Anda di halaman 1dari 115

TEXT BOOK READING

KEGAWATDARURATAN NEUROLOGI

Dosen Pembimbing :
dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp.S

Disusun Oleh :
Arvi Tri Sulistiyani G4A015103
Andini Senja Andira G4A015137
Betha Purba Praj Rahmatika G4A015142
Gilang Ridha Fathurrohman G4A015214
Retno Puteri Setiawan 1620221227

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

2017

1
HALAMAN PENGESAHAN

Text Book Reading


Kegawatdaruratan Neurologi

Disusun oleh :

Arvi Tri Sulistiyani G4A015103


Andini Senja Andira G4A015137
Betha Purba Praj Rahmatika G4A015142
Gilang Ridha Fathurrohman G4A015214
Retno Puteri Setiawan 1620221227

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal:

Dosen Pembimbing :

dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp.S


NIP 19620723 198812 1 001

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas Text Book Reading yang berjudul Kegawatdaruratan
Neurologi. Text Book Reading ini menguraikan tentang kegawatdaruratan neurologi
dimulai dari definisi hingga penatalaksaan yang cepat dan tepat.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Muttaqien
Pramudigdo, Sp.S, selaku pembimbing dalam penulisan Text Book Reading ini. Serta kepada
semua pihak dan teman-teman sejawat yang telah membantu penulisan Text Book Reading
ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Text Book Reading ini jauh dari
sempurna. Oleh karena itu penulis membuka kritik dan sarannya. Semoga Text Book
Reading ini bermanfaat untuk pembaca dan penulis pada khususnya.

Purwokerto, 25 Agustus 2017

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i


HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1


I.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1
I.2 Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 3


II.1 Stroke ........................................................................................................ 3
II.2 Meningitis ................................................................................................. 12
II.3 Koma ........................................................................................................ 22
II.4 Epilepsi ..................................................................................................... 27
II.5 Ensefalitis ................................................................................................. 33
II.6 Guillain Barre Syndrome (GBS) .............................................................. 40
II.7 Trauma Kapitis ......................................................................................... 48
II.8 Tumor ....................................................................................................... 53
II.9 Syok Neurologi ......................................................................................... 61
II.10 Status Konvulsivus ................................................................................... 67
II.11 Myelitis ..................................................................................................... 71
II.12 Nyeri Kepala ............................................................................................. 81
II.13 Vertigo ...................................................................................................... 92
II.14 Krisis Miastenia102
II.15 Trauma Medulla Spinalis.108

BAB III PENUTUP..117


III.1 Kesimpulan...117

DAFTAR PUSTAKA..118

4
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Kegawatdaruratan neurologi merupakan suatu kondisi di bidang neurologi yang
memerlukan tindakan pengobatan segera dan bila tidak dilakukan dapat menyebabkan
kerusakan lebih berat bahkan kematian. Otak yang hanya dengan berat 2% dari berat badan
merupakan organ tubuh yang terpenting dengan tingkat metabolisme yang sangat tinggi.
Metabolisme otak sangat tergantung pada ketersediaan oksigen serta glukosa, dan otak tidak
mempunyai kemampuan untuk menyimpan cadangan berupa oksigen dan glukosa tersebut.
Sehingga sewaktu terjadi gangguan terhadap suplai, maka dalam waktu yang sangat singkat
akan terjadi kerusakan dalam arti kata periode emas kerusakan saraf sangat singkat. Sampai
saat ini masih dipercaya bahwa kemampuan regenerasi jaringan saraf sangat minimal dan
apabila terjadi gangguan.
Gangguan pada otak bila tidak segera diatasi dengan baik akan berakibat terjadinya
kerusakan permanen yang berakhir dengan kematian atau kecacatan. Hal ini dapat diatasi
dengan upaya penanganan yang cepat dan segera. Sebagai contoh, pada pasien trauma otak
berat tingkat kematian akan meningkat melebihi tiga kali lipat dan tingkat kecacatan yang
berat akan meningkat melebihi dari sepuluh kali lipat pada keadaan saturasi oksigen <60%
dibanding >90%. Oleh karena itu, tentunya diperlukan ketepatan penanganan khususnya
penanganan emergensi dan penegakkan diagnosis yang tepat, atau paling tidak melakukan
upaya-upaya yang dapat menghambat kematian sel-sel saraf.
Suatu kenyataan yang sering terjadi, di ruangan gawat darurat bila kedatangan pasien
dengan kasus neurologi terutama yang berat, maka yang ada di pikiran dokter adalah rasa
pesimistis terhadap prognosis. Pendidikan kedokteran telah membekali seorang dokter
dengan ilmu yang cukup, namun kadangkala pada sebagian dokter masih ada kecanggungan
dalam aplikasi terhadap pasien secara langsung. Padahal pada saat itu dokter yang
menghadapi pasien harus segera bertindak dan semakin cepat kita lakukan sesuatu tindakan
yang tepat maka semakin besar kemungkinan pasien tertolong dan tentunya semakin turun
tingkat kematian dan kecacatan.

5
I.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan TBR ini adalah untuk memperoleh informasi ilmiah
mengenai kegawatdaruratan neurologi. Informasi tersebut dapat menjadi landasan penting
dalam praktek sehari-hari sehingga mampu melakukan penanganan yang cepat dan tepat.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Stroke
A. Definisi
Menurut World Health Organization (WHO) stroke adalah suatu gangguan
fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal
maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat menimbulkan kematian, yang
disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak. Sebagian besar ditemukan pada orang
dengan usia >40 tahun (Aliah et al., 2007).
Terdapat dua jenis stroke yaitu stroke non hemoragik (stroke iskemik) dan stroke
hemoragik (stroke perdarahan). Stroke iskemik merupakan 80% dari penyebab stroke yang
disebabkan oleh gangguan pasokan oksigen dan nutrisi ke sel-sel otak akibat adanya
trombus atau emboli. Keadaan ini dapat diperparah oleh terjadinya penurunan perfusi
sistemik yang mengaliri otak. Sedangkan stroke hemoragik baik intraserebral dan
subarakhnoid disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah kranial (Smith et al., 2005).
B. Etiologi
Stroke iskemik merupakan kumpulan gejala defisit neurologis akibat gangguan
fungsi otak akut baik fokal maupun global yang mendadak, disebabkan oleh
berkurangnya atau hilangnya aliran darah pada parenkim otak, retina atau medulla
spinalis, yang dapat disebabkan oleh penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah ateri
maupun vena, yang dibuktikan dan/atau patologi (PERDOSSI, 2011).
Sedangkan stroke hemoragik yang dapat disebabkan karena adanya perdarahan
yang dapat berasal dari perdarahan intraserebral, subarachnoid, hematoma subdural atau
ekstradural. Pada perdarahan intrakranial, pecahnya pembuluh darah otak dapat karena
berry aneurysm akibat hipertensi tak terkontrol yang mengubah morfologi arteriol otak atau
pecahnya pembuluh darah otak karena kelainan kongenital pada pembuluh darah otak
tersebut. Sedangkan perdarahan subarakhnoid disebabkan pecahnya aneurysma congenital
pembuluh arteri otak di ruang subarakhnoidal (Goldszmidt et al., 2003; Misbach et al.,
2007).

7
C. Epidemiologi
Prevalensi penyakit stroke di Indonesia meningkat seiring bertambahnya umur.
Kasus stroke tertinggi yang terdiagnosis tenaga kesehatan terjadi pada usia >75 tahun
(43,1%) dan terendah pada kelompok usia 15-24 tahun (0,2%). Prevalensi berdasarkan
jenis kelamin yaitu lebih banyak pada laki-laki (7,1%) dibandingkan dengan perempuan
(6,8%). Berdasarkan data 10 besar penyakit terbanyak di Indonesia tahun 2013,
prevalensi kasus stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7,0
per mill dan 12,1 per mill untuk yang terdiagnosis memiliki gejala stroke (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
D. Patomekanisme
Stroke non hemoragik terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba
terganggu (iskemik) yang disebabkan oleh oklusi atau stenosis arteri. Oklusi ini
disebabkan oleh trombosis dan emboli, yang semuanya dapat menyebabkan hipoperfusi
yaitu pengurangan atau gangguan dalam aliran darah otak (Cerebral Blood Flow/CBF)
yang menyebabkan aliran ataupun asupan glukosa dan oksigen berkurang sehingga
mempengaruhi fungsi neurologis (Kanyal, 2015).
1. Stroke Trombotik
Trombosis pembuluh darah besar dengan aliran lambat adalah salah satu subtipe
stroke iskemik. Sebagian besar dari stroke jenis ini terjadi saat tidur, saat pasien relatif
mengalami dehidrasi, dan dinamika sirkulasi menurun. Stroke ini sering berkaitan dengan
lesi aterosklerotik yang menyebabkan stenosis di arteri karotis interna, atau yang lebih
jarang yaitu di pangkal arteri serebri media atau di taut arteri vertebralis dan basilaris. Tidak
seperti trombosis arteri koronaria yang oklusi pembuluh darahnya cenderung terjadi
mendadak dan total, trombosis pembuluh darah otak cenderung memiliki awitan bertahap,
bahkan berkembang dalam beberapa hari. Pola ini menyebabkan timbulnya istilah stroke-
in-evolution (Smith, 2013).
Akibat dari penyumbatan pembuluh darah karotis bervariasi dan sebagian besar
tergantung pada fungsi sirkulus Willisi. Bila sistem anastomosis arterial pada dasar otak ini
dapat berfungsi normal, maka sumbatan arteri karotis tidak akan memberikan gejala, seperti
yang terjadi pada kebanyakan penderita. Sirkulasi pada bagian posterior tidak memiliki
derajat perlindungan anastomosis yang sama, dan penyumbatan aterosklerotik dari arteri

8
basilaris selalu mengakibatkan kejadian yang lebih berat, dan biasanya fatal. Penyumbatan
arteri vertebralis, boleh jadi tidak memberikan gejala (Hartwig, 2005; Smith, 2013).
2. Stroke Embolik
Stroke embolik diklasifikasikan berdasarkan arteri yang terlibat, atau asal embolus.
Asal stroke embolik dapat suatu arteri distal atau jantung. Stroke yang terjadi akibat embolus
biasanya menimbulkan defisit neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan
penyakit. Biasanya serangan terjadi saat pasien beraktivitas. Trombus embolik ini sering
tersangkut di bagian pembuluh darah yang mengalami stenosis (Hartwig, 2005).
Stroke kardioembolik, yaitu jenis stroke embolik tersering, didiagnosis apabila
diketahui adanya kausa jantung seperti fibrilasi atrium atau apabila pasien baru mengalami
infark miokardium yang mendahului terjadinya sumbatan mendadak pembuluh besar otak.
Embolus berasal dari bahan trombotik yang terbentuk di dinding rongga jantung atau katup
mitralis. Karena biasanya adalah bekuan yang sangat kecil, fragmen-fragmen embolus dari
jantung mencapai otak melalui arteri karotis atau vertebralis. Dengan demikian, gejala klinis
yang ditimbulkannya bergantung pada bagian mana dari sirkulasi yang tersumbat dan
seberapa dalam bekuan berjalan di percabangan arteri sebelum tersangkut (Hartwig, 2005).
Selain itu, embolisme dapat terurai dan terus mengalir sepanjang pembuluh darah
sehingga gejala-gejala mereda. Namun, fragmen kemudian tersangkut di sebelah hilir dan
menimbukan gejala-gejala fokal. Pasien dengan stroke kardioembolik memiliki resiko yang
lebih besar menderita stroke hemoragik di kemudian hari, saat terjadi perdarahan petekie
atau bahkan perdarahan besar di jaringan yang mengalami infark beberapa jam atau
mungkin hari setelah proses emboli pertama. Penyebab perdarahan tersebut adalah bahwa
struktur dinding arteri sebelah distal dari oklusi embolus melemah atau rapuh karena
kekurangan perfusi. Dengan demikian, pemulihan tekanan perfusi dapat menyebabkan
perdarahan arteriol atau kapiler di pembuluh tersebut (Hartwig, 2005).
Sebagian besar stroke berakhir dengan kematian sel-sel di daerah pusat lesi (infark)
tempat aliran darah mengalami penurunan drastis sehingga sel-sel tersebut biasanya tidak
dapat pulih. Ambang perfusi ini biasanya terjadi apabila CBF hanya 20% dari normal atau
kurang. CBF normal adalah sekitar 50ml/100g jaringan otak / menit (Smith, 2013).

9
E. Penegakan Diagnosis
Manifestasi klinik pada pasien stroke pada umumnya mengalami kelemahan pada
salah satu sisi tubuh, kesulitan dalam berbicara, adanya penurunan kemampuan kognitif atau
bahasa (Fagan and Hess, 2008).
1. Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan terutama menanyakan mengenai gejala awal, waktu
awitan, aktivitas penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa
berputar, kejang, cegukan (hiccup), gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor
risiko stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-lain) (PERDOSSI, 2011).
Gangguan yang dapat terjadi meliputi gangguan fokal maupun global yang
mendadak meliputi (PERDOSSI, 2011):
a. Gangguan global berupa gangguan kesadaran
b. Gangguan fokal yang muncul mendadak, dapat berupa:
1) Kelumpuhan sesisi/kedua sisi, kelumpuhan satu extremitas, kelumpuhan otot-otot
penggerak bola mata, kelumpuhan otot-otot untuk proses menelan, wicara dan
sebagainya
2) Gangguan fungsi keseimbangan
3) Gangguan fungsi penghidu
4) Gangguan fungsi penglihatan
5) Gangguan fungsi pendengaran
6) Gangguan fungsi somatik sensorik
7) Gangguan neurobehavioral yang meliputi: gangguan atensi, gangguan memori,
gangguan bicara verbal, gangguan mengerti pembicaraan, gangguan pengenalan
ruang, maupun gangguan fungsi kognitif lain.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan suhu tubuh.
Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit karotis,
dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan torak
(jantung dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas. Pemeriksaan neurologis terutama
pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap dan jalan refleks,
koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain

10
: penurunan GCS, kelumpuhan saraf kranial, kelemahan motorik, defisit sensorik, gangguan
otonom, dan gangguan neurobehavior (PERDOSSI, 2011).
3. Pemeriksaan penunjang
Berikut beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan
diagnosis stroke (PERDOSSI, 2011):
a. EKG
b. Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal hemostasis, kadar gula darah,
analisis urin, analisis gas darah, dan elektrolit)
c. Bila perlu pada kecurigaan perdarahan subaraknoid,lakukan pungsi lumbal untuk
pemeriksaan cairan serebrospinal
d. Pemeriksaan radiologi : foto rontgen dada dan CT Scan atau MRI.
Semua pasien yang diduga stroke harus menjalani pemeriksaan MRI atau CT scan
tanpa kontras untuk membedakan antara stroke iskemik dan hemoragik serta
mengidentifikasi adanya efek tumor atau massa (kecurigaan stroke luas). Stroke iskemik
adalah diagnosis yang paling mungkin bila CT scan tidak menunjukkan perdarahan, tumor,
atau infeksi fokal, dan bila temuan klinis tidak menunjukkan migren, hipoglikemia,
ensefalitis, atau perdarahan subarakhnoid (Goldszmidt et al., 2009).
Pencitraan otak atau CT scan dan MRI adalah instrumen diagnosa yang sangat
penting karena dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana stroke yang diderita oleh
seseorang. Hasil CT scan perlu diketahui terlebih dahulu sebelum dilakukan terapi dengan
obat antikoagulan atau antiagregasi platelet. CT scan dibedakan menjadi dua yaitu, CT scan
non kontras yang digunakan untuk membedakan antara stroke hemoragik dengan stroke
iskemik yang harus dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan penyebab lain yang
memberikan gambaran klinis menyerupai gejala infark atau perdarahan di otak, misalnya
adanya tumor. Sedangkan yang kedua adalah CT scan kontras yang digunakan untuk
mendeteksi malformasi vaskular dan aneurisme (Lumbantobing, 2007).
F. Penatalaksanaan
Stroke merupakan salah satu kondisi kegawatdaruratan, oleh karena itu perlu
dilakukan prinsip-prinsip kegawatan dalam tatalaksana stroke selain dilakukan pertolongan
keadaan neurologis pasien. (PERDOSSI, 2011; Setyopranoto, 2011).
1. Tatalaksana Umum:
a. Stabilisasi jalan nafas dan pernafasan

11
1) Pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologis, nadi, tekanan darah,
suhu tubuh, dan saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan
defisit neurologis yang nyata.
2) Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen < 95%.
3) Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang tidak
sadar. Berikan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau
disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas.
4) Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia.
5) Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak memerlukan terapi oksigen.
6) Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway)
diperlukan pada pasien hipoksia (p)2 <60 mmHg atau PCO2 >50 mmHg), atau
syok, atau pada pasien yang berisiko terjadinya aspirasi.
7) Pipa ETT diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu.
b. Stabilisasi hemodinamik (infus kristaloid)
c. Pengendalian tekanan intrakranial (manitol jika diperlukan)
1) Pemantauan ketat terhadap pasien dengan risiko edema serebri seperti adanya
perburukan gejala dan tanda neurologis pada hari-hari awal setelah serangan
stroke.
2) Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita
mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan TIK.
3) Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena
0,25 sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau
keadaan umum memburuk, dilanjutkan 0,25 g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam
selama 3-5 hari.
4) Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat
diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
d. Pengendalian kejang (terapi anti kejang jika diperlukan)
Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit, maksimal 100
mg per hari, kemudian dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin,
karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan per
oral jangka panjang.

12
e. Analgetik dan antipiretik, jika diperlukan
Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika
kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten).
f. Gastroprotektor, jika diperlukan
g. Manajemen nutrisi
1) Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL
dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin
isotonik.
2) Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan
gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui slang nasogastrik.
h. Pencegahan DVT dan emboli paru: heparin atau LMWH
2. Tatalaksana Spesifik
a. Trombolisis intravena: alteplase dosis 0,6-0,9 mg/kgBB, pada stroke iskemik onset
<6 jam
b. Terapi endovascular: trombektomi mekanik, pada stroke iskemik dengan oklusi
karotis interna atau pembuluh darah intrakranial, onset <8 jam
c. Manajemen hipertensi (Nicardipim, ARB, ACE-Inhibitor, Calcium Antagonist, Beta
Blocker, Diuretik)
1) Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik 220
mmHg, diastolik 120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) 130
mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan
infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal.
2) Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan
: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau antagonis
kalsium.
d. Manajemen hipotensi
1) Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik 90 mmHg, diastolik 70 mmHg,
diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan
500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi.
2) Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih <90 mmHg, dapat
diberi dopamin 2-20 g/kg/menit sampai tekanan darah sistolik 110 mmHg.

13
e. Manajemen gula darah (insulin, anti diabetik oral)
1) Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu
150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama.
2) Hipoglikemia (kadar gula darah <60 mg% atau <80 mg% dengan gejala) diatasi
segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari
penyebabnya.
f. Pencegahan stroke sekunder
Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet (aspirin, clopidogrel,
cilostazol) dan antikoagulan (warfarin, dabigatran, rivaroxaban) atau yang dianjurkan
dengan trombolitik rt-PA (recombinant tissue Plasminogen Activator).
g. Neuroprotektor seperti : citicolin, piracetam (jika afasia), pentoxyfiline, DLBS 1033.
h. Perawatan di Unit Stroke
i. Neurorestorasi/ Neurorehabilitasi
3. Tindakan Intervensi/Operatif
a. Carotid Endartersctomy (CEA), sesuai indikasi
b. Carotid Artery Stenting (CAS), sesuai indikasi
c. Stenting pembuluh darah intracranial, sesuai indikasi
4. Edukasi
a. Penjelasan sebelum masuk rumah sakit (rencana rawat, biaya, pengobatan, prosedur,
masa dan tindakan pemulihan dan latihan, manajemen nyeri, risiko dan komplikasi)
b. Penjelasan mengenai stroke iskemik, risiko dan komplikasi selama perawatan
c. Penjelasan mengenai faktor risiko dan pencegahan rekurensi
d. Penjelasan program pemulangan pasien (Discharge Planning)
e. Penjelasan mengenai gejala stroke dan apa yang harus dilakukan sebelum dibawa ke
RS.
G. Prognosis
Pengenalan tanda dan gejala dini stroke dan upaya rujukan ke rumah sakit harus
segera dilakukan karena keberhasilan terapi stroke sangat ditentukan oleh kecepatan
tindakan pada stadium akut; makin lama upaya rujukan ke rumah sakit atau makin panjang
saat antara serangan dengan pemberian terapi, makin buruk prognosisnya (Setyopranoto,
2011).

14
II.2 Meningitis
A. Definisi
Meningitis merupakan inflamasi pada meninges yang melapisi otak dan medula
spinalis. Hal ini paling sering disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus, atau jamur) tetapi
dapat juga terjadi karena iritasi kimia, perdarahan subarachnoid, kanker atau kondisi lainnya
(WHO, 2013).
Membran yang melapisi otak dan sumsum belakang ini terdiri dari tiga lapisan yaitu
(Hasbu, 20013) :
1. Dura mater, merupakan lapisan terluar dan keras.
2. Arachnoid, merupakan lapisan tengah membentuk trabekula yang mirip sarang laba-
laba.
3. Pia mater, merupakan lapisan meninges yang melekat erat pada otak yang mengikuti alur
otak membentuk gyrus & sulcus.
Gabungan antara lapisan arachnoid dan pia mater disebut leptomeninges. Ruang-
ruang potensial pada meninges dilewati oleh banyak pembuluh darah yang berperan penting
dalam penyebaran infeksi pada meninges.
B. Etiologi
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada
cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai
dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih.
Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis
purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan
eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis
Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi (Markam, 2002).
Klasifikasi meningitis berdasarkan etiologi menurut jenis kuman mencakup
sekaligus kausa meningitis, yaitu (Mahar&Priguna, 2008) :
1) Meningtis virus
2) Meningitis bakteri
3) Meningitis spiroketa
4) Meningitis fungus
5) Meningitis protozoa

15
C. Epidemiologi
Insidensi dari variasi meningitis berdasarkan agen etiologi spesifik. Insidensi di duga
menjadi lebih tinggi di negara-negara berkembang karena akses yang minimal untuk
mendapatkan pelayanan preventif, seperti vaksinasi. Meningitis menyerang manusia dari
semua ras. Di Amerika Serikat, orang dengan kulit hitam lebih tinggi terjadinya meningitis
daripada kulit putih. Dengan insidensi 1,33 kasus per 100.000 populasi. Sekitar 4100 kasus
dan 500 mengalami kematian yaitu disebabkan karena meningitis bakterial (Thigpen et al.,
2011).
Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio-ekonomi rendah,
lingkungan yang padat yaitu seperti di asrama, barak-barak tentara, dan jemaah haji), dan
penyakit ISPA. Penyakit meningitis banyak terjadi pada negara yang sedang berkembang
dibandingkan pada negara maju (Markam, 2002).
D. Patomekanise
1. Meningeal Invasion
Mekanime masuknya kuman ke dalam lapisan meninges masih belum diketahui
sepenuhnya. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan host, agen infeksi dan faktor lingkungan.
Pada bayi yang belum menghasilkan antibodi spesifik dapat mudah terkena meningitis oleh
bakteri gram negatif, sedangkan pada bayi yang agak besar telah kehilangan IgG yang
diperolehnya melalui plasenta dan mudah terkena infeksi meningokokus dan H. Influenzae
(Mahar&Priguna, 2008).
Pada orang dewasa dengan gangguan sistem imun seperti pada keganasan sistem
retikuloendotelial dapat mempermudah infeksi susunan saraf pusat. Konsentrasi kuman yang
tinggi di dalam darah akibat suatu infeksi dibagian lain tubuh atau karena proses transmisi
kuman karena kontak antar individu dapat menyebabkan invasi kuman pada meninges
(Mahar & Priguna, 2008). Virus setelah melakukan perlekatan dan invasi terhadap sel
pejamu dapat bereplikasi dan menyebar yang kemudian menyebabkan destruksi sel host
(Jawetz, dkk., 2008).
Meningitis pada umumnya terjadi sebagai akibat dari penyebaran penyakit di organ
atau jaringan tubuh yang lain. Virus atau bakteri menyebar secara hematogen sampai ke
selaput otak, misalnya pada penyakit faringitis, tonsilitis, pneumonia, bronchopneumonia,
dan endokarditis. Penyebaran bakteri atau virus dapat pula secara perkontinuitatum dari
peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya abses otak, otitis

16
media, mastoiditis, trombosis sinus kavernosus, dan sinusitis. Penyebaran kuman bisa juga
terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi
kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan
araknoid, CSS (Cairan Serebrospinal) dan sistem ventrikulus (Soegijanto, 2002).
2. Induksi Inflamasi
Antigen kuman penyebab infeksi meninges dapat menginduksi proses inflamasi
melalui mediator yang berperan seperti interleukin, tumor necrosis factor- (TNF-),
interferon, prostaglandin, nitrit oksida, platelet activation factor (PAF), dan mediator
lainnya. Awalnya pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami hiperemis
dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke
dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi
pembentukan limfosit dan histiosit, kemudian dalam minggu kedua sel- sel plasma. Eksudat
yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear
dan fibrin sedangkan di lapisan dalam terdapat makrofag (Harsono, 2007; Hasbu, 2013).
3. Perubahan Sawar Darah Otak
Sawar darah otak, menjaga susunan syaraf pusat terhadap bahaya yang datang dari
lintasan hematogen. Proses radang juga menyebabkan terjadinya perubahan permeabilitas
dari kapiler otak yang sebelumnya kedap dan selektif terhadap berbagai macam zat, menjadi
permeabel sehingga terjadi kebocoran plasma dan dapat menyebabkan kuman masuk
kedalam cairan serebrospinal dan ruang subarachnoid. Dengan demikian peradangan akan
terus terjadi tidak hanya pada pembuluh darah. Selain itu Proses radang yang mengenai
vena-vena di korteks dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi
neuron- neuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen
menyebabkan kelainan kranialis. Pada meningitis yang disebabkan oleh virus, cairan
serebrospinal tampak jernih dibandingkan Meningitis yang disebabkan oleh bakteri
(Harsono, 2007; Hasbu, 2013).

4. Perubahan Aliran Serebrospinal dan Tekanan Intrakranial


Aliran cairan serebrospinal dapat terhambat oleh karena terjadi trombosis atau
perlekatan vili vena pada sinus akibat peradangan yang berperan dalam absorbsi cairan
serebrospinal sehingga menimbulkan hidrosefalus. Selain itu, plexus koroideus yang
berfungsi untuk memproduksi cairan serebrospinal jika terkena radang akan meningkatkan

17
produksinya sehingga timbul hidrosefalus komunikans. Jika terus berlanjut akan
menyebabkan edema otak dan peningkatan tekanan intrakranial sehingga terjadi kompresi
pada otak dan pembuluh darah, menurunkan aliran suplai nutrisi dan oksigen. Jika proses ini
tidak dicegah dapat menimbulkan atrofi jaringan otak, defisit neurologis, berupa parese
nervus kranialis dan hemiparese, penurunan kesadaran dan bahkan kematian (Guyton&Hall,
2008; Mahar&Priguna, 2008).
E. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Sekitar 44% meningitis bakterial pada dewasa menimbulkan gejala klasik yang
disebut dengan trias meningitis yaitu demam, nyeri kepala, dan kaku kuduk. Gejala-gejala
tersebut dapat berkembang beberapa jam atau 1-2 hari. Gejala lain yang dapat terjadi pada
pasien dengan meningitis yaitu seperti : mual, muntah, fotofobia, sulit tidur, bingung,
gelisah, iritabel, penurunan nafsu makan, delirium, maupun koma (Van de Beek et al.,
2004).
Pada umumnya, meningitis yang disebabkan oleh Mumps virus ditandai dengan
gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjer parotid sebelum
invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus
ditandai dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan
disertai dengan timbulnya ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada,
badan, dan ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu tampak
lesi vaskuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul keluhan
berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku kuduk, dan nyeri punggung (Soedarto, 2004).
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan dan
gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan gejala
panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi
dan konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang mencembung. Kejang
dialami sekitar 44% anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25% oleh
Streptococcus pneumoniae, 21% oleh Streptococcus, dan 10% oleh infeksi Meningococcus.
Pada anak-anak dan dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan
bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat,
malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh atau
purulen (Harsono, 2007).

18
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium
prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi biasa.
Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah,
nafsu makan berkurang, murung, berat badan turun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi,
pola tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat
panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri
punggung, halusinasi, dan sangat gelisah (Harsono, 2007).
Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala
penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat, gangguan
kesadaran dan kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda
rangsangan meningeal mulai nyata, terjadi parese nervus kranialis, hemiparese atau
quadripare, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial,
ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat. Stadium III atau stadium terminal ditandai
dengan kelumpuhan semakin parah dan gangguan kesadaran lebih berat sampai koma. Pada
stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak
mendapat pengobatan sebagaimana mestinya (Harsono, 2007).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya dilakukan
pemeriksaan rangsang meningeal yaitu sebagai berikut (Lumbantobing, 2007) :
a. Pemeriksaan kaku kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi kepala. Tanda
kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi
kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot.
b. Pemeriksaan Kernig
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi pada sendi panggul kemudian ekstensi
tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif
(+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135 (kaki tidak dapat di ekstensikan
sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.

19
c. Pemeriksaan Brudzinski I (Brudzinski leher)
Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan dibawah kepala
pasien yang sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu lagi ditempatkan di dada
pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan
sehingga dagu menyentuh dada. Brudzinski I positif (+) bila gerakan fleksi kepala
disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara
reflektorik.

d. Pemeriksaan Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul (seperti
pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi
fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.

e. Pemeriksaan Brudzinski III (Brudzinski Pipi)


Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari pemeriksa tepat di
bawah os ozygomaticum.Tanda Brudzinski III positif (+) jika terdapat flexi involunter
extremitas superior.
f. Pemeriksaan Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)
Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jari tangan
pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila terjadi flexi involunter
extremitas inferior.
g. Pemeriksaan Lasegue
Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya. Salah satu tungkai
diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus. Tanda lasegue positif (+) jika
terdapat tahanan sebelum mencapai sudut 70 pada dewasa dan kurang dari 60 pada
lansia.

20
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein
cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan
intrakranial (Harsono, 2003).
1) Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel
darah putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur negatif.
2) Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah sel
darah putih meningkat (pleositosis lebih dari 1000 mm3), protein meningkat,
glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis bakteri.
b. Laboratorium Darah (Hasbu, 2013)
1) Pemeriksaan LED meningkat pada meningitis TB.
2) Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit polimorfonuklear dengan
shift ke kiri.
3) Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.
4) Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap glukosa pada cairan
serebrospinal.
5) Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi organ dan
penyesuaian dosis terapi.
6) Tes serum untuk sipilis jika diduga akibat neurosipilis.
c. Kultur
Kultur bakteri dapat membantu diagnosis sebelum dilakukan lumbal pungsi
atau jika tidak dapat dilakukan oleh karena suatu sebab seperti adanya hernia otak
(Hasbu, 2013).
d. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto thorax, foto kepala, CT-Scan
dan MRI. Foto thorax untuk melihat adanya infeksi sebelumnya pada paru-paru
misalnya pada pneumonia dan tuberkulosis, foto kepala kemungkinan adanya
penyakit pada mastoid dan sinus paranasal. Pemeriksaan CT-Scan dan MRI tidak

21
dapat dijadikan pemeriksaan diagnosis pasti meningitis. Beberapa pasien dapat
ditemukan adanya enhancemen meningeal, namun jika tidak ditemukan bukan berarti
meningitis dapat disingkirkan (Hasbu, 2013).
Temuan pada CT-Scan dan MRI dapat normal, penipisan sulcus, enhancement
kontras yang lebih konveks. Pada fase lanjut dapat pula ditemukan infark vena dan
hidrosefalus komunikans.

Sumber: Lutfi et al., 2013


Gambar 1. CT-Scan pada Meningitis Bakteri. Didapatkan ependimal enhancement
dan ventrikulitis

Sumber: Hasbu, 2013


Gambar 2. MRI pada meningitis bakterial akut. Contrast-enhanced, didapatkan
leptomeningeal enhancement

22
F. Penatalaksanaan
1. Meningitis Virus
Sebagian besar kasus meningitis dapat sembuh sendiri. Penatalaksanaan umum
meningitis virus adalah terapi suportif seperti pemberian analgesik, antpiretik, nutrisi yang
adekuat dan hidrasi. Meningitis enteroviral dapat sembuh sendiri dan tidak ada obat yang
spesifik, kecuali jika terdapat hipogamaglobulinemia dapat diberikan imunoglonbulin.
Pemberian asiklovir masih kontroversial, namun dapat diberikan sesegera mungkin jika
kemungkinan besar meningitis disebabkan oleh virus herpes. Beberapa ahli tidak
menganjurkan pemberian asiklovir untuk herpes kecuali jika terdapat ensefalitis. Dosis
asiklovir intravena adalah (10mg/kgBB/8jam) (Hasbu, 2013).
Gansiklovir efektif untuk infeksi Cytomegalovirus (CMV), namun karena
toksisitasnya hanya diberikan pada kasus berat dengan kultur CMV positif atau pada pasien
dengan imunokompromise. Dosis induksi selama 3 minggu 5 mg/kgBB IV/ 12 jam,
dilanjutkan dosis maintenans 5 mg/kgBB IV/24 jam (Hasbu, 2013).
2. Meningitis Bakteri
Meningitis bakterial adalah suatu kegawatan dibidang neurologi karena dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Oleh karena itu pemberian
antibiotik empirik yang segera dapat memberikan hasil yang baik.
a. Neonatus-1 bulan
1) Usia 0-7 hari, Ampicillin 50 mg/kgBB IV/8 jam atau dengan tambahan gentamicin
2.5 mg/kgBB IV/12 jam.
2) Usia 8-30 hari, 50-100 mg/kgBB IV/6 jam atau dengan tambahan gentamicin 2,5
mg/kgBB IV/12 jam.
b. Bayi usia 1-3 bulan
1) Cefotaxim (50 mg/kgBB IV/6 jam)
2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB/12 jam).
Ditambah ampicillin (50-100 mg/kgBB IV/6 jam).
Alternatif lain diberikan Kloramfenikol (25 mg/kgBB oral atau IV/ 12 jam) ditambah
gentamicin (2,5 mg/kgBB IV atau IM /8 jam).
c. Bayi usia 3 bulan sampai anak usia 7 tahun
1) Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam, maksimal 4 g/hari)

23
d. Anak usia 7 tahun sampai dewassa usia 50 tahun
1) Dosis anak
Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam, maksimal 4 g/hari)
Vancomycin 15 mg/kgBB IV/ 8 jam
2) Dosis dewasa
Cefotaxime 2 g IV/ 4 jam
Ceftriaxone 2 g IV/ 12 jam
Vancomycin 750-1000 mg IV/ 12 jam atau 10-15 mg/kgBB IV/ 12 jam
e. Usia lebih dari atau sama dengan 50 tahun
1) Cefotaxime 2 g IV/ 4 jam
2) Ceftriaxone 2 g IV/ 12 jam
Dapat ditambahkan dengan Vancomycin 750-1000 mg IV/ 12 jam atau 10-15
mg/kgBB IV/ 12 jam atau ampicillin (50 mg/kgBB IV/ 6 jam). Jika dicurigai basil
gram negatif diberikan ceftazidime (2 g IV/ 8 jam).
Selain antibiotik, pada infeksi bakteri dapat pula diberikan kortikosteroid (biasanya
digunakan dexamethason 0,25 mg/kgBB/6 jam selama 2-4 hari). meskipun pemberian
kortikosteroid masih kontroversial, namun telah terbukti dapat meningkatkan hasil
keseluruhan pengobatan pada meningitis akibat H. Influenzae, tuberkulosis, dan meningitis
pneumokokus. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Brouwer dkk., pemberian
kortikosteroid dapat mengurangi gejala gangguan pendengaran dan gejala neurologis sisa
tetapi secara umum tidak dapat mengurangi mortalitas.
G. Prognosis
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yang
menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan
lama penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa
tua mempunyai prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan
kematian.

24
II.3 Koma
A. Definisi
Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah atau keadaan
unarousable unresponsiveness, yaitu keadaan dimana dengan semuarangsangan, penderita
tidak dapat dibangunkan. WHO mendefinisikan koma sebagai suatu keadaan dimana
seseorang tidak dapat membuka mata dengan rangsangan apapun, tidak dapat membuat
suatu kata apapun dan tidak dapat melaksanakan perintah sederhana (Sidharta, 2004).
B. Etiologi
Beberapa penyebab koma seperti sirkulasi (meluputi stroke dan penyakit jantung),
ensefalitis (dengan tetap mempertimbangkan adanya kemungkinan infeksi di tempat lain
maupun sepsis), metabolik (hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, dan penyakit
hati), elektrolit (misalnya diare dan muntah), neoplasma (seperti tumor otak baik primer
maupun metastasis), intoksikasi (obat maupun bahan kimia), trauma (seperti comotio,
kontusio, perdarahan epidural, perdarahan subdural), serta epilepsi (pasca serangan
grandmal atau pada status epileptikus) (Sidharta, 2004).
C. Epidemiologi
Prevalensi dan insidensi dari koma dan gangguan kesadaran sulit untuk ditentukan
secara pasti, mengingat luas dan beragamnya faktor penyebab dari koma. Laporan rawat
inap nasional dari Inggris tahun 2002-2003 melaporkan bahwa 0,02% (2.499) dari seluruh
konsultasi rumah sakit disebabkan oleh gangguan terkait dengan koma dan penurunan
kesadaran, 82% dari kasus tersebut memerlukan rawat inap di rumah sakit. Koma juga
nampaknya lebih banyak dialami oleh pasien usia paruh baya dan lanjut usia, dengan rata-
rata usia rawat inap untuk koma adalah 57 tahun pada laporan yang sama (Ropper, 2008).
D. Patomekanisme
Kesadaran dibagi dua yaitu derajat kesadaran dan gangguan isi. Gangguan derajat
(kuantitas, arousal, wakefulness) menentukan derajat kesadaran. Gangguan isi (kualitas,
awareness, alertness) ditentukan oleh cara pengolahan input yang menghasilkanoutput SSP
kesadaran (Kelley, 2008).
Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri termasuk
ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas), dengan ascending reticular activating system
(ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan bagian atas pons. ARAS menerima
serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris dan melalui thalamic relay nuclei

25
dipancarkan secara difus ke kedua korteks serebri. ARAS bertindak sebagai suatu off-on
switch, untuk menjaga korteks serebri tetap sadar (awake). Maka apapun yang dapat
mengganggu interaksi ini, apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan
mengakibatkan menurunnya kesadaran (Kelley, 2008).
E. Tanda dan Gejala
Manifestasi klinik penurunan kesadaran dapat bersifat akut atau bertahap. Dipandang
dari penampilan klinik, penderita koma dapat bersikap tenang seakan-akan tidur pulas, atau
gelisah dan banyak gerak yang mungkin disertai dengan teriakan. Penurunan kesadaran
dapat disertai oleh tanda dan gejala klinik lainnya, bergantung pada penyakit yang
mendasarinya atau pada komplikasi yang muncul setelah terjadinya penunan kesadaran.
Dengan demikian, manifestasi klinik penurunan kesadaran sangat bervariasi (Papadopoulos,
2008).
Tanda dan gejala klinik yang dapat menyertai koma antara lain demam, gelisah,
kejang, muntah, retensi lendir/sputum di tenggorokan, retensi atau inkontinentia urin,
hipertensi, hipotensi, takikardia, bradikardi, takipnea, dispnea, edema fokal atau anasarka,
ikterus, sianosis, pucat, perdarahan subkutis, dan sebagainya. Pada lesi intrakranial dapat
terjadi hemiplegia, defisit nervi kraniales, kaku kuduk, deviasi mata, perubahan diameter
pupil, edema papil. Pada trauma kapitis dapat terjadi hematom disekitar orbita, hematom di
belakang telinga, perdarahan telinga dan hidung, dan mungkin likorea (Papadopoulos,
2008).
F. Pemeriksaan Penunjang
Penting dalam penentuan diagnosis yang cepat pada etiologi pasien dengan koma
karena dapat mengancam nyawa, maka pemeriksaan penunjang harus segera dilakukan
dalam membantu penegakkan diagnosis, yaitu antara lain (Ropper, 2008):
1. CT atau MRI scan Kepala : pemberian kontras diberikan apabila kita curigai terdapat
tumor atau abses. Dan mintakan print out dari bone window pada kejadian trauma
kepala
2. Punksi Lumbal : dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, encephalitis,
atau perdarahan subarachnoid bila diagnosis tidak dapat ditegakkan melalui CT atau
MRI kepala.

26
3. EEG : bisa saja diperlukan pada kasus serangan epileptik tanpa status kejang, keadaan
post ictal, koma metabolik bila diagnosis tidak ditegakkan melalui pemeriksaan CT dan
LP.
Keadaan pseudokoma harus kita curigai bila semua pemeriksaan diagnostik telah kita
lakukan dan masih tidak dapat menegakkan diagnosis penyebab dari koma tersebut.
Diantaranya yaitu :
1. Koma psikogenik
2. Locked in syndrome: kerusakan pons bilateral
3. Mutism akinetik: kerusakan pada frontal dan thalamus
G. Penatalaksanaan
Beberapa prinsip penanganan pada pasien koma (Kasper, 2005):
1. Penanganan emergensi dekompresi pada lesi desak ruang (space occupying lesions /
SOL) dapat menyelamatkan nyawa pasien.
2. Bila terjadi suatu peningkatan TIK, berikut adalah penanganan pertamanya:
a. Elevasi kepala
b. Intubasi dan hiperventilasi
c. Sedasi jika terjadi agitasi yang berat ( midazolam 1 2 mg iv )
d. Diuresis osmotik dengan manitol 20% 1 g/kg BB iv
e. Dexametason 10 mg iv tiap 6 jam pada kasus edema serebri oleh tumor atau abses
setelah terapi ini monitor ICP harus dipasang.
3. Kasus encephalitis yang dicurigai oleh infeksi virus herpes dapat diberikan acyclovir 10
mg/kg iv tiap 8 jam
4. Kasus meningitis lakukan terapi secara empiris. Lindungi pasien dengan ceftriaxon 2x1
g iv dan ampicillin 4x1 g iv sambil menunggu hasil kultur 6
Terapi Umum :
1. Proteksi jalan nafas : adekuat oksigenasi dan ventilasi
2. Hidrasi intravena : gunakan normal saline pada pasien dengan edema serebri atau
peningkatan TIK
3. Nutrisi : lakukan pemberian asupan nutrisi via enteral dengan nasoduodenal tube,
hindari penggunaan naso gastrik tube karena adanya ancaman aspirasi dan refluks
4. Kulit : hindari dekubitus dengan miring kanan dan kiri tiap 1 hingga 2 jam, dan gunakan
matras yang dapat dikembangkan dengan angin dan pelindung tumit

27
5. Mata : hindari abrasi kornea dengan penggunaan lubrikan atau tutup mata dengan
plester
6. Perawatan bowel : hindari konstipasi dengan pelunak feses (docusate sodium 100 mg
3x1 ) dan pemberian ranitidin 50 mg iv tiap 8 jam untuk menghindari stress ulcer akibat
pemberian steroid dan intubasi
7. Perawatan bladder : indwelling cateter urin dan intermiten kateter tiap 6 jam
8. Mobilitas joint : latihan pasif ROM untuk menghindari kontraktur
9. Profilaksis deep vein trombosis (DVT) : pemberian 5000 iu sc tiap 12 jam, penggunaan
stoking kompresi pneumatik, atau kedua-duanya.
H. Prognosis
Prognosis koma bergantung pada banyak faktor, seperti penyebab, situasi klinik pada
saat pertama kali ditangani, kecepatan tindakan, kelengkapan fasilitas, penyulit yang muncul
dan kemampuan dokter serta perawat yang menanganinya. Dengan demikian prognosis
koma cukup bervariasi, mulai dari infaust, kemudian berturut-turut menjadi persistent
vegetative state, sadar kembali dengan gejala sisa (motorik, autonom, fungsi luhur, epilepsi,
dan sebagainya) sampai dengan sadar kembali tanpa gejala apapun, atau mungkin meninggal
(Lumbantobing, 2005).
II.4 Epilepsi
A. Definisi
Epilepsi berasal dari kata kerja yunani kuno epilambanien yang berarti menguasai
memiliki, atau menimpa epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh
bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara
intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-
neuron secara paroksismal, dan disebkan oleh berbagai etiologi (Mardjono, 2010).
B. Etiologi
Penyebab penyakit epilepsi dibagi menjadi tiga golongan, yaitu idiopatk, kriptogenik
dan simptomatik. Sebagian besar penyebab timbulnya epilepsi adalah idiopatik yang tidak
diketahi penyebabnya, umumnya mempunyai presdiposisi genetik. Sedangkan penyebab
epilepsi kriptogenik dianggap suatu simptomatik yang penyebabnya belum diketahui,
termasuk disini adalah sindrom west, sindrom lennox-gastraut dan epilepsi mioklonik.
Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus. Etiologi epilepsi yang terakhir yaitu
simptomatik disebabkan oleh kelainan/lesi susunan saraf pusat, misalnya cedera kepala,

28
infeksi susunan saraf pusat, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah
otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, dan kelainan neurodegenerative (Ginsberg, 2005).
Pada epilepsi yang terjadi sejak masa anak anak maka saat dewasa mencari etiologi
tidak begitu penting, dengan pengertian proses penyebab tidak aktif lagi. Bila epilepsi baru
terjadi saat dewasa, terutama diatas usia 30 taun maka mencari etiologi menjadi penting,
karena mungkin pertanda suatu proses patologis yang masih progresif dan mungkin
memerlukan tindakan bedah saraf. Anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik dan penunjang
akan mengarahkan kepada etiologi dari epilepsy (Ginsberg, 2005).
C. Epidemiologi
Data dari seluruh dunia, didapatkan hampir 40 juta manusia menderita epilepsi.
Menurut WHO prevalensi epilepsi ini lebih tinggi pada wanita dari pada pria. Angka
prevalensi untuk pria 0.32 : 1000 dan wanita 0.46 : 1000. Data di indonesia pada tahun 2000
didapatkan hasil dari rawat inap yaitu 3.949 kasus epilepsi, dimana dari 34,514 pasien
dengan penyakit susunan saraf (11.44%) , sedangkan dari rawat jalan didapatkan 65.696 dari
351.290 (18.70%) dari jumlah kunjungan dengan penyakit susunan saraf. Berdasarkan
grafik, usia pasien epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan
anak-anak cukup tinggi, menurun pada usia dewasa muda dan pertengahan, kemudian
meningkat lagi pada usia lanjut.Sedangkan menurut jenis kelamin, epilepsi mengenai laki-
laki 1,1-1,5 kali lebih banyak dari perempuan (Harsono, 2008).
D. Patomekanisme
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi
pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang
memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif
terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi
sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara
neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin
dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino
butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan
terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron
mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial
akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik
(Guyton, 2006).

29
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan
Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi
membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan
listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan
epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti
akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar
sarang epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin
agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain
yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron
akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak (Guyton, 2006).
E. Tanda dan Gejala
1. Kejang parsial simplek
Serangan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa
(Misbach, 2002):
a. deja vu: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya
Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan
b. Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubih
tertentu.
c. Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
d. Halusinasi
2. Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih
lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan
mengingat waktu serangan, gejalanya meliputi (Misbach, 2002):
a. Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
b. Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya
c. Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam keadaan
seperti sedang bingung
d. Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
e. Berbicara tidak jelas seperti menggumam.

30
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada epilepsy meliputi (Harsono, 2008):
1. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi.
Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan
bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG
dikatakan abnormal.
a. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.
b. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya
misal gelombang delta.
c. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang
tajam, paku (spike), dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
2. Rekaman EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan.
Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta
memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang
mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara
pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi
parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.
3. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat
struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl
lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan.
G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada kasus epilepsi ini dibedakan berdasarkan umur penderita
(Alberto, 2012):
1. Pada neonatus dan bayi

31
a. Jittering
b. Apneic spell
2. Pada anak
a. Breath holding spells
b. Sinkope
c. Migren
d. Bangkitan psikogenik/konversi
e. Prolonged QT syndrome
f. Night terror
g. Tic
h. Hypersianotic attack
3. Pada dewasa
a. Sinkope
b. Serangan iskemik sepintas
c. Vertigo
d. Transient global amnesia
e. Narkolepsi
f. Bangkitan panic, psikogenik
g. Sindrom menier
h. Tics
H. Penatalaksanaan
Terapi medikamentosa
Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) sangat tergantung pada bentuk bangkitan dan
sindroma epilepsi, selain itu juga perlu dipikirkan kemudahan pemakaiannya. Penggunaan
terapi tunggal dan dosis tunggal menjadi pilihan utama. Kepatuhan pasien juga ditentukan
oleh harga dan efek samping OAE yang timbul (Bazil, 2005). Antikonvulsan utama :
1. Fenobarbital
2. Phenitoin
3. Karbamasepin
4. Valproate

32
1. Golongan Hidantoin
Fenitoin
Merupakan golongan hidantoin yang sering dipakai. Kerja obat ini antara lain
penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak.
Indikasi: epilepsi umum khususnya grandmal tipe tidur, epilepsi fokal dan dapat juga
untuk epilepsi lobus temporalis.
Dosis: dewasa 300-600 mg/hari, anak 4-8 mg/hari, maks. 300 mg/hari
2. Golongan Barbiturat
Fenobarbital
Merupakan golongan baribiturat yang bekerja lama (long acting). Kerjanya membatasi
penjalaran aktivitas serangan dengan menaikkan ambang rangsang.
Indikasi: epilepsi umum khusus epilepsi Grand Mal tipe sadar, epilepsi fokal.
Dosis: dewasa 200 mg / hari, anak 3-5 mg/kgBB/hari
3. Golongan Benzodiazepam
Diazepam
Dikenal sebagai obat penenang, tetapi merupakan obat pilihan utama untuk status
epileptik.
Dosis: dewasa 2-10 mg im/iv, dapat diulang setiap 4 jam. Anak > 5 tahun 5-10 mg
im/iv, anak 1 bulan-5 tahun 0,2-2 mg im/iv.
4. Golongan Suksinimid
a. Etosuksimid
Indikasi: epilepsi petit mal murni
Dosis: 20-30 mg/kgBB/hari
Golongan anti epilepsi lainnya
b. Sodium valproat
Indikasi: epilepsi petit mal murni, dapat pula untuk epilepsi pada lobus temporalis
yang refar akter, sebagai kombinasi dengan obat lain.
Dosis: anak 20-30 mg/kgBB/hari, dewasa 0,8-1,4 gr/hari dimulai dengan 600
mg/hari.

33
c. Asetazolamid
Dikenal sebagai diuretik, tetapi pada pengobatan epilepsi mempunyai cara kerja
menstabilkan keluar masuknya natrium pada sel otak.
Indikasi: Dapat dipakai pada epilepsi Petit Mal, dan pada epilepsi Grand Mal
dimana serangannya sering datang bethubungan dengan siklus menstruasi.
Dosis: sehari total 8-30 mg/kgBB
d. Karbamazepin
Indikasi: Epilepsi lobus temporalis dengan epilepsi Grand Mal
Dosis: Dewasa 800-1200mg/hari
I. Prognosis
Prognosis umumnya baik, 70 80% pasien yang mengalami epilepsi akan sembuh,
dan kurang lebih separuh pasien akan bisa lepas obat. Dua puluh sampai tiga puluh
persen mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis dan pengobatan semakin
sulit. Lima persen di antaranya akan tergantung pada orang lain dalam kehidupan sehari-
hari. Prognosis buruk pada pasien dengan lebih dari satu jenis epilepsi, mengalami retardasi
mental, dan gangguan psikiatri dan neurologic. Penderita epilepsi memiliki tingkat kematian
yg lebih tinggi daripada populasi umum. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang
umum maupun serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik.
Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai
kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif jelek (Harsono,
2008).
II.5 Ensefalitis
A. Definisi
Ensefalitis adalah suatu peradangan pada parenkim otak. Ensefalitis terjadi dalam
dua bentuk, yaitu bentuk primer dan bentuk sekunder. Ensefalitis Primer melibatkan infeksi
virus langsung dari otak dan sumsum tulang belakang. Sedangkan ensefalitis sekunder,
infeksi virus pertama terjadi di tempat lain di tubuh dan kemudian ke otak. Dalam beberapa
kasus ensefalitis menyebabkan kematian. Pengobatan ensefalitis harus dimulai sedini
mungkin untuk menghindari dampak serius dan efek seumur hidup. Terapi tergantung pada
penyebab peradangan, mungkin termasuk antibiotik, obat anti-virus, dan obat-obatan anti-
inflamasi. Jika hasil kerusakan otak dari ensefalitis, terapi (seperti terapi fisik atau terapi

34
restorasi kognitif) dapat membantu pasien setelah kehilangan fungsi (Baehr & Frotscher,
2010).
B. Etiologi
Penyebab ensefalitis yang paling sering adalah infeksi karena virus. Beberapa contoh
termasuk (Mardjono & Sidharta, 2010) :
Herpes virus
Arbovirus ditularkan oleh nyamuk kutu dan serangga lainnya
Rabies ditularkan melalui gigitan hewan
Ensefalitis mempunyai dua bentuk, yang dikategorikan oleh dua cara virus dapat
menginfeksi otak :
Ensefalitis primer. Hal ini terjadi ketika virus langsung menyerang otak dan saraf tulang
belakang. Hal ini dapat terjadi setiap saat (ensefalitis sporadis), sehingga menjadi wabah
(epidemik ensefalitis).
Ensefalitis sekunder. Hal ini terjadi ketika virus pertama menginfeksi bagian lain dari
tubuh kemudian memasuki otak.
Infeksi bakteri dan parasit seperti toksoplasmosis dapat menyebabkan ensefalitis
pada orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah. Berikut adalah beberapa
penyebab yang lebih umum ensefalitis adalah virus herpes yang menyebabkan infeksi umum
juga dapat menyebabkan ensefalitis. Ini termasuk:
Herpes simpleks virus. Ada dua jenis virus herpes simpleks (HSV) infeksi. HSV tipe 1
(HSV-1) lebih sering menyebabkan cold sores lepuh demam atau sekitar mulut. HSV
tipe 2 (HSV-2) lebih sering menyebabkan herpes genital. HSV-1 merupakan penyebab
paling penting dari ensefalitis sporadis yang fatal di Amerika Serikat, tetapi juga langka
Varicella-zoster virus. Virus ini bertanggung jawab untuk cacar air dan herpes zoster.
Hal ini dapat menyebabkan ensefalitis pada orang dewasa dan anak-anak, tetapi
cenderung ringan.
Virus Epstein-Barr. Virus herpes yang menyebabkan infeksi mononucleosis. Jika
ensefalitis berkembang, biasanya ringan, tetapi dapat berakibat fatal pada sejumlah kecil
kasus.
C. Faktor Risiko
Beberapa faktor yang menyebabkan risiko lebih besar adalah:

35
1. Umur. Beberapa jenis ensefalitis lebih lazim atau lebih parah pada anak-anak atau orang
tua.
2. Sistem kekebalan tubuh semakin lemah. Jika memiliki defisiensi imun, misalnya karena
AIDS atau HIV, melalui terapi kanker atau transplantasi organ, maka lebih rentan
terhadap ensefalitis.
3. Geografis daerah. Mengunjungi atau tinggal di daerah di mana virus nyamuk umum
meningkatkan risiko epidemi ensefalitis.
4. Musim. Penyakit yang disebabkan nyamuk cenderung lebih menonjol di akhir musim
panas dan awal musim gugur di banyak wilayah Amerika Serikat (Mardjono & Sidharta,
2010).
D. Epidemiologi
Insidensi di USA dilaporkan 2.000 atau lebih kasus viral ensefalitis per tahun, atau
kira-kira 0,5 kasus per 100.000 penduduk. Virus Japanese Encephalitis adalah arbovirus
yang paling umum di dunia bertanggung jawab untuk 50.000 kasus dan 15.000 kematian
per tahun di sebagian besar dari Cina, Asia Tenggara, dan anak benua India. Di Indonesia,
menurut data statistik dari 214 pasien ensefalitis 54% (115 orang) dari penderitanya adalah
anak-anak. Virus yang paling sering ditemukan adalah virus herpes simpleks (31%) (Ronald,
2012).
E. Patomekanisme
Patogenesis dari encephalitis mirip dengan pathogenesis dari viral meningitis, yaitu
virus mencapai Central Nervous System melalui darah (hematogen) dan melalui saraf
(neuronal spread). Penyebaran hematogen terjadi karena penyebaran ke otak secara langsung
melalui arteri intraserebral. Penyebaran hematogen tak langsung dapat juga dijumpai,
misalnya arteri meningeal yang terkena radang dahulu. Dari arteri tersebut itu kuman dapat
tiba di likuor dan invasi ke dalam otak dapat terjadi melalui penerobosan dari pia mater.
Selain penyebaran secara hematogen, dapat juga terjadi penyebaran melalui neuron,
misalnya pada encephalitis karena herpes simpleks dan rabies. Pada dua penyakit tersebut,
virus dapat masuk ke neuron sensoris yang menginnervasi port dentry dan bergerak secara
retrograd mengikuti axon-axon menuju ke nukleus dari ganglion sensoris. Akhirnya saraf-
saraf tepi dapat digunakan sebagai jembatan bagi kuman untuk tiba di susunan saraf pusat.
Sesudah virus berada di dalam sitoplasma sel host, kapsel virus dihancurkan. Dalam hal
tersebut virus merangsang sitoplasma sel host untuk membuat protein yang menghancurkan

36
kapsel virus. Setelah itu nucleic acid virus berkontak langsung dengan sitoplasma sel host.
Karena kontak ini sitoplasma dan nukleus sel host membuat nucleic acid yang sejenis
dengan nucleic acid virus (Mardjono & Sidharta, 2010).
Proses ini dinamakan replikasi. Karena proses replikasi berjalan terus, maka sel host
dapat dihancurkan. Dengan demikian partikel-partikel viral tersebar ekstraselular. Setelah
proses invasi, replikasi dan penyebaran virus berhasil, timbullah manifestasi-manifestasi
toksemia yang kemudian disususl oleh manifestasli lokalisatorik. Gejala-gejala toksemia
terdiri dari sakit kepala, demam, dan lemas-letih seluruh tubuh. Sedang manifestasi
lokalisatorik akibat kerusakan susunan saraf pusat berupa gannguan sensorik dan motorik
(gangguan penglihatan, gangguan berbicara, gannguan pendengaran dan kelemahan anggota
gerak), serta gangguan neurologis yakni peningkatan TIK yang mengakibatkan nyeri kepala,
mual dan muntah sehinga terjadi penurunan berat badan (Price & Wilson, 2011).
F. Diagnosis
1. Manifestasi Klinis
Secara umum gejala berupa trias ensefalitis (Mardjono & Sidharta, 2010):
a) Demam
b) Kejang
c) Kesadaran menurun
Manifestasi Klinis tergantung dari (Mardjono & Sidharta, 2010) :
a) Berat dan lokasi anatomi susunan saraf yang terlibat, misalnya :
Virus Herpes simpleks yang kerapkali menyerang korteks serebri, terutama lobus
temporalis
Virus ARBO cenderung menyerang seluruh otak.
b) Patogenesis agen yang menyerang.
c) Kekebalan dan mekanisme reaktif lain penderita.
Gejala-gejala ensefalitis viral beraneka ragam, bergantung pada masing-masing
kasus, epidemi, jenis virus dan lain-lain. Pada umumnya terdapat 4 jenis bentuk manifestasi
kliniknya yaitu :
a. Bentuk asimtomatik : gejala ringan sekali, kadang ada nyeri kepala ringan atau demam
tanpa diketahui sebabnya. Diplopia, vertigo dan parestesi juga berlangsung sepintas saja.
Diagnosis hanya ditegakkan atas pemeriksaan CSS.

37
b. Bentuk abortif : Gejala-gejala berupa nyeri kepala, demam yang tidak tinggi dan kaku
kuduk ringan. Umumnya terdapat gejala-gejala seperti infeksi saluran pernafasan bagian
atas atau gastrointestinal.
c. Bentuk fulminan : bentuk ini beberapa jam sampai beberapa hari yang berakhir dengan
kematian. Pada stadium akut: demam tinggi, nyeri kepala difus yang hebat, apatis, kaku
kuduk, disorientasi, sangat gelisah dan dalam waktu singkat masuk ke dalam koma yang
dalam. Kematian biasanya terjadi dalam 2-4 hari akibat kelainan bulbar atau jantung
d. Bentuk khas ensefalitis : bentuk ini mulai secara bertahap, gejala awal nyeri kepala
ringan, demam, gejala ISPA atau gastrointestinal selama beberapa hari. muncul tanda
radang SSP (kaku kuduk, tanda Kernig positif, gelisah, lemah dan sukar tidur). Defisit
neurologik yang timbul bergantung pada tempat kerusakan. Penurunan kesadaran
menyebabkan koma, dapat terjadi kejang fokal atau umum, hemiparesis, gangguan
koordinasi, kelainan kepribadian, disorientasi, gangguan bicara, dan gangguan mental
Gejala klinis: bersifat akut/sub akut, yaitu demam, nyeri kepala, gejala psikiatrik,
kejang, muntah, kelemahan otot fokal, hilangnya memori,gangguan status mental, fotofobia,
kelainan gerakan. Pada neonatus: gejala tampak usia 4-11 hari, yaitu letargik, malas minum,
iritabel, dan kejang. Tanda klinik: gangguan kesadaran, demam, disfasia, ataxia, kejang
fokal-general, hemiparesis, gangguan saraf otak, hilangnya lapangan pandang dan papil
edema.
Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi umum
dengan tanda-tanda meningkatnya tekanan intrakranial yaitu : nyeri kepala yang kronik dan
progresif, muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun. Pada pemeriksaan
mungkin terdapat edema papil. Tanda-tanda defisit neurologis tergantung pada lokasi dan
luasnya abses (Mardjono & Sidharta, 2010).
G. Diagnosis Banding
Meningitis bakterial
Stroke
Tumor otak
Abses ekstradural
Abses subdural
Infiltrasi neoplasma
Trauma kepala pada daerah epidemi

38
Ensefalopati
Sindrom Reye
H. Penatalaksanaan
Farmakologis
1. Mengatasi kejang Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi,
perlu diberikanDiazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3 menit.
2. Memperbaiki homeostatis : infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S (tergantung
umur) dan pemberian oksigen.
3. Mengurangi edema serebri dan akibat yang ditimbulkan oleh anoksia
serebrim : Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3 dosis.
4. Menurunkan tekanan intracranial : Manitol diberikan intravena dengan dosis 1,5-2,0
g/kgBB selama 30-60 menit, diulang setiap 8-12 jam.Gliser ol, melalui pipa
nasogastrik, 0,5-1,0 ml/kgbb diencerkan dengan dua bagian sari jeruk, dapat diulangi
setiap 6 jam untuk waktu lama
5. Pengobatan kausatif. Sebelum berhasil menyingkirkan etiologi bakteri diberikan
antibiotik parenteral. Pengobatan untuk ensefalitis karena infeksi virus herpes
simplek Acyclovir intravena, 10 mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb per hari selama 10
hari (Underwood, 2009).
Non farmakologis
1. Fisioterapi dan upaya rehabilitative
2. Makanan tinggi kalori protein
3. Lain-lain: perawatan yang baik, konsultan dini dengan ahli anestesi untuk
pernapasan buatan
I. Komplikasi
Susunan saraf pusat : kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik, penglihatan dan
pendengaran
Sistem kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat terlibat secara
menetap
Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan koreoatetoid),
hidrosefalus maupun gangguan mental sering terjadi.
Komplikasi pada bayi biasanya berupa hidrosefalus, epilepsi, retardasi mental karena
kerusakan SSP berat (Snell, 2012).

39
J. Prognosis
Angka kematian untuk ensefalitis berkisar antara 35-50%. Pasien yang
pengobatannya terlambat atau tidak diberikan antivirus (pada ensefalitis Herpes Simpleks)
angka kematiannya tinggi bisa mencapai 70-80%. Pengobatan dini dengan asiklovir
akan menurukan mortalitas menjadi 28%. Sekitar 25% pasien ensefalitis meninggal pada
stadium akut. Penderita yang hidup 20-40%nya akan mempunyai komplikasi atau gejala
sisa (Mardjono & Sidharta, 2010).
Gejala sisa lebih sering ditemukan dan lebih berat pada ensefalitis yang tidak diobati.
Keterlambatan pengobatan yang lebih dari 4 hari memberikan prognosis buruk, demikian
juga koma. Pasien yang mengalami koma seringkali meninggal atau sembuh dengan gejala
sisa yang berat. Banyak kasus ensefalitis adalah infeksi dan recovery biasanya cepat
ensefalitis ringan biasanya pergi tanpa residu masalah neurologi. Dan semuanya 10% dari
kematian ensefalitis dari infeksinya atau komplikasi dari infeksi sekunder . Beberapa
bentuk ensefalitis mempunyai bagian berat termasuk herpes ensefalitis dimana mortality
15-20% dengan treatment dan 70-80% tanpa treatment (Mardjono & Sidharta, 2010).
II.6 Gullain Barre Syndrome (GBS)
A. Definisi
GuillainBarr Syndrome merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses
imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. GuillainBarr Syndrome
adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf
perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi.
Dapat diambil kesimpulan bahwa GuillainBarr Syndrome merupakan suatu sindroma
klinis yang ditandai adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses
autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis
(Seneviratne,2003).
B. Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya
dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan
mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain infeksi, vaksinasi,
pembedahan, penyakit sistematik seperti keganasan; systemic lupus erythematosus; tiroiditis;
penyakit Addison, serta kehamilan atau dalam masa nifas. GBS sering sekali berhubungan
dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini

40
sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti
infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal (Yuki & Hartung, 2012;
Pritchard, 2010).
Tabel 1. Infeksi Akut yang Berhubungan dengan GBS
Infeksi Definite Probable Possible
Virus CMV HIV Influenza
EBV Varicella- Zoster Measles
Smallpox Mumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Bakteri Campylobacter Typhoid Paratyphoid
jejuni Brucellosis
Mycoplasma Chlamydia
Pneumonia Legionella
Listeria

C. Epidemiologi
Sepuluh studi melaporkan kejadian pada anak-anak (0-15 tahun), dan menemukan
kejadian tahunan menjadi antara 0,34, dan 1.34/100000. Kebanyakan penelitian menyelidiki
populasi di Eropa dan Amerika Utara dan melaporkan angka kejadian serupa tahunan, yaitu
antara 0,84 dan 1.91/100000. Rata-rata pertahun 1-3/100.000 populasi dan perempuan lebih
sering terkena daripada laki-laki dengan perbandingan rasio perempuan : laki-laki = 1,5 : 1
untuk semua usia. Penurunan insiden selama waktu antara tahun 1980-an dan 1990-an
ditemukan. Sampai dengan 70% dari kasus Guillain-Barr Syndrome disebabkan oleh
infeksi anteseden (Ropper & Brown, 2005).
Inflamasi akut demielinasi poliradikuloneuropati (AIDP) adalah bentuk paling umum
di negara-negara barat dan berkontribusi 85% sampai 90% kasus. Kondisi ini terjadi pada
semua umur, meskipun jarang pada masa bayi. Usia termuda dan tertua dilaporkan adalah
masing-masing 2 bulan dan 95 tahun. Usia rerata onset adalah sekitar 40 tahun, dengan
kemungkinan dominasi laki-laki (Ropper & Brown, 2005). Guillain-Barr Syndrome adalah
penyebab paling umum dari acute flaccid paralysis pada anak-anak. Acute Motor Axonal
Neuropathy (AMAN) sering didapatkan di daerah Jepang dan Cina, terutama pada orang
muda. Hal ini terjadi lebih sering selama musim panas, sporadis AMAN seluruh dunia
mempengaruhi 10% sampai 20% pasien dengan Guillain-Barr Syndrome. Miller-Fisher
syndrome mempengaruhi antara 5% dan 10% pasien GBS di negara-negara barat, tetapi

41
lebih umum di Asia Timur, dengan 25% terjadi di Jepang dan 19% di Taiwan (Ropper &
Brown, 2005).
D. Patomekanisme
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui dengan pasti.
Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindrom ini
adalah melalui mekanisme imun. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan
mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindrom ini adalah (Ropper & Brown,
2005):
a. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity)
terhadap agen infeksious pada saraf tepi,
b. Adanya auto-antibody terhadap sistem saraf tepi,
c. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh
darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon imunitas seluler
dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering
adalah infeksi virus.

42
Gambar 3. Patogenesis dan fase klinikal dari GBS

Gambar 4. Lokasi GBS yang menyerang sistem nervus perifer.


E. Klasifikasi
GBS diklasifikasikan sebagai berikut (Seneviratne,2003) :
1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
AIDP adalah jenis paling umum ditemukan pada GBS, yang juga cocok dengan gejala asli
dari sindrom tersebut. Manifestasi klinis paling sering adalah kelemahan anggota gerak
proksimal dibanding distal. Saraf kranialis yang paling umum terlibat adalah nervus facialis.
Penelitian telah menunjukkan bahwa pada AIDP terdapat infiltrasi limfositik saraf perifer
dan demielinasi segmental makrofag.
2. Acute Motor Axonal Neuropathy
Jenis ini lebih menonjol pada kelompok anak-anak, dengan ciri khas degenerasi motor axon.
Klinisnya, ditandai dengan kelemahan yang berkembang cepat dan sering dikaitkan dengan
kegagalan pernapasan, meskipun pasien biasanya memiliki prognosis yang baik. Sepertiga
dari pasien dengan AMAN dapat hiperrefleks, tetapi mekanisme belum jelas. Disfungsi
sistem penghambatan melalui interneuron spinal dapat meningkatkan rangsangan neuron
motorik.
3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy
AMSAN adalah penyakit akut yang berbeda dari AMAN, AMSAN juga mempengaruhi
saraf sensorik dan motorik. Pasien biasanya usia dewasa, dengan karakteristik atrofi otot.
Dan pemulihan lebih buruk dari AMAN.

43
4. Miller Fisher Syndrome
Miller Fisher Syndrome adalah karakteristik dari triad ataxia, arefleksia, dan oftalmoplegia.
Kelemahan pada ekstremitas, ptosis, facial palsy, dan bulbar palsy mungkin terjadi pada
beberapa pasien. Hampir semua menunjukkan IgG auto antibodi terhadap ganglioside
GQ1b. Kerusakan imunitas tampak terjadi di daerah paranodal pada saraf kranialis III, IV,
VI, dan dorsal root ganglia.
5. Acute Neuropatic panautonomic
Acute Neuropatic panautonomic adalah varian yang paling langka pada GBS. Kadang-
kadang disertai dengan ensefalopati. Hal ini terkait dengan tingkat kematian tinggi, karena
keterlibatan kardiovaskular, dan terkait disritmia. Gangguan berkeringat, kurangnya
pembentukan air mata, mual, disfaga, sembelit dengan obat pencahar atau bergantian dengan
diare sering terjadi pada kelompok pasien ini. Gejala nonspesifik awal adalah kelesuan,
kelelahan, sakit kepala, dan inisiatif penurunan diikuti dengan gejala otonom termasuk
ortostatik ringan. Gejala yang paling umum saat onset berhubungan dengan intoleransi
ortostatik, serta disfungsi pencernaan.
6. Ensefalitis Batang Otak Bickerstaffs (BBE)
Tipe ini adalah varian lebih lanjut dari GBS. Hal ini ditandai dengan onset akut
oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperrefleks atau babinsky sign. Perjalanan
penyakit dapat monophasic atau terutama di otak tengah, pons, dan medula. BEE meskipun
presentasi awal parah biasanya memiliki prognosis baik. MRI memainkan peran penting
dalam diagnosis BEE. Sebagian besar pasien BEE telah dikaitkan dengan GBS aksonal,
dengan indikasi bahwa dua gangguan yang erat terkait dan membentuk spectrum lanjutan
(Ropper & Brown, 2005).
F. Tanda dan Gejala
1. Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris secara natural.
Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai atas. Otot-otot
proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh, bulbar, dan otot
pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot pernapasan dengan sesak napas
mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama beberapa hari sampai
minggu. Keparahan dapat berkisar dari kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan
kegagalan ventilasi (Yuki & Hartung, 2012 ; Pritchard, 2010).

44
2. Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan GBS. Saraf kranial III-VII
dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk sebagai berikut;
wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias, Dysarthria, Disfagia,
Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya
muncul setelah tubuh dan tungkai yang terkena. Varian Miller-Fisher dari GBS adalah unik
karena subtipe ini dimulai dengan defisit saraf kranial (Yuki & Hartung, 2012 ; Pritchard,
2010).
3. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori cenderung
minimal dan variabel.7 Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau perubahan
sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan. Parestesia umumnya dimulai
pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar
pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan
nyeri distal dapat hadir (Yuki & Hartung, 2012 ; Pritchard, 2010).
4. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan GBS, 89% pasien melaporkan nyeri
yang disebabkan GBS pada beberapa waktu selama perjalanannya. Nyeri paling parah dapat
dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan
sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut. Gejala
dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan penyakit
mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi
shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas bawah daripada di ekstremitas
atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri
lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien dengan GBS adalah sebagai berikut;
Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya,
tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus) (Yuki & Hartung, 2012; Pritchard, 2010).
5. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan parasimpatis
dapat diamati pada pasien dengan GBS. Perubahan otonom dapat mencakup sebagai berikut;
Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi paroksimal, Hipotensi ortostatik,
Anhidrosis dan / atau diaphoresis. Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis

45
lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan. Disautonomia lebih sering pada pasien
dengan kelemahan dan kegagalan pernafasan yang parah (Yuki & Hartung, 2012 ; Pritchard,
2010).
6. Pernapasan
Empat puluh persen pasien GBS cenderung memiliki kelemahan pernafasan atau
orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut; dispnea saat
aktivitas, sesak napas, kesulitan menelan, bicara cadel. Kegagalan ventilasi yang
memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga dari pasien di
beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal
yang kuat menyokong diagnosa: Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau
terjadi peningkatan pada LP serial; jumlah sel CSS < 10 MN/mm3;Varian ( tidak ada
peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala dan Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3).
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnose adalah perlambatan konduksi saraf
bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal (Yuki &
Hartung, 2012 ; Pritchard, 2010).
e. Diagnosis Banding
Gejala klinis GBS biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan criteria
diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus dibedakan dengan
keadaan lain, seperti Mielitis akuta, Poliomyelitis anterior akuta, Porphyria intermitten
akuta, dan Polineuropati post difteri (Ropper & Brown, 2005).
f. Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu
dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi
sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi
beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi)
(Yuki & Hartung, 2012; Pritchard, 2010) :
1) Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.

46
2) Plasmafaresis
Plasmafaresis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada GBS memperlihatkan hasil
yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang
lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan
mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat
bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
3) Pengobatan imunosupresan:
Imunoglobulin IV (IVIg)
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan
plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4
gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap
15 hari sampai sembuh.
Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah(Ropper & Brown, 2005):
a) 6 merkaptopurin (6-MP)
b) azathioprine
c) cyclophosphamide
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
g. Prognosis
Pada umumnya, sekitar 3% sampai 5% pasien tidak dapat bertahan dengan
penyakitnya, tetapi pada sebagian kecil penderita dapat bertahan dengan gejala sisa. 95%
terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain
pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal, mendapat terapi plasmaparesis dalam 4
minggu mulai saat onset, progresifitas penyakit lambat dan pendek, dan terjadi pada
penderita berusia 30-60 tahun (Seneviratne, 2003).
II.7 Trauma Capitis
A. Definisi
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah cedera mekanik yang secara langsung atau
tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis (Perdossi, 2016).

47
B. Etiologi
Trauma pada kepala dapat terjadi akibat beberapa faktor, antara lain (Langlois,
2006):
1. Trauma Kepala Primer
Trauma kepala primer merupakan efek langsung trauma pada fungsi otak, dimana
kerusakan neurologis langsung disebabkan oleh suatu benda/serpihan tulang yang
menembus/merobek jaringan otak karena efek percepatan-perlambatan.
2. Trauma Kepala Sekunder
a. Penyebab sistemik (hipotensi, hipoksia, hipertermi, hiponatremia).
b. Penyebab intrakranial (TIK meningkat, hematom, edema, kejang, vasospasme dan
infeksi).
C. Epidemiologi
Tahun 1995-2001 Amerika Serikat mencatat 235.000 penderita cedera otak ringan
dirawat setiap tahunnya, 1,1 juta mendapat perawatan di unit gawat darurat, 50.000 (3,6%)
pasien meninggal. Faktor resiko utama cedera otak adalah umur, ras, dan tingkat
sosioekonomi yang rendah. Angka kejadian laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Di Asia pada tahun 2002 pensentase cedera otak karena kecelakaan lalu lintas sebesar 60%
kasus, 20-30% karena terjatuh dari ketinggian, dan penyebab lainnya 10%. Pada penelitian
yang dilakukan pada tahun 2006 menunjukkan cedera dan luka berada di urutan 6 dari total
kasus yang masuk rumah sakit di seluruh Indonesia dengan jumlah mencapai 340.000 kasus,
namun belum ada data pasti mengenai porsi cedera otak. Dari penelitian yang dilakukan
pada beberapa rumah sakit diperoleh data pada tahun 2005 RS. Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta, kasus cedera otak mencapai 434 pasien cedera otak ringan, 315 pasien
cedera otak sedang, kasus dengan mortalitas sebanyak 23 kasus (Zamzami, 2013).
Rumah Sakit Pirngadi Medan pada tahun 1995-1998 berdasarkan tingkat
keparahannya dijumpai cedera otak ringan 60,3% (2463 kasus), cedera otak sedang 27,3%
(1114 kasus) dan cedera otak berat 12,4% (505 kasus) sedangkan angka kematian akibat
cedera otak sebesar 11% (448 kasus), pada tahun 2002-2003 dijumpai cedera otak 1095
kasus dengan kematian 92 kasus (Case Fatality Rate/CFR 8,4%), RS. Adam Malik jumlah
680 kasus dengan jumlah kematian 66 orang (CFR 9,7%), RS. Haji Medan pada tahun 200-
2007 sebanyak 11,7%.6 Salah satu penilaian derajat keparahan cedera otakdengan

48
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS), GCS sering digunakan karena mudah untuk
dinilai. Outcome dapat dinilai dengan menggunakan GCS (Zamzami, 2013).
D. Patomekanisme
Mekanisme cedera memegang peranan penting dalam menentukan berat-ringannya
konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika
benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat benda
tumpul atau karena terkena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah
bila kepala membentur objek yang secara relative tidak bergerak, seperti badan mobil atau
tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala
tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar
dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak (Werner,
2007).
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan mungkin karena memar pada
permukaan otak, leserasi substansia alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan auto regulasi serebral (peningkatan
volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan intracranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi (Werner, 2007).
E. Tanda dan Gejala
Menurut (Blyth, 2010) gambaran klinis trauma kepala yaitu :
a. Komosio Cerebri
1) Penderita pingsan sebentar (kurang dari 10 menit)
2) Nyeri kepala
3) Pusing
4) Mual, muntah
5) Setelah sadar, penderita menunjukkan gejala-gejala retrograde amnesia (lupa akan
kejadian-kejadian pada waktu beberapa saat sebelum terjadinya kecelakaan)
b. Kontusio Cerebri
1) Penderita pingsan selama berjam-jam, bahkan berhari-hari sampai berminggu-
minggu
2) Retrograt amnesia lebih berat dan jelas

49
3) Ditemukan gejala neurologik yaitu reflek babinski positif serta kelumpuhan nyata
4) Pada keadaan berat didapatkan denyut nadi yang cepat sekali, suhu badan meningkat,
pernapasan cheyne stokes dan kesadaran menurun sampai koma.
c. Perdarahan Epidural
1) Penderita hanya pingsan sesaat, kemudian sadar kembali akan tetapi beberapa waktu
(biasanya 3x24 jam) timbul gejala-gejala progresif seperti nyeri kepala hebat,
kesadaran menurun dapat sampai koma
2) Pupil anisokor
3) Refleks patologik babinski ditemukan unilateral
4) Ditemukan tanda-tanda gangguan traktus piramidalis seperti hemipareses, refleks
tendon yang meninggi dibandingkan dengan sisi kontralateral.
d. Perdarahan Subdural
1) Nyeri kepala yang makin lama makin berat biasanya di daerah dehidrasi, edema
papila nervus optikus (papil edema)
2) Derajat gangguan kesadaran berbeda-beda tergantung kepada kerusakan yang
terdapat di otak.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rontgen polos
Pada trauma kapitis perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna vertebralis
servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila lesi terdapat di daerah
oksipital, buatkan foto anterior-posterior dan bila lesi pada kulit terdapat di daerah frontal
buatkan foto posterior-anterior. Bila lesi terdapat pada daerah temporal, pariental atau
frontal lateral kiri, film diletakkan pada sisi kiri dan dibuat foto lateral dari kanan ke kiri.
Kalau diduga ada fraktur basis kranii, maka dibuatkan foto basis kranii dengan kepala
menggantung dan sinar rontgen terarah tegak lurus pada garis antar angulus mandibularis
(tulang rahang bawah). Foto kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior dan
lateral untuk melihat adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak mungkin
dapat ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan intrakranial yang tinggi
mungkin menimbulkan impressions digitae (Iskandar, 2007).
2. Compute Tomografik Scan (CT-Scan)
CT-Scan diciptakan oleh Hounsfield dan Ambrose pada tahun 1972. Dengan
pemeriksaan ini kita dapat melihat ke dalam rongga tengkorak. Potongan-potongan

50
melintang tengkorak bersama isinya tergambar dalam foto dengan jelas. Indikasi
pemeriksaan CT-Scan pada penderita trauma kapitis (Iskandar, 2007):
a. GCS < 15 atau terdapat penurunan kesadaran
b. Trauma kapitis ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak
c. Adanya tanda klinis fraktur basis kranii
d. Adanya kejang
e. Adanya tanda neurologis fokal
f. Sakit kepala yang menetap
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat memberikan foto berbagai kelainan parenkim otak dengan lebih jelas.
Beberapa keuntungan MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu lebih baik dalam menilai
cedera sub-akut, termasuk kontusio, shearing injury, dan sub dural hematoma, lebih baik
dalam menilai dan melokalisir luasnya kontusio dan hematoma secara lebih akurat karena
mampu melakukan pencitraan dari beberapa posisi, dan lebih baik dalam pencitraan cedera
batang otak. Sedangkan kerugian MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu: membutuhkan
waktu pemeriksaan lama sehingga membutuhkan alat monitoring khusus pada pasien trauma
kapitis berat, kurang sensitif dalam menilai perdarahan akut, kurang baik dalam penilaian
fraktur, perdarahan subarachnoid dan pneumosefalus minimal dapat terlewatkan (Iskandar,
2007).
G. Diagnosis Banding
Jika riwayat trauma kurang jelas dan pasien tidak sadar, kita harus membedakan
cedera kepala tertutup dengan penyebab lainnya, seperti: koma diabetik, koma alkoholik,
CVD atau epilepsi (jika pasien kejang) (Blyth, 2010).
H. Penatalaksanaan
Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat/emergensi didasarkan
atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap 6 B, yakni (Unair, 2014):
1. Breathing
Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan penderita. Adanya obstruksi
jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan: suction, inkubasi,
trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu, merupakan tindakan
yang berperan penting sehubungan dengan edema cerebri.

51
2. Blood
Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb,
leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya
suatu peninggian tekanan intracranial, sebaliknya tekanan darah yang menurun dan
makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok hipovolemik akibat perdarahan
(yang kebanyakan bukan dari kepala/otak) dan memerlukan tindakan transfusi.
3. Brain
Penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata, motorik dan verbal
(GCS). Perubahan respon ini merupakan implikasi perbaikan/perburukan kiranya perlu
pemeriksaan lebih mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran, bentuk dan reaksi
terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata.
4. Bladder
Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat bahwa
kandung kemih yang penuh merupakan suatu rangsangan untuk mengedan sehingga
tekanan intracranial cenderung lebih meningkat.
5. Bowel
Seperti halnya di atas, bahwa yang penuh juga cenderung dapat meninggikan TIK.
6. Bone
Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder infeksi.
I. Prognosis
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter
mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita.
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup
untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-
pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai
tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi
masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan
CT Scan kepala (Nasution, 2014).
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi dan sisanya dirawat secara konservatif. Prognosis pasien
cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat
(Nasution, 2014).

52
II.8 Tumor
A. Definisi
Tumor otak atau tumor intrakranial merupakan neoplasma atau proses desak ruang
(space occupying lession atau space taking lession) yang timbul di dalam rongga tengkorak
baik di dalam kompartemen supratentorial maupun infratentorial (Desen, 2008).
B. Etiologi
Penyebab tumor otak hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti, walaupun
telah banyak penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang perlu ditinjau sebagai
penyebab tumor otak, sebagai berikut (Desen, 2008):
1. Herediter
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali pada
meningioma, astrositoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada anggota-anggota
sekeluarga. Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-Weber yang dapat dianggap sebagai
manifestasi pertumbuhan baru, memperlihatkan faktor familial yang jelas. Selain jenis-
jenis neoplasma tersebut tidak ada bukti-bukti yang kuat untuk memikirkan adanya
faktor-faktor herediter yang kuat pada neoplasma.
2. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)
Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan yang
mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Tetapi ada kalanya
sebagian dari bangunan embrional tertinggal dalam tubuh, menjadi ganas dan merusak
bangunan di sekitarnya. Perkembangan abnormal itu dapat terjadi pada
kraniofaringioma, teratoma intrakranial dan kordoma.
3. Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat mengalami perubahan
degenerasi, namun belum ada bukti radiasi dapat memicu terjadinya suatu glioma.
Pernah dilaporkan bahwa meningioma terjadi setelah timbulnya suatu radiasi.Selain itu
pada pasien-pasien penderita tinea kapitis yang medapat radiasi kepala jangka panjang
4. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan besar yang dilakukan
dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi virus dalam proses terjadinya
neoplasma, tetapi hingga saat ini belum ditemukan hubungan antara infeksi virus dengan
perkembangan tumor pada sistem saraf pusat.

53
5. Substansi-substansi Karsinogenik
Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas dilakukan. Kini telah
diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti methylcholanthrone, nitroso-ethyl-
urea. Ini berdasarkan percobaan yang dilakukan pada hewan.
C. Epidemiologi
Tumor primer biasanya timbul dari jaringan otak, meningen, hipofisis dan selaput
myelin. Tumor sekunder berasal adalah tumor metastasis yang biasa berasal dari hampir
semua tumor pada tubuh. Tumor metastasis SSP yang melalui perderan darah yaitu yang
paling sering adalah tumor paru-paru dan prostat, ginjal, tiroid, atau traktus digestivus,
sedangkan secara perkontinuitatum masuk ke ruang tengkorak melalui foramina basis kranii
yaitu infiltrasi karsinoma anaplastik nasofaring (Fisher et al, 2007).
Pada umumnya tumor otak primer tidak memiliki kecenderungan bermetastasis,
hanya satu yaitu meduloblastoma yang dapat bermetastasis ke medulla spinalis dan
kepermukaan otak melalui peredaran likuor serebrospinalis. Perbandingan tumor otak primer
dan metastasis adalah 4:1 (Fisher et al, 2007).
Tumor otak primer (80 %), sekunder (20 %). Tumor primer kira-kira 50% adalah
glioma, 20 % meningioma, 15 % adenoma dan 7 % neurinoma. Pada orang dewasa 60 %
terletak di supratentorial, sedangkan pada anak-anak 70 % terletak di infratentorial. Tumor
yang paling banyak ditemukan pada anak adalah tumor serebellum yaitu meduloblastoma
dan astrositoma. Statistik primer adalah 10 % dari semua proses neoplasma dan terdapat 3
7 penderita dari 100.000 orang penduduk (Fisher et al, 2007).
D. Patomekanisme
Patogenesis tumor sistem saraf pusat, misalnya Glioma, pada dasarnya melibatkan
gen-gen yang menyebabkan inisiasi, diferensiasi, dan proliferasi sel-sel tumor. Gen ini
mengkode factor pertumbuhan dan reseptornya, protein second messenger, yang
mempengaruhi control siklus sel, apoptosis dan nekrosis, factor transkripsi dan protein
memediasi angiogenesis dan interaksi antara tumor dan matriks ekstraseluler. Keterlibatan
onkogen (overekspresi) dan inaktivasi tumor suppressor genes berperan dalam pathogenesis
pasien ini (Adams, 2012).

54
Gambar 5. Patogenesis Tumor Otak

E. Tanda dan Gejala


Perubahan pada parenkim intrakranial baik difus maupun regional akan
menampilkan gejala dan tanda gangguan neurologis sehubungan dengan gangguan pada
nukleus spesifik tertentu atau serabut traktus pada tingkat neurofisiologi dan neuroanatomi
tertentu seperti gejala-gejala: kelumpuhan, gangguan mental, gangguan endokrin, dan
sebagainya. Persentasi klinis sering kali dapat mengarahkan perkiraan kemungkinan lokasi
tumor otak. Secara umum persentasi klinis pada kebanyakan kasus tumor otak merupakan
manifestasi dari peninggian tekanan intrakranial; namun sebaliknya gejala neurologis yang
bersifat progresif, walaupun tidak jelas ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial,
perlu dicurigai adanya tumor otak (Black, 1991).
Tekanan Tinggi Intrakranial
Trias gejala klasik dari sindroma tekanan tinggi intrakranial adalah: nyeri kepala,
muntah proyekil, dan papiledema. Keluhan nyeri kepala disini cenderung bersifat
intermittent, tumpul, berdenyut dan tidak begitu hebat terutama di pagi hari karena selama
tidur malam PCO2 serebral meningkat sehingga mengakibatkan peningkatan CBF (Cerebral
Blood Flow) dan dengan demikian mempertinggi tekanan intrakranial. Juga lonjakan
sejenak seperti karena batuk, mengejan atau berbangkis memperberat nyeri kepala. Nyeri
dirasa berlokasi di sekitar daerah frontal atau oksipital. Penderita sering kali disertai muntah
yang menyemprot (proyektil) dan tidak didahului oleh mual. Hal ini terjadi oleh karena

55
tekanan intrakranial yang menjadi lebih tinggi selama tidur malam, akibat PCO2 serebral
meningkat. Tumor otak pada bayi yang menyumbat aliran likuor serebrospinal sering kali
ditampilkan dengan pembesaran lingkar kepala yang progresif dan ubun-ubun besar yang
menonjol; sedangkan pada anak-anak yang lebih besar di mana suturanya relative sudah
merapat, biasanya gejala papiledema terjadi lebih menonjol. Papiledema dapat timbul pada
tekanan intrakranial yang meninggi atau akibat penekanan pada nervus optikus oleh tumor
secara langsung. Papiledema memperlihatkan kongesti venosa yang jelas, dengan papil yang
berwarna merah tua dan perdarahan-perdarahan di sekitarnya (Black, 1991).
Kejang
Gejala kejang pada tumor otak khususnya di daerah supratentorial dapat berupa
kejang umum, psikomotor ataupun kejang fokal. Kejang dapat merupakan gejala awal yang
tunggal dari neoplasma hemisfer otak dan menetap untuk beberapa lama sampai gejala
lainnya timbul. Perlu dicurigai penyebab bangkitan kejang adalah tumor otak bila (Black,
1991):
Bangkitan kejang pertama kali pada usia lebih dari 25 tahun
Mengalami post iktal paralisis
Mengalami status epilepsi
Resisten terhadap obat-obat epilepsi
Bangkitan disertai dengan gejala TTIK lain
Bangkitan kejang ditemui pada 70% tumor otak di korteks, 50% pasien dengan
astrositoma, 40% pada pasen meningioma, dan 25% pada glioblastoma.
Perdarahan Intrakranial
Bukanlah suatu hal yang jarang bahwa tumor otak diawali dengan perdarahan
intrakranial-subarakhnoid, intraventrikuler atau intraserebral (Black, 1991).
Gejala Disfungsi Umum
Abnormalitas umum dari fungsi serebrum bervariasi mulai dari gangguan fungsi
intelektual yang tak begitu hebat sampai dengan koma. Penyebab umum dari disfungsi
serebral ini adalah tekanan intrakranial yang meninggi dan pergeseran otak akibat gumpalan
tumor dan edema perifokal di sekitarnya atau hidrosefalus sekunder yang terjadi (Black,
1991).

56
Gejala Neurologis Fokal
Perubahan personalitas atau gangguan mental biasanya menyertai tumor-tumor yang
terletak di daerah frontal, temporal, dan hipotalamus, sehingga sering kali penderiita-
penderita tersebut diduga sebagai penyakit nonorganik atau fungsionil. Gejala afasia agak
jarang dijumpai, terutama pada tumor yang berada di hemisfer kiri (dominan). Tumor-tumor
daerah supraselar, nervus optikus dan hpotalamus dapat mengganggu akuitas visus.
Kelumpuhan saraf okulomotorius merupakan tampilan khas dari tumor-tumor paraselar, dan
dengan adanya tekanan intracranial yang meninggi kerap disertai dengan kelumpuhan saraf
abdusens. Nistagmus biasanya timbul pada tumor-tumor fosa posterior; sedangkan tumor-
tumor supraselar atau paraselar kadang (jarang sekali) menyebabkan gejalapatognomonik
berupa nistagmus gergaji (seesaw nystagmus); gerakan mata diskonjugat, ventrikal dan
rotasional di mana masing-masing mata geraknya saling berlawanan. Kelemahan wajah dan
hemiparesis yang berkaitan dengan gangguan sensorik serta kadang ada efek visual
merupakan refleksi kerusakan yang melibatkan kapsula interna atau korteks yang terkait.
Ataksia trukal adalah pertanda suatu tumor fosa posterior yang terletak di garis tengah.
Gangguan endokrin menunjukkan adanya kelainan pada hipotalamus-hipofise (Black, 1991).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sken magnet (MRI) dan sken tomografi computer merupakan
pemeriksaan terpilih untuk mendeteksi adanya tumor-tumor intrakranial. Teknik pencitraan
CT scan dan MRI konvensional memberikan informasi tentang lokasi anatomis dan struktur
tumor makroskopis. Dalam hal ini dapat diketahui secara terperinci letak lokasi tumor dan
pengaruhnya terhadap jaringan sekitarnya, bahkan pada kasus-kasus tertentu dapat pula
diduga jenisnya dengan akurasi yang hampir tepat (Desen, 2008).
Pemeriksaan konvensional seperti: foto polos kepala, EEG, ekhoensefalografi, dan
pemeriksaan penunjang diagnostic yang invasive seperti: angiografi serebral,
pneumoensefalografi sudah jarang diterapkan, kecuali pada keadaan-keadaan darurat dengan
Kendala fasilitas pemeriksaan mutakhir di atas tidak ada atau sebagai pembantu perencanaan
teknik pembedahan otak (Dessen, 2008).
G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari tumor otak sendiri antara lain, sebagai berikut (Kemenkes,
2016):
a) Tumor otak primer

57
b) Tumor otak metastasis
c) Tuberkuloma
d) Toksoplasma
e) Limfoma
H. Penatalaksanaan
Pemilihan tindakan penanganan yang dapat dilakukan pada penderita tumor otak
tergantung dari beberapa faktor, antara lain (Hakim, 2005):
a) Kondisi umum penderita
b) Tersedianya alat yang lengkap
c) Pengertian penderita dan keluarga
d) Luasnya metastasis
Adapun terapi dan modalitas penanganan terhadap tumor otak mencakup tindakan-
tindakan (Hakim, 2005):
1. Terapi Kortikosteroid
Biasanya deksametason diberikan 4 20 mg intravena setiap 6 jam untuk mengatasi
edema vasogenik (akibat tumor) yang menyebabkan TTIK. Peranan nya masih kontroversial
dalam terapi TTIK. Beberapa efek samping yang dapat timbul adalah berkaitan dengan
penggunaan steroid lama seperti: penurunan kekebalan, supresi adrenal, hiperglikemia,
hipokalemia, alkalosis metabolic, retensi cairan, penyembuhan luka yang terlambat,
psikosis, miopatia, ulserasi lambung, dan hipertensi.
2. Terapi operatif
Tindakan yang bertujuan untuk mendapatkan diagnosa pasti dan dekompresi internal,
mengingat bahwa obat-obatan antiedema otak tidak dapat diberikan secara terus-menerus.
Persiapan prabedah, penanganan pembiusan, teknik operasi dan penanganan pascabedah
sangat berperan penting dalam menentukan keberhasilan penanganan operatif terhadap
tumor otak.
3. Terapi konservatif
a. Radioterapi
Tindakan ini untuk tumor-tumor susunan saraf pusat kebanyakan menggunakan sinar
X dan sinar Gamma, disamping juga radiasi lainnya seperti: proton, partikel alfa, neutron,
dan pimeson. Keberhasilan terapi radiasi pada tumor ganas otak diperankan oleh beberapa
faktor:

58
a) Terapi yang baik dan tidak melukai struktur kritis lainnya
b) Sensitivitas sel tumor dengan sel normal
c) Tipe sel yang disinar
d) Metastasis yang ada
e) Kemampuan sel normal untuk repopulasi, dan
f) Restrukturisasi dan reparasi sel kanker sewaktu interval antarfraksi radiasi.
b. Kemoterapi
Peranan kemoterapi tunggal untuk tumor ganas otak masih belum mempunyai nilai
keberhasilan yang bermakna sekali. Saat ini yang menjadi titik pusat perhatian modalitas
terapi ini adalah tumor-tumor otak jenis astrositoma (Grade III dan IV) glioblastoma dan
astrositoma anaplastik beserta variannya. Ada beberapa obat kemoterapi untuk tumor ganas
otak yang saat ini beredar di kalangan medis yaitu: HU (hidroksiurea), 5-FU (5-
Fluorourasil), PCV (prokarbazin, CCNU, Vincristine), Nitrous Urea (PCNU,
BCNU/Karmustin, CCNU/lomustin, MTX (metotrksat), DAG (dianhidrogalaktitol) dan
sebagainya. Potensi kemoterapi pada susunan saraf di samping didasarkan oleh farmakologi
sendiri juga perlu dipertimbangkan aspek farmakokinetiknya (transportasi obat mencapai
target) mengingat adanya sawar darah otak. Pemberian kemoterapi dapat dilakukan melalui
intra-arterial (infuse, perfusi), melalui intratekal/intraventrikuler (punksi lumbal, punksi
sisterna, via pudentz/omyama reservoir) atau intra tumoral.
c. Immunoterapi
Yang mendasari modalitas terapi ini adalah anggapan bahwa tumbuhnya suatu tumor
disebabkan oleh adanya gangguan fungsi immunologi tubuh sehingga diharapkan dengan
melakukan restorasi sistem imun dapat menekan dapat menekan pertumbuhan tumor.
I. Prognosis
Prognosis tergantung jenis tumor spesifik, dengan diagnosis dini dan juga
penanganan yang tepat melalui pembedahan dilanjutkan dengan radioterapi, angka
ketahanan hidup 5 tahun (5 years survival) berkisar 50-60% dan angka ketahanan hidup 10
tahun (10 years survival) berkisar 30-40% (Black, 1991).

59
II.9 Syok Neurogenik
A. Definisi
Syok merupakan sebagai suatu keadaan yang mengancam jiwa yang diakibatkan
karena tubuh tidak mendapatkan suplai darah yang adekuat yang mengakibatkan kerusakan
multiorgan, Pertama pada jaringan non vital lalu kemudian ke organ vital (otak, jantung,
paru-paru, dan ginjal). Jika tidak ditangani segera, dapat memburuk dengan cepat. Syok
merupakan suatu sindroma klinis yang mencakup sekelompok keadaan dengan berbagai
manifestasi hemodinamik (Elizabeth, 2013).
Syok neurogenik merupakan syok yang terjadi akibat kegagalan pusat vasomotor
karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh, sehingga terjadi
hipotensi dan penimbunan darah pada capacitance vessels. Hasil dari perubahan resistensi
pembuluh darah sistemik ini diakibatkan oleh cedera pada sistem saraf, seperti trauma
kepala, cedera spinal, atau general anestesi yang terlalu dalam (Elizabeth, 2013).
B. Etiologi
Adapun etiologi dari syok neurogenic sebagai berikut (Godoy, 2012) :
Trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok spinal)
Rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat pada fraktur
tulang
Rangsangan pada medulla spinalis seperti penggunaan obat anestesi spinal/lumba
Trauma kepala (terdapat gangguan pada pusat otonom)
Suhu lingkungan yang panas
C. Patomekanisme
Syok neurogenik termasuk syok distributif yang terjadi karena adanya penurunan
perfusi jaringan dan menyebabkan hipotensi arterial karena terjadi penurunan resistensi
pembuluh darah sistemik. Sebab lainnya berupa penurunan efektifitas sirkulasi volume
plasma sering terjadi dari penurunan venous tone, pengumpulan darah di pembuluh darah
vena, kehilangan volume intravaskuler dan intersisial karena peningkatan permeabilitas
kapiler (Elizabeth, 2013).
Akhirnya, disfungsi miokard primer yang bermanifestasi sebagai dilatasi ventrikel,
penurunan fraksi ejeksi, dan penurunan kurva fungsi ventrikel. Pada keadaan ini akan
terdapat peningkatan aliran vaskuler dengan akibat sekunder terjadi berkurangnya cairan
dalam sirkulasi. Syok neurogenik mengacu pada hilangnya tonus simpatik. Gambaran klasik

60
pada syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi kulit (Elizabeth,
2013).
Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang mengakibatkan
vasodilatasi menyeluruh di regio splangnikus, sehingga perfusi ke otak berkurang. Reaksi
vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut atau nyeri.
Bisa juga akibat rangsangan parasimpatis ke jantung yang memperlambat kecepatan denyut
jantung dan menurunkan rangsangan simpatis ke pembuluh darah. Misalnya pingsan
mendadak akibat gangguan emosional (Elizabeth, 2013).
Pada penggunaan anestesi spinal, obat anestesi melumpuhkan kendali neurogenik
sfingter prekapiler dan menekan tonus venomotor. Penderita dengan nyeri, stress, emosi dan
ketakutan meningkatkan vasodilatasi karena mekanisme reflek yang tidak jelas yang
menimbulkan volume sirkulasi yang tidak efektif dan terjadi sinkop, syok neurogenik
disebabkan oleh gangguan persarafan simpatis descendens ke pembuluh darah yang
mendilatasi pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya hipotensi dan bradikardia
(Elizabeth, 2013).
Syok neurogenik disebabkan oleh hilangnya kontrol saraf simpatis terhadap
resistensi vaskular, sehingga terjadilah vasodilatasi arteriol dan venula secara besar-besaran
di seluruh tubuh. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, beberapa etiologi yang
mendasari terjadinya syok neurogenik antara lain adalah penggunaan zat anesthesia maupun
cidera pada medula spinalis Richard, 2013).
Bagian terpenting sistem saraf otonom bagi pengaturan sirkulasi adalah sistem saraf
simpatis. Secara anatomis, serabut-serabut saraf vasomotor simpatis meninggalkan medula
spinalis melalui semua saraf spinal toraks dan melalui satu atau dua saraf spinal lumbal
pertama. Serabut-serabut ini segera masuk ke dalam rantai simpatis yang berada di tiap sisi
korpus vertebra, kemudian menuju sistem sirkulasi melalui dua jalan utama :
Melalui saraf simpatis spesifik yang terutama mempersarafi pembuluh
darah organ viseral interna dan jantung.
Hampir segera memasuki nervus spinalis perifer yang mempersarafi
pembuluh darah perifer
Di sebagian besar jaringan, semua pembuluh darah kecuali kapiler, sfingter
prekapiler, dan sebagian besar meta arteriol diinervasi oleh saraf simpatis. Tentunya
inervasi ini memiliki tujuan tersendiri. Sebagai contoh, inervasi arteri kecil dan arteriol

61
menyebabkan rangsangan simpatis untuk meningkatkan resistensi aliran darah dan dengan
demikian menurunkan laju aliran darah yang melalui jaringan. Inervasi pembuluh darah
besar, terutama vena, memungkinkan rangsangan simpatis untuk menurunkan volume
pembuluh darah ini. Keadaan tersebut dapat mendorong darah masuk ke jantung dan dengan
demikian berperan penting dalam pengaturan pompa jantung (Richard, 2013).
Selain serabut saraf simpatis yang menyuplai pembuluh darah, serabut
simpatis juga pergi secara langsung menuju jantung. Perlu diingat kembali bahwa
rangsangan simpatis jelas meningkatkan aktivitas jantung, meningkatkan frekuensi jantung,
dan menambah kekuatan serta volume pompa jantung. Hubungan antara saraf simpatis dan
sistem sirkulasi yang baru saja dijabarkan secara singkat, sebenarnya membawa serabut
saraf vasokonstriktor dalam jumlah yang banyak sekali dan hanya sedikit serabut
vasodilator. Serabut tersebut pada dasarnya di distribusikan ke seluruh segmen sirkulasi dan
efek vasokonstriktornya terutama sangat kuat di ginjal, usus, limpa dan kulit tetapi kurang
kuat di otot rangka dan otak (Richard, 2013).
Dalam keadaan normal, daerah vasokonstriktor di pusat vasomotor terus menerus
mengantarkan sinyal ke serabut saraf vasokonstriktor seluruh tubuh, menyebabkan serabut
ini mengalami cetusan yang lambat dan kontinyu dengan frekuensi sekitar satu setengah
sampai dua impuls per detik. Impuls ini, mempertahankan keadaan kontraksi parsial dalam
pembuluh darah yang disebut tonus vasomotor. Tonus inilah yang mempertahankan tekanan
darah dalam batas normal, sehingga fungsi sirkulasi tetap terjaga untuk kebutuhan jaringan
(Richard 2013).
Melemahnya tonus vasomotor, secara langsung menimbulkan manifestasi klinis dari
syok neurogenik. Sebagai contoh, trauma pada medula spinalis segmen toraks bagian atas
akan memutuskan perjalanan impuls vasokonstriktor dari pusat vasomotor ke sistem
sirkulasi. Akibatnya, tonus vasomotor di seluruh tubuh pun menghilang (Richard 2013).
Efeknya (vasodilatasi), paling jelas terlihat pada vena-vena juga arteri kecil. Dalam
vena kecil yang berdilatasi, darah akan tertahan dan tidak kembali bermuara ke dalam vena
besar. Karena faktor ini, aliran balik vena maupun curah jantung akan menurun, dan dengan
demikian tekanan darah secara otomatis jatuh hingga nilai yang sangat rendah. Di momen
yang bersamaan, dilatasi arteriol menyebabkan lemahnya tahanan vaskular sistemik yang
seharusnya membantu memudahkan kerja jantung sebagai pompa yang mengalirkan darah

62
ke seluruh tubuh. Pada saat ini, didapatkan tanda-tanda syok neurogenik yang jalur akhirnya
tidak jauh berbeda dengan syok tipe lain (Richard 2013; Kenneth 2007).
Konsekuensi akhir dari gangguan perfusi dalam berbagai bentuk syok distributif
dapat berbeda pada tiap penderita, tergantung dari derajat dan durasi hipoperfusi, jumlah
sistem organ yang terkena, serta ada tidaknya disfungsi organ utama. Harap ditekankan
bahwa apapun tipenya, sekali syok terjadi, cenderung memburuk secara progresif. Sekali
syok sirkulasi mencapai suatu keadaan berat yang kritis, tidak peduli apa penyebabnya,
syok itu sendiri akan menyebabkan syok menjadi lebih berat. Artinya, aliran darah yang
tidak adekuat menyebabkan jaringan tubuh mulai mengalami kerusakan, termasuk jantung
dan sistem sirkulasi itu sendiri, seperti dinding pembuluh darah, sistem vasomotor, dan
bagian-bagian sirkulasi lainnya (Guyton & Hall, 2008).
D. Tanda dan Gejala
Hampir sama dengan syok pada umumnya, tetapi pada syok neurogenik terdapat
tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih lambat (bradikardi) dan
kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa quadriplegia atau paraplegia
(Duane, 2008).
Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah pasien tidak sadar nadi bertambah cepat
karena terjadinya pengumpulan darah di dalam arteriol, kapiler, dan vena, maka kulit terasa
agak hangat dan cepat berwarna kemerahan (Duane, 2008).
E. Pemeriksaan Penunjang
Darah (Hb, Ht, leukosit, Trombosit), kadar elektrolit, kadar ureum, kreatinin, glukosa
darah.
Analisa gas darah
EKG
F. Penatalaksanaan
Konsep dasar untuk syok neurogenik adalah dengan pemberian vasopressor seperti
fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter
prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul di tempat
tersebut (Duane, 2008).
1. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki
2. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan menggunakan
masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat, penggunaan ETT

63
dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini untuk menghindari pemasangan
ETT yang darurat jika terjadi distress respirasi yang berulang.
3. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan. Cairan
kristaloid NaCl 0,9% atau RL sebaiknya diberikan per infus secara cepat 250-500 cc
bolus
4. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat vasoaktif
Dopamin
Obat pilihan pertama. Pada dosis >10 mcg/kg/menit, berefek serupa dengan
norepinephrine.
Norepinefrin
Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan darah. Monitor
terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika norepinefrin gagal dalam
menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada pemberian subkutan, diserap tidak
sempurna jadi sebaiknya diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik
karena pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap
jantung (palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal
kembali. Awasi pemberian obat ini pada wanita hamil, karena dapat menimbulkan
kontraksi otot-otot uterus.
Epinefrin
Pada pemberian subkutan atau IM, diserap dengan sempurna dan dimetabolisme
cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan pengaruhnya
terhadap jantung. Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa pasien
tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan
vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok neurogenik.
Dobutamin
Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh menurunnya cardiac
output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi perifer.

64
Tabel 2. Obat Vasoaktif
Obat Dosis Cardiac Tekanan Pembuluh darah
Output darah sistemik
Dopamine 2,5-20 + + +
mcg/kg/menit
Norepinefrin 0,05-2 + ++ ++
mcg/kg/menit
Epinefrin 0,05-2 ++ ++ +
mcg/kg/menit
Fenilefrin 2-10 - ++ ++
mcg/kg/menit
Dobutamin 2,5-10 + +/- -
mcg/kg/menit

II.10 Status Konvulsivus


A. Definisi
Status konvulsivus adalah kejang konvulsif yang berlangsung lebih dari 30 menit
atau kejang berulang selama lebih dari 30 menit. Pada status konvulsivus, selama kejang
pasien tidak sadar (Rilianto, 2015).
B. Etiologi
Penentuan etiologi konvulsi berperan penting dalam tatalaksana konvulsi
selanjutnya. Penyebab konvulsi pada seorang pasien lebih dari satu. Berikut etiologi
konvulsi (Rilianto, 2015):
Infeksi
Keracunan
Gangguan metabolik
Penghentian obat antiepilepsi
Trauma kepala
Lain-lain: enselofati hipertensi, tumor otak, perdarahan intracranial, idiopatik
C. Epidemiologi
Penelitian epidemiologi terbaru di Amerika Serikat melaporkan angka kejadian
status konvulsivus pada anak berkisar 17/100.000 hingga 23-58/100.000 anak per tahun.
Kejadian tertinggi dijumpai pada anak usia <1 tahun yakni 135,3-156 per 100.000
anak/tahun (Rilianto, 2015).

65
D. Patomekanisme
Patofisiologi kejang pada tingkat selular berhubungan dengan terjadinya paroxysmal
depolarization shift (PDS) yaitu depolarisasi potensial pascasinaps yang berlangsung lama
(50 ms). PDS merangsang lepas muatan listrik yang berlebihan pada neuron otak dan
merangsang sel neuron lain untuk melepaskan muatan listrik secara bersama-sama sehingga
timbul hiperkesitabilitas neuron otak (Rilianto, 2015).
PDS diduga disebabkan oleh kemampuan membrane sel melepaskan muatan listrik
yang berlebihan, berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat
(GABA) atau meningkatnya eksitasi sinaptik oleh neurotransmitter glutamate dan aspartat
melalui jalur eksitasi yang berulang. Pada pasien dengan epilepsi fokal, terdapat sekelompok
sel neuron yang bertindak sebagai pacemaker lepasnya muatan listrik disebut sebagai focus
epileptikus. Sekelompok sel neuron ini akan merangsang sel di sekitarnya untuk melepaskan
muatan listriknya. Keadaan ini merupakan transisi fokal interiktal atau gelombang paku iktal
pada elektroensefalografi (Rilianto, 2015).
Manifestasi klinis bergantung pada luasnya sel neuron yang tereksitasi. Pasien
epilepsi umumnya pembentukan gelombang paku-ombak terjadi pada struktur korteks.
Terdapat penyebaran cepat proses eksitasi (spike) dan inhibisi (gelombang ombak) pada
kedua hemisfer otak melalui jaras kortikoretikular dan talamokortikal. Status konvulsivus
terjadi akibat proses eksitasi yang berlebihan berlangsung terus menerus yang diikuti oleh
proses inhibisi yang tidak sempurna (Rilianto, 2015).
E. Diagnosis
Diagnosis status konvulsivus dapat langsung ditegakkan bila ada yang menyaksikan
bangkitan umum tonik-klonik. Status konvulsivus seringkali tidak dipikirkan pada pasien
koma yang telah memasuki fase nonkonvulsif. Pada semua pasien koma perlu diketahui
adanya minor twitching yang bisa terlihat di wajah, tangan, kaki, atau dalam bentuk
nistagmus (Varley, 2013).
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik diperlukan untuk memilih pemeriksaan
penunjang yang terarah dan tatalaksana selanjutnya. Aloanamnesis dimulai dari riwayat
perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang, dilanjutkan dengan pertanyaan terarah untuk
mencari kemungkinan faktor pencetus atau penyebab kejang. Anamnesis diarahkan pada
riwayat kejang sebelumnya, kondisi medis yang berhubungan, obat-obatan, trauma, gejala

66
infeksi, gangguan neurologis baik umum maupun fokal, serta nyeri atau cedera akibat kejang
(Varley, 2013).
Pemeriksaan fisis dimulai dengan menilai tanda vital, mencari tanda trauma akut
kepala, dan ada tidaknya kelainan sistemik. Pemeriksaan ditujukan untuk mencari cedera
yang terjadi mendahului atau selama kejang, adanya penyakit sistemik, paparan zat toksik,
infeksi, dan kelainan neurologis fokal. Bila dijumpai kelainan fokal, misalnya paralisis
Todds harus dicurigai adanya lesi intrakranial (Varley, 2013).
2. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada anak, diperlukan
beberapa pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium, pungsi lumbal,
elektroensefalografi, dan pencitraan neurologis. Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang ini
ditentukan sesuai dengan kebutuhan (Varley, 2013).
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada anak dengan kejang berguna untuk mencari etiologi dan komplikasi akibat
kejang lama. Jenis pemeriksaan yang dilakukan bergantung pada kondisi klinis pasien.
Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang lama adalah kadar glukosa darah,
elektrolit, darah perifer lengkap, dan masa protrombin. Pemeriksaan laboratorium tersebut
bukan pemeriksaan rutin pada kejang demam (Varley, 2013).
4. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien kejang disertai penurunan
kesadaran atau gangguan status mental, perdarahan kulit, kaku kuduk, kejang lama, gejala
infeksi, paresis, peningkatan sel darah putih, atau pada kasus yang tidak didapatkan faktor
pencetus yang jelas. Pungsi lumbal ulang dapat dilakukan dalam 48-72 jam setelah pungsi
lumbal yang pertama untuk memastikan adanya infeksi susunan saraf pusat (Varley, 2013).
5. Elektroensefalografi
Pemeriksaan EEG digunakan untuk mengetahui adanya gelombang epileptiform.
Pemeriksaan EEG mempunyai keterbatasan, khususnya interiktal EEG. Beberapa anak tanpa
kejang secara klinis ternyata memperlihatkan gambaran EEG epileptiform, sedangkan anak
lain dengan epilepsi berat mempunyai gambaran interiktal EEG yang normal (Varley, 2013).
6. Pencitraan neurologis
Foto polos kepala memiliki nilai diagnostic kecil meskipun dapat menunjukkan
adanya fraktur tulang tengkorak. Kelainan jaringan otak pada trauma kepala dideteksi

67
dengan CT Scan kepala. Kelainan gambaran CT Scan kepala dapat ditemukan pada pasien
kejang dengan riwayat trauma kepala, pemeriksaan neurologis yang abnormal, perubahan
pola kejang, kejang berulang, riwayat menderita penyakit susunan saraf pusat, kejang fokal,
dan riwayat keganasan (Varley, 2013).
Magnetic resonance imaging (MRI) lebih superior dibandingkan CT scan dalam
mengevaluasi lesi epileptogenik atau tumor kecil di daerah temporal atau daerah yang
tertutup struktur tulang misalnya daerah serebelum atau batang otak. MRI dipertimbangkan
pada anak dengan kejang yang sulit diatasi, epilepsy lobus temporalis, perkembangan
terlambat tanpa adanya kelainan pada CT scan, dan adanya lesi ekuivokal pada CT scan
(Varley, 2013).
h. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan status konvulsivus harus segera dihentikan sebab (Varley, 2013) :
Semakin lama kejang berlangsung, semakin sulit dikontrol dan semakin banyak
kerusakan sel otak itu terjadi
Kerusakan sel otak terjadi terutama oleh bangkitan eksitasi yang terus-menerus dan
bukan oleh komplikasi aktivitas kejangnya.
Faktor sistemik (hiperpireksia) dapat menimbulkan kerusakan sel otak
Manajemen status konvulsivus (Varley, 2013) :
a) Stadium I (0-10 menit)
Perbaiki fungsi kardiorespirasi
Perbaiki jalan napas, pemberian oksigen, dan resusitasi
b) Stadium II (1-60 menit)
Pemeriksaan status neurologik
Pengukuran tekanan darah, nadi, dan suhu
EKG
Memasang infus
Mengambil 50-100 cc darah untuk pemeriksaan lab
Pemberian OAE emergensi: diazepam 10-20 mg iv
Memasukkan 50 cc glukosa 50% dengan atau tanpa thiamin 250 mg iv
Menangani asidosis
c) Stadium II (0-60/90 menit)
Menentukan etiologi

68
Bila kejang berlangsung terus selama 30 menit setelah pemberian diazepam pertama,
beri fenitooin iv 15-18 mg/kgBB dengan kecepatan 50 mg/menit
Memulai terapi dengan vasopressor bila diperlukan
Mengoreksi komplikasi
d) Stadium IV (30-90 menit)
Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60 menit, transfer pasien ke ICU, beri
propofol (2 mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu) atau thiopentone (100-250 mg
bolus iv pemberian dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50 mg setiap 2-3
menit), dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah bangkitan klinis atau bangkitan EEG
terakhir, lalu tapering off
Memantau bangkitan dan EEG, TIK, memulai pemberian OAE dosis rumatan
i. Prognosis
Prognosis status konvulsivus tergantung pada penyakit yang mendasarinya,
kecepatan, penanganan kejang, dan komplikasinya (Varley, 2013).

II.11 Myelitis
A. Definisi
Myelitis adalah proses radang infektif maupun non-infektif yang menyebabkan
kerusakan pada nekrosis pada substansia grisea dan alba (Adams&Victor, 2000).
Serangan inflamasi pada medulla spinalis dapat merusak atau menghancurkan mielin
yang merupakan selubung serabut sel saraf. Kerusakan ini menyebabkan jaringan parut
pada sistem saraf yang menganggu hubungan antara saraf pada medulla spinalis dan
tubuh. Beberapa literatur pada kondisi akut sering menyebutnya sebagai myelitis
transverse atau myelitis transverse akut (MTA) (NINDS, 2012; Timothy, 2013).
Berdasarkan perjalanan klinis antara onset hingga munculnya gejala klinis
myelitis dibedakan atas (Sema et al, 2007):

1. Akut, yaitu gejala berkembang dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam waktu
beberapa hari saja.
2. Sub Akut, yaitu perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2 minggu.
3. Kronik, yaitu perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 2
minggu.

69
B. Etiologi
Menurut NINDS adapun beberapa jenis dari myelitis berdasarkan penyebabnya
yaitu :
1. Myelitis yang disebabkan oleh virus
a. Poliomielitis, group A dan B, Coxsackie virus, echovirus
b. Herpes zoster
c. Rabies
d. Virus B2
2. Myelitis yang merupakan akibat sekunder dari penyakit pada meningens dan
medula spinal
a. Myelitis sifilitika
b. Meningoradikulitis kronik (tabes dorsalis)
c. Meningomielitis kronik
d. Myelitis piogenik atau supurativa
e. Meningomielitis subakut
f. Myelitis tuberkulosa
g. Meningomielitis tuberkulosa
h. Infeksi parasit dan fungus yang menimbulkan granuloma epidural, meningitis
lokalisata atau meningomielitis dan abses.
3. Myelitis (mielopati) yang penyebabnya tidak diketahui.
a. Pasca infeksiosa dan pasca vaksinasi.
b. Kekambuhan sklerosis multipleks akut dan kronik
c. Degeneratif atau nekrotik
Menurut lokasi dan distribusinya, myelitis dibedakan menjadi sebagai berikut :
1. Myelitis transversa apabila mengenai seluruh potongan melintang medula spinalis
2. Poliomyelitis apabila mengenai substansia grisea
3. Leukomyelitis apabila mengenai substansia alba
Istilah mielopati digunakan bagi proses non inflamasi medulla spinalis misalnya
yang disebabkan proses toksis, nutrisi, metabolik dan nekrosis.
C. Epidemiologi
Insiden myelitis transverse akut dari seluruh usia anak hingga dewasa dilaporkan
sebanyak 1-8 juta orang di Amerika Serikat, sekitar 1400 kasus baru per tahun yang

70
didiagnosis di Amerika Serikat. Sebanyak 34 ribu orang dewasa dan anak-anak
menderita gejala sisa MTA berupa cacat sekunder. Sekitar 20 % dari MTA terjadi pada
anak-anak (Varina et al, 2012).
MTA dapat diderita oleh orang dewasa dan anak-anak baik pada semua jenis
kelamin maupun ras. MTA memiliki puncak insidensi yang berbeda yaitu umur : 10-19
dan 30-39 tahun. Ini menunjukkan tidak ada faktor predileksi seperti : ras, familial atau
jenis kelamin pada kasus MTA. Sehingga antara laki-laki dan perempuan mempunyai
kemungkinan yang sama untuk menderita MTA. Insiden meningkat menjadi 24,6 juta
kasus per tahun jika didapatkan penyebab demielinasi yang berhubungan dengan
myelitis, terutama multiple sclerosis (Amer&Olaf, 2001; Elliot&Dean, 2010).
D. Patognesis

Patogenesis dari myelitis tranverse akut adalah sebagai berikut (Kerr&Ayetey,


2002) :

1. MTA post-vaksinasi
Evaluasi otopsi dari medulla spinalis menunjukkan hilangnya akson yang berat
dengan demielinisasi ringan dan infiltrasi sel mononuclear, terutama limfosit T
pada nerve roots dan ganglion spinalis. Pada medulla spinalis terdapat infiltrasi sel
limfosit di perivaskular dan parenkim di grey matter terutama pada anterior horns.
Beberapa studi menyimpulkan vaksinasi dapat menginduksi proses autoimun yang
berkembang menjadi MT.
2. MTA Parainfeksi
Sebanyak 30-60% kasus idiopatik myelitis transversalis, terdapat adanya
keluhan respirasi, gastrointestinal, atau penyakit sistemik sebelumnya. Kata
parainfeksi telah digunakan untuk injuri neurologis yang diakibatkan oleh infeksi
mikroba langsung dan injuri yang diakibatkan oleh infeksi, infeksi mikroba
langsung dengan kerusakan yang dimediasi oleh imun, atau infeksi yang
asimptomatik dan diikuti respon sistemik yang menginduksi kerusakan saraf.
Beberapa virus herpes telah dikaitkan dengan myelitis, dan mungkin menjadi
penyebab infeksi langsung terhadap sel saraf di medulla spinalis. Agen lainnya,
seperti Listeria monocytogenes dibawa ke dalam akson ke saraf di medulla spinalis.
Dengan menggunakan beberapa cara, suatu agen dapat mencapai akses ke lokasi

71
yang kaya system imun, menghindari system imun yang berada pada organ lainnya.
Mekanisme tersebut dapat menjelaskan inflamasi yang terbatas pada suatu focus
area di medulla spinalis yang dapat dilihat pada pasien MT.
3. Mimikri molekuler
Mimikri molekuler sebagai mekanisme untuk menjelaskan inflamasi sistem
saraf sengat bagus diimplementasikan pada kasus GBS. Infeksi Campilobakter
jejuni dibuktikan menjadi penyebab yang penting yang mendahului terjadinya GBS.
Jaringan saraf manusia mengandung beberapa subtipe ganglioside moieties seperti
GM1, GM2, dan GQ1b di dalam dinding selnya. Komponen khas gangliosid
manusia, asam sialik, juga ditemukan pada permukaan antigen C. jejuni dalam
selubung luar lipopolisakarida. Antibody yang bereaksi dengan gangliosid C. jejuni
ditemukan dalam serum pasien GBS, dan telah dibuktikan berikatan dengan saraf
perifer, mengikat komplemen, dan merusak transmisi saraf. Mimikri molekuler
pada MTA juga dapat terjadi akibat pembentukan autoantibody sebagai respon
terhadap infeksi yang terjadi sebelumnya.
4. Microbial superantigen-mediated inflammation
Hubungan lain antara riwayat infeksi sebelumnya dengan terjadinya MTA
yaitu dengan aktivasi limfosit fulminan oleh superantigen mikroba. Superantigen
merupakan peptide mikroba yang mempunyai kapasitas unik untuk menstimulasi
sistem imun, dan berkontribusi terhadap penyakit autoimun yang bervariasi.
Superantigen yang telah diteliti yaitu enterotoksin Stafilokokus A sampai I, toksin-1
sindrom syok toksik, dan eksotoksin piogen Streptokokus. Superantigen
mengaktivasi limfosit T dengan jalur yang unik dibandingkan dengan antigen
konvensional. Terlebih lagi, tidak seperti antigen konvensional, superantigen dapat
mengaktivasi limfosit T tanpa adanya molekul ko-stimulan.
Dengan adanya perbedaan ini, superantigen dapat mengaktivasi antara 2-20%
limfosit yang bersirkulasi dibandingkan dengan antigen konvensional. Selain itu,
superantigen sering menyebabkan ekspansi yang diikuti dengan delesi klon limfosit
T yang menyebabkan terbentuknya lubang pada limfosit T selama beberapa saat
setelah aktivasi.
Stimulasi sejumlah besar limfosit dapat mencetuskan penyakit autoimun
dengan mengaktivasi klon sel T autoreaktif. Pada manusia, banyak laporan ekspansi

72
golongan selected Vb pada pasien dengan penyakit autoimun, yang menunjukkan
adanya paparan superantigen sebelumnya. Sel T autoreaktif yang diaktivasi oleh
superantigen memasuki jaringan dan tertahan di dalam jaringan dengan paparan
berulang dengan autoantigen. Di sistem saraf pusat, superantigen yang diisolasi dari
Stafilokokus menginduksi paralisis pada tikus eksperimen. Pada manusia, pasien
dengan ensefalomyelitis diseminata akut dan mielopati nekrotikan ditemukan
memiliki superantigen piogen Streptokokus yang menginduksi aktivasi sel T yang
melawan protein dasar myelin.
5. Abnormalitas Humoral
Salah satu proses di atas dapat menyebabkan abnormalitas fungsi sistem
humoral, dengan berkurangnya kemampuan untuk membedakan self dan non-
sel. Pembentukan antibodi yang abnormal dapat mengaktivasi komponen lainnya
dari sistem imun atau menarik elemen-elemen seluler tambahan ke medulla
spinalis. Antibodi yang bersirkulasi dapat membentuk kompleks imun dan
terdeposit di suatu area di medulla spinalis.
E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Medula spinalis adalah struktur yang relatif sempit di mana traktus motorik,
sensorik , dan otonom berada saling berdekatan. Oleh karena itu, lesi di medulla
spinalis dapat memiliki efek dalam semua modalitas ini. Namun, efek tersebut tidak
selalu seragam dimana tingkat keparahan atau simetris di seluruh modalitas
berbeda. Pemeriksaan klinis dengan fokus pada penyelidikan untuk sensorik tulang
belakang dan tingkat motorik, akan membantu dalam lokalisasi lesi (Varina et al,
2012).
ATM terjadi secara akut (terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari)
atau subakut (terjadi dalam satu atau dua minggu). Gejala umum yang muncul
melibatkan gejala motorik, sensorik dan otonom. Beberapa penderita juga
melaporkan mengalami spasme otot, gelisah, sakit kepala, demam, dan hilangnya
selera. Dari beberapa gejala, muncul empat gejala klasik ATM yaitu kelemahan otot
atau paralisis kedua lengan atau kaki, nyeri, kehilangan rasa pada kaki dan jari jari
kaki, disfungsi kandung kemih dan buang air besar (NINDS, 2012).

73
Gejala sensorik pada ATM yaitu antara lain (Elliot&Dean, 2010; Varina, 2012) :
a. Nyeri adalah gejala utama pada kira- kira sepertiga hingga setengah dari semua
penderita ATM. Nyeri terlokalisir di pinggang atau perasaan yang menetap
seperti tertusuk atau tertembak yang menyebar ke kaki, lengan atau badan .
b. Gejala lainnya berupa parastesia yang mendadak (perasaan yang abnormal
seperti terbakar, gatal, tertusuk, atau perasaan geli) di kaki, hilangnya sensorik.
Penderita juga mengalami gangguan sensorik seperti kebas, perasaan geli,
kedinginan atau perasaan terbakar. Hampir 80 % penderita ATM mengalami
kepekaan yang tinggi terhadap sentuhan misalnya pada saat perpakaian atau
sentuhan ringan dengan jari menyebabkan ketidaknyamanan atau nyeri (
disebut allodinia ). Beberapa penderita juga mengalami pekaan yang tinggi
terhadap perubahan temperatur atau suhu panas atau dingin.
Gejala motorik pada ATM yaitu beberapa penderita mengalami tingkatan
kelemahan yang bervariasi pada kaki dan lengan. Pada awalnya penderita dengan
ATM terlihat bahwa mereka terasa berat atau menyerat salah satu kakinya atau
lengan mereka karena terasa lebih berat dari normal. Kekuatan otot dapat
mengalami penurunan. Beberapa minggu penyakit tersebut secara progresif
berkembang menjadi kelemahan kaki secara menyeluruh, akhirnya menuntut
penderita untuk menggunakan suatu kursi roda. Terjadi paraparesis (kelemahan
pada sebagian kaki). Paraparesis sering menjadi paraplegia ( kelemahan pada kedua
kaki dan pungung bagian bawah) (Elliot&Dean, 2010; NINDS, 2012).
Gejala otonom pada ATM berupa gangguan fungsi kandung kemih seperti
retensi urin dan buang air besar hingga gangguan pasase usus dan disfungsi seksual
sering terjadi. Tergantung pada segmen medulla spinalis yang terlibat, beberapa
penderita mengalami masalah dengan sistem respiratori (Elliot&Dean, 2010;
NINDS, 2012).
2. Pemeriksaan Penunjang

Berikut beberapa pemeriksaan penunjang untuk menegakan diagnosis dari


MTA (Transverse Myelitis Consortium Working Group, 2002) :

74
a. MRI
Evaluasi awal untuk pasien myelopati harus dapat menentukan apakah ada
penyebab structural (HNP, fraktur vertebra patologis, metastasis tumor, atau
spondilolistesis) atau tidak. Idealnya, MRI dengan kontras gadolinium harus
dilakukan dalam beberapa jam setelah presentasi.
b. CT-myelografi
Jika MRI tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat untuk menilai kelainan
struktural, CT-myelografi dapat menjadi alternative selanjutnya, tetapi
pemeriksaan ini tidak dapat menilai medulla spinalis.
c. Pungsi Lumbal
Jika tidak terdapat penyebab struktural, pungsi lumbal merupakan
pemeriksaan yang harus dilakukan untuk membedakan myelopati inflamasi
ataupun non-inflamasi. Pemeriksaan rutin CSF (hitung sel, jenis, protein, dan
glukosa) dan sitologi CSF harus diperiksa.
d. Kultur CSF, PCR, titer antibodi
Manifestasi klinis seperti demam, meningismus, rash, infeksi sistemik
konkuren (pneumonia atau diare), status immunokompromise (AIDS atau
penggunaan obat-obat immunosuppresan), infeksi genital berulang, sensasi
terbakar radikuler dengan atau tanpa vesikel sugestif untuk radikulitis zoster,
atau adenopati sugestif untuk etiologi infeksi dari MTA. Pada kasus seperti ini,
kultur bakteri dan virus dari CSF, PCR, dan pemeriksaan titer antibody harus
dilakukan.
e. Pemeriksaan Lainnya
Manifestasi klinis lainnya dapat mengarahkan diagnosis untuk penyakit
inflamasi sistemik seperti Sindrom Sjogren, sindrom antifosfolipid, LES,
sarkoidosis, atau penyakit jaringan ikat campuran. Pada kondisi seperti ini,
pemeriksaan yang harus dilakukan: ACE level, ANA, anti ds-DNA, SS-A (Ro),
SS-B (La), antibody antikardiolipin, lupus antikoagulan, 2-glikoprotein, dan
level komplemen.
F. Penatalaksanaan
1. Immunoterapi inisial

75
Tujuan terapi selama fase akut myelitis adalah untuk menghambat
progresivitas dan menginisiasi resolusi lesi spinal yang terinflamasi sehingga dapat
mempercepat perbaikan secara klinis. Kortikosteroid merupakan terapi lini pertama.
Dapat menggunakan intravena dosis tinggi yaitu metilprednisolon 1000 mg setiap
hari, biasanya selama 3-5 hari. Obat oral dapat digunakan pada kasus pasien
myelitis episode ringan yang tidak perlu dirawat inap (Frohman&Wingerchuk,
2010).
Terapi dengan plasma exchange bermanfaat pada pasien yang tidak respon
dengan pemberian kortikosteroid. Hipotensi, gangguan elektrolit, koagulopati,
trombositopenia, thrombosis yang berhubungan dengan pemasangan kateter, dan
infeksi merupakan komplikasi dari tindakan ini (Frohman&Wingerchuk, 2010).
Plasmapharesis berguna pada pasien yang masih memiliki sisa fungsi
sensorimotor saat pertama kali serangan, tetapi pada pasien yang kehilangan fungsi
sensorimotor mengalami perbaikan hanya ketika diterapi dengan siklofosfamid dan
plasmapharesis. Pada pasien demielinisasi, imunomodulator long-acting atau terapi
imunosupressan menunjukkan pengurangan risiko serangan berulang
(Frohman&Wingerchuk, 2010).
2. Respirasi dan Oropharyngeal Support
Mielitis transversalis dapat menyebabkan gagal nafas apabila medulla spinalis
servikal atas dan batang otak telah terlibat. Oleh karena itu, pemeriksaan regular
dari fungsi pernapasan dan orofaring dibutuhkan selama perjalanan penyakit.
Dispnea, penggunaan otot-otot bantu pernapasan, atau batuk yang lemah
memerlukan pemeriksaan lanjutan dari fungsi paru-paru dan kapasitas respirasi
paksa. Intubasi dengan ventilasi mekanik diperlukan pada beberapa pasien.
Disartria, disfagia, atau penurunan fungsi lidah atau refleks muntah memerlukan
pemeriksaan fungsi menelan untuk menentukan apakah pemakaian feeding tube
diperlukan atau tidak (Frohman&Wingerchuk, 2010).
3. Kelemahan Otot dan Komplikasi Imobilisasi
Pemberian heparin low-moleculer weigth (HLMW) sebagai profilaksis untuk
thrombosis vena dalam dianjurkan untuk pasien dengan imobilisasi. Perubahan
posisi yang sering ketika duduk atau saat tidur dapat membantu mempertahankan
integritas kulit dan memberikan rasa nyaman kepada pasien. Kolaborasi dengan

76
fisioterapis harus dipertimbangkan sehingga neurorehabilitasi multidisiplin dapat
dimulai secepatnya (Frohman&Wingerchuk, 2010).
Sustained-release potassium-channel blocker dan 4-aminopyridine oral
menunjukkan hasil yang baik dengan meningkatkan kecepatan pasien berjalan pada
pasien dengan multiple sklerosis, mungkin dengan memperpanjang durasi dari
potensial aksi. Walaupun demikian, studi tentang efek agen ini pada pasien myelitis
transversalis belum diteliti secara khusus (Frohman&Wingerchuk, 2010).
4. Abnormalitas Tonus
Myelitis yang berat menyebabkan hipotonia pada fase akut (spinal shock),
tetapi biasanya diikuti dengan peningkatan resistensi terhadap pergerakan
(spastisitas tonus), bersama dengan spasme otot involunter (spastisitas fasik).
Spastisitas merupakan respon adaptif, tetapi jika berlebihan, nyeri atau intrusive,
memerlukan terapi dengan fisioterapi atau obat-obatan. Penelitian controlled trials
meneliti bahwa baclofen, tizanidine, dan benzodiazepin sebagai terapi untuk pasien
dengan spastisitas akibat gangguan otak dan korda spinalis (Frohman&Wingerchuk,
2010).
5. Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang sering muncul selama dan setelah serangan
myelitis dan dapat disebabkan oleh injuri langsung pada saraf (nyeri neuropatik),
factor ortopedik (nyeri akibat perubahan posisi atau bursitis), spastisitas, atau
kombinasi dari beberapa faktor ini. Nyeri neuropatik merespon baik dengan agen
antikonvulsan, obat-obatan anti-depressan (tricyclic antidepressants dan reuptake
inhibitors of serotonin dan norepinefrin), NSAIDS, dan narkotik
(Frohman&Wingerchuk, 2010).
6. Malaise
Pergerakan yang terbatas, obat-obatan, nyeri, dan faktor lainnya berkontribusi
terhadap malaise yang berlebihan setelah serangan myelitis. Data dari randomized
controlled trials menunjukkan efikasi amantadin untuk terapi malaise akibat
multiple sklerosis, dan pada satu studi modafinil bisa menjadi terapi pilihan.
Stimulant seperti dekstroamfetamin atau metilfenidat pernah digunakan untuk terapi
malaise yang berat dan refrakter yang terjadi setelah episode myelitis, tetapi

77
manfaat agen ini untuk tatalaksana pasien dengan myelitis belum pernah diteliti
dengan randomized, controlled trials (Frohman&Wingerchuk, 2010).
7. Disfungsi Usus dan Genitourinari
Pemasangan kateter biasanya diperlukan selama myelitis transversalis pada
fase akut karena retensi urin. Setelah fase akut, hiperrefleksia detrusor biasanya
muncul dengan ciri-ciri frekuensi berkemih yang sering, inkontinensia, dan persepsi
spasme kandung kemih. Gejala ini biasanya berkurang dengan pemberian
antikolinergik (oxybutinin dan tolterodin). Pemeriksaan ultrasonografi untuk
memeriksa volume urin yang tersisa setelah miksi berguna untuk menyingkirkan
retensi urin, tetapi studi urodinamis mungkin diperlukan untuk menilai disfungsi
urin. Obat yang menghambat reseptor 1-adrenergik dapat membantu relaksasi
sfingter urin dan pengosongan urin pada pasien dengan hiperaktivitas sfingter,
tetapi beberapa pasien memerlukan kateterisasi intermitten untuk mengosongkan
kandung kemih (Frohman&Wingerchuk, 2010).
G. Prognosis
Pemulihan harus dimulai dalam 6 bulan, dan sebagian besar pasien menunjukkan
pemulihan fungsi neurologinya dalam 8 minggu. Pemulihan mungkin terjadi cepat
selama 36 minggu setelah onset dan dapat berlanjut walaupun dapat berlangsung
dengan lebih lambat sampai 2 tahun. Pada penderita ini kemajuan pengobatan tampak
pada 2 minggu terapi (Tapiharu et al., 2007).

II.12 Nyeri Kepala


A. Definisi
Nyeri kepala dapat dikatakan sebagai rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada
daerah atas kepala memanjang dari orbital sampai ke daerah belakang kepala (area
oksipital dan sebagian daerah tengkuk) (Roppper, 2005).
Nyeri kepala adalah nyeri yang berlokasi di atas garis orbitomeatal. Pendapat lain
mengatakan nyeri atau perasaan tidak enak diantara daerah orbital dan oksipital yang
muncul dari struktur nyeri yang sensitif (Baehr, 2010).
B. Etiologi
Cephalgia atau nyeri kepala suatu gejala yang menjadi awal dari berbagai macam
penyakit. Cephalgia dapat disebabkan adanya kelainan organ-organ dikepala, jaringan

78
sistem persarafan dan pembuluh darah. Nyeri kepala kronik biasanya disebabkan oleh
migren, ketegangan, atau depresi, namun dapat juga terkait dengan lesi intracranial,
cedera kepala, dan spondilosis servikal, penyakit gigi atau mata, disfungsi
senditemporomandibular, hipertensi, sinusitis, trauma, perubahan lokasi (cuaca, tekanan)
dan berbagai macam gangguan medis umum lainnya (Ginsberg, 2008).
C. Epidemiologi
Faktor risiko terjadinya nyeri kepala adalah gaya hidup, kondisi penyakit, jenis
kelamin, umur, pemberian histamin atau nitrogliserin sublingual dan faktor
genetik.Prevalensi nyeri kepala di USA menunjukkan 1 dari 6 orang (16,54%) atau45 juta
orang menderita nyeri kepala kronik dan 20 juta dari 45 juta tersebutmerupakan wanita.
75 % dari jumlah di atas adalah tipe tension headacheyang berdampak pada menurunnya
konsentrasi belajar dan bekerja sebanyak 62,7 %.Menurut IHS, migren sering terjadi pada
pria dengan usia 12 tahunsedangkan pada wanita, migren sering terjadi pada usia lebih
dari 12 tahun. HIS jugamengemukakancluster headache 80 90 % terjadi pada pria dan
prevalensi nyeri kepala akan meningkat setelah umur 15 tahun (Harsono, 2005).
D. Patofisiologi
Beberapa mekanisme umum yang tampaknya bertanggung jawab memicu nyeri
kepala yaitu (Lance, 2000) peregangan atau pergeseran pembuluh darah; intrakranium
atau ekstrakranium, traksi pembuluh darah, kontraksi otot kepala dan leher (kerja
berlebihan otot), peregangan periosteum(nyeri lokal), degenerasi spina servikalis atas
disertai kompresi pada akar nervus servikalis (misalnya, arteritis vertebra servikalis),
defisiensi enkefalin (peptida otak mirip- opiat, bahan aktif pada endorfin) (Ropper, 2005)
E. Klasifikasi
Nyeri kepala dapat diklasifikasikan menjadi nyeri kepala primer dan nyeri kepala
sekunder. Nyeri kepala primer dapat dibagi menjadi migren, tension type headache,
cluster headache dengan sefalgia trigeminal/autonomik, dan nyeri kepala primer lainnya.
Nyeri kepala sekunder dapat dibagi menjadi nyeri kepala yang disebabkan oleh karena
trauma pada kepala dan leher, nyeri kepala akibat kelainan vaskular kranial dan servikal,
nyeri kepala yang bukan disebabkan kelainan vaskular intrakranial, nyeri kepala akibat
adanya zat atau withdrawal, nyeri kepala akibat infeksi, nyeri kepala akibat gangguan
homeostasis, nyeri kepala atau nyeri pada wajah akibat kelainan kranium, leher,telinga,

79
hidung, sinus, gigi, mulut atau struktur lain di kepala dan wajah, nyeri kepala akibat
kelainan psikiatri (Reskin, 2005).
F. Cephalgia Primer
Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala itu sendiri yang merupakan penyakit
utama atau nyeri kepala tanpa disertai adanya penyebab struktural-organik. Menurut
ICHD-2 nyeri kepala primer dibagi ke dalam 4 kelompok besar yaitu (Rogger, 2009) :
1. Migren
2. Tension Type Headache
3. Cluster Headache dan Chronic Paroxysmal Hemicrania
4. Other primary headaches
1. Migren
Menurut International Headache Society (IHS), migren adalah nyerikepala
dengan serangan nyeri yang berlansung 4 72 jam. Nyeri biasanya unilateral,sifatnya
berdenyut, intensitas nyerinya sedang sampai berat dan diperhebat olehaktivitas, dan
dapat disertai mual muntah, fotofobia dan fonofobia (Silberstein, 2001).
a. Klasifikasi
Secara umum migren dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Migren dengan aura
Migren dengan aura disebut juga sebagai migren klasik. Diawali dengan
adanya gangguan pada fungsi saraf, terutama visual, diikuti oleh nyeri kepala
unilateral, mual, dan kadang muntah, kejadian ini terjadi berurutan dan
manifestasi nyeri kepala biasanya tidak lebih dari 60 menit yaitu sekitar 5-20
menit.
2) Migren tanpa aura
Migren tanpa aura disebut juga sebagai migren umum. Nyeri kepalanya
hampir sama dengan migren dengan aura. Nyerinya pada salah satu bagian sisi
kepala dan bersifat pulsatil dengan disertai mual, fotofobia dan fonofobia.
Nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam.
b. Tatalaksana
1) Medikamentosa (Brunton, 2005)
a) Sumatriptan

80
Sumatriptan cukup efektif sebagai terapi abortif jika diberikan
secara subkutan dengan dosis 4-6 mg. Dapat diulang sekali setelah 2 jam
kemudian jika dibutuhkan. Dosis maksimum 12 mg per 24 jam. Triptan
merupakan serotonin 5-HT1B/1Dreceptor agonists. Golongan obat ini
ditemukan dalam suatu penelitian mengenai serotonin dan migren yang
mendapatkan adanya suatu atypical 5-HT receptor. Aktivasi reseptor ini
menyebabkan vasokontriksi dari arteri yang berdilatasi. Sumatriptan juga
terlihat menurunkan aktivitas saraf trigeminal. Terdapat tujuh subkelas
utama dari 5-HT receptors. Semua triptan dapat mengaktivasi reseptor 5-
HT1B/1D, serta dalam potensi yang lebih ringan dapat mengaktivasi reseptor
5-HT1A atau 5-HT1F. Namun, aktivitas 5-HT1B/1Dagonist merupakan
mekanisme utama dari efek terapeutik golongan triptan.
Indikasi: serangan migren akut dengan atau tanpa aura
Dosis & Cara Pemberian: dapat diberikan secara subkutan dengan dosis 4-
6 mg. Dapat diulang sekali setelah 2 jam kemudian jika dibutuhkan. Dosis
maksimum 12 mg per 24 jam.
b) Zolmitriptan
Zolmitriptan efektif untuk pengobatan akut. Dosis awal oral 5 mg.
Gejala-gejala akan berkurang dalam 1 jam. Obat ini dapat diulang sekali
lagi setelah 2 jam jika diperlukan. Dosis maksimal adalah 10 mg untuk 24
jam. Zolmitriptan juga dapat digunakan melalui nasal spray.
Indikasi: Untuk mengatasi serangan migren akut dengan atau tanpa aura
pada dewasa. Tidak ditujukan untuk terapi profilaksis migren atau untuk
tatalaksana migren hemiplegi atau basilar.
Dosis & Cara Pemberian : Pada uji klinis, dosis tunggal 1; 2,5 dan 5 mg
efektif mengatasi serangan akut. Pada perbandingan dosis 2,5 dan 5 mg,
hanya terjadi sedikit penambahan manfaat dari dosis lebih besar, namun
efek samping meningkat. Oleh karena itu, pasien sebaiknya mulai dengan
doss 2,5 atau lebih rendah. Jika sakit terasa lagi, dosis bisa diulang setelah
2 jam, dan tidak lebih dari 10 mg dalam periode 24 jam.

81
c) Eletriptan
Eletriptan terikat dengan afinitas tinggi terhadap reseptor 5-HT1B,
5-HT1D dan 5-HT1F. Aktivasi reseptor 5-HT1 pada pembuluh darah
intrakranial menimbulkan vasokontriksi yang berkorelasi dengan
meredanya nyeri kepalamigren. Selain itu, aktivasi reseptor 5-HT1 pada
ujung saraf sensoris pada sistem trigeminal menghambat pelepasan pro-
inflammatory neuropeptida.
Indikasi: Penanganan migren akut dengan atau tanpa aura.
Dosis & Cara Pemberian: 2040 mg po saat onset berlangsung, dapat
diulang 2 jam kemudian sebanyak 1 kali. Dosis maksimum tidak melebihi
80 mg/24 jam.
2) Non-medikamentosa
Para penderita migren pada umumnya mencari tempat yang tenang dan
gelap pada saat serangan migren terjadi karena fotofobia dan fonofobia yang
dialaminya. Serangan juga akan sangat berkurang jika pada saat serangan
penderita istirahat atau tidur (Brunton, 2006).
2. Tension Type Headach
Nyeri kepala berulang yang berlangsung dalam hitungan menit sampai hari,
dengan sifat nyeri yang biasanya berupa rasa tertekan atau diikat, dari ringan sampai
berat, dirasakan di seluruh kepala, tidak dipicu oleh aktifitas fisik dan gejala penyerta
nya tidak menonjol (Mansjoer, 2000).
Merupakan sensasi nyeri pada daerah kepala akibat kontraksi terus menerus
otot- otot kepala dan tengkuk ( M.splenius kapitis, M.temporalis, M.maseter,
M.sternokleidomastoid, M.trapezius, M.servikalis posterior, dan M.levator skapula)
(Silberstein, 2001).
a. Klasifikasi Tension Type Headache (TTH)
Klasifikasi TTH adalah :
1) Tension Type Headache episodik.
Tension Type Headache episodik, apabila frekuensi serangan tidak mencapai
15 hari setiap bulan. Tension Type Headache episodik (ETTH) dapat
berlangsung selama 30 menit 7 hari.

82
2) Tension Type Headache kronik
Tension Type Headache kronik (CTTH) apabila frekuensi serangan lebih dari
15 hari setiap bulan dan berlangsung lebih dari 6 bulan (Reskin, 2005).
b. Terapi Tension Type Headache (TTH)
Relaksasi selalu dapat menyembuhkan TTH. Pasien harus dibimbing untuk
mengetahui arti dari relaksasi yang mana dapat termasuk bed rest, massage, dan
atau latihan biofeedback. Pengobatan farmakologi adalah simpel analgesia dan
atau mucles relaxants. Ibuprofen dan naproxen sodium merupakan obat yang
efektif untuk kebanyakan orang. Jika pengobatan simpel analgesia (asetaminofen,
aspirin, ibuprofen, dll.) gagal maka dapat ditambah butalbital dan kafein (dalam
bentuk kombinasi seperti Fiorinal) yang akan menambah efektifitas pengobatan
(Brunton, 2006).
1) Terapi Akut
Pengobatan akut nyeri kepala tension-type harian sulit. NSAID
mungkin berguna sebagai analgesik untuk nyeri kepala harian.Relaksan otot
seperti chlorzoxazone, orphenadrine sitrat, carisoprodol, dan metaxalone
umumnya digunakan oleh pasien dengan nyeri kepala tension-type kronis,
tetapi belum terbukti efektif untuk melegakan nyeri akut.
Sumatriptan telah dievaluasi pada beberapa studi nyeri kepala tension-
type. Obat ini tidak lebih efektif daripada plasebo untuk serangan akut pada
pasien dengan nyeri kepala tension-type kronis; namun, nyeri kepala tension-
type episodik berat pada pasien bersama dengan migren tampaknya merespon
terhadap agen
2) Terapi Non Farmakologi
Manajemen stress dengan menggunakan terapi perilaku-kognitif sama
efektif dengan menggunakan relaksasi atau biofeedback dalam mengurangi
nyeri kepala tension-type.
Terapi non-farmakologi terutama berguna untuk pasien yang enggan
untuk minum obat karena efek samping sebelumnya dari obat-obatan, seiring
masalah medis, atau ada keinginan untuk hamil. Sementara biofeedback dan
terapi manajemen stres biasanya memerlukan rujukan ke psikolog.

83
3. Cluster Headache
Nyeri kepala tipe klaster adalah jenis nyeri kepala yang berat, unilateral yang
timbul dalam serangan-serangan mendadak, sering disertai dengan rasa hidung
tersumbat, rinore, lakrimasi dan injeksi konjungtiva di sisi nyeri (Rogger, 2009).
Nyeri kepala klaster (cluster headache) merupakan nyeri kepala vaskular yang
juga dikenal sebagai nyeri kepala Horton, sfenopalatina neuralgia, nyeri kepala
histamine, sindrom Bing, erythrosophalgia, neuralgia migrenosa, atau migren merah
(red migren) karena pada waktu serangan akan tampak merah pada sisi wajah yang
mengalami nyeri (Rogger, 2009)

Gambar 1 Ciri khas Cluster Headache

Gambar 2 Gejala Klinis Cluster headache

84
Gambar 3 Lokasi nyeri pada Cluster headache
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis terhadap cluster headache dapat dibagi ke dalam
pengobatan terhadap serangan akut, dan pengobatan preventif, yang bertujuan untuk
menekan serangan. Pengobatan akut dan preventif dimulai secara bersamaan saat
periode awal cluster. Pilihan pengobatan pembedahan yang terbaru dan
neurostimulasi telah menggantikan pendekatan pengobatan yang bersifat merugikan
(Brunton, 2006).
Serangan cluster headache biasanya singkat, dari 30 sampai 180 menit, sering
memberat secara cepat, sehingga membutuhkan pengobatan awal yang cepat.
Penggunaan obat nyeri kepala yang berlebihan sering didapatkan pada pasien-pasien
cluster headache, biasanya bila mereka pernah memiliki riwayat menderita migren
atau mempunyai riwayat keluarga yang menderita migren, dan saat pengobatan yang
diberikan sangat tidak efektif pada serangan akut, seperti triptan oral, acetaminofen
dan analgetik agonis reseptor opiate (Brunton, 2006).
a. Oksigen: inhalasi oksigen, kadar 100% sebanyak 10-12 liter/menit selama 15
menit sangat efektif, dan merupakan pengobatan yang aman untuk cluster
headache akut.
b. Triptan: Sumatriptan 6 mg subkutan, sumatriptan 20 mg intranasal, dan
zolmitriptan 5 mg intranasal efektif pada pengobatan akut cluster headache. Tiga

85
dosis zolmitriptan dalam dua puluh empat jam bisa diterima. Tidak terdapat bukti
yang mendukung penggunaan triptan oral pada cluster headache.
c. Dihidroergotamin 1 mg intramuskular efektif dalam menghilangkan serangan akut
cluster headache. Cara intranasal terlihat kurang efektif, walaupun beberapa
pasien bermanfaat menggunakan cara tersebut.
d. Lidokain: tetes hidung topikal lidokain dapat digunakan untuk mengobati
serangan akut cluster headache. Pasien tidur telentang dengan kepala dimiringkan
ke belakang ke arah lantai 30 dan beralih ke sisi nyeri kepala. Tetes nasal dapat
digunakan dan dosisnya 1 ml lidokain 4% yang dapat diulang setekah 15 menit.
G. Nyeri Kepala Sekunder
Nyeri kepala sekunder dapat dibagi menjadi nyeri kepala yang disebabkan
oleh karena trauma pada kepala dan leher, nyeri kepala akibat kelainan vaskular
kranial dan servikal, nyeri kepala yang bukan disebabkan kelainan vaskular
intrakranial, nyeri kepala akibat adanya zat atau withdrawal, nyeri kepala akibat
infeksi, nyeri kepala akibat gangguan homeostasis, nyeri kepala atau nyeri pada wajah
akibat kelainan kranium, leher, telinga, hidung, gigi, mulut atau struktur lain di kepala
dan wajah, nyeri kepala akibat kelainan psikiatri (Lumbantobing, 2008)
Nyeri kepala sekunder merupakan nyeri kepala yang disebabkan adanya suatu
penyakit tertentu (underlying disease). Pada nyeri kepala kelompok ini, rasa nyeri di
kepala merupakan tanda dari berbagai penyakit.
Adapun penyakit yang dapat menimbulkan nyeri kepala adalah (Roger, 2009).
1. Infeksi sistemik seperti flu, demam dengue/demam berdarah denggue, sinusitis,
radang tenggorokan dan lain-lain
2. Aneurisma otak
3. Tumor otak
4. Keracunan karbon dioksida
5. Glaukoma
6. Kelainan refraksi mata (mata minus/plus)
7. Cedera kepala
8. Ensefalitis (radang otak)
9. Meningitis (radang selaput otak)
10. Perdarahan otak

86
11. Stroke
12. Efek samping obat
13. Dan lain-lain
H. Karakteristik Nyeri kepala Yang Menjadi Tanda Penyakit Serius
Sebagian besar nyeri kepala bersifat ringan atau disebabkan penyakit yang
ringan. Namun kita tetap harus waspada karena nyeri kepala juga dapat merupakan
gejala dari penyakit yang serius seperti radang otak/selaput otak, perdarahan otak,
stroke, tumor otak, glaukoma, dan lain-lain (Lumbantobing, 2008).
Adapun karakteristik nyeri kepala yang menjadi tanda penyakit serius adalah
sebagai berikut (Basuki, 2009):
1. Sangat sakit paling sakit ( worst headache ever) : rasa sakit yang dirasakan
sangat sakit, jauh lebih sakit dibandingkan nyeri kepala sebelumnya
2. Nyeri kepala berat yang dirasakan pertama kalinya
3. Nyeri kepala yang bertambah berat dalam beberapa hari atau beberapa minggu
4. Ada gangguan saraf seperti kelumpuhan, kebutaan, dan lain-lain
5. Nyeri kepala disertai demam (yang penyebab demam tidak diketahui dengan
jelas)
6. Muntah yang terjadi mendahului nyeri kepala
7. Nyeri kepala yang dicetuskan oleh bending, mengangkat beban, dan batuk
8. Nyeri kepala timbul segera setelah bangun tidur
9. Usia lebih dari 55 tahun
10. Nyeri kepala pada anak

II.13 Vertigo
A. Definisi
Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa berputar
mengelilingi pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi lingkungan sekitar. Vertigo
tidak selalu sama dengan dizziness. Dizziness adalah sebuah istilah non spesifik yang
dapat dikategorikan ke dalan 4 subtipe tergantung gejala yang digambarkan oleh pasien
(Newell, 2010).

87
B. Etiologi
Vertigo merupakan suatu gejala,sederet penyebabnya antara lain akibat
kecelakaan,stres, gangguan pada telinga bagian dalam, obat-obatan, terlalu sedikit atau
banyak aliran darah ke otak dan lain-lain. Tubuh merasakan posisi dan mengendalikan
keseimbangan melalui organ keseimbangan yang terdapat di telinga bagian dalam.
Organ ini memiliki saraf yang berhubungan dengan area tertentu di otak. Vertigo bisa
disebabkan oleh kelainan di dalam telinga, di dalam saraf yang menghubungkan telinga
dengan otak dan di dalam otaknya sendiri (Newell, 2010).
Keseimbangan dikendalikan oleh otak kecil yang mendapat informasi tentang
posisi tubuh dari organ keseimbangan di telinga tengah dan mata. Penyebab umum dari
vertigo, antara lain (Neuhauser, 2009) :
1. Keadaan lingkungan : mabuk darat, mabuk laut.
2. Obat-obatan : alkohol, gentamisin.
3. Kelainan telinga : endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis di dalam
telinga bagian dalam yang menyebabkan benign paroxysmal positional
4. vertigo, infeksi telinga bagian dalam karena bakteri, labirintis, penyakit maniere,
5. peradangan saraf vestibuler, herpes zoster.
6. Kelainan Neurologis : Tumor otak, tumor yang menekan saraf vestibularis,
sklerosis multipel, dan patah tulang otak yang disertai cedera pada labirin,
persyarafannya atau keduanya.
7. Kelainan sirkularis : Gangguan fungsi otak sementara karena berkurangnya aliran
darah ke salah satu bagian otak ( transient ischemic attack ) pada arteri vertebral
dan arteri basiler.
Penyebab vertigo dapat berasal dari perifer yaitu dari organ vestibuler sampai ke
inti nervus VIII sedangkan kelainan sentral dari inti nervus VIII sampai ke korteks.
Berbagai penyakit atau kelainan dapat menyebabkan vertigo. Penyebab vertigo serta
lokasi lesi yaitu (Neuhauser, 2009):
1. Labirin, telinga dalam
a. vertigo posisional paroksisimal benigna
b. pasca trauma
c. penyakit menierre
d. labirinitis (viral, bakteri)

88
e. toksik (misalnya oleh aminoglikosid, streptomisin, gentamisin)
f. oklusi peredaran darah di labirin
g. fistula labirin
2. Saraf otak ke VIII
a. neuritis iskemik (misalnya pada DM)
b. infeksi, inflamasi (misalnya pada sifilis, herpes zoster)
c. neuritis vestibular
d. neuroma akustikus
e. tumor lain di sudut serebelo-pontin
3. Telinga luar dan tengah
a. Otitis media
b. Tumor
4. Supratentorial
a. Trauma
b. Epilepsi
5. Infratentorial
a. Insufisiensi vertebrobasiler
6. Obat
Beberapa obat ototoksik dapat menyebabkan vertigo yang disertai tinitus
dan hilangnya pendengaran.Obat-obat itu antara lain aminoglikosid, diuretik loop,
antiinflamasi nonsteroid, derivat kina atau antineoplasitik yang mengandung
platina. Streptomisin lebih bersifat vestibulotoksik, demikian juga gentamisin;
sedangkan kanamisin, amikasin dan netilmisin lebih bersifat ototoksik.
Antimikroba lain yang dikaitkan dengan gejala vestibuler antara lain sulfonamid,
asam nalidiksat, metronidaziol dan minosiklin. Terapi berupa penghentian obat
bersangkutan dan terapi fisik, penggunaan obat supresan vestibuler tidak
dianjurkan karena jusrtru menghambat pemulihan fungsi vestibluer. Obat penyekat
alfa adrenergik, vasodilator dan antiparkinson dapat menimbulkan keluhan rasa
melayang yang dapat dikacaukan dengan vertigo.

C. Epidemiologi
Vertigo merupakan gejala yang sering didapatkan pada individu dengan
prevalensi sebesar 7%. Beberapa studi telah mencoba untuk menyelidiki epidemiologi

89
dizziness, yang meliputi vertigo dan non vestibular dizziness . Dizziness telah
ditemukan menjadi keluhan yang paling sering diutarakan oleh pasien, yaitu sebesar 20-
30% dari populasi umum. Dari keempat jenis dizziness vertigo merupakan yang paling
sering yaitu sekitar 54%. Pada sebuah studi mengemukakan vertigo lebih banyak
ditemukan pada wanita disbanding pria (2:1), sekitar 88% pasien mengalami episode
rekuren (Newell, 2010).
D. Patogenesis
Pada telinga dalam terdapat 3 kanalis semisirkularis. Ketiga kanalis
semisirkularis tersebut terletak pada bidang yang saling tegak lurus satu sama lain. Pada
pangkal setiap kanalis semisirkularis terdapat bagian yang melebar yakni ampula. Di
dalam ampula terdapat kupula, yakni alat untuk mendeteksi gerakan cairan dalam
kanalis semisirkularis akibat gerakan kepala. Sebagai contoh, bila seseorang
menolehkan kepalanya ke arah kanan, maka cairan dalam kanalis semisirkularis kanan
akan tertinggal sehingga kupula akan mengalami defleksi ke arah ampula. Defleksi ini
diterjemahkan dalam sinyal yang diteruskan ke otak sehingga timbul sensasi kepala
menoleh ke kanan. Adanya partikel atau debris dalam kanalis semisirkularis akan
mengurangi atau bahkan menimbulkan defleksi kupula ke arah sebaliknya dari arah
gerakan kepala yang sebenarnya. Hal ini menimbulkan sinyal yang tidak sesuai dengan
arah gerakan kepala, sehingga timbul sensasi berupa vertigo (Hornibrook, 2011).
Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh
yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan
apayang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Ada beberapa teori yang berusaha
menerangkan kejadian tersebut (Li, 2015):
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan
menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu,
akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.
2. Teori konflik sensorik.
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari
berbagai reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus, vestibulum dan proprioceptif,
atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik yang berasal dari sisi kiri dan
kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di sentral

90
sehingga timbul respons yang dapat berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata),
ataksia atau sulit berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang,
berputar (berasal dari sensasi kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan,
teori ini lebih menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.
3. Teori neural mismatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik, menurut teori ini
otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu, sehingga jika pada
suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan yang
telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola gerakan yang
baru tersebut dilakukan berulang -ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga
berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.
4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha
adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatis terlalu
dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan.
5. Teori Sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjai peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses
adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stres yang akan
memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor), peningkatan kadar CRF
selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya
mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf
parasimpatik. Teori ini dapat meneangkan gejala penyerta yang sering timbul
berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang
berkembang menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat
akibat dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.
E. Tanda dan Gejala
Gejala klinis pasien dengan dizziness dan vertigo dapat berupa gejala primer,
sekunder ataupun gejala non spesifik. Gejala primer diakibatkan oleh gangguan pada
sensorium. Gejala primer berupa vertigo, impulsion, oscilopsia, ataxia, gejala
pendengaran. Vertigo, diartikan sebagai sensasi berputa. Vertigo dapat horizontal,
vertical atau rotasi. Vertigo horizontal merupa tipe yang paling sering, disebabkan oleh

91
disfungsi dari telinga dalam. Jika bersamaan dengan nistagmus, pasien biasanya
merasakan sensasi pergerakan dari sisi yang berlawanan dengan komponen lambat.
Vertigo vertical jarang terjadi, jika sementara biasanya disebabkan oleh BPPV. Namun
jika menetap, biasanya berasal dari sentral dan disertai dengan nistagmus dengan
gerakan ke bawah atau ke atas. Vertigo rotasi merupakan jenis yang paling jarang
ditemukan. Jika sementara biasnaya disebabakan BPPV namun jika menetap
disebabakan oleh sentral dan biasanya disertai dengan rotator nistagmus (Wahyudi,
2012).
Faktor pencetus Kemungkinan diagnosis
Perubahan Acute labyrinthitis; benign positional paroxysmal
posisi kepala vertigo; cerebellopontine
angle tumor; multiple sclerosis; perilymphatic fistula

Spontaneous Acute vestibular neuronitis; cerebrovascular


episodes disease (stroke or transient ischemic
(i.e., no attack); Mnires disease; migraine;
consistent multiple sclerosis
provoking
factors)
Acute vestibular neuronitis

Recent upper
respiratory
viral illness Psychiatric or psychological causes; migraine

Stress Herpes zoster oticus

Immunosuppres
sion
(e.g.,
immunosuppres
sive
medications,
advanced
age, stress) Perilymphatic fistula

Changes in ear
pressure, head
trauma, loud
noises
Tabel 1. Tanda dan gejala Vertigo.

92
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada vertigo meliputi tes audiometric, vestibular testing,
evalusi laboratories dan evalusi radiologis. Tes audiologik tidak selalu diperlukan. Tes
ini diperlukan jika pasien mengeluhkan gangguan pendengaran. Namun jika diagnosis
tidak jelas maka dapat dilakukan audiometric pada semua pasien meskipun tidak
mengeluhkan gangguan pendengaran (Wahyudi, 2012).
Vestibular testing tidak dilakukan pada semua pasien dengan keluhan dizziness .
Vestibular testing membantu jika tidak ditemukan sebab yang jelas. Pemeriksaan
laboratorium meliputi pemeriksaan elekrolit, gula darah, fungsi thyroid dapat
menentukan etiologi vertigo pada kurang dari 1 persen pasien (Wahyudi, 2012).
Pemeriksaan radiologi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan vertigo yang
memiliki tanda dan gejala neurologis, ada factor resiko untuk terjadinya CVA, tuli
unilateral yang progresif. MRI kepala mengevaluasi struktur dan integritas batang otak,
cerebellum, dan periventrikular white matter, dan kompleks nervus VIII
(Wreksoatmodjo, 2004).
G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari vertigo dapat dilihat pada tabel berikut ini
(Wreksoatmodjo, 2004):
Vertigo dengan Vertigo tanpa tuli Vertigo dengan
tuli tanda intracranial
Mnires Vestibular Tumor
disease neuritis Cerebellopontine
angle
Labyrinthitis Benign positional Vertebrobasilar
vertigo insufficiency dan
thromboembolism

Labyrinthine Acute vestiblar Tumor otak


trauma dysfunction - Misalnya,
epyndimoma atau
metastasis pada
ventrikel keempat
Acoustic Medication Migraine
neuroma induced vertigo
e.g
aminoglycosides

93
Acute cochleo- Cervical Multiple sklerosis
vestibular spondylosis
dysfunction
Syphilis (rare) Following Aura epileptic
flexion-extension attack-terutama
injury temporal lobe
epilepsy
Obat-obatan- misalnya,
phenytoin, barbiturate
Syringobulosa

H. Penatalaksanaan
Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita seringkali merasa sangat
terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali menggunakan pengobatan
simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi. Sebagian besar kasus terapi dapat
dihentikan setelah beberapa minggu. Beberapa golongan yang sering digunakan
(Wahyudi, 2012) :
1. Antihistamin
Tidak semua obat antihistamin mempunyai sifat anti vertigo. Antihistamin yang
dapat meredakan vertigo seperti obat dimenhidrinat, difenhidramin, meksilin,
siklisin. Antihistamin yang mempunyai anti vertigo juga memiliki aktivitas anti-
kholinergik di susunan saraf pusat. Mungkin sifat anti-kholinergik ini ada
kaitannya dengan kemampuannya sebagai obat antivertigo. Efek samping yang
umum dijumpai ialah sedasi (mengantuk). Pada penderita vertigo yang berat efek
samping ini memberikan dampak yang positif.
a. Betahistin
Senyawa Betahistin (suatu analog histamin) yang dapat meningkatkan
sirkulasi di telinga dalam, dapat diberikan untuk mengatasi gejala vertigo. Efek
samping Betahistin ialah gangguan di lambung, rasa enek, dan sesekali rash
di kulit.
1) Betahistin Mesylate (Merislon)
Dengan dosis 6 mg (1 tablet) 12 mg, 3 kali sehari per oral.
2) Betahistin di Hcl (Betaserc)
Dengan dosis 8 mg (1 tablet), 3 kali sehari. Maksimum 6 tablet dibagi
dalam beberapa dosis.

94
b. Dimenhidrinat (Dramamine)
Lama kerja obat ini ialah 4 6 jam. Dapat diberi per oral atau
parenteral (suntikan intramuscular dan intravena). Dapat diberikan dengan
dosis 25 mg 50 mg (1 tablet), 4 kali sehari. Efek samping ialah mengantuk.
c. Difhenhidramin Hcl (Benadryl)
Lama aktivitas obat ini ialah 4 6 jam, diberikan dengan dosis 25 mg
(1 kapsul) 50 mg, 4 kali sehari per oral. Obat ini dapat juga diberikan
parenteral. Efek samping mengantuk.
2. Antagonis Kalsium
Dapat juga berkhasiat dalam mengobati vertigo. Obat antagonis kalsium
Cinnarizine (Stugeron) dan Flunarizine (Sibelium) sering digunakan. Merupakan
obat supresan vestibular karena sel rambut vestibular mengandung banyak
terowongan kalsium. Namun, antagonis kalsium sering mempunyai khasiat lain
seperti anti kholinergik dan antihistamin. Sampai dimana sifat yang lain ini
berperan dalam mengatasi vertigo belum diketahui.
a. Cinnarizine (Stugerone)
Mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular. Dapat mengurangi
respons terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis biasanya ialah 15 30
mg, 3 kali sehari atau 1 x 75 mg sehari. Efek samping ialah rasa mengantuk
(sedasi), rasa cape, diare atau konstipasi, mulut rasa kering dan rash di kulit.
3. Fenotiazine
Kelompok obat ini banyak mempunyai sifat anti emetik (anti muntah).
Namun tidak semua mempunyai sifat anti vertigo. Khlorpromazine (Largactil) dan
Prokhlorperazine (Stemetil) sangat efektif untuk nausea yang diakibatkan oleh
bahan kimiawi namun kurang berkhasiat terhadap vertigo.
a. Promethazine (Phenergan)
Merupakan golongan Fenotiazine yang paling efektif mengobati
vertigo. Lama aktivitas obat ini ialah 4 6 jam. Diberikan dengan dosis 12,5
mg 25 mg (1 draze), 4 kali sehari per oral atau parenteral (suntikan
intramuscular atau intravena). Efek samping yang sering dijumpai ialah sedasi
(mengantuk), sedangkan efek samping ekstrapiramidal lebih sedikit
disbanding obat Fenotiazine lainnya.

95
b. Khlorpromazine (Largactil)
Dapat diberikan pada penderita dengan serangan vertigo yang berat dan
akut. Obat ini dapat diberikan per oral atau parenteral (suntikan intramuscular
atau intravena). Dosis yang lazim ialah 25 mg (1 tablet) 50 mg, 3 4 kali
sehari. Efek samping ialah sedasi (mengantuk).
4. Obat Simpatomimetik
Obat simpatomimetik dapat juga menekan vertigo. Salah satunya obat
simpatomimetik yang dapat digunakan untuk menekan vertigo ialah efedrin.
a. Efedrin
Lama aktivitas ialah 4 6 jam. Dosis dapat diberikan 10 -25 mg, 4 kali
sehari. Khasiat obat ini dapat sinergistik bila dikombinasi dengan obat anti
vertigo lainnya. Efek samping ialah insomnia, jantung berdebar (palpitasi) dan
menjadi gelisah gugup.
5. Obat Penenang Minor
Dapat diberikan kepada penderita vertigo untuk mengurangi kecemasan
yang diderita yang sering menyertai gejala vertigo.efek samping seperti mulut
kering dan penglihatan menjadi kabur.
a. Lorazepam, Dosis dapat diberikan 0,5 mg 1 mg
b. Diazepam, Dosis dapat diberikan 2 mg 5 mg.
6. Obat Anti Kolinergik
Obat antikolinergik yang aktif di sentral dapat menekan aktivitas sistem
vestibular dan dapat mengurangi gejala vertigo.

a. Skopolamin
Skopolamin dapat pula dikombinasi dengan fenotiazine atau efedrin dan
mempunyai khasiat sinergistik. Dosis skopolamin ialah 0,3 mg 0,6 mg, 3 4
kali sehari.
I. Prognosis
Prognosis pada pasien vertigo bagus dengan penatalaksanaan yang tepat seperti
metode reposisi kanalit. Namun pada beberapa kasus kekambuhan sering terjadi atau
memerlukan beberapa kali sesi terapi sebelum sembuh total (Korres, 2006).

96
II. 14 Krisis Miastenia
A. Definisi
Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi
neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunter).
Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi
kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial.
Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang dimanifestasikan adanya kelemahan
dan kelelahan otot akibat dari menurunnya jumlah dan efektifitas reseptor asetilkoline
pada persambungan antar neuron neuromuscular junction (Guyton, 2007).
B. Klasifikasi
Menurut Osserman miastenia gravis dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas,
yaitu (Waseem et al., 2010):
1. Kelas I (miastenia okular)
Hanya menyerang otot-otot okular sepeti ptosis, diplopia. Sifatnya ringan
dan tidak menimbulkan kematian.
2. Kelas II
a. Kelas II A (miastenia umum ringan)
Awitan lambat, biasanya pada mata kemudian menyebar ke otot rangka,
tidak gawat, respon terhadap obat baik, kematian rendah.
b. Kelas II B ( miastenia umum sedang)
Menyerang beberapa otot skeletal dan bulbar, kesulitan mengunyah,
menelan. Respon terhadap obat kurang, angka kematian rendah.
3. Kelas III (miastenia fulminan akut)
Perkembangan penyakit cepat, disertai krisis pernapasan, respon terhadap
obat buruk, terjadinya thyoma tinggi dan angka kkematian tinggi.
4. Kelas IV (mistenia berat lanjut)
Berkembang selama 2 tahun dari kelas I ke kelas II. Dapat berkembang
secara perlahan atau tiba-tiba, respon terhadap pengobatan kurang dan kematian
tinggi.
C. Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi
pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada

97
ujung akson motor neuron terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan
penimbunan asetilkolin. Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel
globuler pecah dan aetelkolin dibebaskan yang dapat memindahkan gaya saraf yang
kemudian bereaksi dengan asetilkolin reseptor (AChR) pada membran postsinaptik.
Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya
kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi otot (Guyton,
2007).
Meskipun faktor presipitasi masih belum jelas, tetapi hasil penelitian
menunjukkan bahwa kelemahan pada miastenia gravis diakibatkan dari sirkulasi
antibodi dalam reseptor asetilkolin. Menurut hipotesa bahwa sel-sel myoid (sel-sel
thymus yang menyerupai sel otot skeletal) sebagai tempat yang paling awal terjangkit
penyakit. Virus bertanggung jawab terhadap sel-sel ini dimana menyebabkan
pembentukan antibodi.
Penyebab lain diperkirakan karena faktor keturunan, dimana 15 % dari bayi
yang baru lahir dari ibu yang menderita miastenia gravis memperlihatkan gejala-gejal
miastenia gravis seperti kelemahan pada muscular, ptosis, kesulitan menghisap dan
sesak napas. Setelah 7 sampai 14 hari bayi lahir, gejala-gejala ini akan hilang seiring
hilangnya antibodi. Hal ini memperkuat teori bahwa antibodi berperan dalam penyakit
ini (Price, 2006).
Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia gravis tidak
diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan asetilkolin atau
kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang
berperanan.
D. Patofisiologi
Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan pada
tranmisi impuls saraf menuju sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya
reseptor normal membrane postsinaps pada sambungan neuromuscular. Penelitian
memperlihatkan adanya penurunan 70 % sampai 90 % reseptor asetilkolin pada
sambungan neuromuscular setiap individu. Miastenia gravis dipertimbangkan sebagai
penyakit autoimun yang bersikap lansung melawan reseptor asetilkolin (AChR) yang
merusak tranmisi neuromuscular (Corwin, 2009).

98
Pada myasthenia gravis, sistem kekebalan menghasilkan antibodi yang
menyerang salah satu jenis reseptor pada otot samping pada simpul neuromukular-
reseptor yang bereaksi terhadap neurotransmiter acetycholine. Akibatnya, komunikasi
antara sel syaraf dan otot terganggu. Apa penyebab tubuh untuk menyerang reseptor
acetylcholine sendiri-reaksi autoimun-tidak diketahui (Corwin, 2009).
Berdasarkan salah satu teori, kerusakan kelenjar thymus kemungkinan terlibat.
Pada kelenjar thymus, sel tertentu pada sistem kekebalan belajar bagaimana
membedakan antara tubuh dan zat asing. Kelenjar thymus juga berisi sel otot
(myocytes) dengan reseptor acetylcholine. Untuk alasan yang tidak diketahui, kelenjar
thymus bisa memerintahkan sel sistem kekebalan untuk menghasilkan antibodi yang
menyerang acetylcholine. Orang bisa mewarisi kecendrungan terhadap kelainan
autoimun ini. Sekitar 65% orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami
pembesaran kelenjar thymus, dan sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar thymus
(thymoma). Sekitar setengah thymoma adalah kanker (malignant). Beberapa orang
dengan gangguan tersebut tidak memiliki antibodi untuk reseptor acetylcholine tetapi
memiliki antibodi terhadap enzim yang berhubungan dengan pembentukan
persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang ini bisa memerlukan
pengobatan berbeda.
E. Faktor Resiko
Faktor-faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya miastenia gravis diantaranya
(Paul, 2005):
1. Pengobatan
a. Obatan-obatan antikolinesterase
b. Laksative atau enema
c. Tranquilizer atau sedatif
d. Potasium depleting diuretic
e. Antibiotik seperti aminoglikosid, tetrasiklin, polimiksin, antiaritmia,
prokainamide, quinine
f. Narkotik analgetik
g. Diphenilhydramine
2. Alkohol
3. Perubahan hormonal

99
4. Stress
5. Infeksi
6. Perubahan suhu/temperatur
7. Panas
8. Pembedahan
F. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik yang timbul pada kasus miastenia gravis bervariasi dari
masing-masing kelas, namun demikian pada pasien miastenia gravis tanda dan gejala
yang mungkin terjadi, yaitu (Setiawati et al.,2007):
1. Gangguan pada mata seperti adanya diplopia (pandangan ganda), ptosis (kelemahan
kelopak mata).
2. Gangguan pada otot wajah seperti kesulitan mengunyah, menelan dan bicara.
3. Gangguan pada kelemahan otot palatal dan faring sehingga pasien tidak mampu
menelan dan hal ini berisiko menimbulkan aspirasi.
4. Kelemahan otot leher sehingga kepala pasien sulit tegak.
5. Kelemahan pada otot-otot pernapasan seperti diafragma dan otot intercosta
mengakibatkan terganggunya pernapasan.
6. Terjadinya krisis miastenia, disebabkan karena kekurangan asetilkolin, keadaan ini
disebabkan karena perubahan atau ketergantungan obat, emosi dan stress fisik,
infeksi atau pembedahan.
7. Terjadinya krisis kolinergik, disebabkan karena kelebihan dari asetilkolin sebagai
akibat overdosis pengoabatan/efek toksik dari pemberian asetilkolin.
8. Perbedaan gejala Krisis kolinergik dan krisis miastenia dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel 2.3 Perbedaan krisis kolinergik dan krisis miastenia (Waseem et al., 2010).

Krisis miastenia Krisis kolinergik


1. Meningkatnya tekanan darah 1. Menurunnya tekanan darah
2. Takikardia 2. Bradikardia
3. Gelisah 3. Gelisah
4. Ketakutan 4. Ketakutan
5.Meningkatnya sekresi bronkhial, air 5.Meningkatnya sekresi bronkhial ,air

100
mata dan keringat mata dan keringat
6. Kelemahan otot umum 6. Kelemahan otot umum
7. Kehilangan refleks batuk 7. Kesultan bernapas, menelan dan bicara
8. Kesulitan bernafas, menelan dan bicara 8. Mual, muntah
9. Penurunan output urine 9. Diare
10.Kram abdomen.

G. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien dengan kasus miastenia
gravis, rontgen dada dan CT scan dada : mengetahui kemungkinan adanya thymoma
serta dapat menunjukan hiperplasia timus yang dianggap menyebabkan respon
autoimun (Zunilda, 2007).
Tensilon test (edrofonium klorida) : dengan menyuntikkan 1-2 mg tensilon
intravena, jika tidak ada perkembangan suntikkan kembali 5-8 tensilon. Reaksi
dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam 1
menit) ptosis hilang. Reaksi ini tidak berlangsung lama dan akan kembali seperti
semula. Injeksi IV memeperbaiki respon motorik sementara dan menurunkan gejala
pada krisis miastenik untuk sementara waktu memperburuk gejala-gejala pada krisis
kolinergik (Paul, 2005).
Test Wertenberg : penderita diminta menatap benda di atas bidang ke dua mata
tanpa berkedip. Pada miastenia gravis maka kelopak mata yang terkena akan ptosis
(Jukarnain, 2011).
a. Test Prostigmin : prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atrpon sulfas
disuntikkan IM atau subkutan. Positif apabila ada perbaikan kekuatan otot, atau gejala
menghilang. Electromyogram (EMG) : mengetahui kontraksi otot. Test serum antibodi
ami reseptor asetilkolin: terjadi peningkatan (Zunilda, 2007).
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis yang dilakukan pada pasien dengan kasus miastenia
gravis, yaitu (Hunter & Jennifer,2004) :
1. Penatalaksanaan umum
a. Pemenuhan kebutuhan nutrisi.
b. Aktivitas fisik dan pencegahan komplikasi

101
c. Pengunaan ventilator jika ada indikasi.
2. Pengobatan
a. Plasmaferesis: terapi penggantian plasma sebanyak 3-8 kali.
b. Antikolisterase seperti peridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam.
c. Steroid seperti prednison diberikan selang-seling sehari sekali untuk
menghindari efek samping.
d. Immunosupresan seperti azatioprin.
e. Pembedahan timektomi atau pengangkatan kelenjara thymus.

II.15 Trauma Medulla Spinalis


A. Definisi
Trauma medulla spinalis adalah cedera pada medulla spinalis karena trauma
langsung atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi utamanya, seperti fungsi
motorik, sensorik, autonomik, dan refleks, baik komplet ataupun inkomplet (Singh et al.,
2014).
B. Epidemiologi
Trauma medula spinalis merupakan penyebab kematian dan kecacatan pada era
modern. Diperikirakan terjadi sekitar 54 kasus per juta populasi dalam setahun di Amerika
atau sekitar 17.000 pasien per tahun, terutama pada pria muda yang belum menikah
(NSCISC, 2016). Di Indonesia, insidens trauma medula spinalis diperkirakan 3040 per satu
juta penduduk per tahun, dengan sekitar 8.00010.000 kasus per tahun.
C. Etiologi
Cedera medula spinalis dibagi menjadi dua jenis (Chen et al., 2013) :
Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang
diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula
spinalis. Cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari
kolumna vertebra (Chen et al., 2013).
Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit,
infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang
terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor
penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati
spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler,

102
kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan (Chen et al.,
2013).
D. Patomekanisme
Mekanisme trauma dan stabilitas fraktur
Trauma medulla spinalis dapat menyebabkan komosio, kontusio, laserasi, atau
kompresi medulla spinalis. Patomekanika lesi medulla spinalis berupa rusaknya traktus pada
medulla spinalis, baik asenden ataupun desenden. Petekie tersebar pada substansia grisea,
membesar, lalu menyatu dalam waktu satu jam setelah trauma. Selanjutnya, terjadi nekrosis
hemoragik dalam 24-36 jam. Pada substansia alba, dapat ditemukan petekie dalam waktu 3-
4 jam setelah trauma. Kelainan serabut mielin dan traktus panjang menunjukkan adanya
kerusakan struktural luas (Tjokorda & Maliawan, 2009).
Medulla spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut (Tjokorda &
Maliawan, 2009) :
1) Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan hematoma. Yang
paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra
yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2) Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfl eksi. Toleransi medula
spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.
3) Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu aliran darah
kapiler dan vena.
4) Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat kompresi
tulang.
Mekanisme kerusakan primer
Ada setidaknya 4 mekanisme penyebab kerusakan primer (Ylmaz et al, 2014) :
1) Gaya impact dan kompresi persisten
2) Gaya impact tanpa kompresi
3) Tarikan medula spinalis
4) Laserasi dan medula spinalis terpotong akibat trauma
Sel neuron akan rusak dan kekacauan proses intraseluler akan turut berdampak pada
selubung mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi saraf terganggu, baik karena efek
trauma ataupun oleh efek massa akibat pembengkakan daerah sekitar luka. Kerusakan
substansia grisea akan ireversibel pada satu jam pertama setelah trauma, sementara

103
substansia alba akan mengalami kerusakan pada 72 jam setelah trauma primer (Ylmaz et al,
2014).
Mekanisme kerusakan sekunder
Kerusakan primer merupakan sebuah nidus atau titik awal terjadinya kerusakan
sekunder. Kerusakan sekunder disebabkan, antara lain oleh syok neurogenik, proses
vaskular, seperti perdarahan dan iskemia, eksitotoksisitas, lesi sekunder yang dimediasi
kalsium, gangguan elektrolit, kerusakan karena proses imunologi, apoptosis, gangguan pada
mitokondria, dan proses lain (Ylmaz et al, 2014).
Proses imunologi pada kerusakan sekunder
Sel glia berfungsi menjaga proses homeostasis melalui regulasi asam amino
eksitatorik dan pH. Sel glia menghasilkan berbagai macam growth factor untuk
menstabilkan kembali jaringan saraf yang rusak, serta sprouting atau penyebaran ujung
saraf; sel glia lain berfungsi menghilangkan debris atau sisa sel melalui enzim lisosom.
Leukosit mempunyai peran bifasik saat trauma, awalnya didapatkan predominasi infiltrasi
neutrofil yang melepaskan enzim lisis yang akan mengeksaserbasi kerusakan sel saraf, sel
glia, dan vaskular, tahap berikutnya adalah proses rekruitmen dan migrasi makrofag yang
akan memfagositosis sel rusak (Holtz & Levi, 2009; James et al., 2013).
Proses rekrutmen sel imun pada lokasi trauma dimediasi oleh berbagai golongan
protein, seperti ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1). Protein ini akan memodulasi
infi ltrasi neutrofi l pada lokasi trauma; penggunaan antibodi monoclonal ICAM-1 pada
percobaan dapat mensupresi mieloperoksidase, mengurangi edema medula spinalis, dan
meningkatkan aliran darah medula spinalis. Molekul protein sejenis yang berfungsi mirip
ICAM-1 antara lain P-selektin, sitokin interleukin-1, interleukin-6, and tumor necrosis factor
(TNF), sedangkan interleukin-10 mampu mengurangi TNF yang akan menurunkan juga
monosit dan sel imun lain pascatrauma. Faktor lain yang masih perlu dipahami lebih lanjut
adalah aktivasi faktor kappa-B; faktor nuklear kappa-B merupakan kelompok gen yang
meregulasi proses inflamasi, proliferasi, dan kematian sel. Proses modulasi respons imun
pada trauma medula spinalis merupakan sasaran target terapi kerusakan sekunder (Holtz &
Levi, 2009; James et al., 2013).
Apoptosis
Apoptosis dicetuskan banyak faktor, seperti sitokin, inflamasi, radikal bebas, dan
proses eksitotoksik. Apoptosis mikroglia menyebabkan respons sekunder trauma, apoptosis

104
oligodendrosit mengakibatkan demielinisasi pascatrauma pada beberapa minggu berikutnya,
apoptosis neuron akan mengakibatkan hilangnya sel saraf. Proses apoptosis melalui dua
jalur, jalur pertama ekstrinsik yang dimediasi oleh ligan Fas dan reseptor Fas dan inducible
nitric oxide synthase (i-NOS) yang diproduksi makrofag, sedangkan jalur intrinsik lewat
aktivasi proenzim kaspase-3 oleh rusaknya mitokondria, sitokrom-C, dan kaspase-9; studi
menggunakan inhibitor kaspase dapat mencegah kematian sel. Reseptor apoptosis
dipengaruhi oleh tumor necrosis factor (TNF). Tumor necrosis factor meningkat
pascatrauma dan mengaktifkan reseptor Fas di sel saraf, mikroglia, dan oligodendrosit yang
akan mengaktifkan pula beberapa kaspase, seperti kaspase-8 sebagai inducer, kaspase 3 dan
6 sebagai kaspase efektor. Produksi i-NOS mengaktifkan kaspase dengan cara yang serupa
dengan TNF (Holtz & Levi, 2009; James et al., 2013).
Faktor lain yang berkontribusi pada kerusakan sekunder
Beberapa peptida dan neurotransmiter terlibat pada kerusakan sekunder, antara lain
aktivasi reseptor dan opioid dapat memperlama proses eksitotoksik. Aktivasi reseptor
Kappa dapat berefek eksaserbasi penurunan aliran darah dan menginduksi eksitotoksisitas.
Kadar neurotransmiter tertentu, seperti asetilkolin dan serotonin, juga akan meningkat dan
memiliki efek vasokonstriksi, aktivasi trombosit, serta peningkatan permeabilitas endotel
(Holtz & Levi, 2009; James et al., 2013; Ylmaz et al, 2014).
E. Klasifikasi
Klasifikasi dari trauma medulla spinalis terbagi atas 2 kategori, yaitu berdasarkan
impairment scale dan berdasarkan tipe/lokasi trauma.
a. Klasifikasi Impairment Scale
Tabel 1 Klasifikasi Impairment Scale
Grade Tipe Gangguan Medula Spinalis
A Komplit Fungsi motoris dan sensoris hilang sama sekali
di bawah level lesi.
B Inkomplit Fungsi motoris hilang sama sekali, sensoris
masih tersisa di bawah level lesi
C Inkomplit Fungsi motris dan sensoris masih terpelihara
tetapi tidak fungsional
D Inkomplit Fungsi sensorik dan motorik masih terpelihara
dan fungsional
E Normal fungsi sensoris dan motorisnya normal tanpa
defisit neurologisnya.

105
b. Klasifikasi Tipe dan Lokasi Trauma
Complete Spinal Cord Injury (Grade A)
Unilevel
Multilevel
Incomplete Spinal Cord Injury (Grade B,C,D)
F. Diagnosis
Trauma medulla spinalis tentu dimulai dengan penilaian kondisi jalan napas,
pernapasan, dan peredaran darah. Setelah ketiga abc tersebut stabil, barulah dilakukan
anamnesis mengenai kejadian trauma, tipe trauma, keadaan pasien sebelum dan setelah
trauma, gejala-gejala penyerta seperti nyeri yang menjalar, kelumpuhan/hilangnya
pergerakan, hilangnya sensasi rasa, hilangnya kemampuan peristaltic usus, spasme otot,
perubahan fungsi otonom dan seksual. Perlu diingat bahwa penyebab trauma pasien juga
harus ditelusuri, misalkan pasien mengalami kelemahan terlebih dahulu baru kemudian
terjatuh (PERDOSSI, 2006).
Setelah anamnesis, dilakukan penilaian generalis guna mengetahui penyebab trauma
dan apakah terdapat kelainan tulang dan sebagainya. Pasien yang diduga mengalami cedera
tulang servikal harus diperlakukan sangat hati-hati. Pemeriksaan neurologis pada cedera
medula spinalis meliputi penilaian berikut seperti (PERDOSSI, 2006).:
Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)
Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)
Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal)
Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus)
Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti disfagia)
Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan
completeness dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis lainnya
seperti cedera pleksus brakialis dapaa dinilai. Segmen terakhir dari fungsi saraf spinal yang
normal, seperti yang diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut sebagai level neurologis dari
lesi tersebut. Hal ini tidak harus sesuai dengan level fraktur, karena itu diagnosa neurologis
dan fraktur harus dicatat (PERDOSSI, 2006).
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan foto polos vertebra yang merupakan
langkah awal untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang melibatkan medulla spinalis,
kolumna vertebralis, dan jaringan di sekitarnya. Pada trauma servikal digunakan foto AP,

106
lateral, dan odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal, digunakan foto AP dan Lateral
(PERDOSSI, 2006).
Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, urin lengkap, gula darah, ureum
dan kreatinin, fungsi hati, dan analisis gas darah kerap dikerjakan guna mengetahui kondisi
metabolik pasien. Pemeriksaan lain seperti EKG juga dapat dilakukan dalam kondisi tertentu
(PERDOSSI, 2006).
Untuk menegakkan diagnosis pasti dapat dilakukan pemeriksaan CT-scan dan MRI
vertebra. CT-scan dapat lebih jelas memperlihatkan jaringan lunak, struktur tulang, dan
kanalis spinalis dalam potongan aksial. Sedangkan MRI dapat memperlihatkan keseluruhan
struktur internal medulla spinalis dalam sekali pemeriksaan. Selain imaging, pemeriksaan
neurofisiologi klinik seperti SSEP juga dapat dianjurkan (PERDOSSI, 2006).
G. Tatalaksana
Penatalaksanaan Pra-Rumah Sakit
Penatalaksanaan TMS dimulai segera setelah terjadinya trauma. Berbagai studi
memperlihatkan pentingnya penatalaksanaan prarumah sakit dalam menentukan prognosis
pemulihan neurologis pasien TMS (Wahjoepramono, 2007). Untuk mendukung tujuan
penyembuhan yang optimal, maka perlu diperhatikan tatalaksana seperti halnya melakukan
stabilisasi secara manual, membatasi gerakan fleksi dan lainnya, menenangkan pasien dan
memberikan penanganan mobilitasi vertebra dengan hard cervical collar atau brace
vertebral (PERDOSSI, 2006).
Penatalaksanaan di IGD
a) Fase evaluasi meliputi observasi. Observasi terdiri atas: (PERDOSSI, 2011)
A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B: Breathing dan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan
D: Disabilitas (status neurologis)
E: Exposure/environmental control
b) Stabilisasi vertebra
Vertebra servikal dapat diimobilisasi sementara menggunakan hard cervical collar dan
meletakkan bantal pasir pada kedua sisi kepala. Bila terdapat abnormalitas struktur
vertebra, tujuan penatalaksanaan adalah realignment dan fiksasi segmen bersangkutan
(PERDOSSI, 2006; PERDOSSI, 2011).

107
c) Stabilisasi medis: pada penderita tetraparesis dan tertraplegi (PERDOSSI, 2011).
Periksa vital sign
Pasang NGT
Pasang kateter urin
Segera normalkan vital signs. Berikan oksigen, monitoring produksi urin, bila perlu
monitor AGD, dan periksa apakah ada neurogenic shock.
d) Rehabilitasi
Bladder training, bowel training, latihan otot pernapasan, pencapaian optimal fungsi-
fungsi neurologic dan program kursi roda bagi penderita paraparesis dan paraplegi
(PERDOSSI, 2011).
e) Medikamentosa
Bila diagnosis ditegakkan <3 jam pasca trauma, dapat diberikan kortikosteroid
metilprednisolon 30 mg/kgBB iv bolus selama 15 menit, ditunggu selama 45 menit,
kemudian diberikan infuse terus-menerus metilprednisolon selama 24 jam dengan dosis
5,4 mg/kgBB/jam. Bila diagnosis baru ditegakkan 38 jam, maka cukup diberikan
metilprednisolon dalam infuse untuk 48 jam. Bila diagnosis baru diketahui setelah 8 jam,
maka pemberian metilprednisolon tidak dianjurkan (PERDOSSI, 2006).
f) Tindakan operasi
Tindakan operasi dapat dilakukan dalam 24 jam sampai 3 minggu pasca trauma.
Tindakan opertaif awal (<24 jam) lebih bermakna menurunkan perburukan neurologis,
komplikasi, dan keluaran skor motorik satu tahun pasca trauma. Terapi bedah bertujuan
untuk mengeluarkan fragmen tulang, benda asing, reparasi hernia diskus, dan
menstabilisasi vertebrata guna mencegah nyeri kronis.
Indikasi untuk operasi adalah adanya fraktur, pecahan tulang yang menekan medulla
spinalis, gambaran neurologis yang progresif memburuk, fraktur atau dislokasi yang
labil, terjadinya herniasi diskus intervertebralis yang menekan medulla spinalis
(PERDOSSI, 2006).
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pasca cedera medula spinalis antara lain yaitu
instabilitas dan deformitas tulang vertebra, fraktur patologis, syringomyelia pasca trauma,
nyeri dan gangguan fungsi seksual (Wahjoepramono, 2007).

108
I. Prognosis
Pasien dengan cedera medulla spinalis komplit hanya mempunyai harapan untuk
sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam, maka peluang
untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik masih ada, maka pasien
mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan kembali sebesar 50%. Secara umum, 90%
penderita cedera medulla spinalis dapat sembuh dan mandiri (PERDOSSI, 2006).

109
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Kegawatdaruratan neurologi merupakan suatu kondisi di bidang neurologi yang
memerlukan tindakan pengobatan segera dan bila tidak dilakukan dapat menyebabkan
kerusakan lebih berat bahkan kematian. Tujuan penatalaksaannya adalah untuk
mengoptimalkan peluang pasien untuk hidup, meminimalkan sequelle, dan menurunkan
beban keluarga.

110
DAFTAR PUSTAKA

Adams, S et al. 2012. The Kynurenine Pathway in Brain Tumor Pathogenesis.


AACR. 72(22):1-9.

Alberto V, Claudia D, Sergio A, Carla V, Piero P. 2012. Diagnosis And


Management Of Catamenial Seizures: A Review. International Journal of Womens
Health. 4 535541.

Aliah, A., Kuswara, F.F., Limoa, A. & Wuysang, G., 2007. Gambaran umum tentang
gangguan peredaran darah otak. 6th ed. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Baehr, Frotscher . 2010. Diagnosis Topik Neurologi: Anatomi, Fisiologi, Tanda,


Gejala Edisi 4. EGC, Jakarta.

Basuki A, Dian S. 2009. Kegawatdaruratan Neurologi. Bandung: FK UNPAD.2009.

Bazil CW, mMonrell MJ, Pedley TA. 2005. Epilepsi. New york: Lippincott
Williams&Wilkins.

Black, PB. 1991. Brain tumor: review article. NEJM. 32(4):1471-1478

Blyth, B.J. 2010. Traumatic Alterations in Consciousness: Traumatic Brain Injury.


Emerg Med Clin North Am. 28(3): 571-594.

Brunton, LL. 2006. Goodman and Gilmans Pharmacology. Boston: McGraw-Hill.

Chen at al., 2013, Causes of Spinal Cord Injury, Top Spinal Cord Inj Rehabil, vol.
19, no.1, hlm. 18.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi. EGC: Jakarta.

Desen, W. 2008. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Elizabeth HM, 2013. Neurogenic Shock, The Open Pediatric Medical Journal,
vol.7, hlm. 16-18, diakses 21 Agustus 2017,
https://benthamopen.com/contents/pdf/TOPEDJ/TOPEDJ-7-16.pdf

Fagan, S.C., and Hess, D.C., 2008. Stroke. In: DiPiro, J.T., Talbert, L., Yee, G.C.,
Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M., Pharmacotherapy: A Pathophysiologic
Approach, Ed. 6 th, United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc., p.
415-427.
Fisher, J.L et al. 2007. Epidemiology of Brain Tumors. Neurol Clin. 1(1):876-
890.Goldszmidt, J.A., Louis, R.C., 2003. Stroke Essentials. Sudbury: Jones and
Bartlett Publishers, Inc, p.1-130

Ginsberg, L. 2005. Lecture Notes Neurologi Edisi Ke-8. Jakarta: Penerbit Erlangga.

111
Godoy, DA, Alvarez, E, Barra, P, Manzi, R et al, 2012, A 61 year old woman with
Neurogenic Shock Following Percutaneous of Vasodilatory Shock, American
Academy of Neurology

Guyton AC, Hall JE. 2006. Sistem Saraf: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisis 9.
Penerbit Buku Kedokteran Jakarta: EGC.

Guyton. 2007. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi Revisi. EGC:
Jakarta.

Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC, Jakarta.

Hakim A.A. 2005. Tindakan Bedah pada Tumor Cerebellopontine Angle, Majalah
Kedokteran Nusantara. 38(3):1-7

Harsono, 2003. Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua. Gadjah Mada


University Press, Yogyakarta.

Harsono, 2 0 0 7 . Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi Pertama. Gadjah Mada


University Press, Yogyakarta.

Harsono, K E, Gunadharma, S. 2008. Pedoman Tatalaksana Epilepsi Edisi 3.


Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.

Hartwig, M., 2005. Penyakit serebrovaskular. In S.A. Price, ed. Patofisiologi konsep
klinis proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hasbu, Rodrigo, May 7, 2013. Meningitis. Article. Available at


http://emedicine.medscape.com/article/232915-overview#showall

Holtz, A, Levi, R, 2010, Spinal cord injury, Oxford University Press, New York.

Hunter, Jennifer M. 2004. Inhibitor cholinesterase and Inhibitor cholinergic drug.


Universitas Departemen Anestesi, University Clinical Department, Duncan Building,
Daulby Street, Liverpool, L69 3GA.

Iskandar J. 2007. Cedera Kepala. Jakarta: Kelompok Gramedia.

James et al., 2013, Central cord injury: pathophysiology, management, and


outcomes, The Spine Journal, vol. 6, hlm. 198206.

Jukarnain. 2011. Keperawatan Medikal Bedah gangguan Sistem Persarafan.

Kanyal, N., 2015. The science of ischemic stroke: pathophysiology &


pharmacological treatment. Int J Pharm Res Rev, 4(10), pp.65-84.

Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J Fauci AS.
2008. Harrison's Principles of Internal Medicine. New York : McGraw-Hill.

112
Kelley SD, Saperston A. 2008. Current Diagnosis and Treatment: Emergency
Medicine. New York: McGraw-Hill.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013. RISKESDAS tahun 2013. Jakarta:


Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.

Kenneth JK, What You Should Know About Neurogenic Shock, American Nurse
Today

Langlois, J.A. 2006. The Epidemiology and Impact of Traumatic Brain Injury. J
Head Trauma Rehabil. 21(5): 375-378.

Lumbantobing S. 2007. Neurologi Klinik. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Lutfi, et al., 2013. Imaging in Bacterial Meningitis. Article. Available at


http://emedicine.medscape.com/article/341971-overview#showall

Mansjoer,A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3 Jilid 2. Jakarta: Media


Aeusclapius.

Mardjono M, Sidharta P.2010. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.

Markam, S., 2002. Penuntun Neurologi, Cetakan Pertama. Binarupa Aksara,


Jakarta.

Misbach, J. 2002. Patofisiologi Epilepsi. Jakarta: Simposium Updates in epilepsy.

Misbach, J., Airiza, A., Lyna, S., Jofizal, J., Salim, H., Silvia, L., Al, R. & Enny, M.,
2007. Pandangan Umum mengenai Stroke. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, hal. 1-9.

Nasution, S.A. 2014. Mild Head Injury. Medula. 2(4): 89-96.

National Spinal Cord Injury Statistical, 2016, Spinal Cord Injury (SCI) Facts and
Figures at a Glance, National SCI Statistical Center, Birmingham, University of
Alabama at Birmingham, diakses 2 September 2017,

https://www.nscisc.uab.edu/Public/Facts%202016.pdf

Papadopoulos J. 2008. Pocket Guide to Critical Care Pharmacotherapy. New


Jersey: Humana Press.

Paul A.K. 2005. Anti cholinesterase Drugs. In: Drugs and Eqiupment in Anaesthetic
Practice, 5th Ed, Elsevier, India: 83-88

Perdossi, 2006, Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma


Spinal, Perdossi, Jakarta.

Perdossi, 2011, Panduan Praktis Klinis Neurologis, Perdossi, Jakarta.

113
Perdossi. 2016. Panduan Praktik Klinis Neurologi. Jakarta: Perdossi.

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit


Volume 1 Edisi 6. EGC: Jakarta.

Price SA, Wilson LM. 2011. Gangguan sistem neurologik. Patofisiologi volume 2.
Penerbit buku kedokteran: EGC. Jakarta. p :1148-54.

Pritchard J. 2010. GuillainBarr Syndrome. Clinical Medicine, Vol 10, No 4: 399


401.

Reskin, Neil H. 2005. Headache dalam Harrison, T.R. Harrisons Internal Medicine.
New York: McGraw-Hill.

Richard LS, Stephen D et al. 2013, Characterization of The Spectrum of


Hemodynamic Profiles in Trauma Patients with Acute Neurogenic Shock, Elsevier

Rilianto, B. 2016. Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus. CDK, vol. 42,
no.10, hlm. 750-754

Ronald F. 2012. Encephalitis. Available from:


www.mayoclinic.com/health/encephalitis/DS00226. Diunduh tanggal 20 Agustus
2017.

Ropper AH, Brown RH. 2005. Adams and Victor's Principles of Neurology. New
York : McGraw-Hill.

Seneviratne U. 2003. Guillain-Barre Syndrome: Clinicopathological Types and


Electrophysiological Diagnosis. Departement of Neurology, National Neuroscience
Institute, SGH Campus.

Setiawati, Arini, Gan, Sulistia. 2007. Susunan Saraf Otonom Dan Transmisi
Neurohumoral. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Setyopranoto, I., 2011. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK, 38(4), pp.247-9.

Silberstein SD, Lipton RB, Dalessio DJ. 2001. Wolffs Headache And Other Head
Pain. New york: Oxford Universiy Press.

Singh, A et al, 2014, Global prevalence and incidence of traumatic spinal cord
injury, Clinical Epidemiology, vol. 6, hlm. 309331, diakses 2 September 2017,
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4179833/pdf/clep-6-309.pdf

Smith, Wade S., English, Joe D., Johnston, S., and Claiborn., 2005. Cerebrovaskular
diseases. In: Fausi., Kasper., Longo, Braunwald., Hayser., Jamesom, Loscalzo.
Herrisons Principles of Internal Medicine. ED 7th/ The McGraw-Hill Companies,
Inc: United States of America. Electronic version.

Snell RS. 2012. Cerebrum. Neuroanatomi klinik edisi 5. Penerbit buku kedokteran:
EGC. Jakarta.p : 275-96.

114
Soegijanto, S., 2002. Ilmu Penyakit Anak: Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi
Pertama. Salemba Medika, Jakarta.

Soedarto, 2004. Sinopsis Virologi Kedokteran. Airlangga University Press,


Surabaya.

Thigpen MC, Whitney CG, Messonnier NE, Zell ER, Lynfield R, Hadler JL, et al.
2011. Bacterial Meningitis in The United States, 1998-2007. N Eng J Med.
365(21):2016-25.

Tjokorda, GBM, Maliawan, S, 2009, Diagnosis dan Tatalaksana Kegawat


Daruratan Tulang Belakang, Sagung Seto, Jakarta

Unair. 2014. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak Edisi Kedua. Surabaya: FK Unair.

Underwood JCE. 2009. Sistem saraf pusat dan saraf tepi. Patologi umum dan
sistematik edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran: EGC.Jakarta. p855-76.

Wahjoepramono, EJ, 2007, Medula spinalis dan tulang belakang, Suburmitra


Grafistama, Jakarta.

Waseem, Muhammad, Perry, Christopher. 2010. Krisis kolinergik setelah


Rodenticide Keracunan. Vol. 524-527

Werner, C. 2007. Patophysiology of Traumatic Brain Injury. BJA. 99(1): 4-9.

WHO, 2013. Meningitis. Article.

Ylmaz et al, 2014, Pathophysiology of the spinal cord injury, J Clin Exp Invest,
vol. 5, no.1, hlm. 131136, diakses 2 September 2017,
http://dergipark.gov.tr/download/article-file/104067

Yuki N, Hartung HP. 2012. GuillainBarr Syndrome. N Engl J Med page


;366:2294-304

Zamzami, N.M. 2013. Angka Kejadian dan Outcome Cedera Otak di RS. Hasan
Sadikin Bandung Tahun 2008-2010. JNI. 2(2): 89-94

Zunilda, D.S. 2007. Agonis dan Antagonis Muskarinik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

115

Anda mungkin juga menyukai