Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Percobaan


1. Menetapkan konsentrasi (normalitas) HClO 4 0,1 N
2. Menetapkan kadar CTM
3. Memeriksa kesesuaian kadar CTM dengan persyaratan Farmakope
Indonesia IV

1.2 Landasan Teori


A. Metode Analisis Volumetri atau Titrimetri
Analisis volumetri adalah bagian dari analisis kimia kuantitatif
untuk menentukan banyaknya suatu zat dalam volume tertentu dengan
mengukur banyaknya larutan standar yang dapat bereaksi secara
kuantitatif dengan analit (zat yang akan ditentukan). Prinsip dasar
analisis volumetri berdasarkan reaksi :
aA + tT ↔ Hasil
Dimana a molekul analit A (titrat) bereaksi dengan t molekul
pereaksi T (titran). Dengan titrasi dimaksudkan suatu proses pengerjaan
di mana titran ditambahkan sedikit demi sedikit melalui buret ke dalam
larutan analit untuk mencapai titik ekivalen. Titik ekivalen dimaksudkan
pada saat titrasi dimana jumlah titran yang ditambahkan ekivalen
dengan jumlah analit dalam larutan. Selain itu dikenal juga titik akhir
titrasi yaitu saat terjadi perubahan warna indikator. Selisih antara titik
ekivalen dan titik akhir titrasi dikenal sebagai kesalahan titrasi.
Menurut Sitti Chadijah (2001), dalam analisa volumetri reaksi
yang terjadi antara titran dan titrat harus memenuhi syarat-syarat
berikut :
1. Reaksi harus sederhana, mudah dituliskan dengan suatu
persamaan reaksi. Analit harus dapat bereaksi secara
kuantitatif dengan titran.
2. Reaksi harus dapat terjadi dengan cepat (bila perlu
tambahkan katalisator atau suhu tinggi).

1
3. Saat titik ekivalen, harus terjadi perubahan baik sifat fisik
maupun sifat kimia dalam larutan yang cukup jelas.
4. Indikator harus dapat memberikan ketentuan (perubahan
warna atau struktur yang jelas) pada saat tercapainya titik
ekivalen.

B. Titrasi Bebas Air


Titrasi titrimetri dalam lingkungan bebas air, pelarut mengambil
bagian yang amat penting untuk reaksi stoikiometri, dimana pelarut
tersebut dapat mengambil bagian dalam reaksi. Ada tiga teori yang
menerangkan reaksi netralisasi dalam suatu pelarut yaitu teori ikatan
hidrogen, teori Lewis dan teori Bronsted. (Roth, 1988: 232)
Titrasi bebas air adalah suatu titrasi yang tidak menggunakan air
sebagai pelarut. Tetapi digunakan pelarut organik seperti alkohol, eter
atau pelarut-pelarut organik lain karena senyawa tersebut tidak dapat
larut dalam air, disamping itu kurang reaktif dalam air seperti misalnya
garam-garam amina, dimana garam-garam ini dirombak lebih dahulu
menjadi basa yang bebas larut dalam air, sari dengan pelarut organik
lain dan direaksikan dengan asam baku berlebih, yang kemudian
pelarutnya diuapkan dan barulah kelebihan asam ditentukan kembali
dengan basa baku sedangkan senyawa-senyawa organik yang
mengandung nitrogen ditentukan dengan metode Kjeldahl, dimana
senyawa-senyawa yang berupa garam natrium diasamkan dahulu,
kemudian senyawa yang tidak larut dalam air disari dengan pelarut lain
(organik), pelarut diuapkan dan sisa dikeringkan dan ditimbang.
(Underwood, 1993: 168)
Pada pelarut asam lemah dan basa lemah dalam lingkungan
bebas air harus diperhatikan pengaruh pelarut bukan air terhadap
tetapan ionisasi, tetapan dissosiasi, tetapan asam-asam dan basa
senyawa yang hendak dititrasi. Yang tidak kalah penting adalah
pengaruh konstante dialetrik pada reaksi protolisis pada pelarut bukan
air. (Wunas, 1986: 98)

2
Jenis dan pengaruh pelarut dalam titrasi ini harus mendapat
perhatian. Pelarut yang digunakan dalam titrasi lingkungan bebas air ini
dapat menjadi dua golongan, yaitu :
1. Pelarut Protolitis
Pelarut protolitis atau pelarut yang disebut pelarut
inert, proton-proton ini tidak memberi atau menerima,
misalnya benzene, nitro benzene dan kloroform. Jika asam
pikrat dilarutkan dalam benzene tidak memberikan warna,
karena asam ini tidak teroksidasi dimana benzene tidak
dapat menerima proton dari asam pikrat, kalau dalam
larutan ini ditambahkan suatu basa misalnya aniline maka
akan terbentuk ion pikrat yang dilihat dari warna kuning dari
larutan.
2. Pelarut Amfiprotolitis
Pelarut ini dapat memberi atau menerima proton,
dengan demikian dapat bersifat sebagai suatu basa atau
asam. Salah satu pelarut dengan golongan ini terpenting
dan terbanyak adalah asam cuka. (Underwood,2002: 62)

Air bisa bersifat asam lemah dan basa lemah. Oleh karena itu,
dalam lingkungan air, air dapat berkompetisi dengan asam-asam atau
basa-basa yang sangat lemah dalam hal menerima dan memberi proton.

1. Titrasi Bebas Air Basa Lemah


Asam asetat merupakan penerima proton yang sangat
lemah sehingga tidak berkompetisi secara efektif dengan
basa-basa lemah dalam hal menerima proton. Hanya asam
yang sangat kuat yang mampu memprotonasi asam asetat.
2. Titrasi Bebas Air Asam-Asam Lemah
Pelarut yang digunakan adalah pelarut-pelarut yang
tidak berkompetisi secara kuat dengan asam lemah dalam
hal memberikan proton, alkohol dengan pelarut-pelarut
aprotik dapat digunakan sebagai pelarut. Pelarut aprotik
merupakan pelarut yang dapat menurunkan ionisasi asam-

3
asam dan basa-basa. Pelarut yang termasuk dalam
kelompok ini adalah pelarut-pelarut non-polar seperti
benzene, karbon tetraklorida serta hidrokarbon alifatik.
(Ibnu Gholib, 1999 : 213)

C. Indikator
Bentuk resonansi yang berbeda dari indikator berlaku baik
untuk titrasi bebas air tapi perubahan warna pada titik akhir titrasi
bervariasi, karena mereka bergantung pada sifat titran. Warna sesuai
dengan titik akhir yang benar dapat didirikan dengan melakukan titrasi
potensiometri sambil mengamati perubahan warna indikator. Mayoritas
titrasi bebas air dilakukan dengan menggunakan berbagai indikator yang
cukup terbatas di sini adalah beberapa contoh yang khas.
 Kristal Violet : Digunakan sebagai 0,5 % b/v larutan
dalam asam asetat glasial. Berubah warna dari ungu
melalui biru diikuti oleh hijau, kemudian menjadi kuning
kehijauan, dalam reaksi di mana basa seperti piridin
yang dititrasi dengan asam perklorat.
 Red : Digunakan sebagai solusi b/v 0,2 % dalam dioksan
dengan kuning untuk mengubah warna merah.
 Naftol Benzein : Bila dipekerjakan sebagai solusi b/v 0,2
% dalam asam etanoat memberikan kuning untuk
mengubah warna hijau. Ini memberi poin akhir tajam di
nitro metana yang mengandung anhidrida etanoat
untuk titrasi basa lemah terhadap asam perklorat.
 Quenaldine Merah : Digunakan sebagai indikator untuk
penentuan obat dalam larutan dimetilformamida.
Sebuah solusi b/v 0,1 % dalam etanol memberikan
perubahan warna dari merah ungu ke hijau pucat.
 Biru Timol : Digunakan secara luas sebagai indikator
untuk titrasi zat yang bertindak sebagai asam dalam
larutan dimetil formamida. Sebuah solusi b/v 0,2 %
dalam metanol memberikan perubahan warna yang
tajam dari kuning ke biru pada titik akhir.

4
D. CTM
Chlorpheniramine atau CTM adalah obat yang digunakan untuk
meredakan gejala alergi yang disebabkan oleh makanan, obat-obatan,
gigitan serangga, paparan debu atau bulu binatang, serta alergi serbuk
sari. Obat ini bekerja dengan cara menghambat kerja histamin, senyawa
di dalam tubuh yang memicu terjadinya gejala alergi. Saat alergi terjadi,
produksi histamin dalam tubuh meningkat secara berlebihan sehingga
memunculkan gejala dari reaksi alergi. Gejala dari reaksi alergi ini dapat
bermacam-macam bentuk, contohnya mata berair, hidung
tersumbat, pilek, bersin-bersin, gatal dan ruam pada kulit, serta
pembengkakan di beberapa bagian tubuh, misalnya wajah.
Hindari penggunaan obat pereda rasa nyeri tingkat sedang
hingga berat (analgesik opioid) seperti morfin, obat anticemas seperti
clonazepam, antipsikosis seperti haloperidol, obat antimuskarinik
seperti atropin, dan antidepresan trisiklik seperti amitriptyline, karena
dapat meningkatkan efek dari chlorpheniramin. Hindari juga pemakaian
chlorheniramine bersama dengan phenytoin karena dapat menghambat
kinerja phenytoin. Efek samping yang mungkin timbul setelah
mengonsumsi chlorpheniramine adalah sakit kepala, mengantuk, mual,
muntah, nafsu makan berkurang, sembelit atau konstipasi, mulut,
hidung, dan tenggorokan kering, gangguan penglihatan dan sulit buang
air kecil.
Berikut ini adalah dosis chlorpheniramine yang disarankan
berdasarkan usia :

Usia Dosis
Anak-anak usia 1 tahun hingga 1 mg, dua kali sehari.
kurang dari 2 tahun
Anak-anak usia 2-5 tahun 1 mg, tiap 4-6 jam. Batas maksimal dosis per
hari adalah 6 mg.
Anak-anak usia 6-11 tahun 2 mg, tiap 4-6 jam. Batas maksimal dosis per
hari adalah 12 mg.
Anak-anak usia di atas 12 tahun 4 mg, tiap 4-6 jam. Batas maksimal dosis per
hingga dewasa hari adalah 24 mg, dan 12 mg bagi orang
berusia di atas 65 tahun.

5
1.3 Prinsip Percobaan
Penentuan kadar CTM dalam bentuk serbuk dengan metode titrasi
bebas air. Metode ini berdasarkan reaksi netralisasi yakni reaksi dimana asam
dan basa bereaksi dalam larutan berair untuk menghasilkan garam dan air.
Dengan menggunakan indikator kristal violet, titik akhir titrasi ditandai dengan
perubahan warna larutan dari ungu menjadi biru hijau.

1.4 Monografi Bahan


1. CTM (Sumber : Farmakope Indonesia IV, halaman : 210)

Nama Resmi : CHLORPHENIRAMINI MALEAS


Nama Lain : Klorfeniramin Maleat
RM : C 16 H 19 CIN 2 . C4 H 4 O 4
BM : 390,87
Pemerian : Serbuk hablur; putih; tidak berbau. Larutan
mempunyai pH antara 4 dan 5.
Kelarutan : Mudah larut dalam air; larut dalam etanol dan
dalam kloroform; sukar larut dalam eter dan
dalam benzene.
Kegunaan : Antihistaminikum.
- Sebagai zat uji (sampel).
Persyaratan Kadar : 98,0 % - 100,5 %

2. Kalium Hidrogenftalat (Sumber : Farmakope Indonesia III, halaman :


686)

6
Nama Resmi : POTASSIUM HYDROGEN PHTHALATE
Nama Lain : Kalium hidrogenftalat
RM : CO 2 H .C 6 H 4 .CO 2 K
BM : 204,22
Pemerian : Serbuk hablur, putih.
Kelarutan : Larut perlahan-lahan dalam air, larutan jernih,
tidak berwarna.
Kegunaan : Zat tambahan.
- Sebagai pembakuan.
Persyaratan Kadar : 99,9 % - 100,1 %

3. Asam Perklorat (Sumber : Farmakope Indonesia III, halaman : 651)

Nama Resmi : ACIDUM PERCLORAT


Nama Lain : Asam Perklorat
RM : HClO 4
BM : 100,46
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna.
Kelarutan : Bercampur dengan air.

7
Kegunaan : Zat tambahan.
- Sebagai titran.

4. Asam Asetat Glasial (Sumber : Farmakope Indonesia III, halaman : 42)

Nama Resmi : ACIDUM ACETICUM GLACIALE


Nama Lain : Asam Asetat Glasial
RM : CH 3 COOH
BM : 60,05
Pemerian : Cairan jernih; tidak berwarna; bau khas, tajam;
jika diencerkan dengan air, rasa asam.
Kelarutan : Dapat campur dengan air, dengan etanol (95%)
P dan dengan gliserol P.
Kegunaan : Zat tambahan.
- Sebagai pelarut.
Persyaratan Kadar : 99,5 %

5. Asam Asetat Anhidrida (Sumber : Farmakope Indonesia III, halaman :


647)

CH 3
– CO – O – CO –CH 3

Nama Resmi : ACIDUM ACETICUM ANHYDRIDE


Nama Lain : Asam Asetat Anhidrida
RM : ¿¿
BM : 102,09

8
Pemerian : Cairan jernih; tidak berwarna; berbau tajam.
Kegunaan : Zat tambahan.
- Sebagai penghilang kandungan air dan
pelarut.
Persyaratan Kadar : 95,0 %

6. Kristal Violet (Sumber : Farmakope Indonesia IV, halaman : 1207)

Nama Resmi : CRYSTAL VIOLET


Nama Lain : Kristal Violet
RM : C 25 H 30 CIN 3
BM : 407,99
Pemerian : Hablur berwarna hijau tua.
Kelarutan : Sukar larut dalam air; agak sukar larut dalam
etanol (95%) P dan dalam asam asetat glasial P.
Larutannya berwarna lembayung tua.
Kegunaan : Zat tambahan.
- Sebagai indikator.

BAB II

METODE KERJA

9
2.1 Alat dan Bahan

a. Alat yang digunakan :


No. Nama Alat Gambar Kegunaan
1 Timbangan Untuk menimbang bahan
kimia dengan ketilitian
hingga 4 digit.

2 Buret Untuk titrasi dengan presisi


tinggi, atau bisa juga untuk
mengukur volume suatu
larutan.

3 Erlenmeyer Untuk mencampur,


mengukur dan menyimpan
cairan.

4 Gelas Ukur Untuk mengukur volume


larutan.

5 Beaker Glass Sebagai penampung zat atau


cairan.

6 Statip dan Klem Untuk menjepit buret dalam


Penjepit proses titrasi.

10
7 Spatel Logam Untuk mengambil bahan
kimia bentuk padatan atau
kristal.

8 Kertas Perkamen Sebagai alas untuk


menimbang bahan obat.

9 Pipet Volume Untuk mengambil larutan


dengan volume yang tepat
dan sesuai dengan label.

10 Pipet Tetes Untuk memindahkan volume


cairan yang telah terukur.

11 Corong Gelas Untuk memindahkan atau


memasukkan larutan ke
wadah dan untuk
menyaring.

12 Mortir dan Untuk menghancurkan atau


Stamper menghaluskan suatu bahan
atau zat yang masih bersifat
padat atau kristal.
b. Bahan yang digunakan :
1. CTM Pulv
2. Kalium hidrogenftalat
3. Larutan HClO 4 0,1 N
4. Larutan Asam Asetat Glasial
5. Larutan Asam Asetat Anhidrida
6. Indikator Kristal Violet

11
2.2 Perhitungan dan Pembuatan Reagen
1. Larutan HClO 40,1 N sebanyak 2000 ml
 Tiap 1000 ml larutan mengandung 10,05 g HClO 4 (BM 100,46)
(Sumber : FI IV, halaman : 1213)

 Pembuatan : Campur 8,5 ml asam perklorat P dengan 500 ml asam


asetat glasial P dan 21 ml anhidrida asetat P, dinginkan dan
tambahkan asam asetat glasial P secukupnya hingga 1000 ml.
(Sumber : FI IV, halaman : 1213)

 Akan dibuat sebanyak 2000 ml HClO 40,1 N, maka asam perklorat


P yang digunakan adalah :
2000 ml
= x 8,5 ml=17 ml(untuk 2000 ml larutan)
1000 ml

 Akan dibuat sebanyak 2000 ml HClO 40,1 N, maka anhidrida asetat


P yang digunakan adalah :
2000 ml
= x 21ml=42ml (untuk 2000 ml larutan)
1000 ml

 Prosedur Pembuatan :
a. Mengukur asam perklorat P sebanyak 17 ml.
b. Memasukkan ke dalam labu ukur 2000 ml.
c. Mengukur asam asetat glasial P sebanyak 1000 ml. Lalu
menuangkannya ke dalam labu ukur, mengocoknya.
d. Mengukur anhidrida asetat P sebanyak 42 ml. Lalu
menuangkannya ke dalam labu ukur, mengocoknya.
e. Mendinginkannya.
f. Menambahkan asam asetat glasial P hingga tanda batas,
mengocoknya.

2. Indikator Kristal Violet sebanyak 25 ml

12
 Pembuatan : Larutkan 100 mg kristal violet P dalam 10 ml asam
asetat glasial P. (Sumber : FI IV, halaman : 1172)

 Akan dibuat sebanyak 25 ml C 25 H 30 CIN 3 , maka C 25 H 30 CIN 3


yang digunakan adalah :
25 ml
= x 100 mg=250 mg (untuk 25 ml larutan)
10 ml

 Prosedur Pembuatan :
a. Menimbang lebih kurang 250 mg kristal violet P.
b. Memasukkan ke dalam labu ukur 25 ml.
c. Menambahkan asam asetat glasial P hingga setengah volume
dari labu ukur tersebut.
d. Mengaduk hingga larut sempurna.
e. Menambahkan asam asetat glasial P hingga tanda batas,
mengocoknya.

2.3 Prosedur Percobaan


1. Pembakuan Larutan HClO 4 0,1 N
a. Menimbang lebih kurang 200 mg zat kalium hydrogen phtalat dan
memasukannya ke dalam erlenmeyer.
b. Melarutkannya dalam 15 ml asam asetat glasial.
c. Menambahkan 5 tetes asam asetat anhidrida.
d. Menambahkan 1 tetes indikator kristal violet.
e. Menitrasi dengan larutan HClO 4 0,1 N sampai warna ungu berubah
menjadi biru hijau.
f. Mencatat volume HClO 4yang digunakan dan menghitung konsentrasi
HClO 4 .

2. Penetapan Kadar Zat CTM


a. Menimbang lebih kurang 200 mg sampel dan memasukannya ke dalam
erlenmeyer.
b. Melarutkannya dalam 10 ml asam asetat glasial.

13
c. Menambahkan 5 tetes asam asetat anhidrida.
d. Menambahkan 2 tetes indikator kristal violet.
e. Menitrasi dengan larutan HClO 4 0,1 N sampai warna ungu berubah
menjadi biru hijau.
f. Mencatat volume HClO 4yang digunakan dan menghitung kadar
sampel.

BAB III

DATA PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN

A. Pembakuan Larutan HClO 4 0,1 N

Replikasi Bobot Penimbangan Volume Titran Perubahan

14
(mg) (ml)
Warna

1 200,2 mg 9,8 ml Ungu → Biru Hijau

2 200,8 mg 10,2 ml Ungu → Biru Hijau

 Penimbangan Kalium hydrogen phtalat (KHP) :


a. Replikasi 1
Perkamen Kosong = 121,4 mg
Perkamen + Zat = 322,2 mg
Perkamen + Sisa = 122,0 mg
Bobot Zat = 322,2 mg – 122,0 mg
= 200,2 mg

b. Replikasi 2
Perkamen Kosong = 121,8 mg
Perkamen + Zat = 322,5 mg
Perkamen + Sisa = 121,7 mg
Bobot Zat = 322,5 mg – 121,7 mg
= 200,8 mg

 Pembakuan Larutan HClO 4 0,1 N

W KHP(mg)
N HClO 4 =
V HClO 4 x 204

a. Replikasi 1
200,2 mg
N HClO 4 =
9,8 ml x 204
= 0,1001 N

b. Replikasi 2
200,8 mg
N HClO 4 =
10,2ml x 204
= 0,0965 N
0,1001 N +0,0965 N
Rata-rata N HClO4 = =0,0983 N
2

15
B. Penetapan Kadar CTM

Bobot Penimbangan Volume Titran Perubahan


Replikasi
(mg) (ml) Warna

1 201,0 mg 10,3 ml Ungu → Biru Hijau

2 200,0 mg 10,4 ml Ungu → Biru Hijau

 Penimbangan CTM :
a. Replikasi 1
Perkamen Kosong = 121,8 mg
Perkamen + Zat = 323,5 mg
Perkamen + Sisa = 122,5 mg
Bobot Zat = 323,5 mg – 122,5 mg
= 201,0 mg

b. Replikasi 2
Perkamen Kosong = 122,1 mg
Perkamen + Zat = 323,0 mg
Perkamen + Sisa = 123,0 mg
Bobot Zat = 222,2 mg – 121,8 mg
= 200,0 mg

 Perhitungan :

N HClO 4 x V HClO 4 x kesetaraan


% Kadar = x 100 %
0,1 x mg CTM

a. Replikasi 1
0,0983 N x 10,3 ml x 19,54
% Kadar = x 100 %
0,1 x 201,0 mg
% Kadar = 98,4281 %

b. Replikasi 2
0,0983 N x 10,4 ml x 19,54
% Kadar = x 100 %
0,1 x 200,0 mg

16
% Kadar = 99,8806 %

98,4281 %+99,8806 %
 Rata-rata % kadar = =99,1544 %
2
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada percobaan di atas, dilakukan penetapan kadar CTM dengan


metode titrasi bebas air. Penetapan kadar secara kuantitatif terhadap senyawa-
senyawa yang bersifat basa dengan menggunakan baku asam. Untuk sampel
senyawa organik basa digunakan pelarut asam asetat glasial. Asam asetat glasial
dipilih karena ia merupakan akseptor proton yang sangat lemah sehingga tidak
berkompetisi secara efektif dengan basa lemah untuk proton. Hal ini
dikarenakan basa lemah berkompetisi sangat efektif dengan asam asetat untuk
proton. Hanya asam yang sangat kuat akan cukup besar memprotonasi asam
asetat sesuai dengan persamaan yang ditunjukkan berikut ini :

CH3COOH + HA CH3COOH2+ + A-

Asam asetat glasial dapat meningkatkan kebasaan senyawa sehingga


dapat ditentukan kadarnya dengan peniter asam perklorat. Asam perklorat
memiliki syarat lebih asam dari asam asetat glasial dan larut dalam asam asetat.
Selain itu, asam perklorat adalah asam yang paling kuat di antara asam-asam
yang umum di dalam larutan asam asetat seperti klorida dan nitrat. Karena asam
perklorat merupakan asam kuat, maka ia dapat bereaksi dengan baik dengan
CTM yang merupakan basa lemah. Sehingga, tidak akan terjadi perebutan
penyumbangan dan penerimaan proton, seperti pada titrasi dalam larutan air
(berair), yang menyebabkan kecilnya titik infleksi pada kurva titrasi asam sangat
lemah dan basa sangat lemah sehingga mendekati batas pH 0 dan 14.
Menurunnya titik infleksi pada kurva titrasi tersebut, akan menyebabkan
sulitnya penentuan titik akhir titrasi. Selain itu, asam perklorat dipilih karena
asam perklorat merupakan larutan asam organik yang dapat larut baik dalam
asam asetat glasial.
Pada percobaan ini, digunakan indikator kristal violet. Dengan bantuan
indikator tersebut titik akhir ditunjukkan dengan terjadinya perubahan warna

17
larutan, yaitu dari ungu menjadi biru hijau. Dari praktikum ini diperoleh kadar
CTM 99,1544 % dengan metode titrasi bebas air. Dalam ketentuan Farmakope
Indonesia Edisi IV menyatakan kadar CTM yang terkandung ialah tidak kurang
dari 98,0 % dan tidak lebih dari 100,5 % yang tertera pada etiket. Hal ini
menunjukkan bahwa sampel CTM pada praktikum ini memenuhi persyaratan
kadar Farmakope Indonesia IV.
Adapun faktor-faktor kesalahan dalam percobaan yang mengakibatkan
hasil titrasi yang tidak sesuai dibandingkan dengan literatur dalam Farmakope
Indonesia yaitu seperti lingkungan peniter dan pelarut atau pereaksi yang
ternyata masih berair. Pereaksi pada percobaan yang masih mengandung air
dapat disebabkan karena bahan asam asetat glasial yang telah disimpan dapat
menyerap air (bersifat higroskopis) dari udara yang dikarenakan kondisi
penyimpanan yang tidak sesuai. Hal serupa juga dapat ditemukan dalam proses
pembuatan dan pembakuan asam perklorat 0,1 N dengan menggunakan pelarut
asam asetat glasial. Asam asetat glasial yang tidak murni (masih mengandung
air) akan menyebabkan asam perklorat yang dibuat juga mengandung air. Asam
asetat glasial yang telah mengandung air akan menyebabkan hasil akhir
indikator yang dibuat juga mengandung air. Pereaksi yang masih mengandung
air akan mengakibatkan fungsi pereaksi untuk meningkatkan kebasaan senyawa
dan menentukan kadar senyawa tidak dapat berjalan dengan baik. Bila titrasi
berlangsung dengan pelarut yang masih mengandung air, maka akan
mempengaruhi tingkat kebasaan senyawa dalam pelarut menjadi lebih rendah
dari seharusnya (bila ditambahkan pelarut bebas air). Selain itu, kadar senyawa
organik yang ditentukan juga akan berkurang dari kadar seharusnya karena tidak
semua senyawa dapat bereaksi, karena masih terdapat kandungan air yang akan
mempengaruhi reaksi. Semua pereaksi yang dibuat mengandung air sehingga
pada titrasi bebas air, jumlah kelebihan air dari peniter, pelarut tersebut akan
mempengaruhi titik akhir titrasi, perubahan warna dapat terjadi di luar titik
akhir titrasi seharusnya, titrasi menjadi tidak presisi dan akurat. Selain itu
kesalahan dalam melakukan penimbangan atau penentuan berat sampel yang
digunakan dalam titrasi akan mempengaruhi keberhasilan titrasi.

18
BAB V
KESIMPULAN

1. Konsentrasi larutan HClO 4yang digunakan adalah 0,0983 N


2. Kadar sampel zat CTM yang diperoleh adalah 99,1544 %.
3. Sampel zat CTM memenuhi persyaratan kadar Farmakope Indonesia IV.

19
Lembar Pemeriksaan

Waktu dan tempat dilaksanakannya percobaan ini, yaitu sebagai berikut :


Hari/Tanggal : Rabu/ 10 April 2019
Pukul : 13.00 – 16.00 WIB
Tempat : Laboratorium Kimia Analitik (LAFI AU)

Diperiksa oleh,
Pembimbing Praktikum,

……………………………………………..

Bandung, 24 April 2019


Praktikan,

Mirajiyah Purnama Dewi


NIM. 30517048

20
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
dan Makanan: Jakarta.

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
dan Makanan: Jakarta.

Sudjadi, dan Rohman, A. 2008. Analisis Kuantitatif Obat. Gadjah Mada University:
Yogyakarta.

Modul Praktikum KIMIA FARMASI II

21
LAMPIRAN

a. Pembakuan Larutan HClO 4 0,1 N


1. Sebelum di titrasi :

2. Hasil titrasi :

b. Penetapan Kadar CTM


1. Sebelum di titrasi :

2. Hasil titrasi :

22

Anda mungkin juga menyukai