Anda di halaman 1dari 16

Ribi Ramadanti Multisona

240210150073
1B
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Praktikum yang telah dilakukan yaitu praktikum pengaruh pemanasan
terhadap aktivitas enzim dan sifat organoleptik produk. Produk yang diamati
dalam praktikum ini adalah tomat, buncis, kubis, wortel, dan kentang. Masing-
masing produk dipotong kecil-kecil (kecuali tomat), dicuci dan ditiriskan. Bahan
yang perlu disiapkan yaitu air dan es batu dimasukkan dalam baskom serta air
untuk pengukusan dan perebusan dimasukkan dalam panci dan dididihkan.
Masing-masing produk diberikan beberapa perlakuan sehingga dapat
dilakukan perbandingan satu dengan yang lain. Perlakuan-perlakuan tersebut
antara lain tanpa perlakuan (kontrol), blansing kukus, dan blansing rebus dengan
rentang waktu yang berbeda-beda. Menurut Tjahjadi dan Marta (2014), blansing
adalah perlakuan panas yang pendek dengan air panas/uap panas sebelum
pengalengan, pembekuan, pengeringan. Blansing dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu 1) dalam air mendidih, selama 1,5 menit 12 menit, pada suhu 88o 99oC
dan 2) dalam stim pada tekanan 1 atm dan suhu 100oC. Tujuan dari blansing
adalah a) menonaktifkan enzim terutama polifenoloksidase (penyebab
pencoklatan enzimatis), lipoksigenase (penyebab ketengikan), ascorbic acid
oxidase (penyebab penguraian vitamin C), serta katalase dan peroksidase
(keduanya dipakai sebagai indikator kecukupan blansing); b) menghilangkan
kotoran yang melekat; c) mengurangi jumlah mikroorganisme; d) melenturkan
jaringan hingga mudah memasukkannya ke dalam kemasan; dan e) mengeluarkan
udara dari jaringan untuk mencegah reaksi oksidasi, mencegah agar tekanan
dalam kemasan sewaktu sterilisasi jangan terlalu tinggi, memudahkan sortasi
berdasarkan berat jenis serta membuat jaringan yang hijau tampak lebih cerah.
Setelah dilakukan blansing maka akan terjadi perubahan warna, aroma dan
tekstur dari sayuran tersebut. Warna mengalami perubahan menjadi lebih cerah
atau lebih keluar warna hijaunya karena blansing dengan waktu dan suhu yang
tepat membantu mencerahkan warnanya. Tekstur menjadi lebih lunak karena ada
pengeluaran udara dari rongga-rongga dan perusakan jaringan akibat panas.
Aroma menjadi lebih tercium karena zat volatile ketika dipanaskan akan
menguap, sehingga aromanya lebih tercium. Penggunaan waktu yang tepat akan
menghasilkan sifat yang baik (Buckle, 1984).
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
1B
Menurut Supiyati, 2011, mengukus adalah teknik mengolah bahan makanan
dengan menggunakan uap air panas. Teknik pengukusan dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu:
a. Mengukus dengan menggunakan tekanan biasa yang mempergunakan
uap air pada waktu perebusan
b. Mengukus dengan menggunakan tekanan agak tinggi karena
menggunakan alat khusus yang tertutup rapat.
Prosedur untuk melakukan blansing kukus dan blansing rebus berbeda
pada peletakan produknya saja yaitu produk pada blansing kukus diletakkan di
atas wadah yang ditempatkan dalam panci sehingga tidak bersentuhan secara
langsung dengan air sedangkan produk pada blansing rebus dimasukkan dalam air
mendidih sehingga bersentuhan secara langsung dengan air. Prosedur yang
dilakukan pertama kali yaitu air yang dipanaskan dalam panci diukur terlebih
dahulu suhunya. Apabila telah mencapai suhu minimum, produk yang telah
dipotong kecil-kecil dan telah dimasukkan dalam kertas saring dimasukkan dalam
panci sesuai letak dan lamanya blansing. Selanjutnya, produk yang telah
diblansing dicelupkan dalam air es selama 3 menit dan ditiriskan. Menurut
Tjahjadi (2008), setelah blansing harus segera dilakukan pendinginan.
Pendinginan dapat dilakukan dengan cara perendaman dalam 1) air dingin; yang
selain mendinginkan bahan juga turut membasuh produk sehingga dapat
mencegah kekeruhan cairan dalam kaleng pada produk-produk yang banyak
mengandung pati seperti kacang polong dan 2) penghembusan dengan udara
dingin. Hasil pengamatan masing-masing produk disajikan dalam tabel di bawah
ini.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pengaruh Pemanasan terhadap Organoleptik
Produk
Sampel Perlakuan Warna Aroma Tekstur
Tanpa Orange tua Khas wortel Keras
Perlakuan ++++
Kukus 6 Orange Khas wortel Keras --
menit cerah lebih
Wortel menyengat
Rebus 4 Orange + Khas wortel Keras -
menit -
Rebus 6 Orange ++ Khas wortel Keras --
menit --
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
1B
Rebus 8 Orange Khas wortel Keras ---
menit +++ ---
Tanpa Hijau Khas buncis Keras
Perlakuan Keputihan ++++ ++++
Kukus 3 Hijau ++ Khas buncis Keras ++
menit +
Rebus 1 Hijau ++ Khas buncis Keras
Buncis
menit ++++ ++++
Rebus 3 Hijau +++ Khas buncis Keras +++
menit +++
Rebus 9 Hijau + Khas buncis Keras ++
menit +
Tanpa Kuning Khas Keras +++
Perlakuan pucat kentang Berlendir
Kukus Kuning Khas Keras +++
pucat kentang Berlendir
Rebus 4 Kuning Khas Keras +++
Kentang
menit pucat + kentang +
Rebus 6 Kuning Khas Keras ++
menit pucat ++ kentang +
Rebus 8 Kuning Khas Keras +
menit pucat +++ kentang +
Tanpa Putih Khas kubis Keras +++
Perlakuan kehijauan +++
++
Kukus 1,5 Putih Khas kubis Keras +
menit kehijauan + ++
Rebus 0,5 Putih Khas kubis Keras +
Kubis menit kehijauan + +++
Rebus 1,5 Putih Khas kubis Keras +
menit kehijauan ++
++
Rebus 5 Putih Khas kubis Keras -
menit kehijauan +
+++
Tanpa Merah Khas tomat Keras
Perlakuan
Kukus 2 Merah Khas tomat Lunak
menit pucat
Rebus 1 Orange - Khas tomat Lunak
Tomat
menit Merah -
Rebus 2 Orange - Khas tomat Lunak +
menit Merah -
Rebus 3 Orange - Khas tomat Lunak ++
menit Merah --
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
1B
Berdasarkan hasil pengamatan, wortel memiliki warna oranye muda
dengan aroma khas wortel yang tidak terlalu menonjol dan tekstur yang masih
keras pada saat tidak diberi perlakuan blansing. Wortel yang diberi perlakuan
blansing kukus dan blansing rebus juga menghasilkan sifat organoleptik yang
berbeda. Wortel yang diblansing secara pengukusan dan perebusan mengalami
penambahan kecerahan warna menjadi oranye. Semaki lama perebusan, semakin
juga menonjolkan sifat organoleptik khasnya. Warna oranye yang paling cerah
nampak pada wortel yang diblansing secara perebusan selama 6 menit. Menurut
Apandi (1984), perubahan warna merupakan perubahan yang paling menonjol
pada waktu pemasakan. Terjadilah sintesa dari pigmen tertentu, seperti karotinoid
dan flavonoid di samping terjadinya perombakan khlorofil. Warna orange tua
pada wortel menandakan kandungan -karoten yang tinggi. Makin jingga warna
wortel, makin tinggi kadar -karotennya Aroma khas wortel berkurang pada
wortel yang diblansing secara perebusan dan aroma tersebut tidak menyengat
pada wortel yang diblansing secara pengukusan. Aroma wortel berasal dari
senyawa-senyawa volatil yang didapati pada wortel seperti menurut Apandi
(1984), perubahan aroma sayuran secara umum karena zat-zat penyebab bau
(aroma) antara lain adalah ester-ester, alkohol, asam, aldehid, keton, diasetil,
asetilkarbinol, geraniol. Tekstur pada wortel yang diblansing secara pengukusan
menjadi lunak dan tekstur semakin lunak pada wortel yang diblansing secara
perebusan. Tekstur lunak bertambah sejalan dengan bertambahnya waktu blansing
rebus. Menurut Winarno et. al. (1980), perambatan panas yang terjadi pada
pemblansingan wortel dengan cara air merupakan perambatan panas secara
konveksi, yaitu perambatan panas di mana panas dialirkan dengan cara pergerakan
atau sirkulasi sehingga lebih cepat menonaktifkan enzim. Kemungkinan adanya
udara dan kotoran yang keluar pada permukaan sehingga wortel yang dikeringkan
berwarna cerah.
Berdasarkan hasil pengamatan lainnya, buncis memiliki warna hijau
dengan aroma langu dan tekstur yang masih keras pada saat tidak diberi perlakuan
blansing. Buncis yang diberi perlakuan blansing kukus dan blansing rebus juga
menghasilkan sifat organoleptik yang berbeda. Buncis yang diblansing secara
pengukusan memiliki warna hijau yang lebih cerah dibandingkan dengan buncis
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
1B
yang diblansing secara perebusan. Buncis yang diblansing secara perebusan
selama 9 menit menghasilkan warna hijau kecoklatan. Aroma langu menyengat
pada buncis yang diblansing secara pengukusan kemudian aroma langu berkurang
pada buncis yang diblansing secara perebusan selama 1 menit dan semakin
berkurang dengan bertambahnya waktu blansing rebus. Aroma buncis berasal dari
senyawa-senyawa volatil yang didapati pada buncis seperti menurut Apandi
(1984), perubahan aroma sayuran secara umum karena zat-zat penyebab bau
(aroma) antara lain adalah ester-ester, alkohol, asam, aldehid, keton, diasetil,
asetilkarbinol, geraniol. Tekstur pada buncis yang diblansing secara pengukusan
menjadi lunak dan tekstur semakin lunak pada buncis yang diblansing secara
perebusan. Tekstur lunak bertambah sejalan dengan bertambahnya waktu blansing
rebus. Menurut Desroiser (1988), cara blansing dengan uap panas (Steam
Blanching) lebih sedikit kehilangan air untuk bahan yang mudah larut dalam air.
Dengan demikian, sudah jelas bahwa blansing dengan cara perebusan akan
melunakan tekstur buncis karena buncis yang bersentuhan langsung dengan air
akan menyerap air sehingga teksturnya menjadi lunak.
Berdasarkan hasil pengamatan lainnya, kubis memiliki warna hijau muda
dengan aroma khas kubis yang sangat menyengat dan tekstur yang masih keras
pada saat tidak diberi perlakuan blansing. Kubis yang diberi perlakuan blansing
kukus dan blansing rebus juga menghasilkan sifat organoleptik yang berbeda.
Kubis yang diblansing secara pengukusan memiliki warna putih kehijauan
sedangkan kubis yang diblansing secara perebusan memiliki warna hijau.
Semakin lama waktu blansing rebus pada kubis tersebut, warna hijau yang
dihasilkan juga nampak. Aroma khas kubis mengalami penurunan pada kubis
yang diblansing secara pengukusan ditandai dengan aroma khas kubis tidak lagi
menyengat sedangkan aroma khas kubis pada kubis yang diblansing secara
perebusan selama 0,5 menit masih terasa menyengat tetapi semakin berkurang
dengan bertambahnya waktu blansing. Aroma buncis berasal dari senyawa-
senyawa volatil yang didapati pada buncis seperti menurut Apandi (1984),
perubahan aroma sayuran secara umum karena zat-zat penyebab bau (aroma)
antara lain adalah ester-ester, alkohol, asam, aldehid, keton, diasetil,
asetilkarbinol, geraniol. Tekstur pada kubis yang diblansing secara pengukusan
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
1B
menjadi lunak dan tekstur semakin lunak pada buncis yang diblansing secara
perebusan. Tekstur lunak bertambah sejalan dengan bertambahnya waktu blansing
rebus.
Menurut Effendi (2009), beberapa pengaruh proses blansing terhadap
bahan pangan yaitu pada bahan pangan yang diblansing, terjadi penyusutan yang
sangat besar sehingga menyebabkan kehilangan berat bahan yang cukup tinggi.
Kehilangan berat ini dapat mencapai 19% yang diakibatkan oleh kondisi suhu 50-
55oC sehingga membran sitoplasma yang melindungi bagian dalam sel menjadi
rusak dan menyebabkan kehilangan tekanan turgor. Keadaan ini menyebabkan
terjadi kehilangan cairan dari bagian dalam sel. Secara simultan, kerusakan
membran menyebabkan difusi solut dari bagian dalam sel. Difusi yang terjadi
terus menerus selama proses blansing menyebabkan penyusutan berat. Selain itu,
blansing juga berpengaruh terhadap komponen gizi. Sesuai dengan literatur, hasil
pengamatan menunjukkan tekstur melunak yang diduga disebabkan oleh
kerusakan membran dinding sel sehingga kubis yang direbus akan mengalami
pelunakan.
Perubahan warna pada buncis dan kubis karena pada perlakuan blansing
terjadi peningkatan enzim klorofilase akibat panas yang digunakan. Klorofilase
adalah enzim mengkatalisis esterifikasi senyawa fitol sehingga terbentuk klorofil
a, hal ini yang menyebabkan warna hijau pada buncis dan kukus yang diberi
pelakuan blansing menjadi lebih cerah. Warna sayuran mengalami perubahan saat
setelah blansing. Pada umumnya, pengurangan warna yang nampak pada sayuran
akan terlihat melalui hubungan nilai tristimulus warna (L, a, dan b) atau
kombinasi, chroma, hue, dan perbedaan keseluruhan warna. Perubahan warna
merupakan metode dari penyederhanaan dua reaksi yang berurutan yaitu
pembentukan warna dan pengurangan warna. Pembentukan dan pengurangan
warna yang nampak pada sayuran diatur oleh senyawa yang membawa pigmen
warna (seperti klorofil). Rasio warna (a/b) digunakan sebagai parameter yang
menentukan kualitas sayuran selama blansing. Perubahan warna dikaitkan dengan
perubahan warna hijau menjadi kuning yang merupakan konversi dari klorofil
menjadi pheophytin dan kemudian menjadi pyropheophytin (Sun, 2006).
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
1B
Berdasarkan hasil pengamatan lainnya, kentang memiliki warna kuning
pucat dengan aroma khas kentang dan tekstur yang masih keras pada saat tidak
diberi perlakuan blansing. Kentang yang diberi perlakuan blansing kukus dan
blansing rebus juga menghasilkan sifat organoleptik yang berbeda. Kentang
mengalami penambahan kecerahan pada saat diblansing secara pengukusan
sedangkan kentang yang diblansing secara perebusan mengalami perubahan
warna menjadi kuning kecoklatan. Warna kuning kecoklatan tersebut semakin
nampak dengan bertambahnya waktu blansing. Hal ini menunjukkan blansing
rebus selama 4 menit, 6 menit dan 8 menit tidak menghasilkan warna kentang
yang diinginkan dan tidak sesuai literatur yang sebelumnya telah dipaparkan
bahwa seharusya blansing mampu mempertahankan warna atau mencerahkan
warna sampel. Aroma khas kentang menyengat pada kentang yang diblansing
secara pengukusan dan semakin menyengat pada kentang yang diblansing secara
perebusan. Hal ini disebabkan adanya senyawa volatil pada kentang yang berupa
senyawa ester yang muncul setelah pemanasan. Senyawa volatil yang membentuk
aroma khas kentang yaitu methional, 2-Isopropyl-3-methoxy-, 1-Hexanol, 1-
Octanol, 1-Decanol, Capric acid, menthone, menthol, dan -Pinene (Nijssen. et.
al. 1999). Tekstur pada kentang yang diblansing secara pengukusan menjadi lunak
dan tekstur semakin lunak pada kentang yang diblansing secara perebusan.
Tekstur lunak bertambah sejalan dengan bertambahnya waktu blansing rebus.
Berdasarkan hasil pengamatan, tomat memiliki warna merah kekuningan
dengan aroma khas tomat dan tekstur yang masih keras pada saat tidak diberi
perlakuan blansing. Tomat yang diberi perlakuan blansing kukus dan blansing
rebus juga menghasilkan sifat organoleptik yang berbeda. Tomat yang diblansing
secara pengukusan memiliki warna merah dengan aroma khas tomat yang sedikit
menyengat dan tekstur yang berubah menjadi lunak. Sedangkan, tomat yang
diblansing secara perebusan memiliki warna merah yang lebih cerah dengan
aroma khas tomat yang semakin menyengat dan tekstur yang bertambah lunak
juga. Tomat yang diblansing selama 6 menit yang memiliki warna paling cerah,
aroma paling menyengat, dan tekstur paling lunak. Perubahan perubahan ini
memengaruhi zat-zat dalam tomat akibat proses blansing. Menurut Apandi
(1984), perubahan warna merupakan perubahan yang paling menonjol pada waktu
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
1B
pemasakan. Terjadilah sintesa dari pigmen tertentu, seperti karotinoid dan
flavonoid di samping terjadinya perombakan khlorofil. Oleh karena
perombakan/degradasi dari khlorofil, maka karotenoid yang sudah ada namun
tidak nyata, menjadi nyata dan buah berubah menjadi warna kuning. Pada tomat
terjadi sintesa dari likopene yang berwarna merah dan degradasi khlorofil. Tsang
(2005) menjelaskan bahwa likopen terikat dengan struktur sel tomat dan
perubahan suhu dalam proses pengolahan dapat melepaskan likopen dari struktur
sel tomat. Berdasarkan literatur tersebut, hasil pengamatan menunjukkan
kesesuaian dengan isi literatur. Warna tomat menjadi semakin merah karena
terjadi sintesa likopene dan degradasi khlorofil.
Perubahan aroma sayuran secara umum karena zat-zat penyebab bau
(aroma) antara lain adalah ester-ester, alkohol, asam, aldehid, keton, diasetil,
asetilkarbinol, geraniol. Pemasakan dari sayur-sayuran menyebabkan timbulnya
persenyawaan-persenyawaan terbang (volatile) yang tadinya tidak ada pada sayur-
sayuran segar. Misalnya asam amino metilsisteine-sulfoxida pada kubis
menghasilkan di-sulfida pada waktu pemanasan dan menyebabkan bau yang
berbeda dari semula (Apandi, 1984). Berdasarkan literatur tersebut, perubahan
aroma pada tomat terjadi karena adanya senyawa-senyawa volatil penyebab bau.
Menurut Buttery dan Ling (1993), senyawa volatil terpenting yang menentukan
aroma tomat yaitu hexanal, cis-3-hexenal, trans-2-hexenal, hexanol, cis-3-
hexenol, 2-isobutylthiazole, 6-methyl-5-hepten-2-one, -ionone, geranylacetone,
1-penten-3-one, 3-methylbutanal, 3-methylbutanol, phenylethanol, 2-pentenal,
acetone, ethanol, and methanol.
Perubahan yang nyata pula pada pemasakan buah-buahan dan
penyimpanan sayuran adalah menjadi lunaknya buah-buahan dan jaringan
sayuran. Hal ini disebabkan terutama oleh perubahan yang terjadi pada dinding sel
dan lain-lain substansi pektin, yaitu oleh larutnya dan depolimerisasi substansi
pektin secara progresif. Yang termasuk dalam substansi pektin adalah:
protopektin, pektin, asam pektinat, asam pektat. Struktur utama (basis) dari bahan-
bahan pektin ini adalah rantai panjang dari asam poligalakturonat. Pektin yang
tidak larut, dikenal dengan nama protopektin, terdapat di dalam buah-buahan yang
mentah, kemudian diubah dengan pertolongan berbagai enzim menjadi pektin
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
1B
yang larut pada waktu terjadi pemasakan buah-buahan. Pektin yang larut ini
kemudian didepolimerisasi lagi menjadi unit-unit yang lebih kecil dan mungkin
akhirnya menjadi asam galakturonat (Apandi, 1984). Berdasarkan literatur
tersebut, tomat mengalami pelunakan tekstur karena larutnya dan depolimerisasi
substansi pektin. Menurut Kartasapoetra (1994), aktifnya enzim-enzim
pektinmetilesterase dan poligalakturonase yaitu pada hasil tanaman terutama
buah-buahan yang berada pada proses pemasakan ternyata telah melangsungkan
pemecahan atau kerusakan pektin menjadi senyawa-senyawa lain. Pemecahan
atau kerusakan tersebut menyebabkan berubahnya tekstur buah, di mana biasanya
buah yang tadinya keras akan menjadi lebih lunak.
Proses Hot Water Blanching akan lebih melunakan bahan jika
dibandingkan dengan Steam Blanching. Hal ini dikarenakan sebagaian besar air
masuk kedalam bahan yang akan menyebabkan ikatan-ikatan antar partikel-
partikel bahan menjadi semakin renggang sehingga daya tarik antar partikel akan
lemah dan mengakibatkan tekstur menjadi lunak. Sekian lama pemanasan maka
bahan semakin lunak sehingga terjadi over cooking maka dapat menyebabkan
kerusakan pada tekstur. Oleh karena itu dalam melakukan proses blanching
diperlukan pengukuran waktu yang digunakan. Lamanya proses blancing dapat
ditentukan dari ukuran dan bentuk bahan, tekstur, konduktivitas panas.
Blansing dapat menyebabkan perubahan fisik dan kimia yang
mengakibatkan perubahan tekstur dan struktur bahan. Perubahan tersebut
tergantung pada suhu dan lama blansing, serta jenis dan kondisi bahan yang
diblansing (Estiasih, 2009). Efektifitas blansing tergantung pada kondisi sayuran,
bentuk sayuran, waktu, kualitas air, kondisi pertukaran panas, dan indikator
aktivitas enzim. Proporsi dari ketahanan dan kestabilan isoenzim dan pergerakan
parameter merupakan faktor penting dalam memprediksi dan mengoptimalkan
proses blansing. Lamanya proses blansing dipengaruhi jenis sayuran dan bentuk
sayuran tersebut. Kualitas air yang digunakan dalam proses blansing sayuran
mungkin memengaruhi tekstur sayuran, sebagai contoh, air panas dapat
menguatkan tekstur keras dari kacang hijau sehingga perlu pengecekan kualitas
air yang akan digunakan saat blansing (Sun, 2006).
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
1B
Uji peroksidase dilakukan untuk mengetahui kadar enzim peroksidase pada
sayuran yang diblansing. Enzim peroksidase adalah salah satu enzim dalam
pangan yang berpengaruh terhadap terbentuknya pencoklatan enzimatis.
Pencoklatan ini timbul karena reaksi antara enzim peroksida dengan oksigen yang
menghasilkan warna coklat. Pemanasan dengan waktu tertentu dapat
meningaktivasi seluruh enzim peroksidase ataupun hanya sebagian tergantung
kadar yang terkandungnya. Uji peroksidase dilakukan untuk mengetahui proses
blansing yang mana yang paling efektif untuk menonaktifkan enzim, prinsip dari
uji peroksidase adalah jika pada buah atau sayur masih banyak enzim yang aktif,
maka warna dari buah atau sayur tersebut akan berwarna lebih coklat karena
enzim pada buah atau sayur tersebut tidak cukup untuk menghidrolisis hidrogen
peroksida yang diteteskan pada percobaan (Winarno, 1982). Selain dibandingkan
proses blansing mana yang paling efektif untuk menonaktifkan enzim,
dibandingkan juga proses blansing mana yang paling cocok untuk pengolahan
pangan yang tujuannya akan dijual, proses blansing paling cocok untuk
pengolahan pangan adalah blansing yang cukup menonaktifkan enzim namun
tidak begitu mengubah warna bahan, jadi warna bahan masih tetap menarik.

Peroksidase merupakan anggota enzim reduktase yang dianggap memiliki


hubungan nyata dengan penyebab perubahan pada rasa, warna, tekstur dan
kandungan gizi buah-buahan dan sayur-sayuran yang belum diolah. Peroksidase
pada tanaman merupakan isozim yang berperan dalam pertumbuhan, diferensiasi
dan pertahanan (Gaspar, et. al., 1980). Aktivitas isozim peroksidase mudah
dideteksi karena aktivitasnya yang luar biasa pada jaringan (Touti, 1988).
Enzim peroksidase merupakan salah satu dari enzim yang termasuk ke
dalam jenis enzim fenol oksidase yang berpengaruh pada pencoklatan sayur atau
buah. Sedangkan enzim katalase merupakan enzim yang dapat menyebabkan
perubahan yang tidak dikehendaki selama proses penyimpanan. Parameter dalam
melakukan blansing adalah enzim katalase dan enzim peroksidase. Kedua enzim
tersebut yang dijadikan sebagai parameter karena kedua enzim tersebut adalah
enzim yang paling tahan panas (heat resistance), sehingga, jika kedua enzim itu
sudah menjadi tidak aktif, maka otomatis, enzim lain pun tidak akan aktif pula.
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
1B
Kecukupan blansing ditentukan oleh hilangnya aktivitas katalase dan peroksidase,
karena enzim-enzim secara universal terdapat dalam sayuran dan bersifat tahan
panas. Peroksidase mempunyai kemampuan untuk reaktivasi setelah blansing
(nyata setelah 24 jam), karena itu sebaiknya blansing dilakukan pada suhu yang
lebih tinggi atau waktu yang lebih lama dari hasil penetapan inaktivasi katalase
dan peroksidase. Dampak blansing terhadap sifat-sifat inderawi sayuran adalah
tekstur menjadi lebih lunak dan warna menjadi kebih mantap dan cerah (Asgar, A.
dan D. Musaddad, 2006). Sampel yang telah diblansing sebelumnya, dihaluskan,
dan ditambahkan akuades, lalu disaring untuk diperoleh filtratnya. Filtrat yang
didapat dimasukkan ke dalam tabung reaksi ditambahkan 10 ml akuades, 0,5 ml
gualikol 0,5%, dan 0,5 ml larutan H2O2 0,08%. Fungsi penambahan gualikol
adalah sebagai donor proton untuk reaksi peroksidase. Sedangkan penambahan
H2O2 berfungsi sebagai pereaksi supaya terjadi perubahan warna menjadi cokelat
ketika terjadi penguraian H2O2. Campuran diaduk supaya homogen dan
didiamkan selama 3.5 menit untuk diamati perubahan warna yang terjadi.
Semakin coklat warna yang diperoleh menunjukkan bahwa enzim yang aktif
dalam sampel masih banyak. Berikut ini hasil pengamatan pengaruh blansing
terhadap enzim peroksidase pada produk disajikan dalam bentuk tabel.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Peroksidase
Sampel Perlakuan Perubahan Warna
Blanko Tanpa perlakuan Bening
Tanpa Perlakuan Orange
Kukus 6 menit Bening Orange seulas
Wortel Rebus 4 menit Orange seulas
Rebus 6 menit Orange seulas
Rebus 8 menit Orange seulas
Tanpa Perlakuan Coklat tua ++++
Kukus 3 menit Orange bening
Buncis Rebus 1 menit Orange ++++
Rebus 3 menit Orange +++
Rebus 9 menit Orange +
Tanpa Perlakuan Coklat tua +++
Kukus Bening
Kentang Rebus 4 menit Orange +++
Rebus 6 menit Bening
Rebus 8 menit Bening sedikit Orange +
Tanpa Perlakuan Coklat
Kubis
Kukus 1,5 menit Orange Bening
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
1B
Rebus 0,5 menit Orange ++++
Rebus 1,5 menit Orange +++
Rebus 5 menit Orange +
Tanpa Perlakuan Coklat ++++
Kukus 2 menit Coklat ++
Tomat Rebus 1 menit Bening Orange seulas
Rebus 2 menit Bening
Rebus 3 menit Bening
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)

Berdasarkan hasil pengamatan, hasil uji peroksidase pada blanko secara


keseluruhan menghasilkan warna bening karena blanko tidak menggunakan
sampel buah atau sayuran yang memiliki enzim peroksidase. Enzim peroksidase
ditemui dalam masing-masing sampel ditandai dengan adanya warna coklat pada
larutan gualikol dan H2O2 yang ditambahkan sampel. Sampel tomat dan buncis
yang tidak diberi perlakuan blansing menunjukkan adanya enzim peroksidase
ditandai dengan adanya warna coklat pada larutan gualikol dengan H2O2.
Sedangkan sampel tomat dan buncis yang diberi perlakuan blansing kukus dan
blansing rebus menunjukkan penurunan warna coklat yang berarti jumlah enzim
peroksidase sudah berkurang karena dinonaktifkan oleh proses pemanasan.
Sampel kubis yang tidak diberi perlakuan blansing tidak menunjukkan adanya
warna coklat tetapi sampel kubis yang diberi perlakuan baik blansing kukus
maupun blansing rebus didapati warna coklat. Hal ini berarti ada kesalahan yang
terjadi oleh praktikan. Sampel wortel yang tidak diberi perlakuan blansing tidak
menunjukkan adanya warna coklat sedangkan wortel yang diberi perlakuan
blansing kukus menunjukkan adanya warna oranye dan warna oranye tersebut
bertambah pekat pada wortel yang diberi perlakuan blansing rebus. Hal ini
mungkin terjadi karena warna sampel wortel semakin pekat pada blansing rebus
sehingga sampel yang diambil sudah memiliki warna oranye yang pekat. Sampel
kentang yang tidak diberi perlakuan blansing tidak menunjukkan adanya warna
coklat tetapi sampel kentang yang diberi perlakuan baik blansing kukus maupun
blansing rebus tidak didapati warna coklat. Hal ini berarti blansing dapat
menonaktifkan enzim peroksidase pada kentang secara maksimal.
Peroksidase (PO) dianggap sebagai enzim yang tidak stabil terhadap panas
sehingga digunakan sebagai indikator efektivitas blansing. Inaktivasi PO
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
1B
tergantung pada sifat, ketebalan, bentuk sayuran, serta kombinasi antara suhu dan
waktu. Ada bukti yang menerangkan bahwa kualitas sayuran setelah proses
blansing menjadi lebih unggul jika hanya beberapa PO yang tertinggal di akhir
proses blansing. PO yang telah terinaktivasi secara keseluruhan menunjukkan
proses blansing yang berlebihan. Inaktivasi PO yang masih tersisa menjadi
blansing yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan kualitas dalam makanan
beku serta kerugian ekonomi (Sun, 2006).
Menurut Tranggono (1990), reaksi yang dikatalisa adalah sbb :

AH2 + H2O2 A + H2O + ROH


Keterangan A = donor hidrogen, seperti gualikol, benzidin, flavonoid dll. Reaksi
ini dikatalis oleh enzim peroksidase. Peroksida diduga besar peranannya dalam
menimbulkan kerusakan oksidatf selama penyimpanan sayuran. Pada reaksi ini
tidak ada oksigen molekul yang terbentuk. Kerja enzim peroksidase dalam
sayuran berguna untuk pendeteksian keefektifan pemutihan, sedangkan enzim
tersebut dapat juga merusak sayuran sehingga mengakibatkan bau dan rasa yang
menyimpang. Selain itu juga berguna dalam penentuan glukosa dalam suatu
bahan pangan yang dikombinasikan dengan glukosa peroksidase. Kerja enzim
peroksidase dalam buah yaitu mengakibatkan terjadinya pencoklatan. (deMan,
1997).
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
1B
V. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum pengaruh pemanasan terhadap aktivitas enzim dan
sifat organoleptik produk, dapat disimpulkan:
1. Blansing memengaruhi sifat organoleptik pada sampel tomat, buncis,
kubis, wortel, dan kentang dilihat dari segi warna, aroma, dan tekstur.
2. Setiap sampel memiliki enzim peroksidase dilihat dari terbentuknya warna
coklat pada larutan gualikol dan H2O2 pada uji peroksidase.
3. Blansing dapat menonaktifkan enzim peroksidase dibuktikan dengan
penurunan warna coklat pada setiap sampel.
4. Blansing kukus memberikan hasil yang lebih baik berdasarkan warna,
aroma, dan tekstur bahana
5. Pemberian perbedaan waktu dilakukan berdasarkan ketebalan bahan,
semakin tipis bahan seperti daun-daunan, maka waktu blansingnya
semakin sedikit.
6. Pemberian perbedaan waktu digunakan untuk mengetahui waktu efektif
blansing untuk memberikan hasil yang cukup baik.
7. Semakin bening warna tabung akibat uji peroksidase, maka semakin
sedikit enzim peroksidase yang ada pada bahan tersebut.

5.2 Saran
Praktikan sebaiknya memakai sarung tangan dan masker pada saat
praktikum agar lebih steril.
Praktikan harus lebih teliti dalam pembacaan volume saat pengambilan
larutan yang digunakan dalam praktikum agar penambahan setiap
larutannya memberikan hasil yang tepat.
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
1B
DAFTAR PUSTAKA

Apandi, M. 1984. Teknologi Buah dan Sayur. Penerbit Alumni, Bandung.

Buckle, K.A., R.A Edwards, G.H Fleet, M. Wotton,. 1984. Ilmu Pangan. UI Press.
Jakarta.

Buttery, R.G., and Ling, L.C. 1993. Volatile components of tomato fruit and plant
parts: relationship and biogenesis. In: Bioactive Volatile Compounds
From Plants. (Eds.: R. Teranishi, R.G. Buttery, and H. Sugisawa), ACS,
Washington, D.C., pp. 22-33.

deMan, J.M. 1997. Kimia Makanan. Penerbit ITB. Bandung.

Desrosier, N. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI Pers, Jakarta.

Effendi, S. 2009. Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Pangan. Alfabeta,


Bandung.

Estiasih, Teti dan Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. PT Bumi


Aksara, Jakarta.

Gaspar, T., C. Penel, T. Thorpe and H. Greeppin. 1980. Peroxidases A Survey of


Their Biochemical and Physiology Roles in Higer Plant. University of
Geneva. Page. 210-225

Kartasapoetra, A.G., 1994. Teknologi Penanganan Pasca Panen. Rineka Cipta,


Jakarta.

Nijssen, L. M. et. al. 1999. Volatile Compounds in Food. Qualitative and


quantitative data. 7th Edition and Supplements 1 and 2. TNO Nutrition and
Food Research Institute, Zeist, The Netherlands.

Sun, Da-Wen. 2006. Thermal Food Processing. CRC Press. New York.

Supiyati, T. 2011. Available online at : vl.smk30jakarta.net/download.php?id=49.


(Diakses tanggal 23 November 2016)

Tjahjadi, C dan H. Marta. 2014. Pengantar Teknologi Pangan. Universitas


Padjadjaran. Jatinangor.

Tjahjadi, C. 2008. Teknologi Buah dan Sayur Vol I. Widya Padjadjaran.


Jatinangor.

Touti, D. 1988. Molecular Genetic of SOD Free Radical. Biol Med (5). Page.
393-405
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
1B
Tranggono, S. 1990. Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Yogyakarta : Pusat
Antar Universitas- Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada.

Tsang, G. 2005 Lycopene in Tomatoes and Prostate Cancer. Avaiable at:


http://www.healthcastle.com (diakses pada tanggal 23 November 2016)

Winarno, F. G., et. al. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Penerbit PT Gramedia,
Jakarta.
Winarno, F.G.. 1982. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai