Anda di halaman 1dari 33

1

KATA PENGANTAR

Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) merupakan salah satu faktor pembatas dalam
usaha budidaya tanaman pangan. Pengaruh OPT dalam proses produksi dapat menurunkan
kuantitas dan kualitas hasil, dan mengakibatkan kehilangan hasil bahkan sampai puso.
Untuk menekan potensi kehilangan hasil tersebut diperlukan peningkatan pemahaman
mengenai OPT dan cara pengelolaannya oleh petugas dan masyarakat yang terkait dalam
budidaya tanaman padi.

Surveilans (bahasa inggris : surveillance) merupakan suatu proses pengamatan dalam


rangka mengumpulkan dan mencatat data tentang dinamika populasi atau tingkat serangan
OPT dan faktor- faktor yang mempengaruhinya pada waktu dan tempat tertentu. Melalui
kegiatan ini diharapkan dapat diperoleh data-data tentang perkembangan OPT, pola
sebarannya (populasi dan siklus) dan intensitas serangan. Data-data tersebut berguna
sebagai dasar untuk menyusun strategi dan langkah operasional pengendalian OPT secara
terpadu. Agar kegiatan surveilans dapat dilaksanakan secara lebih efektif, perlu adanya
suatu acuan dalam pelaksanaan surveilans.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka disusunlah buku Pedoman Umum Surveilans OPT
untuk beberapa jenis OPT tanaman padi. Keterbatasan jenis OPT yang disebutkan dalam
buku pedoman ini tidak berarti membatasi pelaksanaan surveilans pada OPT lainnya.

Akhir kata, kami sampaikan penghargaan yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan buku pedoman ini.

Jakarta, Nopember 2009


Direktur,

Ir. Ati Wasiati


NIP. 080.030.648

2
I. PENDAHULUAN

Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) termasuk didalamnya hama, penyakit dan gulma
merupakan salah satu faktor pembatas produksi tanaman pangan. Pengaruh OPT dalam proses
produksi dapat menurunkan kuantitas dan kualitas hasil, bahkan kehilangan hasil sampai
tanaman tidak dapat berproduksi. Perkembangan OPT di lapangan berkorelasi positif dengan
penerapan teknologi budidaya tanaman yang kurang tepat, seperti penggunaan suatu jenis
verietas secara terus menerus, pemupukan tidak berimbang, dan penggunaan pestisida kurang
bijaksana. Selain itu, kondisi perubahan iklim global menyebabkan sulitnya menentukan waktu
dan pola tanam, sehingga secara tidak langsung menguntungkan terhadap perkembangan
beberapa jenis OPT.

Kerusakan tanaman akibat serangan OPT di atas ambang pengendalian yang kondisinya
dibiarkan merupakan resultante interaksi 3 (tiga) faktor utama komponen agroekosistem, yaitu
makhluk hidup, lingkungan (tanah, iklim/cuaca, dan air), dan tanaman itu sendiri. Oleh karena itu,
mutlak perlu difahami hakekat berbagai interaksi komponen-komponen agroekosistem tersebut
sebagai dasar untuk mengatasi masalah OPT secara lebih efektif, efisien dan ramah lingkungan.

Pada tanaman padi, perkembangan OPT penting seperti tikus, penggerek batang, wereng
batang coklat, tungro, dan kresek/Bacterial Light Blight (BLB) di lapangan antara daerah satu
dengan daerah lainnya dari waktu ke waktu sangat bervariasi. Perkembangan tersebut, baik
jenis maupun kepadatan populasi dipengaruhi oleh banyak faktor baik biotik maupun abiotik.
Informasi dasar yang benar dan berkesinambungan dari waktu ke waktu diperlukan untuk
mengetahui dan mengevaluasi faktor-faktor penting yang mempengaruhi pola perkembangan
OPT di lapangan, sehingga dapat menggambarkan pola perkembangan OPT serta dapat
digunakan untuk memprakirakan keadaan OPT pada periode berikutnya. Informasi dasar
tersebut diperoleh melalui kegiatan pengamatan lapangan/surveilans.

Surveilans merupakan suatu proses pengamatan dalam rangka mengumpulkan dan


mencatat data tentang dinamika populasi atau tingkat serangan OPT dan faktor- faktor yang
mempengaruhinya pada waktu dan tempat tertentu. Secara umum, metode pengamatan di
lapangan dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu Pengamatan Keliling (patroli) dan Pengamatan
Tetap. Pengamatan keliling (patroli) merupakan kegiatan pengamatan bertujuan untuk
mengetahui tanaman terserang dan terancam, luas pengendalian, bencana alam, serta mencari
informasi tentang penggunaan, peredaran, dan penyimpanan bahan pengendali OPT. Data dan
informasi tersebut digunakan untuk menentukan daerah yang dicurigai dan menitikberatkan

3
pengamatan. Penentuan daerah yang dicurigai didasarkan pada kerentanan varietas yang
ditanam terhadap OPT utama di daerah tersebut, stadia pertumbuhan tanaman dan jaraknya
terhadap sumber serangan, sedangkan Pengamatan Tetap adalah pengamatan yang dilakukan
secara berkala pada petak contoh tetap atau peralatan tertentu (perangkap lampu, penakar
curah hujan, dan SMPK).

Menurut Dent (1991), pengamatan merupakan faktor kunci dalam kegiatan pengelolaan
OPT. Lebih dari 50 % keberhasilan pengelolaan OPT ditentukan oleh keberhasilan dalam
pengumpulan data dan informasi tentang OPT. Selanjutnya, dengan keberhasilan dalam
pengamatan, maka kehilangan hasil yang diakibatkan oleh gangguan OPT pada berbagai
tanaman budidaya (termasuk tanaman pangan) yang mencapai rata-rata 11.8 % dapat
diminimalkan, sehingga akan berdampak terhadap jumlah produksi yang dihasilkan (Agrios,
G.N., 1997).

II. RUANG LINGKUP SURVEILANS OPT

1. Dasar Pelaksanaan Surveilans

Pengamatan OPT dalam kegiatan perlindungan tanaman merupakan komponen utama dan
mendasar, karena dari kegiatan tersebut akan diperoleh data kuantitatif maupun kualitatif dan
informasi yang berguna sebagai bahan untuk pengambilan keputusan dan langkah-langkah
operasional pengendalian OPT secara terpadu. Data/informasi tentang daerah sumber
serangan, luas serangan OPT dalam bentuk data tabular, bukan hanya bermanfaat untuk
memberikan gambaran tentang luas dan intensitas serangan OPT tertentu, tetapi juga dapat
dijadikan sebagai dasar dalam melakukan melaksanakan monitoring dan evaluasi serta
perencanaan penanggulangan OPT.

Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sebagai dasar kebijakan perlindungan tanaman pangan,
dalam operasionalnya telah diperkuat secara hukum dengan Undang-Undang No. 12 Tahun
1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 1995 tentang
Perlindungan Tanaman, Instruksi Presiden (Inpres) No. 3 Tahun 1986 tentang Pengendalian
Hama Wereng Batang Coklat pada Tanaman Padi serta Keputusan Menteri Pertanian No.
887/Kpts/ OT.210/9/1997 tentang Pedoman Pengendalian OPT.

Melalui pelaksanaan surveilans, diharapkan dapat menghasilkan data dan informasi tentang
OPT atau inang OPT yang ada di suatu wilayah kerja pengamatan, intensitas serangan OPT,
perubahan status OPT, dan perluasan penyebaran OPT. Data dan informasi yang diperoleh
digunakan untuk deteksi awal perkembangan OPT guna mengetahui perubahan status OPT,

4
pengelolaan OPT dan penyusunan rekomendasi pengendalian OPT di wilayah tertentu pada
daerah yang di survei.

Surveilans dilakukan oleh petugas Pengendali Organisme pengganggu Tumbuhan -


Pengamat Hama dan penyakit (POPT-PHP) di wilayah kerjanya (kecamatan), petugas teknis
Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP) di kabupaten yang dicakup dalam
wilayah kerjanya (kabupaten) dan fungsional POPT tingkat propinsi, serta petugas lain yang
berkepentingan dibidang perlindungan tanaman. Agar kegiatan surveilans dapat dilaksanakan
secara efektif, daerah produksi tanaman pangan dibagi menjadi wilayah-wilayah pengamatan
hama dan penyakit yang berimpit dengan wilayah administrasi kecamatan atau kelipatannya.

2. Identifikasi OPT Sasaran

Untuk jenis OPT yang akan disurvei baiknya lebih dahulu diketahui, hal-hal penting yang
perlu diperhatikan sehubungan dengan pelaksanaan surveilans OPT adalah sebagai berikut:

a. Mencari informasi OPT berdasarkan referensi yang telah ada dengan menggunakan
monografi wilayah kerja POPT-PHP/LPHP pada daerah yang disurvei

b. Verifikasi sumber informasi untuk mengevaluasi reliabilitas (tingkat kepercayaan) data OPT
yang dapat digunakan sebagai sumber informasi dalam pengembangan pelaksanaan
surveilans

c. Spesifikasi nama OPT dengan daftar nama ilmiah dan nama umum latin penamaan OPT
sasaran termasuk sinonim

d. Identifikasi vektor OPT yang akan disurvei. Apabila OPT mempunyai vektor maka vektor
tersebut harus dimasukkan dalam daftar organisme sasaran (merupakan host OPT tertentu)

e. Pengelompokan jenis OPT berdasarkan dampak kerusakantanaman, apakah termasuk OPT


utama atau sekunder OPT serta bagaimana gejala kerusaknya

f. Karakteristik OPT untuk menentukan bagaimana OPT akan diidentifikasi di lapangan. Guna
memastikan bahwa OPT tersebut telah diidentifikasi secara benar, konfirmasi diperlukan dari
ahli fitopatologis untuk patogen tumbuhan, dan ahli entomologis untuk serangga dan
kerabatnya, serta ahli botanis untuk gulma. Untuk itu perlu dibuat daftar spesialis dan
laboratoris yang mempunyai pengalaman ahli dibidang OPT dan mempunyai kompetensi
melakukan identifikasi

g. Koleksi spesimen aebagai referensi dan data gambar (basah dan kering), berguna untuk
pembuatan laporan dan penyusunan daftar informasi OPT

5
h. Lembar data informasi OPT untuk menggambarkan cara identifikasi OPT sasaran secara
rinci sehingga tim surveilans dapat menggunakan informasi tersebut di lapangan. Lembar
data ini dapat juga sebagai petunjuk lapangan yang meliputi informasi tentang 1) nama
umum dan ilmiah OPT, 2) kisaran inang, 3) gejala dan morfologi, 4) foto berwarna atau
diagram OPT yang menunjukkan cirri morfologi pada stadium tertentu pada berbagai inang,
5) habitat yang disukai, 6) informasi rinci tentang berbagai OPT yang bukan OPT sasaran.

3. Identifikasi Tanaman Inang Sasaran dan Alternatif

Identifikasi tanaman inang sasaran dan alternatif dilakukan dengan memperhatikan hal-hal
penting sebagai berikut:

a. Membuat daftar nama umum dan ilmiah tanaman inang sasaran

b. Mendeskripsikan perilaku pertumbuhan dari setiap tanaman inang dan semua aspek dari
siklus hidupnya terkait dengan diagnose OPT yang sedang diselidiki. Berapa tinggi dan
kerapatan vegetasi tanaman inang tersebut?

c. Aksesibilitas tanaman inang; hal ini sangat penting sebagai bagian dari surveilans umum
karena dapat menjelaskan mengapa surveilans hanya dilakukan pada tempat tertentu saja.
Bagaimana pola pertumbuhan tanaman inang tersebut? apakah pertumbuhan ditanam
secara teratur atau acak.

d. Inventarisasi tanaman inang alternatif lain jika ditemukan.

4. Penentuan Waktu Pelaksanaan Surveilans

Waktu dan frekuensi surveilans merupakan hal lain yang sangat penting dalam melakukan
surveilans, idealnya dilakukan pada saat OPT kemungkinan besar ada pada lokasi yang akan
disurvei dan dalam stadium yang dapat diidentifikasi. Waktu pelaksanaan surveilans ditentukan
berdasarkan:

a. Siklus hidup OPT

b. Fenologi OPT dan stadia pertumbuhan tanaman inang

c. Waktu pelaksanaan program pengelolaan OPT

d. Apakah OPT paling mudah dideteksi pada saat tanaman tumbuh atau setelah tanaman
dipanen.

Apabila waktu terbaik untuk surveilans suatu spesies OPT tidak diketahui, maka dapat
dimulai dengan mencari perilaku musiman OPT bersangkutan. Dalam siklus hidup tanaman

6
inang, stadium apa yang paling menarik bagi serangga untuk datang dan menginfestasi? serta
berapa lama OPT akan tinggal?

5. Perencanaan Pengumpulan Data Lapangan

Agar dapat diperoleh data dan informasi tentang OPT sesuai dengan keadaan di lapangan,
perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Pembatasan tujuan dan sasaran surveilans (misalnya untuk deteksi dini atau informasi daftar
OPT pada suatu komoditas dan wilayah tertentu, dll.)

b. Penelaahan rencana surveilans sebelumnya; bertujuan untuk menyempurnakan tujuan dan


sasaran yang akan dicapai.

c. Pemilihan lokasi, hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam pemilihan lokasi surveilans,
sebagai berikut:

 Merupakan daerah sentra produksi dan endemis serangan OPT

 Sebaran varietas dominan yang ditanam dan informasi tingkat ketahanannya terhadap
OPT tertentu

 Pola dan waktu tanam

 Intensitas, kepadatan populasi dan pola penyebaran OPT

 Penggunaan bahan pengendali OPT oleh petani

d. Identifikasi lokasi pengambilan contoh;

 Penandaan lokasi

Penandaan diperlukan untuk melakukan survei ulang pada periode berikutnya, sehingga
data dan informasi yang diperoleh merupakan seri dari hasil surveilans sebelumnya.
Penandaan lokasi dapat dilakukan dengan menancapkan ajir bendera berwarna atau plang
pengamatan yang tahan terhadap pengaruh cuaca.

 Pencatatan lokasi secara rinci

Informasi yang dicatat meliputi kenampakan topografi wilayah, keadaan ekosistem, dan
lain-lain, selanjutnya dituangkan dalam blanko standar yang dapat digunakan untuk setiap
lokasi.

e. Data yang perlu dicatat dari lapangan

7
Data dan informasi dari lapangan yang penting dilakukan untuk mendokumentasikan
hasil surveilans. Data yang dicatat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan data pokok yang dihasilkan langsung dari
pelaksanaan kegiatan surveilans, sedangkan data sekunder merupakan data pendukung
yang diperoleh dari fihak/sumber lain. Data sekunder diperlukan dalam analisis data primer
sehingga tujuan dan sasaran surveilans dapat tercapai secara optimal.

Data-data sekunder yang perlu dicatat guna mendukung analisa hasil surveilans, antara
lain:

 Monografi daerah surveilans

 Luas wilayah yang disurvei

 Data curah hujan harian dan SMPK

 Komposisi sebaran varietas dan tingkat ketahanannya terhadap OPT

 Pola tanam selama satu tahun

 Perkembangan luas tambah serangan OPT

 Perlakuan teknologi budidaya tanaman oleh petani

f. Pengambilan contoh;

Hal-hal pokok yang harus diperhatikan terkait dengan pengambilan contoh, sebagai
berikut :

 Contoh yang diamati dapat mewakili populasi pertanaman dalam suatu hamparan

 Semakin banyak jumlah contoh yang diamati, maka akurasi data yang diperoleh akan
semakin tinggi

 Dalam pengambilan contoh harus memperhatikan faktor tenaga dan waktu

g. Data analisis

Data dan informasi yang dihasilkan dari kegiatan surveilans dituangkan dalam blanko
pengamatan, selanjutnya dilakukan analisis sesuai dengan keperluannya. Data analisis
tersebut dapat digunakan untuk :

 Menghitung parameter statistik dasar sesuai dengan ambang kendali, misalnya jumlah,
rata-rata, dan persentase OPT

 Membuat klasifikasi peta sebaran OPT (kronis, endemis, potensial)

8
 Mengevaluasi perubahan lokasi dan perkembangan kepadatan populasi apabila
pemantauan dilakukan dalam waktu yang panjang

 Menyusun rekomendasi pengendalian OPT

h. Pelaporan hasil

Laporan hasil surveilans baik ringkasan maupun laporan utuh berfungsi sebagai bentuk
pertanggungjawaban secara administrasi maupun informasi lanjutan untuk kegiatan
surveilans dimasa mendatang.

Dalam pelaporan hasil surveilans OPT harus secara jelas mengindikasikan:

 Identifikasi OPT dengan nama ilmiah (apabila mungkin sampai tingkat spesies)

 Tanggal surveilans dan pelaporan

 Komposisi sebaran varietas dan tingkat ketahanannya terhadap OPT

 Tanaman inang dan musuh alami

 Status OPT

 Teknologi budidaya yang diterapkan

 Rekomendasi pengendalian

i. Pendokumentasian data

Semua hasil akhir maupun data primer/sekunder yang dihasilkan dari pelaksanaan
surveilans sebaiknya didokumentasikan untuk keperluan analisis perkembangan OPT
berdasarkan runtun waktu.

9
III. SURVEILANS SERANGAN OPT PADA TANAMAN PADI

1. Wereng Batang Coklat (Nillaparvata lugens Stall)

1.1. Gambaran Umum Serangan

Perkembangan populasi wereng batang coklat (WBC) diawali dengan adanya populasi
imigran makroptera di persemaian/pertanaman yang baru tanam. Keturunan selanjutnya
akan berkembang menjadi brakhiptera dewasa yang menetap pada tanaman padi dan
memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan populasi pada
pertanaman stadia vegetatif.

Siklus hidup WBC 21-33 hari yang terbagi kedalam 3 (tiga) stadia, yaitu 1) stadia telur;
telur berwarna putih, bentuknya seperti pisang, diletakkan secara berkelompok 8-16
butir/kelompok dalam jaringan pelepah daun, jumlah telur sebanyak 100-600/ekor serangga,
stadia telur 7-10 hari, 2) stadia nimfa; nimfa mengalami 5 instar yang dibedakan berdasarkan
ukuran tubuh dan bentuk bakal sayap, nimfa muda umumnya berwarna putih, semakin tua
semakin coklat, instar 4 dan 5 dibedakan berdasarkan ada tidaknya bintik hitam pada
sayap/bakal sayap, stadia nimfa berumur 12-15 hari, dan 3) stadia imago; imago dewasa
berwarna coklat muda atau coklat tua, warna sayap berbintik-bintik pada bagian pertemuan
sayap depan, bentuk sayap dewasa terdiri dari: sayap panjang (makroptera) dan sayap
pendek (brakhiptera), bentuk brakhiptera lebih berperan untuk berkembangbiak, makroptera
berfungsi untuk berpindah tempat, sangat tertarik cahaya lampu, umur serangga dewasa 18-
28 hari.

Nimfa pada umumnya berkembang menjadi brakhiptera apabila kondisi tanaman inang
cocok dan populasinya rendah. Namun apabila kondisi tanaman inang tidak cocok atau
populasi sudah padat maka nimfa akan berkembang menjadi makroptera dan siap bermigrasi
atau berpindah ke pertanaman lainnya. Perubahan pola perkembangan populasi WBC
tergantung pada kepadatan dan waktu imigrasi. Keturunan populasi imigran secara langsung
dapat menimbulkan Hopperburn apabila imigrasi dengan kepadatan yang tinggi terjadi
setelah tanam. Apabila imigrasi terjadi agak lambat dengan kepadatan yang rendah, populasi
penyebab Hopperburn akan muncul pada generasi kedua pada stadia setelah masa
pembungaan.

Stadia tanaman yang rentan terhadap serangan WBC mulai dari pembibitan sampai
menjelang panen. Gejala kerusakan yang ditimbulkan adalah tanaman menguning, cepat
sekali mengering, dan sering ditemukan adanya embun jelaga pada pangkal batang.

10
Umumnya gejala nampak dalam bentuk spot-spot yang berkembang secara meluas pada
satu lokasi yang kemudian dikenal sebagai gejala Hopperburn (Gambar 1.).

Ambang ekonomi hama ini adalah 15 ekor per rumpun. Siklus hidupnya 21-33 hari.
Mekanisme WBC merusak tanaman dengan cara menghisap cairan tanaman pada sistem
vascular (pembuluh tanaman).

Gambar 1. Gejala Hopperburn

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pertumbuhan dan perkembangan populasi


makroptera dan brakhiptera betina pada stadia dini memegang peranan penting dalam
memprediksi terjadinya ledakan populasi WBC. Gambar 2. berikut menunjukkan bentuk
individu WBC makroptera dan brakhiptera.

Gambar 2. WBC Makroptera dan Brakhiptera

Makroptera Brakhiptera

11
1.2. Pelaksanaan Surveilans

Dalam rangka memprediksi pertumbuhan dan perkembangan populasi WBC secara


sistematis pada setiap musim tanam, operasional surveilans dilakukan dalam 2 (dua) tahap.
Tahap pertama; surveilans ditujukan terhadap imigran makroptera betina pada pertanaman
umur 3 – 5 minggu setelah tanam (MST). Surveilans kedua ditujukan terhadap brakhiptera
dari generasi I (keturunan generasi imigran) pada saat pertanaman 6 – 8 MST. Secara rinci
dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Surveilans tahap I

- Tujuan; Mendeteksi populasi/serangan WBC dan menentukan daerah infestasi


keturunan generasi pertama yang perlu dikendalikan
- Metode; Penghitungan secara visual (visual counting)
- Sasaran; Makroptera dewasa betina (gambar 1)
- Waktu; 3 – 5 Minggu Setelah Tanam (MST)
- Rumpun contoh; 48 rumpun/petak contoh. Rumpun contoh ditetapkan secara acak di
daerah serangan.
- Jenis varietas; Surveilans dilakukan pada varietas-varietas peka saja.
- Analisa tindakan; Apabila ditemukan 0,2 ekor makroptera betina per rumpun, maka
akan terjadi hopperburn pada umur tanaman 10 MST atau saat kepadatan nimfa
generasi I mencapai puncaknya dan tidak ada upaya pengendalian khusus. Upaya
pengendalian dengan insektisida akan efektif pada saat nimfa kecil (instar I – III)
mencapai puncaknya.

b. Surveilans tahap II

- Tujuan; Mendeteksi daerah serangan keturunan generasi berikutnya termasuk daerah


yang telah diaplikasi insektisida.
- Metode; Penghitungan secara visual (Visual counting)
- Sasaran; populasi WBC kelompok brakhiptera dan makroptera betina (Gambar 5.)
- Waktu; 6 – 8 Minggu Setelah Tanam (MST).
- Rumpun contoh; 48 rumpun/petak contoh yang ditetapkan secara acak.
- Jenis varietas; Surveilans dilakukan pada varietas-varietas peka saja.
- Analisa tindakan; Upaya pengendalian dilakukan apabila ditemukan kepadatan
populasi brakhiptera betina 2 ekor per rumpun atau ditemukan populasi WBC > 20
ekor/rumpun.

12
Gambar 3. Dinamika Populasi WBC pada Varietas Padi Rentan

Keterangan :
G-0 : Tahap migran. Serangga migrant menyerang sawah
G-2 : Tahap menetap (generasi pertama). Betina dewasa pada generasi pertama ini biasanya
didominasi oleh serangga bersayap pendek (brakhiptera)
G-3 : Tahap perusak (generasi kedua). Terdiri dari nimfa, brakhiptera & makroptera yang siap
berpindah.

Gambar 4. Instar I, II, III, dan IV Nimfa


WBC

Gambar 5. Perbedaan makroptera dan brakhiptera betina yang belum


matang dan yang sudah matang

1. Makroptera Betina Blm Matang 3. Brakhiptera Betina Blm


2. Makroptera Betina Matang Matang
4. Brakhiptera Betina Matang

13
Kegiatan surveilans dilaksanakan oleh petugas teknis (fungsional POPT) Balai Proteksi
Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) dan/atau staf teknis Laboratorium Pengamatan
Hama Penyakit (LPHP) dan petugas perlindungan lainnya. Surveilans dilaksanakan pada
daerah-daerah yang sering melaporkan terjadinya serangan hama WBC. Secara rinci data-data
dicatat hasil surveilans tahap I dan II seperti pada Tabel Lampiran 1.

2. Tikus (Rattus argentiventer Rob & Kloss)

2.1. Gambaran Umum Serangan

Tikus merupakan salah satu hama penting pada tanaman padi yang berpotensi
menimbulkan kerusakan. Bagian punggung berwarna coklat muda berbecak hitam, perut dan
dada putih. Panjang kepala dengan badan 130-210 mm, jumlah putting susu tikus betina 12
buah, 3 pasang di dada dan 3 pasang di perut. Kepadatan populasi tikus berkaitan dengan fase
pertumbuhan tanaman padi. Serangan tikus terjadi sejak dipersemaian, pertanaman sampai
pasca panen. Pada fase persemaian sampai tanaman fase vegetatif, populasi populasi tikus
umumnya masih rendah dan kepadatan populasi meningkat pada fase generatif.

Perkembangbiakan tikus relatif cepat, mulai terjadi saat primordial dan terus berlangsung
sampai fase generatif. Tikus jantan siap kawin pada umur 60 hari, sedangkan betina pada umur
28 hari. Masa bunting berlangsung selama 19-23 hari. Seekor induk tikus dapat melahirkan
anakan sebanyak 4-18 ekor tiap kali beranak tergantung pada kualitas makanan. Dua hari
setelah melahirkan tikus betina sudah dapat berkopulasi lagi, dalam satu musim tanam dapat
beranak 3 – 4 kali. Secara teoritis dari sepasang tikus dapat menjadi ± 2000 ekor dalam waktu 1
tahun. Hama tikus memiliki karakteristik spesifik, antara lain : daya adaptasi yang tinggi terhadap
lingkungan, panca indera yang tajam (kecuali penglihatan), insting yang kuat, dan makanannya
bermacam-macam. Umur hama tikus di alam bebas dapat ± 1 tahun dan di laboratorium 3 – 4
tahun.

Tikus merusak tanaman padi dengan cara mengerat batang atau makan biji padi. Batang
tanaman padi yang masih muda berumur 1-2 bulan merupakan sasaran utama tikus, sebab
batang muda enak dimakan. Selain itu padi yang telah masak pun menjadi incaran tikus. Jadi,
hampir semua stadia pertumbuhan padi menjadi sasaran tikus.

Pada stadia persemaian tikus memotong pangkal tanaman padi, bahkan mencongkel akar
yang masih ada bulir padinya. Pada stadia ini tikus selalu merusak mulai dari pinggir atau dapat
dikatakan polanya peripheral, dan selanjutnya menuju ke tengah dengan pola spot-spot. Pada

14
stadia 1 – 3 minggu setelah tanam, hama tikus masih memotong di pangkal tanaman. Kerusakan
oleh satu ekor hama tikus per malam saat stadia ini rata-rata 5 rumpun (tanaman tergenang air).

Pada stadia anakan maksimum, tikus memotong 0,5 cm dari pangkal tanaman, dan pada
kondisi ini satu tikus mampu merusak 5 rumpun per malam. Pada stadia premordia tikus
memotong 1-2 cm dari pangkal dan mampu merusak 7 rumpun per malam per ekor. Sedangkan
pada stadia bunting hama tikus memotong 2 cm dari pangkal tanaman, dan panjang potongan
yang terjadi antara 5-8 cm.

Sejak stadia keluar malai sampai pemasakan, tikus kadang-kadang memotong dari bawah
(2-3 cm dari akar/pangkal) tetapi lebih banyak memotong pada bagian atas (5-10 cm di atas
daun bendera atau 35-50 cm dari pangkal) dengan cara memanjat tanaman lalu memotong-
motong kemudian dimakan. Oleh karena itu, bila rumpun tidak kuat maka banyak sekali anakan
(batang) yang patah, yang akhirnya menjadi tidak dapat dipanen atau dengan kata lain menjadi
tidak produktif. Aktivitas tikus makan antara jam 19.00 sampai 23.00 dan kadang-kadang
dilanjutkan dari jam 24.00 sampai jam 03.00 padi.

Jumlah batang padi yang dirusak oleh seekor tikus per hari ± 100 batang, sedangkan
jumlah bulir padi sebanyak 16 bulir per hari. Umumnya yang merusak bulir padi adalah hama
tikus muda yang dilahirkan ± 10 hari sebelum panen.

Gambar 6. Gejala serangan tikus pada stadia awal pertumbuhan

Pada saat setelah panen, diusahakan menghindari penumpukan jerami di persawahan.


Tumpukan-tumpukan jerami ini menjadi tempat persembunyian dan liang tikus. Berdasarkan

15
penngalaman di lapangan, bahwa puncak populasi tikus terjadi saat 2-5 minggu setelah
panen.

2.2. Pelaksanaan Surveilans

Pengamatan serangan hama tikus dilakukan di daerah-daerah yang selalu terserang


berat/kronis (daerah endemik). Tiap daerah, lokasi pengamatan serangan tikus ditentukan
secara Purposif seluas ± 100 hektar, sehingga mewakili daerah pengamatan dalam waktu
tanam, teknik bercocok tanam, jenis dan varietas tanamannya. Lokasi pengamatan
selanjutnya dibagi menjadi 20 unit pengamatan (luas per unit ± 5 hektar) seperti nampak
pada Gambar 7.

5 Ha 5 Ha 5 Ha 5 Ha

0,2 ha 0,2 ha 0,2 ha 0,2 ha

0,2 ha 0,2 ha
0,2 ha 0,2 ha

5 Ha 5 Ha 5 Ha 5 Ha

5 Ha
0,2 ha 0,2 ha 0,2 ha

0,2 ha
5 Ha 5 Ha 5 Ha

0,2 ha 0,2 ha 0,2 ha 0,2 ha

5 Ha 5 Ha 5 Ha 5 Ha

0,2 ha 0,2 ha 0,2 ha 0,2 ha

5 Ha 5 Ha 5 Ha 5 Ha

Gambar 7. Lokasi Pengamatan dan Penyebaran Unit & Sub Unit

Dari setiap unit pengamatan ditentukan satu sub unit pengamatan yang diambil secara
acak dengan luas 0,2 hektar. Berdasarkan sub unit pengamatan (0,2 ha), kemudian
serangan tikus diamati dan dinilai pada 5 rumpun padi contoh yang berada di dalam sub unit

16
pengamatan. Cara menentukan rumpun padi contoh yang akan diamati dan dinilai tertera
pada Gambar 8.

Rumpun
ke 5

Rumpun 30
langkah
ke 4 kaki

Rumpun
ke 3 30 langkah kaki

Rumpun
ke 2 30 langkah kaki

30 langkah kaki
Rmpn ke 1

Satu langkah kaki Sub Unit : 0,2 Ha


Gambar 8. Cara Menentukan Rumpun Padi Contoh yang akan Diamati dan Dinilai

Tentukan 4 sudut pada setiap sub unit pengamatan sehingga membentuk 2 buah
diagonal. Sebagai tanda sudut atau titik awal dan akhir diagonal, dapat digunakan batang
pohon atau ajir.

Diagonal terdiri dari rumpun-rumpun padi, mulai dari rumpun yang berdekatan dengan
sudut atau titik awal diagonal dan berakhir pada rumpun yang ke 150. Rumpun-rumpun padi
yang akan diamati dan dinilai adalah rumpun yang berada pada salah satu diagonal.
Rumpun I yang akan diamati adalah rumpun padi yang berada 1 langkah kaki dari sudut atau
titik awal diagonal, rumpun II yang berada 30 langkah kaki dari rumpun I, dan demikian
seterusnya sampai rumpun V. dengan demikian jumlah langkah kaki dari titik awal sampai
titik akhir adalah 121 langkah. Setelah 5 rumpun padi yang akan diamati sudah ditentukan
maka serangan tikus dinilai secara visual.

Rumpun padi yang terserang tikus dicatat pada kartu pengamatan dengan tanda (+)
dan tanda (-) untuk rumpun padi yang tidak terserang. Hasil pengamatan dari rumpun padi
yang dinilai dengan tanda (+) dan (-), kemudian dihimpun da n dimuat pada kertas grafik
yang sudah ditetapkan dengan 2 buah garis miring yang sejajar. Tanda (+) dan (-) dimuat ke

17
dalam kotak-kotak kecil pada kertas grafik sesuai dengan banyaknya rumpun padi yang
diamati dan dinilai pada unit pengamatan. Kedua garis miring yang sejajar pada kertas grafik
merupakan garis batas kerusakan oleh tikus yang menentukan perlu tidaknya tindakan
pengendalian dilakukan.

Garis batas yang berada diatas ditetapkan 25% sebagai tingkat kerusakan ekonomi,
yang apabila tidak dilakukan usaha pengendalian akan menimbulkan kerugian secara
ekonomi, dan garis batas yang berada dibawah ditetapkan 10% sebagai tingkat kerusakan
yang belum menimbulkan kerugian bila tidak dilakukan pengendalian. Selanjutnya hasil
penempatan tanda-tanda (+) dan (-) pada kotak-kotak kecil kertas grafik akan memberikan
gambar grafik yang disebut Grafik Monitoring Deret. Rekapitulasi hasil pengamatan dapat
dilihat pada Tabel Lampiran 2.

∑ Rmpn Terserang
% Serangan = --------------------------- x 100%
∑ Rmpn yg diamati

3. Ganjur (Orseolia oryzae)

3.1. Gambaran Umum Serangan

Hama ganjur (Orsealia oryzae Wood-Mason) merupakan salah satu hama penting
tanaman padi yang berpotensi menurunkan hasil. Gejala yang khas serangan serangga
ganjur terlihat dari adanya puru yang berbentuk tabung panjang dan runcing yang
disebabkan oleh adanya larva di dalam jaringan titik tumbuhnya. Larva serangga ganjur
memakan tanaman padi pada titik tumbuh yang menyebabkan daun tumbuh berbentuk
gulungan seperti daun bawang (puru). Timbulnya puru diduga disebabkan oleh senyawa
kimia yang dihasilkan oleh larva pada saat memakan titik tumbuh. Puru mulai tampak 3-7
hari setelah larva mencapai titik tumbuh. Puru yang telah berkembang sempurna berukuran
diameter 1-2 mm dan panjang 10-30 mm.

Siklus hidup ganjur 26-35 hari yang terbagi menjadi 4 (empat) stadia, yaitu 1) stadia
telur; telur berwarna putih bening – oranye, panjang 0,5 mm, lebar 0,2 mm, diletakkan
terpencar/dalam kelompok yang terdiri dari 3-4 butir, ± 60-70% telur terletak pada pelepah
daun dan sisanya pada helaian daun, 2) stadia larva; berwarna oranye, panjang 1,3 mm,

18
setelah menetas larva menuju titik tumbuh melalui celah dan masuk membentuk rongga, satu
tunas ditemukan 1 larva, 3) stadia pupa; berwarna pucat menjelang imago merah jingga,
terdapat duri-duri, panjang 2,5 mm, pra pupa bergerak menuju ujung puru, 4) stadia imago;
berwarna merah cerah/kusam, ukuran seperti nyamuk, aktif malam hari, tertarik cahaya,
hidup menghisap embun yang terdapat pada permukaan daun, nisbah jantan/betina adalah 4
: 1, betina hanya kawin sekali, mampu bertelur 100-200 butir, serangga dewasa muncul pada
awal musim hujan, satu musim dapat mencapai 3-4 generasi.

Larva ganjur hanya dapat berkembang selama tanaman dalam fase vegetatif. Setelah
tercapainya fase anakan maksimum, populasinya akan menurun. Penurunan ini
berhubungan erat dengan terbentuknya bakal malai. Perkembangan serangga ganjur sangat
dipengaruhi oleh keadaan iklim, terutama kelembaban. Cuaca mendung dan hujan gerimis
sangat baik untuk perkembangannya, sebaliknya keadaan angin kencang dan hujan lebat
menyebabkan kematian serangga ganjur. Perkembangan optimum terjadi pada kelembaban
nisbi 80%, suhu 25-30oC. Serangan serangga ganjur umumnya dijumpai di daerah sawah
irigasi ataupun tadah hujan.

Selain faktor fisik tersebut, parasit dan pemangsa memegang peranan penting
terhadap perkembangan hama ganjur. Kerugian akibat serangan hama ini menjadi lebih
besar apabila terjadi sejak di pesemaian. Musuh alami yang penting adalah jenis tabuhan.
Tingkat parasitasi Platygaster sp. dapat mencapai 30-70%. Parasitoid ini bersifat
endoparasitoid, yaitu menyerang larva yang baru keluar dari telur. Inang serangga ganjur
antara lain Leersia hexandra, kakawatan (Paspalum disticum), dan lempuyangan (Panicum
stagnimum)

Gambar 9. Gejala serangan dan imago hama ganjur

19
3.2. Pelaksanaan Surveilans

Pengamatan dalam kegiatan surveilans terhadap serangan hama ganjur dapat


dilaksanakan dengan 2 (dua) metode. Pertama, pengamatan didasarkan pada gejala yang
tampak dari luar, sedangkan metode kedua dilaksanakan dengan sistem pembelahan tunas.

Metode I :

Pada metode ini diamati 50 rumpun yang tersebar dalam satu hamparan (50 – 75
hektar) daerah serangan. Rumpun contoh ditentukan secara acak. Dihitung jumlah tunas
(termasuk yang berpuru) dan jumlah puru yang tampak, kemudian dicari persentasenya :

Jumlah Puru
P = --------------------------------------- x 100%
Jml. Tunas termasuk Puru

Metode II :

Dari hamparan yang sama dicabut 50 rumpun contoh secara acak. Pisahkan tunas-
tunasnya, hitung tunas yang terserang dan tunas yang sehat (tunas yang terserang hama
lain dianggap sehat), kemudian persentasekan dengan rumus berikut.

Jumlah Tunas Terserang


P = ------------------------------------- x 100%
Jumlah Tunas

Disamping itu perlu juga diamati faktor yang mempengaruhinya (parasit dan pemangsa)
untuk melihat pengaruhnya terhadap perkembangnan serangga ganjur. Parasitisme bagi
serangga ganjur dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Jml. Puru Terparasit


Parasitisme = -------------------------------- x 100%
Jml. Puru

Apabila diperoleh persentase kerusakan sebesar 10 – 15 %, maka pada lokasi tersebut


perlu segera dilakukan pengendalian untuk mencegah kerusakan yang lebih besar.

20
Surveilans hama ganjur dilaksanakan oleh petugas teknis BPTPH/LPHP/POPT-PHP,
dan dilaksanakan selama musim tanam berjalan. Tahap I, dilaksanakan pada tanaman
berumur 2 minggu setelah tanam, sedangkan tahap II, dilaksanakan 4 minggu setelah
tanam. Surveilans dilaksanakan khususnya di daerah-daerah rawan serangan hama ganjur.
Pada saat surveilans dilakukan pengamatan dan penghitungan terhadap jumlah (tunas, puru,
tunas sakit, tunas sehat, larva, pupa, dan imago). Secara rinci rekapitulasi hasil pengamatan
serangan dan parasitisme dapat dilihat pada Tabel Lampiran 3.

4. Penggerek Batang Padi (Schirpophaga Spp.)

4.1. Gambaran Umum Serangan

Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama pada tanaman padi di
Indonesia. Terdapat enam jenis penggerek batang padi, yaitu 1) Penggerek batang padi
kuning (Schirpophaga incertules WLK), 2) Penggerek batang padi putih (S. innotata WLK), 3)
Penggerek batang padi merah jambu (Sesamia inferens WLK), 4) Penggerek batang padi
bergaris (Chilo supressalis WLK), 5) Penggerek batang padi berkepala hitam (C. polychrysus
Mayrick), dan 6) Penggerek batang padi berkilat (C. auricilius Dudgeon). Dari enam jenis
penggerek batang padi tersebut, penggerek batang padi kuning dan putih dianggap sebagai
serangga hama terpenting dan tersebar luas (Kalshoven, 1981).

Penggerek batang padi menyerang tanaman padi pada semua fase pertumbuhan
tanaman. Pada fase vegetatif gejala serangan yang ditimbulkan dikenal gejala sundep,
sedangkan pada fase generatif dikenal gejala beluk (malai hampa). Pertumbuhan hama
penggerek batang dimulai dengan penerbangan ngengat pada pesemaian maupun
pertanaman padi. Ngengat tersebut kemudian meletakkan telurnya pada daun padi yang
setelah menetas menjadi larva segera masuk ke dalam tanaman dan merusak pucuk,
sehingga menimbulkan gejala sundep atau beluk. Selanjutnya larva berkembang menjadi
pupa yang akhirnya kembali menjadi ngengat.

Gambar 10. Gejala sundep Gambar 11. Gejala Beluk

21
Siklus hidup penggerek batang padi dan kemampuannya merusak tanaman padi
dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain pola tanam, umur tanaman, komposisi spesies,
perlakuan petani, dan musuh alami. Siklus hidup 30 – 70 hari tergantung pada spesies.
Ambang ekonomi pengendalian pengerek batang padi adalah 10% anakan terserang per
rumpun, 0,3 kelompok telur per m2. Perlu diperhatikan, apabila intensitas serangan berat
terjadi pada stadia generatif maka upaya pengendalian sudah tidak efektif lagi.

Gambar 12. Ngengat dan Larva Penggerek Batang Padi

4.2. Pelaksanaan Surveilans

Dalam melaksanakan surveilans penggerek batang padi terdapat beberapa hal yang
perlu diperhatikan sebagai komponen metode surveilans, sebagai berikut :

a. Satuan Wilayah Surveilans

Satuan Wilayah Surveilans adalah wilayah pengamatan yang merupakan daerah


kronis/endemis dan daerah dicurigai adanya serangan. Daerah serangan kronis/endemis
adalah daerah yang sering mengalami serangan, sedangkan daerah dicurigai adalah
daerah yang diperkirakan akan terjadi serangan yang ditandai dengan adanya
penerbangan ngengat atau terdapat serangan di daerah sekitarnya.

22
b. Satuan pengamatan

Pada satu wilayah pengamatan ditentukan empat sub wilayah pengamatan. Tiap sub
wilayah pengamatan ditentukan dua hamparan dan dari tiap hamparan (luas > 10 ha)
ditentukan tiga petak pengamatan secara diagonal.

Pada setiap petak pengamatan diambil 30 rumpun contoh. Selanjutnya tiap kali
pengamatan diambil 4 (empat) rumpun contoh secara acak yang terdiri dari dua rumpun
sehat dan dua rumpun terserang untuk pengamatan larva/pupa pada batang tanaman
dengan cara dibelah.

c. Pengamatan

Komponen-komponen yang diamati dalam pelaksanaan surveilans, sebagai berikut :

1) Pengamatan luas serangan

Luas serangan adalah luas serangan yang dinyatakan dalam hektar (sesuaikan
dengan buku pedoman pengamatan dan pelaporan). Data-data yang perlu dicatat,
antara lain; luas, varietas, dan umur tanaman terserang.

2) Pengamatan intensitas serangan

Menentukan intensitas serangan dilakukan dengan mengamati anakan terserang dan


anakan sehat pada tiap rumpun contoh yang disesuaikan dengan Pedoman
Pengamatan dan Pelaporan.

3) Pengamatan kelompok telur

a) Kepadatan kelompok telur pada fase persemaian;


- Lokasi pengamatan pada hamparan yang sudah ada persemaiannya dengan
umur ≥ 5 hari setelah sebar;
- Dari tiap hamparan diambil 5 petak persemaian sebagai contoh untuk dihitung
kepadatan populasi kelompok telur dan ngengat penggerek batang padinya;
- Kepadatan kelompok telur ditentukan dengan satuan jumlah kelompok telur per
meter persegi dari tiap petak contoh;
- Kelompok telur yang ditemukan, diambil dan dipelihara di laboratorium untuk
diamati tingkat parasitismenya

b) Kepadatan kelompok telur dan ngengat pada fase pertanaman

23
- Kepadatan populasi telur/ngengat dari tiap petak contoh ditentukan dengan
satuan jumlah kelompok telur/ngengat per meter persegi yang dilakukan
bersamaan dengan pengamatan intensitas serangan.
- Kelompok telur yang ditemukan, diambil dan dipelihara di laboratorium untuk
diamati parasitismenya

c) Pengamatan parasitisme kelompok telur


- Masukkan satu kelompok telur ke dalam satu kantong plastik transparan
berukuran 5 x 20 cm
- Amati kelompok telur dan catat berapa hari mulai menetas (dihitung sejak
diambil dari lapangan).
- Kelompok telur berisi larva akan menetas ± 4-7 hari lebih awal, selanjutnya
parasitoid
- Hitung rasio antara jumlah larva dan parasitoid yang menetas pada tiap kantong
plastik
- Tentukan tingkat parasitisme:

∑ parasitoid
Parasitisme = ------------------------------- x 100%
∑ larva + parasitoid

4) Pengamatan larva/pupa pada anakan padi

Pengamatan dilakukan dengan cara membelah 4 (empat) rumpun contoh (dua


rumpun sehat dan dua rumpun terserang). Pengamatan bertujuan untuk mengetahui
jenis dan jumlah larva/pupa penggerek yang ditemukan pada tiap rumpun contoh
yang dibelah, serta tingkat kerusakan dan perkembangannya pada petak contoh.

5) Pengamatan larva/pupa pada tunggul padi

Pengamatan larva/pupa penggerek pada tunggul padi dilakukan dengan cara


pembelahan. Tunggul padi ditentukan pada beberapa tempat yang merupakan
daerah penyebaran penggerek batang padi putih.

Pada tiap hamparan contoh diamati 10 tunggul padi, hamparan berikutnya ditentukan
dengan jarak ± 5 km. Cara lain untuk menentukan hamparan contoh berdasarkan
informasi serangan penggerek batang padi putih pada musim tanam sebelumnya.

24
6) Data pelengkap

Data dan informasi yang diperlukan sebagai pelengkap data surveilans diambil
dari tiap wilayah kerja pengamatan, yaitu:

a) Penyebaran varietas dan umur tanaman

b) Peta penyebaran daerah serangan penggerek

c) Luas areal terserang berdasarkan varietas

d) Golongan pengairan

e) Data lampu perangkap dan SMPK

f) Perlakuan/tindakan petani.

Mengenai data lampu perangkap dapat dipertimbangkan tiga hal penting dalam
kaitannya dengan kemungkinan munculnya serangan penggerek batang padi pada musim
tanam berjalan, yaitu :

1) Bila tangkapan harian tinggi pada saat sebelum ada pesemaian dan turun drastis pada
saat terdapat pesemaian, maka kemungkinan munculnya serangan kecil.

2) Bila tangkapan harian meningkat pada saat pesemaian, maka kemungkinan munculnya
serangan besar, sebab akan tersedia tempat bagi ngengat untuk bertelur dan kemudian
berkembang melanjutkan keturunannya.

3) Bila tdak tersedia lampu perangkap, pemantauan penerbangaan dapat dilakukan dengan
memperhatikan keberadaan ngengat disekitar lampu/penerangan yang ada disekitar itu)

Berdasarkan dua hal tersebut, maka pemantauan penerbangan ngengat melalui lampu
perangkap perlu terus dilakukan, dan karena jumlah lampu perangkap terbatas, maka untuk
mengetahui munculnya serangan Penggerek batang padi diperlukan pemantauan yang lebih
intensif terhadap kepadatan populasi ngengat dan kelompok telur di pesemaian. Matrik
rekapitulasi hasil pengamatan kepadatan populasi penggerek batang padi dapat dilihat pada
Tabel Lampiran 4.

25
5. Penyakit Tungro

5.1. Gambaran Umum Serangan

Virus tungro merupakan salah satu penyebab penyakit penting pada tanaman padi
yang dapat menimbulkan kerusakan ringan – berat, sehingga dapat menurunkan hasil baik
secara kualitatif maupun kuantitatif.

Penyakit tungro ditularkan melalui serangga vektor wereng hijau, antara lain
Nephotettix virescens, N. nigropictus, N. parvus, dan Recilia dorssalis. Diantara vektor
tersebut, Nephotettix virescens merupakan vektor yang paling efektif. Tanaman yang
terinfeksi tumbuh kerdil dengan jumlah anakan sedikit, daun mengalami perubahan warna
dari hijau menjadi sedikit kuning sampai oranye dan kuning coklat, dimulai dari ujung daun
terutama daun muda. seperti Gambar 13. Tanaman yang terinfeksi biasanya hidup hingga
fase pemasakan. Malai menjadi kecil, steril dan tidak sempurna (malai hampa), bercak coklat
menutupi bulir-bulir sehingga bobot bulir lebih rendah. Serangga yang menghisap pada
tanaman sakit mendapatkan virus dalam waktu yang singkat (± 30 menit). Segera setelah itu
serangga dapat menularkannya pada tanaman yang lain. Virus tidak dapat berkembang
pada tubuh vektor. Vektor efektif menularkan virus paling lama 7 hari, setelah itu bila tidak
lagi menghisap pada tanaman sakit vector menjadi serangga bebas virus. Efektifitas
penularan virus akan hilang setelah ganti kulit. Telur tidak tertular virus, meskipun serangga
betina dewasa membawa virus tungro.

Tanaman tua yang terinfeksi biasanya tidak memperlihatkan gejala serangan sebelum
panen, tetapi singgang yang tumbuh bias memperlihatkan gejala serangan dan menjadi
sumber inokulum. Stadia pertumbuhan tanaman yang paling rentan adalah dari pembibitan
sampai bunting. Kehilangan hasil dapat mencapai 68% ketika tanaman yang terinfeksi baru
berumur 10-20 hari setelah sebar (hss), atau 30% apabila tanaman yang terinfeksi sudah
berumur antara 40-50 hss, dan hanya 5% jika tanaman sudah berumur 70-80 hss.

Dalam rangka penyusunan rekomendasi peengendalian penyakit tungro, perlu


dipertimbangkan ambang pengendalian dan keseimbangan umum. Tindakan pengendalian
pada prinsipnya hanya diperlukan apabila populasi vektor dan intensitas serangan mulai atau
telah berada di atas ambang kendali. Sesuai dengan stadia pertumbuhan tanaman, untuk
sementara ini ditetapkan nilai ambang pengendalian serangga penular dan intensitas
serangan tungro seperti tabel 1.

26
Gambar 13. Gejala serangan virus tungro dan wereng hijau

Tabel 1. Nilai Ambang Ekonomi Populasi Serangga Vektor dan Intensitas Penyakit Tungro
Stadia Populasi*) Serangga Intensitas
Tanaman Penular (ekor) Serangan (%) **)
Singgang 25 5

Persemaian 20 4

Tan. Muda 20 6

*) Serangga tertangkap jaring dengan 25 ayunan tunggal.


**) Uji Iodium dari 20 helai daun bibit umur 2 minggu setelah sebar.

Gambar 14. Jaring perangkap serangga wereng hijau

27
Terdapat beberapa kemungkinan saat dan cara melakukan tindakan pengendalian
berdasarkan hasil pengamatan di lapangan:

a. Tindakan pengendalian tidak diperlukan, apabila populasi vector dan intensitas serangan
di bawah nilai ambang ekonomi,

b. Perlakuan insektisida diperlukan apabila populasi serangga penular di atas ambang


pengendalian,

c. Eradikasi singgang/tanaman sakit, apabila intensitas serangan tungro di atas ambang


ekonomi,

d. Eradikasi singgang/tanaman sakit dan perlakuan insektisida, apabila populasi vector dan
intensitas serangan lebih besar daripada nilai ambang ekonomi.

Kegiatan surveilans penyakit tungro antara lain bertujuan untuk 1) mengetahui


kepadatan populasi serangga vektor khususnya N. virescens serta musuh alaminya dan
epidemiologi penyakit tungro dalam berbagai keadaan klimatik termasuk waktu tanam, 2)
membuat peta pola penyebaran penyakit tungro, 3) mengetahui penyebaran daerah eksplosi
dan faktor-faktor yang mempengaruhi, dan 4) mengembangkan teknologi peramalan penyakit
tungro dalam rangka pengendalian.

Sebagai data penunjang studi pengamatan penyakit tungro diperlukan data tentang
hasil penangkapan serangga penular dengan menggunakan lampu perangkap, data curah
hujan dan waktu sebar/waktu tanam dari masing-masing lokasi pengamatan.

5.2. Pelaksanaan Surveilans

Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah purposive sampling dan


systematic sampling. Purposive sampling digunakan untuk menentukan lokasi terserang
(kecamatan, desa) sebagai contoh pengamatan, sedangkan systematic sampling digunakan
untuk menentukan petak/plot pengamatan.

Pada lokasi (kecamatan/desa) yang terpilih sebagai daerah pengamatan, selanjutnya


ditentukan petak/plot contoh penggunaan menggunakan metode systematic sampling. Setiap
jarak tertentu (5 – 10 km) harus dilaksanakan pengamatan pada petak/plot yang terserang
tungro. Pengamatan yang dilakukan adalah kepadatan populasi vector dan intensitas
serangan tungro. Setiap pengamatan harus disertai dengan ulangan sedikitnya tiga kali dan
pada petak yang berlainan. Dari setiap kabupaten sedikitnya terdapat 10 unit contoh masing-
masing dengan tiga kali ulangan, sebagaimana nampak seperti Gambar 15 berikut.

28
Gambar 15. Unit Petak Pengamatan Tungro dengan Tiga Kali Ulangan

I
II III
IV

VI

Keterangan :
: Jalan
: Ulangan

Unit pengamatan dalam surveilans tungro adalah wilayah kabupaten.

Berdasarkan keadaan pertanaman di lapangan, maka surveilans penyakit tungro dibagi


ke dalam tiga tahap pengamatan, yaitu :

1) Tahap singgang

2) Tahap pesemaian

3) Tahap tanaman muda (3-6 minggu setelah tanam)

1) Tahap Singgang

Pada tahap singgang, pengamatan dilakukan 2 – 4 minggu setelah panen meliputi:

a. Persentase singgang terserang

Setiap ulangan diamati 100 singgang. Singgang yang terserang diberi tanda positif
(+) dan singgang sehat (-). Apabila singgang dalam bentuk larikan, pengamatan

29
intensitas serangan tungro harus dalam bentuk larikan. Apabila singgang tidak dalam
larikan tetapi dalam bentuk kelompok, maka pengamatan singgang terserang harus
dalam kelompok singgang.

Jumlah singgang terserang dibagi menjadi keseluruhan singgang yang diamati


menunjukkan angga persentase intensitas serangan tungro. Tabel 2 dan 3. berikut
menjelaskan rumpun pengamatan.
Tabel 2. Pengamatan Singgang dalam bentuk Larikan

- - - - - +
- + - - - -
- - - + - -
- - - + - +
- + - - - +
- - - - - -
- + - + - +
- - - - - +
5% (5/100) 3% (3/100) 5% (5/100)

Tabel 3. Pengamatan Singgang dalam bentuk Kelompok

---+---
- ++---++ --++--+-
- +-++-+- +----+- +-+--+ +-
+-+--+-- --++--+- -+---+--
- -+-++-- +-+--- +- ---+--+-
-------- --------
+-----+-
14% (14/100) 10% (10/100) 12% (12/100)

b. Kepadatan populasi serangga penular N. virescens

Dilakukan dengan jaring serangga (sweep net) sebanyak 25 ayunan tunggal.


Jarak ayunan pertama ke ayunan berikutnya ± 40 – 50 cm, dan arah ayunan
berlawanan. Lebar ayunan ± 100 cm, sehingga luas 25 ayunan tunggal ± 10 m²,
sebagaimana terlihat pada gambar berikut.

30
(posisi petugas)

1
2
3
4
....
24
25
100 cm

Serangga penular yang tertangkap jaring, kemudian dikumpulkan dalam


kantung plastik serta diberi alkohol 70% secukupnya dan diikat kuat agar larutan
alkohol tidak merembas keluar. Untuk memudahkan proses pemindahan vektor yang
tertangkap dari jaring ke dalam kantung plastik, dianjurkan menggunakan kantung
plastik ukuran/ kapasitas 1 kg atau lebih. Dalam plastik harus disertakan data
mengenai desa, kecamatan, BPP, kabupaten, varietas, umur tanaman, dan tanggal
pangamatan. Pengamatan singgang terserang dan kepadatan populasi serangga
penular harus dilakukan pada petak/plot yang sama.

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan tersebut, setelah analisa kemudian


disusun rekomendasi pengendalian.

2) Tahap Persemaian

Pada tahap persemaian, kegiatan pengamatan meliputi:

a. Pengamatan kepadatan populasi serangga penular. Pengamatan dilakukan pada saat


bibit semai berdaun 2 – 3 helai dengan cara sama pada tahap singgang.

b. Persentase bibit semai terserang. Setiap ulangan diamati 20 helai daun yang diambil
secara acak/persemaian dengan uji Iodium.

Helai daun digunting, kemudian dicelupkan ke dalam larutan Iodium tincture beberapa
menit, kemudian bila terlihat pembuluh berwarna hitam dapat dianggap positif
terinfeksi.

c. Tindakan pencegahan/pengendalian yang akan ditempuh sesuai dengan data yang


diperoleh dari hasil pengamatan lapangan.

31
3) Tahap Tanaman Muda

Pengamatan terutama harus dilakukan pada saat tanaman berumur 2 – 3 minggu


setelah tanam, karena pada umur tersebut tanaman dalam tahap paling peka terhadap
serangan tungro. Pengamatan meliputi:

a. Pengamatan persentase tanaman terserang. Pengamatan dilakukan terhadap 100


tanaman dengan cara yang sama seperti pada pengamatan singgang.

b. Populasi serangga penular. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan jarring


sebanyak 25 kali ayunan tunggal.

c. Tindakan pencegahan/pengendalian yang akan ditempuh sesuai dengan data yang


diperoleh dari pengamatan lapangan.

Secara garis besar skema studi pengamatan dan rekomendasi pengendalian


penyakit tungro tertera dalam Tabel 4. Konservasi predator utamanya dari jenis laba-laba
dapat dilakukan dengan mulsa jerami pada pematang dan melakukan pembersihan
pematang dua minggu setelah tanam, sedangkan matrik hasil pengamatan populasi
wereng hijau dan intensitas serangan dapat dilihat pada Tabel Lampiran 5.

Tabel 4. Skema Studi Pengamatan dan Rekomendasi Pengendalian Penyakit Tungro

Stadia Tanaman
Kegiatan Singgang Pesemaian Tan. Muda Tanaman Tua
Jenis - Populasi Populasi - Populasi - Populasi
Pengamat serangga Serangga serangga serangga
an vektor vektor vektor vector
- Persentase - Persentase - Persentase
singgang singgang singgang
terserang terserang terserang
Kemungki - Perlakuan - Pemasang - Pemasanga - Pemasangan
nan insektisida an pias n pias pias
Rekomen trichogram trichogram trichogramma
- Eradikasi
dasi ma ma japonicum
singgang
japonicum japonicum
- Eradikasi
- Konservasi
- Perlakuan - Eradikasi tanaman
predator
insektisida tanaman terserang
sistemik terserang
- Perlakuan
- Konservasi - Perlakuan insektisida
predator insektisida
- Konservasi
predator

32
IV. PENUTUP

Dalam rangka mengoptimalkan kegiatan perlindungan tanaman di tingkat lapangan,


melalui pelaksanaan surveilans diharapkan dapat menghasilkan data dan informasi tentang OPT
atau inang OPT yang ada di suatu wilayah kerja pengamatan, intensitas serangan OPT,
perubahan status OPT, dan perluasan penyebaran OPT. Data dan informasi yang diperoleh
digunakan untuk deteksi awal perkembangan OPT guna mengetahui perubahan status OPT,
pengelolaan OPT dan penyusunan rekomendasi pengendalian OPT.

Menurut Dent (1991), pengamatan merupakan faktor kunci dalam kegiatan pengelolaan
OPT. Lebih dari 50 % keberhasilan pengelolaan OPT ditentukan oleh keberhasilan dalam
pengumpulan data dan informasi tentang OPT. Selanjutnya, dengan keberhasilan dalam
pengamatan, maka kehilangan hasil yang diakibatkan oleh gangguan OPT pada berbagai
tanaman budidaya (termasuk tanaman pangan) yang mencapai rata-rata 11.8 % dapat
diminimalkan, sehingga akan berdampak terhadap jumlah produksi yang dihasilkan (Agrios,
G.N., 1997).

33

Anda mungkin juga menyukai