asam dalam
larutan dimetil formamida. Sebuah solusi b/v 0,2 %
dalam metanol memberikan perubahan warna yang
tajam dari kuning ke biru pada titik akhir.
4
D. CTM
Chlorpheniramine atau CTM adalah obat yang digunakan untuk
meredakan gejala alergi yang disebabkan oleh makanan, obat-obatan,
gigitan serangga, paparan debu atau bulu binatang, serta alergi serbuk
sari. Obat ini bekerja dengan cara menghambat kerja histamin, senyawa
di dalam tubuh yang memicu terjadinya gejala alergi. Saat alergi terjadi,
produksi histamin dalam tubuh meningkat secara berlebihan sehingga
memunculkan gejala dari reaksi alergi. Gejala dari reaksi alergi ini dapat
bermacam-macam bentuk, contohnya mata berair, hidung
tersumbat, pilek, bersin-bersin, gatal dan ruam pada kulit, serta
pembengkakan di beberapa bagian tubuh, misalnya wajah.
Hindari penggunaan obat pereda rasa nyeri tingkat sedang
hingga berat (analgesik opioid) seperti morfin, obat anticemas seperti
clonazepam, antipsikosis seperti haloperidol, obat antimuskarinik
seperti atropin, dan antidepresan trisiklik seperti amitriptyline, karena
dapat meningkatkan efek dari chlorpheniramin. Hindari juga pemakaian
chlorheniramine bersama dengan phenytoin karena dapat menghambat
kinerja phenytoin. Efek samping yang mungkin timbul setelah
mengonsumsi chlorpheniramine adalah sakit kepala, mengantuk, mual,
muntah, nafsu makan berkurang, sembelit atau konstipasi, mulut,
hidung, dan tenggorokan kering, gangguan penglihatan dan sulit buang
air kecil.
Berikut ini adalah dosis chlorpheniramine yang disarankan
berdasarkan usia :
Usia Dosis
Anak-anak usia 1 tahun hingga 1 mg, dua kali sehari.
kurang dari 2 tahun
Anak-anak usia 2-5 tahun 1 mg, tiap 4-6 jam. Batas maksimal dosis per
hari adalah 6 mg.
Anak-anak usia 6-11 tahun 2 mg, tiap 4-6 jam. Batas maksimal dosis per
hari adalah 12 mg.
Anak-anak usia di atas 12 tahun 4 mg, tiap 4-6 jam. Batas maksimal dosis per
hingga dewasa hari adalah 24 mg, dan 12 mg bagi orang
berusia di atas 65 tahun.
5
1.3 Prinsip Percobaan
Penentuan kadar CTM dalam bentuk serbuk dengan metode titrasi
bebas air. Metode ini berdasarkan reaksi netralisasi yakni reaksi dimana asam
dan basa bereaksi dalam larutan berair untuk menghasilkan garam dan air.
Dengan menggunakan indikator kristal violet, titik akhir titrasi ditandai dengan
perubahan warna larutan dari ungu menjadi biru hijau.
6
Nama Resmi : POTASSIUM HYDROGEN PHTHALATE
Nama Lain : Kalium hidrogenftalat
RM : CO 2 H .C 6 H 4 .CO 2 K
BM : 204,22
Pemerian : Serbuk hablur, putih.
Kelarutan : Larut perlahan-lahan dalam air, larutan jernih,
tidak berwarna.
Kegunaan : Zat tambahan.
- Sebagai pembakuan.
Persyaratan Kadar : 99,9 % - 100,1 %
7
Kegunaan : Zat tambahan.
- Sebagai titran.
CH 3
– CO – O – CO –CH 3
8
Pemerian : Cairan jernih; tidak berwarna; berbau tajam.
Kegunaan : Zat tambahan.
- Sebagai penghilang kandungan air dan
pelarut.
Persyaratan Kadar : 95,0 %
BAB II
METODE KERJA
9
2.1 Alat dan Bahan
10
7 Spatel Logam Untuk mengambil bahan
kimia bentuk padatan atau
kristal.
11
2.2 Perhitungan dan Pembuatan Reagen
1. Larutan HClO 40,1 N sebanyak 2000 ml
Tiap 1000 ml larutan mengandung 10,05 g HClO 4 (BM 100,46)
(Sumber : FI IV, halaman : 1213)
Prosedur Pembuatan :
a. Mengukur asam perklorat P sebanyak 17 ml.
b. Memasukkan ke dalam labu ukur 2000 ml.
c. Mengukur asam asetat glasial P sebanyak 1000 ml. Lalu
menuangkannya ke dalam labu ukur, mengocoknya.
d. Mengukur anhidrida asetat P sebanyak 42 ml. Lalu
menuangkannya ke dalam labu ukur, mengocoknya.
e. Mendinginkannya.
f. Menambahkan asam asetat glasial P hingga tanda batas,
mengocoknya.
12
Pembuatan : Larutkan 100 mg kristal violet P dalam 10 ml asam
asetat glasial P. (Sumber : FI IV, halaman : 1172)
Prosedur Pembuatan :
a. Menimbang lebih kurang 250 mg kristal violet P.
b. Memasukkan ke dalam labu ukur 25 ml.
c. Menambahkan asam asetat glasial P hingga setengah volume
dari labu ukur tersebut.
d. Mengaduk hingga larut sempurna.
e. Menambahkan asam asetat glasial P hingga tanda batas,
mengocoknya.
13
c. Menambahkan 5 tetes asam asetat anhidrida.
d. Menambahkan 2 tetes indikator kristal violet.
e. Menitrasi dengan larutan HClO 4 0,1 N sampai warna ungu berubah
menjadi biru hijau.
f. Mencatat volume HClO 4yang digunakan dan menghitung kadar
sampel.
BAB III
14
(mg) (ml)
Warna
b. Replikasi 2
Perkamen Kosong = 121,8 mg
Perkamen + Zat = 322,5 mg
Perkamen + Sisa = 121,7 mg
Bobot Zat = 322,5 mg – 121,7 mg
= 200,8 mg
W KHP(mg)
N HClO 4 =
V HClO 4 x 204
a. Replikasi 1
200,2 mg
N HClO 4 =
9,8 ml x 204
= 0,1001 N
b. Replikasi 2
200,8 mg
N HClO 4 =
10,2ml x 204
= 0,0965 N
0,1001 N +0,0965 N
Rata-rata N HClO4 = =0,0983 N
2
15
B. Penetapan Kadar CTM
Penimbangan CTM :
a. Replikasi 1
Perkamen Kosong = 121,8 mg
Perkamen + Zat = 323,5 mg
Perkamen + Sisa = 122,5 mg
Bobot Zat = 323,5 mg – 122,5 mg
= 201,0 mg
b. Replikasi 2
Perkamen Kosong = 122,1 mg
Perkamen + Zat = 323,0 mg
Perkamen + Sisa = 123,0 mg
Bobot Zat = 222,2 mg – 121,8 mg
= 200,0 mg
Perhitungan :
a. Replikasi 1
0,0983 N x 10,3 ml x 19,54
% Kadar = x 100 %
0,1 x 201,0 mg
% Kadar = 98,4281 %
b. Replikasi 2
0,0983 N x 10,4 ml x 19,54
% Kadar = x 100 %
0,1 x 200,0 mg
16
% Kadar = 99,8806 %
98,4281 %+99,8806 %
Rata-rata % kadar = =99,1544 %
2
BAB IV
PEMBAHASAN
CH3COOH + HA CH3COOH2+ + A-
17
larutan, yaitu dari ungu menjadi biru hijau. Dari praktikum ini diperoleh kadar
CTM 99,1544 % dengan metode titrasi bebas air. Dalam ketentuan Farmakope
Indonesia Edisi IV menyatakan kadar CTM yang terkandung ialah tidak kurang
dari 98,0 % dan tidak lebih dari 100,5 % yang tertera pada etiket. Hal ini
menunjukkan bahwa sampel CTM pada praktikum ini memenuhi persyaratan
kadar Farmakope Indonesia IV.
Adapun faktor-faktor kesalahan dalam percobaan yang mengakibatkan
hasil titrasi yang tidak sesuai dibandingkan dengan literatur dalam Farmakope
Indonesia yaitu seperti lingkungan peniter dan pelarut atau pereaksi yang
ternyata masih berair. Pereaksi pada percobaan yang masih mengandung air
dapat disebabkan karena bahan asam asetat glasial yang telah disimpan dapat
menyerap air (bersifat higroskopis) dari udara yang dikarenakan kondisi
penyimpanan yang tidak sesuai. Hal serupa juga dapat ditemukan dalam proses
pembuatan dan pembakuan asam perklorat 0,1 N dengan menggunakan pelarut
asam asetat glasial. Asam asetat glasial yang tidak murni (masih mengandung
air) akan menyebabkan asam perklorat yang dibuat juga mengandung air. Asam
asetat glasial yang telah mengandung air akan menyebabkan hasil akhir
indikator yang dibuat juga mengandung air. Pereaksi yang masih mengandung
air akan mengakibatkan fungsi pereaksi untuk meningkatkan kebasaan senyawa
dan menentukan kadar senyawa tidak dapat berjalan dengan baik. Bila titrasi
berlangsung dengan pelarut yang masih mengandung air, maka akan
mempengaruhi tingkat kebasaan senyawa dalam pelarut menjadi lebih rendah
dari seharusnya (bila ditambahkan pelarut bebas air). Selain itu, kadar senyawa
organik yang ditentukan juga akan berkurang dari kadar seharusnya karena tidak
semua senyawa dapat bereaksi, karena masih terdapat kandungan air yang akan
mempengaruhi reaksi. Semua pereaksi yang dibuat mengandung air sehingga
pada titrasi bebas air, jumlah kelebihan air dari peniter, pelarut tersebut akan
mempengaruhi titik akhir titrasi, perubahan warna dapat terjadi di luar titik
akhir titrasi seharusnya, titrasi menjadi tidak presisi dan akurat. Selain itu
kesalahan dalam melakukan penimbangan atau penentuan berat sampel yang
digunakan dalam titrasi akan mempengaruhi keberhasilan titrasi.
18
BAB V
KESIMPULAN
19
Lembar Pemeriksaan
Diperiksa oleh,
Pembimbing Praktikum,
……………………………………………..
20
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
dan Makanan: Jakarta.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
dan Makanan: Jakarta.
Sudjadi, dan Rohman, A. 2008. Analisis Kuantitatif Obat. Gadjah Mada University:
Yogyakarta.
21
LAMPIRAN
2. Hasil titrasi :
2. Hasil titrasi :
22